Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER

“KEDUDUKAN HUKUM RIBA DAN HUBUNGANNYA

DENGAN DEPOSITO DAN KREDIT”

OLEH

HAERUN NISAK (1502131526)

RUDI KURNIAWAN (1502131541)

FITRI FATMAWATI PUA (1502131511)

ZULPIANA (15021315

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2017/2018
A. Latar Belakang
Tentunya kita telah sangat paham dengan dalil Qur’an surat al-Baqarah di
atas, yang menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Riba sendiri memang cukup lekat dengan kebiasaan masyarakat, menguntungkan
salah satu pihak memang, namun merugikan pihak yang lain dalam sebuah transaksi,
maka dari itu Allah mengharamkannya. Namun dalam praktiknya, menghindari riba
sangat memerlukan kejelian, karena terkadang riba tak tampak secara jelas, atau
dengan kata lain, riba yang terselubung. Contoh yang umum untuk riba yang tak
tampak adalah riba yang ditutupi dengan dalih jasa, bunga, dan lain sebagainya.
Hal inilah yang menjadikan masyarakat bimbang dewasa ini. Dengan
mengetahui riba dan hukumnya masyarakat merasa resah, terlebih dengan adanya
kontroversi mengenai bunga bank. Beberapa pihak menganggap bunga bank halal,
namun ada pihak lain yang menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, di sisi lain,
jika kita tilik kehidupan masusia saat ini, rasa-rasanya sulit untuk terlepas dengan
bank dan jasa di dalamnya.
Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama,
yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa
pengiriman uang. Bukan hanya sebagai penyalur dana, akan tetapi fungsi bank juga
sebagai lembaga penghimpun dana dari masyarakat, di mana penghimpunan dana
tersebut dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito
Salah satu jasa yang ditawarkan oleh bank adalah deposito. deposito adalah
simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan
perjanjian antara nasabah dengan bank. Melihat jasa yang ditawarkan bank, dan
jaminan keamanan di dalamnya, tentu saja masyarakat sangat tertarik untuk
mendepositokan uang mereka. Namun di sisi lain, dengan diketahuinya riba dan
hukumnya serta keraguan di dalam bunga bank, menjadikan masyarakat butuh akan
solusi.

B. Pengertian Riba
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan ( ziyâdah) atau berarti
tumbuh dan membesar.1Adapun menurut istilah syara‟ adalah akad yang terjadi
dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan
syara‟, atau terlambat menerimanya.Adapun menurut istilah syariat para fuqahâ
sangat beragam dalam mendefinisikannya, diantaranya aitu :
1. Menurut Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang
tidak diketahui tmbangannya menurut ukuran syara‟ ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukarana kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
2. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba
adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau
tidak menurut aturan syara‟ atau terlambat salah satunya.
3. Syaikh Muhammad Abduh berendapat riba adalah penambahanpenambahan
yang disayaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam
hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.
Rasulullah saw. bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan
ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa yang
meminta tambah maka termasuk riba. 2
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukarmenukar emas atau
perak maka harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka termasuk
riba. Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyâdah atau tambahan. Akan
tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqh, riba adalah
pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam meminjam.
C. Macam-Macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba
utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama riba utangpiutng terbagi menjadi
dua yaitu:
1. Riba qarâdh adalah suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh) atau utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang.

1
Muhammad bin muhammad abisyahban, hulul li musyikilat al-riba,(kairo:maktabah al-sunah,1998),
hal 40

2
Imam nawawiy didalam syah syahih muslim
2. Riba jahîliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak
dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
Sedang kelompok kedua riba jual-beli, ada dua macam yaitu:
a) Riba fadl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda.
b) Riba nasî ‟ahadalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribâwi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribâwi lainnya. Riba ini muncul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dan yang diserahkan kemudian.
D. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
Larangan riba muncul dalam Al-Qur‟an pada empat kali penurunan wahyu
yang berbeda-beda:
1. QS. Ar-Ruum : 39
*
Artinya: ”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka
(yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat
demikian) tulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
”Ayat ini diturunkan di Makkah, menegaskan bahwa riba akan menjauhkan
keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya
berlipat ganda.
2. QS. An-Nisa : 161
*
Artinya: “ Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripdanya,dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih. ”Ayat ini diturunkan pada masa permulaan periode
Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba. Pada ayat kedua ini, Al-Qur‟an
menyejajarkan orang yang mengambl riba dengan orang yang mengambil kekayaan
orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang
sangat pedih.
E. Deposito dan Kredit
1. Pengertian Deposito

Berdasarkan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas


undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankkan, yang dimaksud deposito
berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya bisa dilakukan pada waktu-
waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang
bersangkutan.3 Sedangkan yang dimaksud dengan deposito syari’ah adalah deposito
yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam hal ini dewan syari’ah nasional
MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan
adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah4. Menurut BI dalam kodifikasi
produk perbankan syariah, disebutkan bahwa deposito adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian
antara nasabah dengan bank dengan sistem akad yang disebut mudharabah.
Mudharabah sendiri berarti akad transaksi penanaman dana dari pemilik dana
(shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Misal, A memiliki deposito di bank syariah sebesar Rp 10 juta dengan Nisbah


bagi hasil Nasabah : bank = 70 : 30, dan jangka waktu deposito 1 bulan. Maka pada
akhir jangka waktu simpanan, bank akan membagi keuntungannya sesuai nisbah
dimana 70% didapatkan nasabah, dan 30% didapatkan oleh bank. Dengan demikian
bisa di lihat sistem bagi hasil ini lebih adil, karena jika 70:30 ini merupakan
prosentase dari keuntungan dana kelolaan bank, maka ketika keuntungan bank kecil,
kecil pulalah bagian hasil untuk nasabah, dan ketika keuntungan bank naik maka naik
pula bagi hasil untuk nasabah.

Penarikan deposito hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan


perjanjian antara nasabah pemilik dana (Shahibil Maal) dengan bank (Mudharib)
sebagai pengelola dana. Pembagian hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati

3
Adiwarman A.karim,Bank Islam (analisis fiqih dan keuangan),jakarta: PT Grafindo persada 2006 hal
303

4
Fatwa dewan syari’ah nasional nomer 03/dsn-mui/iv/2000
bersama, namun bank sebagai mudharib tidak menjamin dana nasabah kecuali diatur
lain dalam perundang-undangan yang berlaku.5

Saat ini semua simpanan masyarakat di perbankan syariah juga dijamin oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) . Dengan demikian tabungan sampai 2 Milyar
akan aman disimpan di Bank syariah sebagaimana disimpan di bank konvensional
lainnya.

Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank syari’ah dapat melakukan


berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah serta
mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, bank syari’ah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat
sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta
beri’tikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat
kesalahan atau kelalaiannya. Disamping itu, bank syari’ah juga bertindak sebagai
kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan
seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syari’ah.

Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, bank syari’ah akan membagi


hasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut bank
tidak bertanggungjawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya.
Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank bertanggung
jawab penuh terhadap kerugian tersebut.6

 Deposito Menurut Pandangan Islam

Ekonomi/perbankkan merupakan kajian muamalah, maka Nabi


Muhammad SAW. tentunya tidak memberikan aturan-aturan yang rinci mengenai
masalah ini. Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip dan
filosofi dasar, dan menegaskan larangan-larangan yang harus dijauhi. Dengan
demikian yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang

5
Burhanudun susanto ,hukum prbangkan syariah di indonesia,yogyakarta: uii pers 2008, hal 289

6
Adiwarman karim ibid hal 303-304
oleh Islam. Selain itu, semua diperbolehkan dan kita dapat melakukan inovasi dan
kreatifitas sebanyak mungkin7

Dalam hal perbankkan dan produknya, salah satunya yaitu titipan dan
deposito, pada dasarnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Sebagai
contoh pada saat Nabi SAW dipercaya masyarakat Mekah menerima simpanan
harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, Nabi meminta
kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua titipan tersebut kepada
para pemiliknya.

Selain itu, Menabung adalah tindakan yang dianjurkan dalam Islam,


karena dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk
pelaksanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang
tidak diinginkan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Hasyr ayat 18
sebagai berikut:

‫ َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو ْلَتنُظْر َنْفٌس َّم ا َقَّد َم ْت ِلَغ ٍد َو اَّتُقوا َهَّللا ِإَّن َهَّللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬.١٨

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-
Hasyr: 18 )

Selain itu Allah berfirman didalam Al-Qur’an surat an-nisaa’ ayat 9 dan al-Baqarah ayat
266:

‫ َو ْلَيْخ َش اَّلِذ يَن َلْو َتَر ُك وْا ِم ْن َخ ْلِفِه ْم ُذ ِّرَّيًة ِضَع افًا َخ اُفوْا َع َلْيِهْم َفْلَيَّتُقوا َهّللا َو ْلَيُقوُلوْا َقْو ًال َسِد يدًا‬.٩

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(QS. An-Nisa’ :
9).

7
Ibid 15
‫ َأَيَو ُّد َأَح ُد ُك ْم َأن َتُك وَن َلُه َج َّنٌة ِّم ن َّنِخ يٍل َو َأْع َناٍب َتْج ِر ي ِم ن َتْح ِتَها اَألْنَهاُر َلُه ِفيَها ِم ن ُك ِّل الَّثَم َر اِت َو َأَص اَبُه اْلِكَبُر َو َلُه‬.٢٦٦
‫اآلَياِت َلَع َّلُك ْم َتَتَفَّك ُروَن‬ ‫ُذ ِّرَّيٌة ُض َع َفاء َفَأَص اَبَها ِإْع َص اٌر ِفيِه َناٌر َفاْح َتَر َقْت َك َذ ِلَك ُيَبِّيُن ُهّللا َلُك ُم‬

Artinya: “ Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun
kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam
kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu
sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin
keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. (QS. Al-Baqarah : 266)

Melalui ayat di atas dapat terlihat bahwa Allah memerintahkan kita untuk
bersiap-siap dan mengantisipasi masa depan keturunan, baik secara rohani (iman atau
taqwa) maupun secara ekonomi harus difikirkan langkah-langkah perencanaannya,
salah satu langkah perencanaannya adalah dengan menabung.8

Dalam hadits Nabi SAW banyak disebutkan tentang sikap hemat, Nabi SAW
memuji sikap hemat sebagai suatu sikap yang diwarisi oleh para Nabi sebelumnya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa bersikap hemat tidak berarti harus kikir dan
bakhil. Ada perbedaan besar antara hemat dan kikir atau bakhil.9

2. Kredit

Dilihat secara mendalam mengenai metode dan akadnya. Kredit sendiri


sebenarnya dibolehkan dalam hukum jual beli Islam. Disebutnya membeli barang
dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai dan bila dengan
tenggang waktu. Istilahnya adalah bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil.
Beberapa syarat untuk melaksanakannya adalah,
a. Harga harus disepakati pada awal transaksi. Meskipun pelunasannya dilakukan
kemudian. Misalnya: harga motor 12 juta bila dibayar tunai dan 15 juta bila dibayar
dalam tempo 3 tahun.
b. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasan mengalami
keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.

8
Muhammad syafii antonio ,bank syariah dan teori ke praktik , jakarta:gema inani 2001 hal 153

9
Ibid hal:154155
c. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi
sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan).
Yusuf Al Qardawi menyatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan
harga diperkenankan. Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran
dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya." (Muttafaqun ‘alaih).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membeli bahan
makanan dengan pembayaran dihutang dan sebagai jaminannya beliau menggadaikan
perisainya. Ini menjadi dasar diperbolehkan jual beli dengan pembayaran dihutang
dan perkreditan adalah salah satu bentuknya.
Nah, yang menjadikan riba adalah saat penjual menaikkan harga karena temponya,
yang sering dilakukan para penjual sekarang ini. Tambahan harga tersebut yang
berhubungan dengan masalah waktu adalah riba. Menurut jumhur ulama, jual beli
kredit diperbolehkan dan seorang penjual boleh menaikkan harga menurut yang
pantas selama tidak sampai pada batas kedzaliman. Kalau sampai harganya
mendzalimi maka hukumnya haram.
 Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan
pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum
akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih
besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Kesimpulan hukum
ini berdasarkan beberapa dalil berikut: Dalil pertama: Keumuman firman Allah
Ta’ala:

282 :‫ البقرة‬.‫َيا􀈧ا􀈣 َيها ا 􀈢 الَى _ َاذا َتدَاْيُنْتم َِبْد ٍين _ ِلذَين َآُم نوا 􀈧 َاٍج ل َم ّس ًم ى فاكُُْتبُو ه‬
282 :‫ البقرة‬.‫َيا􀈧ا􀈣 َيها ا 􀈢 الَى _ َاذا َتدَاْيُنْتم َِبْد ٍين _ ِلذَين َآُم نوا 􀈧 َاٍج ل َم ّس ًم ى فاكُُْتبُو ه‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al
Baqarah:282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-
piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan
keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
‫ متفق عليه‬.‫عليه و سلم من يهود _ صلى ا _ اشترى رسول ا 􀈠 ي طعاًم ا نسيًئة ورهنه دَر عه‬
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan
dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai
beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan
dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan
perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan
pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan
pembayaran dihutang.
Dari dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih,
yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan
kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan
tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh
atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ رواه الترمذي وغيره‬.‫من َبَاع َبَْيَعْتِين في َبَْيٍع ة فلَُه 􀈧 ْاوكَُُس َهما أو ال 􀈤 َر با‬
Artinya: “Barang siapa yang menjual dua harga dalam satu penjualan maka ia hanya
dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke
dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain,
Maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim dan lainnya, bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan
cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang
dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual
membeli kembali barang tersebut dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih
murah.
 Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut
saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka
ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan
cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan
masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya,
dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka. Bila harga
motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika
pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih. Setelah
akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang
motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang
cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom
tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita:
mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan,
bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan
kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan
cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut
dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan
otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya.
Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak
showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari
bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait. Bila
kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya
akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujungpada
kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang
sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung
membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank
menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp
13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah
(riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
‫ لعن رسول ا‬:‫ رواه مسلم _ صلى ا _ عن جابر قال‬.‫ هم سواء‬:‫ وقال‬،‫عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه‬
Artinya: Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang
memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang
saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan
menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang
benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat
penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang
yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-
menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli
tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli
tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah terlarang karena
merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
F. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A.karim,Bank Islam (analisis fiqih dan keuangan),jakarta: PT Grafindo persada

2006 hal 303

Burhanudun susanto ,hukum prbangkan syariah di indonesia,yogyakarta: uii pers 2008, hal 28
Fatwa dewan syari’ah nasional nomer 03/dsn-mui/iv/2000

Imam nawawiy didalam syah syahih muslim

Muhammad bin muhammad abisyahban, hulul li musyikilat al-riba,(kairo:maktabah al-

sunah,1998),

Muhammad syafii antonio ,bank syariah dan teori ke praktik , jakarta:gema inani 2001 hal

153

DAFTAR PERTANYAAN

1. Kamboja : Berikan contoh Riba yang kontemporer


2. Rani dan Lia : Bagaimana kedudukan hukum Riba dalam kredit dan deposito

JAWABAN
1. Riba yang kontemporer atau yang baru muncul contohnya seperti bunga yang berada
pada bank konvensional dan produk-produk yang berada pada bank yaitu kredit,
deposito dll.
Memang apabila kita kita mendengar kata riba itu sudh sangat sering. Yang dimana
bunga bank ini dapat diartikan Riba. Riba merupakan tambahan yang diambil atas
adanya suatu utang piutang antara dua pihak atau lebih yang telah diperjanjikan sejak
awal dimulainya perjanjian. Hal ini kemudian dipersamakan dengan bunga bank di
karenakan bunga bank juga terdapat suatu kelebihan dalam transaksi tersebut.
Memang tidak bisa saya memunculkan contoh riba yang baru muncul itu dikarenakan
yang bisa mempersamakan atau mengkiyaskan suatu kegiatan apakah itu termasuk
riba tau bukan adalah para mujtahid. yang dimana hukum itu menyesuaikan dengan
zaman.
2. Jelas kedudukan hukum riba dalam kredit dan deposito pada bank konvensional itu
adalah Bunga Bank itu sendiri.
Contohnya pada kredit yaitu: apabila si A ingin membeli montor secara kredit atau
berangsur-angsur dan dapat melunasi dalam jangka waktu tiga tahun yang pada
mulanya harga motor itu bila di bayar cass adalah Rp. 12,000,000 dikarenakan di
bayar kredit dengan tenggang waktu selama tiga tahun maka harga motor itu apabila
di kalkulasiin sejumlah Rp. 18,000,000. Nah dengan adanya selisih harga sebesar Rp.
6,000,000. Nah yang enam juta itulah yang menjadi riba dikarenakan adanya
penambahan jumlah uang dari harga yang sebenarnya

Anda mungkin juga menyukai