Anda di halaman 1dari 40

NAMA : TSANIA SYIFA AULIA

NPM : 212151126

KELAS : 2021-D

PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM ETIKA POLITIK

1. Jelaskan Pengertian nilai menurut para akhli ?

Jawab:

Pengertian Nilai

Nilai berbicara mengenai segala sesuatu yang ada dan ada nilainya.
Sebuah benda akan memiliki nilai, jika nilainya tinggi maka akan tinggi pula
harganya, misalnya emas, memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan
dengan benda lainnya. Begitu juga dalam kehidupan manusia, manusia pada
dasarnya ingin dihargai, semakin dihargai oleh orang lain, maka di situlah
nilai pada manusia tersebut.

Dalam dictionary of sociology and related science, dikemukakan bahwa


nilai adalah kemampuan yang dipercaya, yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan menusia. Sifat dari suatu benda, yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok (the believed capacity of any object to
statisfy a human desire). Jadi nilai pada hakikatnya adalah, sifat atau kualitas
yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu
mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu
itu (Kaderi, 2015: 137).

Berikut dipaparkan pengertian nilai dari beberapa ahli yaitu:

a. Jack Fraencel
Suatu ide (gagasan) atau konsep tentang apa yang difikir penting oleh
seseorang di dalam hidupnya. Nilai sebagai asumsi yang abstrak dan sering
tidak disadari tentang apa yang benar. Nilai adalah standar tingkah laku pada
kelompok tertentu.

b. Milton Rokeah

Nilai adalah suatu kepercayaan atau keyakinan yang bersumber pada


sistem nilai seseorang mengenai apa yang patut dilakukan seseorang atau
mengenai apa yang berharga dari apa yang tidak berharga. Nilai juga dapat
disebut sebagai hal yang berguna dan tidak berguna.

c. Max Scheler

Sama Nilai-nilai yang ada tidak sama luhurnya dan tingginya. Menurut
tinggi rendahnya nilai, di kelompokan dalam 4 (Empat) tingkatan:

1) Nilai kenikmatan;

2) Nilai kehidupan;

3) Nilai kejiwaan;

4) Nilai kerohanian.

d. Walter G Everet

Menggolongkan nilai manusiawi ke dalam 8 (delapan) kelompok

1) Nilai ekonomi;

2) Nilai kejasmanian;

3) Nilai hiburan;

4) Nilai sosial;

5) Nilai watak;
6) Nilai estetis;

7) Nilai intelektual;

8) Nilai keagamaan.

e. Notonegoro

Membagi nilai menjadi 3 (tiga) macam nilai, yaitu:

1) Nilai material, segala sesuatu yang berguna bagi

2) Nilai vital, untuk mengadakan kegiatan atau kehidupan manusia atau


kebutuhan ragawi manusia.

3) Nilai kerohanian, untuk rohani yaitu :

a) Kebenaran;

b) Keindahan;

c) Kebaikan;

d) Religius;

f. N. Rescher

Pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai (trager) hakikat keuntungan


yang diperoleh dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan yang
diperoleh Jika sebuah benda ingin memiliki harga yang sangat mahal, benda
tersebut harus ditingkatkan kualitas nilainya.

2. Jelaskan 6 penggunaan nilai menurut Lacey ?

Jawab:

Bisa jadi bendanya sama, namun harganya berbeda. Dalam kehidupan


manusia juga demikian, manusia jika ingin dihargai maka tingkatkan derajat
nilainya, manusia tidak ada suka dihina dan di rendahkan oleh orang lain,
namun, orang lain akan tetap menilai baik atau buruknya seseorang.
Penghargaan orang lain pada kita, tergantung diri kita sendiri, jika ingin
dihargai, hargai juga orang lain.

Lacey (1999: 23) menjelaskan bahwa paling tidak ada 6 (enam)


pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut:

a. sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya;

b. suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau


pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang;

c. suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk seseorang sebagai


pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.

d. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang


baik di antara berbagai kemungkinan tindakan.

c. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika


bertingkah laku bagi dirinya dan orang

f. Suatu objek nilai, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang
sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian
seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek
yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri.

3. Jelaskan hubungan Nilai, Norma dan Moral ?

Jawab:

Hubungan Nilai, Norma dan Moral

Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang


bermanfaat yang dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna maka perlu dikonkritkan lagi.
Wujud yang lebih konkrit dari sebuah nilai adalah norma. Nilai dan norma
senantiasa berkaitan dengan moral, karena kepribadian seseorang ditentukan
moral yang dimilikinya.

Sementara itu, norma adalah bentuk nyata dari nilai-nilai sosial di dalam
masyarakat yang berbudaya, memiliki aturan-aturan, dan kaidah-kaidah, baik
yang tertulis maupun tidak. Norma-norma ini mengatur kehidupan manusia
dalam bermasyarakat. Menurut Kaelan (2016:85) norma dibagi menjadi:

a. Norma susila (kesusilaan), yaitu peraturan hidup yang berasal dari hati
nurani manusia. Norma susila menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk.

Norma susila yang mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya.


Norma susila melarang manusia untuk berbuat tidak baik, karena
bertentangan dengan hati nurani setiap manusia yang normal. Contoh-contoh
norma susila antara lain:

a) Jangan mencuri barang milik orang lain;

b) Jangan membunuh sesama manusia;

c) Hormatilah sesamamu;

d) Bersikaplah jujur.

