Anda di halaman 1dari 7

RESUME

DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS


KELAS : D BT 4
MATA KULIAH : HUKUM PIDANA
DOSEN : DR JUBAIR, S.H. M.H.

MOH. IKBAL
D 101 21 303

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
Deelmening
Pada suatu delik terhadap apabila dalam suatu delik tersangkut beberapa orang tau lebih dari
seorang
Pertanyannya adalah bgaimana hubungan tiap peserta itu terhadap delik, karena hbungan itu
bermacam-macam. Hubungan tersebut dapat berbentuk:
1. Beberapa orang bersam-sama melakukan suatu delik
2. Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan merenacanakan delik, akan
tetapi delik tersebut tidak dilakukan tersendiri, tetapi ia mempergunakan orang lain untuk
melakukan delik tersebut.
3. Dapat juga terjadi bahwa seorang saja yang melakukan delik, sedang yang lain membantu
orang itu dalam melaksanakan delik.
Ajaran atau pengertian deelneming berpokok pada menentukan pertanggungjawaban
daripada peserta terhadap delik.
Dalam lapangan ilmu hukum pidana (doctrine) deelneming ini menurut sifatnya dapat
dibagi dalam:
1. Bentuk2 deelneming yang berdiri sendiri
2. Bentu2 deelneming yang tdk berdiri sendiri.
Ad. 1. Dalm bentuk ini pertanggungjawaban tiap-tiap peserta dihargai
sendiri-sendiri.
Ad.2. Dalam deelneming ini atau juga disebut “accesoirre deelneming”
pertanggungjawaban daripada pserta yang satu digantungkan
pada perbuatan peserta yang lain, artinya apabila oleh peserta
yang lain dilakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum,
maka peserta yang satu juga dapat dihukum.
• Pada zaman Code Penal masih berlaku hanya dikenal deelneming yang berdiri sendiri yang
berarti pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai sendiri2. Akan tetapi kemudian
diadakan pembedaan Ilmu hukum pengetahuan pidana sebagaimana dikemukakan di atas.
• Bagaimana sikap KUH Pidana terhadap deelneming ?
KUH Pidan tidak membedakan antara deelneming yg berdiri sendiri dengan deelneming
yang tdk berdiri sendiri (selfstandige deelneming dengan onselfstandige deelneming).
Akan tetapi mengadakan perincian antara:
- Pelaku (daders)
- Membantu melakukan (medeplechters)
Perincian mana dapat diketahui dari Pasal 55 dan Pasal 56 KUH Pidana.
Pasal 55 kuh pidana
1. Dihukum sebgai pelaku dari perbuatan yang dapat dihukum
a. Orang yang melakukan, yg menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan
itu
b. Orang yg dengan pemberian upah, janji2, menyalahgunakan kekuasaan kedudukan,
paksaan, ancaman atau tipuan atau memberikan kesempatan, ikhtisar atau
keterangan, dengan sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
2. Adapun terhadap orang yg tersebut dalam sub b itu, yg boleh dipertanggungjawabkan
kepada hanyalah perbuatan yg disengaja dibujuk oleh mereka itu serta akibat perbuatan
itu
Pasal 56 kuh pidana
Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum :
1. Orang yg dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan
2. Orang yg dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk
melakukan kejahatan itu
Dari kedua pasal tersebut, nampak bahwa yang diatur dalam pasal 55 adalah siapa yang
dianggap sebagai pelaku, dan dalam pada itu kuh pidana mengenal 4 macam pelaku:

a. Yang melakukan
b. Yg menyuruh melakukan melakukan
c. Yang membantu melakukan
d. Yang memberi upah, janji2 dsb. Sengaja membujuk
Paal 56 kuh pidana: yg dianggap sebgai pembantu, yaitu :
1. Yg membantu waktu kejahatan dilakukan
2. Yg sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu
Berkaitan dengan perincian yang diadakan oleh kuh pidana tsb, maka oleh beberapa sarjana
mengadakan perincian lain, yg terbagi dalam 3 kelompok :
1. Pelaku
2. Pembujuk
3. Yg membnatu melakukan

Perincian diatas didasarkan pada pendapat mereka, bahwa dalam bentuk pembujukan
(uitlokking) sipembujuk tdk dapat disebut sebagai pelaku, oleh karena pelakunya dalam
hal ini adalah orang lain.
Untuk mengetahui maksud dari Pasal 55 KUH Pidana dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Orang yang melakukan
Maksud dari kalimat ini adalah barang siapa yang melakukan “sendiri” suatu perbuatan
yang dilarang oleh undang2.
Untuk mengetahui siapa pelaku dari suatu delik, dapat pula dilihat pada jenis2 delik :
I. Delik dengan perumusan formil. Pelakunya adalah
barang siapa “yang memenuhi unsur-unsur
(perumusan) delik”
B. Yang menyuruh melakukan.
Ajaran ini juga disebut : “mijdelijke daderschap” (perbuatan dengan perantaraan).
Maksudnya adalah:
Seseorang yang berkehendak untuk melakukan sesuatu delik tidak melakukannya
sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Menyuruh melakukan ini harus memenuhi beberapa syarat penting, yaitu :
Orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut
KUH Pidana.
• Apa perbedaan antara menyuruh melakukan (doen plegen) dengan membujuk
(uitlokking) :
- Menyuruh melakukan (doen plegen)
Orang yang disuruh melakukan sesuatu delik harus
orang yang tdk dpt dipertanggungjawabkan menurut
KUHP.
- Membujuk (uitlokking)
Orang yang dibujuk untuk melakukan sesuatu delik
harus orang yang dapat dipertanggung jawabkan
menurut KUHP
Menurut KUH Pidana, terdapat beberapa jenis orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, yaitu :
a. Orang yang menurut Pasal 44 jiwanya dihinggapi oleh
sesuatu penyakit jiwa (tidak normal).
b. orang yang disuruh (onmiddelijke daders) itu berada dalam keadaan “dipaksa”
(overmacht) sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUH Pidana.
c. Apabila onmiddelijke dader itu disuruh melakukan suatu tugas negara yang tidak sah.
Dalam hal ini onmiddelijke dader tsb harus memenuhi sayarat2 sebagai ditentukan
dalam Pasal 51 ayat (2), yaitu pelaksanaan perintah yang tidak syah itu harus dilakukan

d.Apabila onmiddelijke dader itu salah faham atau keliru mengenai salah satu unsur dari
delik.
Contoh :
A mengetahu sesuatu benda yang terletak di atas meja adalah milik C, akan tetapi B
tidak mengetahui akan hal itu. Kemudian A memerintahkan kepada B untuk mengambil
dan menyerahkan benda itu kepada A. A tahu benar bagwa benda itu milik C, akan tetapi
B tidak mengetahui bahwa benda itu milik A. Walaupun dalam hal ini yang mengambil
benda itu adalah D, akan tetapi karena ia salah faham atau keliru dalam salah satu unsur
delik, maka ia tdk dapat dipertanggungjawabkan .
Sebagai Contoh 1:
Seorang igin membunuh bayinya, dan meletakkan di bawah terik mata hari, hingga
sibayi meninggal. Dalam hal ini meletakkan bayi di tempat yang pasnas tadi tidak
mengakibatkan kematian si bayi secara langsung.
Contoh 2 :
A berkehendak membunuh B dengan mengirimkan makanan yang diberi racun. Dalam
hal ini kematian B tidak ditimbulkan secara langsung oleh A akan tetapi menggunakan
alat atau sarana (instrumen).
Cotoh Kasus :
A dan B adalah orang dewasa. A berkehendak untuk merusak barangnya C berupa
jendela kaca. Dan untuk melakukan kehendaknya itu, oleh karena ia lebih kuat dari pada
si B, ia melemparkan badan si B kejendela kaca si C, sehingga jendela kaca itu pecah.
Dalam hal ini terdapat delik seperti diatur dalam pasal 406 yaitu merusak barang orang
lain.
Apakah dalam hal ini terdapat menyuruh melakukan ?. Jawabannya, bahwa
karena si-B adalah orang sehat jiwanya, maka tidak dapat disebut menyuruh melakukan.
Dan B pun tidak dapat dikategorikan dalam keadaan overmacht, sebab orang yang
berada dalam keadaan overmacht itu mempunyai kehendak, akan tetapi kehendak yang
tidak bebas. Jadi :
A tidak dapat dikatakan pelaku tidak langsung, akan tetapi pelaku biasa, sebab B tidak
memenuhi pasal 44. B adalah alat mati (willoos wertuig).

Pogging percobaan
Doktrin ialah permulaan kejahatan yang belum selesai
Kuhp pasal 53 dan 54

Pasal 53 berbunyi
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata
mata disebabkan karena anaknya sendiri
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikuangi
sepertiga
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara selama lima belas tahun
4. Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai

Pasal 54 kuhp

• Mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana


• Kedua pasal tersebut diatas tidak merumuskan pengertian poging, kecuali hanya
menentukan syarat-syarat bilamana poging dapat di pidana
• Untuk menentukan kapan suatu delik dianggap selesai, harus dikembalikan pada
jenis deliknya yaitu delik formal dan materil
Delik formil dan materil

Delik formil
• Suatu delik yang terdiri atas suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang
• Misalnya delik dalam pasal pasal 362 tentang pencurian. Yg dilarang dalam pasal ini
adalah perbuatan mengambil barang oraang lain
Delik materil
• Suatu delik yang terdiri atas suatu akibat tertentu yang timbul karena suatu perbuatan.
Akibat tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU
• Misalnya delik dalam pasal ini adalah mengakibatkan matinya orang lain, dan bukan
perbuatannya

Delik dianggap selesai

• Pada delik formiil delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan.
• Sedangkan pada delik materiil delik selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam
hukuman oleh undang-undang itu telah timbul atau telah terjadi.
Poging adalah Perluasan Pengertian Delik

• Jika poging dihubungkan dengan suatu delik, maka walalupun tidak memenuhi syarat sebagai
delik, akan tetapi poging merupakan “perluasan pengertian delik” (uitbreidings begrip van het
strafbare feit).

• Apa dasar hukum daripada hukuman yang diancamkan terhadap poging ? Dimana dalam hal
poging suatu perbuatan itu baru merupakan “permulaan pelaksanaan” sudah dapat dihukum.

Syarat-syarat Poging Menurut Pasal 53 KUHP


Poging harus memenuhi 3 (tiga) sayarat yaitu:
a. Harus terdapat rencana (voornemen).
b. Rencana itu harus telah terwujud dengan suatu permulaan pelaksanaan,
c. Permulaan pelaksanaan itu tidak selesai, bukan karena kehendak dari sipelaku.
Jika ketiga syarat tersebut telah dipenuhi, maka poging sudah dapat dihukum.
maksud dari ketiga syarat poging tersebut
• Syarat a. Rencana (voornemen):
Menurut doctrine dan jurisprudentie voornemen itu harus ditafsirkan sebagai “kehendak” “de
wil” atau lebih tepat “opzet”. Seorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak untuk
melakukan kejahatan.

• Opzet ada tiga tingkatan, meliputi:


- opzet sebagai tujuan,
- opzet dengan (kesadaran akan) tujuan yang pasti,
- opzet dengan kesadaran akan kemungkinannya.
Bagaimana menentukan adanya “permulaan pelaksanaan” dalam suatu percobaan ?
Mengenai hal ini dikenal dua teori yaitu :
1. Teori poging subyektif dan
2. Teori poging obyektif
Ad.1.Teori Poging Subyektif antara lain dianut oleh van Hamel dan van Liszt. Menurut ajaran ini
perbuatan yang dapat dihukum adalah setip perbuatan yang merupakan pelaksanaan dari
perencanaan.
Ad.2. Teori poging obyektif. Menurut ajaran ini perbuatan yang dapat dihukum hanyalah
perbuatan yang dianggap dapat membahayakan kepentingan hukum.

Anda mungkin juga menyukai