Anda di halaman 1dari 5

KISAH PILU SEORANG MURID

Suara langkah kaki yang begitu keras terdengar di lorong sekolah kelas 11. Seorang
berseragam dengan membawa buku-buku yang tebal memasuki ruang kelas dengan muka
yang begitu seriusnya. Ternyata itu adalah pak Alam guru matematika anak kelas 11. Hari
itu pak alam sedang bertugas mengajar metamatika di kelas 11-7. Setelah masuk ke kelas ,
dia melihat sekeliling kelas yang dipenuhi oleh banyak anak murid. Tetapi pandangnya
tertuju pada sebuah bangku yang kosong yang tepat di depannya , “apakah sudah hadir
semua hari ini ?” dia bertanya seakan tidak melihat bangku kosong didepannya.

“Ralia belum datang pak,” semua murid menjawab dengan suara yang sedikit takut.
“ kemana dia? kan sudah saya bilang , saya tidak akan memulai pembelajaran kita jika
masih ada murid yang terlambat, kalian sudah besar harusnya kalian paham akan
kedisiplinan waktu, masak sudah besar masih saja suka terlambat.” “ Permisi pak , maaf
saya terlambat.” Tiba tiba ada sebuah suara lembut tetapi terdengar ngosngosan dari balik
pintu kelas , ternyata itu adalah ralia yang baru datang. “Kemana saja kamu ?” Pak Alam
meninggikan suaranya. Ralia hanya tertunduk diam tidak berani menjawab pertanyaan pak
alam. Pak alam pun menggelengkan kepalanya , dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Dia pun akhirnya menyuruh Ralia untuk duduk di bangkunya dan Pak Alam pun memulai
pembelajarannya.

Keesokan harinya , Ralia datang terlambat lagi. Hal itu membuat pak Alam dan teman
sekelasnya merasa marah. Dia dilempari kertas, tisu, buku bahkan sepatu. Ralia yang
malang hanya bisa menggigit bibir sambil menahan malu, dan di hari ketiga Ralia datang
terlambat lagi, pak Alam sudah tidak bisa manahan amarahnya lagi akhirnya dia mengambil
rotan yang di bawanya dan memukul Ralia, dia hanya bisa tertunduk dan menahan sakit
yang ditimbulkan dari pukulan rotan itu.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Semua murid dari seluruh kelas pun tergesa-gesa
untuk keluar dari ruang kelas. Ralia berlari menyusuri lorong dan sampai di gerbang
sekolah. Didepan gerbang sekolah dia melihat begitu banyak teman-temannya yang di
jemput orang tuanya. Ada yang menggunakan mobil maupun motor sedangkan dia hanya
bisa berjalan sendiri dan pulang ke rumah. Sesampainya Ralia dirumah dia mendengar
suara gelas yang pecah membuat dia panik , dia dengen cepat mengambil kunci rumah dari
sakunya dan membuka pintu rumah.

Setelah dia masuk dia menemukan ayahnya yang tergeletak di lantai. “Tolong ,tolong,
tolong papa saya , tolong.” Dalam kepanikan Ralia berteriak, tetangga sebelahnya segara
datang dan membantu Ralia membawa ayahnya kerumah sakit. Sesampainya dirumah sakit
Ralia mendapat sebuah kabar mengejutkan dari dokter yang menangani ayahnya. “Dik,
mulai sekarang harus belajar bertabah yah, umur ayahmu udah enggak lama lagi. Ayahmu
divonis mengalami penyakit kanker paru-paru, kamu harus belajar mengiklaskan ayah ya
mulai hari ini.” Setelah kata-kata yang mengejutkan itu muncul dari mulut sang dokter
dunia Ralia seakan runtuh. Ayah yang bergitu dia sayangi harus mengalami sakit yang
sedemikian parahnya, dan dia tidak mempunyai uang untuk biaya pengobatan ayahnya. Dia
hanya bisa duduk di samping ranjang ayahnya yang belum sadar dan menangis
sesenggukan

Keesokan paginya , di hari keempat Ralia tidak datang kesekolah. “Apa dia takut
dengan saya ? Dia sudah besar seharusnya dia tau mana yang benar dan mana yang salah.
Apakah saya salah memberi dia pelajaran atas keterlambatan dia datang ke sekolah ?”
“ tidak pak guru” semua murid menjawab dengan serentak. “ liat saja nanti saat dia masuk,
akan saya marahi dia. Sesuai perjanjian kita kemarin , kita tidak akan memulai
pembelajaran kita sebelum semua murid berada dalam ruang kelas ini. Maka hari ini kita
tidak akan belajar, kita hanya akan belajar saat semuanya sudah lengkap di dalam kelas.”
Semua murid hanya duduk didalam kelas. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena pak
alam tidak ingin mengajar. Tetapi dalam hati mereka muncul dendam kepada Ralia,
bagaimana pun semua ini karena Ralia yang tidak datang sekolah sehingga mereka tidak
dapat Belajar hari ini.

Hari Berganti hari , satu minggu pun berlalu dan di hari senin, Ralia masuk bahkan
lebih cepat dibanding kan teman-temannya yang lain. Semua yang masuk ke kelas melihat
Ralia dengan sangat sinis dan binggung , orang yang biasanya terlambat kenapa tiba-tiba
datang begitu cepat. Semua orang dikelas diam sambil menatapnya sampai seorang murid
perempuan dan genknya masuk bersamaan ke kelas itu dan melabrak Ralia. “ Woii, dasar
anak kurang ajar Lo. Tau gak karena lo gak datang semalam kami jadi gak bisa belajar, bisa
gak sih lo jangan mikirin diri lo sendiri. Coba mikirin orang lain, memang pantes lo dibully
satu kelas, dasar gak punya harga diri. Udah datang lambat, berani gak datang sekolah lagi.
Gak tau malu banget sih lo.” “Iya gak tau maluu , wuuuuu,” satu kelas meneriaki dia
dengan sangat keras sampai akhirnya pak Alam masuk ke kelas.

Pak Alam memangil Ralia untuk maju ke depan kelas. Ralia sangat lah bingung “pak
saya tidak terlambat hari ini , kenapa saya di panggil ke depan kelas pak .” “Apa kamu
lupa? Kamu tidak datang sekolah 1 minggu ini kemana saja kamu , kenapa baru muncul
hari ini. Masih punya niat sekolah atau tidak kamu ?” Sembari itu satu kelas bersiap
melemaparkan barang-barang kepadanya. Karena sudah tidak dapat menahan amarahnya
Ralia pun meneriaki mereka semua orang. “ kalian tidak tau apa yang terjadi denganku,
punya hak apa kalian memarahiku dan mempermalukanku didepan sini. Bapak adalah
seorang guru di sekolah ini, bapak tidak tau kenapa saya terlambat, tetapi terus memarahi
saya. Dan kalian semua, kalian tidak tau apa yang sebenarnya terjadi dengan saya , punya
hak apa kalian melempari saya barang barang itu.” Ralia sangat lah marah dia pun mulai
bercerita mengapa dia sering terlambat dan tidak datang.

“Hari pertama, kedua dan hari ketiga, saya tidak datang sekolah karena saya membantu
ayah saya yang sedang sakit berjualan bubur pagi-pagi. Setelah kepergian ibu saya hanya
ayah yang mencari nafkah dirumah , dan saya fokus dalam menuntut ilmu. Ayah saya
adalah seorang pekerja keras, walaupun dia sedang sakit dia tetep ingin bangun pagi-pagi
mencari nafkah untuk anaknya ini makan, minum dan bersekolah. Di hari ketiga saat
pulang sekolah saya menemukan ayah yang tidak berdaya tergeletak di lantai rumah. Saya
sangat lah sedih dan membawanya ke rumah sakit, dokter mengatakan kalau ayah saya
mengalami kanker paru-paru, perkataan itu sangat menyayat hati saya. Ayah yang
membesarkan saya dari kecil harus mengalami sakit yang begitu parah, dan di hari
keempat, saya tidak datang karena ingin menjaga ayah saya yang sedang sakit di rumah
sakit. Dan di hari kelima, ayah saya meninggal, saya kehilangan seorang pahlawan yang
membesarkan saya” Ralia menceritakannya dengan sesengukan dan mata merah yang
bercucuran air mata.

Dia menatap sinis kearah teman temannya “bukannya tadi kalian ingin melempari saya,
silahkan lempari saja saya, ayoo lempar, kenapa gak jadi lempar?” teman-temannya yang
mendengar ceritanya merasa sangat bersalah atas apa yang mereka katakan dan lakukan
pada Ralia. Mereka satu persatu menyimpan Kembali barang yang ingin mereka lemparkan
kepada Ralia. Ralia yang sedih menatap gurunya. Pak Alam merasa sangat bersalah dan iba
terhadap musibah yang terjadi pada Ralia dan Ralia yang sedih berlari keluar dari ruang
kelas.

Keesokan paginya, Pak Alam menyuruh Ralia menemuinya di kantor. Sesampainya


Ralia di kantor Pak Alam memberinya sebuah amplop berisi uang dan meminta maaf
kepadanya. “Maafin bapak ya nak, bapak tidak tau apa musibah yang terjadi dengan
keluargamu sebenarnya, dan bapak hanya berburuk sangka kepadamu. Ini ada sedikit
belasungkawa dari bapak dan teman-teman sekelasmu, mohon diterima ya nak. Mulai hari
ini kalau Ralia butuh bantuan bapak dan teman-teman sekelas Ralia, kami siap buat bantu
Ralia.”

Setelah kejadian itu guru dan teman-teman sekelasnya tidak ada lagi yang berburuk
sangka kepada orang lain dan mereka selalu membantu Ralia, Mereka satu persatu mulai
menjadi Teman Ralia. Ralia akhirnya Pindah sekolah dari awalnya di Jakarta ke Bandung
karena bibinya di Bandung ingin menjaganya. Walaupun begitu, dia masih selalu ingat dan
berkomunikasi dengan teman-temannya di Jakarta.

Pesan moral dari cerita ini:

1. Kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain, sebelum memarahi orang kita
harusnya mencari dulu kebenarannya.
2. Kita tidak boleh membully teman, karena tidak semua teman bener-bener ingin
mencelakakan kita.
3. Sayangilah orang tua kita yang masih hidur, karena saat kehilangannya kita akan
merasa bahwa dunia kita telah runtuh.
4. Tetap menjalin silahturahmi yang kuat walau sudah tidak Bersama teman-teman
lama kita.

Anda mungkin juga menyukai