Anda di halaman 1dari 17

PERAN FORUM KOMUNIKASI UMAT BERAGAMA (FKUB) SEBAGAI

JALAN TENGAH KONFLIK AGAMA


(Studi Deskriptif Kualitatif pada Masyarakat Multikultural di Kota Bandung)
Adelia1, Ai Nurul Fahmi2, Diky Firmansyah3, Sandra Aulia Poernama4
Adelia26@upi.edu Ainurulfahmi@upi.edu Diky_firmansyah@upi.edu Saandraulia@upi.edu
1234
Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Abstract: Indonesia is a multicultural country with various religions. Religious diversity
sometimes triggers a number of conflicts in each region, including the city of Bandung as a
metropolitan city with a heterogeneous population. Even though there is a Religious
Communication Forum (FKUB), aspects of religious life in society sometimes do not match the
expected goals. This research was conducted with the aim of assessing and describing the factors
and impacts of religious conflict, as well as focusing on the role of FKUB as a mediator of
religious diversity in Indonesia, especially in the city of Bandung. The research method used was
descriptive qualitative method. The purpose of this research is to describe in more detail the
problem of religious conflict by studying as much as possible about FKUB and the people of
Bandung City. The data collection technique used is a documentation study based on literature
relevant to the research problem. The results show that the factors that occur in religious conflict
are the social distance between the community and followers of other religions, the loss of local
wisdom values, and the feeling of being the dominant religion. more favored. The impact has an
impact on physical losses such as damage to resources and facilities, injuries and deaths, as well
as non-physical impacts, namely the fading of social cohesion among the people which leads to
the disintegration of the nation. FKUB as a consultative institution plays a role in conducting
dialogue, accommodating aspirations, channeling aspirations, disseminating regulations, and
providing written recommendations for requests for places of worship. and resolve religious
conflicts in a consultative manner in order to maintain the unity and integrity of Indonesia.
Keyword: Religons; Social Class; FKUB
Abstrak: Negara Indonesia merupakan negara yang multikulturalisme dengan agama yang
beragam. Keberagaman agama terkadang memicu sejumlah konflik di setiap daerah, tak
terkecuali Kota Bandung sebagai kota metropiltan dengan penduduk yang heterogen. Sekalipun
sudah ada Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), aspek kehidupan beragama di
masyarakat terkadang tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengkaji dan menggambarkan faktor-faktor dan dampak dari konflik agama,
serta berfokus pada peran FKUB sebagai penengah dari keberagaman agama di Indonesia
khususnya di Kota Bandung. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif. Tujuan digunakannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara lebih rinci
permasalahan konflik agama dengan mengkaji semaksimal mungkin mengenai FKUB dan
masyarakat Kota Bandung. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi
dokumentasi berdasarkan literatur yang relevan dengan permasalahan penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor-faktor terjadinya konflik agama yaitu faktor jarak sosial masyarakat
dengan pemeluk agama lain, lunturnya nilai-nilai kearifan lokal, serta perasaan sebagai agama
mayoritas yang lebih diunggulkan. Dampaknya berimbas pada kerugian fisik seperti rusaknya
sumber daya dan fasilitas, cedera dan kematian, serta dampak non fisik yaitu pudarnya kohesi
sosial di antara masyarakat yang memunculkan disintegrasi bangsa. FKUB sebagai lembaga yang
konsultatif berperan dalam melakukan dialog, menampung aspirasi, menyalurkan aspirasi,
melakukan sosialisasi peraturan, serta memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan rumah
ibadah. Dengan demikian, FKUB berperan sebagai fasilitator bagi kerukunan umat beragama
yang berusaha meminimalisir faktor-faktor pemicu konflik agama, serta menyelesaikan konflik
agama dengan cara konslutatif dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.
Kata Kunci: Agama, golongan masyarakat, FKUB

1. Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara multikultural yang terlahir dengan berbagai
keragaman didalamnya. Multikulturalisme dapat diartikan sebagai bentuk pemahaman
tentang keragaman masyarakat yang majemuk, plural, dan heterogen (Shofa, 2016).
Lebih jauh multikulturalisme dapat diartikan sebagai keragaman yang mencakup suku,
budaya, adat istiadat termasuk agama dan kepercayaan. Indonesia memiliki berbagai
agama dan kepercayaan, tetapi yang diakui secara resmi oleh negara yaitu agama Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu (Mansur, 2017). Agama pada
masyarakat Indonesia dipahami sebagai suatu sistem sosial atau tuntunan dalam
melaksanakan kehidupan bermasyarakat.
Indonesia dikenal dengan negara yang religius dan patuh terhadap tuntunan
agama. Hal tersebut terbukti dengan masyarakatnya yang tidak terlepas dengan agama
dalam segi kehidupan sosialnya. Berdasarkan data pada website Databoks yang
bersumber dari Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis persentase pemeluk
agama di Indonesia hingga akhir Desember 2021. Dalam data tersebut tercatat 86,93%
penduduk beragama Islam, 7,47% beragama Kristen, 3,08% beragama Katolik, 1,71%
beragama Hindu, 0,74% beragama Budha, 0,3% beragama Konghuchu, dan 0,05%
mempercayai aliran kepercayaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar (mayoritas) penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama Islam.
Keberagaman pada masyarakat Indonesia sejatinya sudah jelas termaktub dalam
semboyan negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam menghadapi perbedaan
agama dan kepercayaan, kerukunan antar umat merupakan hal yang mendasar dan
penting untuk diperhatikan. Kerukunan antar umat merupakan hubungan antar umat yang
didasari oleh toleransi, saling menghormati, saling pengertian, menghargai kesetaraan
agama dan bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Nazmudin, 2017). Kebebasan beragama di
Indonesia diperkuat dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang menegaskan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya.
Kehidupan bermasyarakat pada dasarnya bersifat dinamis dan menyesuaikan
dengan perkembangan yang terjadi. Begitupun dalam kehidupan beragama tidak lepas
dari kedinamisan yang selalu mengiringi. Oleh karena itu, perlu adanya peran dan wadah
yang dapat menjadi penengah ditengah-tengah keragaman agama. Salah satunya adalah
terbentuknya FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang didukung dan difasilitasi
oleh pemerintah. FKUB bergerak untuk memelihara,membangun, dan memberdayakan
umat beragama dalam mencapai kerukunan dan kesejahteraan (Utami, 2016). FKUB
melibatkan peran masyarakat, tokoh/pemuka agama, dan pemerintah untuk mencapai
kerukunan dan keharmonisan yang merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan beragama tidak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Pada faktanya meskipun ada FKUB sebagai penengah dari keragaman
agama, konflik atas dasar agama masih sering kali terjadi. Agama tidak jarang dijadikan
kambing hitam dan menjadi bahan tudingan karena dipandang sebagai penyebab
terjadinya masalah sosial termasuk konflik dan perpecahan masyarakat (Ulya, 2016).
Konflik yang terjadi pada dasarnya tidak selalu bermuara pada persoalan agama, tetapi
merupakan proses terbentuknya suatu masyarakat yang didalamnya terdapat persaingan
(competition). Ketika perbedaan dipandang sebagai suatu persaingan, maka permasalahan
seperti konflik akan timbul yang pada dasarnya bertentangan dengan prinsipnya karena
sejatinya agama mengajarkan nilai-nilai perdamaian dan persatuan.
Permasalahan yang terjadi sangat beragam dan kompleks sehingga berujung pada
konflik antar umat beragama. Perasaan lebih tinggi dan memandang rendah agama dan
kepercayaan orang lain tidak jarang terjadi pada masyarakat mayoritas. Marginalitas oleh
masayarakat mayoritas selalu membayangi masyarakat minoritas baik dalam kehidupan
beragama maupun kehidupan sosialnya. Kecenderungan masyarakat mayoritas
menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat menyerang secara individual ataupun
kelompok masyarakat minoritas. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat mayoritas
memiliki sifat seperti itu. Banyak oknum yang memprovokasi dan memanfaatkan
keadaan dengan memperalat agama guna kepentingan pribadi maupun golongan.
Seiring perkembangan masyarakat yang semakin maju dan terus bergerak
terkadang diiringi oleh permasalahan yang timbulkannya. Pemahaman masyarakat
terhadap permasalahan dan isu-isu agama masih sangat rendah. Orientasi masyarakat
dalam hal agama masih sangat sensitif dan rentan terhadap permasalahan (Kurniawan,
2018). Berbagai persoalan menjadi latar belakang permasalahan agama mulai dari sosial,
politik hingga ekonomi. Belakangan yang sering terjadi adalah permasalahan politik
selalu dikaitkan dengan isu-isu agama. Hal itu bukan tanpa sebab tetapi karena banyak
oknum yang memperalat dan mencampuradukan antara agama dan politik tanpa adanya
batasan serta landasan yang kuat. Dampaknya berimbas pada satu agama yang dianggap
intoleran dan tidak menerima perbedaan.
Permasalahan konflik antar umat beragama sering kali terjadi pada kota-kota
besar, karena komposisi masyarakatnya yang cenderung majemuk dan heterogen. Pada
kota-kota besar kondisi demikian marak dan berpotensi terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Pergesekan antar umat beragama menjadi rawan karena kondisi masayarakat
yang saling bergandengan pada lingkungan yang sama. Berbeda halnya dengan wilayah
yang memiliki komposisi masyarakat homogen, pemasalahan semacam ini jarang terjadi.
Salah satunya di Kota Bandung dengan jumlah penduduk dan pemeluk agama yang
beragam menjadikannya menjadi rawan terjadi konflik agama. Muara dari konflik itu
sendiri sebetulnya bukanlah hal yang rumit, tetapi hal sederhana yang sejatinya jika
disikapi dengan bijak maka tidak akan sampai berujung pada konflik.
Maka dari itu, konflik antar umat beragama merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan dan perlu diselesaikan. Tidak dapat dipungkiri konflik antar umat beragama
merupakan permasalahan yang menahun dan sulit terselesaikan. Hadirnya FKUB belum
sepenuhnya menjadi jawaban dari berbagai permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini
FKUB bukan berarti gagal dalam menjadi penengah antar agama, melainkan
komplesksitas permasalahan dan keterbukaan masyarakat terhadap isu agama masih
rendah. Konflik antar umat beragama seharusnya dibenahi dari dasar dengan
menanamkan nilai saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Dengan berbagai realitas yang terjadi pada masyarakat khusunya dalam bidang
agama perlu adanya kajian untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Maka dari urgensi dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mendeskripsikan faktor-
faktor terjadinya konflik antar umat beragama. Selain itu, perlu kiranya untuk mengetahui
korelasi antara permasalahan yang terjadi dengan dampak yang ditimbulkannya. Terakhir
penelitian ini berfokus terhadap peran FKUB sebagai penengah dari keberagaman agama
di Indonesia khusunya di Kota Bandung.
2. Tinjauan Pustaka
Agama dan Peran Agama
Dalam kajian sosio-antropologi agama atau religi merupakan terjemahan bahasa
Inggris yaitu religion, istilah agama tersebut memiliki pandangan yang berbeda dengan
istilah agama dalam bahasa politik dan administrasi pemerintah Indonesia (Marzali,
2017). Agama adalah sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu yang
dituhankan. Keyakinan pada substansi konsep ketuhanan dicapai oleh manusia
berdasarkan apa yang datang dari kesadaran diri. Misalnya ketika Nabi Ibrahim mencoba
nalarnya untuk memahami konsep ciptaan Tuhan hingga akhirnya menemukan
hakikatnya sebagai pencipta alam semesta dan sepatutunya untuk disembah. Kemampuan
akan pengetahuan seseorang juga dapat diperoleh berdasarkan pengalaman eksternal.
Sederhananya, seseorang yang mengerti dan percaya pada esensi ketuhanan berarti dapat
dikatakan orang yang beragama.
Dalam perspektif sosiologi definisi tentang agama merupakan definisi secara
empiris, dan tidak mendefinisikan secara evaluatif. Agama dipandang sebagai gambaran
atau deskripsi berdasarkan apa yang dipahami dan dialami oleh penganutnya (Fanani,
2018). Dari pengamatan ini, sosiologi hanya dapat memberikan definisi deskriptif tentang
apa yang dipahami dan dialami oleh orang yang mempercayainya. Agama merujuk pada
fpandangan hidup yang diterapkan dalam kehidupan baik secara individu maupun
kelompok. Keduanya saling teikat dan saling berhubungan dengan segala faktor yang
membentuk struktur sosial di masyarakat.
Lebih lanjut tokoh sosiologi Emile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah
sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berhubungan dengan hal-
hal yang spiritual kepercayaan dan praktik-praktik yang bersatu menjadi suatu komunitas
moral yang tunggal (Imran, 2015). Agama juga dipahami sebagai suatu pengalaman
tentang hal-hal yang sakral atau dihormati. Agama terbentuk dan diciptakan sebagai jenis
sosial oleh penganut-penganutnya yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan non-
empirirs yang dipercayai dan dipergunakan untuk mencapai suatu keselamatan bagi
mereka dan masyakat luas pada umunya. Dalam kamus sosiologi definisi agama ada tiga
macam, yaitu:
a. Kepercayaan pada hal-hal yang bersifat spiritual
b. Serangkaian keyakinan dan praktik spiritual yang dipahami sebagai tujuan
tersendiri
c. Ideologi tentang hal-hal yang bersifat supranatural
Selain itu, dalam sebuah agama terdapat beberapa unsur yang menjadi pedoman
pokok bagi agama tersebut. Hal tersebut meliputi keyakinan pada kekuatan supranatural,
kitab suci sebagai pedoman, terdapat tokoh pembawanya, ajaran yang bisa dipatuhi, dan
ritual keagamaan sebagai bentuk peribadahan. Secara garis besar ruang lingkup agama
meliputi:
a. Hubungan manusia dengan tuhannya yang disebut seabagai ibadah. Ibadah
bertujuan sebagai jembatan untuk mendekatkan manusia kepada tuhannya.
b. Hubungan manusia dengan manusia, agama memiliki konsep dasar yang
berkaitan dengan kekerabatan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut
memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia
dengan manusia (ajaran kemasyarakatan).
c. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya. Dalam ajaran
agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk
hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan
kehidupannya.
Agama memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
karena agama memberikan sistem nilai yang diturunkan dari norma-norma sosial untuk
memberikan validasi dan pembenaran untuk mengatur pola perilaku manusia baik pada
tingkat individu maupun masyarakat. Agama pada dasarnya adalah cara hidup, ketika
melihat nilai yang ada didalamnya makan dapat dilihat dari dua pandangan. Pertama,
nilai-nilai agama dilihat dari sudut pandang intelektual, menjadikan nilai-nilai agama
sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama yang dirasakan dari sudut pandang
emosional, menciptakan dorongan batin yang dikenal sebagai mistisisme (Asir, 2014).
Golongan Masyarakat
Golongan masayakat dapat dipahami sebagai penggolongann anggota-anggota
masyarakat ke dalam suatu kelompok yang memiliki karakteristik yang sama atau sejenis
(Maunah, 2015). Penggolongan ini dartikan sebagai kategori orang-orang tertentu dalam
suatu masyarakat yang berlandaskan pada ciri-ciri mental tertentu. Berdasarkan
pengertian tersebut, penggolongan masyarakat dapat dibentuk berdasarkan ciri-ciri yang
sama, misalnya:
a. Penggolongan berdasarkan jenis kelamin.
b. Penggolongan berdasarkan pada usia.
c. Penggolongan berdasarkan pendidikan atau cendikia.
d. Penggolongan berdasarkan pekerjaan.

3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Menurut Sugiyono (2016:9) metode deskriptif kualitatif adalah metode penelitian yang
berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci. Analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan
untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan dan menjawab secara
lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan mempelajari semaksimal mungkin
seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian. Dalam penelitian kualitatif
manusia merupakan instrumen penelitian dan hasil penulisannya berupa kata-kata atau
pernyataan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan penelusuran pustaka
dari beberapa sumber relevan yang tersedia secara online, seperti artikel jurnal, e-book,
dan laman berita. Selanjutnya untuk menunjang interpretasi data, peneliti menggunakan
media sosial sebagai rekam jejak dari adanya konflik agama di Kota Bandung serta sejauh
mana peran FKUB dalam menjalankan tugasnya. Subjek dari penelitian ini adalah FKUB
dan masyarakat Kota Bandung yang diteliti secara menyeluruh melalui media sosial yang
merepresentasikan subjek penelitian. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah konflik
agama yang terjadi di Kota Bandung. Untuk menguji keabsahan data, peneliti
menggunakan triangulasi sumber dengan cara menguji suatu data tertentu dari beberapa
sumber yang terkait (Mekarisce, 2020). Sehingga data yang diambil dapat teruji
validitasnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Hasil dan Pembahasan
Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Agama
Kebebasan yang diberikan oleh negara untuk menganut suatu agama sesuai
dengan kepercayaannya masing-masing sudah ditetapkan dalam Pasal 29 ayat 2 UUD
1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”. Sebelumnya pada Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia
merupakan negara yang berketuhanan. Karena itulah negara memberikan kebebasan atas
kehidupan beragama ini.
Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak terlepas dari proses
interaksi dengan manusia lainnya. Sifat naluriah manusia sebagai makhluk sosial
menjadikan mereka membutuhkan “teman” dalam menjalankan agamanya. Proses
interaksi yang terjadi di masyarakat pada kenyataannya selalu didasarkan atas
kepentingan tertentu, baik kepentingan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya (BM,
2014). Perbedaan kepentingan inilah yang seringkali menimbulkan percikan konflik di
antara masyarakat dengan membawa perbedaan agama sebagai kambing hitam untuk
kepentingan pribadi dan golongannya.
Hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki potensi terhadap datangnya konflik
agama. Hal ini karena masyarakat yang menduduki wilayah tersebut berasal dari latar
belakang yang berbeda, termasuk latar belakang agama atau kepercayaan yang dianutnya.
Apalagi di kota-kota besar yang menjadi pusat mobilisasi penduduk seperti Kota
Bandung sudah tentu diisi oleh penduduk yang heterogen. Sebagaimana masyarakat kota
pada umumnya, tingkat solidaritas di Kota Bandung cenderung kurang dan bahkan lebih
bersifat individualistik. Contohnya mereka bahkan sama sekali tidak mengenal tetangga
yang ada di sekitar kompleks rumahnya, padahal sudah tinggal dalam waktu yang cukup
lama. Situasi seperti ini merupakan bagian dari pemicu adanya konflik sosial yang
berorientasi pada agama dan dikhawatirkan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia (Ramadhan, 2020).
Keberagaman identitas di antara masyarakat Kota Bandung untuk saat ini sudah
diakui dan dihargai dengan tingkat toleransi yang wajar. Akan tetapi, pada beberapa
kondisi memang masih terdapat konflik kepentingan yang sulit untuk diselesaikan karena
masing-masing memiliki kondisi dan kebutuhan tertentu. Berdasarkan penelitian dalam
(Hermawati et al., 2017), mayoritas masyarakat Kota Bandung memiliki persepsi yang
positif terhadap keberagaman agama, jika tidak menyangkut pembangunan rumah ibadah
yang ada di lingkungan sekitar responden. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi
masyarakat terhadap keberagaman agama dibatasi oleh jarak sosial mereka yang tidak
terlalu dekat dengan aktivitas sehari-hari responden. Responden akan merasa terganggu
apabila aktivitas keagamaan pemeluk agama lain berada di lingkungan sekitar responden.
Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rahmana, 2018). Konflik
yang terjadi di antara warga masyarakat Kota Bandung bukan karena faktor perbedaan
agama yang mayoritas dan minoritas, melainkan karena kekeliruan regulasi yang
diterapkan ketika melakukan kegiatan keagamaan. Contohnya dalam pembangunan
Gereja Katholik yang dipelopori oleh development mengalami konflik verbal dengan
warga muslim di daerah tersebut. Hal ini karena bersamaan dengan pembangunan gereja
Katholik, warga muslim juga mengajukan pendirian pembangunan masjid. Pada saat itu
warga muslim tidak setuju dengan didirikannya gereja yang dekat dengan perumahan
mereka, sebab dianggap mengganggu ranah kehidupan sehari-hari warga muslim. Kedua
pemuka agama dari Islam dan Katholik juga sepakat bahwa konflik terjadi bukan karena
masyarakat menentang perbedaan agama, tetapi lebih ke arah kesalahpahaman yang pada
akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai.
Di kota metropolitan seperti Kota Bandung, eksistensi kearifan lokal daerah sudah
mulai tergerus akibat perkembangan teknologi yang semakin modern. Ketika masyarakat
dalam suatu daerah menganut agama dan kepercayaan yang beragam, maka yang dapat
mempersatukannya adalah kearifan lokal dari daerah tersebut (HM & Halim, 2019).
Meskipun demikian, kearifan lokal juga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai spritualitas
di dalamnya. Lunturnya nilai-nilai kearifan lokal dari masyarakat Kota Bandung
membuat mereka lupa akan jati diri mereka sebagai bangsa yang majemuk dan
berideologi Pancasila. Sehingga apabila suatu masyarakat sudah meninggalkan kearifan
lokalnya, berbagai macam konflik khsususnya konflik yang menyangkut agama
berpotensi terjadi di dalam masyarakat tersebut.
Agama merupakan sebuah identitas sosial. Dikatakan identitas sosial karena
lazimnya masyarakat Indonesia yang mengidentifikasi diri ke dalam suatu kelompok
agama yang mayoritas dan minoritas (Setiawan, 2020). Di Kota Bandung, identitas
sebagai warga muslim yang mayoritas memiliki privilege tersendiri dibandingkan umat
agama lain. Sedangkan bagi yang non muslim sering merasa dimarjinalkan dalam
kehidupan sehari-harinya. Sebagian komunitas muslim bahkan terbiasa mengambil
tindakan lebih awal untuk menundukkan kaum minoritas tanpa mempertimbangkan
dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut (Watch, 2013). Contohnya yang sudah
dipaparkan di atas bahwa pemeluk agama lain dilarang untuk mendirikan rumah ibadah
di lingkungan sekitar mereka. Hal seperti ini dapat memicu ketidakharmonisan antarumat
beragama khususnya di Kota Bandung.
Dampak yang Ditimbulkan dari Konflik Agama
Konflik agama merupakan bagian dari bentuk konflik antar kelompok, di mana
dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif dan dampak negatif. Secara
umum, dampak positif yang ditimbulkan dari konflik agama kepada masing-masing
kelompok agama di antaranya adalah dapat menguatkan integrasi dan solidaritas sosial in
group, memperkuat jalinan komunikasi kelompok, memperjelas posisi, serta
memunculkan isu-isu dan harapan baru yang sebelumnya terpendam (Harahap, 2018).
Contohnya ketika terjadinya konflik tentang rumah ibadah di Kota Bandung antara warga
muslim dan umat Kristen, masing-masing dari kelompok agama tersebut akan berkumpul
dan berdiskusi dalam memecahkan persoalan yang secara langsung dapat memperkuat
integrasi antar anggota penganut agama.
Ikatan sosial dalam suatu kelompok semakin kuat berkat adanya konflik (Basedau
et al., 2016). Sebelum datangnya konflik, anggota atau penganut agama ini masih sibuk
dengan kehidupannya masing-masing, sehingga kepentingan kelompok agamanya
menjadi terabaikan. Namun, setelah kelompok agamanya terancam akibat timbulnya
konflik, maka seluruh anggota akan ikut berpartisipasi, membangun koneksi dan kerja
sama agar eksistensi kelompok agamanya tidak punah. Kendatipun demikian, persatuan
dan kesatuan tetap harus terjalin baik sebelum maupun sesudah datangnya konflik.
Konflik bukan merupakan satu-satunya cara yang efektif dalam membangun integrasi
kelompok.
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia tentunya harus sadar bahwa
kelompok agama juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Artinya ada kelompok
yang lebih besar, yaitu negara Indonesia yang harus dijaga persatuan dan kesatuannya.
Sehingga konflik agama ini di samping menimbulkan dampak positif, juga menimbulkan
dampak negatif yang lebih besar. Khususnya dalam ruang lingkup Kota Bandung, apabila
konflik agama tidak segera diselesaikan, lambat laun akan menganggu stabilitas
keamanan dan ketertiban masyarakat. Buruknya lagi bagi kalangan masyarakat yang
tidak tahu apapun soal konflik agama yang terjadi di kotanya akan terkena imbasnya juga.
Apabila konflik agama ini sering terjadi di Kota Bandung, maka akan ada dampak
negatif yang ditumbulkan. Pertama, terganggunya keserasian hubungan sosial antarumat
beragama di Kota Bandung. Kedua, merusak visi misi atau tujuan bersama yang sudah
ditetapkan pemerintah, karena tentunya konflik agama ini akan berimbas kepada sektor
lainnya. Ketiga, menimbulkan kebencian di antara sesama anggota masyarakat yang
nantinya dapat memecah belah persatuan dan kesatuan.
Konflik agama ini juga dapat menimbulkan kerugian fisik seperti kematian,
kecacatan umat manusia, serta kerugian sumber daya dan fasilitas (Harahap, 2018).
Kerugian fisik yang dialami bisa saja sembuh dalam jangka waktu tertentu. Akan tetapi,
dampak sakit hati yang ditimbulkan ketika misalnya salah seorang anggota keluarga
meninggal akibat konflik agama memicu perasaan dendam. Hal inilah yang harus
dihindari sebisa mungkin, sebab sekecil apapun konflik agama, bisa jadi merupakan benih
dari tumbuhnya konflik-konflik besar yang akan terjadi di kemudian hari.
Dampak yang ditimbulkan secara langsung seperti krisis moral yang
memunculkan sikap individualistik di antara masyarakat Kota Bandung. Warga yang
asalnya hidup rukun dengan pemeluk agama lain dapat terpengaruh sehingga muncul
kecurigaan-kecurigaan yang menimbulkan kesalahpahaman dan permusuhan. Contohnya
ketika masyarakat mempermasalahkan kenaikan harga bahan pokok, bisa saja oleh
beberapa oknum malah mengaitkannya dengan permasalahan agama yang terjadi di masa
lalu. Akibatnya bermunculan konflik-konflik baru yang mengatasnamakan agama.
Dampak lainnya yaitu adanya persaingan dan dominasi kelompok dalam aktivitas
sehari-hari. Setelah terjadinya konflik, masyarakat yang asalnya lebih mengutamakan
kemaslahatan bersama dalam mengambil keputusan menjadi cenderung otoriter dan lebih
mengutamakan kelompok atau golongan agamanya. Persaingan untuk menjadi kelompok
terbaik dan dominan dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang menunjang
kepentingan agamanya masing-masing. Hal ini menjadikan masyarakat sangat fanatik
terhadap agama yang dianutnya. Setiap permasalahan yang terjadi tidak
dimusyawarahkan melalui forum terbuka, melainkan secara tertutup dengan
mengedepankan kepentingan kelompok. Pada akhirnya kelompok seakan menjadi remote
control bagi setiap gerakan masyarakat.
Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan sebuah “payung hukum”
yang bertugas dalam menjaga kerukunan antarumat beragama (Miharja & Mulyana,
2019). FKUB telah banyak dijumpai di berbagai daerah seperti di Kota Bandung sebagai
kota metropolitan yang diisi oleh penduduk dengan agama yang beragam. Urgensi dari
pembentukan FKUB ini adalah banyaknya konflik agama yang terjadi di daerah-daerah
di Indonesia sehingga diperlukan suatu lembaga yang bertugas dalam menangani
permasalahan tersebut.
Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri dalam Negeri Bab III Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pasal 8 ayat 3
bahwa FKUB memiliki hubungan yang bersifat konsultatif. Selanjutnya dalam Pasal 9
ayat 2 disebutkan bahwa FKUB Kabupaten/Kota memiliki tugas:
a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat;
c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur;
d. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat; dan
e. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
FKUB Kota Bandung selama ini menghadapi konflik agama yang berkenaan
dengan pembangunan rumah ibadah dengan jalan memberikan ruang untuk berkonsultasi
serta menemukan titik temu bagi kedua kelompok agama yang saling berselisisih. FKUB
menjamin keamanan dan ketertiban setiap umat untuk menjalankan ibadah tanpa perlu
memikirkan umat agama lain yang merasa terganggu dengan adanya rumah ibadah
tersebut.
Salah satu contohnya yaitu pada pembangunan gereja di Kawaluyaan yang
mengundang demo mayoritas warga muslim. Demo ini dilatarbelakangi oleh
kekhawatiran mereka menjadi murtad (keluar dari agama Islam) apabila sering
menyaksikan umat agama lain menjalankan ibadah di lingkungan sekitarnya. Pihak
FKUB yang dibantu oleh aparat kewilayahan kemudian menghimbau kepada warga untuk
tidak protes dan tetap mengedepankan toleransi sesuai dengan yang semboyan bhineka
tunggal ika. Berkaitan dengan isu pemurtadan yang dikhawatirkan warga muslim, pihak
FKUB mengundang ulama terpercaya untuk memberikan pencerahan bahwa murtad atau
tidaknya seseorang tergantung kualitas keimanan yang ada di dalam diri setiap umat
muslim. Menyaksikan umat agama lain beribadah tidak akan menimbulkan murtad
selama dalam hatinya tidak ada tekad untuk keluar dari agama Islam. Hal ini malah
menjadi ladang ibadah dengan meningkatkan toleransi terhadap umat agama lain
(Istiqamah, 2016).
Dalam rangka menjaga harmonisasi kerukunan umat beragama di Kota Bandung,
pihak FKUB mengadakan sejumlah program seperti pendirian kampung kerukunan yang
berkonsep toleransi antarumat beragama (Alhamidi, 2022). Kampung ini diharapkan
mampu memberikan contoh kepada warga masyarakat tentang bagaimana menjaga
kerukunan dalam rangka mencegah terjadinya konflik agama. Selain itu, pihak FKUB
juga sering menghimbau warganya untuk tetap menghormati perayaan umat agama lain,
seperti pada Perayaan Natal dan Tahun Baru agar tetap diselenggarakan dengan khidmat.
Di penghujung tahun baru juga dilaksanakan do’a bersama lintas agama secara daring
dan luring dengan bahwa kondisi budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat lebih baik dari
tahun sebelumnya (Ridwan, 2021).
Menjaga kerukunan umat beragama di Kota Bandung pada dasarnya bukan hanya
tugas dari FKUB saja, melainkan tugas bersama dari anggota masyarakat, pemerintah,
dan lembaga daerah. FKUB hanya sebatas forum yang memberikan ruang bagi
masyarakat untuk berkonsultasi terkait permasalahan intoleransi umat beragama serta
berusaha dalam menjaga dan mempertahankan integrasi. Selebihnya berangkat dari
kesadaran warga masyarakat sendiri untuk hidup rukun, berdampingan, berinteraksi,
tanpa adanya kepentingan tertentu yang mengatasnamakan agama. Sebab konflik agama
tidak akan menimbulkan keuntungan apapun, sekalipun salah satu dari kelompok yang
terjerat konflik merasa menang. Tetap akan ada dampak negatif sebagaimana yang sudah
dipaparkan sebelumnya dari adanya konflik agama ini. Maka dari itu, setiap umat
beragama wajib menjaga toleransi dan mendukung peran FKUB dalam menjalankan
tugasnya dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
5. Simpulan
Perbedaan kepentingan seringkali menimbulkan percikan konflik di antara
masyarakat dengan membawa perbedaan agama sebagai kambing hitam untuk
kepentingan pribadi dan golongannya. Hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki
potensi terhadap datangnya konflik agama. Hal ini terjadi karena masyarakat yang
menduduki wilayah tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda, termasuk latar
belakang agama atau kepercayaan yang dianutnya. Seperti di kota-kota besar seperti
Bandung sudah tentu diisi oleh penduduk yang heterogen, dimana tingkat solidaritas di
Kota Bandung cenderung kurang dan bahkan lebih bersifat individualistik. Contohnya
mereka bahkan sama sekali tidak mengenal tetangga yang ada di sekitar kompleks
rumahnya, padahal sudah tinggal dalam waktu yang cukup lama.
Mayoritas masyarakat Kota Bandung memiliki persepsi yang positif terhadap
keberagaman agama, jika menyangkut pembangunan rumah ibadah yang ada di
lingkungan sekitar. Konflik yang terjadi di antara warga masyarakat Kota Bandung bukan
karena faktor perbedaan agama yang mayoritas dan minoritas, melainkan karena
kekeliruan regulasi yang diterapkan ketika melakukan kegiatan keagamaan. Di kota
metropolitan seperti Kota Bandung, eksistensi kearifan lokal daerah sudah mulai tergerus
akibat perkembangan teknologi yang semakin modern. Ketika masyarakat dalam suatu
daerah menganut agama dan kepercayaan yang beragam, maka yang dapat
mempersatukannya adalah kearifan lokal dari daerah tersebut.
Dampak yang ditimbulkan dari konflik antar kelompok dapat berupa positif
maupun negatif. Secara umum dampak positif yang ditimbulkan dari konflik agama
kepada masing-masing kelompok agama yaitu menguatkan integrasi dan solidaritas in
group, memperkuat jalinan komunikasi kelompok, memperjelas posisi, serta munculnya
isu-isu dan harapan baru yang sebelumnya terpendam. Dampak negatifnya yaitu
terganggunya keserasian hubungan sosial antarumat beragama di Kota Bandung, merusak
visi misi atau tujuan bersama yang sudah ditetapkan pemerintah, dan menimbulkan
kebencian di antara sesama anggota masyarakat yang nantinya dapat memecah belah
persatuan dan kesatuan. Karena hal itu terbentuklah Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) yang memiliki tugas berdasarkan Pasal 9 ayat 2, yaitu: (1) Melakukan dialog
dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; (2) Menampung aspirasi ormas keagamaan
dan masyarakat; (3) Menyalurkan asirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; (4) Melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan (5) Memberikan
rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

Daftar Pustaka
Alhamidi, R. (2022). Respons FKUB soal Survei IPO Sebut Toleransi Umat Bergama
Jabar Rendah. Detik.Com. https://www.detik.com/jabar/berita/d-
5977811/respons-fkub-soal-survei-ipo-sebut-toleransi-umat-bergama-jabar-
rendah
Asir, A. (2014). Agama Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Umat Manusia. Al-Ulum :
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman, 1(1), 57–58.
Basedau, M., Pfeiffer, B., & Vu¨llers, J. (2016). Bad Religion? Religion, Collective
Action, and the Onset of Armed Conflict in Developing Countries. Journal of
Conflict Resolution, 60(2), 226–255. https://doi.org//10.1177/0022002714541853
BM, S. A. (2014). Konflik Sosial dalam Hubungan Antar Umat Beragama. Jurnal
Dakwah Tabligh, 15(2), 189–208.
https://doi.org/https://doi.org/10.24252/jdt.v15i2.348
Fanani, Z. (2018). Agama dan Resolusi Konflik. Al’-Atwir, 5(1), 39–62.
Harahap, S. (2018). Konflik Etnis Dan Agama Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Sosiologi
Agama (Jisa), 1(2), 1. https://doi.org/10.30829/jisa.v1i2.5096
Hermawati, R., Paskarina, C., & Runiawati, N. (2017). Toleransi Antar Umat Beragama
di Kota Bandung. Umbara, 1(2). https://doi.org/10.24198/umbara.v1i2.10341
HM, P., & Halim, A. (2019). The Role of Local Wisdom as Religious Conflict Resolution
in Jambi Indonesia. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 27(2), 353–
374. https://doi.org/10.21580/ws.27.2.4358
Imran, A. (2015). Peran Agama dalam Perubahan Sosial Mayarakat. Hikmah: Jurnal Ilmu
Dakwah Dan Komunikasi Islam, 2(1), 23–39.
Istiqamah, Z. (2016). Bandung Berpotensi Konflik Rumah Ibadah. Republika.Co.Id.
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/04/10/o5egwe394-
bandung-berpotensi-konflik-rumah-ibadah
Kurniawan, B. (2018). Politisasi Agama di tahun Politik : Politik Pasca-Kebenaran di
Indonesia dan Ancaman bagi demokrasi. Jurnal Sosiologi Agama, 12(1), 133–
154.
Kusnandar, V. B. (2022, Februari 12). Persentase Pemeluk Agama di Indonesia. Diunduh
pada April 23, 2022, dari Databoks:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/12/sebanyak-8693-
penduduk-indonesia-beragama-islam-pada-31-desember-2021
Mansur, S. (2017). Kerukunan dalam Perspektif Agama-Agama di Indonesia. Aqlania,
8(2), 6–18.
Marzali, A. (2017). Agama dan Kebudayaan. Umbara: Indonesian Journal of
Antropology, 1(1), 57–75.
Maunah, B. (2015). Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif Sosiologi
Pendidikan. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 19–38.
https://doi.org/10.21274/taalum.2015.3.1.19-38
Miharja, D., & Mulyana, M. (2019). Peran FKUB Dalam Menyelesaikan Konflik
Keagamaan di Jawa Barat. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas
Budaya, 2, 120–132.
Nazmudin. (2017). Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Journal of Government
and Civil Society, 1(1), 23–39. https://doi.org/10.31000/jgcs.v1i1.268
Rahmana, Z. S. (2018). Resolusi Konflik Sosial Keagamaan Di Kota Bandung. Religious:
Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya, 2(2), 162–173.
https://doi.org/10.15575/rjsalb.v2i2.3105
Ramadhan, D. I. (2020). Tokoh Agama di Bandung: Bubarkan Kelompok Intoleran-
Radikal. DetikNews. https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5303968/tokoh-
agama-di-bandung-bubarkan-kelompok-intoleran-radikal
Ridwan, M. F. (2021). FKUB Jabar Ajak Warga Jaga Toleransi Saat Nataru.
Republika.Co.Id. https://www.republika.co.id/berita/r4ioct320/fkub-jabar-ajak-
warga-jaga-toleransi-saat-nataru
Setiawan, T. (2020). The relation between religiosity dimensions and support for
interreligious conflict in Indonesia. Archive for the Psychology of Religion, 42(2),
244–261. https://doi.org/10.1177/0084672419878824
Shofa, A. M. A. (2016). Memaknai Kembali Multikulturalisme Indonesia dalam Bingkai
Pancasila. JPK (Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan), 1(1), 34–41.
Sugiyono, P. (2016). Metode Penelitian Manajemen (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Kombinasi (Mixed Methods), Penelitian Tindakan (Action Research, dan
Penelitian Evaluasi). Bandung: Alfabeta Cv.
Ulya, I. (2016). Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik Agama Di
Indonesia. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, 4(1), 20–35.
https://doi.org/10.21043/fikrah.v4i1.1663
Utami, N. W. (2016). Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah. Jurnal Ilmu Komunikasi, 13(1), 61–72.
https://doi.org/10.24002/jik.v13i1.600
Watch, H. R. (2013). In religion’s name: Abuses against religious minorities in
Indonesia. Human Rights Watch.
https://www.hrw.org/report/2013/02/28/religions-name/abuses-against-religious-
minorities-indonesia

Anda mungkin juga menyukai