Norma susila memiliki sanksi atau ancaman

hukuman bagi yang melanggar norma tersebut dan sanksinya adalah perasaan
manusia itu sendiri, yang akibatnya adalah penyesalan.
b. Norma kesopanan, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari pergaulan
dalam masyarakat. Dasar dari norma kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan
dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering
dinamakan norma sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma sopan
santun yang aktual dan khas berbeda antara masyarakat yang satu masyarakat
yang lain. Contoh dari norma kesopanan, antara lain:

1) Generasi yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua usianya;

2) Berangkat ke sekolah harus berpamitan dengan orang tua terlebih dahulu;

3) Memakai pakaian yang pantas dan rapi dalam mengikuti pelajaran di


sekolah;

4) Janganlah meludah di dalam kelas.

Bagi mereka yang melanggar norma kesopanan, sanksi yang dijatuhkan akan
menimbulkan celaan dari sesamanya, dan celaan itu dapat berwujud kata-
kata, dengan

sikap kebencian, pandangan rendah dari orang sekelilingnya, dijauhi dari


pergaulan, sehingga akan menimbulkan rasa malu, rasa hina, rasa dikucilkan
yang dirasakan sebagai penderitaan batin.

c Norma agama, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang isinya berupa larangan, perintah-perintah, dan ajaran. Norma
agama berasal dari wahyu Tuhan dan mempunyai nilai yang fundamental
yang mewarnai berbagai norma yang lain, seperti norma Susila, norma
kesopanan, dan norma agama, antara lain:

a) Tidak boleh membunuh sesama manusia;

b) Tidak boleh mencuri harta orang lain;


c). Hormatilah orang tua.

Terhadap pelanggar norma agama tidak langsung dirasakan di dunia, akan


tetapi dikenakan sanksi oleh Tuhan kelak di akhirat nanti.

d. Norma hukum, yaitu ketentuan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia
dalam pergaulan hidup di masyarakat dan mengatur tata tertib kehidupan
bermasyarakat. Contoh beberapa norma hukum, antara lain: Pasal 362 KUHP
yang menyatakan bahwa barang siapa mengambil sesuatu barang yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk di miliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Bagi pelanggar norma hukum dapat dikenakan sanksi berupa hukuman mati,
penjara, ataupun denda maupun pembatalan atau pernyataan tidak sahnya
suatu kegiatan atau perbuatan, dan sanksi tersebut dapat dipaksakan oleh
lembaga yang ber-wenang. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata
Latin mos yang berarti tata cara, adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan
jamaknya adalah mores. Dalam arti adat-istiadat atau kebiasaan, kata moral
mempunyai arti sama dengan bahasa Yunani ethos, yang menurunkan kata
etika. Dalam bahasa Arab, kata moral berarti budi pekerti, yang memiliki
makna sama dengan kata akhlak, sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata
moral dikenal dengan arti kesusilaan. Pengerian moral dalam kamus
psikologi di nyatakan bahwa moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan
peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur
tingkah laku. Moral adalah ukuran atau aturan. Moral dibagi menjadi 3 (tiga),
yakni:

a. Science of belong (merasa memiliki);


b. Science of lows (hukum);

c. Science responsibility (bertanggung jawab).

Kata moral dan moralitas memiliki arti yang beraneka ragam. Berikut ini
dikemukakan definisi moral dan moralitas menurut beberapa ahli.

a. Franz Magnis Suseno

Kata moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

b. Bertens

Memaknai moralitas sebagai sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.

c. Poespoprodjo

Mengartikan moralitas sebagai kualitas dalam perbuatan manusia yang


menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, dan baik atau buruk.

d. Chaplin

Mengartikan moral dalam tiga hal, yaitu (1) akhlak, moral, dan tingkah laku
yang susila, (2) ciri-ciri khas seseorang atau sekelompok orang dengan
perilaku pantas dan baik, (3) hukum atau adat kebiasaan yang mengatur
tingkah laku.

Mendefinisikan moralitas sebagai sebuah usaha untuk membimbing tindakan


seseorang dengan akal, yakni untuk melakukan apa yang paling baik menurut
kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh tindakan itu.

Van Ness
Membedakan moralitas dan etika. Moralitas biasanya digunakan untuk
menggambarkan bagaimana orang bertindak, sedangkan etika merupakan
studi tentang standar perilaku khususnya aturan tentang kebenaran dan
kesalahan. Secara umum terdapat dua jenis moralitas, yaitu moralitas
intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Moralitas intrinsik memandang suatu
perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari bentuk hukum positif.
Sebaliknya, moralitas ekstrinsik,

memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh


seseorang yang berkuasa atau oleh hukum positif baik dari manusia maupun
Tuhan (Handoyo, Susanti, & Munandar, 2016:4-5).

Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa hubungan antara nilai, norma
dan moral, akan membentuk manusia seperti pada gambar dibawah ini:

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa nilai value yang dalam istilah
filsafat nilai dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth), atau kebaikan
(goodness).

Semua nilai harus dijabarkan kedalam norma (ukuran aturan) dan melaui
moral judgment terwujud menjadi actus humanus. Actus humanus merupakan
tindakan manusia yang mengandung konsekuensi moral.

