Anda di halaman 1dari 26

PANDUAN BANTUAN HIDUP DASAR

UPTD PUSKESMAS SIDAREJA

TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI
1. BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support,disingkat BLS) adalah suatu tindakan
penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk
menghentikan proses yang menuju kematian.
AHA (American Hearth Association) Guidelines 2015 mengumumkan perubahan
prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) yang sebelumnya menggunakan A-B-
C (Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation-Airway-
Breathing).
a. C (Circulation) : Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
b. A (Airway): Menjaga jalan napas tetap terbuka
c. B (Breathing) : Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat Indikasi Basic life
support (BLS) dilakukan pada pasien - pasien dengan keadaan sebagai berikut:
1) Henti Nafas (respiratory arrest)
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dadadan aliran udara
pernapasan dari korban / pasien. Henti napas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar.
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapa tmensirkulasikan darah ke otak dari
organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat
bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
2) Henti Jantung (cardiac arrest)
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen.Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal)
merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

2. BANTUAN HIDAP LANJUT (BHL)


Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara
simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan
fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera
dipulihkan dan dipertahankan. Untuk mengembalikan sirkulasi secara spontan,
diperlukan pemberian obat - obatan serta cairan, diagnosis dengan elektrokardiografi,
dan juga terapi fibrilasi. Ketiga tahapan ini dapat dilakukan dengan urutan yang berbeda
- beda tergantung keadaan yang dihadapi.
Peralatan yang dipakai pada BHL meliputi alat jalan napas (pipa orofaring,
nasofaring, endotrakea, sungkup muka, alat isap,laringoskop, forsep Magil),
perlengkapan untuk memasang infus, EKG monitor dengan defibrillator arus searah, dan
papan datar yang kuat untuk resusitasi. Obat - obatan yang diperlukan adalah golongan
simpatomimetik (adrenalin, noradrenalin, dopamine, ephedrine, efortil, metaraminol, dan
isoproterenol), golongan pelumpuh otot (suksinil kolin, pankuronium, atau derivate
kurare yang lain), golongan sedatif dan anti kejang, lidokain, prokainamid, atropin,
morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator, dan cairan infus. Tinjauan pustaka ini akan
membahas lebih lanjut tentang langkah - langkah BHL serta jenis peralatan dan juga
obat – obatan yang dipakai.

B. TUJUAN
Tindakan Basic life support (BLS) memiliki berbagai macam tujuan, diantaranya yaitu:
1. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi organ-organ vital (otak,
jantung dan paru)
2. Mempertahankan hidup dan mencegah kematian
3. Mencegah komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan
4. Mencegah tindakan yang dapat membahayakan korban
5. Melindungi orang yang tidak sadar
6. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi
7. Memberikan bantuan ekstemal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat dengan tiga langkah, yaitu
Airway, Breathing, dan Circulation.
Sedangkan bantuan hidup lanjut bertujuan untuk memulihkan dan mempertahankan
sirkulasi spontan dengan tiga langkah, yaitu Drugs and fluid treatment,
Electrocardiography,dan Fibrillation treatment.
Bantuan hidup jangka panjang bertujuan untuk pengelolaan intensifment manusia
yang terdiri dari tiga langkah, yaitu Gauging, Humanmentation, dan Intensive care.

C. KETEPATAN WAKTU PELAKSANAAN


Kemungkinan keberhasilan dalam penyelamatan bila terjadi henti nafas dan hentii
jantung:
Keterlambatan Kemungkinan Berhasil

1 menit 98 dari 100

2 menit 50 dari 100

10menit 1 dari 100


BAB II
RUANG LINGKUP

A. Ruang Lingkup BHD


Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi pada hentinapas (respiratory arrest)
dan atau hentii jantung (cardiac arrest). Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti
maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat
organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kerusakan. Organ yang paling
cepat mengalamii kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika
ada asupan glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat
asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen.
Kematian otak berarti juga kematian si korban. Oleh karena itu, kemampuan untuk
melakukan BHD/RJP (Resusitasi Jantung Paru) sangat diperlukan oleh semua personil
Rumah Sakit sebagai peningkatan pelayanan Rumah Sakit. Untuk menunjang hal tersebut,
yang dilakukan adalah :
1. Semua personel rumah sakit baik klinis maupun non klinis harus dilatih dengan
keterampilan BHD untuk menunjang kecepatan respon untuk BHD di lokasi.
2. Melakukan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan BHD personel.

B. Ruang Lingkup BHL


Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan
dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi
sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan
dipertahankan. BHLmemiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan cairan,electrokardiografi,
dan terapi fibrilasi.
1. Obat–obatan dan Cairan
Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang paling
penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat dan cairan
itu penting, pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan kompresi dada dan
ventilasi. Dalam melakukan terapi obat dan cairan tentunya harus dipikirkan juga jalur
masuknya obat dan cairan. Jalur yang sering digunakan dalam resusitasi adalah jalur
intravena dan intra osseous. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai terapi obat dan
cairan yang meliputi jalur masuknya obat dan cairan dan jenis obat serta cairan yang
digunakan dalam bantuan hidup lanjut.
a. Jalur obat–obatan dan cairan
1) Jalur Intravena Perifer
Pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur intravena perifer sangat
penting untuk dilakukan. Tindakan ini harus dilakukan tanpa mengganggu
kompresi, airway management, atau terapi defibrilasi. Apabila sudah terdapat
jalur vena sentral,maka pemberian obat-obatan dan cairan lebih baik melalui
jalur vena sentral. Jika belum terpasang jalur vena sentral, pemasangan jalur
vena perifer harus dilakukan sesegera mungkin. Lokasi pemasangan jalur
vena perifer yang dianjurkan adalah vena antecubital, jugular eksternal,atau
femoralis.
Jika pemasangan jalur vena perifer sulit untuk dilakukan, penyuntikan
adrenalin pertama secara intravena dapat dilakukan. Penyuntikan dilakukan
menggunakan jarum kecil di vena perifer. Pemberian obat melalui vena perifer
kemudian harus dilanjutkan dengan pemberian 20 ml bolus cairan dan atau
elevasi ekstremitas yang terpasang kateter selama 10-20 detik agar kerja obat
dapat lebih dipercepat.
2) Jalur Intraosseous
Apabila kanulasi intravena sulit dilakukan, maka pemberian obat-obatan
dan cairan melalui jalur intraosseous dapat dilakukan, terutama pada anak-
anak. Jalur intraosseous ini merupakan jalur administrasi obat sementara
selama resusitasi terjadi. Setelah keadaan darurat teratasi, maka jalur
intraosseous ini harus segera diganti dengan jalur intravena, baik itu vena
perifer atau vena sentral. Angka kesuksesan pemasangan jalur intraosseous
pada orang dewasa terbilang cukup rendah, namun masih dapat dilakukan
pada tibia dan pada distal radius dan ulna. Jarum spinal yang rigid dan
berukuran 16-18 gauge dengan stylet atau jarum khusus spinal dapat
digunakan pada distal femur dan anterior proksimal tibia. Jika melakukan
pemasangan jalur intraosseous di tibia, maka jarum ditusukkan 2-3cm
dibawah tuberositas tibia dengan sudut 90° menuju bagian tengah tulang atau
sedikit inferior untuk menjauhi epifisis. Pemasangan dikatakan berhasil jika
jarum dapat berdiri tegak tanpa penyangga dan sumsum tulang dapat
diaspirasi melalui jarum yang terpasang. Jalur intraosseous ini sangat efektif
untuk pemberian cairan kristaloid, koloid, maupun darah. Namun, pemberian
obat-obatan melalui jalur ini akan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan
jalur intravena sehingga dosis obat yang diberikan harus sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan dalam pemberian melalui jalur
intravena. Jalur intraosseous tidak dapat digunakan terus menerus sebagai
jalur untuk pemberian obat dan cairan karena dapat meningkatkan resiko
terjadinya osteomyelitis dan sindrom kompartemen. Sehingga sesegera
mungkin harus dipindah ke jalur intravena. Jalur intraosseous ini juga kontra
indikasi pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi pulmonal, insufisiensi
pulmonal berat, dan right-to-left shunts karena dapat mengakibatkan
terjadinya fatemboli.
3) Jalur Endotrakeal
Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru, terkadang pemasangan
kateter pada vena perifer atau intraosseous secara cepat sulit untuk dilakukan
sehingga jalur endotrakeal ini dapat dijadikan alternatif. Jalur endotrakeal
dapat dilakukan selama terdapat pipa endotrakeal dan pasien tidak sedang
menggunakan laryngeal mask airway (LMA). Hanya beberapa obat yang
dapat diberikan melalui jalur intra pulmonum. Obat-obatan itu meliputi lidokain,
epinephrine, atropine, naloxone, dan vasopressin (kecuali natrium bikarbonat).
Jalur intrapulmonum ini tidak direkomendasikan untuk rutin dilakukan pada
keadaan darurat. Jalur yang direkomendasikan dalam resusitasi jantung-paru
adalah jalur intravena dan intraosseous.
Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini memiliki kecepatan yang
kurang efektif dibanding jalur intravena atau intraosseous serta jumlah obat
yang masuk secara sistemik melalui jalur ini tidak konsisten. Sehingga dosis
yang diberikan 3-10 kali lebih banyak dibanding dengan dosis yang dianjurkan
untuk jalur intravena. Obat-obatan tersebut kemudian dilarutkan dalam 10 ml
normal salin. Obat-obatan selain yang disebutkan sebelumnya tidak boleh
diberikan melalui jalur endotrakeal karena dapat menyebabkan kerusakan
pada mukosa atau alveolar.
Dosis atropine yang diberikan menurut rekomendasi AHA 2010 ada 0.1
mg IV untuk mencegah terjadinya bradikardi aparadoksal. Namun pada AHA
2015, dikatakan bahwa tidak ada cukup bukti yang mendukung penggunaan
atropine secara rutin untuk mencegah terjadinya bradikardi dan intubasi
pediatrik darurat.
Penelitian terbaru menyatakan bahwa menggunakan atropine dengan
dosis kurang dari 0.1mg tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya
bradikardia atau aritmia.
Pemberian obat intra jantung sudah tidak dianjurkan selama RJP karena
manfaat yang sedikit namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi. Jalur
intra jantung ini dapat menyebabkan pneumotoraks, cedera arteri koronaria,
dan gangguan kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika penyuntikan obat
tidak sengaja mengenai otot jantung dapat menyebabkan disritmia intraktabel.
Pemasangan jalur intra jantung menggunakan jarum panjang dan tipis,
melalui intracostal space ke-5 di parasternal kedalam ruangjantung.
4) Jalur Intra Muskulus
Pemberian obat melalui jalur intra muskulus tidak dianjurkan pada
tindakan resusitasi atau kedaruratan karena absorpsi obat dalam otot dan
lama kerja obat tidak dapat ditentukan dan dikontrol dengan baik. Jalur
intramuskulus juga tidak dapat digunakan untuk pemberian terapi cairan

5) Jalur Vena Sentral


Jalur vena sentral sebaiknya dilakukan segera setelah kembalinya
sirkulasi spontan sehingga tekanan vena sentral dapat dikontrol. Nilai normal
dari tekanan vena sentral adalah 3-10 mmHg. Pembuluh vena yang biasanya
digunakan untuk pemasangan kateter vena sentral adalah vena kava superior
melalui vena jugularis interna kanan.
Cara pemasangan kateter vena sentral melalui vena jugularis interna
kanan dimulai dengan melakukan prosedur asepsis pada daerah yang akan
dipasang kateter vena sentral sambil mempersiapkan alat yang dibutuhkan
untuk memasang kateter vena sentral. Setelah itu, putar kepala pasien kearah
kiri, palpasi arteri karotis dengan sebelah tangan dan memasukkan jarum
kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam bidang paramedian, 45° kaudal,
menembus kulit pada puncak segitiga yang dibentuk oleh dua bagian otot
sternokleidomastoideous. Emboli udara harus dicegah pada semua kanulasi
vena sentral dengan upaya sebagai beriku,: kepala pasien sedikit lebih
rendah. Jika pasien sadar hendaknya diminta menahan nafas, sedangkan
untuk pasien tidak sadar hendaknya mendapat ventilasi tekanan positif dan
pada saat diskoneksi yang tidak dapat dihindarkan, bagian terbuka hendaknya
ditutup dengan jari atau keran.

b. Obat – obatan
Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya memiliki banyak jenis. Namun, obat-obatan yang penting untuk
diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium,
magnesium dan natrium bikarbonat.
1) Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan
pada pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit.
Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor
alfa dan betase hingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor
alfa adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian
adrenalin dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat memberikan
perbaikan klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan dengan
pemberian dengan dosis standar.
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan
PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel
tanpa nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol
atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir.
Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi,
adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua
dan diulang kembali setiap 2 siklus berakhir).
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena
atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10ml. Dosis yang digunakan
pada anak-anak yaitu 10mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intra
trakea melalui pipa endotrakea (1ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9
ml akuades steril). Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian
pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama. Setelah ROSC, untuk
mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20mcg/menit
lewat infuse kateter sentral sesegera mungkin.
Menurut AHA 2015,penelitian acak terhadap orang dewasa di luar rumah
sakit mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan
peningkatan ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki
rumah sakit, tapi tidak berkaitan untuk pasien yang akan dipulangkan.
Penggunaan epinefrin sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar
namun pemberiannya bukan sebuah keharusan karena rekomendasi tentang
pemberian epinefrin selama serangan jantung telah diturunkan sedikit pada
Kelas Rekomendasi.
Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia,
hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi.Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin
tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya
tidak perlu dikombinasikan dengan vasopressin.
2) Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal
natrium, kalium, kalsium dan juga memblokade reseptor alfa dan beta
adrenergik. Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan farmakologik yang
kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian amiodaron setelah
pemberian adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan dengan tidak
diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan kepada pasien dengan fibrilasi
ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi
ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian
vasopressor dan terapi defibrillator.
Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300mg bolus untuk
pemberian pertama kali dan kemudian dapat ditambah 150mg. Selanjutnya,
pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus
dengan dosis pemberian 15mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron
ini juga dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron memiliki efek hipotensi dan
bradikardi, sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.
3) Atropine
Sulfa atropine meningkatkan konduksi atrio ventricular dan automatisitas
nodus sinus dengan efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus
bradikardia yang disertai dengan hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala
yang berhubungan dengan iskemia miokardium. Atropine juga dapat diberikan
sebagai terapi pada second-degree heart block, third-degreeheart block, dan
irama idioventricular lambat. Atropin sering digunakan pada kasus henti
jantung dengan e Atropin sering digunakan pada kasus henti jantung dengan
elektrokardiografi (EKG) asistol atau PEA.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara pasti penggunaan atropine
meningkatkan prognosis pada kasus henti jantung irama asistol atau
bradisitolik. Penanganan kasus asistol atau PEA yang paling efektif adalah
dengan melakukan kompresi dada, ventilasi dan epinefrin karena dapat
meningkatkan perfusi arteri koroner dan oksigenasi miokardium. Henti jantung
dengan irama asistol memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan irama lainnya. Oleh karena atropine memiliki efek samping yang
sangat sedikit, maka penggunaan atropine pada kasus henti jantung dapat
dipertimbangkan selain penggunaan epinefrin dan oksigenasi. Namun
penggunaan secara rutin pada kasus henti jantung tidak direkomendasikan.
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa adalah
0.5 mg IV setiap 3-5menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk
anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum
dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1mg (anak-anak), 3mg (remaja) yang dapat
diulang setiap 35 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama tanpa
denyut untuk orang dewasa adalah 1 mgIV setiap 3-5 menit dengan total
dosis 3mg. Perlu diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat
menyebabkan irama sinus takikardia setelah resusitasi.
4) Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot
normal. Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia,
hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker. Kalsium sangat
diperlukan pada kasus henti jantung karena disosiasi elektromekanis setelah
gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian adrenalin. Kalsium ini
juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang
menekan otot jantung. Sumber lain mengatakan pemberian kalsium pada
kasus henti jantung tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga
tidak meningkatkan angka survivalrate dirumah sakit sehingga pemberian
kalsium pada kasus henti jantung tidak direkomendasikan. Efek samping dari
pemberian kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak
dan otak dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat
mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-
10 ml dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan
sediaan kalsium glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas
5) Lidocain
Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang
biasanya digunakan sebagai alternative anti-aritmia. Pemberian lidokain tidak
dapat meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak berhubungan dengan
perbaikan klinis pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit.
Dibandingkan amiodaron, efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam
pencapaian ROSC pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi yang tidak respon terhadap RJP, defibrilasi,dan vasopressor.
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis awal
diberikan 1mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5mg/kgBB selama
resusitasi. Pemberian infuse lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan.
Efek samping dari pemberian lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred
speech), penurunan kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi dan asistol.
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung
penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi
atau kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari
serangan jantung akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian
pada pasien yang selamat dari serangan jantung menunjukkan adanya
penurunan dalam insiden fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel berulang,
namun tidak menunjukkan manfaat maupun kerugian jangka panjang.
6) Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam
regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel. Magnesium
tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien dengan henti
jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga
pemberian magnesium tidak direkomendasikan. Magnesium diberikan pada
kasus hipomagnesemia, hypokalemia, henti jantung yang disebabkan oleh
toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa
nadi,dan torsadedepointes.
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1
kali kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping
yang dapat ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal
napas pada penggunaan kalsium yang berlebihan.
7) Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan larutan alkalin yang bercampur dengan
ion hydrogen membentuk asam karbonat lemah. Pada kasus henti jantung,
resusitasi jantung-paru yang efisien dan ventilasi yang adekuat dapat
mengurangi penggunaan natrium bikarbonat. Sebagian besar penelitian
menyatakan tidak ada keuntungan dari pemberian natrium bikarbonat pada
pasien henti jantung sehingga pemberian natrium bikarbonat secara rutin
pada pasien dengan henti jantung tidak direkomendasikan.
Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah1 mmol/kg yang
diberikan selama 2-3 menit. Pemberian obat ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan analisis gas darah untuk memantau koreksi asidosis metabolik,
sehingga pemberian bikarbonat selanjutnya bias digunakan rumus seperti
berikut : Dosis bikarbonat = deficit basa x 0.25 berat badan.
Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan diberikan pada pasien
dengan hyperkalemia, terapi asidosis metabolik yang sudah terdokumentasi,
terapi pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protractedarrest (lebih dari
15 menit). Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah alkalosis
metabolik, hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar. Pemberian natrium
bikarbonat kontraindikasi pada kasus asidosis intra seluler karena dapat
semakin memperparah asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium
bikarbonat masuk kedalam sel.Natrium bikarbonat dan adrenalin atau kalsium
tidak boleh dicampurkan bersamaan karena dapat saling menginaktivasi,
mengendap dan menyumbat jalur intravena.
c. Cairan
Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup paska
resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan cairan,
penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit, koloid, dan sel
darah merah. Infus garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif dapat
menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus perdarahan luar atau dalam
yang berat.
2) Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung dengan
cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10ml/kgBB) guna mengganti
volume darah relative akibat vasodilatasi, penimbunan di vena, dan kebocoran
kapiler.
3) Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan sekaligus
memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.
4) Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi darah
optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik koloid normal,
albumin serum (3-5gr/dl); hematokrit (30-40%), dan glukosa serum (100-
300mg/dl).
Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa paska
henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan vena
sentral untuk menuntun penggantian volume.Jenis cairan yang dipilih, yaitu
kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat diberikan secara
tunggal atau kombinasi.

2. Elektrokardiografi
Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang wajib

disediakan di masing-masing unit gawat darurat karena diagnostik henti jantung mutlak

harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG. Gambaran EKG sangat menentukan

langkah-langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan. Ada tiga pola EKG pada henti

jantung, yaitu asistol ventrikel, Pulseless Electrical Activity (PEA), dan fibrilasi

ventrikel.1,3
a. Asistol Ventrikel
Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG
yang isoelektris.Paling sering disebabkan oleh hipoksia, asfiksia dan blok

jantung.1

Gambar Ventrikel Asistole


b. Pulseless Electrical Activity
PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-anak dan
biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA adalah suatu keadaan
dimana tidak terabanya denyut nadi ketika irama jantung masih terdeteksi oleh
EKG.
Terdapat jenis-jenis PEA, yaitu disosiasi elektromekanik (EMD), disosiasi
pseudo elektromekanik,irama idioventrikular,iramaventricular escape,irama
bradiasistolik,dan irama idioventrikular postresusitasi. EMD merupakan gambaran
EKG yang paling sering muncul.
EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana terdapat gambaran
ketiadaan denyut dengan EKG agonal (anehatau abnormal) atau kadang relatif
normal tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak
efektif sehingga denyut nadi tidak teraba. Disosiasi pseudo elektromekanik
merupakan keadaan dimana denyut nadi tidak teraba namun masih ditemukan
denyut jantung pada gambaran EKG dengan ETCO2 yang tinggi. Disosiasi
pseudoelektro mekanik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan
EMD.
Irama ventricular escape adalah adanya denyut ventrikel setelah hilangnya
nodus atrial sehingga gambaran EKG akan menunjukkan adanya gelombang QRS
disertai dengan tidak adanya gelombang Irama bradiasistolik merupakan irama
jantung yang terdapat irama ventricular kurang dari 60 kali permenit pada dewasa
atau tidak adanya denyut jantung. Sedangkan irama idioventrikular post resusitasi
dikarakterisasi dengan adanya aktivitas gelombang yang teratur yang terlihat
segera setelah dilakukan cardioversion pada kasus dimana sebelumnya tidak ada
denyut yang teraba.

Gambar Disosiasi Elektromekanik

Gambar Irama Idioventrikular

GambarIramaVentricularEscape

c. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel jantung secara
kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan darah keseluruh tubuh.
Gambaran EKG akan tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama jantung ini
paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.
Penyebab dari fibrilasi ventrikel dibedakan menjadi dua, primer dan sekunder.
Mekanisme dari penyebab tersebut masih belum diketahui dengan pasti.
Penyebab primer yang paling sering adalah iskemik otot jantung, reaksi obat,
tersengat listrik,dan kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab
sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia, tenggelam dan
akibat perdarahan.

Gambar Fibrilasi Ventrikel


d. TakikardiVentrikel
Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumberdari ventrikel. Potensi
menjadi aritmia yang fatal sangat tinggiakibat menurunnya curah jantung dan
gagal sirkulasi. Definisidari takikardi ventrikel adalah ventricular ekstrasistol yang
timbul berurutan dengan kecepatan >100 kali/menit, takikardi ventrikel juga
memiliki kompleks QRS yang lebar.

Gambar Takikardi Ventrikel

3. Terapi Fibrilasi
Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri disaritmia takikardi
ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan menggunakan syok
balik listrik. Syok balik listrik menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot
jantung dan setelah itu jantung akan berkontraksi spontan, asalkan otot jantung
mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak menderita asidosis.
Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel. Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang sering muncul pada kasus henti
jantung. Penanganan yang paling efektif untuk henti jantung dengan irama tersebut
adalah dengan defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan mengkonsumsi oksigen lebih
banyak sehingga akan memperburuk iskemia miokardium. Defibrilasi harus dilakukan
sesegera mungkin, karena semakin lama fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk
dilakukan defibrilasi dan banyak kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga
semakin kecil kemungkinan resusitasi akan berhasil.
Defibrillator menyalurkan energy listrik dalam dua bentuk, yaitu monofasik dan
bifasik. Gelombang monofasik menyalurkan energy hanya searah dari satu elektroda
ke elektroda lainnya. Gelombang bifasik membalikkan arah energy dengan mengubah
polarisasi elektroda dari bagian dimana energi tersebut disalurkan sehingga
gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan gelombang
bifasik. Gelombang bifasik biasanya digunakan pada implant table cardioverter
defibrillator (ICD) yang kemudian dapat diadaptasi menjadi eksternal defibrillator.
Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang dibutuhkan untuk
defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang lebih sedikit disbanding dewasa
dengan serendah-rendahnya 0.5J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu
berpengaruh pada dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang
sukses dengan menggunakan energy yang rendah (160-200J). Penelitian yang
dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan bahwa terdapat kesuksesan
defibrilasi yang sama ketika menggunakan 200J atau lebih rendah dari itu
dibandingkan dengan menggunakan 300 J atau lebih.
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik, dikenal ada dua
jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated exponential waveform dan
rectilinear biphasic waveform. Pada AED, energi yang disalurkan akan diatur
secara otomatis oleh alat.Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan
range energy yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated
exponential waveform, maka energy yang disediakan berkisar antara 150-200J
dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan untuk defibrillator jenis
rectilinear biphasic waveform, energy yang disediakan 120J dengan tingkat
kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential waveform.
Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energy sebesar 360 Joule
untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik direkomendasikan pemberian energy
sebesar 200Joule. Energi dapat ditingkatkan bertahap apabila keadaan takikardi
ventrikel atau fibrilasi ventrikel tidak membaik setelah kejutan pertama. Tipe bifasik
lebih direkomendasikan untuk melakukan cardioversion karena tipe bifasik
memberikan tingkat kesuksesan yang sama dengan menggunakan lebih sedikit
energy. Penggunaan gelombang bifasik lebih direkomendasikan dibandingkan dengan
gelombang monofasik karena penggunaan defibrillator dengan energy besar akan
meningkatkan potensi kerusakan otot jantung.
Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus diperiksa dan dicoba terlebih
dahulu kemampuannya memberikan energy mulai dari rendah hingga tinggi. Pedal
defibrillator luar (dada) untuk dewasa memiliki diameter 14 cm, sedangkan untuk anak-
anak memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki diameter 4.5 cm. Pedal
defibrillator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa adalah 6 cm, untuk anak-anak
4 cm, dan untuk bayi 2 cm. Lokasi pedal defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-
lateral dengan satu pedal diletakkan di ICS keenam pada midaxillary line kiri,
sedangkan pedal lainnya diletakkan di ICS kedua parasternal kanan. Jika penderita
memiliki payudara besar, pedal kiri dapat diletakkan dibawah payudara dengan
menghindari jaringan payudara terkena kejutan.
GambarPosisiAnterolateral

Gambar Posisi Antero posterior.


Terbagi menjadi posisi antero-left infrascapular(B) dan antero-right infrascapular (C).
Gambar Algoritma Resusitasi Henti Jantung
BAB III
TATALAKSANA

A. Langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar (BHD)

1. Melakukan Tindakan Keamanan (Penolong, Korban dan Lingkungan)

2. Evaluasi Respondan Kesadaran Korban

a. Menepuk bahu / menggoyangkan badan penderita

b. Jika belum merespon, panggil dengan suara keras (Pak…Pak.../Bu…Bu….)

c. Beri rangsangan nyeri (dapat diberikan penekanan yang keras di pangkal


kuku atau penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang
dikepalkan pada tulang sternum / tulang dada. Namun, pastikan tidak ada
tanda cidera di daerah tersebut sebelum melakukannya.

d. Bila ada respon, biarkan korban pada kondisi semula sambil teriak minta
bantuan (code blue…code blue…)

e. Jika korban belum merespon, lanjutkan langkah 3

3. Cek Jalan Napas

Pada korban yang tidak sadarkan diri dengan mulut yang menutup, anda harus
membukanya. Ada 2 metode untuk membuka jalan napas yaitu :

a. Head-tilt/chin-lift technique

(Teknik tekan dahi / angkat dagu) : tekan dahi sambil menarik dagu
hingga melewati posisi netral tetapi jangan sampai menyebabkan hiper
ekstensi leher.

b. Jaw-thrustmaneuver

(Maneuver dorongan rahang): dilakukan bila dicurigai terjadi cedera pada


kepala, leher atau tulang belakang pada korban. Cara melakukannya
dengan berlutut diatas kepala korban, tumpukan siku pada lantai, letakkan
tangan pada tiap sisi kepala, letakkan jari jari disekita rsudut tulang
rahang dengan ibu jari berada di sekitar mulut, angkat rahang ke atas
dengan jari-jari anda, dan ibu jari bertugas untuk membuka mulut dengan
mendorong dagu kearah depan sembari mengangkat rahang. Pastikan
anda tidak menggerakkan kepala atau leher korban ketika melakukannya
4. CallFor Help

Berteriak minta bantuan: Aktifkan Code Blue

Ruang terdekat menekan #33 pada pesawat telepon, setelah tanda beeb,
ucapkan “ Code Blue…Code Blue di ruang (tempat kejadian)…Code Blue..”
diulang dua kali, kemudian tutup gagang telepon.

5. Pemeriksaan Napas dan Nadi secara Simultan

Periksa napas dan nadi karotis secara bersamaan setidaknya selama 5 detik,
tetapi tidak boleh lebih dari 10detik. Lakukan pengecekan napas dengan melihat
naik-turunnya dada korban, dengarkan dan rasakan dengan pipi udara yang
dihembuskan oleh korban. Lakukan pengecekan nadi dengan meraba nadi
carotis yang ada di leher dengan meletakkan 2 jari di bawah sudut rahang yang
ada di sisi penolong.

Jika korban tidak bernapas tetapi nadi teraba (henti napas), berikan bantuan
napas sebanyak 10-12x/menit. Pastikan jalan napas bebas dari sumbatan. Jika
korban tidak bernapas, nadi tidak adadan pasien tidak respon, maka dikatakan
henti jantung.Segera lakukan Resusitasi jantung Paru (RJP).

6. Langkah-langkah RJP

1. Letakkan korban pada permukaan datar dan keras untuk


memastikan bahwa korban mendapat penekanan yang
adekuat.
2. Pastikan dada korban terbuka untuk meyakinkan
penempatan tangan yang benar dan untuk melihat recoil
dada.
3. Letakkan tangan dibagian tengah dada korban, tumpukan
salah satu pangkal tangan pada daerah setengah bagian
bawah tulang dada dan tangan yang lain di atas tangan yang
bertumpu tersebut.
4. Lengan harus lurus 900 terhadap dada korban, dengan bahu
penolong sebagai tumpuan atas.
5. Tekan dada dengan kecepatan100-120x/menit, dengan
kedalaman minimal 5cm, tetapi tidak boleh lebih dari 6cm.
6. Selama melakukan penekanan, pastikan bahwa dinding
dada diberikan kesempatan untuk mengembang kembali
kebentuknya semula (recoil penuh).
7. Berikan 2 kali bantuan napas setiap selesai melakukan 30
kali penekanan dada, dengan durasi selama 1 detik untuk
tiap pemberian napas. Pastikan dada mengembangun tuk
tiap pemberian bantuan napas.

7. Evaluasi

a. Evaluasi nadi,t anda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap 5


siklus RJP ( 1 siklus terdiri dari 30 kompresi : 2 ventilasi)
b. Jika nadi tidak teraba, lanjutkan RJP 30:2 selama 5 siklus

c. Jika nadi teraba periksa pernapasan

d. Jika tidak ada napas lakukan napas buatan10-12x/menit (l


tiupan tiap 5-6 detik)
e. Jika nadi dan napas ada letakkan korban pada posisi recovery.
f. Evaluasi nadi,'tanda-tanda sirkulasi” dan pernapasan tiap 2 menit.

RJP Dewasa dengan 2 Penolong


RJP Dewasa 2 penolong digunakan bila ada penolong kedua. Pada RJP dewasa
2 penolong, satu penolong melakukan kompresi dada yanglain melakukan bantuan
napas dari mulut ke mulut. Tujuan RJP dewasa 2 penolong adalah untuk mengurangi
keletihan penolong dan kompresi dada yang tidak adekuat. Kelelahan dan kompresi
dada yang tidak adekuat dapat terjadi setelah RJP 2 menit sehingga dapat di lakukan
Pergantian RJP selama 2 menit atau (5 siklus 30 kompresi dan 2 tiupan napas)
Langkah-Langkah RJP Dewasa 2 Penolong:
Langkah I

Penolong I

1. Lakukan RJP I penolong dengan 30 kompresi dada diikuti 2 tiupan napas


2. Bila terdapat AED, evaluasi irama jantung ikuti perintah AED
Langkah 2

Penolong 2 (harus bisa RJP 2 penolong) datang dan:


1. Mengatakan 'saya bisa melakukan RJP 2 penolong, dapat saya bantu?'
Langkah 3

Penolong I

1. Mengiyakan

2. Menyelesaikan siklus 30 kompresi diikuti 2 tiupan napas


Langkah 4

Penolong I

1. Evaluasi nadi dan tanda-tanda sirkulasi Penolong 2


2. Menentukan posisi kompresi dada (saat penolong I mengevaluasi nadi dan tanda-
tanda sirkulasi)
Langkah 5

Penolong I

1. Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di evaluasi dan tidak ada tanda-tanda
sirkulasi perlakukan sebagai henti jantung), katakana “nadi tidak teraba” lanjutkan
RJP.
Langkah 6

Penolong 2

1. Lakukan kompresi dada

2. Selesaikan 30 kompresi
Langkah 7

Penolong I

1. Berikan 2 tiupan napas (setelah penolong 2 menyelesaikan tiap 30 kompresi


dada) tanpa menghentikan kompresi dada.
Langkah 8
1. Ulangi siklus RJP
2. Penolong I : berikan 2 tiupan
3. Penolong 2 : lakukan 30 kompresi dada

Langkah - Langkah Perpindahan Peran

Langkah I
Penolong 2 (yang melakukan kompresi dada)
1. Meminta pergantian

Langkah 2

Penolong I

1. Berikan 2 tiupan napas setelah penolong 2 menyelesaikan 30 kompresi dada.

2. Pindah kedada korban

3. Tentukan posisi kompresi dada.

Langkah 3

Penolong 2

1. Pindah ke kepala korban

2. Evaluasi nadi dan tanda-tanda sirkulasi

3. Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di evaluasi dan tidak ada tanda-tanda
sirkulasi perlakukan sebagai henti jantung), katakan “nadi tidak teraba, lanjutkan
RJP”
Langkah 4
1. Ulangi siklus RJP
2. Penolong I : lakukan 30 kompresi dada
3. Penolong 2 : berikan 2 tiupan napas

EVALUASI

1. Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pemapasan setiap 5 siklus RJP 30:2, Jika
nadi tidak teraba (bila nadi sulit di tentukan dan tidak dapat tanda-tanda sirkulasi,
perlakuan sebagai henti jantung), lanjutkan RJP 30:2
2. Jika nadi teraba periksa pernapasan

3. Jika tidak ada napas, lakukan napas buatan 10-12x/menit (1


tiupan tiap 5-6 detik)

4. Ulangi sampai 10-12 kali tiupan/rnenit.

5. Jika nadi dan napas ada, letakkan korban pada posisi recovery.

6. Evaluasi nadi, “tanda-tanda sirkulasi” dan pernapasan tiap 2 menit.


POSISI RECOVERY DEWASA

Posisi recovery dilakukan pada korban tidak sadar dengan adanyanadi, napas, dan
“tanda-tanda sirkulasi”. Jalan napas dapat tertutup oleh lidah, lender dan muntahan pada
korban tidak sadar yang berbaring terlentang. Masalah-masalah ini dapat dicegah bila
dilakukan posisi recovery pada korban tersebut karena cairan dapat mengalir keluar mulut
dengan mudah.

Bila tidak di dapatkan tanda-tanda trauma "tempatkan korban padaposisi recovery”. Posisi ini
menjaga jalan napas tetap terbuka. Langkah-langkah menempatkan korban pada posisi
recovery:
Langkah I : Posisikan Korban

1. Lipat lengan kiri korban, Luruskan lengan kanan dengan telapak tangan
menghadap keatas, dibawah paha kanan
2. Lengan kanan harus dilipat disilangkan didepan dada dan tempelkan punggung
tangan pada pipi kiri korban.
3. Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut kanan korban dengan
sudut 900

Langkah 2 : Gulingkan Korban Ke Arah Penolong

1. Tempelkan tangan pada tangan korban yang ada di pipi. Gunakan tangan yang
lain memegang pinggul korban dan gulingkan korban menuju anda sampai
berbaring miring.

2. Gunakan lutut untuk menyangga tubuh korban saat pada menggulingkannya agar
tidak terguling.

Langkah 3 : Posisi Akhir Recovery

1. Pastikan kepala (pipi) korban dialasi punggung tangannya.

2. Periksa posisi tangan korban yang lain menggeletak bebas dengan telapak
menghadap keatas

3. Tungkai kanan tetap dipertahankan dalam posisi tersebut 90 0 pada sendi lutut.

4. Monitor nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap beberapa menit.


ALGORITMA BANTUAN HIDUP DASAR
B. Langkah–Langkah Bantuan Hidup Lanjut (BHL)

1. Komponen BHL

a. Pengamanan jalan nafas menggunakan alat bantu

b. Ventilasi yang adekuat

c. Pembuatan akses jalur intravena atau jalur alternative untuk induksi obat

d. Mengintepretasikan hasil EKG

e. Mengupayakan sirkulasi spontan dengan cara defibrilasij antung dan


penggunaan obat emergensi yang sesuai indikasi

2. Peralatan

a. Oropharyngeal airway (OPA) atau nasopharyngeal airway (NPA)

b. Resucitation bag dan sungkup muka atau mesin ventilator.

c. ETT dengan laringoskop, laryngeal mask airway atau


supraglottic airway devices

d. Defibrillator,baik otomatis maupun manual yang memiliki monitor irama


jantung

e. Medika mentosa emergensi dan cairan infus


3. Prosedur
BAB IV

PENUTUP

Demikian Panduan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Lanjutan
(BHL) UPTD PUSKESMAS SIDAREJA ini kami buat agar dijadikan sebagai dasar dan
untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Disahkan : di Sidareja
Tanggal : 12 Januari 2023

Kepala UPTD Puskesmas Sidareja

SITI FATIMAH, SKM., M.Kes.


NIP. 197406061999032005

Anda mungkin juga menyukai