Anda di halaman 1dari 27

Noer Fauzi Rachman,

Bandung, 22 Mei 2021

PANGGILAN
TANAH AIR
DAN
ETIKA
MERAWAT
BUMI DARI
FEMINIS
EKOLOGIS
Anna Tsing et al (2017) Arts of Living on a Damaged
Planet: Ghosts and Monsters of the Anthropocene
Anthropocene adalah nama satuan
waktu geologis yang diusulkan untuk
epoh baru di mana manusia telah
menjadi kekuatan perusak
metabolisme-metabolisme utama
bumi yang menghasilkan layanan alam.
Kata itu menampilkan sebuah narasi
besar: bumi membutuhkan waktu
jutaan tahun untuk bisa dibentuk
sebagai tempat hidup semua mahluk,
dan dalam sekejap mata saja bisa
dipunahkan. Anna Tsing, Heather Swanson, Elaine Gan, Nils
Bubandt (eds.), Arts of Living on a Damaged Planet:
Keangkuhan kebijakan para penguasa Ghosts and Monsters of the
dan logika modal korporasi membuat Anthropocene (Minneapolis : University of
kita tidak yakin bumi dapat kita Minnesota Press, 2017)

wariskan kepada generasi berikutnya,


baik manusia dan bukan-manusia.
Reorganisasi ruang untuk konsesi-konsesi
agraria membentuk krisis sosial ekologi
yang melanda Tanah Air di seantero
Nusantara.
Krisis sosial-ekologi ini, sebagaimana
diteorikan oleh Hendro Sangkoyo (2016)
menyangkut tata kuasa, tata guna,
produktifitas dan layanan alam. Pada
gilirannya, memerosotkan status
kesejahteraan para rakyat korban (laki,
perempuan, tua, muda, anak-anak, di kota,
desa daratan dan pesisir serta pulau-pulau
kecil), hingga membuat para penderita-
nya kalah dan bermentalkan orang-orang
kalah.
Tiap-tiap tanah air selalu ada muatan emosi dan identifikasi identitas diri pada suatu tempat
kelahiran dan dibesarkan. Tanah air membawa kita pada urusan hidup dan mati bisa bertaruh
nyawa kita memperjuangkan tanah air kita. Tanah air selalu punya panggilan, tak ada yang
memiliki panggilan sekuat tanah air seperti ikatan dengan tali pusar ikatan tanah kelahiran,
tak tergantikan Tanah air punya banyak bentuk panggilan, lebih-lebih kalau kita berusaha
mengumpulkan istilah-istilah dari berbagai bahasa untuk tanah air. Misalnya:

Aceh : trimeng geunesah, nangroe, negeri, gampung


Tidore : kie se gama malinga, dodomi ma gonyihi
Tarutung : bona pasongit, huta hutubuan
Tojo Una-Una : lipu
Manado : kita pe kampung , makatana kawanua
Bugis : siri Na pace Makasar
Makasar : siri Na pesse bugis
Priangan : leumah cai
Jawa : ….
Dst.

Tanah Air Indonesia itu beraneka ragam sistem agraria, dengan


sumber daya alam hayati yang beranega ragam, sistem pengelolaan
sumber daya alamnya, serta sejarah, geografi dan budaya hidupnya.
Ilustrasi Reorganisasi Ruang dan Akibat-akibatnya
https://viacampesina.org/en/nyeleni-newsletter-land-grabs-and-land-justice/
Operasi paksa sebagai Pemulai Krisis Sosial Ekologi

Rakyat korban menghadapi operasi-operasi paksa yang


dijalankan oleh berbagai kekuatan, dalam rangka
menyediakan tanah dan alam murah (cheap land and
nature) sebagai modal bagi perusahaan-perusahaan
kapitalis raksasa, terutama dalam usaha-usaha
pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.
Operasi kekerasan yang dimaksud di atas terutama
mencakup pelepasan hubungan kepemilikan rakyat
terhadap tanah, sumber daya alam dan wilayah,
perubahan secara drastis tata guna dari tanah,
sumberdaya alam dan wilayah, serta perubahan posisi
kelas dari rakyat dalam hubungannya dengan
keberadaan sistem produksi kapitalis yang baru
didirikan dan bekerja di atas tanah, sumber daya alam
dan wilayah itu (Rachman 2015:2).
Krisis Sosial Ekologi – Pandangan Hendro Sangkoyo
Keselamatan rakyat, pada skala orang per orang maupun rombongan,
seharusnya merupakan syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh
para pengurus negara dan alat-alatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah
halaman, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat
lebih banyak diakibatkan oleh proses penyelenggaraan negara selama
paska kolonial hingga sekarang adalah bukti tak terbantahkan bahwa
selama keselamatan rakyat tidak kita persyaratkan sebagai agenda
pengurusan masyarakat dan wilayah.
Keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi norma dalam proses
pembaruan ketentuan-ketentuan kenegaraan, termasuk pembaruan
hukum, dan dari penyelenggaraan fungsi-fungsi politik seperti
pengelolaan produksi dan keuangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi
adalah bahwa mengurus keselamatan rakyat harus menjadi tindakan
kolektif sehari-hari dari lembaga-lembaga politik terkecil pada aras desa
hingga kabupaten.
Selain keselamatan rakyat, kita musti meletakkannya dalam satu nafas
dengan mengurus tiga urusan lain, yakni (a) kesejahteraan rakyat, (b)
keutuhan fungsi-fungsi faal ruang hidup, dan (c) produktivitas rakyat.
Kesejahteraan rakyat, Keutuhan fungsi-fungsi
faal ruang hidup, dan Produktivitas Rakyat

“Kesejahteraan rakyat, meskipun senantiasa menjadi semboyan,


program, pos anggaran, dan indikator, tidak pernah kita urus
sebagai syarat dari kerja birokrasi negara. Tak terpisahkan dari
konsep pokok “keselamatan”, rakyat selama ini “mendapatkan”
dua akibat perubahan terencana pada keadaan kesejahteraannya,
yang saling bertolak belakang: pelayanan kesejahteraan seperti
kesehatan dan pendidikan, sekaligus perampasan kesejahteraan
lewat berbagai mekanisme, baik langsung maupun tidak, seperti
politik fiskal, perampasan tanah dan tempat tinggal rakyat sebagai
syarat investasi produksi, dan politik konstruksi fisik sarana
pelayanan umum di pusat-pusat mukiman.”

Hendro Sangkoyo, sebagaimana dimuat dalam Noer Fauzi Rachman 2015


Panggilan Tanah Air. Jakarta: Prakarsa Desa, halaman 46-47.
Hilangnya sumber-sumber air bersama, gundulnya wilayah-wilayah
dataran tinggi dan curam yang genting kedudukannya dalam daur
tata air setempat, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena
cara produksi tani yang mementingkan hasil jangka pendek, atau
karena kegiatan penambangan, pengeruhan dan pendangkalan
aliran sungai, hilangnya sumber-sumber hayati perairan pesisir,
adalah contoh nyata dari tidak terpenuhinya kelangsungan
“pelayanan alam” bagi kehidupan yang dikandungnya, yang bersifat
mendorong pengawetan bahkan peluasan pemiskinan rakyat
khususnya di desa, dan merupakan ancaman jangka panjang
terhadap syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Tandingan (nya) adalah penciptaan wilayah-wilayah kelola
bersama. Kepentingan rakyat atas kelangsungan pelayanan alam,
serta kebutuhan pemanfaatan bahan terbarui dari hutan,
perbukitan dan dataran tinggi, daratan dan perairan pesisir, bukan
saja harus diakui secara resmi, tetapi justru harus menjadi tumpuan
dari usaha mempertahankan kelangsungan pelayanan alam atau
pemulihan wilayah-wilayah rusak yang sering dinamai ‘lahan kritis’
itu.
Pasar-sebagai-keharusan
Ellen M. Wood (2002)
membedakan market-as-opportunity
Dengan market-as-imperative.

Pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari


karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling
mampu dalam mengakumulasikan modal/kekayaan,
baik
(a) melalui operasi-operasi paksa mengubah
hubungan kepemilikan dan mengembangkan
pengendalian wilayah; dan
(b) kemajuan dan pemutakhiran teknologi, serta
peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit
kerja, serta efisiensi hubungan sosial dan
pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang
dagangan.
Accumulation by dispossession,
Accumulation by exploitation
Kapitalisme berhasil berlanjut hidup sebagai organisasi
ekonomi yang dominan, melalui ”produksi ruang”,
termasuk:
• Mekanisme baru accumulation by dispossession (akumulasi
dengan perampasan), selain akumulasi dengan eksploitasi;
• Organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru
dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam
cara perolehan sumberdaya alam yang jauh lebih murah,
pembukaan wilayah-wilayah baru;
• Penetrasi terhadap formasi sosial yang ada dalam membentuk
hubungan-hubungan sosial produksi kapitalis, dan tatanan
kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan
pribadi), membuka jalan bagi penyerapan surplus modal
maupun tenaga kerja.
David Harvey 2003 The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press
. Page 116)
Pengusiran (Expulsions)
sebagai Ciri dari Modernitas Global
Modernitas global kita ini ditandai oleh
berbagai macam bentuk pengusiran: Kita
disini bukan sekedar hidup dalam kondisi
yang lebih timpang, lebih banyak
kemiskinan, lebih banyak pengungsi di
Negeri-negeri Selatan, dan seterusnya.
Dan seringkali proses-proses yang
memfasilitasi dan memperantarai
pengusiran ini melibatkan keahlian, dan
pengetahuan.

Saskia Sassen (2014) Expulsions: Brutality and


Complexity in the Global Economy. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press, 2014
Produksi Ruang untuk
Memperluas Kapitalisme
Kapitalisme berhasil berlanjut hidup sebagai
organisasi ekonomi yang dominan, melalui ”produksi
ruang”, termasuk:
• organisasi pembagian kerja yang secara
keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru
pula,
• pembukaan berbagai macam cara perolehan
sumberdaya baru yang jauh lebih murah,
pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian
dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan
• penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh
hubungan-hubungan sosial kapitalis
Studi-studi Etnografi
Pengalaman dan Tampilan Krisis Sosial Ekologi

Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy Tim Penulis Sajogyo Institute Mia Siscawati dan Noer Fauzi
(2014) MP3EI – Master Plan (2019) Perempuan di Tanah Rachman (2018) Gender dan
Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial Kemelut (Jakarta, Penerbit Politik Konsesi Agraria (Bogor:
Ekologis Indonesia. (Bogor: Sajogyo Kompas) Sajogyo Institute)
Institute)
Pemahaman Bumi sebagai proses
merupakan dasar untuk etika perawatan bumi
“Pandangan tentang alam sebagai sebuah
proses, yang sesungguhnya adalah lebih kuat
dan lebih panjang umurnya daripada
masyarakat dan manusia, merupakan suatu
dasar yang cukup untuk etika perawatan
bumi.
Perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi
dalam gerakan ekologis untuk
menyelamatkan bumi tidak hanya karena
bumi memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital
manusia, tetapi karena bumi adalah rumah
bagi banyak makhluk hidup dan tak-hidup,
banyak di antaranya indah dan menginspirasi
dalam diri mereka sendiri.”
Carolyn Merchant (1995) Earthcare: Women and the. Environment.
New York: Routledge. Page xxii
Made in the World
REORGANISASI RUANG DALAM RANGKA PERLUASAN
PRODUKSI, SIRKULASI DAN KONSUMSI KOMODITAS GLOBAL

@ Hendro Sangkoyo 2013


Ecology and the Accumulation of Capital
Jason W. Moore (2015) mengedepankan tiga argument:
Yang pertama adalah adanya dualisme Cartesian yang lazim antara alam dan
manusia, atau alam dan kapitalisme. Moore menunjukkan ko-produksi yang
menyejarah “kapitalisme-dalam-alam”, atau “alam-dalam-kapitalisme”. Ia
sebut "the double internality" atau "oikeios" (Moore 2015, 13).
Kedua kapitalisme bukan sekedar sistem sosial dan ekonomi, juga "cara
mengatur alam”. Akumulasi modal dalam kapitalisme, bukan hanya
mengandalkan eksploitasi tenaga kerja murah (cheap labor), juga pengadaan
alam murah (cheap nature). Sumber, fasilitas dan kesempatan penyediaan
alam murah ini bakal habis. Yang kita saksikan sekarang ini, adalah akhir dari
jaman alam murah. Jason Moore (2015)
Capitalism in the Web
Ketiga, ketika alam tidak bisa lagi diperoleh dengan murah, maka of Life: Ecology and the
Accumulation of
beroperasinya akumulasi modal dalam sistem kapitalisme selalu membentuk Capital. (New York:
Verso)
bermacam krisis sosial ekologi pada berbagai skala, hingga skala dunia.
Sistem ekonomi kapitalis senantiasa membutuhkan cara-cara baru untuk
perluasan dan perbaikan untuk mengatasi hambatan, dan ongkos-ongkosnya
supaya bisa terus hidup. Selain mengalihkan biaya, saat hal itu terjadi,
serangkaian perubahan metabolisme dilakukan agar bisa menanggulangi
bermacam krisis yang berlangsung.
Anthropocene or Capitalocene?
Argumen Anthropocene mengajukan pertanyaan yang tidak dapat
dijawab. Anthropocene membunyikan alarm — dan itu benar-benar
alarm! Tapi itu tidak bisa menjelaskan bagaimana perubahan yang
mengkhawatirkan ini terjadi. Perlu jawaban dimana kedudukan dan
pengaruh kapitalisme, kekuasaan dan kelas, antroposentrisme, kerangka
dualis dari "alam" dan "masyarakat," dan peran negara dan empire.
Moore berpendapat bahwa era yang kita jalani ini lebih tepat dipahami
sebagai "Age of Capital" atau "Capitalocene," dari pada "Age of Man” Jason W. Moore (Ed)
2016 Anthropocene
atau "Anthropocene"(Moore 2017). Moore (2016) menegaskan bahwa or Capitalocene?
istilah The Capitalocene tidak dimaksudkan mengganti istilah Nature, History, and
the Crisis of
kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi dan sosial. The Capitalocene Capitalism. Oakland,
CA : PM Press,
menandakan kapitalisme sebagai suatu cara mengorganisir alam
sebagai ekologi-dunia, sesuai situasi, dan multispesies (a multispecies,
situated, capitalist world-ecology).
Kitamenggenggam pola dasar dari sejarah dunia modern sebagai
“zaman modal”, dan era kapitalisme sebagai ekologi dunia dari kuasa,
modal dan alam.
“Reflections on the Plantationocene”
Donna Haraway (2016) menunjukkan Jika kita mau menggunakan
istilah tunggal untuk mencirikan perjalanan yang membentuk krisis-
krisis bumi saat ini, dan ancaman kepunahan masal spesies di zaman
Anthropos, istilah itu adalah Capitalocene.
Para ahli telah lama memahami bahwadi masa kolonial, sistem
perbudakan adalah model dan motor penggerak sistem perkebunan Donna Haraway and Anna
dan pabrik berbasis mesin rakus karbon, yang sering disebut sebagai an Tsing (2019) Reflections on
the Plantationocene:
inflection point of Anthropocene. A Conversation with Donna
Haraway and Anna Tsing.
Pergerakan material tanaman ke seantero tempat di dunia untuk Edge Effects Magazine with
support from the Center for
akumulasi modal dan keuntungan, berupa pemindahan yang paksa, Culture, History, and
cepat, dan pengembangbiakan tanaman, binatang dan manusia dari Environment in the Nelson
Institute at the University of
habitat asalnya, adalah operasi dari Plantationocene, yang memberi Wisconsin-Madison.
.
Donna Harawa
tempat bagi kekuatan-kekuatan Capitalocene, dan Anthropocene y (2016) Stayin
bekerja dengan kekuatan penuh. Plantationocene itu berlanjut g with the
Trouble: Makin
semakin besar dalam produksi pabrik-pabrik daging dan ungags global, g Kin in the
Chthulucene.
agribisnis tanaman monokultur seperti kelapa sawit menggantikan Durham: Duke
untuk hutan multispesies dan layanan alamnya yang menopang University
Press.
makhluk manusia dan bukan manusia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, yang kemudian juga
dikukuhkan dengan Undang- undang No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Yang dimuat disini adalah berasal dari Lampiran UU
22/2009 ini.

Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi


resmi
(dengan Ejaan Yang Disempurnakan)

III
I II
Indonesia tanah airku,Tanah tumpah Indonesia tanah yang mulia,Tanah kita yang Indonesia tanah yang suci, Tanah kita yang
darahku, kaya, sakti,
Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku. Di sanalah aku berdiri, Untuk selama-lamanya. Di sanalah aku berdiri, N'jaga ibu sejati.
Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah Indonesia, tanah pusaka, Pusaka kita Indonesia, tanah berseri, Tanah yang aku
airku, semuanya, sayangi,
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia. Marilah kita berjanji, Indonesia abadi.

Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku, Suburlah tanahnya, Suburlah jiwanya, Selamatlah rakyatnya, Selamatlah putranya,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya, Bangsanya, Rakyatnya, semuanya, Pulaunya, lautnya, semuanya.
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya, Majulah Negerinya, Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya. Untuk Indonesia Raya. Untuk Indonesia Raya.

Refrain : Refrain : Refrain (2x)


Indonesia Raya, Merdeka, merdeka, Indonesia Raya, Merdeka, merdeka, Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta! Tanahku, neg'riku yang kucinta! Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka, Indonesia Raya, Merdeka, merdeka, Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya! Hiduplah Indonesia Raya! Hiduplah Indonesia Raya!
Jalan keluar Ekofeminis: Menuju Chthulucene
Dalam esai berjudul Staying With the Trouble: Anthropocene, Capitalocene,
Chthulucene, Dona Haraway (2016:39) menuliskan
“Masa yang disebut the Anthropocene adalah masa genting multi-species, termasuk
manusia, yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya: kematian dan pemusnahan
masal … menolak untuk mengetahui, dan membesarkan kapasitas menanggapi … dan
memalingkan muka”.
Sebagai cita-cita, Haraway mengedepankan suatu konsep metaforik untuk memberi
pedoman: “Chthulucene”, berdasarkan laba-laba pohon delapan kaki, Pimoa Chthulu,
suatu mahluk yang belajar memakai perasaan banyak tentakel. “(T)entacularity” (seperti
yang juga dipunyai organisme seperti tanaman rambat, akar, jamur, ubur-ubur, bahkan
manusia) adalah suatu modalitas hidup, hidup dalam tali temali, dan bukan pada titik-
titik, bukan pada bulatan-bulatan” (Haraway 2016:36).
Dalam pemikiran tali-temali demikian ini, yang bersifat multipolar, terbuka secara
organisasi, dikendalikan secara terdistribusi, dan dinamis, yang diyakini Haraway, akan
menghasilkan solusi yang lebih baik untuk kemelut dan teka-teki ekologi kita.
Arts of Living on a Damaged Planet
Anna Tsing et al dalam Arts of Living on a
Damaged Planet (2017) menganjurkan agar
bagaimana kita bisa lebih memperhatikan
tatanan yang saling mengandalkan antara
ruang hidup manusia dan bukan manusia.
Dalam karya sebelumnya, Anna Tsing
(2012:141) telah membuat pernyataan yang
terkenal: “Human nature is an interspecies
relationship”.
Perhatian seperti itu membuat kita bisa berdiri Anna Tsing, Heather Swanson, Elaine Gan, Nils
tegak di tengah rentetan arus wacana dan Bubandt (eds.), Arts of Living on a Damaged
Planet: Ghosts and Monsters of the
dokrin yang gencar diedarkan, yakni dari Anthropocene (Minneapolis : University of
mereka yang mengandalkan kepemilikan Minnesota Press, 2017)
pribadi dan para pejabat publik, yang meminta
Sila baca juga:
kita untuk fokus terus-menerus ke keuntungan Anna Tsing (2012). ”Unruly Edges: Mushrooms as Companion
jangka pendek, dan berpura-pura melupakan Species.” Environmental Humanities, 1(1), 141–154.

kerusakan lingkungan yang parah.


Pendirian Feminisme Ekologis
Feminisme ekologis berangkat dari kepedulian atas
“hubungan-hubungan penting – historis, simbolis,
teoritis – perihal dominasi terhadap perempuan dan
dominasi terhadap alam-bukan-manusia. Warren (1990)
berpendapat bahwa karena hubungan konseptual
antara dominasi ganda terhadap perempuan dan
terhadap alam terletak dalam kerangka konseptual
patriarki yang menindas yang dicirikan oleh logika
dominasi, logika feminisme tradisional membutuhkan
perluasan: feminisme perlu memasukkan feminisme
ekologis, dan feminisme ekologis menyediakan
kerangka kerja untuk mengembangkan etika lingkungan
feminis yang khas. Saya menyimpulkan bahwa teori
feminis dan etika lingkungan apa pun yang gagal
menanggapi secara serius dominasi perempuan dan
alam yang saling terkait adalah sama sekali tidak
memadai.
Karen J. Warren (1990) “The promise and power of
ecofeminism”, Environmental Ethics 12(2):125-46
… feminisme ekologis bukanlah posisi atau peristiwa
yang tetap; ini adalah cara berpikir dan seperangkat
praktik dalam transisi, gerakan sosial dalam proses.
Feminisme ekologis adalah tentang perjalanan
berperspektif untuk terus mencari dan menunjukkan
bias laki-laki dimanapun dan kapanpun itu terjadi,
dalam pemikIran feminisme itu sendiri, maupun
folosofi, etika dan gerakan lingkungan. Pengakuan
terhadap sifat dalam proses dari teori ekologi feminis,
praktek, dan aktivisme akar rumput berkontribusi
pada kesehatan, pertumbuhan dan keberlanjutan,
serta potensinya untuk bergabung dalam solidaritas
dengan gerakan sosial lainnya - seperti gerakan
keadilan lingkungan, hak-hak sipil gerakan, gerakan
perdamaian — yang (tidak seperti ekofeminisme)
mungkin atau mungkin tidak memiliki gender sebagai
titik awal atau kategori analisis utama.
Karen J. Warren (2020) “Ecological Feminism”,
Encyclopedia of Environmental Ethics and Philosophy.
J. Baird Callicott and Robert Frodeman (Editors in
Chief). MI: Macmillan Reference USA. Halaman 229

Anda mungkin juga menyukai