Kualitas akidah/keagaamaan yang tinggi (s), tetapi juga sangat menghormati


keberadaan agama lain/toleransi (0)

b. Kualitas keilmuan yang tinggi(s),tetapi juga mengamalkannya orang lain


mersakan manfaatnya/meningkatkan peradaban(0)

c. Kepribadian tinggi (s),menghormati dan dihormati orang lain/menjaga


nama baik (0)
d. Mampu mengelola diri (s) juga mengelola orang lain/mengharagai
potensi(0)

e. Mandiri (s) dan peduli pada orang lain/berbagi kesejahteraan (0)

4. Jelaskan 4 jenis norma ?

Jawab:

Menurut Kaelan (2016:85) norma dibagi menjadi:

a. Norma susila (kesusilaan), yaitu peraturan hidup yang berasal dari hati
nurani manusia. Norma susila menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk.

Norma susila yang mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya.


Norma susila melarang manusia untuk berbuat tidak baik, karena
bertentangan dengan hati nurani setiap manusia yang normal. Contoh-contoh
norma susila antara lain:

a) Jangan mencuri barang milik orang lain;

b) Jangan membunuh sesama manusia;

c) Hormatilah sesamamu;

d) Bersikaplah jujur.

Norma susila memiliki sanksi atau ancaman

hukuman bagi yang melanggar norma tersebut dan sanksinya adalah perasaan
manusia itu sendiri, yang akibatnya adalah penyesalan.

b. Norma kesopanan, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari pergaulan


dalam masyarakat. Dasar dari norma kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan
dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering
dinamakan norma sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma sopan
santun yang aktual dan khas berbeda antara masyarakat yang satu masyarakat
yang lain. Contoh dari norma kesopanan, antara lain:

1) Generasi yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua usianya;

2) Berangkat ke sekolah harus berpamitan dengan orang tua terlebih dahulu;

3) Memakai pakaian yang pantas dan rapi dalam mengikuti pelajaran di


sekolah;

4) Janganlah meludah di dalam kelas.

Bagi mereka yang melanggar norma kesopanan, sanksi yang dijatuhkan akan
menimbulkan celaan dari sesamanya, dan celaan itu dapat berwujud kata-
kata, dengan

sikap kebencian, pandangan rendah dari orang sekelilingnya, dijauhi dari


pergaulan, sehingga akan menimbulkan rasa malu, rasa hina, rasa dikucilkan
yang dirasakan sebagai penderitaan batin.

c Norma agama, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang isinya berupa larangan, perintah-perintah, dan ajaran. Norma
agama berasal dari wahyu Tuhan dan mempunyai nilai yang fundamental
yang mewarnai berbagai norma yang lain, seperti norma Susila, norma
kesopanan, dan norma agama, antara lain:

a) Tidak boleh membunuh sesama manusia;

b) Tidak boleh mencuri harta orang lain;

c). Hormatilah orang tua.


Terhadap pelanggar norma agama tidak langsung dirasakan di dunia, akan
tetapi dikenakan sanksi oleh Tuhan kelak di akhirat nanti.

d. Norma hukum, yaitu ketentuan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia
dalam pergaulan hidup di masyarakat dan mengatur tata tertib kehidupan
bermasyarakat. Contoh beberapa norma hukum, antara lain: Pasal 362 KUHP
yang menyatakan bahwa barang siapa mengambil sesuatu barang yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk di miliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

5. Jelaskan Pengertian Moral secara Etimologis dan Pembagiannya ?

Bagi pelanggar norma hukum dapat dikenakan sanksi berupa hukuman mati,
penjara, ataupun denda maupun pembatalan atau pernyataan tidak sahnya
suatu kegiatan atau perbuatan, dan sanksi tersebut dapat dipaksakan oleh
lembaga yang ber-wenang. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata
Latin mos yang berarti tata cara, adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan
jamaknya adalah mores. Dalam arti adat-istiadat atau kebiasaan, kata moral
mempunyai arti sama dengan bahasa Yunani ethos, yang menurunkan kata
etika. Dalam bahasa Arab, kata moral berarti budi pekerti, yang memiliki
makna sama dengan kata akhlak, sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata
moral dikenal dengan arti kesusilaan. Pengerian moral dalam kamus
psikologi di nyatakan bahwa moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan
peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur
tingkah laku. Moral adalah ukuran atau aturan. Moral dibagi menjadi 3 (tiga),
yakni:
a. Science of belong (merasa memiliki);

b. Science of lows (hukum);

c. Science responsibility (bertanggung jawab).

6. Jelaskan beberapa pengertian moral menurut Para akhli ?

Jawab:

Kata moral dan moralitas memiliki arti yang beraneka ragam. Berikut ini
dikemukakan definisi moral dan moralitas menurut beberapa ahli.

a. Franz Magnis Suseno

Kata moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

b. Bertens

Memaknai moralitas sebagai sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.

c. Poespoprodjo

Mengartikan moralitas sebagai kualitas dalam perbuatan manusia yang


menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, dan baik atau buruk.

d. Chaplin

Mengartikan moral dalam tiga hal, yaitu (1) akhlak, moral, dan tingkah laku
yang susila, (2) ciri-ciri khas seseorang atau sekelompok orang dengan
perilaku pantas dan baik, (3) hukum atau adat kebiasaan yang mengatur
tingkah laku.
Mendefinisikan moralitas sebagai sebuah usaha untuk membimbing tindakan
seseorang dengan akal, yakni untuk melakukan apa yang paling baik menurut
kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh tindakan itu.

Van Ness

Membedakan moralitas dan etika. Moralitas biasanya digunakan untuk


menggambarkan bagaimana orang bertindak, sedangkan etika merupakan
studi tentang standar perilaku khususnya aturan tentang kebenaran dan
kesalahan. Secara umum terdapat dua jenis moralitas, yaitu moralitas
intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Moralitas intrinsik memandang suatu
perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari bentuk hukum positif.
Sebaliknya, moralitas ekstrinsik,

memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh


seseorang yang berkuasa atau oleh hukum positif baik dari manusia maupun
Tuhan (Handoyo, Susanti, & Munandar, 2016:4-5).

7. Gambarkan hubungan Nilai, Norma dan Moral ?

Jawab:

Value

Norm

Moral
Judgementy/Etika
Human Conduct:
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa nilai value yang dalam istilah
Actus HUmanus
filsafat nilai dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth), atau kebaikan
(goodness).
Semua nilai harus dijabarkan kedalam norma (ukuran aturan) dan melaui
moral judgment terwujud menjadi actus humanus. Actus humanus merupakan
tindakan manusia yang mengandung konsekuensi moral.

Kualitas akidah/keagaamaan yang tinggi (s), tetapi juga sangat menghormati


keberadaan agama lain/toleransi (0)

b. Kualitas keilmuan yang tinggi(s),tetapi juga mengamalkannya orang lain


mersakan manfaatnya/meningkatkan peradaban(0)

c. Kepribadian tinggi (s),menghormati dan dihormati orang lain/menjaga


nama baik (0)

d. Mampu mengelola diri (s) juga mengelola orang lain/mengharagai


potensi(0)

e. Mandiri (s) dan peduli pada orang lain/berbagi kesejahteraan (0)

8. Jelaskan tentang Pengertian Etika ?

Pengertian Etika

Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos, artinya tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir (Van Ness 2010: 14). Dalam bentuk jamak, ta etha, artinya adalah adat
kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika diartikan
sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apayang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 308).

Sementara itu, etik diartikan dalam dua hal. Pertama, etik sebagai kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Kedua, etik sebagai nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari
pandanga tersebut, etika dipahami sebagai ilmu yang menyelidiki mana
perbuatan yang dipandang baik dan mana yang dianggap buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat di ketahui oleh akal
pikiran.

Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan

mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Bagaimana


seseorang harus hidup, dibicarakan dalam moral; sedangkan etika hendak
mengkaji tentang mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu atau
bagaimana ia mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika di hadapkan
pada berbagai ajaran moral (Handoyo, Susanti, & Munandar,

2016: 14).

Dalam sistem filsafat, etika termasuk dalam filsafat produk, etika yang
membicarakan tentang tingkah laku seseorang, secara filosofis itu berarti
manifestasi dari pikiran scorang manusia. Perilaku seseorang tergantung oleh
alam pikirannya, apa manusia lakukan itu diawali oleh apa yang manusia
tersebut pikirkan. Maka, berfikirlah terlebih dahulu sebelum bertindak.

Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika
keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah
teori yang mempelajari keutamaan (virtue) artinya mempelajari tentang
perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan
perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan pada what should
I be?, atau saya harus menjadi orang yang bagaimana?

Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral
menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan di lawankan dengan
kewajiban. Sementara itu, Etika deontologis adalah teori etis yang berkaitan
dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan
tujuan atau akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang
seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral
mengandung kemestian untuk melakukan tindakan

(Dikti, 2016: 178).

9. Jelaskan aliran Etika Keutamaan ,Etika Teologis,dan Etika Deontologi ?

Jawab:

Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika
keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan
adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue) artinya mempelajari
tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini
mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan
pada what should I be?, atau saya harus menjadi orang yang bagaimana?

Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan
moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan di lawankan
dengan kewajiban. Sementara itu, Etika deontologis adalah teori etis yang
berkaitan dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya
membicarakan tujuan atau akibat. Kewajiban moral bertalian dengan
kewajiban yang seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan.
Kewajiban moral mengandung kemestian untuk melakukan tindakan

(Dikti, 2016: 178).

10.Jelaskan 3 pengertian Politik ?

Jawab:
Politik

Istilah politik sudah berkembang sejak zaman Yunani Kuno, tentunya kita
mengenal salah satu tokohnya yakni Aristoteles. Merujuk pada pendapat
Aristoteles (Agustino, 2006; 34-35) setidaknya ada beberapa hal penting
untuk dapat mendefinisikan itu politik. Pertama, politik membahas tentang
negara yang dalam konteks yang dikenal dengan polis Pembahasan ini
khususnya berkonsentrasi pada bentuk ideal suatu negara. Kedua, politik
akan bersinggungan dengan kekuasaan. Untuk mewujudkan sebuah negara
terbaik seperti yang dicitakan oleh Aristoteles dan para pemikir filsafat
politik awal, mengenai kebaikan bersama, perlu kiranya kekuasaan dimiliki
oleh pihak-pihak yang akan mengelola negara. Ketiga, politik juga membahas
tentang keberadaan warga negara sebagai entitas penting dalam kehidupan
bernegara. Entitas tentu saja diinginkan oleh Aristoteles entitas yang
memiliki keseragaman nilai dan tujuan sehingga penciptaan tujuan akan
mudah untuk dilakukan. Machiavelli dalam bukunya the prince melihat
politik sebagai aktivitas dan metode untuk mempertahankan dan merebut
kekuasaan absolut.

Moralitas dan etika politik hanya akan bisa diterapkan apabila metode
tersebut efektif dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan tersebut.
Hobbs, pada tahun 1951, dalam karyanya yang berjudul leviathan
menyatakan legetimasi politik bukan terletak pada cara pemerintahan dalam
mendapatkan kekuasaan, melainkan lebih pada cara mereka menggunakan
kekuasaan.

legetimasi politik hanya akan dapat diraih ketika pemerintah mampu


memberikan perlindungan kepada siapa saja yang membutuhkan proteksi dan
perlindungan dari kekuasaan yang diperolehnya. legitimasi politik akan
hilang ketika proteksi atau perlindungan Pada akhir abad 17, John Locke
dalam karyanya Second Treatises of Government berdalih bahwa hak asasi
manusia tidak harus hilang akibat kepatuhan mereka terhadap otoritas politik.
Sedangkan JJ Rousseau beragumen bahwa legitimasi dan otoritas politik
merupakan hasil dari general wiil (volonte generale). Adanya keberagaman
dan kebebasan individu, tetapi juga berkeinginan untuk membangun well
beng dalam masyarakat sehingga berpotensi menimbulkan konflik antara
berbagai kepentingan kelompok atau individu tertentu. Sehingga dalam
masyarkat sangat diperlukan hukum (law). Soalnya general will bisa saja
salah (Firmansyah, 2008: 48-49) Politik merupakan suatu peristiwa, kegiatan,
atau proses yang melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam suatu negara
dalam membuat kebijakan, keputusan, atau mendistribusikan nilai (berupa
barang

dan jasa) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup


masyarakat, bangsa, dan negara (Handoyo, Susanti, & Munandar, 2016: 37)

Menurut Sharma (2004:18) politik adalah opini/pendapat, pemikiran/ide,


keputusan, penetapan hukum, pengaturan, yang dilakukan oleh penguasa
negara dan/atau oleh rakyat/masyarakat setiap negara, yang berkenaan
dengan sistem ketatanegaraannya, dengan hal-hal/masalah yang dapat
mempengaruhi jalannya atau kelangsungan hidup negaranya, dengan
pelaksanaan kepada sistem kekuasaannya oleh Penguasa yang sedang
berkuasa, dan dengan hal-hal /masalah yang berhubungan dengan negara lain
Menurut Budiardjo (2008: 15) pada umumnya, dapat bahwa politik adalah
menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian
besar warga untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang
harmonis.

Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan


yang antara menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara
melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan me-ngenai
apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut
pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah ditentukan itu.

Selanjutnya Sharma (2004: 24) menyatakan bahwa untuk dapat berpolitik


praktis maka seseorang harus memilik minimal salah satu dari beberapa
persyaratan berikut ini:

a. Adanya pemikiran, ide-ide, konsep-konsep mengenai hal-hal yang


berkenaan dengan perkara atau masalah politik;

b. Pandai bicara dan mayakinkan orang lain, apalagi bila memiliki suara
keras dan lantang;

c. Memiliki suatu wewenang kekuasaan sebagai penguasa;

d. Memiliki kedudukan dalam masyarakat yang cukup terpandang, misalnya


sebagai tokoh masyarakat, orang kaya, ilmuan, ulama, dan sebagainya;

e. Memiliki kekuatan fisik tubuh, senjata, atau

dukungan militer;

f. Memiliki pengikut yang cukup besar, misalnya sebagai pemimpin suatu


organisasi massa;

g. Memiliki pengetahuan dasar tentang sejarah, adatbistiadat, budaya, status


sosial, dan lain lainnya daripada massa/orang-orang yang akan dipengaruhi
dengan kegiatan politiknya,

Dengan demikian bahwa politik merupakan cara atau seni untuk merebut
dan mempertahankan kekuasaan. Sebagai makhluk yang berpolitik, manusia
memiliki kecenderungan untuk ingin memiliki kekuasaan, karena kekuasaan
bagian dari kebutuhan manusia.

11.Apakah Politik prkatis itu dan jelaskan 8 syarat untuk berpolitik praktis ?

Jawab:

Sharma (2004: 24) menyatakan bahwa untuk dapat berpolitik praktis maka
seseorang harus memilik minimal salah satu dari beberapa persyaratan
berikut ini:

a. Adanya pemikiran, ide-ide, konsep-konsep mengenai hal-hal yang


berkenaan dengan perkara atau masalah politik;

b. Pandai bicara dan mayakinkan orang lain, apalagi bila memiliki suara
keras dan lantang;

c. Memiliki suatu wewenang kekuasaan sebagai penguasa;

d. Memiliki kedudukan dalam masyarakat yang cukup terpandang, misalnya


sebagai tokoh masyarakat, orang kaya, ilmuan, ulama, dan sebagainya;

e. Memiliki kekuatan fisik tubuh, senjata, atau

dukungan militer;

f. Memiliki pengikut yang cukup besar, misalnya sebagai pemimpin suatu


organisasi massa;

g. Memiliki pengetahuan dasar tentang sejarah, adatbistiadat, budaya, status


sosial, dan lain lainnya daripada massa/orang-orang yang akan dipengaruhi
dengan kegiatan politiknya,

Dengan demikian bahwa politik merupakan cara atau seni untuk merebut
dan mempertahankan kekuasaan. Sebagai makhluk yang berpolitik, manusia
memiliki kecenderungan untuk ingin memiliki kekuasaan, karena kekuasaan
bagian dari kebutuhan manusia.

12.Apakah Etika Politik itu ?

Etika Politik

Etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal itu
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika. Walaupun dalam hubungannya dengan
masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar
fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar
etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia
sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.

Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa


berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral (Kaelan:2016:
87).

Filsafat berbicara tentang bagaimana sesuatu fenomena dipahami berdasarkan


pemikiran yang mendalam, sehingga seseorang bisa lebih bijak dalam
mengambil suatu keputusan atau berbuat berkenaan dengan orang lain. Ada
dua cabang utama filsafat, yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis (Suseno
1994: 12). Filsafat teoretis mempertanyakan apa yang ada, sedangkan filsafat
praktis menanyakan bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yang
ada itu (Kaelan 2002: 133). Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis
manusia adalah etika. Pada dasarnya, etika ini menanyakan tanggung jawab
dan kewajiban manusia. Etika dibagi kedalam dia kelompok, yaitu etika
umum dan etika khusus (Susze 1994: 13). Etika umum mempertanyakan
prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia sedangkan,
etika khusus membahas prinsip-prinsip tersebut dalam hubungannya dengan
kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya. Oleh karena
individu manusia hidup bersama orang lain dalam masyarakat.

maka dalam tatanan masyarakat terdapat tika sosial Bertolak dari martabat
manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma
yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan dalam hubungan antar
manusia. Termasuk dalam wilayah etika sosial adalah etika politik atau
filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan manusia.

Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia


sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap negara
(Suseno 1994: 14).

Kebaikan sebagai manusia dan kebaikan sebagai warga negara tidak identik
Identitas sebagai manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya bisa
terwujud apabila negara sendiri baik Jika negaranya buruk, di mana orang
baik sebagai warga negara hidup dalam aturan negara yang buruk, maka
orang tadi menjadi buruk sebagai manusia Demikian pula, dalam negara
buruk manusia sebagai manusia, akan buruk pula sebagai warga negara
karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara. Negara yang
ideal dengan warga negara yang ideal adalah suatu Negara yang dapat
membahagiakan rakyatnya, didukung oleh individu warga negara yang secara
moral dan etis baik.

Dalam perspektif etika politik, manusia memiliki dimensi politis. Dimensi


politis manusia, dapat dikaji dari tiga hal. Pertama, manusia sebagai mahluk
sosial. Kedua, manusia dengan dimensi kesosialannya. Ketiga, dimensi
politis kehidupan manusia (Handoyo, Susanti, & Munandar, 2016: 55-56).
Etika yang merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran
ajaran dan pandangan pandangan moral. Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat
dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-
masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi 2 (dua) kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis (Kaelan, 2016: 79).

Sementara itu, Etika Pancasila merupakan cabang filsafat yang dijabarkan


dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila
terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam
semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral
berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada sang
pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih
manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan
antar sesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa
kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi
nilai berupa sikap menghargai orang lain, dapat mendengar pendapat orang
lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila keadilan
mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan
membantu kesulitan orang lain (Dikti, 2016: 180).

Urgensi Pancasila sebagai sistem etika pentingnya Pancasila sebagai sistem


etika terkait dengan problem yang dihadapi Bangsa Indonesia sebagai
berikut. Pertama banyaknya kasus korupsi yang melanda Negara Indonesia
sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama
sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat
beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam
disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) dalam kehidupan bernegara. Keempat, kesenjangan antara kelompok
masyarakat masih menandai kehidupan Bangsa Indonesia. Kelima, ketidak
adilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia. Keenam,
banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan baik.

Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan


kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau
sebagai leading principle bagi warga Negara untuk berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila (Dikti, 2016: 181-182).

Lima alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai
berikut: Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat,
terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup
bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang
memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai
akibat globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu
terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,
tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Kesemuanya itu
menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan Bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan
kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di
sekolah-sekolah.

Kedua, korupsi akan merajalela karena para penyelenggara Negara tidak


memiliki. rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak,
pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem
etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad).
Archie Bahm (1998: 58) dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa
baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu
eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan
perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat publik dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal
tersebut dapat terjadi pada siapa saja.

Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui


pembayaran pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih
rendah, padahal peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam
pembiayaan anggaran. Pancasila sebagai sistem etika akan dapat
mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar memenuhi kewajiban
perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi maka
program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan
dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan.

Keempat, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan


bernegara di Indonesia di tandai dengan melemahnya penghargaan seseorang
terhadap hak pihak lain.

Semuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai nilai


Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu,
disamping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula
penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang hak
asasi manusia (HAM) yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak
asasi manusia (HAM).

Kelima, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek


kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib
generasi yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain
sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap
nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat
di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan
tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan
sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Oleh
karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan kedalam peraturan
perundang-undangan (Dikti, 2016: 183-185).

Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan


Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) Mengatakan sebagai
berikut:

"Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut
dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena
bangsa Indonesia mengembangkan blueprint yang berakar pada sila tidak
Ketuhanan Yang Maha Esa"

Hakekat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan Bangsa Indonesia
bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap
perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber
pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma
agama, 5 maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan
oleh pengikut-pengikutnya.

Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan
manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang di bedakan
dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan
kemanusiaan yang mengandung implikasi diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia
dan antar makhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi,
yaitu kebajikan dan kearifan.

Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama
sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas
kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada
semangat kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk
menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.

Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk


mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai
orang lain.

Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
perwujudan dari sistem etika yang semata tidak menekankan pada kewajiban
(deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih
menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan
itu sendiri (Dikti, 2016: 192-193).

Urgensi bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem etika meliputi hal-hal


sebagai berikut: Pertama, meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika
berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi
penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara.
Kedua, Pancasila sebagai sistem etika member guidance bagi setiap warga
negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik
lokal, nasional, regional, maupun internasional.

Ketiga, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi
berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak
keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasilais.
Keempat, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk
menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warganegara

(Dikti, 2016: 193-194).

3. Pancasila Sebagai Etika Politik

Dalam pelaksaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar


kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan:

a. Asas legalitas;

b. Asas demokratis;

c. Legitimasi moral.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki 3 (tiga) dasar tersebut. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan,
kebijaksanaan yang menyangkut publik pembagian serta kewenangan harus
berdasarkan legitimasi moral religius (sila 1) serta moral kemanusiaan (sila
II) (Kaelan, 2016: 94).

4. Pendidikan Politik Pancasila

Salah satu cara dalam melaksanakan etika politik di Indonesia yang berdasar
pada Pancasila, yaitu dengan memahami politik melalui pendidikan politik.
Pendidikan dan politik merupakan istilah yang berbeda namun memiliki
hubungan yang saling berkaitan. Pada hekatnya pendidikan politik adalah
sebagai bagian dari orang dewasa, karena hal ini menyangkut relasi antar
individu, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial, dalam
situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan
dan kemajemukan masyarakat (Khoiron, 1999: 4). Sementara Alfian (1992:
235) menguraikan arti pendidikan politik sebagai usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami
dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun. Sedangkan menurut berpendapat bahwa
pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan
sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang
bertanggung jawab secara etis/moral dalam pencapaian tujuan politik.

Beberapa pendapat di atas memiliki kesamaan, Alfian dan Kartini Kartono


menyatakan pendidikan politik merupakan sebuah usaha yang sadar, atau
disengaja dan sistematis. Sedangkan perbedaannya terletak pada tinjauan,
Alfian berbicara proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka
memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem
politik yang ideal yang hendak dibangun. Sedangkan Kartini Kartono lebih
kepada individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab
secara etis/moral dalam pencapaian tujuan politik Kantaprawira (1988: 54)
memandang pendidikan politik sebagai upaya meningkatkan pengetahuan
politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam
sistem politiknya, sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi
bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi. Pendapat
Kantaprawira lebih memiliki makna praktis karena menyinggung langsung
peningkatan pengetahuan politik rakyat untuk berpartisipasi dalam sistem
politik. Jika dibanding dua pendapat yang lain, beliau lebih mengarahkan
pada sebuah nilai nasionalisme karena menyinggung juga masalah kedaulatan
rakyat dan demokrasi. Berbeda dengan Alfian dan Kartini Kartono yang lebih
mengarah kepada nilai-nilai etis atau moral atau tujuan politik tertentu,
artinya disini memberikan gaya bebas kepada pelaku politik apa pun flat
formnya. Sedangkan menurut
langsung Di Indonesia, pendidikan politik diatur oleh Inpres No. 12 Tahun
1982 tentang pendidikan politik generasi muda dijelaskan bahwa pada
prinsipnya pendidikan politik generasi muda merupakan rangkaian usaha
untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan
guna menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 sebagai budaya politik bangsa. Oleh karena itu pendidikan politik juga
harus merupakan bagian proses pembaharuan kehidupan politik Bangsa
Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha
menciptakan suatu system yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis,
efektif, dan efisien.

13.Jelaskan 3 dimensi politik manusia ?

Jawab:

Dalam perspektif etika politik, manusia memiliki dimensi politis. Dimensi


politis manusia, dapat dikaji dari tiga hal. Pertama, manusia sebagai mahluk
sosial. Kedua, manusia dengan dimensi kesosialannya. Ketiga, dimensi
politis kehidupan manusia (Handoyo, Susanti, & Munandar, 2016: 55-56).
Etika yang merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran
ajaran dan pandangan pandangan moral. Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat
dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-
masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi 2 (dua) kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis (Kaelan, 2016: 79).

14.Apakah Etika Politik Pancasila itu ?

Jawab:

Sementara itu, Etika Pancasila merupakan cabang filsafat yang dijabarkan


dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila
terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam
semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral
berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada sang
pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih
manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan
antar sesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa
kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi
nilai berupa sikap menghargai orang lain, dapat mendengar pendapat orang
lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila keadilan
mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan
membantu kesulitan orang lain (Dikti, 2016: 180).

Urgensi Pancasila sebagai sistem etika pentingnya Pancasila sebagai sistem


etika terkait dengan problem yang dihadapi Bangsa Indonesia sebagai
berikut. Pertama banyaknya kasus korupsi yang melanda Negara Indonesia
sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama
sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat
beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam
disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) dalam kehidupan bernegara. Keempat, kesenjangan antara kelompok
masyarakat masih menandai kehidupan Bangsa Indonesia. Kelima, ketidak
adilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia. Keenam,
banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan baik.

Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan


kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau
sebagai leading principle bagi warga Negara untuk berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila (Dikti, 2016: 181-182).

15.Jelaskan 6 urgensi Pancasila terhadap system etika politik ?

Jawab:

Urgensi Pancasila sebagai sistem etika pentingnya Pancasila sebagai sistem


etika terkait dengan problem yang dihadapi Bangsa Indonesia sebagai
berikut. Pertama banyaknya kasus korupsi yang melanda Negara Indonesia
sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama
sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat
beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam
disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) dalam kehidupan bernegara. Keempat, kesenjangan antara kelompok
masyarakat masih menandai kehidupan Bangsa Indonesia. Kelima, ketidak
adilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia. Keenam,
banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan baik.

16.Sebutkan 5 alasan mengapa Pancasila dijadikan dasar system etika politik ?

Lima alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai
berikut: Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat,
terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup
bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang
memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai
akibat globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu
terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,
tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Kesemuanya itu
menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan Bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan
kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di
sekolah-sekolah.

Kedua, korupsi akan merajalela karena para penyelenggara Negara tidak


memiliki. rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak,
pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem
etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad).
Archie Bahm (1998: 58) dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa
baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu
eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan
perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat publik dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal
tersebut dapat terjadi pada siapa saja.

Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui


pembayaran pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih
rendah, padahal peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam
pembiayaan anggaran. Pancasila sebagai sistem etika akan dapat
mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar memenuhi kewajiban
perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi maka
program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan
dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan.
Keempat, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan
bernegara di Indonesia di tandai dengan melemahnya penghargaan seseorang
terhadap hak pihak lain.

Semuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai nilai


Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu,
disamping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula
penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang hak
asasi manusia (HAM) yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak
asasi manusia (HAM).

Kelima, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek


kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib
generasi yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain
sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap
nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat
di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan
tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan
sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Oleh
karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan kedalam peraturan
perundang-undangan (Dikti, 2016: 183-185).

17.Jelaskan 5 hakekat mengapa Pancasila di jadikan dasar system etika politik ?

Jawab:

Hakekat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan Bangsa Indonesia
bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap
perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber
pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma
agama, 5 maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan
oleh pengikut-pengikutnya.

Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan
manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang di bedakan
dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan
kemanusiaan yang mengandung implikasi diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia
dan antar makhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi,
yaitu kebajikan dan kearifan.

Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama
sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas
kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada
semangat kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk
menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.

Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk


mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai
orang lain.

Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
perwujudan dari sistem etika yang semata tidak menekankan pada kewajiban
(deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih
menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan
itu sendiri (Dikti, 2016: 192-193).

18.Sebutkan 4 urgensi pengembangan Pancasila sebagai system etika politik ?

Jawab:
Urgensi bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem etika meliputi hal-hal
sebagai berikut: Pertama, meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika
berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi
penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara.
Kedua, Pancasila sebagai sistem etika member guidance bagi setiap warga
negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik
lokal, nasional, regional, maupun internasional.

Ketiga, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi
berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak
keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasilais.

Keempat, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk


menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warganegara

(Dikti, 2016: 193-194).

19.Sebutkan 3 Azas etika politik dalam penyelenggaraan Negara ?

Jawab:

Dalam pelaksaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar


kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan:

a. Asas legalitas;

b. Asas demokratis;

c. Legitimasi moral.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki 3 (tiga) dasar tersebut. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan,
kebijaksanaan yang menyangkut publik pembagian serta kewenangan harus
berdasarkan legitimasi moral religius (sila 1) serta moral kemanusiaan (sila
II) (Kaelan, 2016: 94).

20. Jelaskan pendidikan politik menurut Alfian ?

Jawab:

Pendidikan Politik Pancasila

Salah satu cara dalam melaksanakan etika politik di Indonesia yang berdasar
pada Pancasila, yaitu dengan memahami politik melalui pendidikan politik.
Pendidikan dan politik merupakan istilah yang berbeda namun memiliki
hubungan yang saling berkaitan. Pada hekatnya pendidikan politik adalah
sebagai bagian dari orang dewasa, karena hal ini menyangkut relasi antar
individu, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial, dalam
situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan
dan kemajemukan masyarakat (Khoiron, 1999: 4). Sementara Alfian (1992:
235) menguraikan arti pendidikan politik sebagai usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami
dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun. Sedangkan menurut berpendapat bahwa
pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan
sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang
bertanggung jawab secara etis/moral dalam pencapaian tujuan politik.

Beberapa pendapat di atas memiliki kesamaan, Alfian dan Kartini Kartono


menyatakan pendidikan politik merupakan sebuah usaha yang sadar, atau
disengaja dan sistematis. Sedangkan perbedaannya terletak pada tinjauan,
Alfian berbicara proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka
memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem
politik yang ideal yang hendak dibangun. Sedangkan Kartini Kartono lebih
kepada individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab
secara etis/moral dalam pencapaian tujuan politik Kantaprawira (1988: 54)
memandang pendidikan politik sebagai upaya meningkatkan pengetahuan
politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam
sistem politiknya, sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi
bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi. Pendapat
Kantaprawira lebih memiliki makna praktis karena menyinggung langsung
peningkatan pengetahuan politik rakyat untuk berpartisipasi dalam sistem
politik. Jika dibanding dua pendapat yang lain, beliau lebih mengarahkan
pada sebuah nilai nasionalisme karena menyinggung juga masalah kedaulatan
rakyat dan demokrasi. Berbeda dengan Alfian dan Kartini Kartono yang lebih
mengarah kepada nilai-nilai etis atau moral atau tujuan politik tertentu,
artinya disini memberikan gaya bebas kepada pelaku politik apa pun flat
formnya. Sedangkan menurut

langsung Di Indonesia, pendidikan politik diatur oleh Inpres No. 12 Tahun


1982 tentang pendidikan politik generasi muda dijelaskan bahwa pada
prinsipnya pendidikan politik generasi muda merupakan rangkaian usaha
untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan
guna menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 sebagai budaya politik bangsa. Oleh karena itu pendidikan politik juga
harus merupakan bagian proses pembaharuan kehidupan politik Bangsa
Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha
menciptakan suatu system yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis,
efektif, dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai