Anda di halaman 1dari 87

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI PRIBADI

SEBAGAI BENDA DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM


PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar


Sarjana Hukum

Disusun Oleh
Nama : Agustinus Pandu Prayoga
NIM : 2018 – 0500 – 0148
Program Peminatan : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
2022
Pengesahan Skripsi

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Komprehensif


Fakultas Hukum Unika Atma Jaya pada tanggal 27 Juli 2022
dan dinyatakan LULUS.

Tim Penguji
Ketua/Penguji I

(Dr. Samuel M.P. Hutabarat, S.H.)

Penguji II Penguji III/ Pembimbing Skripsi

(Dra. Lidwina Maria T., S.H., Sp.N.) (Dr. Marhaeni Ria Siombo, S.H., M.Si.)

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya

(Dr. Iur. Asmin Fransiska, S.H., L.L.M.)


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan atas berkat dan anugerah-Nya yang telah dilimpahkan
kepada Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Atma Jaya Jakarta yang berjudul “Tinjauan Yuridis mengenai Data dan Informasi
Pribadi sebagai Benda dan Akibat Hukumnya dalam Perjanjian Pinjaman Online” .
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Penulis bersyukur atas segala bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan yang baik ini, Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Kepada seluruh pimpinan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta,
secara khusus kepada Ibu Dr. Iur Asmin Fransiska, S.H., L.L.M., selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Bapak Pieter Zunimik Sinaga,
S.H., MBL., selaku Kepala Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas
Katolik Atma Jaya Jakarta, dan kepada Bapak Dr. Samuel M.P. Hutabarat, S.H. selaku
Kepala Bidang Peminatan Hukum Perdata;
2. Ibu Dr. Marhaeni Ria Siombo, S.H., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi Penulis
yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu Penulis lewat
nasihat, kritik, dan saran yang membuat Penulis mendapatkan banyak ilmu dalam
menyelesaikan skripsi dengan baik dan tepat waktu;
3. Ibu Feronica S.H., M.H., selaku Kepala Bidang Program Studi dan Dosen
Pembimbing Akademik Penulis, terima kasih atas bantuan dan arahan yang telah
diberikan kepada Penulis selama di masa perkuliahan;
4. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Seluruh Dosen Fakultas Hukum
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu
kepada Penulis, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan Penulis dalam
bidang hukum;
5. Seluruh karyawan Sekretariat Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya Jakarta yang telah membantu Penulis dengan memberikan informasi yang sangat
berguna selama Perkuliahan;
6. Pihak keluarga Penulis, khususnya apak dan ibu serta adik-adik yang selalu
memberikan dukungan kepada Penulis sejak awal masuk kuliah sampai dengan Penulis
dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan adanya keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki oleh Penulis. Maka
dari itu, Penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam
penulisan skripsi ini. Dengan senang hati, Penulis menerima segala masukan dan komentar
yang bersifat membangun terkait skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat
bermanfaat bagi khalayak dan khususnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Akhir
kata, Penulis ucapkan sekian dan terima kasih.

Jakarta, 29 Juni 2022

Penulis

Agustinus Pandu Prayoga

i
ABSTRAK
(A) Agustinus Pandu Prayoga (2018-0500-0148)
(B) TINJAUAN YURIDIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI PRIBADI
SEBAGAI BENDA DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERJANJIAN
PINJAMAN ONLINE
(C) Data dan Informasi Pribadi, Benda, Perjanjian Pinjaman Online
(D) Dalam menyusun skripsi ini Penulis menggunakan 14 buah buku, 14 buah jurnal, 2
buah makalah, 2 buah website, dan 8 peraturan perundang-undangan sebagai
referensi.
(E) Salah satu permasalahan hukum yang kini sering diangkat adalah perlindungan data
pribadi, namun dibalik itu kedudukan data dan informasi masih menjadi permasalahan
hukum tersendiri mengingat data dan informasi pribadi tidak jarang dianggap sebagai
benda dan merupakan aset kepemilikan seseorang. Selain itu dalam peralihannya
kepada penyelenggara sistem informasi khususnya dalam perjanjian pinjaman online,
hak milik tersebut menjadi tidak dapat dipertahankan oleh pemilik data dan informasi
pribadi. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana
kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda dalam perspektif hukum benda
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan hukum positif di
Indonesia dan bagaimana akibat hukum terhadap data dan informasi pribadi sebagai
benda dalam perjanjian pinjaman online berdasarkan aspek-aspek hukum perdata
dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan mengenai kebendaan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berupa
metode yuridis normatif yang dilakukan dengan menggunakan studi dokumen berupa
kajian dari peraturan, serta norma dan asas yang ada di dalam aturan tersebut. Dalam
proses analisisnya dilakukan menggunakan metode deskriptif analisis dari data-data
kualitatif.
Penelitian ini menghasilkan temuan, yaitu data dan informasi pribadi merupakan
benda bergerak tak berwujud yang memiliki hak milik dan hak privasi yang
terkandung di dalamnya. Namun terdapat permasalahan dalam harmonisasi peraturan
perundang-undangan dalam ranah hukum Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE)
yang secara aktual hak milik tersebut tidak dapat diakui secara mutlak karena
disimpan dan dikelola oleh penyelenggara sistem informasi. Selain itu, akibat hukum
terhadap data dan informasi pribadi dalam perjanjian pinjaman online bahwa dalam
perjanjian pinjaman online terdapat pengecualian terhadap perlunya pesertujuan
kembali mengenai akses data dan informasi pribadi milik debitur sehingga hal
tersebut menguatkan temuan terkait hak milik dan hak privasi yang terdapat pada data
dan informasi pribadi sebagai benda berada di luar penguasaan pemilik data dan
informasi pribadi serta memberikan posisi pemilik data dan informasi sebagai pihak
yang lebih rendah dalam perjanjian pinjaman online tersebut.
(F) 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

ABSTRAK...............................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN....................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................6

C. Tujuan Penelitian............................................................................................................6

D. Manfaat Penelitian..........................................................................................................6

E. Metode Penelitian............................................................................................................7

F. Sistematika Penulisan......................................................................................................9

BAB II....................................................................................................................................12

TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI PRIBADI, HUKUM


BENDA, HUKUM PERJANJIAN, DAN PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE................12

A. Data dan Informasi Pribadi...........................................................................................12

A. 1. Pengertian Data dan Informasi Pribadi.............................................................12

A. 2. Batasan-Batasan mengenai Hak Privasi...........................................................13

A. 3. Keamanan Data dan Informasi Pribadi dalam Teknologi................................18

A. 4. Lanskap Hukum Positif Indonesia untuk Mengatur Data dan Informasi Pribadi
21

B. Hukum Benda................................................................................................................28

B.1. Pengertian Hukum Benda.................................................................................28

B.2. Macam-Macam Benda......................................................................................29

iii
B.3. Perbedaan antara Hak-Hak Kebendaan dan Hak-Hak Perseorangan...............33

B.4. Hak-Hak Kebendaan........................................................................................34

C. Perjanjian.......................................................................................................................36

C.1. Pengertian Perjanjian........................................................................................36

C.2. Asas-Asas dalam Perjanjian.............................................................................36

C.3. Syarat Sahnya Perjanjian..................................................................................38

C.4. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian............................................41

C.5. Wanprestasi......................................................................................................42

C.6. Keadaan Memaksa (Overmacht)......................................................................43

C.7. Berakhirnya Perjanjian.....................................................................................46

D. Perjanjian Pinjaman Online...........................................................................................47

D. 1. Pengertian Perjanjian Pinjaman Online............................................................47

D. 2. Perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi..48

D. 3. Alur Perjanjian Pinjaman Online......................................................................51

D. 4. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Perjanjian Pinjaman Online........................52

D. 5. Hubungan Hukum antara Para Pihak...............................................................53

BAB III...................................................................................................................................56

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI PRIBADI SEBAGAI


BENDA DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE. .56

I. Kedudukan Data dan Informasi Pribadi sebagai Benda dalam Perspektif Hukum
Benda Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Hukum Positif di
Indonesia................................................................................................................................56

II. Akibat Hukum Terhadap Data dan Informasi Pribadi sebagai Benda dalam Perjanjian
Pinjaman Online berdasarkan Aspek-Aspek Hukum Perdata dikaitkan dengan Ketentuan-
Ketentuan mengenai Kebendaan............................................................................................65

BAB IV..................................................................................................................................71

PENUTUP..............................................................................................................................71

iv
I. Kesimpulan...................................................................................................................71

II. Saran..............................................................................................................................72

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................vi

v
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Revolusi digital sebagai salah satu kerangka untuk mencapai revolusi industri 4.0

menggambarkan masyarakat yang semakin mengandalkan teknologi dalam berbagai

bidang aspek kehidupannya. Masyarakat juga dituntut untuk memahami bagaimana

teknologi bekerja demi mencapai kemudahan dalam mengakses fasilitas publik yang

dapat dilakukan cukup melalui genggaman saja. Perkembangan ini memungkinkan

munculnya terobosan teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence),

robotika, Internet of Things, kendaraan otomatis, pencetakan 3-D, nanoteknologi,

bioteknologi, penyimpanan energi, dan komputasi kuantum.1

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, pemanfaatan teknologi di kehidupan sehari-

hari menitikberatkan pada proses digitalisasi atau mengenai apa yang sebelumnya

memiliki bentuk konvensional/fisik menjadi digital/non fisik. Misalnya, pada kasus

proses jual-beli, baik pihak penjual dan pihak pembeli awalnya perlu bertransaksi di

sebuah tempat seperti pasar swalayan, supermarket, atau sejenisnya. Pada masa kini,

terdapat pilihan untuk melakukan proses jual-beli tersebut secara daring melalui website

atau aplikasi sehingga tidak perlu bertemu secara langsung serta dapat membayar

menggunakan metode internet banking.

Tentu perkembangan dalam teknologi ini juga memiliki dampak pada perkembangan

ilmu pengetahuan salah satunya ilmu hukum. Terminologi dan teori dalam ilmu hukum

yang digunakan kini semakin diperluas untuk dapat mengakomodir pengetahuan dalam

1
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, (Redfem: Currency Press, 2017). Lihat juga: Alec Ross, The
Industries of the Futures, (New York: Simon & Schuster, 2017).
2

bidang elektronik, seperti munculnya analisis hukum mengenai perjanjian dalam bentuk

elektronik, tanda tangan elektronik, hingga kini dapat berbicara mengenai konsep

“manusia” yang menjadi eletronik dalam bentuk avatar pada fenomena metaverse.2

Dalam mengakses teknologi sebagaimana yang diuraikan di atas, umumnya pihak-

pihak yang terlibat dalam hal tersebut membutuhkan personal akun virtual (digital

identity) yang merepresentasikan identitas diri yang sesungguhnya pada dunia nyata.

Akibatnya, syarat-syarat dan ketentuan yang dibutuhkan salah satunya adalah data dan

informasi pribadi harus diisi dan diunggah pada portal website atau aplikasi tertentu.

Maka dari itu, isu mengenai keamanan data dan informasi pribadi semakin diangkat

karena data dan informasi pribadi tersebut dapat berisi hal-hal yang mengandung hak

privasi seseorang seperti nama nama lengkap, alamat, nomor telepon, serta nama orang

tua, hingga memuat data dan informasi pribadi yang sensitif seperti kondisi fisik dan

mental, orientasi seksual, ataupun catatan kriminal seseorang.3

Menurut sejarahnya, data dan informasi pribadi muncul pada konsepsi hak atas

privasi sebagai hak hukum pada Harvard Law Review Vol. IV No. 5, 15 Desember 1890

dengan judul “The Right to Privacy” yang ditulis oleh Warren dan Brandels. Dalam

tulisan tersebut, Warren dan Brandels memberikan gambaran secara sederhana mengenai

hak atas privasi sebagai “the right to be let alone” atau bila diterjemahkan yaitu “hak

untuk dibiarkan sendiri” yang menjadi cikal bakal tonggak hukum adanya perlindungan

terhadap hak privasi. Meskipun demikian, dalam terminologi tersebut definisi mengenai

hak privasi masih sangat bersifat umum.4

2
Istilah metaverse muncul dalam novel yang dituliskan oleh Neal Stephenson pada tahun 1992, hingga kini
definisi mengenai metaverse masih sangat umum dengan adanya realitas digital yang menggabungkan beberapa
aspek kehidupan seperti melakukan pertemuan, bekerja, dan bermain game online yang memungkinkan
penggunanya berinteraksi secara virtual menggunakan alat headset realitas virtual (VR), kacamata augmented
reality (AR), aplikasi smartphone dan atau perangkat lainnya.
3
Prof. Dr. Ida Bagus  Rahmadi Supancana, 2020, Cyber Ethics dan Cyber Law Book : Kontribusinya bagi
Dunia Bisnis, Jakarta : Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Cet. I, hlm. 90.
4
Sekaring Ayumeida Kusnadi dan Andy Usmina Wijaya, “Perlindungan Hukum Data Pribadi Sebagai Hak
Privasi”, Al WASATH Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, April 2021, hlm. 3-4.
3

Di Indonesia, data dan informasi sebagai hak privasi dijamin oleh hukum dalam

Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di

bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlidungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pada

kenyataannya, ketentuan peraturan mengenai perlindungan data dan informasi pribadi

belum diangkat sebagai pembahasan yang serius dan darurat sehingga terhadap

pelaksanaannya masih minim pengawasan. Akibatnya, masyarakat masih dirundung rasa

tidak aman terhadap data dan informasi pribadi padahal perbuatan hukum dalam dunia

digital kian merebak di masa kini.

Salah satu peristiwa hukum di Indonesia yang kini menjadi sorotan serta

berhubungan dengan data dan informasi pribadi yaitu mengenai perjanjian pinjaman

online. Pinjaman online atau dikenal dengan istilah “Pinjol” menjadi sangat populer di

kalangan masyarakat Indonesia karena menawarkan syarat yang mudah dengan

pencairan yang cepat sehingga pinjaman online menjadi salah satu pilihan masyarakat

untuk melakukan perjanjian kredit selain bank. Namun demikian, terdapat fakta yang

cukup mengejutkan bahwa data dan informasi pribadi disebarkan akibat debitur yang

tidak melakukan pembayaran atas utang yang dimilikinya. Pada tahun 2021, mengutip

dari laman berita CNBC Indonesia, ”Laporan dari Badan Perlindungan Konsumen

Nasional (BPKN). Terdapat 2.800 aduan konsumen terkait pinjol baik legal dan ilegal,

termasuk juga mengenai cara penagihan hingga penyebaran data privasi. Dari aduan

yang disampaikan mayoritas terkait pinjol ilegal 68,8% dan 31,2% terkait pinjol legal.

Permasalahan konsumen tidak hanya pinjol ilegal tapi juga pinjol legal”. 5 Adapun

beberapa contoh data dan informasi pribadi yang perlu diisi dan diunggah merupakan
5
“Bikin Resah, Laporan Penagihan Pinjol Paling Banyak di 2021”, diakses dari
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220211121104-37-314689/bikin-resah-laporan-penagihan-pinjol-
paling-banyak-di-2021 , pada tanggal 25 Maret 2022.
4

data-data penting seperti formulir data diri, foto KTP, foto selfie dengan KTP, serta

jumlah pinjaman dan tenornya.6

Pada dasarnya, Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK 77/2016)

telah mengatur mengenai kewajiban penyelenggara terhadap kerahasiaan, keutuhan dan

ketersediaan data pribadi pengguna serta dalam pemanfaatannya harus memperoleh

persetujuan dari pemilik data pribadi kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan.7 Namun demikian, tidak jarang data dan informasi pribadi milik

debitur tersebut digunakan dan disebarluaskan tanpa persetujuan dari pemilik data

dengan tujuan untuk memberikan efek jera dan ketakutan bagi debitur yang tidak

membayar utang sehingga menimbulkan kerugian karena menanggung rasa malu atas

utang yang ditanggung.

Pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap para pihak yang melakukan

perjanjian pinjaman online memang tidak ada habisnya selama belum diatur dalam

peraturan perundang-undangan beserta dengan penegakan hukumnya yang eketif dan

efisien. Dibalik itu semua, terdapat hal yang menarik bila ditelusuri lebih dalam

mengenai hak privasi sebagai hak hukum yang terkandung dalam data dan informasi

pribadi dihubungkan dengan perjanjian pinjaman online, bahwa kedudukan data dan

informasi pribadi di mata hukum itu sendiri dapat kembali dipertanyakan.

Kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda dalam konsep keperdataan

menjadi hal yang menarik untuk diangkat dalam penelitian hukum mengingat

pembahasan mengenai data dan informasi pribadi juga masih belum memiliki dasar

hukum yang tepat. Bila mengacu pada definisi benda yang ada pada Pasal 499 Kitab

6
“4 Syarat Pinjaman Online Mudah dari Kredit Pintar”, diakses dari https://www.kreditpintar.com/education/5-
syarat-mudah-untuk-mengajukan-proses-cepat-pinjaman-uang-online , pada tanggal 26 Maret 2022.
7
Pasal 26 huruf a dan c POJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
5

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), pengertian data dan informasi pribadi masih

belum dapat diakomodir mengingat pada data dan informasi pribadi juga terkandung hak

privasi sehingga berdampak pada hak-hak kebendaan yang terdapat padanya. Dengan

kata lain, kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda memiliki batas dengan

hak-hak privasi yang terkandung di dalamnya sehingga data dan informasi pribadi tidak

dapat dimiliki ataupun di-haki begitu saja oleh setiap orang.

Implikasinya terjadi kerancuan hukum mengenai kepemilikan dan hak-hak terhadap

data dan informasi pribadi pada perjanjian pinjaman online atau dikenal sebagai

perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI)

karena pada faktanya perjanjian pinjaman online yang dilakukan berbasis internet

membuat celah pada data dan informasi pribadi atas perjanjian pinjaman online sehingga

kreditur dapat melakukan apapun daya upaya untuk melakukan penagihan termasuk

mengakses data dan infromasi pribadi tersebut serta menggunakannya untuk

disebarluaskan. Padahal hal ini tidak dapat dibenarkan karena data dan informasi pribadi

memiliki hak-hak privasi yang harus dilindungi.

Dengan memperhatikan fenomena tersebut yang dikaitkan dengan teori dalam ruang

lingkup hukum perdata, kepastian hukum mengenai kedudukan data dan informasi

pribadi sebagai benda serta implikasinya ke dalam perjanjian pinjaman online masih

relevan dan perlu untuk diteliti lebih lanjut sehingga menemukan titik terang serta

memberikan kepastian hukum dan akibatnya pada perjanjian pinjaman online.

Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penulis melakukan penelitian melalui

karya tulis ilmiah ini berjudul, “Tinjauan Yuridis mengenai Data dan Informasi

Pribadi sebagai Benda dan Akibat Hukumnya dalam Perjanjian Pinjaman Online”
6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka Penulis merumuskan

masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda dalam perspektif

hukum benda berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan

hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap data dan informasi pribadi sebagai benda dalam

perjanjian pinjaman online berdasarkan aspek-aspek hukum perdata dikaitkan dengan

ketentuan-ketentuan mengenai kebendaan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda dalam

perspektif hukum benda berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPer) dan hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap data dan informasi pribadi sebagai benda

dalam perjanjian pinjaman online berdasarkan aspek-aspek hukum perdata dikaitkan

ketentuan-ketentuan mengenai kebendaan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara

teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemikiran

bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, secara khusus terkait dengan
7

kedudukan data dan informasi pribadi yang dikualifikasikan sebagai benda, serta

dampak hukum terhadap data dan informasi pribadi yang dikualifikasikan sebagai

benda bagi perjanjian pinjaman online.

2. Manfaat Praktis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran hukum kepada masyarakat ketika ingin atau telah melakukan perjanjian

pinjaman online, khususnya dalam memberikan data dan informasi pribadi pada saat

melakukan pengisian data diri atau registrasi atas pinjaman online serta memberikan

analisis mengenai akibat-akibat hukum yang dapat terjadi terhadap data dan

informasi pribadi setelah didaftarkan kepada pinjaman online tersebut.

3. Manfaat bagi Penulis

Penulisan hukum juga ini memiliki manfaat guna memenuhi persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, serta

diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman mengenai

penelitian terhadap permasalahan hukum perdata, khususnya dalam hal-hal yang

terkait dengan data dan informasi pribadi sebagai benda dalam perjanjian pinjaman

online.

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berupa

metode yuridis normatif. Metode ini merupakan studi dokumen yang terdiri dari kajian

atas peraturan, serta norma dan asas yang ada di dalam aturan tersebut.8 Adapun bahan

pustaka yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas:

8
Yanti Fristikawati, Metode Penelitian Hukum, 2010, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta,
hlm.8.
8

1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan

yang mengikat pada masyarakat.9 Bahan-bahan yang digunakan dalam peraturan

perundang-undangan, seperti undang-undang, peraturan pemerintah.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang isinya memberikan

informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum serta

implementasinya.10 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku,

skripsi, dan artikel hukum terkait.

3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedia, atau situs internet.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

data secara kualitatif. Metode analisis data kualitatif adalah metode penelitian yang

menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian

yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dalam perilaku nyata. Analisis data

dilakukan secara kualitatif karena data yang dianalisa bukan merupakan angka, tetapi

berupa kata-kata dari berbagai bahan kepustakaan yang dipergunakan.11

Penelitian ini akan menggunakan alat pengumpulan data yang berupa studi dokumen

untuk mencari dan mendapatkan data-data sekunder serta untuk mempelajari

pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai hukum kebendaan untuk meninjau data dan

informasi pribadi sebagai benda yang dikaitkan dengan peristiwa perjanjian pinjaman

online.

9
Sri Mamudji, et. al., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Cet. I, hlm. 30.
10
Ibid., hlm.31
11
Rianto Adi, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, Jakarta : Granit, hlm. 57.
9

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini Penulis akan menguraikan mengenai latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II :TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI

PRIBADI, HUKUM BENDA, HUKUM PERJANJIAN, DAN

PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE

Pada bab ini, Penulis akan menguraikan dan memaparkan mengenai landasan

teori pada variabel-variabel penelitian ini yaitu data dan informasi pribadi

yang terdiri dari definisi data dan informasi pribadi, batasan-batasan

mengenai hak privasi, keamanan data dan informasi pribadi dalam teknologi,

dan lanskap hukum positif Indonesia yang mengatur data dan informasi

pribadi. Selain itu, Penulis akan menguraikan dan memaparkan mengenai

hukum benda yang terdiri dari definisi hukum benda, macam-macam benda,

perbedaan antara hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan, serta

mengenai jenis hak-hak kebendaan. Penulis juga akan menguraikan dan

memaparkan mengenai hukum perjanjian yang terdiri dari definisi perjanjian,

asas-asas dalam perjanjian, syarat sahnya perjanjian, hak dan kewajiban para

pihak dalam perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa (overmacht), dan

berakhirnya perjanjian. Terakhir, Penulis juga menguraikan mengenai

perjanjian pinjaman online yang terdiri dari definisi perjanjian pinjaman

online, perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi


10

informasi (LPMUBTI), regulasi-regulasi yang terkait, serta pihak-pihak yang

terlibat dan hubungan hukumnya. Tinjauan teoritis dalam bab ini diperoleh

dari sumber-sumber buku, jurnal-jurnal hukum, artikel website maupun

sumber internet, serta literatur lainnya.

BAB III :TINJAUAN YURIDIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI

PRIBADI SEBAGAI BENDA DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM

PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE

Pada bab ini, Penulis akan melakukan pembahasan dan analisis, serta

pendapat mengenai data dan informasi pribadi sebagai benda dan akibat

hukumnya dalam perjanjian pinjaman online. Dalam bab ini akan membahas

lebih lanjut secara lebih jelas dan rinci sebagaimana yang diuraikan dalam

rumusan masalah mengenai kedudukan data dan informasi pribadi yang di

dalamnya terdiri dari hak-hak privasi yang dilindungi bagi pemiliknya

dikaitkan dengan definisi dari benda, macam-macam benda, serta ciri-ciri

dan karakteristik hak kebendaan dengan berlandaskan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPer) serta hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Selanjutnya, Penulis juga akan membahas lebih lanjut serta lebih jelas dan

rinci sebagaimana yang diuraikan dalam rumusan masalah mengenai dampak

yang terjadi atas kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda

terhadap perjanjian pinjaman online dengan melihat ketentuan-ketentuan

mengenai perjanjian secara umum dan perjanjian pinjaman online atau

dikenal sebagai Perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi (LPMUBTI).


11

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini, Penulis akan membahas kesimpulan dan saran dari pembahasan

permasalahan hukum yang telah diulas dan dan dipaparkan pada bab

sebelumnya sehingga dapat bermanfaat bagi Penulis dan masyarakat luas.


12

BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI PRIBADI, HUKUM
BENDA, HUKUM PERJANJIAN, DAN PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE

A. Tinjauan Umum Mengenai Data dan Informasi Pribadi

A. 1. Pengertian Data dan Informasi Pribadi

Pada dasarnya, data dan informasi pribadi atau dikenal sebagai data pribadi

merupakan data yang memuat mengenai informasi-informasi seseorang yang

bersifat pribadi dan dijaga kerahasiaannya. Data pribadi ini digunakan oleh

seseorang sebagai identitas digital untuk melakukan akses terhadap internet atau

dunia digital. Dalam mendefinisikan data dan informasi pribadi, terdapat beberapa

pandangan maupun regulasi yang dalam pengertiannya pada pokoknya memiliki

kesepahaman bagaimana bentuk dari data dan informasi pribadi tersebut.

Data pribadi adalah data yang berkenaan dengan ciri seseorang, nama, umur,

jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan kedudukan dalam keluarga. 12

Selain itu, pengertian lain dari “data pribadi” adalah data yang berupa identitas,

kode, simbol, huruf atau angka penanda personal seseorang yang bersifat pribadi

dan rahasia.13

Bila mengacu pada Pasal 4 (1) EU GDPR sebagai tonggak hukum

perlindungan data pribadi dalam lingkup Internasional, definisi data pribadi yaitu

12
Mahira, DF, Emilda Y Lisa NA, “Consumer Protection System (CPS): Siste, Perlindungan Data Pribadi
Konsumen Melalui Collaboration Concept”, Legislatif, Vol.3 No.2, 2020, hlm. 287-302
13
Sautunnida, L, ”Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Di Indonesia; Studi perbandingan
Hukum Inggris dan Malaysia”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20 No.2, 2018, hlm. 369-384
13

“Setiap informasi terkait seseorang (‘subjek data’) yang dapat mengenali

atau dapat dikenali; mengenali secara langsung atau tidak langsung seseorang

tersebut, terutama dengan merujuk pada sebuah tanda pengenal seperti nama,

nomor identitas, data lokasi, data pengenal daring atau pada satu faktor atau

lebih tentang identitas fisik, psikologis, genetik, mental, ekonomi, atau sosial

orang tersebut”.14

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara

Sistem dan Transaksi Elektronik tepatnya pada Pasal 1 angka 27, data pribadi

didefinisikan sebagai data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan

dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.15

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diambil garis besar bahwa data

pribadi adalah data yang berisi informasi mengenai seseorang berupa identitas,

nomor pengenal/identitas, dan sejenisnya atau bisa dalam bentuk hal-hal yang

bersifat personal berupa identitas fisik, psikologis, atau hal-hal lainnya yang

disimpan, dirawat, dan dijaga kerahasiaannya.

Data pribadi pada umumnya terbagi atas dua kategori yaitu: Data Pribadi

Bersifat Umum seperti Nama, Alamat, Alamat email, Data lokasi, IP Address, web

cookie; dan Data Pribadi Spesifik seperti ras, etnis, agama, pandangan politik,

orientasi seksual, genetik, biometrik, kondisi mental dan kejiwaan, catatan

kriminal.16

A. 2. Batasan-Batasan mengenai Hak Privasi

Menurut Alan Westin, “Privacy is the claim of individuals, groups, or

institutions to determine for themselves when, how, and to what extent information

about them is communicated to others” (privasi adalah klaim individu, kelompok,


14
Pasal 4 (1) Eropean Eunion - General Data Protection Regulation (EU GDPR)
15
Pasal 1 angka 27 PP No 82 Tahun 2012 Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik
16
Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana, loc.cit.
14

atau institusi untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan sejauh mana

informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain). 17 Selain itu, Westin

juga mengemukakan bahwa kebutuhan mengenai privasi mungkin sama tuanya

dengan umat manusia itu sendiri.18

Dalam perkembangan mengenai hak privasi, tercatat bahwa hak privasi

sebagai hak hukum pertama kalinya dituliskan dalam Harvard Law Review Vol. IV

No. 5, 15 Desember 1890 dengan judul “The Right to Privacy” yang ditulis oleh

Warren dan Brandels. Menurut Waren dan Brandels, “Privacy is the rught to enjoy

life and the right to be left alone and this development of the law was inevitable

and demanded of legal recognition” atau disederhanakan bahwa privasi merupakan

“the right to be left alone” dalam bahasa Indonesianya dapat diterjemahkan yaitu

“hak untuk dibiarkan menyendiri”.19

Melalui perkembangan tersebut timbul pandangan-pandangan mengenai hak

privasi yang semakin diangkat khususnya ketika berbicara mengenai perlindungan

bagi yang disebut sebagai “ruang pribadi” ini. Menurut Schermer, setidaknya

terdapat tujuh dimensi mengenai hak privasi yang dimasukan sebagai wacana

hukum, yaitu:20

1. Tubuh

2. Pikiran

3. Rumah

17
Yuniarti, S, “Perlindungan Hukum Data Pribadi Di Indonesia”, Jurnal Becoss, Vol. 1 No.1, 2019, hlm. 147-
154
18
The Max Schrems Litigation: A Personal Account Mohini Mann dalam Elaine Fahey Editor
Institutionalisation beyond the Nation State Transatlantic Relations: Data, Privacy and Trade Law Studies in
European Economic Law and Regulation, Volume 10, hlm. 76
19
Rosadi, SD, 2015, “Cyber Law Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional dan Nasional”,
Refika Aditama, Jakarta, hlm. 23
20
Ananthia Ayu D., Titis Anindyajati, Abdul Ghoffar, Hasil Penelitian : “Perlindungan Hak Privasi atas Data
Diri di Era Ekonomi Digital” (Jakarta : Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2019),
hlm. 22-24.
15

4. Perilaku intim

5. Korespondensi

6. Kehidupan keluarga

7. Personal data (data pribadi)

Berdasarkan kategori tersebut, seringkali kategori-kategori ini dibagi dalam

tiga “ruang pribadi” yang dikenal sebagai privasi jasmani, privasi relasional, dan

privasi informasi. Privasi jasmani terdiri dari: 1. Tubuh, 2. Pikiran, dan 3. Perilaku

intim. Privasi relasional terdiri dari: 3. Perilaku intim, 4. Rumah, 5. Korespondensi,

dan 6. Kehidupan keluarga. Mengenai privasi informasi terdiri dari: 5.

Korespondensi dan 7. Personal data (data pribadi).21

Terdapat beberapa alasan bahwa hak privasi harus dilindungi yang diantaranya

yaitu, Pertama, dalam membina hubungan dengan orang lain, seseorang harus

menutupi sebagian kehidupan pribadinya sehingga dia dapat mempertahankan

posisinya pada tingkat tertentu. Kedua, seseorang di dalam kehidupannya

memerlukan waktu untuk dapat menyendiri sehingga privasi sangat diperlukan

oleh seseorang. Ketiga, privasi adalah hak yang berdiri sendiri dan tidak

bergantung kepada hak lain akan tetapi hak ini akan hilang apabila orang tersebut

mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada umum. Keempat, privasi

juga termasuk hak seseorang untuk melakukan hubungan domestik termasuk

bagaimana seseorang membina perkawinan, membina keluarganya dan orang lain

tidak boleh mengetahui hubungan pribadi tersebut sehingga kemudian Warren

menyebutnya sebagai “the right against the word”. Kelima, alasan lain mengapa

privasi patut mendapat perlindungan hukum karena kerugian yang diderita sulit

untuk dinilai. Kerugiannya dirasakan jauh lebih besar dibandingkan dengan

21
Ibid.
16

kerugian fisik, karena telah menganggu kehidupan pribadinya, sehingga bila ada

kerugian yang diderita maka pihak korban wajib mendapatkan kompensasi.22

Selanjutnya, hak privasi juga merujuk pada International Covenant on Civil

and Political Rights (ICCPR) Pasal 17 yang berbunyi:23

“(1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his

privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful interference with his

privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks upon his

honour and reputation;

(2) Everyone has the right to protection of the law against such interference or

attack”

Meskipun demikian, hak privasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 17

Konvenan Hak Sipil dan Politik masih bersifat luas dan dirancang jauh sebelum era

internet, sehingga dalam perkembangannya terakhir, di tahun 2016, Dewan Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi perubahan hak atas privasi di era digital,

secara eksplisit dan secara langsung mengkonstruksikan pengintaian masal dan

diskriminasi sebagai praktik pelanggaran Pasal 17 Kovenan Hak Sipil Politik dan

Pasal 12 Piagam Hak Asasi Manusia.

Pada Pasal 12 UDHR (Universal Declaration of Human Rights), perlindungan

mengenai hak privasi diatur sebagai berikut:24

“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family,

home or correspondence, nor to attacks upon his honor and reputation.

22
Dewi, S, “Prinsip – Prinsip Perlindungan Data Pribadi Nasabah Kartu Kredit Menurut Ketentuan Nasional
dan Implementasinya”, Sosiohumaniora, Vol.19 No. 3, 2017, hlm. 206 - 212
23
Pasal 17 ICCPR
24
Pasal 12 UDHR
17

Everyone has the right to the protection of the law against such interference

or attacks.”

Komisi Hak Asasi Manusia mendefinisikan secara luas “interference” atau

“gangguan” pada konteks Pasal 17 Kovenan Hak Sipil Politik, akan tetapi akan

lebih relevan dan kontekstual apabila dikaitkan dengan kasus, contohnya Toonen

vs Australia.25 Dalam kasus tersebut, Pengadilan HAM Eropa melakukan analisa

bahwa Konvensi Eropa Hak Asasi manusia Pasal 8 menganalogikan dengan Pasal

17 Kovenan Hak Sipil Politik telah secara eksplisit menyatakan bahwa pengawasan

elektronik telah melanggar hak atas privasi. Dengan demikian, interpretasi terhadap

Pasal 17 Kovenan Hak Sipil Politik mengenai gangguan atau campur tangan dalam

privasi ketika negara melakukan pengintaian elektronik kepada warga negaranya.

Di Indonesia, hak privasi juga menjadi hal yang penting untuk diatur dalam

hukum positif. Tepatnya pada Pasal 28 huruf G ayat (1) Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa

aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Selain itu, diatur pula dalam perspektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu:

a. Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Salah satu hak mengembangkan

diri adalah hak untuk mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah dan

25
Ananthia Ayu D., Titis Anindyajati, Abdul Ghoffar, op.cit, hlm. 32-33.
18

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang

tersedia.”

b. Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.”

c. Pasal 32 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan dan rahasia dalam

hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana

elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan

lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Batasan mengenai hak privasi (privacy rights) dalam konteks data pribadi juga

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik mengandung pengertian:26

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas

dari segala macam gangguan.

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain

tanpa tindakan memata-matai.

c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang

kehidupan pribadi dan data seseorang.

A. 3. Keamanan Data dan Informasi Pribadi dalam Teknologi

Kemanan data pribadi yang dilakukan oleh penyedia sistem elektronik

setidaknya secara eksplisit diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun

2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan

26
Pasal 26 ayat (1) UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
19

Kementerian Komunikasi dan Informasi Nomor 4 Tahun 2016 yang dirumuskan

sebagai berikut:27

a. melakukan pengujian keautentikan identitas dan memeriksa otorisasi Pengguna

Sistem Elektronik yang melakukan Transaksi Elektronik;

b. memiliki dan melaksanakan kebijakan dan prosedur untuk mengambil tindakan

jika terdapat indikasi terjadi pencurian data;

c. memastikan pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses terhadap sistem,

database, dan aplikasi Transaksi Elektronik;

d. menyusun dan melaksanakan metode dan prosedur untuk melindungi dan/atau

merahasiakan integritas data, catatan, dan informasi terkait Transaksi

Elektronik;

e. memiliki dan melaksanakan standar dan pengendalian atas penggunaan dan

perlindungan data jika pihak penyedia jasa memiliki akses terhadap data

tersebut;

f. memiliki rencana keberlangsungan bisnis termasuk rencana kontingensi yang

efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa Transaksi Elektronik

secara berkesinambungan; dan

g. memiliki prosedur penanganan kejadian tak terduga yang cepat dan tepat untuk

mengurangi dampak suatu insiden, penipuan, dan kegagalan Sistem Elektronik.

Selain itu, terdapat pula hal-hal yang merupakan kewajiban lainnya yang tidak

diatur secara eksplisit dalam PP No 82/2012 dan Permenkominfo No 4/2016,

antara lain:28

27
Ibid, hlm 90-92.
28
Ibid
20

i. Memastikan perjanjian tentang tingkat layanan minimum dan keamanan

informasi terhadap layanan teknologi informasi yang digunakan serta

keamanan dan fasilitas keamanan komunikasi internal yang diterapkannya

ii. Melindungi dan memastikan privasi dan perlindungan data pribadi pengguna

iii. Memastikan penggunaan yang sah dan pengungkapan data pribadi

iv. Menyediakan pusat data dan pusat pemulihan bencana (untuk Penyedia Sistem

Elektronik untuk layanan publik)

v. Memberikan catatan audit tentang semua Penyediaan kegiatan Sistem

Elektronik. Memberikan informasi dalam Sistem Elektronik berdasarkan

permintaan yang sah dari penyidik untuk kejahatan tertentu

vi. Memberikan opsi kepada Pemilik Data Pribadi mengenai Data Pribadi yang

diproses sehingga [Data Pribadi] dapat atau tidak dapat digunakan atau

ditampilkan oleh pihak ketiga berdasarkan Persetujuan selama itu terkait

dengan tujuan untuk memperoleh dan mengumpulkan Data Pribadi

vii. Memberikan akses atau peluang kepada Pemilik Data Pribadi untuk mengubah

atau memperbarui Data Pribadi mereka tanpa mengganggu manajemen sistem

Data Pribadi, kecuali jika sebaliknya diatur oleh undang-undang dan peraturan.

viii. Menghapus Data Pribadi jika:

1. telah mencapai periode maksimum menyimpan Data Pribadi (paling

singkat lima tahun atau berdasarkan peraturan yang berlaku / peraturan

sektoral tertentu); atau

2. atas permintaan dari Pemilik Data Pribadi, kecuali jika sebaliknya diatur

oleh hukum dan peraturan, dan

3. Memberikan orang yang mudah dihubungi oleh Pemilik Data Pribadi

sehubungan dengan Data Pribadi mereka.


21

A. 4. Lanskap Hukum Positif Indonesia untuk Mengatur Data dan Informasi

Pribadi

Selain pembahasan data pribadi dalam perspektif batasan-batasan hak privasi,

yang menonjolkan aspek hak asasi manusia dan perlindungan berdasarkan hukum

informasi dan transaksi elektronik, juga terdapat peraturan perundang-undangan

yang mengangkat mengenai data dan informasi pribadi baik dalam perlindungan,

pengumpulan, pemrosesan, penggunaan, serta pembukaan data pribadi. Peraturan-

peraturan tersebut dibagi dalam beberapa sektor yaitu:29

i. Telekomunikasi dan Informatika

Dalam sektor ini pada awal mulanya mengatur mengenai rahasia

informasi dan komunikasi pribadi, yang tertuang dalam larangan terhadap

penyadapan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang

Telekomunikasi. Dalam peraturan ini, operator telekomunikasi diberikan

wewenang untuk melakukan perekaman telekomunikasi. Selanjutnya diperluas

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Traksaksi Elektronik yang mana kerahasiaan data pribadi haruslah dijaga

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 26 ayat (1) UU No 11/2008 dimana

setiap pemindatanganan data pribadi seseorang harus melalui izin dari pemilik

data dan upaya perlindungan hukumnya terdapat pada Pasal 26 ayat (2) UU

No 11/2008 dengan melakukan gugatan ganti kerugian ke pengadilan.

Melalui adanya pengaruh pasca putusan Mario Costeja di Court Justice of

Europe (CJEU) pada tahun 2014 dan peristiwa keberatannya pengguna

facebook atas data pribadi yang tetap disimpan, maka lahirlah klausula yang

29
Wahyudi Djafar, “Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi dan Kebutuhan
Pembaruan”, Makalah disampaikan sebagai materi dalam kuliah umum, Tantangan Hukum dalam Era Analisis
Big Data, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Agustus 2019,
hlm. 7-11.
22

disebut “right to be forgotten” atau hak untuk dilupakan. Hal ini juga

berpengaruh terhadap UU ITE sehingga dilakukan perubahan pada Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya

terkait Pasal 26 ayat (3) UU 19/2016 bahwa

“Penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus menghapus

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang

berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan

berdasarkan penetapan pengadilan”

Dalam penegakkannya, ketentuan dalam penyelenggaraan sistem

eletronik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta juga dalam Peraturan

Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 20 Tahun

2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik

sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan

Informatika (Permenkominfo) Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 Tahun

2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.

Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No 14/2008

menegaskan kepada badan publik untuk tidak memberikan informasi publik

yang berhubungan dengan hak-hak pribadi. Pada Pasal 17 huruf g dan h UU

No 14/2008 juga memberikan penjelasan mengenai akta otentik yang bersifat

pribadi dan kemauan terakhir atau wasiat seseorang serta informasi yang

berkaitan dengan rahasia pribadi dinyatakan sebagai informasi yang


23

dikecualikan. Adapun informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi

adalah berkaitan dengan riwayat dan kondisi anggota keluarga, pengobatan

kesehatan fisik dan psikis seseorang, kondisi keuangan, pendapatan dan

rekening bank seseorang, serta riwayat pendidikan formal dan satuan

pendidikan non‐formal.

ii. Kependudukan dan Kearsipan

Dalam hal kependudukan, perlindungan mengenai data pribadi diatur

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan serta mengenal kewajiban untuk menjaga informasi dan

kerahasiaan data tersebut. Hal tersebut juga telah dirinci sebagaimana yang

tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2011 tentang Kartu Tanda

Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional.

Kemudian dengan diubahnya UU No 23/2006 menjadi Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, inisiasi pengakuan atas data

pribadi sebagai data perseorangan yang harus disimpan, dirawat, dan dijaga

kebenaran serta dilindungi kerahasiannya kembali menjadi hal yang penting

untuk diimplementasikan. Hal ini juga dituangkan dalam Pasal 79 jo Pasal 85

UU No 23/2014 yang mana negara mememiliki kewajiban untuk menyimpan

dan memberikan perlindunganatas data pribadi penduduk dengan menunjuk

menteri sebagai penanggung jawab hak akses data pribadi warga.

Dalam hal kearsipan dan kegiatan administrasi negara, tentu tidak jarang

bersentuhan dengan data dan informasi pribadi seseorang seperti sebagaimana

yang tercanum dalam Pasal 5 UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan

yaitu data kependudukan, data tenaga pengajar, maupun pelajar dalam


24

perguruan tinggi. Namun demikian, Pasal 3 huruf f UU No. 43/2009

menyatakan bahwa salah satu tujuan kearsipan yaitu untuk menjamin

keselamatan dan keamanan arsip sebagai bukti pertanggung‐jawaban dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu dalam UU No

43/2009 juga telah menyatakan yang dikenal sebagai masa retensi yang

rentang waktunya mulai 10 sampai 25 tahun.

iii. Keuangan, Perbankan, dan Perpajakan

Ketentuan mengenai perlindungan data pribadi pada konteks Perbankan

diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

melalui prinsip-prinsip perbankan yang salah satunya adalah prinsip

kerahasiaan (confidential principle) dengan kpengertian bahwa bank memiliki

kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan data

dan informasi mengenai nasabah, baik keadaan keuangannya maupun

informasi yang bersifat pribadi.30 Dalam implementasinya apa yang dimaksud

dengan rahasia bank diatur dalam Pasal 1 angka 28 UU No 10/1998, yaitu

segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah

penyimpan dan simpanannya. Selanjutnya dalam Pasal 40 ayat (1) UU No

10/1998 juga menyatakan

“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan

simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal

41A, Pasal 42, Pasal 44, dan Pasal 44A”

Seiring dengan waktu dan perkembangannya terjadi perubahan melalui

lembaga Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sehingga wewenang pengawasan

terhadap penyelenggara jasa keuangan yang awalnya dilakukan oleh Bank


30
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 30.
25

Sentral kini beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian,

timbul ketentuan-ketentuan mengenai data pribadi yang dikeluarkan oleh

Otoritas Jasa Keuangan seperti Peraturan OJK (POJK) Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yaitu

pada Pasal 2 huruf d yang menegaskan bahwa prinsip dasar perlindungan

konsuman yang harus OJK emban adalah berdasarkan pada prinsip

kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen. Selain itu juga terdapat

ketentuan-ketentuan lain mengenai pengawasan perlindungan konsumen

sektor jasa keuangan yang sepenuhnya berada pada kewenangan OJK.

Dalam hal mengenai data dan informasi pribadi yang harus dirahasiakan

juga diuraikan dalam Surat Edaran OJK Nomor 14/SEOJK.07/2014 tentang

Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen.

Selain itu bersamaan dengan perkembangan teknologi di bidang layanan

finansial tentu juga ikut dalam praktik pengumpulan data pribadi

konsumennya, OJK mengeluarkan peraturan yaitu POJK Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi (LPMUBTI) dan POJK Nomor 13/POJK.01/2018 tentang

Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.

Bila mengacu pada konteks perpajakan, juga diatur dengan keluarnya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, dan

Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk

Kepentingan Perpajakan (UU No 9/2017).

iv. Perdagangan dan Perindustrian


26

Selain dalam konteks perdagangan yang mengacu pada sistem elektronik

atau dilakukan secara online sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-

Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, tentu juga mengacu pada

peraturan-peraturan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan.

Meskipun demikian dalam hal perlindungan konsumen masih belum

dijelaskan mengenai perlindungan terhadap data pribadi dan masih mengacu

pada pemberian keterangan yang jelas dan terang kepada konsumen. Lalu pada

UU No 7/2014 dalam hal perdagangan juga masih belum memberikan

penjelasan terkait data dan informasi pribadi apa saja yang dilindungi. Namun,

Pada Pasal 65 UU No 7/2014 memberikan titik cerah yang mengaitkan bahwa

setiap perdangan yang sifatnya menggunakan sistem elektronik (e-commerce)

mengacu pada UU ITE. Oleh karena itu, masih diperlukan integrasi aturan

yang saling berkaitan sehingga tidak ada kekosongan hukum terutama dalam

perdangan yang menggunakan sistem elektronik dan perlindungan konsumen

terhadap UU ITE.

v. Layanan Kesehatan

Perlindungan data pribadi dalam layanan kesehatan tentu menjadi salah

satu aspek yang sangat penting dengan melihat bahwa rekam medis

merupakan data yang sensitif mengenai seseorang. Namun demikian,

pengaturan data pribadi telah dinilai lebih komperhensif dengan melihat

ketentuan pelayanan kesehatan seperti: Undang-Undang Nomor 29 Tahun


27

2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Selain itu juga

terkandung dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

yang menjamin perlindungan data pribadi terhadap pasien yang terdapat dalam

rehabilitasi.

Salah satunya ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No 36/2009 tentang

Kesehatan memberikan penegasan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan

tugasnya memiliki kewajiban untuk mematuhi standar profesi dan

menghormati hak pasien. Salah satu bentuk hak tersebut adalah hak atas

informasi kesehatan pribadinya. Hal ini sesuai sebagaimana yang ada pada

Pasal 57 ayat (1) UU Np 36/2009 yaitu setiap orang berhak atas rahasia

kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara

pelayanan kesehatan.

vi. Keamanan dan Penegakan Hukum

Pada konteks keamanan dan penegakan hukum, mayoritas ketentuannya

lebih mengarah kepada pengacualian terhadap aparat penegak hukum maupun

intelijen untuk melakukan akses terhadap komunikasi seseorang, membuka

data-data pribadi seseorang, termasuk melakukan profiling serta juga dapat

melakukan akses terhadap rekening seseorang atau badan tertentu.

Wewenang dan pengecualian tersebut diatur dalam beberapa ketentuan

peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011

tentang Intelijen Negara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang


28

Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

B. Tinjauan Mengenai Hukum Benda

B.1. Pengertian Hukum Benda

Pengertian mengenai Benda (zaak) dalam pemahaman undang-undang diatur

pada Pasal 499 Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu

tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Dengan

memperhatikan definisi tersebut, benda merupakan suatu objek yang menjadi

lawan daripada subjek dalam hukum yang diartikan sebagai orang dan badan

hukum.

Selanjutnya benda dalam hukum perdata barat juga mengartikan bahwa benda

terkualifikasi atas benda yang bertubuh (yang dapat ditangkap dengan panca

indera) dan benda yang tidak bertubuh (yang sifatnya merupakan hak-hak atas

kebendaan berwujud) atau yang dikenal sebagai benda yang berwujud dan benda

tak berwujud.31

Menurut Prof. Subekti, benda dapat diartikan dalam pengertian luas dan

sempit. Benda dalam pengertian luas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki

orang, sedangkan benda dalam pengertian sempit merupakan barang yang dapat

terlihat saja. Namun demikian, benda juga dapat diartikan sebagai kekayaan orang.

31
Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
29

Bila benda diartikan sebagai kekayaan seseorang, maka perkataan itu meliputi

juga barang-barang yang tidak terlihat yaitu: hak-hak, seperti yang ada dalam hak

piutang. Begitu pula bila diartikan sebagai penghasilan, yang dapat dipahami

dalam dua macam pengertian yaitu selain merupakan penghasilan sendiri dari suatu

benda, tetapi terdapat hak untuk mengungut penghasilan itu.32

Meskipun dalam pengertian zaak dalam KUHPer tidak hanya meliputi

mengenai benda yang berwujud saja, yaitu juga mengenai benda yang tidak

berwujud. Namun, sebagian terbesar dalam pasal-pasal Buku II KUHPer adalah

mengatur mengenai benda dalam arti benda yang berwujud.33

Sedangkan, hukum benda merupakan istilah yang berasal dari Belanda yaitu

“zaakrecht” yang dalam hukum perdata barat berarti keseluruhan aturan normatif

hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum antara sesama subjek

hukum yang berkenaan dengan benda hak-hak kebendaan.34 Selain daripada itu,

sebagian besar sarjana juga mengatakan mengenai kedudukan hukum benda

sebagai bagian dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht).

B.2. Macam-Macam Benda

Berdasarkan pengertian di atas, benda dikualifikasikan dalam beberapa macam

yang membedakan antar satu benda dengan benda lainnya sebagaimana diatur

dalam KUHPerdata, yaitu:35

A. Benda tidak bergerak dan benda bergerak


32
Prof. Subekti, S.H., 2010, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, Cet. XXXI, hlm. 60-61.
33
Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, S.H., Hukum Perdata Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1975, hlm
15.
34
Dominikus Rato, Hukum Benda dan Harta Kekayaan Adat, cetakan ke-I, Laksbang Yustitia, Surabaya, 2016,
hlm. 2.
35
H. Riduan Syahrani, S.H., 2010, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : PT. Alumni, Cet. I
Edisi Ke-IV, hlm. 108-114
30

Benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 506, 507, dan 508 KUHPer yang

terbagi atas 3 (tiga) golongan yaitu:

1. Benda yang menurut sifatnya tidak bergerak, yang kembali dibagi menjadi

3 macam, yaitu:

a. Tanah;

b. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berarkar

serta bercabang seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang masih

belum dipetik dan sebagainya;

c. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas

tanah yaitu karena tertanam dan terpaku.

2. Benda yang menurut tujuannya/ tujuan pemakaiannya supaya bersatu

dengan benda tidak bergerak sebagaimana diuraikan dalam poin 1

contohnya seperti pada pabrik yaitu segala mesin-mesin maupun alat-alat

yang dimaksudkan terus-menerus berada disitu untuk menjalankan pabrik.

3. Benda yang menurut penetapan undang-undnag sebagai benda tidak

bergerak, seperti:

a. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tidak bergerak;

b. Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas (dalam hukum

perniagaan).

Benda bergerak diatur dalam Pasal 509, 510, dan 511 KUHPer yang terbagi

dalam 2 (dua) golongan yaitu:

1. Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat

berpindah atau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Contohnya

seperti sepeda, kursi, meja, buku, pena, dan sebagainya.


31

2. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai bernda yang

bergerak yaitu segala hak atas benda-benda bergerak. Contohnya seperti

hak memetik hasil dan hak memakai, hak atas bunga yang harus dibayar

selama hidup seseorang, dan sebagainya.

B. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada

Sebagaimana yang telah dijelaskan mengenai benda sebagai objek hukum

yang berguna dan bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat dikuasai oleh

subjek hukum, benda yang musnah berkaitan dengan dengan benda-benda

yang dalam pemakaiannya akan musnah, serta kegunaan dan manfaatnya dapat

dirasakan pada kemusnahannya. Contohnya seperti makanan dan minuman,

serta kayu bakar dan arang.

Benda yang tetap ada yaitu merupakan kebalikan dari benda-benda yang

musnah dimana benda yang tetap ada dalam pemakaiannya tidak

mengakibatkan benda tersebut menjadi musnah serta letak manfaatnya

terdapat selama pemakaian benda tersebut. Contohnya seperti sepeda motor,

mobil, handphone, dan sebagainya.

C. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti

Perbedaan antara benda yang dapat diganti dan yang tidak dapat diganti

pada dasarnya tidak dijelaskan secara tegas dalam KUHPer namun memiliki

pengaruh khususnya dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang.

Berdasarkan Pasal 1694 KUHPer pengembalian benda oleh yang dititipi

harus in natura yang artinya tidak boleh diganti dengan benda lain. Contohnya

bila benda tersebut merupakan uang sehingga jumlah uang yang dititipkan

harus dalam mata uang yang sama seperti yang dititipkan. Hal ini berbeda

dengan uang yang tidak dititipkan, melainkan dipinjam-menggantikan


32

sehingga kewajiban yang dikembalikan hanya berupa uangnya saja meskipun

dengan mata uang yang berbeda.

D. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi

Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi

tidak mengakibatkan hilangnya hakikat daripada benda itu sendiri. Misalnya

beras, gula pasir, dan lain-lain.

Benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya

dibagi mengakibatkan hilangnya atau lenyapnya hakikat daripada benda itu

sendiri. Misalnya kuda, sapi, uang, dan lain sebagainya.

E. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak dapat diperdagangkan

Benda yang diperdagangkan adalah benda yang dapat dijadikan sebagai

objek dari suatu perjanjian. Dengan demikian, kualifikasi benda yang dapat

diperdagangkan merupakan setiap benda yang dapat dijadikan objek perjanjian

pada lapangan harta kekayaan termasuk benda yang diperdagangkan.

Benda yang tidak diperdagangkan adalah benda yang tidak dapat

dijadikan sebagai objek dari suatu perjanjian pada lapangan harta kekayaan

seperti benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum.

F. Benda yang terdaftar dan benda yang tidak terdaftar

Benda yang terdaftar dan benda yang tidak terdaftar pada dasarnya tidak

diatur dalam KUHPer. Pembagian benda ini ada terhadap setiap benda-benda

yang harus didaftarkan sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang

terpisah-pisah seperti tanah, kapal, kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.

Tujuan dari pembagian atas benda terdaftar dan benda tidak terdaftar

adalah memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas setiap benda yang

didaftarkan tersebut. Selain itu, pada prakteknya benda-benda tersebut


33

berhubungan dengan kebijakan dan peraturan dari pemerintah sehingga

memberikan kejelasan mengenai hak dan kewajibannya pula.

B.3. Perbedaan antara Hak-Hak Kebendaan dan Hak-Hak Perseorangan

Pada kajian mengenai hukum benda tentu terdapat perbedaan yang cukup

kental dengan hukum perikatan sehingga dapat membedakan pihak yang terlibat

dan hubungan hukum apa yang terkandung di dalamnya. Hal ini menjadi penting

karena berhubungan dengan hak-hak yang terdapat dalam hak kebendaan dan hak

perseorangan pada hukum perikatan.

Hukum benda sebagaimana yang ada pada Buku II KUHPer Pasal 499 sampai

dengan Pasal 1232 merupakan hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum

antara orang dan benda. Sedangkan hukum perikatan yang ada pada Buku III

KUHPer Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 merupakan hukum yang mengatur

hubungan hukum antara orang dengan orang lainnya.36

Selain daripada itu, perbedaannya terletak pada hak kebendaan memiliki sifat

mutlak (absolut) yang memiliki makna bahwa hak seseorang atas benda itu dapat

dipertahankan (berlaku) terhadap siapapun juga, dan setiap orang siapapun juga

harus menghormatinya. Jadi, setiap orang tidak boleh mengganggu atau merintangi

penggunaan dan penguasaan hak itu. Karena itu, pada zakelijk recht ini tetap ada

hubungan yang langsung antara orang yang berhak dengan benda, bagaimanapun

juga ada campur tangan pihak lain.37

Hubungan hukum sebagaimana yang terdapat pada hak perseorangan

(persoonlijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang

(yang berhak) untuk menuntut seseorang tertentu yang lain agar berbuat sesuatu

atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, hak perseorangan ini memiliki sifat

36
Ibid, hlm. 114.
37
Ibid, hlm. 115.
34

relatif (nisbi) yang berarti bahwa hak perseorangan ini hanya berlaku terhadap

seseorang tertentu saja yang mempunyai hubungan hukum. Jadi, hak perseorangan

ini senantiasa ada hubungan antara seseorang dengan seseorang lain tertentu,

meskipun ada terlihat suatu benda dalam hubungan hukum itu.38

Dalam hal mengenai jumlah hak kebendaan terbatas pada apa yang hanya

ditentukan oleh undang-undang. Sebaliknya, hak perseorangan memiliki jumlah

hak yang tidak terbatas berdasarkan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Hal

ini terjadi karena hak perseorangan timbul dari perjanjian yang dapat dilakukan

oleh perseorangan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, serta ketertiban umum. Oleh karena itu, Buku II KUHPer mengatur

hak-hak kebendaan menggunakan sistem tertutup, sedangkan Buku III KUHPer

mengatur hak-hak perseorangan menggunakan sistem terbuka.

B.4. Hak-Hak Kebendaan

Menurut Prof. Subekti, suatu hak kebendaan (zakelijk recht) adalah suatu hak

yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan

terhadap tiap orang.39 Adapun menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hak

kebendaan (zakelijkrecht) ialah hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu

memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan

terhadap siapapun juga.40 Dengan demikian, hak kebendaan dapat dimaknai

sebagai hak yang secara langsung ada terhadap suatu benda yang dipertahankan

setiap orang dan melekat.

38
Ibid
39
Prof. Subekti, S.H., op.cit, hlm. 62.
40
Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, S.H., op.cit, hlm. 24.
35

Hak-hak kebendaan yang terdapat dalam Buku II KUHPer dikategorikan

dalam 2 (dua) macam, namun tetap perlu mengingat adanya perubahan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru pasca kemerdekaan, yaitu:41

1. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht). Hak

ini meliputi:

a. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri,

misalnya hak eigendom, hak bezit.

b. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain,

misalnya hak opstal, hak erfpact, hak mengungut hasil, hak pakai, dan hak

mendiami.

2. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht),

seperti: hak gadai, hipotek. Di samping itu, ada pula hak-hak yang diatur

dalam Buku II KUHPer, tetapi bukan merupakan hak kebendaan yaitu

privilege dan hak retensi. Namun hak-hak ini tetap dapat digolongkan dalam

hak kebendaan. Selanjutnya di luar dari KUHPer, terdapat hak kebendaan

yang bersifat memberi jaminan yaitu hak tanggungan sebagaimana yang diatur

dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang objeknya

adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Selain itu, jaminan

fidusia sebagaimana yang diatur dalam UU No 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak baik benda berwujud

maupun benda tidak berwujud, dan benda tidak bergerak khususnya bangunan

yang tidak dapat dibebankan hak tanggungan.

41
P.N.H. Simanjuntak, 2016, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta : Prenadamedia Group, Cet. II, hlm 184.
36

C. Tinjauan Mengenai Perjanjian

C.1. Pengertian Perjanjian

Pada dasarnya, definisi mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPer

yaitu “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.” Selanjutnya beberapa ahli juga

mendefinisikan mengenai perjanjian diantaranya:42

1. Prof. Subekti S.H., perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji

kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.

2. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., perjanjian adalah suatu perhubungan

hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak

berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak

melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji

itu.

3. R. Setiawan, S.H., persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih.

4. Abdulkadir Muhammad, S.H., perjajnian adalah suatu persetujuan dengan

mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu

hal dalam lapangan harta kekayaan.

C.2. Asas-Asas dalam Perjanjian

Menurut P.N.H. Simanjuntak, S.H., dalam hukum perjanjian terdapat asas-asas

penting yang perlu untuk diketahui, yaitu:43

1. Sistem terbuka (open system)

42
Ibid, hlm. 285-286.
43
Ibid, hlm 286-287.
37

Asas sistem terbuka memiliki arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian

bebas dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini juga disebut sebagai

asas kebebasan berkontrak, dimana semua perjanjian yang dibuat secara sah

dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal

1338 ayat (1) KUHPer). Meskipun bebas, namun terdapat batasan yaitu tidak

boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang.

2. Bersifat pelengkap (optional)

Hukum perjanjian yang memiliki sifat pelengkap memiliki arti yaitu pasal-

pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang

membuat perjanjian mengehendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri

yang menyimpang dari pasal-pasal undang-undang. Tetapi apabila dalam

perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan, maka berlakulah ketentuan

undang-undang.

3. Berdasarkan konsensualisme

Asas ini memiliki arti bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya

kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat sahnya

suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer.

Pengecualian asas ini adalah:

a. Dalam perjanjian formil

Di samping kata sepakat, masih perlu formalitas tertentu. Contohnya

perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUHPer).

b. Dalam perjanjian riil

Di samping kata sepakat, harus ada tindakan nyata. Contohnya perjanjian

penitipan barang (Pasal 1694 KUHPer) dan perjanjian hak gadai (Pasal

1152 KUHPer).
38

4. Berdasarkan kepribadian

Asas ini mempnyai arti bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang

membuatnya. Beberapa ketentuan dalam KUHPer seperti dalam Pasal 1315

KUHPer, Pasal 1340 KUHPer, atau Pasal 1317 KUHPer yang pada intinya

menjelaskan bahwa siapa yang memperjanjikan harus mempertanggung-

jawabkannya meskipun ada pihak ketiga.

C.3. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam melakukan perjanjian, terdapat hal-hal yang harus dipenuhi sebagai

syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPer, antara lain yaitu:44

1. Sepakat terhadap mereka yang mengingatkan dirinya;

Dalam syarat ini, sepakat dapat dimaknai bahwa para pihak yang telah

membuat suatu perjanjian telah sepakat atau terdapat persesuaian kemauan

atau juga saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan tanpa

adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

Cakap (bekwaam) yaitu syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan

melawan hukum secara sah yaitu harus dinyatakan dewasa, sehat akal pikiran

dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan

sesuatu perbuatan tertentu.

Cakap juga dimaknai bahwa orang tersebut tidak di bawah pengampuan

sebagaimana yang diatur pada Pasal 433 KUHPer yaitu berada pada keadaan

dungu, gila ataupun mata gelap, sekalipun ia kadang-kadang cakap

44
H. Riduan Syahrani, S.H., op.cit, hlm. 205-213.
39

menggunakan pikirannya. Selain itu perilaku boros juga dapat dikategorikan

sebagai pengampuan.

3. Suatu hal tertentu;

Suatu hal tertentu berbicara mengenai barang yang menjadi objek dalam suatu

perjanjian. Hal ini didasarkan pada Pasal 1333 KUHPer dimana barang yang

menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus

ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja

kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.

Selanjutnya, diatur pula dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPer bahwa barang-

barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu

perjanjian.

Namun demikian, menurut Pasal 1334 ayat (2) KUHPer dinyatakan bahwa

barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain akan

meninggal dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian, kendatipun hal itu

dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan

barang-barang warisan itu. Hal ini disebabkan terkait dengan kesusilaan

mengenai barang yang akan diwarisi menjadi objek dalam perjanjian.

Kemudian, dalam Pasal 1332 KUHPer ditentukan bahwa barang-barang yang

dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat

diperdagangkan. Umumnya terhadap barang-barang yang digunakan demi

kepentingan umum tidak dapat menjadi objek dalam perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal pada dasarnya mengikatkan pada syarat “sebab” dan

“halal” yang dapat dimaknai sebagaimana terdapat pada Pasal 1355 KUHPer
40

bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab

yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Kemudian yang perlu diperhatikan adalah apa yang ada pada Pasal 1336

KUHPer, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab

yang halal, ataupun jika sebab yang lain daripada yang dinyatakan,

persetujuannya namun demikian adalah sah.

Akhirnya, mengenai “halal” dalam pemaknaan Pasal 1337 KUHPer

menentukan bahwa sesuatu sebab yang ada dalam perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pada syarat pertama dan kedua dinamakan sebagai syarat-syarat subjektif

karena berhubungan dengan subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat

ketiga dan keempat dinamakan sebagai syarat-syarat objektif karena berhubungan

mengenai objek perjanjian.

Pada syarat-syarat tersebut di atas tidak terpenuhi, pada syarat subjektif maka

memiliki akibat terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan tersebut

dapat dibatalkan juga melalui Hakim oleh permintaan pihak yang tidak

memberikan kesepakatan secara bebas atau pihak yang tidak cakap. Pembatalan

tersebut dibatasi selama 5 tahun (Pasal 1454 KUHPer). Dalam hal perjanjian

tersebut tidak dibatalkan maka perjanjian tersebut tetaplah mengikat. Sedangkan

terhadap syarat objektif yang tidak terpenuhi, maka akibat terhadap perjanjian

tersebut adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula tidak pernah dilahirkan

perjanjian dan tidak ada perikatan, sehingga dampaknya tidak ada dasar untuk

saling menuntut di muka pengadilan.


41

C.4. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian

Berdasarkan pengertian-pengertian yang diungkapkan mengenai perjanjian,

dalam sebuah perikatan tentu terdapat apa yang disebut dengan hak dan kewajiban.

Selain itu, hak dan kewajiban juga merupakan akibat dari terjadinya hubungan

hukum yang terdapat dalam perjanjian. Dengan demikian, pada perjanjian terjadi

timbal-balik antara hak dan kewajiban dan diantara para pihak tersebut.

Dahulu untuk menentukan apakah suatu hubungan hukum merupakan

perikatan dalam pengertian hukum atau tidak, menggunakan ukuran dapat tidaknya

dinilai dengan uang. Akan tetapi ukuran tersebut semakin lama tidak dapat

dipertahankan lagi karena sering terjadi hubungan hukum tidak dapat dinilai

dengan uang sehingga berkembang ukurannya menjadi rasa keadilan masyarakat.

Dengan demikian, terhadap pemenuhannya dapat dipaksakan.45

Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam sebuah

perikatan terjadi di antara dua pihak. Pihak yang berhak atas prestasi (pihak aktif)

adalah kreditu atau orang yang berpiutang. Sedangkan pihak yang berkewajiban

memenuhi prestasi (pihak pasif) adalah debitur atau orang yang berutang. Kreditur

dan debitur dalam perikatan ini disebut sebagai subjek perikatan.

Tentu selain terdapat subjek perikatan, maka ada objek perikatan yang

dinamakan prestasi. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPer prestasi dapat berupa

memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Dalam hal “sesuatu”

dalam pasal ini bergantung kepada maksud atau tujuan daripada para pihak yang

mengadakan hubungan hukum, apa yang akan diberikan, yang harus diperbuat, dan

tidak boleh diperbuat. Selain itu, “sesuatu” tersebut juga bisa dalam bentuk materiil

(berwujud) dan bisa berbentuk imateriil (tidak berwujud).46

45
Ibid, hlm. 196-197.
46
Ibid, hlm. 197-198.
42

C.5. Wanprestasi

Bila prestasi adalah suatu yang sifatnya wajib dan harus dipenuhi oleh debitur

dalam perikatan maka wanprestasi dimaknai bahwa debitur tidak memenuhi

prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Hal tersebut terjadi

karena prestasi merupakan isi daripada perikatan. 47 Wanprestasi juga disebut

dengan kelalaian, kealpaan, tidak menepatu janji, atau cidera janji.

Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa 4 macam, yaitu:

1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

2. Tidak tunai memenuhi prestasi;

3. Terlambat memenuhi prestasi;

4. Keliru dalam memenuhi prestasi.

Persoalan yang penting ketika membahas mengenai wanprestasi adalah sejak

kapan seseorang dapat dikatakan telah wanprestasi? Hal ini dikarenakan

berhubungan dengan akibat-akibat hukum dari wanprestasi tersebut.

Pada praktik hukumnya, dalam menentukan sejak kapan debitur telah

dikatakan wanprestasi memiliki kesulitan tersendiri karena mengenai kapan tidak

selalu ditentukan dalam suatu perjanjian.48 Misalnya dalam perjanjian jual-beli

barang tersebut tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barangnya

kepada pembeli dan kapan pembeli harus membayar kepada penjual sehingga

dapat menimbulkan kebingungan. Maka menjadi perhatian yang khusus untuk

menentukan bagi kedua belah pihak baik debitur dan kreditur untuk mentukan

kapan atau dalam bentuk apa perjanjian tersebut telah terpenuhi atau tidak

terpenuhi.

47
Ibid, hlm. 218.
48
Ibid.
43

Dalam hal pemenuhan suatu prestasi yang tidak dilakukan oleh debitur pada

umumnya harus terlebih dahulu untuk diberikan teguran (somasi) sebagaimana

yang dijelaskan dalam Pasal 1238 KUHPer yaitu “bahwa teguran itu harus

dengan surat perintah atau dengan akta sejenis”.

Selanjutnya, apabila debitur dalam keadaan wanprestasi maka kreditur dapat

memilih di antara beberapa kemungkiann tuntutan sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 1267 KUHPer, yaitu:

1. Pemenuhan perikatan;

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian;

3. Ganti kerugian;

4. Pembatalan perjanjian timbal baik;

5. Pembatalan dengan ganti kerugian.

C.6. Keadaan Memaksa (Overmacht)

Keadaan memaksa atau sebab kahar atau disebut juga overmacht atau force

majeure diatur dalam Buku III KUHPer yaitu pada Pasal 1244, 1245, dan 1444

KUHPer yang lengkapnya yaitu:

Pasal 1244 KUHPer49

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi

dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada

waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak

terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika

itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

Pasal 1245 KUHPer50

49
Pasal 1244 KUHPer
50
Pasal 1245 KUHPer
44

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan

memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan

memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang

sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.”

Pasal 1444 KUHPer51

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat

diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah

barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau

hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan sesuatu barang sedangkan ia

tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan

hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama di tangan si berpiutang,

seandainya sudah diserahkan kepadanya.

Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan

itu.

Dengan cara bagaimanapun sesuatu barang, yang telah dicuri, musnah atau

hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri

barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya.”

Meskipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak merumuskan

mengenai definisi dari keadaan memaksa, namun pada dasarnya dalam pasal-pasal

tersebut menerangkan, bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi suatu

perikatan atau melakukan perlanggaran hukum karena keadaan memaksa

(overmacht), ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa keadaan memaksa

(overmacht) adalah suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana suatu
51
Pasal 1444 KUHPer
45

perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi dan peraturan hukum terpaksa tidak

diindahkan sebagaimana mestinya.52

Keadaan memaksa (overmacht) menjadi hal yang penting untuk memberikan

batasan mengenai wanprestasi sebagaimana diuraikan pada sebelumnya, bahwa

wanprestasi dapat menyatakan bahwa debitur tidak melakukan prestasinya

sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Sedangkan dalam keadaan

memaksa (overmacht), terdapat keadaan-keadaan di luar dari kekuasaan dan

kewenangan debitur sehingga debitur tidak dapat memenuhi prestasinya, serta

tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Keadaan memaksa (overmacht) dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan

memaksa yang bersifat mutlak (absolut) dan keadaan memaksa yang bersifat relatif

(nisbi). Keadaan memaksa (overmacht) yang bersifat mutlak (absolut) adalah suatu

keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak

mungkin bisa dilaksanakan. Contohnya, terjadinya kematian terhadap hewan yang

menjadi objek perikatan, yang bagaimanapun caranya terhadap hewan yang sama

tidak dapat dihidupkan kembali. Keadaan memaksa (overmacht) yang bersifat

relatif (nisbi) adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan

hanya dapat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan yang demikian

besarnya sehingga tidak lagi sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaan

perikatan tersebut.53

Selanjutnya, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang perlu dipenuhi untuk

membuktikan adanya keadaan memaksa (overmacht), yaitu:54

1. Wajib terdapat halangan untuk memenuhi prestasi;

2. Halangan tersebut terjadi tidak karena adanya kesalahan dari debitur;


52
Ibid, hlm. 234.
53
Ibid, hlm. 235.
54
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung: PT Alumni, hlm. 267.
46

3. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi rediko dari debitur.

C.7. Berakhirnya Perjanjian

Berakhirnya perjanjian adalah selesainya atau hapusnya sebuah perjanjian di

antara pihak debitur dan kreditur. Dengan selesainya atau hapunya perjanjian

tersebut, maka dengan demikian selesai atau hapus ini juga berdampak pada

perikatan yang terjadi. Dalam Pasal 1380 KUHPer diatur hal-hal yang

mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu:

1. Karena pembayaran;

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan;

3. Karena pembaharuan utang;

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;

5. Karena percampuran utang;

6. Karena pembebasan utang;

7. Karena musnahnya barang yang terutang;

8. Karena kebatalan dan pembatalan;

9. Karena berlakunya syarat batal;

10. Karena lewat waktu.

D. Perjanjian Pinjaman Online

D. 1. Pengertian Perjanjian Pinjaman Online

Perjanjian pinjaman online merupakan sebuah fasilitas yang menyediakan

pinjaman uang kepada penyedia jasa pada bidang keuangan yang

pengoperasiannya dilakukan secara online (daring). Perjanjian pinjaman online

pada dasarnya jenis perjanjian pinjaman yang biasa namun perbedaannya terletak
47

pada media perantaranya yang dilakukan menggunakan sistem internet. Selain itu

perbedaan secara singkatnya, menekankan pada kemudahan antara para pihak baik

yang ingin memberikan pinjaman maupun yang meminjam untuk tidak perlu

bertemu sehingga interaksinya dilakukan melalui perangkat elektronik.55

Perjanjian pinjaman online berakar dari perjanjian pinjam meminjam

sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1754 KUHPer yaitu:56

“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak

yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena

pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan

sejumlah yang sama dari barang- barang tersebut.”

Dasarnya bahwa hubungan hukum yang terjadi pada perjanjian pinjaman online

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77/POJK.01/2016 tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI)

terletak pada pinjam-meminjam (utang-piutang) dengan objek uang.

Perjanjian pinjaman online lahir dengan diawali adanya penawaran oleh

penyelenggara layanan pinjaman online. Biasanya penawaran ini dapat dilakukan

melalui iklan layanan pinjaman online maupun dengan men-download aplikasi

layanan pinjaman online. Penawaran ini dapat berupa kemudahan-kemudahan

untuk mendapatkan barang atau layanan hiburan yang diinginkan, lalu juga dengan

bentuk cicilan yang fleksibel dengan bunga yang rendah.

Dengan adanya penawaran ini, maka terhadap konsumen yang tertarik akan

masuk pada tahap penerimaan yang dilakukan secara online. Penerimaan ini

menjadi persetujuan akhir dan mutlak terhadap isi dari apa yang ditawarkan

sehingga timbul perjanjian di antar kedua belah pihak. Metode-metode yang


55
Ni Made Eka Pradnyawati, I Nyoman Sukandia, Desak Gde Dwi Arini, “Perjanjian Pinjaman Online
Berbasis Financial Technology (FINTECH)”, Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2 No. 2, Mei 2021, hlm. 322.
56
Pasal 1754 KUHPer
48

dilakukan untuk menerima dapat berbagai bentuk seperti dengan mengisi formulir

pengajuan di saat itu juga, men-download aplikasi tersebut dan mengisi registrasi

hingga submit, ataupun dengan mengklik tombol-tombol seperti “ajukan

sekarang”.57

D. 2. Perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Keberadaan layanan pinjaman online yang berbasis peer to peer leading (P2P

Leading) diatur dalam landasan hukum utama yaitu pada Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi (POJK 77/2016). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 POJK

77/2016, Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

didefinisikan yaitu penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan

pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian

pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem

elektronik dengan menggunakan jaringan internet.58

Dalam pelaksanaannya, Perjanjian pelaksanaan Layanan Pinjam Meminjam

Uang Berbasis Teknologi Informasi memiliki pengaturannya yang terbagi dua

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 POJK 77/2016, yaitu perjanjian antara

Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman dan perjanjian antara Pemberi Pinjaman

dengan Penerima Pinjaman. Selain itu, perlu untuk dipahami bahwa dalam

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menggunakan

dokumen elektronik sebagai bentuk perjanjiannya baik terhadap Penyelenggara

dengan Pemberi Pinjaman maupun antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima

Pinjaman.
57
Muhammad Fachri Azis dan Nooraini Dyah Rahmawati, “Tinjauan Hukum Terhadap Pinjaman Online dan
Penggunaan Data Konsumen Aplikasi “Kredit Pintar”, Fortiori Law Journal, Vol. 1 No. 01 (2021), hlm. 120-
121.
58
Pasal 1 angka 3 POJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi
49

Dokumen elektronik itu sendiri didefinisikan sebagaimana yang tertuang

dalam Pasal 1 angka 12 POJK 77/2016 yaitu setiap informasi elektronik yang

dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

POJK 77/2016 juga mengatur mengenai dokumen elektronik apa saja yang

wajib paling sedikit dimuat dalam perjanjian penyelenggaraan Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi antara Penyelenggara dengan

Pemberi Pinjaman sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 19 ayat (2) POJK

77/2016, yaitu:59

a. nomor perjanjian;

b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak;

d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

e. jumlah pinjaman;

f. suku bunga pinjaman;

g. besarnya komisi;

h. jangka waktu;

59
Pasal 19 ayat (2) POJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi
50

i. rincian biaya terkait;

j. ketentuan mengenai denda (jika ada);

k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan

l. mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan

kegiatan operasionalnya.

Sedangkan dokumen elektronik apa saja yang wajib paling sedikit dimuat

dalam perjanjian penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman diatur

dalam Pasal 20 ayat (2) POJK 77/2016, yaitu:60

a. nomor perjanjian;

b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak;

d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

e. jumlah pinjaman;

f. suku bunga pinjaman;

g. nilai angsuran;

h. jangka waktu;

i. objek jaminan (jika ada);

j. rincian biaya terkait;

k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan

l. mekanisme penyelesaian sengketa.

Penyelenggara wajib memberikan akses informasi baik kepada Pemberi

Pinjaman maupun Penerima Pinjaman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19

ayat (3) dan Pasal 20 ayat (3) POJK 77/2016 dimana keduanya memiliki posisi
60
Pasal 20 ayat (2) POJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi
51

yang mana akses informasi tersebut tidak termasuk informasi identitas Penerima

Pinjaman bagi Pemberi Pinjaman dan informasi identitas Pemberi Pinjaman bagi

Penerima Pinjaman sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (4) dan Pasal

20 ayat (4) POJK 77/2016 sehingga kerahasiaan data pribadi tetap dipertahankan.

D. 3. Alur Perjanjian Pinjaman Online

Dalam melakukan perjanjian pinjaman online pada umumnya terdapat 3 (tiga)

alur, yaitu:61

1. Melengkapi syarat dan mengisi informasi yang dibutuhkan.

Calon debitur yang mengajukan pinjaman perlu melengkapi syarat dan mengisi

informasi yang dibutuhkan yang biasanya dalam bentuk formulir yang perlu

diisi secara online. Adapun dokumen-dokumen yang dibutuhkan antara lain

Kartu Tanda Penduduk (KTP), foto diri, serta foto selfie bersama dengan KTP.

2. Analisis dan persetujuan.

Setelah calon debitur mengajukan formulir mengenai data dan informasi yang

dibutuhkan bersama dengan dokumen-dokumen pendukung, Perusahaan akan

melakukan analisis terhadap calon debiturnya terkait dengan limit kredit yang

dapat diberikan dan kemampuan membayar sebelum ditawarkan kepada

pemilik dana atau pendana.

3. Melakukan pembayaran terhadap pinjaman.

Setelah kredit tersebut telah disetujui, maka terjadi perikatan dengan dasar

perjanjian pinjaman online tersebut sehingga debitur harus membayar

pinjaman melalui perusahaan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

61
Dharu Triasih, Dewi Tuti Muryati , A Heru Nuswanto, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam
Perjanjian Pinjaman Online”, (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional & Call for Papers: Pendidikan
Tinggi Hukum Berintegritas dan Berbasis Teknologi. Semarang, Selasa, 27 Juli 2021. Diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Indonesia) hlm. 601-602.
52

D. 4. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Perjanjian Pinjaman Online

Dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi, diatur pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian

pinjaman online sebagaimana yang dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. Penyelenggara

Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

atau disebut dengan Penyelenggara diatur dalam Pasal 1 angka 6 POJK No.

77/POJK.01/2016 yaitu badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola,

dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi. Selanjutnya penyelenggara dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk

yaitu perseoran terbatas atau koperasi.

2. Penerima Pinjaman

Penerima Pinjaman diatur dalam Pasal 1 angka 7 POJK No. 77/POJK.01/2016

yaitu orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penerima

Pinjaman harus berasal dan berdomisili di Indonesia. Selain itu, Penerima

Pinjaman dapat terdiri dari orang perseorangan warga negara Indonesia atau

badan hukum Indonesia.

3. Pemberi Pinjaman

Pemberi Pinjaman diatur dalam Pasal 1 angka 8 POJK No. 77/POJK.01/2016

yaitu orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang

karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi. Pemberi Pinjaman memiliki perbedaan dengan penerima pinjaman,

yang mana Pemberi Pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri.

Selain itu, Pemberi Pinjaman dapat terdiri dari: orang perseorangan WNI,
53

orang perseorangan WNA, badan hukum Indonesia/asing, badan usaha

Indonesia/asing; dan/atau lembaga internasional.

D. 5. Hubungan Hukum antara Para Pihak

Sebagaimana yang telah dijelaskan mengenai pihak-pihak yang ada pada

perjanjian pinjaman online, tentu pihak-pihak tersebut memiliki hubungan hukum

antara Pemberi Pinjaman (borrower), Perusahaan Peer to Peer Leading

(marketplace), Penerima Pinjaman (lender), yang dijelaskan sebagai berikut:62

a. Hubungan Hukum Penyelenggara dengan Penerima Pinjaman

Hubungan hukum yang terjadi antara Penyelenggara dan Penerima

Pinjaman terjadi dalam bentuk perjanjian dimana perjanjian tersebut berupa

perjanjian pengguna layanan pinjam peminjam uang berbasis Teknologi

Informasi. Perjanjian antara Penyelenggara dan Penerima Pinjaman terjadi

pada saat Penerima Pinjaman menerima segala syarat dan ketentuan yang

diberikan oleh Penyelenggara dan juga mengajukan permohonan peminjaman

berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan pula oleh Penyelenggara.

Dalam perjanjian tersebut adalah terkait dengan proses pinjaman yang

akan didapatkan oleh Penerima Pinjaman dari Penyelenggara serta mekanisme

pembayaran atau pengembalian pinjaman tersebut.

Perjanjian ini juga dapat dianggap sebagai awal terjadinya perjanjian

pinjam meminjam. Hal ini terjadi karena adanya kebutuhan antara Penerima

Pinjaman yang membutuhkan dana dan Penyelenggara yang membutuhkan

nasabah.

b. Hubungan Hukum Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman

62
Ernama Santi, Budiharto, Hendro Saptono, “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial
Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)”, Diponegoro Law Journey, Vol. 6,
No. 3 (2017), hlm. 10-12.
54

Hubungan Hukum yang terjadi antara Penyelenggara dan Pemberi

Pinjaman terjadi dalam bentuk perjanjian dimana perjanjian tersebut berupa

perjanjian penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis

Teknologi Informasi. Perjanjian ini terjadi karena Pemberi Pinjaman

mengikatkan dirinya dengan Penyelenggara untuk memberikan

pinjaman/pendanaan terhadap adanya tawaran pinjaman oleh Penerima

Pinjaman yang diajukan kepada Penyelenggara.

Perjanjian ini dapat dianggap sebagai permulaan dari perjanjian pinjam

meminjam yang akan terjadi. Hal ini dikarenakan pinjam meminjam dapat

terjadi dengan persetujuan dari Pemberi Pinjaman untuk memberikan

pendanaan. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa Penyelenggara merupakan

pihak perantara antara Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman yang

mempertemukan kedua belah pihak.

c. Hubungan Hukum Penerima Pinjaman dan Pemberi Pinjaman

Hubungan Hukum yang terjadi antara Penerima Pinjaman dan Pemberi

Pinjaman terjadi dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian pinjam meminjam

uang. Perjanjian pinjam meminjam tersebut diatur pada dasarnya dalam Pasal

1754 KUHPer yang mana objeknya adalah uang. Hal yang menjadi perbedaan

dengan pinjam meminjam dalam Pasal 1754 KUHPer yaitu terletak pada

pelaksanaannya dalam bentuk online.

Tentu setelah dilakukannya alur proses perjanjian pinjam meminjam uang

berbasis teknologi ini terjadi hak dan kewajiban bagi para pihak. Hak bagi

Penerima Pinjaman adalah mendapatkan pinjaman atau pendanaan dari


55

Pemberi Pinjaman. Kemudian kewajiban dari Penerima Pinjaman adalah

mengembalikan pinjaman sesuai dengan jangka waktu dan jadwal yang telah

ditentukan. Sementara hak bagi Pemberi Pinjaman adalah mendapatkan

pengembalian pinjaman beserta dengan bunga dalam jangka waktu dan dan

jadwal yang telah ditentukan. Kemudian kewajiban dari Pemberi Pinjaman

adalah memberikan pinjaman atau pendanaan melalui Penyelenggara sehingga

diterima oleh Penerima Pinjaman.

BAB III
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI DATA DAN INFORMASI PRIBADI SEBAGAI
BENDA DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE

I. Kedudukan Data dan Informasi Pribadi sebagai Benda dalam Perspektif Hukum

Benda Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan

Hukum Positif di Indonesia

a. Kedudukan Data dan Informasi sebagai Benda dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPer) dan Hukum Positif di Indonesia

Indonesia sebagai negara hukum telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal

tersebut terwujud dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai


56

berbagai hal dengan mengedepankan asas legalitas. Namun demikian, masyarakat

yang terus berkembang nyatanya tidak berjalan seiringan dengan perkembangan

hukum yang membuat pengaturan dan penerapannya menjadi cukup terlambat. Salah

satunya mengenai fenomena data dan informasi pribadi yang digunakan dalam

berbagai aspek kehidupan khususnya ketika melakukan akses terhadap dunia digital.

Pentingnya data dan informasi pribadi dalam dunia digital menjadi aspek

penting dan fokus yang berhilir pada perlindungan data pribadi. Tentunya, dampak

yang dapat dilihat dan dirasakan ketika data dan informasi pribadi tersebut beralih

kepada penyelenggara sistem elektronik, diproses dan dikumpulkan dalam big data.

Artinya berbagai data dan informasi pribadi yang memuat identitas seseorang beralih

“kepemilikannya” kepada penyedia layanan berbasis teknologi tersebut.

Proses peralihan itu tentu menimbulkan akibat hukum dengan menyertakan

pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang akan dilakukan terhadap data dan informasi

pribadi tersebut serta bagaimana keamanan terhadap data dan informasi pribadi yang

diberikan oleh pemilik kepada penyedia. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut

menjadi tidak mudah untuk dijawab karena perlunya analisis lebih lanjut terhadap

ketentuan-ketentuan mengenai data dan informasi pribadi sebagai benda menurut

hukum. Dengan demikian, permasalahan mengenai apa yang diartikan sebagai

kepemilikan dan hak-hak yang ada dalam kepemilikan tersebut dapat diterangkan

sehingga tidak menimbulkan kebingungan secara hukum maupun kesalahan

terhadap penerapannya.

Kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda dapat dianalisis secara

hukum dengan mengaitkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

mengenai benda. Berdasarkan Pasal 499 Buku II KUHPer, benda didefinisikan


57

sebagai tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Dengan melihat ketentuan dasar pendefinisian mengenai benda maka dapat

dikemukakan bahwa benda dapat dibagi menjadi apa yang disebut dengan “barang”

dan apa yang disebut dengan “hak”. Hal ini mendukung apa yang diartikan sebagai

benda berwujud sebagai benda yang dapat ditangkap oleh panca indra seperti tanah,

rumah, mobil dan benda tak berwujud yang memiliki bentuk hak seperti hak milik,

hak pakai, hak sewa.

Melalui pendekatan definisi benda tersebut, terlihat bahwa data dan informasi

pribadi dapat diidentifikasi sebagai benda tak berwujud yaitu sebagai hak milik.

Selain itu, hal ini memiliki keselarasan dengan pemahaman mengenai sifat yang

terkandung dalam benda yaitu memiliki nilai ekonomis dan dapat dialihkan.63

Sedangkan apabila ditinjau dari karateristiknya, ciri-ciri dari hak kebendaan

adalah:64

a. Merupakan hak mutlak dan dilindungi terhadap pihak ketiga lainnya;

b. Pihak (orang) yang menguasai suatu benda memiliki hak atas benda tersebut;

c. Dalam konteks pelunasan utang, hak kebendaan memberikan hak untuk

didahulukan pelunasan utangnya;

d. Hak kebendaan memberikan hak kepada seseorang untuk melakukan gugatan.

Berdasarkan keterangan tersebut, tertuang bahwa hak kebendaan juga memiliki

sifat mutlak (absolut), artinya hak seseorang atas benda itu juga dapat dipertahankan

(berlaku) terhadap siapapun juga, dan setiap orang siapapun juga harus

menghormatinya. Dengan demikian, dalam hak tersebut terdapat hubungan langsung

antara orang yang berhak dengan benda, bagaimanapun juga meski ada campur
63
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni, 1983, hlm. 35.
64
Setyawati Fitri Anggraeni, “Polemik Pengaturan Kepemilikan Data Pribadi: Urgensi Untuk Harmonisasi dan
Reformasi Hukum di Indonesia”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 48 No. 4, 2018, hlm 818.
58

tangan pihak lain. Setiap orang juga tidak boleh mengganggu atau menghalangi

penggunaan dan penguasaan hak itu.

Dengan mengaitkan data dan informasi pribadi pada sifat mutlak (absolut)

dalam hak kebendaan, pada dasarnya dimaknai bahwa data dan informasi pribadi

dapat dipertahankan oleh siapapun juga dan orang yang memiliki data dan informasi

pribadi tersebut memiliki hubungan langsung dengan data dan informasi pribadi

yang ia miliki meskipun terdapat campur tangan pihak lain. Hal ini menjadi sangat

penting dalam konsep hukum kebendaan terhadap data dan informasi pribadi

mengingat di dalamnya terdapat hak privasi yang mana berhubungan dengan

identitias pemilik data dan informasi tersebut sehingga dengan demikian data dan

informasi pribadi memiliki kedudukan hukum untuk dapat dipertahankan secara

mutlak.

Dalam perspektif hukum positif di Indonesia mengenai kedudukan data dan

informasi pribadi sebagai benda, menjadi lebih terang sebagai hak milik

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 58 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 80

Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, bahwa:

“Setiap data pribadi diberlakukan sebagai hak milik pribadi dari Orang atau

Pelaku Usaha yang bersangkutan.”

Selanjutnya, identifikasi mengenai data dan informasi pribadi sebagai benda

perlu dikategorikan ke dalam macam-macam bendanya. Melalui pandangan terhadap

macam-macam benda yang diatur dalan KUHPer, data dan informasi pribadi dapat

dikategorikan sebagai benda bergerak. Hal ini didukung dari sifat benda bergerak

yaitu dapat berpindah atau dipindahkan, meskipun dalam konteks ini berpindah atau
59

dipindahkan tidak diartikan melalui perpindahan secara fisik mengingat bentuk dari

data dan informasi pribadi merupakan benda tak berwujud.

Perpindahan data dan informasi pribadi dilakukan melalui apa yang disebut

dengan transfer data pribadi. Transfer data pribadi merupakan pengiriman data

subjek data pribadi dari pengendali data ke pengendali data lainnya.65 Terminologi

mengenai “transfer” data juga telah diangkat dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi serta penjelasannya, bahwa

yang dimaksud “transfer” adalah perpindahan, pengiriman, dan/atau penggandaan

Data Pribadi baik secara manual maupun elektronik dari Pengendali Data Pribadi

kepada pihak lain. Dengan demikian, data dan informasi pribadi telah memenuhi

sebagai benda yang dapat bergerak.

Selain daripada hal-hal yang telah diterangkan di atas, yang menjadi dasar

bahwa data dan informasi pribadi merupakan benda berdasarkan KUHPer adalah

bahwa KUHPer itu sendiri tidak memberikan batasan mengenai bentuk dan macam

dari benda tak berwujud mengingat Buku II KUHPer masih mengakomodir

pengaturan benda yang lebih dominan terhadap benda berwujud.66

b. Problematika Data dan Informasi Pribadi dalam Kedudukannya sebagai

Benda dalam Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Hukum Informasi

dan Transaksi Elektronik

Data dan informasi pribadi dalam kedudukannya sebagai benda menjadi

problematika tersendiri ketika berbicara pada konteks lex specialis atau dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di luar dari KUHPer khususnya

dalam ranah hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mengapa demikian?
65
Ahmad Budiman, “Perlindungan Data Pribadi Pada Transfer Data Pribadi Pinjaman Online”, Jurnal Info
Singkat, Vol. XIII, No. 23/I/Puslit/Desember/2021, hlm. 27.
66
Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, S.H., loc.cit.
60

Hal ini berkaitan dengan data dan informasi pribadi sebagai “hak milik”

sebagaimana yang diuraikan di atas berdasarkan KUHPer tidak dijelaskan mengenai

hak-hak apa saja yang terkandung sehingga kata “milik” disini menimbulkan

interpretasi lain yang mengancam data dan informasi pribadi tersebut.

Teori mengenai kepemilikan data pribadi pada dasarnya berasal dari Warren dan

Brandeis pada akhir abad ke-19 sebagai pemikiran dasar mengenai gagasan adanya

privasi yang membedakan antara ruang privat dan ruang publik. Seiring dengan

perkembangan zaman, teknologi semakin mendobrak perbedaan tersebut sehingga

semakin sulit membedakannya, bahkan menjadi tidak mungkin untuk dibedakan.

Pada abad ke-18, ke-19, dan bagian yang lebih baik dari abad ke-20, dimana

batas-batas secara fisik seperti dinding rumah kita memberikan batas yang jelas

antara ruang publik dan privat. Kini, melalui teknologi batas-batas tersebut semakin

tidak dapat dilihat sebagai akibat berbasis nirkabel. Dampaknya, kebebasan terhadap

data dan informasi pribadi hanya berlaku pada benda-benda yang dimiliki secara

pribadi seperti smartphone, laptop, Personal Computer (PC) serta media teknologi

dan komunikasi lainnya, meski tidak menjamin kemaanan terhadap akses oleh pihak

lain.

Hal ini berbeda dengan beralihnya data dan informasi pribadi sebagai konsumsi

publik yang ada pada media online. Melalui perpindahan data yang dilakukan oleh

Pemilik Data Pribadi terhadap data dan informasi pribadinya kepada suatu media

yang bersifat publik atau dimiliki oleh pihak ketiga, menjadikan data dan informasi

pribadi tersebut tidak lagi menjadi pribadi melainkan masuk sebagai data konsumsi

publik yang dapat diakses oleh media online tersebut. Peralihan tersebut terjadi

berdasarkan dua ketentuan yang berbeda antara Pemilik Data Pribadi yang
61

mengedepankan privasi dan juga pihak ketiga yang dapat berupa pemerintah,

perusahaan, maupun perseorangan memiliki ketentuan yang menitikberatkan pada

fungsinya sehingga terdapat perbedaan kepentingan antara kepentingan privat dan

publik yang berdampak pada perbedaan kebijakan privasi yang dimana Pemilik Data

Pribadi akhirnya mengikuti kebijakan privasi yang dimiliki oleh pihak ketiga

tersebut.

Menganalisis data dan informasi sebagai benda secara faktual dalam perspektif

dunia digital menemukan tantangan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU No 11/2008) serta perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 19/2016) maupun peraturan perundang-

undangan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan sistem elektronik. Hal

tersebut terjadi karena dalam UU ITE itu sendiri tidak mengakomodir kedudukan

data dan informasi sebagai benda dan berfokus pada perlindungan data pribadi.

Padahal, perkembangan mengenai data dan informasi pribadi kian maju hingga

sampai pada pengolahan data dan penyimpanan data dalam big data dan

menimbulkan masalah-masalah terhadap dapat diaksesnya data dan informasi milik

seseorang.

Big data adalah kumpulan-kumpulan data yang memiliki daya tampung besar

serta adanya keragaman sumber data yang tinggi.67 Dalam e-commerce, big data

berisikan data-data yang berisi kombinasi-kombinasi produk yang dibeli, berapa

jumlahnya, dan berapa harganya. Dari informasi tersebut, menjadi pedoman pelaku

Arief, N.B.,“Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan”,
67

Kencana Prenada Media Group, 2014, hlm. 3-4.


62

usaha untuk membuat produk yang paling diminati di halaman depan serta adanya

paket promosi berdasarkan barang-barang sering dibeli lalu di jual lebih murah.68

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem

Elektronik (Permenkominfo No 20/2016) telah dinyatakan pada Pasal 1 angka 3

Permenkominfo No 20/2016 bahwa Pemilik Data Pribadi adalah individu yang

padanya melekat Data Perseorangan Tertentu. Terdapat pula hak-hak pemilik data

pribadi dalam Pasal 26 Permenkominfo No 20/2016 yaitu bahwa Pemilik Data

Pribadi berhak:69

a. atas kerahasiaan Data Pribadinya;

b. mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengketa Data Pribadi atas

kegagalan perlindungan kerahasiaan Data Pribadinya oleh Penyelenggara

Sistem Elektronik kepada Menteri;

c. mendapatkan akses atau kesempatan untuk mengubah atau memperbarui Data

Pribadinya tanpa menganggu sistem pengelolaan Data Pribadi, kecuali

ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. mendapatkan akses atau kesempatan untuk memperoleh historis Data

Pribadinya yang pernah diserahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik

sepanjang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

68
Michael Wibowo Joestiawan, I Dewa Ayu Dwi Mayasari, “Perlindungan Privasi Konsumen Terhadap
Pemanfaatan Big Data”, Jurnal Kertha Negara, Vol. 9 No. 11 Tahun 2021, hlm. 920-921.
69
Pasal 26 Permenkominfo No 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik
63

e. meminta pemusnahan Data Perseorangan Tertentu miliknya dalam Sistem

Elektronik yang dikelola oleh Penyelenggara Sistem Elektronik, kecuali

ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut dalam praktiknya, orang yang melakukan kontrol terhadap data

pribadi sering menggunakan data pribadi tersebut untuk maksud selain daripada

tujuan yang disepakati dengan pemilik data pribadi. Hal tersebut dapat terjadi karena

tidak adanya peraturan secara khusus yang mengatur dalam perusahaan secara

internal serta konsekuensinya terhadap data pribadi yang digunakan selain daripada

tujuannya.70 Peristiwa ini menunjukan bahwa pemilik data dan informasi pribadi

yang seharusnya menjadi pemegang penuh atas data yang dimiliknya tidak memiliki

kendali atas data dan informasi pribadi tersebut.

Urgensinya kini terletak pada hak milik yang terkandung dalam data dan

informasi pribadi sebagai benda. Bila kembali merujuk pada KUHPer, Pasal 570

KUHPer menjelaskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara

lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, selama

tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh

pemerintah yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.

Lebih lanjut dalam praktiknya pun penggunaan data pribadi yang dimiliki oleh

seseorang tetap dilakukan secara terus-menerus tanpa persetujuan. 71 Padahal, pihak

yang mengendalikan data pribadi wajib untuk melakukan proses-proses perolehan,

pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penampilan,

pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan pemusnahan Data Pribadi

berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi. Persetujuan yang dimaksud

sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 4 Permenkominfo No 20/2016 bahwa


70
Setyawati Fitri Anggraeni, op.cit., hlm. 820-821.
71
Ibid.
64

persetujuan adalah pernyataan secara tertulis baik secara manual dan/atau elektronik

yang diberikan oleh Pemilik Data Pribadi setelah mendapat penjelasan secara

lengkap mengenai tindakan perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,

penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman, dan penyebarluasan serta

kerahasiaan atau ketidakrahasiaan Data Pribadi.72

Adapun upaya yang dapat dilakukan sejauh ini antara pemilik data dan

informasi pribadi dan penyelenggara sistem informasi terhadap data dan informasi

pribadi adalah pemberitahuan. Berdasarkan Pasal 28 huruf c Permenkominfo No

20/2016, penyelenggara sistem elektronik yang mengendalikan data pribadi wajib

memberitahu pemilik dari data pribadi tersebut jika terjadi kegagalan perlindungan

rahasia Data Pribadi dalam Sistem Elektronik yang dikelolanya.73

II. Akibat Hukum Terhadap Data dan Informasi Pribadi sebagai Benda dalam

Perjanjian Pinjaman Online berdasarkan Aspek-Aspek Hukum Perdata dikaitkan

dengan Ketentuan-Ketentuan mengenai Kebendaan

Perkembangan hukum dalam ranah digital semakin berusaha untuk memberikan

perlindungan bagi setiap penggunanya, namun tak jarang tetap ada celah-celah ancaman

terhadap data dan informasi pribadi sehingga dapat menimbulkan kerugian baik secara

materiil maupun imateriil. Hal ini terjadi khususnya dalam peristiwa merebaknya

penyedia layanan sistem elektronik di bidang finansial atau dikenal sebagai fintech

(financial technology) sebagai pilihan sektor bisnis yang kian berkembang seiring

dengan pemenuhan kebutuhan maupun keinginan manusia terhadap dana cair secara

cepat dengan tujuan memiliki barang, hiburan, berlibur ke suatu tempat, atau tujuan-

tujuan lainnya.

72
Pasal 1 angka 4 Permenkominfo No 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem
Elektronik
73
Ibid.
65

Melalui perubahan signifikan terhadap pengalihan tugas perbankan dari Bank

Sentral kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) berdampak juga pada

pengawasan terhadap usaha lembaga keuangan non-bank (non depository financial

instituion) yang salah satunya merupakan Fintech. Lebih lanjut, hal ini tentu berkaitan

dengan pengaturan mengenai perlindungan data dan informasi pribadi yang kemudian

diakomodir dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (POJK No 1/2013). Selain itu secara

lebih teknis mengenai apa saja data dan informasi pribadi dari konsumen yang harus

dirahasiakan, terbitlah Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.07/2014

tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen (SEOJK

No 14/2014). Berselang dua tahun kemudian, dalam hal mengenai usaha perjanjian

pinjaman online (“Pinjol”) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi

Informasi (POJK No 77/2016). Tidak hanya itu, pengaturan data dan informasi berlanjut

dengan diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.01/2018

tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Keuangan (POJK 13/2018).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, hingga kini kedudukan data dan

informasi pribadi sebagai benda yang mana pemilik data dan informasi pribadi memiliki

hak milik menjadi jarang dibahas. Padahal, kedudukan tersebut merupakan aspek

mendasar dalam fungsinya mendudukan diri sebagai objek dalam perjanjian pinjaman

online. Dengan demikian memberikan perspektif yang lebih mendasar dan mendalam

terhadap persetujuan akses data dan informasi pribadi milik seseorang serta implikasinya

pada penegakan hukum perlindungan data pribadi.


66

Penerapan hak milik pada data dan informasi pribadi dalam perjanjian pinjaman

online memberikan konsekuensi logis pada arti dan sejauh apa kekuatan hukum dari

pemilik data pribadi tersebut. Pada faktanya, kepemilikan data pribadi masih sangat bias

karena perolehan dan pengumpulan, pengolahan dan penganalisisan, penyimpanan,

penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan/atau pembukaan akses, dan

pemusnahan dilakukan oleh pihak penyelenggara sistem elektronik serta dapat dilakukan

juga tanpa persetujuan lebih lanjut pemilik data dan informasi pribadi.

Dalam studi kasus aplikasi pinjaman online “Kredit Pintar” misalnya, akses terhadap

data dan informasi milik calon nasabah maupun nasabah dilakukan dengan satu kali

persetujuan serta sebagai syarat mutlak dalam melakukan pinjaman pada aplikasi

pinjaman online “Kredit Pintar” yang tertuang dalam Pasal 4 Kebijakan Privasi atau

Privacy Policy sebagai blueprint dari perjanjian kredit online yang mereka tawarkan

yang mana isinya yaitu:74

”Sebagai syarat mutlak dari Pinjaman yang dilakukan melalui Platform,

Penerima Pinjaman dengan ini mengizinkan Kami, dan menyatakan bahwa pihaknya

telah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Kontak Terdaftar tetapi tanpa

memerlukan persetujuan lebih lanjut dari pihak lain manapun, untuk menghubungi

Kontak Terdaftar dalam hal Penerima Pinjaman diklasifikasikan sebagai Gagal Bayar,

…”

Interpretasinya mengacu pada izin akses “Kontak Terdaftar” yang kemudian

dilakukannya akses tanpa adanya validasi terlebih dahulu sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 26 POJK No. 77/2016 mengenai kewajiban penyelenggara dalam

kerahasiaan data, sehingga pemilik data pribadi yang ingin melakukan perjanjian

74
Muhammad Fachri Azis dan Nooraini Dyah Rahmawati, op.cit, hlm. 129.
67

pinjaman online akan menyepakati ketentuan tersebut dan dapat berpotensi merugikan

pihak lain padahal tidak termasuk sebagai pihak dalam perjanjian pinjaman online.

Selain itu, bila ditinjau dari aspek keabsahan perjanjian berdasarkan syarat sah

perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer bahwa kesepakatan yang terdapat dalam

perjanjian pinjaman online juga menjadi cacat kehendak (wilsgebreken) karena terjadi

ketimpangan dalam posisi tawar yang membuat calon nasabah maupun nasabah tidak

memiliki ruang untuk menentukan isi klausula dalam perjanjiannya. 75 Akhirnya, apabila

terbukti terjadinya cacat kehendak sehingga terdapat unsur penyalahgunaan keadaan

maka menurut Hukum Perdata, perjanjian tersebut dapat dibatalkan demi hukum.76

Hal ini tidak dapat terlepas dari kedudukan perjanjian pinjaman online sebagai

klausula baku yang dimana konsumen hanya memiliki dua pilihan, yaitu menyetujui

klausula tersebut atau tidak sama sekali (take it or leave it). Bila mengacu pada asas

kebebasan berkontrak, menurut Munir Fuady asas kebebasan berkontrak memberikan

kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian pula

menentukan isi daripada kontrak tersebut. Selain itu, Sutan Remy Syahdeini berpendapat

bahwa kebebasan berkontrak dapat terjadi apabila terdapat bargaining power yang

seimbang. Dengan dasar tersebut perjanjian pinjaman online menjadi suatu permasalahan

terhadap keabsahan perjanjiannya, terlebih perjanjian tersebut yang berdasarkan kontrak

standar dengan menempatkan konsumen dalam posisi yang lebih rendah.

Dalam perjanjian pinjaman online, terpenuhinya Pasal 1320 KUHPer sebagai syarat

sahnya perjanjian kini tidak menjadi permasalahan karena sudah banyak analisis

mengenai keabsahan perjanjian pinjaman online yang berkesimpulan pada sahnya

perjanjian tersebut. Namun, yang menjadi penekanan kini yaitu “kesatuan kehendak yang

75
Ibid, hlm. 132.
76
Ibid, hlm 143.
68

bebas” dengan catatan terhadap Pasal 1321 KUHPer sebagai ada atau tidaknya cacat

kehendak terhadap calon nasabah atau nasabah. Teori cacat kehendak dalam Pasal 1321

KUHPer dibagi menjadi:

a. Ancaman/Paksaan

b. Kekhilafan

c. Penipuan

d. Penyalahgunaan Keadaan

Selain itu, perlindungan terhadap konsumen dalam perjanjian pinjaman online diatur

dalam Pasal 1337 KUHPer sebagai pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang

terdapat dalam Pasal 1338 KUHPer yaitu bahwa kontrak tersebut dibuat atas sebab yang

dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Lebih lanjut, perjanjian pinjaman online tersebut juga tidak boleh melanggar Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Hal ini menunjukan bahwa baik hak milik maupun hak privasi dari pemilik data dan

informasi pribadi yang terdapat dalam perjanjian pinjaman online memiliki kedudukan

yang sangat rendah dan sulit untuk dapat ditegakkan baik dalam posisi aspek hukum

perdata maupun hukum informasi dan transaksi elektronik. Sebaliknya, data dan

informasi pribadi dengan mudah dapat diakses dan pelaku menghubungi kontak terdaftar

yang terdapat pada pemilik data dan informasi pribadi apabila debitur tidak melakukan

pembayaran terhadap utangnya tanpa harus melakukan persetujuan selanjutnya sehingga

pemilik data pribadi tidak dapat melakukan banyak hal terhadap data dan informasi

pribadi miliknya meskipun terdapat hak privasi di dalamnya.


69

Keterlibatan debt collector dalam penagihan nyatanya semakin menambah pihak

yang mengetahui data dan informasi pribadi milik pemilik data pribadi baik secara

langsung maupun tidak langsung dari penyelenggara sistem elektronik. Transfer data dari

penyelenggara sistem elektronik menjadi akibat yang tidak dapat dihindari sehingga data

dan informasi pribadi tersebut sudah dapat dipastikan beralih kepada pihak ketiga. Hal

ini semakin menghilangkan esensi data dan informasi pribadi yang seharusnya dalam

posisinya dimiliki dan dikendalikan oleh pemilik data pribadi dengan argumentasi

standar operasional prosedur perusahaan dalam penagihan utang.

Dalam POJK No. 77/2016 juga tidak mengatur secara khusus mengenai status debt

collector melainkan diatur dalam Pedoman Perilaku yang diterbitkan melalui Surat

Keputusan (SK) Pengurus AFPI Nomor 002/SK/COC/INT/IV/2020. 77 Dalam Bab C

tentang Penerapan Itikad Baik, tercantum dalam poin 4 bahwa:

“Setiap Penyelenggara diperbolehkan menggunakan pihak ketiga perusahaan jasa

pelaksanaan penagihan yang telah terdaftar di AFPI dan telah memiliki sertifikat untuk

melakukan penagihan kepada Penerima Pinjaman yang juga dikeluarkan oleh AFPI

atau pihak lain yang ditunjuk AFPI sesuai ketentuan dalam SOP Penanganan Debitur

Menunggak dan Bermasalah. Seluruh karyawan penagihan dari perusahaan jasa

pelaksanaan penagihan juga diwajibkan untuk memperoleh sertifikasi Agen Penagihan

yang dikeluarkan oleh AFPI atau pihak lain yang ditunjuk AFPI.”

Terlepas dari penagihan utang yang dilakukan menggunakan ancaman maupun

kekerasan, tidak jarang debt collector juga tidak mengindahkan pentingnya kedudukan

data dan informasi milik seseorang sehingga hal ini sejalan bahwa pemahaman

kedudukan data dan informasi pribadi yang memiliki hak milik dan hak privasi juga

semakin tergerus.
77
Ibid, hlm. 140.
70

BAB IV

PENUTUP

I. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan mengenai tinjauan yuridis

mengenai data dan informasi pribadi sebagai benda dan akibatnya terhadap perjanjian

pinjaman online, adapun Penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Data dan informasi pribadi dapat diidentifikasi sebagai benda bergerak tak

berwujud berdasarkan definisi, bentuk, dan sifatnya, serta pada data dan informasi

pribadi terdapat hak kebendaan yaitu hak milik yang dapat dipertahankan oleh

pemilik data dan informasi pribadi tersebut. Selain itu, kedudukan data dan

informasi pribadi sebagai benda masih memiliki tantangan dalam problematika


71

terhadap harmonisasi pengaturan dalam ranah hukum Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) karena pada konsep hak milik sebagaimana yang terdapat pada

hukum kebendaan pada faktanya tidak dapat diimplementasikan sebagai hak

mutlak yang dimiliki oleh pemilik data pribadi. Upaya yang dapat dilakukan

terhadap data dan informasi milik pengguna ketika data dan informasi pribadi

diberikan kepada penyelenggara sistem informasi masih sebatas pembertahuan

apabila data dan informasi pribadi tersebut telah gagal untuk dijaga oleh

penyelenggara sistem elektronik.

2. Bahwa penerapan hak milik pada data dan informasi pribadi sebagai benda

memberikan akibat hukum sebagai konsekuensi logis terkait arti dan kekuatan

hukum dari pemilik data pribadi tersebut pada perjanjian pinjaman online. Dalam

proses mekanisme penawaran pinjaman online kepada calon nasabah, pada

praktiknya penyelenggara sistem pinjaman online memberikan Kebijakan Privasi

(Privacy Policy) yang salah satu poinnya adalah untuk memperbolehkan

penyelenggara sistem pinjaman online untuk mengakses kontak terdaftar dengan

tujuan-tujuan kepentingan perusahaan tanpa perlu adanya persetujuan kembali

kepada pemilik data pribadi. Melalui analisis terhadap data dan informasi pribadi

yang memiliki hak mutlak terhadap hak kebendaan yang dimiliki oleh pemilik data

pribadi dan hak privasi yang juga terkandung dalam data dan informasi pribadi,

perjanjian online yang dilakukan antara penyelenggara sistem pinjaman online

dengan nasabah terdapat cacat kehendak (wilsgebreken) sehingga terdapat unsur

penyalahgunaan keadaan serta perjanjian tersebut dapat dibatalkan demi hukum.


72

II. Saran

Setelah melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian ini, adapun

saran yang Penulis dapat sampaikan berkaitan dengan pembahasan yang telah

disampaikan yaitu, antara lain:

1. Data dan informasi pribadi sebagai benda merupakan salah satu aspek penting dalam

tonggak kedudukan hukum baik dalam hukum kebendaan maupun dalam ranah

hukum informasi dan transaksi elektronik. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum

kebendaan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) masih mengatur

mengenai benda secara mayoritas sebagai benda berwujud sehingga tidak

memberikan batasan yang jelas mengenai benda tidak berwujud. Padahal,

pemahaman mengenai benda kini semakin berkembang ke arah digital sehingga

benda tidak berwujud semakin beragam. Harmonisasi peraturan dalam hukum

kebendaan dan ranah hukum informasi dan transaksi elektronik menjadi jawaban

untuk segera diupayakan oleh badan legislatif sehingga berdampak pada hak-hak

yang semakin jelas bagi pemilik data dan informasi pribadi. Setidaknya, regulasi

tersebut menerangkan kedudukan hak kebendaan yang jelas bagi pemilik data dan

informasi pribadi sehingga tidak menjadi miskonsepsi dalam perbuatan hukum yang

dilakukannya.

2. Dalam perjanjian pinjaman online, kedudukan para pihak baik debitur dan kreditur

harus setara sehingga hak dan kewajibannya turut menjadi seimbang dalam

pemenuhan prestasinya. Melalui kedudukan data dan informasi pribadi sebagai benda

yang diatur dalam regulasi secara terang dan jelas, harapannya dapat memberikan

penindakan tegas bagi penyelenggara sistem pinjaman online yang memberikan

pengecualian dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan mengenai


73

kerahasiaan data pribadi dalam kebijakan privasi pada perjanjian pinjaman online

tersebut. Peran aktif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas lembaga

keuangan non-bank sangat diperlukan sehingga dalam penerapannya hak milik pada

data dan informasi pribadi seseorang tetap dapat ditegakkan dan dijaga

kerahasiaannya oleh penyelenggara sistem pinjaman online.


DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

- Adi, Rianto. Metode Penelitian Hukum dan Sosial. Jakarta : Granit. 2003
- Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional.
Bandung: Alumni, 1983
- Fristikawati, Yanti. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Jakarta. 2010
- Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010
- Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005
- N.B., Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2014
- Rato, Dominikus Rato. Hukum Benda dan Harta Kekayaan Adat. Surabaya :
Laksbang Yustitia. 2016
- Satrio, J. Hukum Perikatan Pada Umumnya. Bandung: PT Alumni. 1993
- S.D., Rosadi. Cyber Law Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional,
Regional dan Nasional. Refika Aditama. Jakarta. 2015
- Simanjuntak, P.N.H. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta : Prenadamedia
Group. 2016
- Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata : Hukum Benda. Yogyakarta :
Liberty. 1975
- Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa. 2010
- Supancana, Ida Bagus Rahmadi. Cyber Ethics dan Cyber Law Book :
Kontribusinya bagi Dunia Bisnis. Jakarta : Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya. 2020
- Syahrani, H. Riduan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung :
PT. Alumni. 2010.

vi
2. Jurnal

- Anggraeni, Setyawati Fitri. “Polemik Pengaturan Kepemilikan Data Pribadi:


Urgensi Untuk Harmonisasi dan Reformasi Hukum di Indonesia”. Jurnal
Hukum & Pembangunan. Vol. 48 No. 4. 2018
- Budiman, Ahmad.“Perlindungan Data Pribadi Pada Transfer Data Pribadi
Pinjaman Online”. Jurnal Info Singkat, Vol. XIII, No. 23 Edisi Desember 2021
- Azis, Muhammad Fachri dan Nooraini Dyah Rahmawati. “Tinjauan Hukum
Terhadap Pinjaman Online dan Penggunaan Data Konsumen Aplikasi “Kredit
Pintar”. Fortiori Law Journal, Vol. 1 No. 01, 2021
- D. Ananthia Ayu , Titis Anindyajati, Abdul Ghoffar, Hasil Penelitian :
“Perlindungan Hak Privasi atas Data Diri di Era Ekonomi Digital”. Jakarta :
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. 2019
- Joestiawan, Michael Wibowo, I Dewa Ayu Dwi Mayasari. “Perlindungan Privasi
Konsumen Terhadap Pemanfaatan Big Data”. Jurnal Kertha Negara, Vol. 9 No.
11. 2021
- Kusnadi, Sekaring Ayumeida dan Andy Usmina Wijaya. “Perlindungan Hukum
Data Pribadi Sebagai Hak Privasi”. Al WASATH Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2 No.
1 April 2021
- Mahira, DF, Emilda Y Lisa NA, “Consumer Protection System (CPS): Sistem,
Perlindungan Data Pribadi Konsumen Melalui Collaboration Concept”,
Legislatif, Vol.3 No.2. 2020
- L. Sautunnida. ”Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Di
Indonesia; Studi perbandingan Hukum Inggris dan Malaysia”. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum. Vol. 20 No.2 . 2018
- Pradnyawati, Ni Made Eka, I Nyoman Sukandia, Desak Gde Dwi Arini,
“Perjanjian Pinjaman Online Berbasis Financial Technology (FINTECH)”.
Jurnal Konstruksi Hukum. Vol. 2 No. 2 Edisi Mei 2021
- S. Dewi. “Prinsip – Prinsip Perlindungan Data Pribadi Nasabah Kartu Kredit
Menurut Ketentuan Nasional dan Implementasinya”. Sosiohumaniora. Vol.19
No. 3. 2017
- S. Yuniarti. “Perlindungan Hukum Data Pribadi Di Indonesia”. Jurnal Becoss,
Vol. 1 No.1. 2019

vii
- Santi, Ernama, Budiharto, Hendro Saptono. “Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016)” . Diponegoro Law Journey, Vol. 6, No. 3. 2017
- Schwab, Klaus. The Fourth Industrial Revolution. Redfem: Currency Press. 2017
- The Max Schrems Litigation: A Personal Account Mohini Mann dalam Elaine
Fahey Editor Institutionalisation beyond the Nation State Transatlantic Relations:
Data, Privacy and Trade Law Studies in European Economic Law and Regulation,
Volume 10.

3. Makalah

- Djafar, Wahyudi, “Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap,


Urgensi dan Kebutuhan Pembaruan”, Makalah disampaikan sebagai materi
dalam kuliah umum, Tantangan Hukum dalam Era Analisis Big Data, Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Agustus
2019.
- Triasih, Dharu, Dewi Tuti Muryati , A Heru Nuswanto, “Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen dalam Perjanjian Pinjaman Online”, (Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional & Call for Papers: Pendidikan Tinggi Hukum Berintegritas
dan Berbasis Teknologi. Semarang, Selasa, 27 Juli 2021. Diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Indonesia) hlm. 601-602.

4. Website

- “Bikin Resah, Laporan Penagihan Pinjol Paling Banyak di 2021”,


https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220211121104-37-314689/bikin-resah-
laporan-penagihan-pinjol-paling-banyak-di-2021
- “4 Syarat Pinjaman Online Mudah dari Kredit Pintar”,
https://www.kreditpintar.com/education/5-syarat-mudah-untuk-mengajukan-
proses-cepat-pinjaman-uang-online

5. Peraturan Perundang-Undangan

- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

viii
- Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik
- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
- European Union General Data Protection Regulation
- International Covenant on Civil and Political Rights
- Universal Declaration of Human Rights

ix

Anda mungkin juga menyukai