Cardiorespirasi Surgery
Cardiorespirasi Surgery
THORACIC SURGERY
The Esofagus
kerongkongan adalah tabung berotot yang membentang dari
faring ke perut. Hal ini terdiri dari mukosa
dan melingkar dan longitudinal lapisan otot. Itu
kerongkongan memasuki perut bawah diafragma
kira-kira pada tingkat toraks kesebelas
tulang belakang.
Indications for Surgery
TUMOR
PNEMOUTHORAKS
Empyema
Bronchiectasis
pelubangan esofagus
X-ray Dada
Sebuah standar dada X-ray akan dilakukan pada semua pasien untuk
menetapkan status paru pra operasi.
C7 pemindaian
Pada pasien dengan kanker CT scan dilakukan secara universal.
scan akan menemukan lesi akurat dan menunjukkan jika
ada invasi ke struktur sekitarnya, yang
menentukan pengoperasian. Kehadiran metastasis di
organ jauh merupakan kontraindikasi operasi.
bronkoskopi esophagoscopy
Ini akan membangun situs lesi dan memungkinkan
biopsi atau pencucian bronkial untuk dikirim untuk pemeriksaan histologi. Saya t
dapat dilakukan dengan sedasi atau anestesi umum.
sternotomy median
sayatan ini digunakan untuk operasi pengurangan volume paru-paru
dan pleurectomy bilateral. Ini adalah insisi vertikal yang
melibatkan membelah sternum. sayatan memanjang dari tepat di atas suprasternal yang
notch ke titik sekitar 3cm bawah xiphisternum tersebut.
Tidak ada otot dipotong kecuali aponeurosis dari
pectoralis utama
thoracolaparotomy kiri
pneumonectomy
pneumonectomy Extrapericardial dilakukan untuk
Tumor yang melibatkan bronkus utama. Seluruh paru-paru
diangkat dan rongga yang dihasilkan akan mengisi dengan proteinrich
cairan dan fibrin selama beberapa minggu, pergeseran lateral mediastinum, pergeseran ke atas dari
diafragma, dan pengurangan interkostal yang jarak di
sisi dioperasikan mengurangi ukuran rongga.
lobektomi
Ini berarti pengangkatan lobus lengkap dengan lobus nya
bronkus. Di sisi kanan, dua lobus dapat diangkat
bersama-sama - atas dan tengah atau pertengahan dan bawah.
Pengangkatan lobus atas di sebelah kanan kadang-kadang bisa
termasuk bagian dari bronkus utama kanan - yang dikenal sebagai
'Lengan reseksi'.
reseksi segmental
Segmen dari lobus bersama dengan arteri segmental dan
bronchus diangkat. reseksi baji
Ini adalah reseksi lokal kecil jaringan paru-paru.
Paru operasi volume Penurunan (LVRS)
LVRS adalah prosedur yang dirancang untuk meningkatkan pernapasan
fungsi pada pasien dengan emfisema bulosa parah.
Pasien-pasien ini ada dengan paru-paru hyperinflated dan
diafragma datar. Dengan excising jaringan bulosa dan
membentuk paru-paru yang tersisa, perluasan sehat
paru-paru dan doming diafragma dapat dicapai.
Hal ini akan mengakibatkan peningkatan mekanik pernapasan dan
mengurangi gejala-gejala sesak (sesak napas).
Pasien harus menjalani masa rehabilitasi paru
sebelum operasi untuk memaksimalkan fungsi pernapasan mereka.
pernafasan
Dahak retensi +/- infeksi
Atelektasis / kolaps lobus
Persistent udara kebocoran / pneumothorax
fistula bronkopleural (pemecahan bronkus dari mana jaringan paru-paru telah resected,
lebih mungkin terjadi berikut pneumonektomi dan umumnya terjadi sekitar 8-10 hari setelah
operasi)
Efusi pleura
emfisema bedah
peredaran Darah
Pendarahan
aritmia jantung: fibrilasi atrium akan terjadi pada sekitar 30% pasien reseksi paru
Dalam vein thrombosis
Emboli paru
infark miokard
Luka
• Infeksi
• Nyeri luka kronis
• Kegagalan untuk menyembuhkan
neurologis
• Pukulan
• Berulang laring saraf (RLN) kerusakan (yang RLN memasok pita suara dan trauma selama
operasi akan mengganggu kemampuan pasien untuk batuk)
• kerusakan saraf frenikus, mengakibatkan kelumpuhan hemi-diafragma
Kehilangan jarak sendi
• Hilangnya berbagai bahu di sisi dioperasikan
• perubahan postural
Fisioterapis dan OPERASI thoraks
• pendidikan pasien
• memaksimalkan volume paru
• pencegahan retensi sputum
• bersihan sputum
• pemeliharaan jarak bahu gerakan
• mobilisasi dini.
MODALITIES OF PHYSIOTHERAPY
Breathing Exercises
Siklus aktif teknik pernapasan (ACBT) digunakan dalam
duduk mungkin cukup untuk menjaga jalan nafas yang efektif
bersihan (Webber dan Pryor 1998). ACBT terdiri dari
siklus kontrol pernapasan dan ekspansi dada
latihan diikuti oleh teknik paksa ekspirasi
Siklus aktif teknik pernapasan (ACBT) digunakan dalam
duduk mungkin cukup untuk menjaga jalan nafas yang efektif
bersihan (Webber dan Pryor 1998). ACBT terdiri dari
siklus kontrol pernapasan dan ekspansi dada
latihan diikuti oleh teknik paksa ekspirasi, Seluruh siklus harus diulang 2-3 kali atau
sampai pasien menjadi tidak produktif. Di awal
pasien pasca operasi, kelelahan mungkin menjadi masalah dan
pengobatan harus dihentikan pada saat ini. Ekspansi dada harus lambat dalam
napas dalam melalui hidung dan mendesah keluar melalui
mulut. Akhir-inspirasi terus dapat meningkatkan aliran udara
untuk daerah berventilasi buruk (Hough 2001); nafas
terus harus didorong pada puncak inspirasi yang
Upaya untuk 2-3 detik
Forced Expiration
Teknik paksa ekspirasi (FET) digunakan untuk membantu
dalam pembersihan sekresi bronkial yang berlebihan. FET efektif harus terdengar seperti napas
paksa. Saya t
tergantung pada:
• mulut terbuka
• glotis terbuka
• dinding perut berkontraksi
• dinding dada dikontrak.
didukung Batuk
Batuk dibuat oleh ekspirasi paksa terhadap tertutup
celah suara. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intrathoracic. Sebagai
glotis terbuka ada yang cepat, aliran udara luar dan
geser dari sekresi dari dinding saluran napas. Peningkatan batuk dan FET dapat dicapai jika
luka didukung (Gambar 16.10). Hal ini dapat dilakukan
oleh fisioterapis selama sesi perawatan atau dengan
pasien. Lengan di sisi acreage ditempatkan
di bagian depan dada dan di atas sayatan dan
situs tiriskan. overpressure perusahaan diterapkan selama batuk /
FET. Sebuah handuk, dilipat memanjang, melewati sekitar
belakang pasien dan menarik di depan
thorax juga dapat berguna untuk mendukung batuk.
Positioning
Mobilisasi dini
Mobilisasi harus dimulai sesegera adalah aman mungkin
kapasitas residu fungsional adalah maksimal
meningkatkan di berdiri (Jenkins et al. 1988). Kusam et al
(1983) mengusulkan bahwa mobilisasi dini di rumit
pasien bisa membuat latihan pernapasan yang tidak perlu.
Pasien harus cardiovascularly stabil dan tidak
membutuhkan konsentrasi tinggi oksigen sebelum mobilisasi
dapat dimulai. Jika saluran air iga yang hisap,
mobilitas akan dibatasi untuk berdiri dan tempat-marching
di samping tempat tidur.
Latihan bahu
Bahu di sisi dioperasikan harus diperiksa
untuk berbagai gerakan. Pasien harus berlatih
elevasi dan penculikan bahu setidaknya tiga kali sehari. latihan auto-dibantu mungkin diperlukan
untuk
mulai dengan. Batasan dari berbagai harus lebih
secara formal dinilai dan diobati.
insentif spirometer
Spirometri insentif adalah sistem umpan balik untuk mendorong
pasien untuk mengambil napas dalam-dalam dan menghasilkan
inspirasi maksimal guna membuka daerah atelektasis dari
paru-paru (Su et al. 1991). Itu murah untuk menyediakan, non-invasif
dan ketika mengajar juga perlu pengawasan minimal.
Bastin et al. (1997) menyimpulkan kerusakan yang di
Kinerja insentif spirometer dapat digunakan sebagai
peringatan kerusakan paru.
Mini-trakeostomi
retensi sputum merupakan komplikasi yang sering pada pasien
pulih dari operasi toraks (Busch et al. 1994). Aku bisa menjadi hasil dari sputum keuletan atau lemah
tidak efektif
batuk. Mini-trakeostomi dapat menjadi alat yang sangat berharga dalam
pasien pasca operasi untuk membantu penghapusan sekresi di
hubungannya dengan rejimen fisioterapi. Quidaciolu et al. (1994) menyimpulkan minitracheostomy
bahwa
aman dan efektif dalam mengurangi pernapasan
morbiditas pada pasien berisiko tinggi berikut
operasi paru.
humidifikasi dipanaskan
sekresi paru dapat menjadi ulet berikut
operasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh anestesi, infeksi, atau
dehidrasi - terutama pada pasien esofagus
yang 'nihil melalui mulut'. Meningkatkan humidifikasi ke
saluran udara dengan memanaskan pengiriman oksigen / udara dapat membantu
clearance lendir.
Bedah Jantung
Pengertian
Bedah jantung adalah : Usaha atau operasi yang dikerjakan untuk melakukan koreksi
kelainan anatomi atau fungsi jantung.
1. Operasi jantung terbuka, yaitu operasi yang dijalankan dengan membuka rongga jantung
dengan memakai bantuan mesin jantung paru (mesin extra corporal).
2. Operasi jantung tertutup, yaitu setiap operasi yang dijalankan tanpa membuka rongga
jantung misalnya ligasi PDA, Shunting aortopulmonal.
1. Koreksi total dari kelainan anatomi yang ada, misalnya penutupan ASD, Pateh VSD,
Koreksi Tetralogi Fallot, Koreksi Transposition Of Great Arteri (TGA). Umumnya
tindakan ini dikerjakan terutama pada anak-anak (pediatrik) yang mempunyai kelainan
bawaan.
2. Operasi paliatif yaitu melakukan operasi sementara untuk tujuan mempersiapkan operasi
yang definitif/total koreksi karena operasi total belum dapat dikerjakan saat itu, misalnya
shunt aortopulmonal pada TOF, Pulmonal atresia.
3. Repair yaitu operasi yang dikerjakan pada katub jantung yang mengalami insufisiensi.
5. Bypass koroner yaitu operasi yang dikerjakan untuk mengatasi stenosis/sumbatan arteri
koroner.
6. Pemasangan inplant seperti kawat ‘pace maker’ permanen pada anak-anak dengan blok
total atrioventrikel.
7. Transplantasi jantung yaitu mengganti jantung seseorang yang tidak mungkin diperbaiki
lagi dengan jantung donor dari penderita yang meninggal karena sebab lain.
Untuk menetapkan suatu penyakit jantung sampai kepada suatu diagnosis maka diperlukan
tindakan investigasi yang cukup. Mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik/jasmani,
laboratorium, maka untuk jantung diperlukan pemeriksaan tambahan sebagai berikut :
1. Elektrokardiografi (EKG) yaitu penyadapan hantaran listrik dari jantung memakai alat
elektrokardiografi.
2. Foto polos thorak PA dan kadang-kadang perlu foto oesophagogram untuk melihat
pembesaran atrium kiri (foto lateral).
3. Fonokardiografi
5. Nuklir kardiologi yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai isotop intra vena kemudian
dengan “scanner” ditangkap pengumpulan isotop pada jantung.
Dapat dibagi :
6. Kateterisasi jantung yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai kateter yang dimasukan
ke pembuluh darah dan didorong ke rongga jantung. Kateterisasi jantung kanan melalui
vena femoralis, kateterisasi jantung kiri melalui arteri femoralis.
a) Pemeriksaan tekanan dan saturasi oksigen rongga jantung, sehingga diketahui adanya
peningkatan saturasi pada rongga jantung kanan akibat suatu shunt dan adanya
hypoxamia pada jantung bagian kiri.
b) Angiografi untuk melihat rongga jantung atau pembuluh darah tertentu misalnya LV
grafi, aortografi, angiografi koroner dll.
7. Pemeriksaan enzym khusus, yaitu pemeriksaan enzym creati kinase dan fraksi CKMB
untuk penentuan adanya infark pada keadaan “ unstable angin pectoris”.
Indikasi Operasi
1. “Left to rigth shunt” sama atau lebih dari 1,5 (aliran paru dibandingkan aliran ke sistemik
1,5).
6. Angina pektoris kelas III dan IV menurut Canadian Cardiology Society (CCS).
9. Komplikasi akibat infark miokardium akut seperti VSD dan mitral regurgitasi yang berat
karena ruptur otot papilaris.
12. Tumor dalam rongga jantung yang menyebabkan obstruksi pada katub misalnya myxoma.
Toleransi terhadap operasi diperkirakan berdasarkan keadaan umum penderita yang biasanya
ditentukan dengan klasifikasi fungsional dari New York Heart Association.
Klas II : Keluhan dirasakan bila aktifitas cukup berat misalnya berjalan cepat.
Klas III : Keluhan dirasakan bila aktifitas lebih berat dari pekerjaan sehari-hari.
Klas IV : Keluhan sudah dirasakan pada aktifitas primer seperti untuk makan dan lain-lain
sehingga penderita harus tetap berbaring ditempat tidur.
Hal ini ditentukan berdasarkan resiko yang paling kecil. Misalnya umur yang tepat untuk
melakukan total koreksi Tetralogi Fallot adalah pada umur 3 - 4 tahun.
Hal ini yaitu berdasarkan klasifikasi fungsional di mana operasi katub aorta karena suatu
insufisiensi pada klas IV adalah lebih tinggi dibandingkan pada klas III. Hal ini adalah saat
operasi dilakukan. Operasi pintas koroner misalnya bila dilakukan secara darurat resikonya 2
X lebih tinggi bila dilakukan elektif.
Pembagian Waktu dibagi atas :
1. Emergensi yaitu operasi yang sifatnya sangat perlu untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Untuk bypass coroner hal ini dilakukan kapan saja tergantung persiapan yang
diperlukan.
2. Semi Elektif yaitu operasi yang bisa ditunda 2 - 3 hari atau untuk koroner dilakukan 3 X
24 jam setelah dilakukan kateterisasi jantung.
3. Elektif yaitu operasi yang direncanakan dengan matang atas indikasi tertentu, waktunya
lebih dari 3 hari.
2. Kalau tidak bisa dilakukan koreksi total karena keterbatasan umur dan anatomi/kelainan
yang didapat maka harus dipilih tehnik operasi untuk membantu operasi definitif
misalnya “ shunt “ pada Tetralogi Fallot.
3. Apabila tidak bisa dilakukan koreksi total atau operasi definitif dengan resiko yang tinggi
maka harus dipilih operasi untuk memperbaiki kwalitas hidup penderita tersebut misalnya
“shunt” saja.
Sayatan Operasi
1. Mid Sternotomi
Posisi klien terlentang, kepala ekstensi dan daerah vertebra antara skapula kanan dan kiri
diganjal secukupnya sehingga insisi cukup leluasa. Harus diperhatikan dalam setiap
posisi :
a) Seluruh daerah yang mengalami tekananan harus dilindungi dengan bantal atau karet
busa misalnya kepala, daerah sakrum dan tumit.
Tidak boleh ada barang-barang logam yang keras, kontak langsung dengan penderita
sehingga dapat terjadi dekubitus.
b) Pemasangan “lead EKG “, kateter urin, slang infus tidak boleh “kinking” dan
melewati bawah kulit klien sehingga menimbulkan bekas.
d) Posisi penderita harus difiksasi dengan stabil sehingga tidak mudah meluncur kalau
meja operasi diputar atau tidak bergerak kalu dilakukan shock listrik.
Insisi kulit pada daerah median mulai dari atas suprasternal notch vertikal sampai 3 cm di
bawah prosesus xyphoideus dengan pisau No. 24 bila klien dewasa, untuk bayi dan anak-
anak dengan pisau No. 15.
Hemostasis dengan kauterisasi fasia sampai ligamen subra sternal dipotong, begitu juga
prosesus xyphoideus ibelah dengan gunting kasar. Hemostasis dari vena yang melintang
di atas prosesus xyphoideus harus baik.
Tulang sternum dibelah dengan gergaji listrik biasanya dari arah prosesus xypoideus ke
atas dan saat itu paru-paru dikolapskan beberapa detik untuk menghindari terbukanya
pleura.
Hemastasis pinggir sternum dengan kauter dan bila perlu gunakan bone wak.
Selanjutnya sisa-sisa kelenjar timus, didiseksi sampai vena inominata kelihatan bebas.
Perikardium dibuka di tengah atau agak ke kanan apabila akan digunakan untuk “patch”
dan dilebarkan sedikit kearah lateral dibagian proksimal dan diafragma. Perikardium
difixir ke pinggir luka sehingga jantung agak terangkat.
Apabila prosedur utama telah selesai dan dinding dada akan ditutup maka harus diyakini
benar bahwa hemostasis terhadap semua bekas insisi dan jahitan telah aman, perikardium
kalau perlu tidak usah ditutup rapat, dipasang drain untuk mengeluarkan sisa darah,
sternum diikat dengan kawat. Harus diingat saat menutup sternum apakah ada pengaruh
terhadap tekanan darah terutama kalau tekanan darah turun. Jahitan kulit
subkutikuler/kutikuler dengan dexon.
2. Torakotomi posterolateral
Sayatan ini biasanya untuk klien koarktasio aorta, PDA, shunt atau aneurisma aorta
desenden. Posisi klien miring ke kanan dengan syarat-syarat seperti di atas.
Insisi kulit mulai dari garis aksila tengah ke posterior kira-kira 2 cm di bawah angulus
inferior skapula dan prosesus spinosus vertebra. Kulit, subkutis, otot latisimus dorsi
dipotong dengan hemostasis yang baik dengan kauter dan otot seratus anterios hanya
dibelah dan dipotong pada insertionya.
Rongga toraks dibuka pada sela iga ke 4 dengan diseksi di bagian atas iga ke V untuk
menghindari pembuluh darah. Setelah selesai rongga toraks ditutup dengan mengikat iga
dengan jahitan absorbable dan selanjutnya otot diapraksimasi kembali seperti aslinya dan
kulit dijahit subkutikuler.
3. Torakotomi Anterolateral
Posisi penderita terlentang dan bagian kiri diganjal sedikit sehingga lebih tinggi / miring
45 . Insisi pada sela iga ke V. Pendekatan ini untuk emergensi karena luka tusuk jantung
dengan tamponade atau hanya perikardiotomi banding pulmonalis.
Setelah penderita diputuskan untuk operasi maka perlu dipersiapkan agar operasi dapat
berlangsung sukses. Persiapan terdiri dari :
a) Persiapan mental
b) Persiapan medikal
1. Obat-obatan
Antidiabetik diteruskan dan bila perlu dikonversi dengan insulin injeksi selama
operasi.
Antibiotika hanya diberikan untuk propilaksis dan diberikan waktu induksi anestesi
di kamar operasi, hanya diperlukan test kulit sebelum operasi apakah ada alergi.
LFT.
Ureum, Creatinin.
Gula darah.
Urine lengkap.
Hb S Ag.
Gas darah.
Bila ada kelainan hemostasis atau faktor pembekuan harus diselidiki penyebabnya
dan bila perlu operasi ditunda sampai ada kepastian bahwa kelainan tersebut tidak
akan menyebabkan perdarahan pasca bedah.
Trombosit : 3 unit.
Permintaan darah ke PMI minimal 24 jam sebelum operasi elektif dan tentu
tergantung persediaan darah yang ada di PMI saat itu.
Biasanya dicari gigi berlobang atau tonsilitis kronis dan ini konsultasikan ke bagian
THT dan gigi. Kelainan kulit seperti dermatitis dan furunkolosis/bisul harus diobati
dan juga tidak dalam masa inkubasi/infeksi penyakit menular.
5. Fisioterapi dada.
Untuk melatih dan meningkatkan fungsi paru selama di ICU dan untuk mengajarkan
bagaimana caranya mengeluarkan sputum setelah operasi untuk mencegah retensi
sputum. Bila penderita diketahui menderita asthma dan penyakit paru obstruktif
menahun (PPOM) maka fisioterapi harus lebih intensif dikerjakan dan kadang-
kadang spirometri juga membantu untuk melihat kelainan yang dihadapi. Bila perlu
konsultasi ke dokter ahli paru untuk problem yang dihadapi.
Saat ini perawatan sebelum operasi dengan persiapan yang matang dari poliklinik
maka perawatan sebelum operasi dapat diperpendek misalnya 1 - 2 hari sebelum
operasi. Hal ini untuk mempersiapkan mental klien dan juga supaya tidak bosan di
Rumah Sakit.
Perawatan pasca bedah
Perawatan pasca bedah dimulai sejak penderita masuk ke ICU. Untuk mengetahui problem
pasca bedah dianjurkan untuk mengetahui problem penderita pra bedah sehingga dapat
diantisipasi dengan baik.
1. Perawatan di ICU.
a) Monitoring Hermodinamik.
Setelah penderita pindah di ICU maka timbang terima antara perawat yang
mengantar ke ICU dan petugas/perawat ICU yang bertanggung jawab terhadap
penderita tersebut : Dianjurkan setiap penderita satu perawat yang bertanggung
jawab menanganinya selama 24 jam. Pemantauan yang dikerjakan harus secara
sistematis dan mudah :
Denyut jantung.
Tekanan darah.
Curah jantung.
Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pach jantung dll.
b) EKG
Pemantauan EKG setiap saat harus dikerjakan dan dilihat irama dasar jantung dan
adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok atrioventrikel dll.
Rekording/pencatatan EKG lengkap minimal 1 kali dalam sehari dan tergantung dari
problem yang dihadapi terutama bila ada perubahan irama dasar jantung yang
membahayakan.
c) Sistem pernapasan
Biasanya penderita dari kamar operasi masih belum sadar dan malahan diberikan
sedasi sebelum ditransper ke ICU. Sampai di ICU segera respirator dipasang dan
dilihat :
Tube dan ukuran yang diapakai, melalui mulut / hidung.
Dilihat aspirat yang keluar dari bronkhus / tube, apakah lendirnya normal,
kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda edema paru ; bila
perlu dibuat kultur.
d) Sistem neurologis
Kesadaran dilihat dari/waktu penderita mulai bangun atau masih diberikan obat-
obatan sedatif pelumpuh otot. Bila penderita mulai bangun maka disuruh
menggerakkan ke 4 ektremitasnya.
e) Sistem ginjal
Dilihat produksi urine tiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat hemolisis
dan lain-lain. Pemerikasaan ureum / kreatinin bila fasilitas memungkinkan harus
dikerjakan.
f) Gula darah
Bila penderita adalah dabet maka kadar gula darah harus dikerjakan tiap 6 jam dan
bila tinggi mungkin memerlukan infus insulin.
g) Laboratorium :
ACT.
LFT / Albumin.
h) Drain
Drain yang dipasang harus diketahui sehingga perdarahan dari mana mungkin bisa
diketahui. Jumlah drain tiap satuan waktu biasanya tiap jam tetapi bila ada
perdarahan maka observasi dikerjakan tiap ½ jam. Atau tiap ¼ jam. Perdarahan yang
terjadi lebih dari 200 cc untuk penderita dewasa tiap jam dianggap sebagai
perdarahan pasca bedah dan muingkin memerlukan retorakotomi untuk
menghentikan perdarahan.
i) Foto thoraks
Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk melihat ke
CVP, Kateter Swan Ganz. Perawatan pasca bedah di ICU harus disesuaikan dengan
problem yang dihadapi seperti komplikasi yang dijumpai. Umumnya bila fungsi
jantung normal, penyapihan terhadap respirator segera dimulai dan begitu juga
ekstratubasi beberapa jam setelah pasca bedah.
j) Fisioterapi.
Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi semua organ terus
dilanjutkan. Biasanya pindah dari ICU adalah pada hari ke dua pasca bedah. Umumnya
pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk laboratorium LFT,
Enzim CK dan CKMB.
Elektrolit thrombosis.
Ureum
Gula darah.
Thoraks foto
EKG 12 lead.
Hari ke 5 : Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak.
Obat - obatan : Biasanya diberikan analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan
mengganggu pernapasan klien. Obat-obat lain seperti anti hipertensi, anti diabet, dan vitamin
harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator, juga diperlukan untuk mengeluarkan
sputum yang banyak sampai hari ke 7 atau sampai klien pulang.
Perawatan luka, dapat tertutup atau terbuka. Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan
dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, lekositosis, maka luka harus
dibuka jahitannya sehuingga nanah yang ada bisa bebas keluar. Kadang-kadang perlu di
kompres dengan antiseptik supaya nanah cepat kering. Bila luka sembuh dengan baik jahitan
sudah dapat di buka pada hari ke delapan atau sembilan pasca bedah. Untuk klien yang
gemuk, diabet kadang-kadang jahitan dipertahankan lebih lama untuk mencegah luka
terbuka.
Fisioterapi, setelah klien exstubasi maka fisioterapi harus segera dikerjakan untuk mencegah
retensi sputum yang akan menyebabkan problem pernapasan. Mobilisasi di ruangan mulai
dengan duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan
ke kamar mandi, dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau oleh
perawat.
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Oleh :
SAMUEL
NIM 09.3.025
AKADEMI FISIOTERAPI
WIDYA HUSADA
SEMARANG
2012
BAB I
PATOLOGI
A. Definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) didefinisikan sebagai penyakit yang
dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon
inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (WHO,2006)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. (Smeltzer 2001)
B. Etiologi
Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain adalah:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali
lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami
PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur
mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak
merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering
terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang
terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun, debu gandum, dan
debu asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat
selain yang disebutkan di atas.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk gejalanya
dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap dapur, asap pabrik,
dll.
Sedangkan risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah:
1. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien
yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami
< 1% pasien PPOK.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi
PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
3. Adanya gangguan fungsi paru
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,
misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada
masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi
paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-parulebih besar sejalan dengan waktu
daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap
berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan
parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami PPOK.
C. Patofisiologi
Penyempitan saluran pernafasan terjadi pada bronkitis kronik maupun pada
emfisema paru. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan
adanya tanda-tanda obstruksi. Pada bronkitis kronik sesak nafas terutama
disebabkan karena perubahan pada saluran pernafaasan kecil, yang diameternya
kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang terjadi
obliterasai.
Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernafasan
besar juga berubah. Timbul terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar
mukus, sehingga saluran pernafasan lebih menyempit. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran-saluran pernafasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada
penderita emfisema paru dan bronchitis kronik, saluran-saluran pernafasan tersebut
akan lebih cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan
menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi
yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya, dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/ tidak ada, akan tetapi perfusi baik. sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah alveoli, tidak sama dan merata. Timbul hipoksia
dan sesak nafas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah paru dan polisitemia. terjadi HT pulmonal, yang dalam jangka lama
dapat timbulkan kor pulmonal.
D. Manifestasi klinis
1. Batuk produktif
Batuk produktif ini disebabkan oleh inflamasi dan produksi mukusyang berlebihan
di saluran nafas.
2. Dispnea
Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik.
Berhubungan dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak
selalu berhubungan dengan rendahnya kadar oksigen di udara.
3. Batuk kronik
Batuk kronis umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada pagi hari
saja kemudian berkembang menjadi batuk yang terjadi sepanjanghari. Batuk biasanya
dengan pengeluaran sputum dalam jumlah kecil(<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih
atau keputihan. Produksi sputum berkurang ketika pasien berhenti merokok
(GOLD,2005)
4. Mengi, Terjadi karena obstruksi saluran nafas
5. Berkurangnya berat badan
Pasien dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori yang lebih besar
hanya untuk bernapas saja. Selain itu pasien juga mengalamikesulitan
bernafas pada saat makan sehingga nafsu makan berkurangdan pasien tidak mendapat
asupan kalori yang cukup untuk mengganti kalori yang terpakai.Hal tersebut
mengakibatkan berkurangnya berat badan pasien.
6. Edema pada tubuh bagian bawah
Pada kasus CPOD yang parah, tekanan arteri pulmonary meningkatdan ventrikel kanan
tidak berkontraksi dengan baik. Ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah ke
ginjal dan hati akan timbul edema padakaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki. Kondisi ini
juga dapatmenyebabkan edema pada hati atau terjadinya penimbunan cairan pada
abdomen (acites)
BAB II
LAPORAN PELAKSANAAN PRAKTEK KOMPREHENSIF
B. Segi Fisioterapi
1. Anamesis ( Auto)
a) Keluhan Utama :
Adanya Sesak nafas, Batuk dengan dahak yang sulit
dikeluarkan
b) Tempat keluhan : Pada dada pasien
c) Waktu/Onset : Malam hari dan cuaca dingin
d) Penyebab keluhan : Tidak jelas penyebabnya, tp saat masih
bekerja pasien sering mengendarai sepeda
motor.
e) Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan :
Faktor yang memperberat, saat pasien melakukan aktivitas yang berat seperti
mengangkat barang,cuaca dingin, dan jalan jauh.
Faktor yang memperingan, saat diistirahatkan pasien merasakan nyaman.
f) Riwayat pengobatan :
± 3 Tahun yang lalu pasien periksa di dokter spesialis penyakit dalam RSUP Dr.
Kariadi dengan keluhan sesak napas dan batuk-batuk, disana diberikan obat-obatan
inhalasi saat itu pasien mengkonsumsi obat selama 1 minggu,batuk hilang
sementara setelah itu kambuh lagi saat ini pasien kontrol rutin tiap 6 bulan sekali.
Pasien menjalani Fisioterapi ± 1 tahun yang lalu sampai saat ini pasien sudah
merasakan ada perubahan dari sesak dan batuk sudah mulai berkurang.
kurang maksimal karena sesak nafas dan adanya spasme otot bantu pernafasan.
b) Spirometri
Parameter Measured Pre # 1 % Pred
FVC 1.76 2.86 62
FEV1 1.48 2.19 68
FEV1/FVC 84.1 7.3 131
d) Auskultasi
(1) Wheezing (+)
(2) Ronchi (+), (Paru Kiri Lobus bawah segmen lateral Basal)
e) Pola pernapasan : Pernapasan Diafragma
4. Diagnosis Fisioterapi
a) Impairment :
(1) Adanya keluhan sesak nafas
(2) Adanya batuk disertai dahak sulit keluar
(3) Adanya spasme otot pernapasan
(4) Penurunan Expansi Thorak
b) Fungsional limitation :
(5) Toleransi aktivitas fungsional menurun karena pasien mengalami sesak nafas
5. Program / Rencana Fisioterapi
a) Tujuan Fisioterapi
(1) Jangka pendek :
Mengurangi sesak nafas
Membantu mengeluarkan sputum
Mengurangi spasme otot bantu pernpasan
Meningkatkan ekspansi sangkar thorak
Membantu mengeluarkan sputum
(2) Jangka panjang :
Melanjutkan program jangka pendek
Meningkatkan aktivitas fungsional
b) Modalitas Fisioterapi
(1) Teknologi alternatif
exercise
rainage
nt
ktif
sangkar thorak
(2) Modalitas terpilih :
a. Infra Red.
Tujuan penyinaran untuk mendapatkan relaksasi lokal pada daerah dada dan
punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah (fasodilatasi pmbuluh darah).
b. Breathing Exercise.
Latihan ini bertujuan untuk memperbaiki ventilasi udara, melatih pernafasan
diafragma, memelihara elastisitas jaringan paru-paru dan menjaga expansi thorax.
c. Postural Drinage
Merupakan suatu teknik untuk mengalirkan sekresi dari berbagai segmen
menuju saluran nafas yang lebih besar, dengan menggunakan pengaruh gravitasi
dan pengaruh posisi pasien yang sesuai dengan letak sputumnya. Sebelum
dilakukan PD memperbanyak minum dahulu, ± 1 jam sebelum dilakukan PD.
d. Tapotement
Tujuannya untuk memindahkan sputum ke cabang bronkus utama yang
kemudian pasien disuruh untuk batuk.
e. Batuk efektif
Batuk merupakan suatu gerakan reflek untuk mengeluarkan benda asing atau
sputum dari dalam saluran pernafasan
f. Terapi latihan (Mobilisasi sangkar Thorak)
Latihan ini meliputi gerakan-gerakan pada trunk dan anggota gerak atas,dapat
dilakukan bersamaan dengan breathing exercise. Sehingga otot-otot pernafasan
dan otot bantunya yang mengalami ketegangan akan menjadi rilex
(3) Edukasi :
1) Pasien di anjurkan melanjutkan latihan nafas sendiri di rumah,
2) Istirahat jika terjadi keluhan sesak nafas / nyeri dada saat sedang aktifitas,
3) Pakai jaket bila udara dingin,
4) Meminum air putih banyak dan hangat,
5) menghindari asap rokok dan polusi,
6) pasien diminta untuk menjaga kebersihan lingkungan.
(4) Rencana Evaluasi :
1) Expansi Sangkar Thorax Dengan Antopometri
2) Derajat Sesak Nafas Dengan Skala Borg
3) Uji Faal Paru Dengan Spirometri
4) Auskultasi dengan Stethoscope
C. Pelaksanaan Fisioterapi :
1) Infra Merah
Persiapan Alat : Siapkan alat kemudian cek keadaan
lampu, cek kabel, ada yang terkelupas atau tidak.
Persiapan Pasien : Posisikan pasien senyaman mungkin, bebaskan area
yang akan diterapi dari kain atau pakaian, sebelum diterapi kulit harus kering dan
dilakukan tes sensibilitas terlebih dahulu serta berikan informasi yang jelas tentang
tujuan terapi mengenai apa yang akan dirasakan dan apa yang tidak boleh dilakukan
selama terapi.
Pelaksanaan : Alat diatur sedemikian rupa, sehingga lampu sinar infra
merah dapat menjangkau daerah dada dan punggung dengan jarak 30-45 cm.
Posisi lampu sinar infra merah tegak lurus daerah yang akan diterapi. Setelah
semuanya siap alat dihidupkan, kemudian atur waktu 10- 15 menit. Selama proses
terapi berlangsung fisioterapi harus mengontrol rasa hangat yang diterima pasien,
jika selama pengobatan rasa nyeri, pusing, ketegangan otot meningkat. Dosis harus
dikurangi dengan menurunkan intensitasnya, dengan sedikit menjauhkan sinar infra
merah. Hal ini berkaitan dengan adanya over dosis. Setelah proses terapi selesai
matikan alat dan alat dirapikan seperti semula.
D. EVALUASI
Expansi Sangkar Thorax Dengan Antopometri
Titik pengukuran Inspirasi Exspirasi selisih
Axilla 78 cm 76 cm 2 cm
Costa 4-5 76 cm 73 cm 3 cm
xyphoideus 71 cm 68 cm 3 cm
BAB III
PENUTUP
A. PEMBAHASAN
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) didefinisikan sebagai penyakit yang
dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel
sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan
dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya.
Dari proses pelaksanaan fisioterapi bahwa dalam mengurangi spasme,
mengeluarkan sputum dan menmbah ekspansi sangkar Thorak dapat dilakukan
dengan :
1. Infra Merah, Mekanisme, Infra Merah menghasilkan Efek thermal kemudian terjadi
vasodilatasi pembuluh darah maka akan membuat rileksasi otot² bantu pernafasan
menjadi baik dan sesak nafas berkurang
2. Postural Drinage, Tapotement, Breathing Exercise,Batuk efektip, Latihan Mobilisasi
Sangkar Thorak.
Adanya sputum dalam saluran pernafasan yang sulit keluar dan penurunan ekspansi
sangkar thoraxs, dengan postural drinage maka akan mengalirkan sekresi dari
berbagai segmen menuju saluaran nafas yang lebih besar kemudian lakukan
tapotement untuk memindahkan sputum ke bronkus utama setelah itu berikan
breathing excercise dan pasien disuruh batuk untuk mengeluarkan benda asing atau
sputum dalam saluran nafas dan instruksikan kepada pasien untuk mengerakan
anggota gerak atas kombinasikan dengan Breathing excercise maka ekspansi
sangkar thorax akan bertambah.
B. KESIMPULAN
Untuk kesimpulan pasien atas nama I.S umur 72 tahun drngan diagnose
PPOK dengan keluhan sesak dan batuk dengan dahak sulit dikeluarkan mempunyai
beberapa permasalahan antara lain adanya sesak nafas, dahak yang sulit keluar,
adanya spasme pada otot bantu pernafasan dan dan penurunan ekspansi sangkar
thorak yang akhirnya menggangu aktivitas fungsional sehari- hari. Infra Merah,
Breathing Exercise, Postural drainage, Tapotement, batuk efektif dan mobilisasi
sangkar thorak mempunyai peran penting dalam mengatasi permasalahan fisioterapi
tersebut.
C. SARAN
1. Fisioterapi
a) Harus memahami dan mengerti tentang fisiologi pernapasan, sehingga
mendapatkan hasil yang maximal dalam pemeriksaan dan pengobatan
b) Dalam memberikan latihan sebaiknya dilakukan scara bertahap sesuai dengan
toleransi pasien.
c) Menambah pengetahuan agar dapat mengikuti perkembangan fisioterapi dan
mempunyai pola fikir yang baik dalam melaksanakan peran dan fungsinya.
2. Pasien
a) Hendaknya pasien mau bekerja sama dengan terapis yaitu mau menghindari hal-hal
yang dapat memperparah kondisi.
b) Apabila dalam melakukan aktivitas merasa sesak nafas maka pasien segera untuk
istirahat.
c) Hendaknya pasien menghindari asap rokok atau merokok dan debu yang dapat
menimbulkan sesak.
3. Keluarga
a) Menyarankan agar selalu memberikan dukungan mental kepada penderita, sehingga
penderita mempunyai semangat dalam melakukan latihan dan pengobatan.
b) Menganjurkan untuk menjaga kebersihan lingkungan setempat dari polusi
c) Keluarga sebaiknya mengawasi semua aktivitas pasien agar tidak terjadi sesak
nafas saat beraktivitas.
4. Masyarakat
a) Menyarankan kepada masyarakat untuk segera mungkin berobat jika terjadi keluhan
seperti masalah diatas.
b) Menyarankan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan dan tidak
menimbulkan polusi udara.
DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2005. Pocket
Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Dari
http//www.goldcopd.org. diambil juli 2012.
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC