Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2023


UNIVERSITAS HALU OLEO

RETINAL DETACHMENT (ABLASIO RETINA)

OLEH:
Dian Indra Malik Rusli, S.Ked
K1B1 22 105

PEMBIMBING:
dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp. M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Dian Indra Malik Rusli, S.Ked


NIM : K1B1 22 095
Judul referat : Retinal Detachment ( Ablasio Retina)

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2023


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp. M

ii
Retinal Detachment (Ablasio Retina)
Dian Indra Malik Rusli, Nevita Yonnia Ayu Soraya

1. PENDAHULUAN

Ablasio retina (retinal detachment) terjadi ketika retina terpisah dari sel epitel

pigmen retina. Antara sel fotoreseptor retina dengan koroid atau epitel pigmen tidak

terdapat suatu perlekatan struktural, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk

lepas secara embriologis. Jika retina terlepas dari suplai darah utama, fotoreseptor secara

perlahan akan mengalami degenerasi dan tidak berfungsi dengan baik lagi.(1)

Penyebab ablasio retina bias terjadi akibat trauma sehingga memungkinkan

vitreous humor untuk masuk kecelah diantara retina dan epitel pigmen retina. Gangguan

miopi berat juga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan tersebut. Selain itu peradangan

atau kondisi neoplastik akan memicu munculnya eksudasi serosa yang dapat berujung

pada terjadinya ablasio retina. Keadaan lainnya yakni membrane fibrosa atau vascular

yang tumbuh secara tidak normal atau tumor seperti melanoma malignant pada koroid

dibelakang retina.(1)

Epidemiologi kejadian ablasio retina berkisar antara 1 per 10.000 orang per tahun

dan lebih sering terjadi pada laki – laki. Ablasi retina atau retinal detachment terbagi atas

3 yaitu rhegmatogenous retinal detachment, tractional retinal detachment serta exudative

and serous retinal detachment. (2)

Tanda dan gejala yang timbul berupa penurunan visus secara mendadak tanpa

disertai nyeri pada mata, adanya titik hitam pada pandangan, melihat kilatan cahaya

maupun pandangan seperti adanya tirai yang menutupi pandangan pada mata yang

terkena. Pada pemeriksaan akan didapati penurunan ketajaman penglihatan, gambaran “

tobacco dust ” peda pemeriksaan dengan slit lamp, dan tekanan intraokuler dapat

menurun.(1)

1
Penanganan ablasio retina berupa pembedahan dengan fokus pada keterlibatan

makula. Jika makula terlibat maka operasi merupakan hal yang bersifat mendesak karena

pengaruhnya terhadap penglihatan. Karena gangguan ini berkaitan dengan pusat

penglihatan maka penting untuk dikenali tanda dan gejalanya sejak awal untuk mencegah

prognosis yang buruk.

1.1. Definisi Ablasio Retina


Ablasio retina (retinal detachment) adalah keadaan terpisahnya lapisan

neurosensoris retina dari sel epitel pigmen retina dimana pada keadaan normal sel

neurosensoris / fotoreseptor biasanya terekat. Tidak terdapat suatu perlekatan struktural,

sehingga menjadi titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Lepasnya

retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan

gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan

mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan yang menetap.(3)

Ablasio retina dibedakan menjadi 4 berdasarkan mekanisme penyebabnya yakni

rhegmatogenous yang terjadi akibat robekan/trauma, tractional yang terjadi akibat

penarikan, exudative akibat cairan seperti darah atau serous yang tertampung di antara

epitel pigmen retina dan neurosensoris retina, dan tumor.(3)

Gambar .1. Ablasio retina

2
1.2. Anatomi Retina
Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya dan terdiri dari sel-sel

kerucut yang bertanggungjawab terhadap penglihatan warna dan sel-sel batang yang

bertanggungjawab terhadap persepsi hitam dan putih serta penglihatan pada area gelap.

Ketika sel batang dan sel kerucut tersensitisasi, maka sinyal akan ditransmisikan pertama

melalui lapisan saraf pada retina dan akhirnya kedalam serabut saraf optic dan korteks

serebral.(4)

Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan

berakhir di tepi ora serrata. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan

epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch, koroid dan

sklera. Disebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga

membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada

diskus optikus retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat sehingga membatasi

perluasan cairan subretina pada ablasio retina.

Gambar 2.2. Anatomi Mata dan Retina

Retina terdiri atas 10 lapisan (luar kedalam) yakni : (1) Membrana limitan interna,

merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca, (2) Lapisan serabut saraf, yang

3
mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus dimana

dalam lapisan – lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina, (3) lapisan sel

ganglion, yang merupakan lapis badan sel dari pada nervus optikus, (4) lapisan pleksiform

dalam, yang mengandung sambungan – sambungan sel ganglion dalam sel amakrin dan sel

bipolar, (5) lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal

yang mendapat metabolisme dari arteri retina sentral (7) lapisan pleksiform luar yang

mengandung sambungan – sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor,

(8) lapisan inti luar, yang merupakan susunan lapis nukleus, sel kerucut dan batang, (9)

membrana limitan eksterna, yang merupakan membram ilusi, (9) lapisan fotoreseptor,

merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan

sel kerucut dan (10) epitelium pigmen retina.(4)

Gambar 2.3. Lapisan Retina

Pada retina terdapat fovea yang berperan penting pada proses melihat yang bersifat

akut dan detail. Fovea hanya berukuran 0,3 mm untuk diameter dan terdiri dari sel kerucut

yang berperan pada proses melihat secara detail. Pada sel batang terdapat rodopsin yang

4
berperan dalam proses melihat sementara pada sel kerucut terdapat 3 jenis pigmen warna

dengan fungsi yang hampir sama dengan rhodopsin kecuali dalam hal sensitivitas terhadap

spektrum warna. Baik rhodopsin maupun pigmen warna merupakan sejenis protein

terkonjugasi. Keduanya bergabung dalam membran piringan dalam bentuk protein

transmembran. 4 segmen fungsional pada sel batang dan sel kerucut adalah: (1) segmen

luar, (2) segmen dalam yang mengandung mitokondria yang berperan dalam menyediakan

energi dan untuk fotoreseptor dan (3) nukleus dan (4) badan sinaptik.(4)

Suplai darah bernutrisi untuk bagian dalam retina berasal dari arteri retina sentralis,

yang memasuki bola mata melalui pusat saraf optik dan selanjutnya mempercabangkan

diri untuk menyuplai seluruh permukaan dalam arteri. Sementara lapisan terluar retina

melekat pada koroid yang juga merupakan jaringan kaya pembuluh darah di antara retina

dan sklera. Lapisan luar retina, terutama segmen luar sel batang dan sel kerucut sangat

bergantung terutama pada difusi pembuluh darah koroid untuk nutrisinya, terutama untuk

oksigen.(4)

1.3. Fisiologi Retina

Retina memiliki dua sel fotoreseptor yaitu sel batang atau rod dan sel kerucut atau

cone. Baik sel batang maupun sel kerucut mengandung bahan kimia yang akan terurai bila

terpajan cahaya dan dalam prosesnya akan merangsang serabut saraf yang berasal dari

mata. Bahan kimia tersebut adalah rodopsin dan pigmen warna. Rodopsin adalah suatu

glukulipid membran yang separuh terbenam di lempeng membran lapis ganda pada

segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak pada rodopsin terjadi pada

panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah biru-hijau spektrum cahaya.

Bila sudah mengabsorbsi energi cahaya, rodopsin segera terurai dalam waktu sepersekian

detik. Penyebabnya adalah fotoaktivasi elektron pada bagian retinal dari rodopsin yang

5
akhirnya menjadi metarodopsin I kemudian metarodopsin II dan akhirnya dalam waktu

yang jauh lebih lambat akan menjadi produk pecahan akhir. Metarodopsin II yang disebut

rodopsin teraktivasi, merangsang perubahan elektrik dalam sel batang yang kemudian

menghantar bayangan penglihatan ke sistem saraf pusat dalam bentuk potensial aksi

nervus optikus.

Secara singkat dijelaskan bahwa sel- sel fotoreseptor pada retina, mampu

mengubah rangsang cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat

saraf retina melalui saraf optikus dan pada akhirnya ke korteks pengelihatan oksipital.

Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga meningkat di pusat makula, dengan

kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea berperan pada resolusi spasial

(ketajaman penglihatan) dan pengelihatan warna yang baik karena banyaknya jumlah sel

kerucut disana. Kedua peran tersebut memerlukan pencahayaan ruang yang terang

sementara retina sisanya terutama digunakan untuk melihat gerak, kontras, dan

penglihatan malam (skotopik). Penglihatan skotopik seluruhnya diperantara oleh

fotoreseptor sel batang. Penglihatan siang hari terutama oleh fotoreseptor kerucut, sore

atau senja diperantarai oleh kombinasi sel batang dan kerucut, dan pengelihatan malam

oleh fotoreseptor batang. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan

penting dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen

luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk

sawar selektif antara koroid dan retina, Membran basalis sel-sel epitel pigmen retina

membentuk lapisan dalam membran bruch, yang juga tersusun atas matriks ekstraseluler

khusus dan membran basalis korikapilarissebagai lapisan luarnya. Sel-sel epitel pigmen

retina mempunyai kemampuan terbatasdalam melakukan regenerasi.(4)

6
1.4. Patofisiologi

Longgarnya perlekatan antara epitel pigmen dan retina menyebabkan keduanya

bisa terlepas satu terhadap yang lain, sehingga cairan bisa terkumpul diantaranya. 16

Cairan tersebut biasanya berasal dari bagian badan kaca yang cair yang dengan bebas

melewati lubang di retina menuju kedalam rongga yang terbentuk karena terlepasnya

epitel pigmen dari retina tersebut. Penyebab ablasio retina pada orang muda yang matanya

tampak sehat dan refraksi lensanya normal adalah karena adanya kelemahan perlekatan

bagi retina untuk melekat dengan lapisan dibawahnya. Kelemahan yang biasanya tidak

terdiagnosis letaknya dipinggir bawah retina. Kadang-kadang ditempat yang sama terdapat

kista retina kecil. Jika pinggiran retina terlepas dari perlekatannya maka akan terbentuk

suatu lubang seperti yang disebutkan diatas. Pada ablasio retina, bagian luar retina yang

sebelumnya mendapat nutrisi yang baik dari koroid. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan

atropi sel reseptor retina. Pada saat degenerasi retina terjadi kompenasasi sel epitel pigmen

yang melakukan serbukan sel ke daerah degenerasi. Akibat reaksi kompensasi akan

terlihat sel epitel pigmen di depan retina. Selain itu juga akan terjadi penghancuran sel

kerucut dan sel batang retina. Bila degenerasi berlangsung lama, maka sel pigmen akan

bermigrasi ke dalam cairan sub retina dank e dalam sel reseptor kerucut dan batang. Bila

pada retina terdapat ruptur besar maka badan kaca akan masuk ke dalam cairan sub retina.

Apabila terjadi kontak langsung antara badan kaca dan koroid. Apabila terjadi degenerasi

sel reseptor maka keadaan ini akan berlanjut ke dalam jaringan yang lebih dalam, yang

kemudian jaringan ini diganti dengan jaringan glia

1.5. Epidemiologi Ablasio Retina

Ablasio retina dibagi menjadi tiga jenis utama yaitu ablasio regmatogenosa,

ablasio traksi dan ablasio eksudatif dengan bentuk tersering yaitu ablasio retina

7
regmatogenosa atau sering dinamakan ablasio retina primer. Insiden ablasio retina di

Inggris antara 6.3 sampai 17.9 orang per 100.000 dengan 7300 kasus baru. Distribusi

umur paling sering terjadi pada usia 70-74 tahun dengan insiden 60 per 100.000 meskipun

pada kondisi tertentu, golongan usia muda beresiko tinggi khususnya pada kelompok yang

memiliki miopia yang tinggi. Pria memiliki resiko yang 1.5 kali lebih tinggi terkena

ablasio retina meskipun tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang berarti antara laki-laki

dan perempuan. (5)

Berdasarkan penelitian lainnya, kejadian ablasio retina mencapai 1 : 10000 orang

dengan prevalensi sekitar 0,4% pada orang tua. Faktor penyebab yang paling umum di

seluruh dunia terkait dengan ablasi retina adalah miopia (yaitu, rabun jauh), afakia,

pseudofakia (yaitu, pengangkatan katarak dengan implan lensa), dan trauma. Sekitar 40-

50% dari semua pasien dengan ablasio retina memiliki miopia, 30-40% telah mengalami

pengangkatan katarak, dan 10-20% mengalami trauma langsung pada mata. Ablasio

traumatis lebih sering terjadi pada orang muda, dan ablasio miopi paling sering terjadi

pada orang berusia 25-45 tahun.(2)

Prevalensi ablasio retina pada emetropi dan orang dengan miopia diatas minus 10

D adalah 0,2% berbanding 7%. Berdasarkan usia, ablasio retina biasanya terjadi pada usia

40 – 70 tahun. Namun, cedera paintball pada anak-anak dan remaja menjadi penyebab

semakin umum dari cedera mata, termasuk ablasio retina traumatis.(2,6)

1.6. Klasifikasi Ablasio Retina

Berdasarkan klasifikasinya, ablasio retina dibagi menjadi :

1. Ablasio retina rhegmatogenosa

Pada tipe ini, terjadi robekan pada retina sehingga cairan yang masuk ke

belakang antara sel pigmen dengan sel fotoreseptor. Terjadi pendorongan retina oleh

8
badan kaca cair (vitreous fluid) seperti yang masuk melalui robekan atau lubang pada

retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapisan

epitel pigmen.(7)

Karakteristik ablasio retina rhegmatogenosa adalah pemutusan total (full

thickness) di area sensorik, tarikan korpus vitreus dengan derajat yang bervariasi dan

mengalirnya korpus vitreus cair melalui defek retina sensorik ke dalam ruang

subretina. Ablasio retina rhegmatogenosa spontan biasanya didahului oleh pelepasan

korpus vitreus. Miopia, afakia, lattice degeneration dan trauma mata biasanya

berkaitan dengan ablasio retina jenis ini.(7)

Letak pemutusan retina bervariasi sesuai dengan jenisnya. Robekan tapal kuda

paling sering terjadi di kuadran superotemporal; lubang atrofik pada kuadran temporal,

dan dialisis retina di kuadran inferotemporal. Ablasio retina yang berlokasi di daerah

supratemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan

turun secara akut pada ablasio retina bila lepasnya retina mengenai macula lutea. (8)

Jenis ini termasuk dalam emergency oftalmologi karena dapat menyebabkan kebutaan

jika tidak diatasi.

Etiologi dari ablasio retina bervariasi. Kondisi vitreus merupakan faktor yang

penting dalam timbulnya ablasio retina rhegmatogenous. Beberapa hal yang dapat

menyebabkan perubahan struktur cairan vitreus antara lain umur, dimana menurut

epidemiologi meningkat seiring usia, myopia yang tinggi, trauma, operasi katarak, dan

inflamasi okular. Karena itu penyebab tersering adalah destruksi pada korpus vitreous

yang terkait usia. Hal ini dapat menyebabkan lubang dan robekan akibat tarikan pada

retina perifer. Akibatnya vitreous humour dapat masuk dan menyebar sehingga terjadi

pemisahan antara lapisan neurosensoris. Insidennya sekitar 0,01% dari kasus ablasio

retina secara keseluruhan dan terbanya pada usia 50-70 tahun. Gambaran klinis berupa

9
photopsia dan skotoma yang absolut. Jika makula tidak terlibat maka ketajaman

penglihatan baik. Diagnose dibuat secara klinis dengan indirek oftalmoskop dengan

midriasil. Tujuannya untuk mendeteksi penyebab kerusakan retina.(8,9)

2. Ablasio retina traksi

Pada ablasio ini, lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan parut pada

badan kaca. Dibandingkan degan ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina akibat

traksi memiliki bentuk yang khas, yakni permukaan yang lebih konkaf dan cenderung

lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora serata. Gaya-gaya traksi yang secara aktif

menarik retina sensorik menjauhi epitel pigmen di bawahnya disebabkan oleh adanya

membran vitreosa, epiretina atau subretina yang terdiri dari fibroblast dan sel glia atau

sel epitel pigmen retina.(7,8)

Etiologi yang berkaitan antara lain retraksi post trauma, proliferasi

vitreoretinopathy (diabetes mellitus, oklusi vascular retina, dan trauma), retinitis

proliferans post hemoragic, retinopati pada prematuritas dan sicle cell retinopati dan

gangguan vitreoretinal lainnya yang bersifat herediter. Pada retinopati diabetik

proliferatif, sudah terjadi proses neovaskularisasi, pembuluh darah baru, tanpa sel

perisit pembuluh darah baru ini mudah pecah dan mengalami perdarahan. Apabila

terjadi perdarahan berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina.

Sikatriks dan jaringan fibrosis ini akan menarik retina sampai lepas, sehingga dapat

terjadi ablasio retina.(9,10)

3. Ablasio retina eksudatif

Terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat retina.

Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah

retina dan koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor

retrobulbar, radang uvea, idiopatik, toksemia gravidarum. Cairan di bawah retina tidak

10
dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan retina yang terangkat akan terlihat licin.

Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau

menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang.(7)

Komposisi cairan interstitial koroid memainkan peranan penting dalam

patogenesis dari ablasi retina eksudatif. Komposisi cairan interstitial koroid

dipengaruhi oleh tingkat permeabilitas pembuluh darah koroid. Setiap proses patologis

yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah koroid berpotensi dapat

menyebabkan ablasi retina eksudatif. Adanya kerusakan pada epitel pigmen retina,

mencegah aksi pemompaan cairan dan dapat menyebabkan akumulasi cairan dalam

ruang subretinal yang juga mengarah pada terjadinya ablasio retina eksudatif.(9)

Etiologi yang paling sering akibat penyakit sistemik termasuk toxocemia pada

kehamilan, hipertensi renal dan poliarteritis nodosa termasuk juga kelainan vaskular

serta penyakit okular seperti Harada’s disease, keganasan atau tumor pada koroid atau

retina seperti melanoma choroid, retinoblastoma, hemangioma, melanoma malignant,

metastasis, tumor vasoproliferasi retina perifer, gangguan sistemik (leukemia,

hipertensi, preeclampsia); gangguan vascular retina, dan inflamasi.(9,10)

Diagnosa dapat memperhatikan perubahan terjadi seiring dengan perubahan posisi

dan permukaanya bersifat lunak. Gejala lainnya yang mengarah pada diagnose ini

adalah masa prominen, dilatasi vena retina, dan tanda-tanda peradangan lainnya. (9)

1.7. Penegakkan Diagnosa

11
1. Anamnesis (11,12)

Pada anamnesis penting untuk digali tentang keluhan yang dialami pasien dan riwayat

dapat ditemukan :

 Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian seperti

tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang lebih lanjut dapat

terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.

 Floaters (terlihat benda melayang-layang), terjadi karena adanya kekeruhan di

vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu

sendiri. Kadang-kadang penderita merasakan adanya penghalang atau bayangan

yang datang dari perifer (biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapangan pandang.

Penghalang ini bergerak bersama-sama dengan gerakan mata dan menjadi lebih

nyata. Pada stadium awal, penglihatannya membaik di malam hari dan memburuk di

siang hari terutama sesudah stres fisik (membungkuk, mengangkat) atau

mengendarai mobil di jalan begelombang.

 Fotopsia (kilatan cahaya, tanpa adanya cahaya di sekitarnya) yang umumnya terjadi

sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.

Keadaan ini disebabkan oleh tarikan pada retina dan bisa terjadi pada orang normal

jika terjadi cedera tumpul pada mata.

Selain itu, dari anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma, riwayat

pembedahan sebelumnya (seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum

intraokuler), riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan viterus, ambliopa,

glaukoma dan retinopati diabetik), riwayat keluarga dengan penyakit mata serta

penyakit sistemik yang berhubungan dengan ablasio retina. Juga riwayat penyakit

dalam keluarga.

12
2. Pemeriksaan fisis dan oftalmologis (6)

 Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya

makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang

menghambat sinar masuk. Keterlibatan makula dalam patomekanisme gangguan

menentukan ketajaman penglihatan penderita. Pemeriksaan ketajaman penglihatan

baik dekat maupun jauh, kemudian dilakukan koreksi pada kelainan refraksi.

 Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup

tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina.

Kadang pada lapangan pandang akan terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan

fotopsia.

 Pemeriksaan pupil dan tanda-tanda trauma

 Pemeriksaan funduskopi, yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis ablasio

retina dengan menggunakan binokuler indirek oftalmoskopi. Pada pemeriksaan ini

ablasio retina dikenali dengan hilangnya refleks fundus dan pengangkatan retina.

Retina tampak keabu-abuan yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat

akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan pergerakkan undulasi

retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas dari dasarnya

berwarna gelap, berkelok-kelok, dan membengkok di tepi ablasio. Suatu robekan

pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.

Mungkin didapatkan debris terkait pada vitreus yang terdiri dari darah dan pigmen

atau ruang retina dapat ditemukan mengambang bebas.

13
Gambar 2.4 Gambaran pemeriksaan funduskopi pada pasien
ablasio retina rhegmatogenesa

Gambar 2.5 Gambaran pemeriksaan funduskopi pada pasien eksudatif ablasio


retina
 Pemeriksaan tekanan bola mata, pada ablasio retina tekanan intraokuler

kemungkinan menurun.

 Pemeriksaan imaging, kecuali ruptur terjadi secara keseluruhan, fraktur orbital /

daerah wajah atau benda asing intraocular dicurigai, teknik pencitraan, seperti CT-

scan atau MRI, tidak dibenarkan untuk mengevaluasi ablasio retina. Ultrasonografi,

yaitu ocular B-Scan ultrasonografi juga digunakan untuk mendiagnosis ablasio

retina dan keadaan patologis lain yang menyertainya seperti proliverative

vitreoretinopati, benda asing intraokuler. Selain itu ultrasonografi juga digunakan

14
untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan ablasio retina eksudatif misalnya

tumor dan posterior skleritis.

1.8. Penatalaksanaan (7,9)

Penanganan yang cepat dan tepat akan mengurangi gejala permanen dan

pembedahan merupakan terapi pilihan yang memberikan hasil yang baik. Pembedahan

dilakukan secepatnya dan sebaiknya antara 1-2 hari. Tujuan penanganan adalah untuk

melekatkan kembali retina yang lepas denga krioterapi atau laser. Krioterapi yang

digunakan dapat hanya di permukaan maupun krioterapi setengah tebal sesudah reseksi

sklera. Hal ini dilakukan dengan atau tanpa mengeluarkan cairan subretina. Pengeluaran

hanya akan dilakukan terutama di daerah yang paling tinggi ablasinya. Teknik operasi

yang dapat dilakukan antara lain:

 Retinopeksi pneumatic dilakukan dengan cara udara dimasukkan ke dalam viterus untuk

mempertahankan retina pada posisinya. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan

menyuntikkan gelembung gas ke dalam vitreus untuk mempertahankan retina pada

posisinya.Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal akan

menghilang 1-2 hari. Pasien harus mempertahankan posisi head precise selama 7-10 hari

untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina.Untuk menutupi robekan

pada retina dapat juga dengan menggunakan laser (argon laser coagulation) atau

krioterapi.

 Scleral buckling bertujuan untuk menutup robekan retina dengan cara indentasi sklera

untuk mengurangi daya tarikan intravitreus dan melekatkan daerah robekan dengan epitel

pigmen atau singkatnya mempertahankan retina pada posisinya. Teknik ini dilakukan

dengan menggunakan sklera eksplan yang dijahitkan mengelilingi sklera pada daerah

15
robekan retina sehingga robekan tertutup akibat tekanan atau indentasi. Penanganan awal

dari ablasio retina yaitu batasi aktivitas fisik pasien dan batasi pergerakan bola mata.

 Vitrektomi.

Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat

diabetes, ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau hemoragik vitreus.

Vitrektomi yaitu pelepasan traksi vitroretina, jika diperlukan penyuntikan

perfluorocarbon atau cairan dan udara atau gas yang dapat mempertahankan posisinya

jika dibutuhkan tamponade retina lebih lama.

Gambar 2.6. penanganan ablasio retina

1.9. Prognosis

Prognosis ablasio retina dapat baik jika cepat dikenali dan ditangani lebih awal.

Apabila meliputi daerah makula maka kemungkinan pengembalian penglihatan sangat

rendah. Ablasio retina memiliki risiko berulang.(7)

16
PENUTUP

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut

dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Berdasarkan epidemiologi, insiden

ablasio terjadi pada usia tua dengan risiko yang lebih besar pada laki-laki. Faktor

penyebab ablasio retina banyak antara lain miopia dan trauma. Ablasio retina dibagi atas

tiga bagian yaitu rhegmatogenosa, eksudatif dan traksi.

Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan tajam

penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang mengalami ablasio

tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid

dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.

Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah cepat dan tepat melekatkan

kembali lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina dengan jalan

pembedahan. Prognosis dari ablasio retina tergantung pada keterlibatan makula. Pada

miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka prognosis buruk.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Rani Himayani, Jefri irawan, Pendekatan Pelayanan Kesehatan Primer pada


Kegawatdaruratan Mata : Ablasio Retina 1 Departemen Ilmu Penyakit Mata. 2022 Jurnal
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
2. Lang, Gerhard K. Retinal Detachment In Ophthalmology A Short Textbook. New York.
2020. P:328-32
3. Lang, Gerhard K. Retinal Detachment In Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. New
York. 2007. P:339-42
4. Guyton, Hall. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. 2008. P654-57
5. Gout I; Mellington F; Tah V; et 2018 al: Retinal Detachment – An Update of the Disease
and Its Epidemiology – A Discussion Based on Research and Clinical Experience at the
Prince Charles Eye Unit, Winsdor, England.
6. Pandya H. K.; O’Connor R:. Retinal Detachmentupdate April 2014. Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/article/798501-clinical
7. Sidarta, Ilyas. Ablasio Retina Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Cetakan ke 3.
Jakarta : FKUI.2013. 187 – 90.
8. Riodan-Eva P, Witcher JP. Vaughan & Asbury General Ophtalmology. Susanto D,
editors. 14th ed. Jakarta: EGC; 2012. 12-4, 23-6, 196-7
9. Sclote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophthalmology. New York.
The McGraw Hill Company.2007.172-76
10. Retinal Detachment.2015 British Medical Journal Best Practice
11. Wu Lihteh; Sr Hamton Roy. Rhegmatogenous Retinal Detachment. Update Juli 2013.
Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/article/1224737-overview
12. Wu Lihteh; Sr Hamton Roy. Exudative Retinal Detachment. Update April 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai