Anda di halaman 1dari 5

Definisi ASWAJA

Pengertian ahlusunnah aljama’ah terdapat dua pengertian yaitu secara terminologi (istilah) dan
etimologi (bahasa). Secara etimologi atau bahasa ahlu yang artinya para ahli atau pengikut alsunnah
yang artinya jalan, cara atau perilaku dan aljamaah yang artinya perkumpulan atau sekelompok.
Sedangkan aswaja menurut terminologi (istilah) yaitu ahlussunnah yang berarti orang-orang yang
menganut dan mengikuti ajaran rasulullah sa baik dari segi perbuatan, ucapan maupun ketetapan. Dan
aljama’ah yang berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi pengertian
dari ahlusunnal aljamaah adalah sekumpulan orang yang mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW dan
mayoritas sahabat (maa ana alaihi waashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan
tasawuf.

Ahlussunnah wal jamaah yang dimaksudkan diatas yaitu aswaja yang dalam bidang fiqih mengikuti imam
abu hasan al asy’ari dan imam mansur al maturidi yang mengikuti salah satu 4 imam madzhab yaitu
imam hanafi, imam maliki, imam syafi’I dan imam hambali. dalam bidang tasawuf aswaja mengikuti
imam al-junaedi al-baghdadi dan imam al-ghazali.

Sejarah ASWAJA

Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas munculnya
kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian
politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang
berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu. Kubu
pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam
tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-
Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”.
Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini
kemudian menjadi Khawarij. Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah
representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw.
Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw.

Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini
menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang
disebut Ghulat mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung
Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini.
Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang
penganut fanatik Khawarij. Menyedihkan, Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-
Quran, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. Fanatisme dan minimnya ilmu telah
menyeretnya menjadi manusia picik dan sadis. Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang
beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai
khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai
khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut
ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam
sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan“am al-jamaáh” atau tahun persatuan. Naiknya
Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka
menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin
memuncak manakala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk
anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian
besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat
kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian
segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah.
Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah. Chaos politik yang melanda umat
Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad
ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada
pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia,
melainkan di akhirat oleh Allah SWT. Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan
akidah.Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan
tentang perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabariyah (fatalisme) dan Qodariah (fre
act and fre will). Jabariyah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak
lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang.

Qadariyah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa
ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya. Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran
Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka
menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada
dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah. Lahirnya
aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh persoalan politik yang
melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam.
Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah
bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah
bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran. Seperti yang saya kemukakan di awal
tulisan ini, kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu
itu.

Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti Imam
Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín) seperti Imam-imam
mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah generasi sahabat, inilah yang
disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik
agama ini. Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka
dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu
Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya
sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári. Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti
metodologi para sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat), keseimbangan antara pengunaan
teks suci dan akal.

. 4 prinsip nilai ke-aswajaan

Ada 4 prinsip ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini
disarikan dari firman Allah SWT:

‫َو َك َذ ِلَك َج َع ْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس طًا ِّلَتُك وُنوْا ُش َهَداء َع َلى الَّناِس َو َيُك وَن الَّرُسوُل َع َلْيُك ْم َش ِهيدًا‬

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar
kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah
SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang
bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah
SWT
: ‫َلَقْد َأْر َس ْلَنا ُرُس َلَنا ِباْلَبِّيَناِت َو َأنَز ْلَنا َم َع ُهُم اْلِكَتاَب َو اْلِم يَز اَن ِلَيُقوَم الَّناُس ِباْلِقْس ِط‬

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah
kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

al-i’tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوْا ُك وُنوْا َقَّواِم يَن ِهّلِل ُش َهَداء ِباْلِقْس ِط َو َال َيْج ِرَم َّنُك ْم َشَنآُن َقْو ٍم َع َلى َأَّال َتْع ِد ُلوْا اْع ِد ُلوْا ُهَو َأْقَر ُب ِللَّتْقَو ى َو اَّتُقوْا َهّللا ِإَّن َهّللا َخ ِبيٌر ِبَم ا‬
‫َتْع َم ُلوَن‬

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela
(kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu
pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih
mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah:8)

tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip
hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda
tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

‫َفُقواَل َلُه َقْو ًال َّلِّينًا َّلَع َّلُه َيَتَذَّك ُر َأْو َيْخ َشى‬

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-
kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan
bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat
ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun adalah
menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya
lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, juz III hal
206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat
terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

ASWAJA sebagai Manhajul Fikr

Aswaja atau ahlussunnah wal jama’ah yang mengikuti imam asy’ariyah dan maturidiyah dalam bidang
aqidah. Fiqr yang artinya doktrin dan harakah yang artinya bergerak sehingga keduanya tidak bisa
dipisahkan seperti sandal jepit karena fikr tanpa harakah akan serampangan, yang harus kita waspadai
yaitu asobiyah yang arti nya fanatik dalam harakah, menurut imam asegaf Islam yang didatangkan atau
dibawakan oleh nabi Muhammad saw untuk mendatangkan kebahagiaan bagi manusia bukan umat
islam saja yang artinya kita sebagai umat islam ala ahlussunnah wal jama’ah asyariyah maturidiyah an
nahdliyah secara manhajul fiqr wal harakah islam yang saadatul basyar atau membahagiakan manusia

Anda mungkin juga menyukai