Masail Fiqhiyah
Masail Fiqhiyah
MASAIL FIQHIYAH
“SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM”
Dosen Pengampu:
Asfar Hamidi Siregar, Lc.,MH
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Muhammad Fadhli Septiansyah (182621554)
Yulia Hafizah (182621559)
Segala puji hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan segala nikmat dan karunia-Nya, penyusunan makalah yang berjudul
“Sejarah Perkembangan pemikiran Hukum Islam” dapat diselesaikan dengan baik
guna memenuhi tugas kelompok makalah yang disusun untuk melengkapi tugas
mata kuliah Masail Fiqhiyah.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Kesimpulan.......................................................................................27
B. Saran.................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................28
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
menyumbangkan kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan
seluruh warga negara.
Islam dalam kancah politik di Indonesia mempunyai peranan yang
penting dan sejarah yang panjang. Mulai dari fase kemerdekaan sampai
pada fase reformasi. Peranan Islam dilakukan secara langsung oleh para
ulama, pada masa penjajahan peranan ulama sangat jelas terlihat dengan
adanya perlawanan kerajaan Islam yang berdiri seperti demak dan banten
terhadap para penjajah. Pada masa demokrassi liberal dan terpimpin,
hubungan antara Islam dan pemerintah bersifat antagonism dan saling
mencurigai satu sama lain. Hubungan seperti ini terjadi karena disebabkan
oleh adanya perbedaan pendapat di antara founding father Indonesia
tentang sistem dan bentuk negara yang dicita-citakan apakah berbentuk
Islam atau nasionalis.
B. Rumusan Masalah
C. TUJUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Syari’at berasal dari bahasa arab, yang antara lain berarti jalan yang
lurus. Menurut fuqaha’ (para ahli hukum Islam), syari’ah atau syari’at,
berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul-nya untuk
hambanya, agar mereka menaati hukum itu atas dasar iman, baik yang
berkaitan dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah), dan yang
berkaitan dengan akhlak. Dari kata syari’at dengan pengertian diatas,
diambil kata tasyri’ yang berarti membuat peraturan perundang-undangan,
baik yang bersumber dari wahyu/ agama, yang dinamakan tasyri samawi,
maupun yang bersumber dari pemikiran manusia, atau disebut tasyri’
wadh’i.1 Syari’at Islam adalah syari’at penutup untuk syari’at-syari’at
agama sebelumnya. Karena itu syari’at Islam adalah syari’at yang paling
lengkap, yang mengatur kehidupan keagamaan kemasyarakatan melalui
ajaran Islam tentang aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak.2 Menurut
Muhammad Ali At-Tahanuwi, syari’at adalah hukum-hukum Allah yang
ditetapkan untuk hambanya (manusia), yang disampaikan melalui para
nabi/rasul-nya, baik hukum yang berhubungan dengan amaliyah-hukum
ini dimasukkan ke dalam ilmu fiqih-maupun hukum yang berhubungn
dengan akidahhukum ini dimasukkan ke dalam ilmu kalam/ tauhid.
Syari’at juga disebut Din dan Millah.
Syari’at Islam yang sampai kepada kita adalah yang diturunkan
melalui ḥatam al-nabiyyin, yaitu Nabi Muhammad SAW, dengan sumber
utama yaitu al-Qur’an. Kemudian sumber utama tersebut, beliau
terjemahkan dengan sunnahnya, baik dalam bentuk ucapan, perkataan,
maupun penetapan.3 Karena itulah otoritas utama dalam legislatif
1
Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, Cairo: Dar An-Nahdhah Al-
Arabiyah, 1960, hlm. 9
2
bid, hlm. 10
3
Muhamad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Deirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 3
3
(pembuat undang undang), pada periode Nabi Muhammad berada pada
tangan Nabi Muhammad sendiri, dan tidak seorangpun selain Nabi
Muhammad diperbolehkan berijtihad sendiri, untuk menentukan suatu
permasalahan hukum, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. 4
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masa ini telah terjadi
ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, yaitu dalam bentuk penerapan
hukum (taṭbiq). Oleh karena itu, produk ijtihad para sahabat belum
menjadi ketetapan hukum (tasyri’) yang menjadi pedoman bagi umat,
kecuali setelah adanya legitimasi, dari Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian, sumber hukum pada masa ini hanya al-Qur’an dan al-Hadis.5
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka berakhirlah periode
pewahyuan, maka otoritasnya beralih ke tangan para sahabat Nabi. Oleh
karena itu para sahabat memainkan peran yang siginifikan dalam membela
dan mempertahankan agama. Para sahabat tidak hanya mempertahankan
“tradisi hidup Nabi”, tetapi juga menyebarkan dakwah Islam melintasi
semenanjung arabia. Dalam hal ini untuk pertama kalinya fiqih
berhadapan dengan permasalahan baru, meliputi penyelesaian atas
masalah etika, moralitas, kultural, dan kemanusiaan dalam masyarakat
yang plural.6 Daerah-daerah yang “diislamkan” pada saat itu memiliki
perbedaan masalah tradisi, kultural, kondisi dan situasi yang menghadang
para ahli fiqih di kalangan sahabat untuk memberikan “kepastian hukum”
pada masalah-masalah baru yang muncul belakangan. Kapasitas
pemahaman yang komperhensif yang dimiliki pada masalah-masalah baru
yang muncul belakangan.
Kapasitas pemahaman yang komperhensif yang dimiliki para sahabat
terhadap Islam karena intens dan lamanya berkomunikasi dengan Nabi
Muhammad dengan menyaksikan sendiri proses turunya syari’at merespon
setiap masalah yang muncul dengan merujuk al-Qur’an dan Sunnah. Para
4
Abd al Wahhab Khallaf, Khulasah Tārikh Tasyri’ al-Islām, alih bahasa Aziz Mashuri, (Solo:
Ramadan, 1990), hlm. 11.
5
Direktoral Pembinaan PTAI, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTAI/IAIN,
1981), hlm. 16.
6
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 33
4
sahabat menggali dimensi etis al-Qur’an, adakalanya mereka menemukan
naṣ al-Qur’an atau Sunnah Nabi yang secara jelas menunjukan pada
permasalahan itu, akan tetapi dalam banyak hal para sahabat harus
menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema di
alQur’an untuk diterapkan terhadap kasus-kasus yang tidak ada naṣ nya.
Perkembangan baru seiring perluasan teritorial Islam itu, sangat membantu
dalam memperkarya kekayaan fiqih, mulailah terjadi perbedaan
interprestasi terhadap naṣ sebagaimana perbedaan itu muncul dikarenakan
perbedaan pendapat dan persepsi.
5
menerapkan hukum-hukum ijtihadi itu dengan tegas, sepanjang hal itu
menyangkut bidang-bidang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
mereka.
Adapun dalam masalah-masalah individual yang tidak meminta
keterlibatan pemerintah, para Khulafaur Rasyidin hanyalah menempatkan
diri sebagai mujtahid yang sejajar dengan para mujtahid lainnya dari
kalangan sahabat. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa mereka
mewariskan sejumlah perbedaan pendapat. Dalam hal ini, tiap-tiap orang
bebas mengamalkan pendapatnya sendiri atau mengikuti salah satu
pendapat yang ada tanpa terikat atau terpengaruh oleh pendapat yang lain.
Umar bin Khatab dalam beberapa kasus telah menunjukkan
kepiawaian ijtihadiyah yang sangat tajam uṣulnya, dalam menggali hukum
Islam. Praktek ijtihadiyah Umar yang menimbulkan kontroversi adalah
dalam kasus tidak memotong tangan pencuri yang mencuri di musim
paceklik (krisis), penyelesaian tanah hasil rampasan perang dan
menggugurkan pembagian zakat bagi al- muallafah qulubuhum.7 Logika
penalaran hukum yang digunakan oleh Umar bin Khatab ini terus
menghiasi wacana ijtihad dalam hukum Islam, dan tidak jarang para
pemikir hukum Islam kontemporer menjadikannya sebagai frame of
reference dalam paradigma pemikiran hukum Islam dan upaya
penyelesaiannya.8 Menurut Ahmad Amin, sikap Umar bin Khatab ini
mengindikasikan bahwa, ia tidak hanya sekedar menggunakan rasio dalam
menetapkan hukum bagi peristiwa yang belum ditemui status hukumnya
dalam naṣ, namun lebih jauh dari itu, ia berusaha menemukan maṣlahah
dan hikmah dalam tujuan pensyari’atannya.
Walaupun ijtihad yang telah diekspresikan oleh Umar bin Khatab
merupakan metode penemuan hukum, akan tetapi ia tetap dalam koridor
tuntunan wahyu dan seperangkat kaidah. Metodologi inilah yang
7
Uraian lebih lanjut lihat ‘Ali Hasabillah, Ushul al-Tasyr’ al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976),
hlm.93-96.
8
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, 1986). hlm. 17.
6
kemudian dikenal dengan ushul al-fiqih. Walaupun ushul al-fiqih sebagai
disiplin ilmu baru terkodifikasi secara sistematis pada abad ke 2 H, namun
dalam prakteknya ushul fiqih telah muncul dan berkembang seiring
lahirnya hukum Islam sebagai produk ijtihad.9 Para ahli fiqih dari kalangan
sahabat seperi Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab dan
lainnya, dikenal banyak melakukan ijtihad, dan dipastikan mereka
melakukannya berdasarkan kaidah yang ketat. Oleh karena itu uṣul fiqih
tidak lahir begitu saja, akan tetapi melalui proses dan dielektika yang
panjang dengan berbagai latar konteks yang terjadi di masyarakat muslim.
Langkah yang ditempuh para sahabat, kemudian diikuti oleh para Tabi’in,
dan mencapai puncaknya pada masa Imam Mujtahid seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan
lainnya. Kalau menggunakan analisis sejarah maka, pada penghujung abad
2 H, Imam Syafi’i telah berhasil mengkodifikasi uṣul al-fiqih secara
sistematis, melalui karya monumentalnya al-Risālah. Oleh karena itu
Imam Syafi’i dianggap sebagai orang pertama yang menulis dasar-dasar
secara sistematis dalam khazanah hukum Islam, dari al-Risālah ini para
ulama mensyarahkan sebagai refrensi utama dalam menyusun karya-
karyanya yang menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, dan
menjadi salah satu syarat bagi seorang mujtahid untuk menguasainya.
1. Abu Bakar
Pada waktu Rasulullah meninggal dunia hampir terjadi perebutan
kekuasaan antara Anshar dan Muhajirin pasca wafat Nabi di pertemuan
Bani Sa’idah yang membicarakan siapa yang akan menggantikan
Rasulullah. Walaupun alot dan situasi yang panas, namun permasalahan
itu dapat diselesaikan dengan terpilihnya Abu Bakar secara demokratis.
Abu Bakar memerintah selama tiga tahun. Selama pemerintahannya pula,
ia disibukkan dengan penumpasan kaum murtad, nabi palsu Musailamah
al-Kazzab, dan penumpasan mereka yang enggan membayar zakat. Terkait
9
Satria Efendi, M. Zein, “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah dkk, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 120.
7
dengan masalamasalah tersebut, setelah mendapatkan pandangan dari
Umar bin Khattab, Abu Bakar mempunyai ketetapan dan keteguhan hati,
sehingga ia berujar: “Akan aku perangi orang yang berani memisahkan
antara shalat dan zakat”. Kemudian Abu Bakar memerangi orang-orang
yang enggan membayar zakat, yang dikenal dengan perang Yamamah,
dipimpin oleh Musailamah al-Kadzab. Pada masa itu pula, al-Qur’an untuk
pertama kalinya dikodifikasikan menjadi satu mushaf atas desakan Umar
bin Khattab, karena banyak sekali huffadz al-Qur’an – sekitar 1000 orang -
yang syahid dalam penumpasan Musailamah itu.10 Tidak terlalu banyak
masalah hukum yang ditorehkan dalam sejarah pada masa pemerintahan
Abu Bakar ini, dengan alasan:
1. Masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat, yakni hanya tiga
tahun.
2. Konsentrasi pemerintahan terkuras pada pemberantasan
permberontak dan orang murtad.
3. Yang diangkat menjadi hakim pada waktu itu adalah Umar bin
Khattab dimana para sahabat enggan berhadapan dengannya.
4. Kehidupan para sahabat pada masa itu belum terlalu kompleks
sehingga tidak banyak masalah yang timbul.
5. Semangat keimanan dan keislaman pada waktu itu masih sangat
tinggi, sehingga jikapun ada masalah, mereka lebih sabar dan
toleransi terhadap saudaranya ketimbang mempermasalahkan
secara hukum ke pengadilan.
Masalah hukum yang terekam dalam sejarah pada periode
pemerintahan Abu Bakar adalah masalah kewarisan. Ketika itu,
datang seorang nenek yang meminta ketentuan hukum tentang hak
waris. Abu Bakar berkata: “Anda tidak mendapatkan apa-apa,
karena tidak aku dapatkan keterangan baik dalam al-Qur’an
maupun Sunnah”. Kemudian berdirilah Mughirah bin Syu’bah
memberikan kesaksian bahwa Rasulullah pernah memberikan
10
Lihat, Phlip K. Hitti, The History of Arab, h. 177.
8
bagian kepada nenek ini sebesar 1/6 bagian. Untuk memperkuat
kesaksian Mughiroh, tampil sebagai saksi Muhammad bin
Maslamah. Permasalahan lainnya adalah ketika terjadi penentangan
dari sebagian kalangan umat Islam untuk membayar zakat. Abu
Bakar memerintahkan untuk membunuh para pemberontak ini,
karena dianggap telah murtad. Tetapi, Umar bin Khattab menolak,
karena baginya, mereka masih tetap muslim karena telah
mengucapkan syahadat. Setelah dijelaskan oleh Abu Bakar,
akhirnya para sahabat menerima dan menyepakati keputusan ini11
2. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab terpilih sebagai khalifah dengan sistem
formatur dan penawaran (calon) dari Abu Bakar. Alasan Abu Bakar
menawarkan calon, karena ia khawatir terjadinya konflik perebutan
kekuasaan seperti yang pernah terjadi ketika Abu Bakar akan
menjadi khalifah. Umar bin Khattab terpilih dan memerintah
selama 13 tahun. Terjadi kemajuan pesat dalam masa pemerintahan
Umar bin Khattab di antaranya terlihat dari semakin meluasnya
wilayah Islam, yang tidak lagi mencakup jazirah Arab melainkan
sudah menembus luar batas jazirah, seperti ke Yaman, Mesir,
Syiria ke Persia, Damaskus, Azeirbaizan, dll. Makin luas Islam
menyebar, makin banyak bangsa lain masuk Islam, maka semakin
kompleks, persoalan yang muncul dan memerlukan jawaban.
Terkadang, persoalan yang muncul tidak dapat ditemukan
jawabannya dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Atau ada dalam al-
Qur’an maupun Sunnah, namun jawabannya tidak relevan dengan
situasi dan kondisi permasalahan yang muncul. Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, Umar bin Khattab
melalukan bantuan dari para sahabatnya.
Dalam ijtihad, Umar bin Khattab sangat terkenal dengan ijtihad
individunya. Ijtihad Umar bin Khattab ini sangat brilian karena
11
Manna’ al-Qhattan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, h. 192
9
inovatif, aktual, dan memberikan solusi dalam menghadapi tantangan
baru yang timbul dalam masyarakat akibat asimilasi kultural yang
terjadi karena makin luasnya wilayah Islam. Bahkan, dalam
12
10
sementara harta tidak bergerak sengaja Umar tidak membagikan.
Umar menetapkan agar harta yang tidak bergerak, khususnya tanah
pertanian tetap berada pada tangan pemilik dan penggarapnya. Hanya
saja kepada mereka diwajibkan untuk membayar pajak, dan pajak itu
akan dikumpulkan oleh Baitul Mal yang selanjutnya akan digunakan
untuk kepentingan dan kemaslahatan umat Islam. Pendapat Umar ini
ditentang habis-habisan oleh sebagian sahabat, di antaranya Bilal bin
Rabah, Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam.
3. Mu’allaf. Umar tidak memberikan bagian zakat kepada mu’allaf
(orang yang dijinakkan hatinya), seperti yang telah dipraktekkan oleh
Nabi dan Abu Bakar dimana mereka diberi bagian zakat.
4. Potong tangan bagi pencuri. Umar bin Khattab tidak melaksanakan
hukum potong tangan bagi pencuri sesuai yang telah ditetapkan dalam
al-Qur’an20 karena situasi dan kondisi pencurian tidak
memungkinkan. Yakni pencurian dimusim paceklik yang
menyebabkan terpaksa mencuri.
5. Perempuan yang menikah pada waktu Iddah. Apabila perempuan yang
sedang ber-iddah dinikahi oleh seorang laki-laki sebelum iddah-nya
berakhir dan apabila pasangan ini sudah melakukan hubungan badan,
maka perkawinannya itu harus dibatalkan, kemudian perempuan itu
harus mengulang iddah-nya dari awal, dan laki-laki yang menikahinya
itu haram menikahi perempuan itu untuk selamanya.
6. Shalat Tarawih. Pada zaman Nabi, para sahabat melaksanakan shalat
malam bulan Ramadhan (yang belakangan disebut shalat tarawih) itu
sendiri (munfarid), dan dilakukan sebanyak sebelas rakaat.
7. Pembagian harta gharowain, yakni suatu pembagian harta yang ahli
warisnya terdiri dari suami, ibu dan ayah atau ahli warisnya: istri, ibu
dan ayah. Menurut Ibnu Abbas, dalam dua kasus tersebut ibu
mendapatkan bagian 1/3. Namun menurut Umat, Utsman dan Zaid bin
Tsabit ibu memperoleh 1/3 dari sisa.
3. Usman bin Affan
11
Utsman bin Affan naik menjadi khalifah menggantikan Umar bin
Khattab lewat prosedur formatur. Kemajuan yang didapatkan pada
masa pemerintahan Utsman cukup menggembirakan terutama dalam
perluasan daerah. Fase pemerintahan Utsman dapat dibagi menjadi dua
bagian.
a. Fase awal, yaitu ketika pemerintahan dipimpin sendiri oleh
Utsman, tanpa intervensi dari keluarganya.
b. Fase akhir, yaitu ketika keluarganya mendominasi pemerintahan,
dan Utsman sendiri berkonsentrasi pada ibadah.
Adapun kemajuan-kemajuan yang digapai Utsman selama
pemerintahannya, di antaranya adalah:
a. Pada masa Utsman peradilan sudah memiliki bangunan tersendiri
yang terpisah dari masjid.
b. Penulisan empat mushaf Utsmani atau rosm Utsmani. Penulisan
mushaf ini bermula karena adanya perbedaan pembacaan al-
Qur’an di setiap daerah dan dikhawatirkan suatu hari kelak akan
menjadi berbedaan yang terlalu jauh sehingga berinisiatif untuk
menyeragamkan bacaan dengan cara membukukan al-Qur’an
induk untuk jadi rujukan masyarakat.
12
b. Unta yang kabur pada zaman nabi, Abu Bakar dan
Umar dilepas begitu saja walaupun beranak pinak, tapi
pada zaman Utsman unta itu dijual, dan apabila datang
pemiliknya maka uangnnya itu diberikan.
c. Istri yang diceraikan dalam kondisi suaminya sakit
keras, kemudian si suami meninggal dunia. Si istri
mendapatkan harta warisan, baik si istri dalam masa
iddah ataupun masa iddah sudah berakhir. Sementara,
menurut pendapat Umar bin Khattab, si istri mendapat
bagian harta warisan hanya dalam masa iddah.
4. Ali bin Abi Thalib
13
Lihat, Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ al-Rhasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.
462; lihat pula Nurcholis Madjid, Warisan Intelektual Islam, Pendahululan dalam Khazanah
Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 12; lihat pula Mahmood Shehabi, Sjiah, dalam
Kenneth W. Morgan, Islam Djalan Mutlak, h. 178.
13
yang menyatakan bahwa berdosa atau tidanya seseorang hanya bias
diketahui di akhirat kelak, karena hanya Allah saja yang tahu.
Adapun hasil ijtihad Ali bin Abi Thalib adalah:
a. Iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya
adalah diambil waktu yang paling panjang antara iddah 4
bulan 10 atau melahirkan, sedangkan menurut Umar iddah-
nya sampai melahirkan.
b. Karena al-Qur’an dibaca oleh seluruh orang Islam, baik
oleh orang Arab maupun orang ‘Ajam, maka tentu saja ada
kesulitan bagi orang Ajam untuk mempelajari al-Qur’an,
sehingga Ali dan Abu Aswad Ad-Duwali (67 H) atas
intruksi gubernur Irak Ziyad bin Abihi merancang simbol-
simbol baca dengan memberikan simbol berbentuk titik di
atas, di samping dan dibawah huruf.
c. Masalah siksa dera bagi pemabuk. Di dalam al-Qur’an
dijelaskan bahwa arak itu hukumnya haram, najis dan
termasuk perbuatan yang harus dijauhi karena merupakan
perbuatan syetan (Q.S. Al-Maidah: 90). Di dalam hadis
ditegaskan bahwa hukuman bagi peminum arak adalah 40
kali cambukan. Namun, Ali tidak melaksanakan hukuman
ini sesuai dengan ketentuan hadis, melainkan
menerapkannya menjadi dua kali lebih berat, yakni 80 kali
cambukan, dengan alasan bahwa Umat Islam belum jera
juga dengan 40 kali cambukan itu. Bahkan nyaris
meremehkan hukuman dera itu. Hukuman itu diberikan
pada seorang pemabuk dalam pengadilan yang dipimpin
oleh Ali bin Abi Thalib ketika ia menjabat sebagai qadhi
pada pemerintahan Umar bin Khattab, Ali berkata: “Saya
berpendapat bahwa hendaklah engkau mendera orang ini 80
kali cambuk karena bila ia minum arak ia akan mabuk, bila
14
ia mabuk maka putus akalnya, dan apabila putus akalnya
maka ia akan mengatakan yang tidak-tidak”.
15
kepemimpinan umat islam dengan digantinya sistem pemerintahan
menjadi sistem kerajaan. Ketika itu umat islam, terpecah menjadi 3 yaitu
golongan khawarij, golongan syi’ah, dan jumhur. Fase ini merupakan awal
zaman Tabi’in.14
1. Khawarij adalah mereka yang kecewa dengan proses tahkim
(Perdamaian) pada masa Ali. Akibat kejahilan mereka akan ilmu
Sunnah Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam, mereka
mengkafirkan Ali pun juga Muawiyah Radhiallahu’anhuma serta
siapa saja yang terlibat dan setuju dengan tahkim. Dan mereka
berpendapat wajib untuk melantik seorang khalifah yang taat
agama versi mereka.
2. Syi’ah adalah orang- orang yang fasik dengan dalih
mengutamakan Ali- Bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Mereka
mengangap khalifah hanya milik Ali dan keturunannya saja,
pemikiran ini muncul dari seorang yang bernama Abdullah bin
Saba’ yang berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Saba adalah
seorang Yahudi dari Shan’a, Yaman, yang berpura-puramasuk
Islam dan berpura-pura menampakkan rasa cinta kepada Ali bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Dialah yang menjadi penyebab
utama terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
3. Jumhur kaum Muslimin adalah mayoritas muslim yang meiliki
sifat adil dan selalu berhati-hati. Saat itu pandangan pemerintah
terhadap ilmu pengetahuan sungguh antusias terbukti dengan
banyaknnya pembuktian ilmu pengetahuan yang terdiri
diantaranya tentang hukum Islam, As-Sunah, Tafsir dan lain-lain.
Pada saat itu karena banyaknya sahabat yang sudah meninggal,
maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru
dari orang- orang yang meminta fatwa serta belajar kepadannya.
14
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya), 2003, h.53-54.
16
Adapun faktor- faktor perkembangan tarikh tasyri’ pada masa ini adalah :
1) Politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya
aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran
hukum (termasuk aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan Islam).
2) Perluasan wilayah
Sebagaimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan
pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode
Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat dengan demikian
telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan
dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala
sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak
terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan
bersama.
3) Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat
digolongkan menjadi dua golongan yaitu; Ulama yanag kembali pada
Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan sangat
“hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu
yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan ra’yu (akal )
dibandingkan dengan Hadits, dengan demikian, inilah sebab adanya
perkembangan pemikiran yang dapat mendorong terbentuknya Firqah-
firqah dalam Islam.
4) Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran
dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para
ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para
ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu
peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat
dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5) Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
17
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abu
Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan seterusnya dengan
keluasan ilmu mereka telah berperan besar dalam pemprosesan suatu
hukum yang berkembang dalam masyarakat saat itu.
6) Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak
permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam
baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan
mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti
dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
18
harus diselesaikan, maka dari itu Negara ini dan daerah – daerah lain
membutuhkan undang – undang untuk mengatur masyarakatnya.
Karena itu, diperlukan para hakim, kepala pemerintahan dan fatwa-
fatwa untuk pedoman mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
para ulama mencurahkan perhatiannya menggali sumber – sumber
syari’at (al - Qur’an dan hadist). Mereka mengembangkan hukum –
hukum yang diperlukan oleh Negara dan kemaslahatan umat, dari nash
– nash syari’st (al – Qur’an dan hadist). Mereka juga menciptakan
metode – metode penetapan hukum untuk menyelesaikan persoalan –
persoalan yang dimungkinkan akan terjadi.
2. Perbedaan penggunaan ra’yu, munculnya dua aliran yaitu, aliran hadist
dan aliran ra’yu. Aliran hadist adalah golongan yang lebih banyak
menggunakan riwayat dan sangat hati – hati dalam penggunaan ra’yu.
Sedangkan, aliran ra’yu adalah golongan yang lebih banyak
menggunakan ra’yu dibanding dengan hadist.Kemunculan dua aliran
semakin mendorong perkembangan hukum Islam pada saat itu.
3. Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin mengamalkan
ibadah dan muamalat (dalam arti luas) yang benar – benar sesuai
denfgan al – Qur’an dan Sunnah. Karena itu baik secara kelompok
maupun perseorangan, mereka selalu merujuk kepada ahli – ahli ilmu
dan hukum, untuk meminta fatwa – fatwa sesuai dengan al – Qur’an
dan Sunnah. Demikian pula para hakim dan kepala – kepala
pemerintahan, mereka selalu meminta pendapat kepada para mufti dan
ulama – ulama pembentuk hukum dalam menangani berbagai
persoalan – persoalan yang mereka hadapi.
4. Pada masa ini telah timbul penemuan – penemuan teori atau konsep –
konsep hukum yang ditunjang oleh lingkungan tempat mereka berada,
untuk mengembangkan penemuan – penemuan teori atau konsep –
konsep hukum yang telah mereka miliki. Pada masa ini, tercatat dalam
sejarah pemikiran hukum Islam, lahirnya mazhab – mazhab dalam
hukum Islam:
19
a) Madzhab Hanafi
Aliran ini berasal dari nama tokoh sentral dalam
pemikiran fiqih, yaitu Abu Hanifah al-Nu‟man ibn Tsabit
ibn Zuhti (80-150 H). Abu Hanifah mengalami kekuasaan
dua dinasti Islam, yaitu masa dinasti Umayyah dan
Abbasiyah. Beliau hidup selama 52 tahun pada dinasti
Umayyah, dan 18 tahun pada dinasti Abbasiyah. Pada
awalnya beliau adalah seorang pedagang, tetapi atas
anjuran seorang ulama (al-Sya’bi), kemudian beralih
menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah tergolong sebagai
generasi ketiga setelah Nabi Muhammad saw (at-ba’ al-
tabi’in). Ia belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ahl
alra’yu). Dan karena itu pula dalam perkembangan
pemikiran fiqihnya ia merepresentasikan aliran al-ra’yu.
Abu Hanifah tidak memulai pembelajaran dari fiqih, tetapi
memulai dengan ilmu kalam sehingga hal ini yang
menyokong dalam pembentukkan metode berfikirnya yang
rasional dan realistis. Pada perkembangannya, ia dikenal
dengan sebutan ahl ra’yu dalam fikih dengan metodenya
yang terkenal, yaitu istihsan.15
Dalam Thaha Jabir Fayadi al-„Ulwani memaparkan
pembagian cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua cara,
yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang
merupakan tambahan, cara ijtihad (istinbath) yang pokok
yang dilakukan Abu hanifah sebagai berikut:
1) Sumber utamanya adalah merujuk kepada al-Qur‟an,
15
Juliansyahzen, M. Iqbal. Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian Sosio-Historis
Seputar Hukum Keluarga. Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomor 1, Juni (2015): 76
20
2) Apabila tidak ditemukan di dalam Al-qur‟an, Ia merujuk
kepada Sunnah Nabi dan atsar yang shahih yang
diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah,
3) Apabila tidak mendapatkan pada keduanya, Ia mencari
qaul para sahabat.
Sedangkan cara ijtihad yang tambahan menurut Ajat
Sudrajat adalah:
1) Bahwa dilalah lafad umum (‘am) adalah qath’i, seperti
lafad khash,
2) Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan
pendapat umum adalah bersifat khusus,
3) Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih
kuat (rajih),
4) Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat)
syarat dan shifat,
5) Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya,
yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan
riwayatnya,
6) Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang
dipertentangkan,
7) Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila
diperlukan.
b) Madzhab Maliki
Imam Malik adalah imam yang kedua dari Imam-
imam empat serangkai dalam Islam. Dari segi umur Ia
dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz
tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi‟ul
Awal 179 H/ 798 M di Madinah. Imam Malik wafat pada
masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Harun
ArRasyid. Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdillah
Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu
21
Amir bin Harits. Imam Malik dikenal sebagai seorang yang
berbudi mulia dengan pikiran cerdas, pemberani, dan teguh
mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Kedalaman
ilmu menjadikan beliau amat tegas dalam menentukan
hukum syar‟i. 16 Pada usia remaja, Malik ibn Annas, belajar
dan menghafal Alqur‟an.
Kemudian ibunya mendorong Malik untuk belajar
fiqih aliran rasional kepada imam Rabi’ah al-Ra’yu, yang
juga berasal dari Madinah. Malik juga belajar kepada faqih
yang lain, yaitu Yahya ibn Sa‟id di samping belajar fiqih,
Malik ibn Anas juga mempelajari hadits-hadits Nabi, antara
lain kepada Abdurrahman ibn Hurmuz, Nafi Maula ibn
Umar, lbn Syihab al-Zuhri, dan Sa‟id ibn Musayyab.
Hadits-hadits yang Ia terima dari gurunya dituangkan
dalam suatu kitab yang disusunnya, dan diberi nama al-
Muwattha sehingga imam Malik dikenal dengan ahl al-
hadits. 17
Cara ijtihad (istinbath) Imam Malik melalui langkah-
langkah ijtihad sebagai berikut:
1) mengambil dari Al-qur‟an,
2) menggunakan zhahir Al-qur‟an yaitu lafad-lafad
yang umum (Sunnah Nabi),
3) menggunakan dalil Al-qur‟an yaitu mafhum al-
muwafaqoh,
4) menggunakan mafhum Al-qur‟an yaitu mafhum
mukhalafah,
5) menggunakan tanbih Al-qur‟an yaitu
memperthatikan illat. Kemudian dalam madzhab imam
16
Danu Aris Setiyanto, Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan Sejarah
Sosial). Al-ahkam Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol. 1, Nomor 2, (2016): 106-108
17
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans Publishing, 2015),
100
22
Malik lima langkah itu disebut sebagai Ushul Khamsah.
Langkah-langkahnya dalam Askar Saputra adalah;
1) ijma‟,
2) qiyas,
3) amal penduduk Madinah,
4) istihsan,
5) saad aldzara’i,
6) al-maslahah al-mursalah,
7) qoul shohabi,
8) mura’at al-khilaf,
9) al-istishhab,
10) syar`u man qoblanaa. Sebenarnya para penerus
imam Malik dalam menggunakan dalil hukum bersumber
kepada Al-qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas.18
c) Madzhab Sayafi‟i
Nama lengkap imam Syafi‟i adalah Muhammad bin
Idris bin al-Abbas bin Syafi'i bin al-Saib bin Ubaid bin
Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Mutholib bin Abdi Manaf.
Dari pihak Ibu al-Syafi'i adalah cucu saudara perempuan
ibu sahabat Ali bin Abi Thalib. Jadi ibu dan bapak al-Syafi'i
adalah dari suku Quraisy. Bapak beliau berkelana dari
Makkah untuk mendapatkan kelapangan penghidupan di
Madinah, lalu bersama dengan ibu al-Syafi'i meninggaikan
Madinah menuju ke Gaza untuk akhirnya beliau wafat di
sana setelah dua tahun kelahiran al-Syafi'i. Dalam catatan
yang lain al-Syafi'i lahir dalam keadaan yatim, pada bulan
Rajab Tahun 150 H. (767 M) di Gaza, Palestina.19
18
Thaha Jabir Fayadi Al-‘Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, (Washington: The International
Institute of Islamic Thought, 1987), 93-94
19
Rohidin. Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'i. Jurnal Hukum No. 27 Vol 11
September, (2004): 98
23
Pada umur 9 tahun Imam Syafi‟i telah hafal Al-
qur‟an. Setelah itu beliau melanjutkan belajar bahasa Arab,
hadits dan fiqih. Diantara gurunya ialah imam Malik dan
beliau hafal kitab al-Muwatha. Setelah imam Malik wafat,
imam Syafi‟i mulai melakukan kajian-kajian hukum dan
mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih, bahkan telah menyusun
metodologi kajian fiqih. Dalam kajian fiqihnya, al-Syafi’I
mengemukakan pendapat bahwa hukum Islam harus
bersumber kepada Al-qur‟an dan Sunnah serta Ijma‟.
Apabila ketiga sumber ini belum memaparkan ketentuan
hukum yang jelas dan pasti, al-Syafi‟i telah mempelajari
qaul sahabat, dan baru kemudian ijtihad dengan qiyas dan
istishab.
Cara ijtihad (istinbath) imam al-Syafi‟i seperti imam-
imam madzhab yang lainnya, namun al-Syafi‟i disini
menentukan thuruq alistinbath al-ahkam tersendiri. Adapun
langkah-langkah ijtihadnya adalah; Ashal yaitu Al-qur‟an
dan Sunnah. Apabila tidak ada didalamnya maka beliau
melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah
muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk
berkualitas. Makna hadits yang diutamakan adalah makna
zhahir, ia menolak hadits munqathi’ kecuali yang
diriwayatkan oleh Ibn al-Musayyab pokok (al-ashl) tidak
boleh dianalogikan kepada pokok, bagi pokok tidak perlu
dipertanyakan mengapa dan bagaimana (lima wa kaifa),
hanya dipertanyakan kepada cabang (furu’).
imam Syafi’i mengatakan dalam Muhammad Kamil
Musa bahwa, ilmu itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama
adalah Al-qur’an dan Sunnah, kedua ialah ijma’ terhadap
sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan Sunnah.
Ketiga adalah qaul sebagian sahabat tanpa ada yang
24
menyalahinya, keempat adalah pendapat sahabat Nabi Saw
yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda
(ikhtilaf) dan kelima adalah qiyas. Dengan demikian, dalil
hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i adalah Al-
qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sedangkan teknik ijtihad yang
digunakan adalah qiyas dan takhyir apabila menghadapi
ikhtilaf pendahulunya.
d) Madzhab Hambali
Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambali Al-
Syaibani dilahirkan di Baghdad (Iraq) tepatnya dikota
Maru/Merv, kota kelahiran sang ibu, pada bulan Robi`ul
Awwal tahun 164 H atau Nopember 780 M. Nama
lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn
Hilal Ibn As`ad Ibn Idris Ibn Abdillah Ibn Hayyan Ibn
Abdillah Ibn Anas Ibn `Auf Ibn Qosit Ibn Mazin Ibn
Syaiban Ibn Zulal Ibn Ismail Ibn Ibrahim. Dengan kata lain,
Ia adalah keturunan Arab dari suku bani Syaiban, sehingga
diberi laqab Al-Syaibani.20
Imam Hambali dibesarkan di Baghdad dan
mendapatkan pendidikan awalnya dikota tersebut hingga
usia 19 tahun (riwayat lain menyebutkan bahwa Ahmad
pergi keluar dari Bagdad pada usia 16 tahun). Pada umur
yang masih relative muda ia sudah dapat menghapal Al-
Qur`an. Sejak usia 16 tahun Ahmad juga belajar hadits
untuk pertama kalinya kepada Abu Yusuf, seorang ahli al-
ra`yu dan salah satu sahabat Abu Hanifah. Kemudian
gurunya dalam pemikiran fiqih ia belajar kepada imam
Syafi’i, dan imam Hanbal banyak mempergunakan Sunnah
20
Abdul Karim, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Jurnal Riwayah Vol.
1, No. 2, September (2015): 353
25
sebagai rujukan. Beliau tergolong orang yang
mengembangkan fiqih tradisional. Dalam hidupnya imam
Hambali banyak melakukan analisis-analisis terhadap
hadits-hadits Nabi dan kemudian disusun berdasarkan
sistematika isnad, sehingga karyanya imam Hambali
dikenal dengan sebutan kitab Musnad. Imam Hambali juga
dikenal sebagai ulama ahli fiqih dan ahli hadits yang
masyhur dikalangan masyarakatnya. Pandangannya
berpengaruh dikalangan masyarakat. Ijtihad (istinbath)
imam Ahmad ibn Hambali dijelaskan oleh Thaha Jabir
Fayadl al-Ulwanibahwa cara ijtihad imam Hambali sangat
dekat dengan ijtihad yang dipakai oleh imam Syafi’i.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
27
DAFTRA PUSTAKA
Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, Cairo: Dar An-
Nahdhah Al-Arabiyah, 1960.
Muhamad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Deirut: Dar al-Fikr, 1988).
Abd al Wahhab Khallaf, Khulasah Tārikh Tasyri’ al-Islām, alih bahasa Aziz
Mashuri, (Solo: Ramadan, 1990).
Direktoral Pembinaan PTAI, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan
PTAI/IAIN, 1981).
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995).
Uraian lebih lanjut lihat ‘Ali Hasabillah, Ushul al-Tasyr’ al-Islami (Mesir: Dar al-
Ma’arif, 1976).
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum
Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1986).
Satria Efendi, M. Zein, “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah dkk,
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1990)
Lihat, Phlip K. Hitti, The History of Arab,
Manna’ al-Qhattan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami.
28