Anda di halaman 1dari 3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Macam-macam Aliran Tasawuf


Orang yang pertama memberikan perhatian kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam
tasawuf Islam itu adalah Fakhruddin Al Razi.
Secara garis besar, alam pemikiran tasawuf dalam Islam telah melahirkan tujuh aliran
besar. Ketujuh aliran itu adalah :
1. Aliran Ittihad
Zun Nun Almisry (245 H) adalah sufi yang pertama kalinya mengemukakan faham
ma`rifah dalam tasawuf dan dalam perkembangannya. Menurut Zun Nun, bahwa ma`rifah yang
hakiki adalah ma`rifah sifat wahdaniyyah yang bagi wali-wali Allah secara khusus karena
mereka menyaksikan Allah dengan hati mereka, maka terbukalah bagi mereka apa-apa yang
tidak terbuka bagi orang lainnya.[1]
Apa yang telah dirintis oleh Zun Nun itu dikembangkan lebih jauh oleh Abu Yazid Thaifur
bin Isa Al Bistami (261 H). Abu Yazidlah orang pertama sekali secara terbuka mengemukakan
ajran ittihad. Ittihad adalah kepercayaan bahwa khaliq (Allah) dapat bersatu dengan makhluk
(manusia). Yakni hubungan yang terjadi antara zat makhluk dengan khaliq. Apabila terjadi hal
ini maka makhluk akan berada dalam keadaan tak sadr diri, yang mereka namakan mahwu.[2]
2. Aliran Hulul
Al-Hulul adalah kepercayaan bahwa Allah bersemayam di tubuh salah seorang, yang
kiranya bersedia untuk itu, karena kemurnian jiwanya dan kesucian ruhnya. Di antara orang-
orang yang menganut akidah dan kepercayaan ini ialah Al-Hallaj.
Ajaran-ajaran Al-Hallaj tentang tasawuf tergambar dalam buah fikiran yang terpisah-pisah
dan di dalam teori yang bersifat ekstrim. Menurut Abul Qasim Al Razi, Al Hallaj pernah menulis
sebuah surat yang berbunyi : “ Dari yang maha pengasih lagi maha penyayang kepada fulan bin
fulan”. Tatkala ditanya orang mengapa dia menulis dengan kata-kata tersebut, dia memeberikan
jawban bahwa” Penulis itu hanya Allah sedang aku dan tanganku hanyalah alat belaka”.[3]
3. Aliran Ittishal
Aliran tasawuf Ittishal dikemukakan oleh para filsuf Islam terutama Al Farabi, Ibnu Sina,
Ibnu Bajah, dan Ibnu Tufail.
Abu Nasr Muhammad Al-Farabi di dalam mengemukakan konsepsinya tentang tasawuf,
tidak terlepas dari keahliannya sebagi filsuf. Tasawuf menurut Al-Farabi, bukan hanya
membahas masalah amal untuk kebersihan jiwa, memerangi hawa nafsu, dan kelezatan
badaniyah saja, tetapi juga harus melalui akal dan pemikiran itu sendiri.
Al-Farbi memandang tingkat ma`rifah manusia dalam tasawuf adalah berjenjang naik dan
apabila manusia telah berada diatas jenjang Al-Aqlul Mustafad maka manusia mampu menerima
nur ketuhanan, berhubungan langsung dengan Al-Aqlul Fa`al.di tingkat ini manusia tidak lagi
berda dalam tingkat ijtihad tetapi telah berda dalam tingkat pemberian Tuhan hingga dapat
berhubungan langsung dengan Tuhan(Ittishal).
Al-Farabi mengemukakan bahwa sentral segal sesuatu adalah akal, maka dalam
tasawufnya ia berpendapat bahwa tujuan tasawuf terkhir adalah pencapaian sa`dah yang tertinggi
dalam wujud kesempurnaan ittishal dengan Al Aqlu Fa`al.
Perkembangan akal dan peningkatannya tidak bisa lepas dari perkembangan jiwa,
peningkatan dan pembersihannya.[4]
4. Aliran Isyraq
Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhraward. Sejak kecil ia telah
belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian belajar di Maraghah berguru dengan Imam
Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan
diteruskan dengan belajar kepada Al Mardini.
Suhrawardi meninggal dunia karena hukum bunuh yang dilaksanakan oleh Az-Zahir atas
perintah Al-Ayyubi pada tahun 587 H/1191 M pada usia 83 tahun. Sebab jatuhnya hukuman
bunuh itu karena penafsiran Suhrawardi terhadap berbagai hal tentang ketuhanan, kenabian dan
sebagainya yang dianggap berbahaya kepada akidah kaum muslimin.
Suhrawardi mendasarkan teori filsafatnya kepada Isyraq. Kata Isyraq berasal dari bahasa
Arab yang berarti timur. Secara etimologi mengandung maksud terbitnya matahari dengan sinar
yang terang.
5. Aliran Ahlul Malamah
Aliran Ahlul Malamah lahir di Nishapor pada bagian kedua abad ketiga hijriyah. Kata Al
Malamah berasal dari kata laum yang artinya celaan. Ahlul Malamah adal sekumpulan orang
yang mencela dan merendahkan diri mereka karena itulah tempat kesalahan-kesalahan.[5]
Ajaran kaum malamatiyah ini pada dasarnya ialah mencela diri sendiri, merendahkan dan
menghinakannya didepan orang untuk melindungi keikhlasan dan kedekatan dirinya dengan
Tuhan, menjaga kemurnian ketulusan dan menjauhkan diri dari kesombongan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain, Hamdun Al Qassar (m.271 H), Abu Utsman Al Hairi
(m.289 H), Mahfudz Al Naisaburi (m.303 H), Abul Husein Al Warraq ( m.320 H), Abu Umar Al
Zujaji (m.348 H), Abul Husein bin Bandar (m.350 H), Abul Hasan bin Sahal Al Busyanji (m.348
H), Abi Ya`kub Al Nahrajuri (m.330 H), dan Muhammad bin Ahmad Al Farra` (m.370 H).
Aliran ini banyak memiliki ajaran-ajaran yang bersifat ekstrem dan bertendensi negative dalam
kehidupan. Oleh karena itu, aliran ini tidak banyak mendapat pengikut dan tidak bertahan lama
dalam sejarah pemikiran Islam.
6. Aliran Wahdatul Wujud
Pemimpin aliran Wahdatul Wujud adalah filsuf dan sufi yang bernama Ibnu Arabi dari
Andalusia. Beliau dilahirkan tahun 598 H / 1102 M dan meninggal pada tahun 638 H/1240 M.
Menurut Dr. Abdul `Ala Afifi, tidak ditemui seorang tokoh aliran Wahdatul Wujud dalam
Islam yang memiliki ajaran sempurna sistematis terkecuali Ibnu Arabi. Dialah peletak dasar dan
Pembina ajaran-ajaran Wahdatul Wujud hingga berdiri sebagai suatu aliran.
Menurut Ibnu Arabi, adanya alam semesta ini tidak bias dipisahkan dengan sejarah Nabi
Adam sendiri.[6]
Wahdatul Wujud adalah kepercayaan bahwa yang maujud (ada) itu hanyalah satu, tidak
dapat diduakan. Dengan kata lain, tak ada yang maujud(ada) kecuali Allah SWT.[7]
7. Aliran Ahlus Sunnah
Perkembangan tasawuf aliran Ahlus Sunnah dimulai dengan perkembangan teologi yaitu
pembahasan di sekitar aqidah dan tampak menonjol dalam pendapat-pendapat yang
dikemukakan oleh Abdullah bin Said Al Kulaby (240 H) dan kemudian berlanjut lebih jelas
dalam perkembangan tasawuf di dalam konsepsi yang dikemukakan oleh Al Haris Al Muhasiby
(243 H) sebagai seorang ahli kalam dan sufi.
Di bidang teologi tampil Imam Asy`ari (324 H) dan Imam Maturidi (333 H) dengan
konsepsi yang sistematis hingga melahirkan daoktrin Ahlus Sunnah Wal Jma`ah.
Di bidang tasawuf, penyempurnaan apa yang telah dikemukakan oleh Al Haris Al
Muhasiby dilanjutkan oleh sufi besar Junaid Al Baghdady (297 H) dengan meletakkan dasar-
dasar yang kuat, dan kemudian disempurnakan secara sistematis oleh Hujjatul Islam Imam Al
Ghazali (505 H) hingga terwujud doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.
Ajaran tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama`ah adalah bersumber dari mereka yang di dalam
hidup dan berfikir didasarkan kepada Al-Qur`an dan Sunnah dengan mengambil pelajaran dari
ilmu para Nabi dan Rasul dengan mengikuti secara teratur jejak langkah mereka di dalam
menghambakan diri, melakukan jihadun nafs, menegakkan akhlak yang utama dengan tingkah
laku dan perbuatan yang terpuji di sisi Allah, bening hati dan bersih dalam kehidupan, dan sabar
dalam mengatasi berbagai halangan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka
adalah para sahabat Rasulullah SAW seperti haritsah, Bara`ah bin Malik, Abu Israil, Huzaifah,
Abi Darda`, Abu Zar, `Ukasah, Abdullah bin Umar, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Suhaib,
Abu Rafi`I, Bilal Habab dan lain-lain. Dari tabi`in antara lain : Ali bin Husein ( Zainul `Abidin),
Muhammad Al Bakir, Ja`far As Shadiq, Uwais Al Qarni, Ibnu Huzaim, Salmah, Hasan Al Basri
dan lain-lain.[8]

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kalau kita lihat kepada berbagai aliran itu dengan ajran-ajaran yang terkandung
didalamnya, maka sebagian dari aliran-aliran tersebut masih tetap berada dan lurus menurut jalan
yang di tetapkan oleh Al-Qur`an dan hadits, dan sebagian lainnya ada yang menyimpang dalam
bentuk ajaran-ajaran yang ekstrim.

DAFTAR PUSTAKA
Al Payami, Ma`ruf, Islam dan Kebathinan, Solo : CV. Ramadhani, 1992.

Mansur, M. Laily, Tasawuf Islam Mengenal Aliran dan Ajaran, Jakarta : Lambung Mangkurat
University Press, 1992

Anda mungkin juga menyukai