Anda di halaman 1dari 157

KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H. S DENGAN


DIAGNOSA PNEUMONIA ET CAUSA COVID–19
DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT PREMIER
SURABAYA

Oleh :

SITI FATMAWATI
NIM. 1930081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2020
KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H. S DENGAN


DIAGNOSA PNEUMONIA ET CAUSA COVID–19
DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT PREMIER
SURABAYA

Karya Ilmiah Akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Ners di STIKES Hang Tuah
Surabaya

Oleh :

SITI FATMAWATI
NIM. 1930081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2020

ii
HALAMAN PERNYATAAN

Saya bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Siti Fatmawati

NIM : 1930081

Tanggal lahir : 29 Agustus 1990

Program studi : Pendidikan Profesi Ners

Menyatakan bahwa karya ilmiah akhir yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada

Tn. H. S dengan Diagnosa Pneumonia e. c COVID–19 di Ruang Instalasi Gawat

Darurat (IGD) Rumah Sakit Premier Surabaya”, saya susun tanpa melakukan

plagiat sesuai dengan peraturan yang berlaku di Stikes Hang Tuah Surabaya.

Jika kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiat saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Stikes

Hang Tuah Surabaya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya agar dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Surabaya, 23 Juli 2020

iii
HALAMAN PERSETUJUAN

Setelah kami periksa dan amati, selaku pembimbing mahasiswa:

Nama : Siti Fatmawati

NIM : 1930081

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn. H. S dengan Diagnosa

Pneumonia e. c COVID–19 di Ruang Instalasi Gawat

Darurat (IGD) Rumah Sakit Premier Surabaya.

Serta perbaikan – perbaikan sepenuhnya, maka kami menganggap dan dapat

menyetujui bahwa karya ilmiah akhir ini diajukan dalam sidang guna memenuhi

sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar:

(Ners)

Ditetapkan di : Surabaya
Tanggal : 23 Juli 2020

iv
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah Akhir dari:

Nama : Siti Fatmawati

NIM : 1930081

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn. H. S dengan Diagnosa

Pneumonia e. c COVID–19 di Ruang Instalasi Gawat

Darurat (IGD) Rumah Sakit Premier Surabaya.

Telah dipertahankan dihadapan dewan penguji karya ilmiah akhir di Stikes Hang

Tuah Surabaya, dan dinyatakan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar “Ners” pada program pendidikan profesi Ners di Stikes Hang

Tuah Surabaya

Penguji I : Merina Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 03033

Penguji II : Ceria Nurhayati, S.Kep., Ns., M. Kep


NIP. 03049

Mengetahui,
STIKES HANG TUAH SURABAYA
KAPRODI PROFESI NERS

Ditetapkan di : Surabaya
Tanggal : 23 Juli 2020

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan karunia dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyusun karya ilmiah

akhir yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. H. S dengan Diagnosa

Pneumonia e. c COVID–19 di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit

Premier Surabaya” dapat selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.

Karya ilmiah akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Ners pada Program Studi Pendidikan Profesi Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Hang Tuah Surabaya. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dengan

memanfaatkan berbagai literatur serta mendapatkan banyak pengarahan dan

bantuan dari berbagai pihak, penulis menyadari tentang segala keterbatasan

kemampuan dan pemanfaatan literatur, sehingga karya ilmiah ini dibuat dengan

sangat sederhana baik dari segi sistematika maupun isinya jauh dari sempurna.

Dalam kesempatan kali ini, perkenankanlah peneliti menyampaikan rasa

terima kasih, rasa hormat, dan penghargaan kepada:

1. Dr. Hartono Tanto, M.Kes, selaku Direktur Rumah Sakit Premier

Surabaya yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti Program

Pendidikan Profesi Ners.

2. Ibu Janny Prihastuti, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Manajer Keperawatan

Rumah Sakit Premier Surabaya atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada peneliti untuk melakukan studi kasus di RS Premier

Surabaya.

vi
3. Ibu Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep, selaku Ketua STIKES Hang Tuah

Surabaya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada peneliti

untuk menjadi mahasiswa Profesi Ners.

4. Puket 1, Puket 2, Puket 3, STIKES Hang Tuah Surabaya yang telah

memberi kesempatan dan fasilitas kepada peneliti untuk mengikuti dan

menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Ners.

5. Bapak Nuh Huda, M.Kep, Ns.Sp.Kep.MB, selaku Kepala Program

Pendidikan Profesi Ners STIKES Hang Tuah Surabaya yang telah

memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan Program

Pendidikan Profesi Ners.

6. Ibu Merina Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing I yang

penuh kesabaran dan perhatian memberikan pengarahan dan dorongan

moril dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.

7. Ibu Ceria Nurhayati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pengujii yang penuh

kesabaran dalam memberikan pengarahan dan masukan dalam penyusunan

karya ilmiah ini.

8. Ibu Nadia Okhtiary, A.md, selaku Kepala Perpustakaan di STIKES Hang

Tuah Surabaya yang telah menyediakan sumber pustaka dalam

penyusunan penelitian ini.

9. Ibu Siti Nurhayati, S.Kep., Ns, selaku Kepala Ruangan IGD yang penuh

kesabaran dan perhatian dalam memberikan saran dan masukan dalam

karya ilmiah akhir ini.

10. Almarhum Ayahku Namin dan Ibuku Katimah tercinta beserta keluarga

yang senantiasa mendoakan dan memberi semangat setiap hari.

vii
11. Suamiku Arga Rizki dan Anakku Narendra Rizki Pratama yang dengan

sabar memberikan dorongan, dukungan moril dan materiil, serta panjatan

doa setiap hari, sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini

dengan baik dan lancar.

12. Teman – teman sealmamater, rekan – rekan di IGD RS Premier Surabaya

dan semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan

karya ilmiah akhir ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Semoga budi baik yang telah diberikan kepada peneliti mendapatkan

balasan rahmat dari Allah SWT Yang Maha Pemurah. Akhirnya peneliti berharap

bahwa karya ilmiah akhir ini bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Robbal

Alamin.

Surabaya, 23 Juli 2020

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii


HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL .................................................. xv

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 3
1.3 Tujuan ............................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
1.4.1 Manfaat Keilmuwan ........................................................................ 6
1.4.2 Manfaat Aplikatif ............................................................................ 6
1.5 Metode Penulisan ............................................................................ 7
1.5.1 Metode ............................................................................................ 7
1.5.2 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 7
1.5.3 Sumber Data .................................................................................... 8
1.5.4 Studi Kepustakaan .......................................................................... 8
1.6 Sistematika Penulisan ..................................................................... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10


2.1 Anatomi Fisiologi Paru ................................................................... 10
2.1.1 Pengertian Sistem Respirasi ............................................................ 10
2.1.2 Anatomi Paru - paru ........................................................................ 11
2.1.3 Fisiologi Paru .................................................................................. 13
2.1.4 Volume dan Kapsitas Paru .............................................................. 16
2.2 Konsep Instalasi Gawat Darurat ..................................................... 18
2.2.1 Pengertian Instalasi Gawat Darurat ................................................ 18
2.2.2 Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat ...................................... 19
2.2.3 Alur Pelayanan Instalasi Gawat Darurat ......................................... 20
2.2.4 Triase................................................................................................ 24
2.2.5 Triase Pasien Covid–19 ................................................................... 28
2.2.6 Deteksi Covid–19 Sesuai dengan Manifestasi Klinis ..................... 32
2.2.7 Skor Peringatan Dini EWS Skrining Covid–19 .............................. 35

ix
2.2.8 Penanganan Covid-19 di Instalasi Gawat Darurat .......................... 35
2.2.8.1 Terapi Suportif Dini dan Pemantaun .............................................. 35
2.2.8.2 Manajemen Gagal Napas, Hipoksemia dan ARDS ........................ 38
2.3 Konsep Pneumonia ......................................................................... 41
2.3.1 Pengertian Pneumonia .................................................................... 41
2.3.2 Klasifikasi Pneumonia .................................................................... 42
2.3.3 Etiologi ............................................................................................ 43
2.3.4 Manifestasi Klinis ........................................................................... 44
2.3.5 Patofisiologi .................................................................................... 45
2.3.6 Komplikasi ...................................................................................... 46
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 47
2.3.8 Penatalaksanaan .............................................................................. 48
2.4 Konsep Covid–19, Pneumonia, ARDS ........................................... 49
2.4.1 Pengertian Covid–19 ........................................................................ 49
2.4.2 Surveilance dan Epidemologi ......................................................... 50
2.4.3 Etiologi............................................................................................. 53
2.4.4 Penularan Covid–19 ........................................................................ 54
2.4.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 56
2.4.6 Patofisiologi .................................................................................... 56
2.4.7 Pemeriksaan Diagnostik .................................................................. 58
2.4.8 Komplikasi ....................................................................................... 60
2.4.9 Penatalaksanaan .............................................................................. 62
2.4.10 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes ...................... 67
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Pneumonia e. c Covid–19 .... 76
2.5.1 Pengkajian ........................................................................................ 76
2.5.2 Diagnosis Keperawatan ................................................................... 80
2.5.3 Intervensi Keperawatan .................................................................. 87
2.5.4 Implemetasi Keperawatan ............................................................... 93
2.5.5 Evaluasi Keperawatan ..................................................................... 93
2.6 Kerangka Masalah Keperawatan .................................................... 94

BAB 3 TINJAUAN KASUS....................................................................... 95


3.1 Pengkajian ....................................................................................... 95
3.1.1 Identitas Pasien ............................................................................... 95
3.1.2 Primary Survey ............................................................................... 95
3.1.3 Secondary Survey ............................................................................. 97
3.1.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 98
3.1.5 Penatalaksanaan Medis ................................................................... 101
3.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................... 102
3.2.1 Analisa Data ..................................................................................... 102
3.3 Intervensi Keperawatan .................................................................. 103
3.4 Implementasi Keperawatan ............................................................. 105
3.4 Evaluasi Keperawatan ..................................................................... 107

BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................. 110


4.1 Pengkajian ....................................................................................... 110
4.2 Diagnosa Keperawatan .................................................................... 116
4.3 Intervensi Keerawatan .................................................................... 119

x
4.4 Implementasi Keperawatan .............................................................. 122
4.5 Evaluasi Keperawatan ...................................................................... 122

BAB 5 PENUTUP ...................................................................................... 124


5.1 Simpulan ......................................................................................... 124
5.2 Saran ............................................................................................... 125

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 127


LAMPIRAN .................................................................................................. 131

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Australasian Triage Scale .................................................... 25


Tabel 2.2 Pengkajian Triase Primer .................................................................... 31
Tabel 2.3 Manifestasi Klinis COVID-19 ............................................................ 32
Tabel 2.4 Early Warning Score Covid–19 .......................................................... 35
Tabel 2.5 Intervensi Keperawatan pada Pasien dengan Covid–19 ..................... 87
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium ........................................................ 98
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik......................................................... 98
Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Analisa Gas Darah................................................ 99
Tabel 3.4 Daftar Terapi ....................................................................................... 100
Tabel 3.5 Analisa Data ........................................................................................ 102

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Paru ……………………………………………...... 12


Gambar 2.2 Fisiologi Pernapasan ……………...……………………….... 15
Gambar 2.3 Alur Pasien Instalasi Gawat Darurat RS Premier Surabaya ... 23
Gambar 2.4 Algoritme Triase pada Masa Covid–19 di IGD …...……….. 31
Gambar 2.5 Headbox Intubasi …………………………………………… 39
Gambar 2.6 Alur Manajemen Kesehatan Masyarakat …………………… 53

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Curiculum vitte .......................................................................... 131


Lampiran 2 Motto dan Persembahan ............................................................. 132
Lampiran 3 Surat Permohonan Pengambilan Data ........................................ 133
Lampiran 4 SOP Pemberian Oksigen ............................................................ 134
Lampiran 5 SOP Babtuk Efektif ................................................................... 138

xiv
SINGKATAN DAN SIMBOL

Daftar Singkatan

ACE : Angiotensin Converting Enzyme


AGP : Aerosol Generating Procedure
APD : Alat Pelindung Diri
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome
ASCP : American Society for Clinical Pathology
ATS : Australasian Triage Scale
BCRSS : Brescia Covid Respiratory Severity Scale
CAP : Community – Acquired Pneumonia
CLQ/ CQ : klorokuin fosfat
COPD : Chronic Obstuctive Pulmonary Disease
COVID-19 : Corona Virus Disease 2019
CPAP : Continuous Positive Airway Pressure
CRP : C-reactive protein
CT : Computerized Tomography
DEPKES : Departemen Kesehatan
DL : Darah Lengkap
DPP : Dewan Pimpinan Pusat
DRV/ r : Darunavir/ ritonavir
Dst : Dan seterusnya
e. c : Et Causa
EKG : Elektrokardiogram
ETT : Endo tracheal tube
EWS : Early Warning System
Fasyankes : Fasilitan Pelayanan Kesehatan
FiO2 : Fraksi oksigen inspirasi
FEV1 : Forced Expiratory Volume in One Second
FVC : Forced Vital Capacity
GCS : Glasgow Coma Scale
GDA : Gula Darah Acak
HAP : Hospital – Acquired Pnuemonia
HCQ : hidroksiklorokuin
HFNO : High Flow Nasal Oxygen
HIPGABI : Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia
HR : Heart Rate
ICTV : International Committee Taxonomy of Viruses
ICU : Intensive Care Unit
IFN-α : Interferon Alfa
IGD : Instalasi Gawat Darurat
ISNBA : Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Akut
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IV : Intra Venous
IVIg : Imunoglobulin Intravena

xv
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
KVP : Kapasitas Vital Paksa
LED : Laju Endap Darah
LPV/ r : Lopinavir/ ritonavir
MAP : Mean Arterial Pressure
Menkes : Menteri Kesehatan
MEP : Malnutrisi Energi Protein
MERS : Middle East Respiratory Syndrome
MRS : Masuk Rumah Sakit
MRSA : Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
NHC : National Health Commission
NIV : Noninvasive Ventilation
No : Nomor
ODP : Orang Dalam Pemantauan
OI : Oxygenation Index
OSI : Oxygenation Index menggunakan SpO2
OTG : Orang Tanpa Gejala
PaO2 : Partial Pressure of Oxygen
PBW : Predicted Body Weight
PCR : Polymerase Chain Reaction
PDP : Pasien Dalam Pengawasan
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PEEP : Positive End Expiratory Pressure
pH : Power of Hydrogen
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronik
PT : Prothrombin Time
Px : Pasien
RBV : Ribavirin
RDV : Remdesivir
RI : Republik Indonesia
RJP : Resusitasi Jantung Paru
RMs : Recruitment Manoueuvers
RS : Rumah Sakit
RT-PCR : Real Time Polymerase Chain Reaction
SARI : Severe Acute Respiratory Infection
SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome
SARS-CoV-2 : Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
SDKI : Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
SGPT : Serum Glutamic Piruvic Transaminase
SIKI : Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome
SK : Surat Keputusan
SLKI : Standar Luaran Keperawatan Indonesia
SOFA : Sequential Organ Failure Assessment
SOP : Standar Operasional Prosedur
SpO2 : Saturasi oksigen

xvi
STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
TD : Tekanan Darah
TDS : Tekanan Darah Sistolik
TDD : Tekanan Darah Diastolik
USG : Ultrasonografi
VEP1 : Volume Ekspirasi Paksa satu detik
VV ECMO : Venovenous Extracorporeal Membrane Oxygenation
WBC : White Blood Cell
WHO : World Health Organization

Daftar Simbol

& : Dan
< : Kurang dari
≤ : Kurang dari atau sama dengan
> : Lebih dari
≥ : Lebih dari atau sama dengan
± : Kurang lebih
% : Persen
= : Sama dengan
⁰ : Derajat
C : Celcius
F : Fahrenheit

xvii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronavirus Disease 2019 (COVID–19) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-

2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah

diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus

yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat

seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory

Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi COVID–19 antara lain gejala

gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi

rata – rata 5 – 6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus

COVID–19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindroma pernapasan

akut, gagal ginjal, bahkan kematian (Kementrian Kesehatan RI, 2020). Masalah

keperawatan yang mungkin muncul pada penyakit COVID–19 antara lain

gangguan pertukaran gas, bersihan jalan napas tidak efektif, pola napas tidak

efektif, defisit nutrisi, hipertermia dan intoleransi aktivitas, ansietas (SDKI, 2017).

Namun sampai saat ini bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan

Covid–19 masih memerlukan pembahasan lebih lanjut.

COVID–19 adalah penyakit yang sedang mewabah hampir di seluruh

dunia saat ini, dilaporkan pertama kali pada tanggal 31 Desember 2019, dimulai

dari daerah Wuhan, provinsi Hubei, Tiongkok melaporkan mengenai kasus

pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya (WHO, 2020). Berdasarkan data

1
2

dari WHO per tanggal 14 Juli 2020 didapatkan kasus konfirmasi positif Covid–19

di dunia sebanyak 12.964.809 dengan total kematian 570.288 jiwa (WHO, 2020).

Berdasarkan data tanggal 14 Juli 2020, di Amerika kasus terkonfirmasi positif

sebesar 6.780.428 dengan total kematian sebesar 288.430, sedangkan di Eropa

kasus terkonfirmasi positif sebesar 2.946.104 dengan jumlah kematian sebesar

203.957 jiwa (WHO, 2020). Di Indonesia per tanggal 14 Juli 2020 ada sebanyak

78.572 kasus yang terkonfirmasi Covid–19 dengan jumlah kematian 3.710 jiwa,

di Jawa Timur jumlah kasus yang terkonfirmasi positif sebesar 17.230, dengan

jumlah kematian sebesar 1.247 jiwa (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2020). Rumah Sakit Premier Surabaya merupakan salah satu Rumah Sakit rujukan

untuk pasien yang positif Covid–19 di Surabaya yang menjadi tempat peneliti

mengambil kasus yang akan dibahas pada karya ilmiah ini. Jumlah kasus pasien

yang terkonfirmasi positif Covid–19 pada bulan Maret – Juli 2020 per tanggal 21

Juli 2020 di RS Premier sebanyak 962 orang dengan jumlah pasien rawat jalan

sebesar 766 orang, jumlah pasien rawat inap sebesar 196 orang dimana terdapat

12 orang pasien dirujuk karena membutuhkan ventilator, 13 pasien meninggal,

109 pasien dinyatakan sembuh.

Paru – paru adalah organ yang paling terpengaruh oleh COVID-19, karena

virus mengakses sel inang melalui enzim ACE2, yang paling melimpah di sel

alveolar tipe II paru – paru. Virus ini menggunakan glikoprotein permukaan

khusus, yang disebut “spike”, untuk terhubung ke ACE2 dan memasuki sel inang.

Kepadatan ACE2 di setiap jaringan berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit

di jaringan itu dan beberapa ahli berpedapat bahwa penurunan aktivitas ACE2

mungkin bersifat protektif, dan seiring perkembangan penyakit alveolar,


3

kegagalan pernapasan mungkin terjadi dan kematian mu ngkin terjadi (Xu H,

Zhong L, et al, 2020). Dalam kasus – kasus parah, COVID–19 dapat diperburuk

dengan sindrom gawat pernapasan akut (ARDS), sepsis dan septic shock, gagal

multiorgan, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut (Yang X, et al, 2020).

Usia lanjut dan penyakit penyerta dilaporkan menjadi faktor risiko kematian, dan

analisis multivariabel baru mengonfirmasi usia lanjut, skor SOFA (Sequential

Organ Failure Assessment) dan d- dimer > 1 µg/L saat masuk fasilitas dikaitkan

dengan tingkat kematian yang lebih tinggi (Huang C, et al, 2020).

Deteksi dini manifestasi klinis dari COVID–19 dapat menentukan secara

tepat penerapan tatalaksana dan level penempatan pasien sesuai kondisinya.

Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran

untuk perburukan yang cepat sesuai dengan pertimbangan medis. Pada saat

pandemik seperti ini, perawat dituntut untuk memberikan asuhan keperawatan

secara kompleks kepada pasien dengan COVID–19, dimana di ruang Instalasi

Gawat Darurat perawat harus mampu melakukan triase pada pasien dengan

COVID–19. Proses triase atau pemilahan pasien dalam kasus pandemik seperti ini

berbeda dengan kasus biasanya. Pengkajian triase primer berfokus pada keluhan

awal pasien datang ke IGD dan riwayat kontak dengan pasien COVID–19 atau

riwayat ke tempat terindikasi COVID–19. Pengkajian di triase sekunder IGD

ISPA dapat memakai list manisfestasi klinis COVID–19 yang dikeluarkan

Kementerian Kesehatan Pedoman Rev 4.0 serta Early Warning System skrining

COVID–19 untuk menetapkan tindakan yang dilakukan (HIPGABI, 2020). Sesuai

dengan salah satu peran perawat di Instalasi Gawat Darurat sebagai pemberi

pelayanan kesehatan (direct care provider), keperawatan langsung pada pasien


4

dan keluarga yang mengalami masalah kesehatan karena sakit akut, kritis dan

labil, cedera. Oleh karena itu di Instalasi Gawat Darurat diharapkan pasien

memperoleh asuhan keperawatan secara menyeluruh dan perawat mampu

memberikan pelayanan secara maksimal di saat pandemik seperti ini. Apabila

ditemukan pasien yang mengalami kondisi gagal napas yang membutuhkan untuk

perawatan di ruang kritikal, solusi keperawatan yang dapat dilakukan adalah

observasi ketat kondisi pasien, monitor tanda – tanda perburukan atau gagal nafas,

mempertahankan hidrasi, membantu pasien dalam memenuhi kebuthan selama

perawatan, memberikan dan mengajarkan edukasi tentang pencegahan dan

perawatan pasien COVID–19 dengan masalah keperawatan yang muncul (SIKI,

2018). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengangkat karya

ilmiah akhir dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diagnosa

Pneumonia e. c Covid–19 di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit

Premier Surabaya”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menyusun

rumusan masalah “Bagaimanakah Pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada Pasien

dengan Diagnosa Pneumonia e. c Covid–19 di Ruang Instalasi Gawat Darurat

(IGD) Rumah Sakit Premier Surabaya”.


5

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menggambarkan asuhan keperawatan melalui pendekatan proses

keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis Pneumonia e. c Covid–19 di

ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Premier Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi hasil pengkajian pasien dengan diagnosa medis

Pneumonia e. c Covid–19 di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Premier Surabaya.

2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis

Pneumonia e. c Covid–19 di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Premier Surabaya.

3. Merencanakan tindakan keperawatan pada masing – masing diagnosis

keperawatan pasien dengan diagnosa medis Pneumonia e. c Covid–19 di

ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Premier Surabaya.

4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis

Pneumonia e. c Covid–19 di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Premier Surabaya.

5. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis

Pneumonia e. c Covid–19 di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Premier Surabaya.

6. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan

diagnosa medis Pneumonia e. c Covid–19 di ruang Instalasi Gawat

Darurat Rumah Sakit Premier Surabaya.


6

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Keilmuwan

Berdasarkan tujuan umum maupun tujuan khusus diatas, maka karya

ilmiah ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan

program pendidikan dan bagi kepentingan ilmu pengetahuan.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Karya ilmiah ini dapat menjadi sarana peneliti untuk mengembangkan

pengetahuan dan pengalaman dalam bidang pemberian asuhan keperawatan pada

tatanan nyata dengan konsep aplikasi teori dan praktik. Terkait dengan tujuan,

maka karya ilmiah ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:

1. Pelayanan di Rumah Sakit

Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan

dalam upaya pengembangan pengetahuan untuk meningkatkan mutu

pelayanan pasien di rumah sakit khusunya dalam pemberian asuhan

keperawatan pada pasien dengan diagnosis Pneumonia e. c Covid–19.

2. Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil karya ilmiah ini dapat memperkaya ilmu keperawatan dalam

mengembangkan model asuhan keperawatan komprehensif dengan

pengembangan preventif dan promotif.

3. Bagi Penulis

Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan bagi

penulis berikutnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien

dengan diagnosa Pneumonia e. c Covid–19.


7

4. Bagi Keluarga dan Pasien

Hasil karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai bahan penyuluhan kepada

keluarga tentang deteksi dini penyakit Pneumonia e. c Covid–19, sehingga

keluarga mampu menggunakan pelayanan medis gawat darurat dan

keluarga mampu melakukan pencegahan dan perawatan pasien selama

dirumah.

1.5 Metode Penulisan

1.5.1 Metode

Metode penulisan yang digunakan pada karya ilmiah akhir ini adalah

metode studi kasus.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun langkah – langkah yang dimbil penulisan dalam karya ilmiah

akhir ini yaitu:

1. Wawancara

Data diperoleh melalui percakapan baik dengan pasien, keluarga

maupun tim kesehatan lain.

2. Observasi

Data diperoleh melalui observasi lebih mendalam pada pasien.

3. Pemeriksaan

Meliputi pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat menunjang

menegakkan diagnosis keperawatan dan penanganan maupun

pelaksanaan asuhan keperawatan selanjutnya.


8

1.5.3 Sumber Data

Sumber data yang digunakan yaitu data primer, dimana data primer

diperoleh langsung dari pasien, data sekunder data yang diperoleh dari keluarga,

orang terdekat dengan pasien, rekam medis pasien, hasil pemeriksaan dan tim

kesehatan lain.

1.5.4 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu mempelajari buku, jurnal yang berhubungan

dengan judul studi kasus dan masalah yang dibahas.

1.6 Sistematika Penulisan

Penyusunan karya ilmiah akhir secara keseluruhan dibagi menjadi 3

bagian, yaitu:

1. Bagian awal memuat halaman judul, halaman persetujuan, surat

pernyataan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar, daftar lampiran,

singkatan.

2. Bagian inti meliputi lima bab, yang masing – masing bab terdiri dari

sub bab sebagai berikut:

BAB 1: Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,

metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB 2: Tinjauan pustaka yang berisi tentang teori mengenai konsep

anatomi fisiologi paru – paru, konsep instalasi gawat darurat,

konsep pneumonia, konsep Covid–19, konsep asuhan

keperawatan Pneumonia e. c Covid–19, kerangka masalah.


9

BAB 3: Tinjauan kasus berisi tentang data hasil pengkajian, diagnose

keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan

keperawatan, dan evaluasi dari pelaksanaan tindakan

keperawatan pada pasien dengan pneumonia e. c covid–19.

BAB 4: Pembahasan yang berisi tentang analisis masalah yang ditinjau

dari pustaka, hasil pelaksanaan tindakan keperawatan dan

opini penulis.

BAB 5: Penutup yang berisi simpulan dan saran.

3. Bagian akhir yang terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai konsep dasar atau landasan teori yang terkait

dengan topik penelitian, meliputi: 1) Anatomi dan Fisiologi Paru – Paru, 2)

Konsep Instalasi Gawat Darurat (IGD) 3) Konsep Pneumonia, 4) Konsep Covid–

19, 5) Konsep Asuhan Keperawatan dengan Pneumonia e. c Covid–19 dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan meliputi: pengkajian, diagnosa

keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi.

2.1 Anatomi Fisiologi Paru

2.1.1 Pengertian Sistem Respirasi

Respirasi adalah proses pertukaran gas dalam paru. Oksigen berdifusi ke

dalam darah dan pada saat yang sama karbondioksida dikeluarkan dari darah.

Udara dialirkan melalui unit pertukaran gas melalui jalan napas. Secara umum,

proses respirasi memerlukan tiga subunit organ pernapasan, yaitu jalan napas atas,

jalan napas bawah, dan unit pertukaran gas. Masing – masing subunit ini terdiri

atas berbagai organ. Jalan napas atas terdiri dari hidung, sinus, faring, dan laring.

Jalan napas bawah terdiri dari trakea dan bronkus serta percabangannya. Unit

pertukaran gas terdiri dari bagian distal bronkus terminal (bronkiolus

respiratorius), ductus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli yang kesemuanya

disebut dengan asinus. Organ paru ditutupi oleh rongga thoraks yeng terbentuk

dari iga, sternum, dan kolumna vertebra, dengan diafragma yang berbentuk kubah

memisahkan toraks dari abdomen (Yusran Haskas, 2016).

10
11

2.1.2 Anatomi Paru – paru

Paru – paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya

berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru

terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru – paru kanan

mempunyai tiga lobus sedangkan paru – paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima

lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru – paru terbagi lagi menjadi

beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut

bronchopulmonary segments. Paru – paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang

yang disebut mediastinum (Sherwood, 2012).

Paru – paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi

menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang

langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang

menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut

kavum pleura (Guyton, 2007). Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai

panjang 3 mm. Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari

Foregut. Pada Groove terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan

yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi

2 yaitu esophagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea akan

bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal

bronchi dan cabang – cabangnya. Bronchial-tree terbentuk setelah embrio

berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan

jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Alveoli bertambah

besar sesuai dengan perkembangan dinding thoraks. Jadi, pertumbuhan dan


12

perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan

somatik berhenti (Evelyn, 2009).

Gambar 2.1 Anatomi Paru (Sumber: Tortora, 2012).

Sitem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan

pernafasan bagian bawah.

1. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus paranasal,

dan faring,

2. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan

alveolus paru (Guyton, 2007). Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri

dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan

dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari

dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar

dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan

paru. Otot – otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu:


13

1. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,

sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma,

2. Otot – otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis

internus (Algasaff dan Mukti, 2015).

2.1.3 Fisiologi Paru

Paru – paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam

keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru – paru dan dinding dada

sehingga paru – paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena memiliki

struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara paru – paru dan

dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007).

Fungsi utama dari paru – paru adalah untuk pertukaran gas antara darah

dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi

jaringan dan mengeluarkan karbondioksida. Kebutuhan oksigen dan

karbondioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme

seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan

kandungan oksigen dan karbondioksida bisa normal (Jayanti, 2013).

Udara yang dihirup dan masuk ke paru – paru melalui sistem berupa pipa

yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru –

paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung – gelembung paru –

paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan

karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari

300 juta alveoli di dalam paru – paru manusia dan bersifat elastis. Ruang udara

tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat

menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Yunus, 2007).


14

Menurut (Guyton, 2007) untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan

dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu:

a. Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara

antara alveoli dan atmosfer,

b. Difusi dari oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah,

c. Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan

cairan tubuh ke dan dari sel,

d. Pengaturan ventilais pada sistem pernapasan.

Pada waktu menarik nafas atau inspirasi maka otot – otot pernapasan

berkontraksi, tetapi pengeluaran udara pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika

diafragma menutup, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali

memperbesar paru – paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan

tulang dada menutup dan berada pada posisi semula (Evelyn, 2009).

Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot – otot. Selama bernafas

tenang, tekanan intrapleura kira – kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap

atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai – 6 mmHg dan paru – paru

ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara sehingga

menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru – paru. Pada akhir

inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil

paru – paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan

seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru – paru

(Algasaff dan Mukti, 2015).

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat

elastisitas dinding dada dan paru – paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
15

relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam

rongga thoraks, menyebabkan volume thoraks berkurang. Pengurangan volume

toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih

tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir

keluar dari paru – paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali

pada akhir ekspirasi (Miller, et al, 2011).

Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveoli

ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat

terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor

yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan

faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari

paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton,

2007).

Gambar 2.2 Fisiologi Penapasan Manusia, Sumber: (Hedu, 2016).

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru – paru manusia

adalah sebagai berikut:

a. Usia

Kekuatan otot maksimal paru – paru pada usia 20 – 40 tahun dan dapat

berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan


16

terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial,

penurunan kapasitas paru.

b. Jenis kelamin

Fungsi ventilasi pada laki – laki lebih tinggi sebesar 20 – 25% dari pada

funsgi ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki – laki lebih

besar dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas laki – laki lebih tinggi

sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.

c. Tinggi badan

Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi lebih tinggi

daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti, et al, 2015).

2.1.4 Volume dan Kapasitas Paru

Menurut Evelyn (2009) volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

a. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi

pada setiap kali pernafasan normal. Nilai dari volume tidal sebesar ±

500 ml pada rata – rata orang dewasa.

b. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang

diinspirasi setelah volume tidal, dan biasanya mencapai maksimal ±

3000 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat

dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal,

pada keadaan normal besarnya adalah ± 1100 ml.

d. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam

paru – paru setelah ekspirasi kuat. Nilainya sebesar ± 1200 ml.


17

Menurut Yunus (2007) kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa

volume paru-paru dan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan

inspirasi. Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang

dapat dihirup seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan

mengembangkan paru sampai jumlah maksimum.

b. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan

inspirasi + volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan

besarnya udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal.

c. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume

tidal + volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan

merupakan jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru,

setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian

mengeluarkannya sebanyak – banyaknya.

d. Kapasitas Vital Paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC)

adalah volume total dari udara yang dihembuskan dari paru – paru

setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa

minimum. Hasil ini didapat setelah seseorang menginspirasi dengan

usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan cepat.

e. Volume Ekspirasi Paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory

Volume in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat

dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini

didapat setelah seseorang terlebih dahulu melakukakan pernafasan

dalam dan inspirasi maksimal yang kemudian diekspirasikan secara


18

paksa sekuat – kuatnya dan semaksimal mungkin, dengan cara ini

kapasitas vital seseorang tersebut dapat dihembuskan dalam satu

detik.

f. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu.

Besarnya ± 5800 ml, adalah volume maksimal dimana paru

dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa. Volume dan

kapasitas seluruh paru pada wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada

pria, dan lebih besar pada atlet dan orang yang bertubuh besar

daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis.

2.2 Konsep Instalasi Gawat Darurat

2.2.1 Pengertian Instalasi Gawat Darurat

Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan

medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Pelayanan

Gawat Darurat adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh korban atau pasien

gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan

kecacatan (Kemenkes RI, 2016).

Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit mempunyai tugas

menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara

serta pelayanan pembedahan darurat bagi pasien yang datang dengan gawat

darurat medis. IGD memiliki peran sebagai gerbang utama masuknya penderita

gawat darurat (Ali et al, 2014). Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan

yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk

mencegah kematian dan kecacatan. Pelayanan ini bersifat penting (emergency)


19

sehingga diwajibkan untuk melayani pasien 24 jam sehari secara terus menerus

(Destifiana, 2015).

Intalasi Gawat Daurat (IGD) rumah sakit adalah salah satu bagian di

rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit

dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kementerian

Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan mengenai Standar Pelayanan Instalasi

Gawat Darurat Rumah Sakit yang tertuang dalam Kepmenkes RI No. 856/

Menkes/ SK/ IX/ 2009. Untuk meningkatkan kualitas IGD di Indonesia, perlu

adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dengan

cara ikut serta dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa dalam

penanganan kegawatdaruratan dan life saving tidak ditarik uang muka dan

penanganan gawat darurat harus dilakukan 5 menit setelah pasien sampai di IGD

(Hidayati, 2014).

2.2.2 Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat

Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan keperawatan yang berada

pada area khusus atau spesialisi dalam keperawatan yang memiliki peran dan

fungsi sebagai berikut:

1. Pemberi pelayanan kesehatan (direct care provider), keperawatan

langsung pada klien dan keluarga yang mengalami masalah kesehatan

karena sakit akut, kritis dan labil, cedera. Serta memberikan pelayanan

kesehatan atau perawatan langsung pada keluarga, kelompok pasien dan

masyarakat yang membutuhkan karena mengalami masalah kesehatan oleh

karena berbagai sebab,


20

2. Manajer klinis (leadership), perawat gawat darurat dapat berperan sebagai

administrator atau manajer klinik atau unit gawat darurat yang bekerja

untuk meningkatkan pelayanan kesehatan gawat darurat,

3. Pendidik (educator), perawat gawat darurat berperan sebagai pembimbing

klinik pada peserta didik keperawatan, dan dalam upaya peningkatan

kesehatan dan pencegahan cedera atau injury melalui program pendidikan

kesehatan masyarakat,

4. Peneliti (researcher), perawat gawat darurat berperan sebagai peneliti di

area kesehatan terkait pelayanan gawat darurat,

5. Praktik kolaboratif (collaborative practice), berperan untuk membangun

koalisi antar profesi dan melakukan praktik kolaboratif untuk

mengoptimalkan hasil dan pelayanan klinis yang diberikan (Patrick &

Fazio, 2018).

2.2.3 Alur Pasien Instalasi Gawat Darurat

Alur pasien Instalasi Gawat Darurat berdasarkan standar operasional

prosedur di Rumah Sakit adalah tata cara penerimaan dan pelayanan pasien di

Instalasi Gawat Darurat agar pasien tertangani dengan tepat, cepat dan konsisten

sesuai dengan triase. Tujuan dari alur pasien IGD adalah memastikan bahwa

pelayanan dan penanganan pasien di Instalasi Gawat Darurat dilakukan sesuai

dengan kategori triase Rumah Sakit Premier Surabaya. Prosedur alur pasien

Instalasi Gawat Darurat (Kebijakan RS Premier Surabaya, 2015a) adalah sebagai

berikut:
21

1. Perawat atau dokter terlatih melakukan triase saat pasien datang ke

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Premier Surabaya, ditangani sesuai

dengan tingkat kegawatannya,

2. Perawat atau dokter IGD menempatkan pasien kategori triase 1, untuk

pasien yang akan dilakukan resusitasi dan aktifkan sistem code blue sesuai

dengan prosedur,

3. Perawat atau dokter memberitahu pasien atau keluarga dengan kategori

triase 2 – 4, untuk dilakukan pendaftaran di IGD,

4. Pasien dengan triase 5, pasien dipersilahkan untuk periksa ke poli umum,

5. Dokter jaga IGD akan melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang (bila diperlukan), kemudian menentukan diagnosa dan

melakukan pemberian obat dan tindakan yang sesuai dengan kondisi

pasien kemudian melakukan evaluasi hasil tindakan dan

mendokumentasikan hasil pemeriksaan di rekam medis pasien yang

terdapat dalam trackcare,

6. Perawat atau dokter IGD pasien triase 1 yang dilakukan resusitasi bila

berhasil pasien akan diproses untuk rawat inap sesuai dengan indikasi dan

pasien triase 2 – 4 yang sudah dilakukan pemeriksaan oleh dokter jaga dan

dinyatakan pasien perlu rawat inap sesuai dengan kondisi pasien di ruang

rawat inap atau ruang perawatan intensif sesuai dengan kriteria masuk,

7. Setiap pasien yang rawat inap akan dilakukan screening khusus meliputi

swine flu, Ebola, H5N1, MERS. Pemeriksaan lab dasar yaitu DL, SGOT,

SGPT, Ureum, Creatinin, Serum Elektrolit, GDA. Usia > 35 tahun

dilakukan rekam jantung EKG, dan untuk usia > 40 tahun dilakukan foto
22

thorax. Saat ini screening tambahan yang dilakukan jika pasien ada

riwayat demam dan batuk pilek, pasien dilakukan pemeriksaan diruang

isolasi di IGD, dan dilakukan prosedur swab nasofaring jika pasien akan

rawat inap,

8. Bila pasien post MRS dari luar negeri dan rawat inap selama 7 hari di RS

dalam negeri wajib untuk di lakukan pemeriksaan MRSA,

9. Pasien atau keluarga dipersilahkan untuk melakukan pendaftaran rawat

inap. Waktu yang dibutuhkan untuk proses pemeriksaan fisik sampai

pasien siap untuk diantar ke ruang rawat inap adalah 90 menit sesuai

dengan indikator mutu ruang Instalasi Gawat Darurat RS Premier

Surabaya,

10. Perawat atau dokter IGD melakukan resusitasi pada pasien triase 1 jika

tidak berhasil dan dinyatakan meninggal oleh dokter jaga, pasien

dipulangkan sesuai prosedur pasien pulang dari rumah sakit,

11. Perawat atau dokter IGD menjelaskan kepada pasien atau keluarga, apabila

ruang rawat inap penuh, fasilitas tidak tersedia atas permintaan pasien atau

keluarga akan dirujuk ke rumah sakit lain sesuai dengan prosedur rujuk ke

rumah sakit lain,

12. Perawat atau dokter IGD, dalam keadaan bencana masal lakukan prosedur

sesuai dengan waspada bencana dari luar rumah sakit.


23

Petugas Triase Dokter jaga IGD Catatan:


Kasir IGD
Penempatan
Pasien Melakukan
Melakukan Pendaftaran pasien sesuai
skrining triase pengkajian triase, dengan
IGD
identifikasi keadaan
awal pasien dan Kategori triase:
catat dalam Triase bed 1 resusitasi,
dan Pengkajian IGD bed 2-4 kasus
bedah, non bedah
atau observasi

1 2 3 4 5
Penanganan Pengkajian dan Pengkajian dan Pengkajian dan Pengkajian dan
dan penanganan penanganan penanganan penanganan
pengkajian dalam waktu dalam waktu dalam dalam waktu 120
segera 10 (sepuluh) 30 (tiga puluh) waktu 60 (enam (seratus dua
menit menit puluh) menit puluh) menit

Pasien masuk Pasien masuk


IGD Poli Umum

Petugas IGD

Aktifkan Dokter Jaga


Prosedur 1. Pemeriksaan fisik
Kegawat 2. Penunjang (bila diperlukan)
Daruratan (Code 3. Tentukan diagnosa dan edukasi
Blue) 4. Melakukan pemberian obat dan atau tindakan
yang sesuai
5. Evaluasi hasil tindakan dan atau pemberian obat
6. Dokumentasikan hasil pemeriksaan di rekam
medis pasien melalui trackcare

Ya Ya
Screening
Pasien perlu
Berhasil khusus
dirawat

Tidak Tidak
Pendaftaran rawat
inap
Pembayaran
Meninggal Administrasi rawat
Jalan
Ruang rawat inap

Pulang Rujuk

Gambar 2.3 Alur Pasien Instalasi Gawat Darurat RS Premier Surabaya (SOP RS
Premier Surabaya Modified).
24

2.2.4 Triase

Kata triase berasal dari bahasa Perancis trier, yang berarti memilah atau

memilih. Saat ini, triase rumah sakit mengacu pada pemilahan cepat pasien yang

datang ke IGD untuk mendapatkan perawatan (Gilboy, 2018).

1. Pengertian Triase

Triase merupakan salah satu keterampilan keperawatan yang harus

dimiliki oleh perawat unit gawat darurat dan hal ini yang membedakan antara

perawat unit gawat darurat dengan perawat unit khusus lainnya. Karena harus

dilakukan dengan cepat dan akurat maka diperlukan perawat yang berpengalaman

dan kompeten dalam melakukan (Pitang et al, 2016).

Triase adalah seleksi terhadap tingkat kegawat daruratan atas kondisi

pasien yang dilakukan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tujuan dilakukan

triase adalah untuk mengidentifikasi keadaan pasien dengan kebutuhan darurat,

mendesak atau segera sehingga pasien dapat diperiksa segera mungkin oleh dokter

dan mendapat asuhan.

2. Sistem Triase di Rumah Sakit

Saat ini, sebagian besar IGD menggunakan bermacam – macam jenis

sistem triase. Sistem tersebut memiliki perbedaan mendasar dalam hal siapa yang

melakukan triase, kedalaman pengkajian, dan jumlah informasi yang diperlukan

dari pasien. Rumah Sakit Premier Surabaya menggunakan Australasian Triage

Scale (ATS) dalam melakukan triase pada pasien di IGD. Australasian Triage

Scale (ATS) merupakan skala yang digunakan untuk mengukur urgensi klinis

sehingga paten terlihat pada waktu yang tepat, sesuai dengan urgensi klinisnya

(Dalgleish et al, 2007). Australasian Triage Scale (ATS) dirancang untuk


25

digunakan di rumah sakit berbasis layanan darurat di seluruh Australia dan

Selandia Baru. ATS adalah skala untuk penilaian kegawatan klinis atau kondisi

yang spesifik dengan tingkat kegawatan tertentu. Selain menetapkan level

kegawatan individu, skala ini telah digunakan untuk memeriksa kasus silang dan

untuk menghubungkan antara level triase dan pengukuran lainnya seperti waktu

tunggu di IGD, jumlah pasien yang dirawat di ICU, dan penggunaan sumber daya

(Gilboy, 2018).

Target waktu untuk dilakukan evaluasi objektif oleh dokter pada masing –

masing kategori. Waktu periksa adalah interval maksimum pasien harus

menunggu untuk pengkajian lebih lanjut dan mendapatkan intervensi medis. Lama

waktu tunggu dihitung mulai dari pasien tiba di IGD. Perawat triase memilih

kategori ATS berdasarkan justifikasi profesionalnya terhadap pernyataan: “Pasien

ini harus menunggu pengkajian dan intervensi medis dan tidak lebih dari….

menit/ jam”.

Tabel 2.1 Kategori Australasian Triage Scale


SKALA TRIASE RESPON TIME KETERANGAN
SKALA 1 Segera Resusitasi
SKALA 2 10 menit Emergensi/ Gawat
SKALA 3 30 menit Urgent/ Darurat
SKALA 4 60 menit Semi Urgent
SKALA 5 120 menit Non Urgent
Sumber: Australian Government Department of Health and Aging, 2009

Adapun penjelasan dari kategori skala triase berdasarkan Kebijakan RS

Premier Surabaya, 2015b, akan dibahas sebagai berikut :

1. Skala 1

Kondisi yang mengancam jiwa dan membutuhkan tindakan segera.

Deskripsi klinis dari skala triase 1 meliputi henti jantung, henti nafas, risiko

terhadap jalan nafas yang mengakibatkan henti nafas, respiratory rate < 10
26

x/menit, extreme respiratory distress, tekanan darah sistol < 80 mmHg (dewasa)

atau shock pada anak – anak, tidak ada respon atau respon terhadap nyeri saja

(GCS < 9), kejang yang berlangsung atau berkepanjangan, overdosis obat yang

diberikan secara iv, pasien tidak ada respon atau hipoventilasi, dan gangguan

kepribadian, serta perilaku yang berbahaya yang berpotensi mengancam jiwa

dalam waktu segera.

2. Skala 2

Kondisi pasien cukup serius atau menurun begitu cepat yang berpotensi

mengancam jiwa atau kegagalan sistem organ bila tidak dilakukan tindakan dalam

waktu 10 menit dari kedatangan. Deskripsi Klinis dari skala triase 2 meliputi

stridor dengan distress nafas, severe respiratory distress, gangguan sirkulasi yang

ditandai dengan akral dingin basah, heart rate < 50 atau > 150 (dewasa), hipotensi

dengan gangguan hemodinamik, perdarahan hebat, dan nyeri dada karena jantung.

Nyeri yang hebat yang disebabkan banyak hal, gula darah < 2 mmol/l (< 35

mg/dl), ngorok, penurunan kesadaran yang disebabkan banyak hal (GCS < 13),

hemiparese atau dysphasia akut, panas disertai kelemahan badan pada semua

umur, mata terpapar cairan asam atau alkali yang memerlukan irigasi, multiple

trauma, severe trauma – major trauma (amputasi), riwayat risiko tinggi yang

ditandai dengan tertelan bahan sedative dan bahan toxic secara signifikan,

keracunan bahan berbahaya, dan nyeri hebat yang berhubungan dengan pre

eclampsia, aneurysma aorta abdominal dan ectopic pregnancy. Inpartu dengan

frekuensi his 2 – 3 menit. Perilaku atau psikiatrik yang ditandai dengan kasar atau

agresif, melukai diri sendiri atau orang lain, membutuhkan atau telah dilakukan

restrain, dan agitasi berat atau menyerang.


27

3. Skala 3

Kondisi pasien dapat memburuk atau dapat mengancam jiwa bila tindakan

pemeriksaan dan pengobatan tidak dilakukan dalam waktu 30 menit dari

kedatangan. Deskripsi klinis skala triase 3 meliputi severe hipertensi, perdarahan

moderately severe apapun penyebabnya, nafas pendek – pendek, sesak nafas

dengan SpO2 90 – 95%, gula darah > 16 mmol/l (> 285 mg/dl), kejang (sekarang

sudah sadar), panas dengan kondisi imunosupresi pada pasien onkologi, terapi

steroid, muntah terus menerus, dehidrasi, trauma kepala riwayat pingsan tapi

sekarang sadar, nyeri sedang ke berat, sebab apapun, dan membutuhkan analgesik.

Nyeri dada yang mungkin bukan jantung dan keparahannya sedang, kolik

abdomen tanpa tanda – tanda risiko tinggi, keparahannya sedang atau usia pasien

> 65 tahun, perubahan sensasi anggota gerak, tidak adanya nadi mendadak,

trauma riwayat risiko tinggi dengan tidak ada risiko tinggi yang lainnya, neonatus

stabil, anak – anak dengan risiko, perilaku atau psikiatrik yang ditandai dengan

sangat stres, risiko mencederai diri sendiri, psikotik akut atau gangguan berpikir,

krisis situasional, membahayakan diri sendiri dengan sengaja, dan agitasi atau

penarikan diri atau potensial agresif.

4. Skala 4

Ada potensial untuk hasil yang tidak baik jika waktu pengobatan kritis

tidak dilaksanakan dalam waktu 60 menit atau 1 jam. Deskripsi klinis dari skala

tiase 4 meliputi perdarahan ringan, aspirasi benda asing tanpa distress pernafasan,

trauma dada tanpa fraktur atau distress nafas, sulit menelan tanpa distress nafas,

trauma kepala tanpa riwayat pingsan, vomiting dan muntah terus menerus tanpa

dehidrasi, inflamasi mata atau benda asing tapi penglihatan masih jelas, minor
28

trauma, sprain ankle, kemungkinan fraktur, laserasi dengan tanda – tanda vital

normal, nyeri ringan atau sedang, pemasangan gips yang terlalu kencang tetapi

tidak ada gangguan neurovascular, radang sendi, nyeri perut yang tidak spesifik,

masalah kejiwaan yang bersifat semi urgent, memerlukan observasi dengan atau

tanpa risiko terhadap diri sendiri dan orang lain.

5. Skala 5

Kondisi pasien dengan keluhan kronis atau keluhan yang ringan dimana

hasil klinis yang diharapkan tidak terpengaruh bila pemeriksaan terlambat sampai

120 menit atau 2 jam dari kedatangan. Deskripsi klinis dari skala triase 5 meliputi

nyeri minimal tanpa ada risiko tinggi, riwayat risiko rendah dan sekarang tidak

ada keluhan, gejala ringan dari sakit yang sekarang, gejala ringan dari kondisi

risiko rendah, luka kecil – abrasi kecil, laserasi kecil (tanpa jahit luka), kontrol

sesuai jadwal: seperti evaluasi luka, dressing. Imunisasi, perilaku atau psikiatrik

yang ditandai dengan pasien yang diketahui dengan gejala yang kronis dan krisis

sosial.

2.2.5 Triase Pasien COVID-19

1. Pedoman Umum Triase Pasien COVID–19 di Instalasi Gawat Darurat

a. Pastikan tenaga kesehatan dan petugas di triase:

1) Memahami pentingnya alat perlindungan diri serta terlatih untuk

memilih dan menggunakan serta melepaskannya dengan benar,

2) Terlatih mengenali gejala – gejala infeksi COVID–19 dan

memberikan masker medis kepada kasus – kasus suspek,

3) Memahami kasus dan dapat menetapkan keputusan di titik triase

tempat bertugas,
29

4) Segera mengisolasi kasus suspek,

5) Selalu membersihkan tangan setiap kali melalukan kontak dengan

pasien atau keluarga.

b. Tempatkan informasi seperti poster dan brosur tentang cara

melakukan pencegahan penularan COVID–19 seperti cuci tangan dan

memakai masker.

c. Siapkan titik – titik cuci tangan lengkap dengan antiseptik alkohol

atau sabun dan air.

2. Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID–19

Infeksi COVID–19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat

bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan

syok septik. Deteksi dini manifestasi klinis dapat menentukan secara tepat

penerapan tatalaksana dan level penempatan pasien sesuai kondisinya. Pasien

dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk

perburukan yang cepat sesuai dengan pertimbangan medis. Semua pasien yang

pulang ke rumah harus memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami

perburukan. Pertimbangkan COVID–19 sebagai etiologi ISPA berat.

Pengkajian triase primer berbeda dengan triase sekunder. Pengkajian triase

primer berfokus pada keluhan awal pasien datang ke IGD dan riwayat kontak

dengan pasien COVID–19 atau riwayat ke tempat terindikasi COVID–19.

Pengkajian di triase sekunder IGD ISPA dapat memakai list manisfestasi klinis

COVID–19 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan Pedoman Rev 4.0 serta

Early Warning System skrining COVID–19 untuk menetapkan tindakan yang

dilakukan.
30

3. Alur Triase Pasien di IGD

a. Siapkan triase primer (initial) di pintu masuk di IGD sebelum masuk

ruang tunggu untuk skrining awal pasien terhadap COVID–19. Bedakan

antara ruang IGD ISPA dengan IGD non ISPA. Hal ini membatasi

kemungkinan penularan infeksi melalui pusat pelayanan kesehatan.

b. Kaji pasien:

1) Keluhan datang ke IGD,

2) Riwayat kontak dengan penderita COVID–19,

3) Riwayat berpergian ke area terindikasi COVID–19.

c. Pasien dengan keluhan non ISPA dan tanpa riwayat kontak dengan

penderita COVID–19 atau riwayat berpergian ke area terindikasi

COVID–19 maka rujuk ke IGD non ISPA untuk dilakukan pengkajian

dan treatmen sesuai kondisi.

d. Pasien tanpa keluhan namun memiliki riwayat kontak dengan penderita

COVID–19 atau riwayat berpergian ke area terindikasi COVID–19

maka dianjurkan ke poli ISPA untuk skrining COVID–19.

e. Pasien dengan keluhan gangguan pernapasan mengarah ke COVID–19

dan riwayat kontak dengan penderita COVID–19 atau berpergian ke

area terindikasi COVID–19 maka diarahkan ke IGD ISPA.

f. Pada IGD ISPA, dilakukan triase sekunder, kaji kondisi pasien.

Gunakan list manisfestasi klinis Kemkes Rev 4.0 atau EWS skrining

COVID–19.

g. Berdasarkan tingkat kondisi pasien kolaborasikan penempatan dan

tindakan yang perlu dilakukan.


31

Tabel 2.2 Pengkajian Triase Primer


Komponen Pengkajian
Batuk/sakit tenggorokan/hidung tersumbat Ya Tidak
Sesak/peningkatan frekuensi napas/SpO2 <90% Ya Tidak
Demam Ya Tidak
Riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi Ya Tidak
Riwayat perjalanan dari negara/wilayah transmisi Ya Tidak
local
Sumber: (HIPGABI, 2020)

Gambar 2.3 Algoritme Triase Pada Masa COVID–19 di Instalasi Gawat Darurat
(Sumber: HIPGABI, 2020)
32

2.2.6 Deteksi COVID–19 Sesuai dengan Manifestasi Klinis COVID–19

Berikut manifestasi klinis yang dapat dijadikan dasar untuk mendeteksi

pasien yang terinfeksi COVID–19:

Tabel 2.3 Manifestasi Klinis yang Berhubungan dengan Infeksi COVID–19


Uncomplicated Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk,
illness nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit
kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan
immunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.

Pneumonia ringan Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia
berat. Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk
atau kesulitan bernapas, napas cepat: frekuensi napas: < 2
bulan, ≥ 60 x/menit; 2 – 11 bulan ≥ 50 x/menit, 1 – 5
tahun, ≥ 40 x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat.

Pneumonia berat/ Pasien remaja atau dewasa


ISPA berat Ditandai dengan demam atau dalam pengawasan infeksi
saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas > 30
x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen
(SpO2) < 90% pada udara kamar.
Pasien anak
Ditandai dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah
setidaknya satu dari tanda berikut ini:
1. Sianosis sentral atau SpO2 < 90%,
2. Distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan
dinding dada yang berat),
3. Tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui
atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau
kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada,
takipnea: < 2 bulan ≥ 60 x/menit, 2 – 11 bulan ≥ 50
x/menit, 1 – 5 tahun ≥ 40 x/menit, > 5 tahun ≥ 30
x/menit.

Acute Respiratory Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu
Distress Syndrome minggu.
(ARDS) Pencitraan dada (CT scan thoraks, atau USG paru):
opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal
jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif
(seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa
penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak
ditemukan faktor risiko.
33

Kriteria ARDS pada dewasa:


1. ARDS ringan: 200 mmHg < PaO2 atau FiO2 ≤ 300
mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway
pressure (CPAP) ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi),
2. ARDS sedang: 100 mmHg < PaO2 atau FiO2 ≤ 200
mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi),
3. ARDS berat: PaO2 atau FiO2 ≤ 100 mmHg dengan
PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi),
4. Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2 atau FiO2 ≤ 315
mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak
diventilasi).
Kriteria ARDS pada anak berdasarkan Oxygenation
Index dan Oxygenation Index menggunakan SpO2:
1. PaO2 atau FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2 atau FiO2 ≤
264: Bilevel noninvasive ventilation (NIV) atau CPAP
≥ 5 cmH2O dengan menggunakan full face mask,
2. ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ Oxygenation
Index (OI) < 8 atau 5 ≤ OSI < 7,5,
3. ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI < 16 atau 7,5
≤ OSI < 12,3,
4. ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥
12,3.

Sepsis Sepsis Pasien dewasa:


Disfungsi organ yang mengancam nyawa disebabkan
oleh disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau
terbukti infeksi. Tanda disfungsi organ meliputi:
perubahan status mental atau kesadaran, sesak napas,
saturasi oksigen rendah, urin output menurun, denyut
jantung cepat, nadi lemah, ekstremitas dingin atau
tekanan darah rendah, peteki atau purpura atau mottled
skin, atau hasil laboratorium menunjukkan koagulopati,
trombositopenia, asidosis, laktat yang tinggi, hiper
bilirubinemia.
Pasien anak:
Dikategorikan sepsis jika terdapat lebih dari dua (≥ 2)
kriteria untuk systemic inflammatory response syndrome
(SIRS), dan disertai salah satu dari: suhu tubuh abnormal
atau jumlah sel darah putih abnormal.

Syok Septik Syok septik Pasien dewasa:


Hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk
mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥ 65
mmHg dan kadar laktat serum > 2 mmol/l.
34

Pasien anak:
Hipotensi (TDS < persentil 5 atau > 2 SD di bawah
normal usia) atau terdapat 2 – 3 gejala dan tanda berikut:
perubahan status mental atau kesadaran, takikardia atau
bradikardia (HR < 90 x/menit atau > 160 x/menit pada
bayi dan HR < 70 x/menit atau > 150 x/menit pada anak),
waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (> 2
detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse,
takipnea, mottled skin atau ruam peteki atau purpura,
peningkatan laktat, oliguria, hipertermia atau hipotermia.

Sumber: (HIPGABI, 2020).

2.2.7 Skor Peringatan Dini (EWS Skrining) COVID-19: Alat Skrining

Multi-Parameter Untuk Mengidentifikasi Pasien Yang Diduga Tinggi

COVID-19

Praktik di lapangan menunjukkan bahwa deteksi pasien yang dicurigai

COVID–19 tetap menjadi masalah. Hal ini terjadi karena kekurangan alat deteksi

nukleat asam SARS-CoV-2 dan hasil negatif palsu yang disebabkan oleh berbagai

alasan, seperti kualitas sampel yang diambil, jumlah virus dan tahap penyakit.

Akibat kurangnya alat, maka para ahli telah mengusulkan cara skrining yang

akurat untuk pasien yang dicurigai COVID–19 dengan pemeriksaan CT scan paru.

Namun, skrining berdasarkan temuan CT scan paru sangat tergantung pada

pengalaman dokter dan efektivitasnya masih terbatas karena pada pasien COVID–

19 ringan sering tidak ditemukan pneumonia pada pencitraan, atau atipikal. Dalam

mengatasi hal tersebut dibuatlah skor peringatan dini (EWS COVID–19) yang

mudah didapat untuk skrining COVID–19. Penilaian dengan menggunakan EWS

COVID–19 memungkinkan tenaga kesehatan untuk mendeteksi lebih cepat dan

relatif akurat mendeteksi pasien COVID–19, terutama ketika kapasitas deteksi

nukleat relatif kurang. Pemakaian EWS COVID–19 hampir sama dengan

pemakaian EWS yang telah dilakukan di pelayanan kesehatan. Early Warning


35

Score (EWS) digunakan sebagai skrining apakah pasien memiliki kemungkinan

besar COVID–19.

Tabel 2.4 Early Warning Score (EWS) Skrining Covid–19


Paramater Pengkajian Skor
Tanda pneumonia dengan CT Scan Paru Ya 5
Riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi Ya 5
COVID–19
Demam Ya 3
Usia ≥ 44 tahun 1
Jenis Kelamin Laki-laki 1
Suhu maksimal (diukur sejak onset sampai ke RS > 37.8⁰C (100⁰ F) 1
Gejala gangguan respirasi (batuk, dahak dan > 1 gejala 1
dispnea)
Rasio neutrofil dan limfosit > 5,8 1 1
Pasien dicurigai tinggi COVID–19
Referensi: (Song, C. Y., Xu, J., He, J. Q., & Lu, 2020).

2.2.8 Penanganan Pasien COVID–19 di Instalasi Gawat Darurat

2.2.8.1 Terapi Suportif Dini dan Pemantauan

1. Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat

dan distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.

a. Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 lpm dengan nasal

kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥ 90% pada anak

dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 ≥ 92% – 95%

pada pasien hamil.

b. Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau

apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma,

atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama resusitasi

untuk mencapai target SpO2 ≥ 94%.

c. Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse

oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan


36

semua alat – alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul,

sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir)

harus digunakan sekali pakai.

d. Terapkan pemakaian alat pelindung diri level 3 dan

kewaspadaan kontak saat memegang alat – alat untuk

menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana,

sungkup dengan kantong reservoir) untuk pasien dalam

pengawasan atau terbukti COVID–19 karena dapat

menyebabkan aerosolisasi.

2. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA

berat tanpa syok. Pasien dengan ISPA berat harus hati – hati dalam

pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat

memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan

ketersediaan ventilasi mekanik.

3. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada

kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan

antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.

Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis

(pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis),

epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi

empirik harus di de-ekskalasi (diturunkan dosisnya) apabila sudah

didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.


37

4. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk

pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis

kecuali terdapat alasan lain.

Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat

menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA

berat/ SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi

baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena

itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan

lain.

5. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang

mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan

intervensi perawatan suportif secepat mungkin.

6. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan

pengobatan dan penilaian prognosisnya. Perlu menentukan terapi

mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan

sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan keluarga

dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.

7. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan

penyesuaian dengan fisiologi kehamilan. Persalinan darurat dan

terminasi kehamilan menjadi tantangan dan perlu kehatihatian serta

mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi

ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak

dan konsultan intensive care.


38

2.2.8.2 Manajemen Gagal Napas, Hipoksemi dan ARDS

1. Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress

pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar. Pasien dapat

mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi walaupun

telah diberikan oksigen melalui sungkup tutup muka dengan kantong

reservoir (10 sampai 15 lpm, aliran minimal yang dibutuhkan untuk

mengembangkan kantong FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas

hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi –

perfusi atau pirau/ pintasan (shunt) dan biasanya membutuhkan

ventilasi mekanik.

2. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan

berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi

airborne. Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas atau

hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi.

Pasien dilakukan pre oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi

Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan

kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan kemudian

dilanjutkan dengan intubasi. Untuk keamanan saat intubasi hentikan

kompresi saat RJP dan juga bisa digunakan headbox untuk melindungi

dari kontaminasi.
39

Gambar 2.5 Headbox Intubasi


Sumber: VUMC Emergency Medicine COVID–19 Intubation/AGP
Acrylic Box Frame and Technique.

3. Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4 – 8

ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/ PBW) dan

tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau < 30 cmH2O).

Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan pada

pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.

a. Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60],

wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60],

b. Pilih mode ventilasi mekanik,

c. Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal = 8

ml/kg PBW,

d. Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu ≤

2 jam sampai mencapai tidal volume = 6 ml/kg PBW,

e. Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari

35 x/menit),

f. Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH dan

tekanan plateau.
40

Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30 – 7,45. Protokol ventilasi

mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk

mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediksi

peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat menggunakan

tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau – PEEP) di bandingkan

dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.

4. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi

jaringan. Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat

mempersingkat penggunaan ventilator.

5. Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan

menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah. Titrasi

PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat (mengurangi

atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen alveolar) dan risiko

(tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang menyebabkan cedera

parenkim paru dan resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi).

Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan

untuk mempertahankan SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers

(RMs) dilakukan secara berkala dengan CPAP yang tinggi (30 – 40cm

H2O), peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang

konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan

manfaat dan risiko.

6. Pada pasien ARDS sedang – berat (td2/ FiO2 < 150) tidak dianjurkan

secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.


41

7. Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien

karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis.

Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal tube

ketika terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien (misalnya,

ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).

2.3 Konsep Pneumonia

2.3.1 Pengertian Pneumonia

Menurut Brunner & Suddarth (2011) pneumonia adalah inflamasi

parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai mikro organisme, termasuk

bakteria, mikobakteria, jamur, dan virus. Pneumonia diklasifikasikan sebagai

pneumonia didapat di komunitas (community – acquired pneumonia [CAP]),

pneumonia didapat di rumah sakit (nosokomial) (hospital – acquired pnuemonia

[HAP]), pneumonia pada pejamu yang mengalami luluh imun, dan pneumonia

aspirasi. Terjadi pada tumpang tindih dalam pengelompokan pneumonia tertentu,

karena pneumonia dapat terjadi pada tatanan yang berbeda. Mereka yang berisiko

mengalami pneumonia sering kali menderita penyakit kronis utama, penyakit akut

berat, sistem imun yang tertekan karena penyakit atau medikasi, imobilitas, dan

faktor lain yang mengganggu mekanisme perlindungan paru normal, lansia juga

berisiko tinggi pneuumonia.

Menurut Nurarif & Kusuma (2016) pneumonia adalah salah satu penyakit

infeksi peradangan akut parenkim paru yang biasanya dari suatu infeksi saluran

pernafasan bawah akut (ISNBA) dengan batuk dan disertai sesak nafas
42

disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi) dan aspirasi

substansi asing, berupa radang paru – paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi.

Pneumonia merupakan salah satu penyakit paru – paru yang disebabkan

oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Kantung udara dipenuhi oleh cairan

sehingga menyebabkan sesak dan batuk berdahak (Maysanjaya, 2020).

2.3.2 Klasifikasi Pneumonia

Menurut Nurarif & Kusuma (2016), klasifikasi pneumonia terbagi

berdasarkan anatomi, yaitu:

1. Pneumonia lobularis, melibat seluruh atau suatu bagian besar dari satu atau

lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena maka dikenal sebagai

pneumonial bilateral atau ganda,

2. Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir

bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk

bercak konsulidasi dalam lobus yang berada didekatnya,

3. Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi didalam

dinding alveolar (interstinium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan:

1. Pneumonia komunitas dijumpai pada H. Influenza pada pasien perokok,

pathogen atipikal pada lansia, Gram negative pada pasien di rumah jompo,

dengan adanya PPOK, Penyakit penyerta kardiopulmonal, atau paksa

antibiotika spectrum luas.

2. Pneumonia Nosokomial tergantung pada tiga faktor yaitu: tingkat berat

sakit, adanya resiko untuk jenis patogen tertentu, dan masa menjelang

timbul onset pneumonia.


43

3. Pneumonia Aspirasi Disebabkan oleh infeksi kuman, Penumonitis kimia

akibat aspirasi bahan toksik, Akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan

makanan atau lambung, Edema paru, dan obstruksi mekanik simple oleh

bahan padat.

Pneumonia pada gangguan imun terjadi karena akibat proses penyakit dan

akibat terapi. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman pathogen

atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, Protozoa,

Parasit, Virus, Jamur, dan cacing.

2.3.3 Etiologi

Penyebab infeksi terjadi melalu droplet dan sering disebabkan oleh

streptococus pneumonia, melalui slang infus oleh staphylococcus aureus

sedangkan pada pemakaian ventilator oleh P. aeruginosa dan enterobacter. Dan

pada masa kini terjadi perubahan keadaan pasien seperti kekebalan tubuh dan

penyakit kronis, populasi lingkungan, penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

Setelah masuk ke paru – paru organisme bermultiplikasi dan, jika telah berhasil

mengalahkan mekanisme pertahanan paru, terjadi pneumonia. Menurut Nurarif &

Kusuma (2016) Selain diatas penyebab terjadinya pneumonia sesuai

penggolongannya yaitu:

1. Bacteria: diplococcus pneumonia, pneumococcus, streptococcus

hemolyticus, streptckoccus aureus, hemophilus influinzae, mycobacterium

tuberkulosis, bacillus friedlander.

2. Virus: Respiratory syncytial virus, adeno virus, virus sitomegalitik, virus

influenza.

3. Mycoplasma pneumonia
44

4. Jamur: Histoplasma capsulatum, crytococcus neuroformans, blastomyces

dermatitides, coccidodiesnimmitis, aspergilus species, candida albicans.

5. Aspirasi: makanan, cairan amnion, benda asing.

Faktor Resiko Menurut Jeremy (2008) ada beberapa faktor resiko

penyebab pneumonia, yaitu: Usia lebih dari 65 tahun, infeksi saluran pernafasan

atas, alkoholic, asap rokok mengganggu aktifitas mukosiliaris dan makrofag

alveolar, kekurangan nutrisi, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, penyakit

kronik menahun. Sedangkan menurut Ngastiyah (2015), faktor lain yang

mempengaruhi timbulnya pneumonia ialah daya tahan tubuh yang menurun

misalnya akibat Malnutrisi Energi Protein (MEP), penyakit menahun, trauma pada

paru, anestesia, aspirasi, dan pengobatan dengan antibiotik yang tidak sempurna.

2.3.4 Manifestasi Klinis

Menurut Brunner & Suddarth (2011) gambaran klinis beragam,

bergantung pada organisme penyebab dan penyakit pasien, diantaranya yaitu:

1. Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjadi demam (38,5°C

sampai 40,5°C).

Hipertermia dapat disebabkan karena adanya proses inflamasi di dalam

paru sebagai respon masuknya organisme pathogen, Bila suatu partikel

dapat mencapai paru – paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan

makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik dan

humoral. Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu

mekanisme pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius

terbawah melalui aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen


45

mencapai akhir bronkiolus maka terjadi penumpahan dari cairan edema ke

alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar (Nugroho, 2011).

2. Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk.

3. Pasien yang sakit parah mengalami takipnea berat (25 sampai 45 kali

pernafasan/menit) dan dispnea, ortopnea ketika tidak disangga.

4. Nadi cepat dan memantul, dapat meningkat sepuluh kali/ menit per satu

derajat peningkatan suhu tubuh (Celsius).

5. Bradikardia relatif untuk tingginya demam menunjukkan infeki virus,

inveksi mikoplsama, atau infeksi organisme legionella.

6. Tanda lain: infeksi saluran nafas atas, sakit kepala, demam derajat rendah,

nyeri pleuritik, mialgia, ruam, faringitis; setelah beberapa hari, spurum

mukoid atau mukopurulen dikeluarkan.

7. Pneumonia berat; pipi memerah; bibir dan bantalan kuku menunjukkan

sianosis sentral.

8. Sputum purulen, berwarna seperti karat, bercamur darah, kental, atau

hijau, bergantung pada agens penyebab.

9. Nafsu makan buruk, pasien mengalami diaforesis dan mudah lelah.

Tanda dan gejala penumonia dapat juga bergantung pada kondisi utama

pasien (misalnya, tanda berbeda dijumpai pada pasien dengan kondisi

seperti kanker, dan pada mereka yang menjalani terapi imunosupresan,

yang menurunkan resistansi terhadap infeksi).

2.3.5 Patofisiologi

Pneumonia bakterialis dapat menyebabkan gangguan pada fungsi ventilasi

maupun difusi paru – paru. Reaksi inflamasi yang dilakukan oleh bakteri terjadi
46

pada alveolus dan menghasilkan eksudat dan menganggu gerakan dan difusi

oksigen serta karbondioksida. Sel – sel darah putih bermigrasi ke alveolus dan

mengisi ruang alveolus yang biasanya berisi udara. Area paru tidak mendapat

ventilasi yang cukup karena sekresi, edema mukosa, dan bronkospasme yang

menyebabkan oklusi parsial bronkus atau alveolus dan mengakibatkan penurunan

tahanan oksigen alveolar (Smeltzer & Bare, 2002).

Adapun mekanisme yang terjadi pada alveolus meliputi empat tahapan

yang berurutan sebagai berikut (Price & Wilson, 2006).

1. Kongesti (4 sampai 12 jam pertama): Eksudat serosa masuk ke dalam


alveolus melalui pembuluh darah yang berdilatasi,
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): Paru – paru tampak merah dan

bergranula karena sel – sel darah merah, fibrin, dan leukosit

polimorfonuklear mengisi alveolus,

3. Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari): Paru – paru tampak kelabu karena

leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveolus yang

terserang,

4. Resolusi (7 sampai 11 hari): Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi

oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada struktur semula.

2.3.6 Komplikasi

Pneumonia dapat diatasi dengan terapi, namun pada beberapa kelompok

khususnya kelompok pasien risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa

komplikasi seperti bacteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan

bernapas. Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru

masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang

berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus


47

dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa

meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.

(Djojodibroto, 2013).

Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura

atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia umumnya

bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang disebabkan oleh

pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan sifatnya sesaat (efusi

parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme dalam

jumlah banyak beserta dengan nanah disebut empiema. Jika sudah terjadi

empiema maka cairan perlu di drainage menggunakan chest tube atau dengan

pembedahan. (Djojodibroto, 2013)

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan

pneumonia menurut (Nurarif & Kusuma, 2015)

1. Foto thoraks: mengidentifikasikan distribusi struktural. Gambaran

radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air

bronchogram, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran

kavitas.

2. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis.

3. Pemeriksaan gram atau kultur, sputum dan darah: untuk dapat

mengidentifikasi semua organisme yang ada.

Pemeriksaan dini c-reactive protein (CRP) serum 24 – 48 jam merupakan

uji laboratorium yang telah dikenal luas untuk mendiagnosis dan

memonitor berbagai proses infeksi dan inflamasi akut, termasuk


48

pneumonia. Almirall J, et al, (2004) melaporkan bahwa median kadar CRP

pada pasien yang sudah dikonfirmasi menderita pneumonia lebih tinggi

dibandingkan median CRP pada mereka yang tidak pneumonia (110,7

mg/L vs. 31,9 mg/L, p<0,05). Studi lainnya mendapatkan bahwa

sensitifitas CRP dalam mendiagnosis infeksi saluran napas bagian bawah

berkisar antara 10 – 98% dengan spesifisitas berkisar antara 44 – 99%.

Namun demikian, penelitian – penelitian tersebut tidak secara khusus

melibatkan pasien usia lanjut maupun melakukan analisis sub-grup pada

kelompok usia lanjut.

4. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme

khusus.

5. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas

berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.

6. Spirometrik statik: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.

7. Bronkoskopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.

2.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kasus pneumonia menurut Muttaqin (2012) antara lain:

a. Manajemen Umum terdiri dari:

1) Humidifikasi: humidifier atau nebulizer jika sekret yang kental

dan berlebihan.

2) Oksigenasi: jika pasien memiliki PaO2 < 60 mmHg.

3) Fisioterapi: berperan dalam mempercepat resolusi pneumonenia

pasti; pasien harus didorong setidaknya untuk batuk dan

bernafas dalam untuk memaksimalkan kemampuan ventilator.


49

4) Hidrasi: Pemantauan asupan dan keluaran; cairan tambahan

untuk mempertahankan hidrasi dan mencairkan sekresi.

b. Operasi

Thoracosintesis dengan tabung penyisipan dada: mungkin diperlukan

jika masalah sekunder seperti empiema terjadi.

c. Terapi Obat

Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi

karena hal itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi

secepatnya: Penicillin G untuk infeksi pneumonia staphylococcus,

amantadine, rimantadine untuk infeksi pneumonia virus. Eritromisin,

tetrasiklin, derivat tetrasiklin untuk infeksi pneumonia.

2.4 Konsep Covid–19

2.4.1 Pengertian COVID–19

Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit

mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang

diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti

Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory

Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID–19) adalah penyakit jenis

baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab

COVID–19 ini dinamakan Sars-CoV-2. (Kementrian Kesehatan RI, 2020).

Pneumonia Coronavirus Disease 2019 (COVID–19) adalah peradangan

pada parenkim paru yang disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome
50

coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Sindrom gejala klinis yang muncul beragam, dari

mulai tidak berkomplikasi (ringan) sampai syok septik (berat) (PDPI, 2020).

2.4.2 Surveilance dan Epidemiologi

Pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus COVID–19 yaitu

Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku

Perjalanan, Discarded, Selesai Isolasi, dan Kematian. Untuk Kasus Suspek, Kasus

Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, istilah yang digunakan pada pedoman

sebelumnya adalah Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan

(PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG) ) (Kementrian Kesehatan RI, 2020).

1. Kasus Suspek

Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:

a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14

hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau

tinggal di negara/ wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal,

b. Orang dengan salah satu gejala/ tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir

sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus

konfirmasi/probable COVID–19,

c. Orang dengan ISPA berat/ pneumonia berat yang membutuhkan

perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan

gambaran klinis yang meyakinkan.

2. Kasus Probable

Kasus suspek dengan ISPA Berat/ ARDS/ meninggal dengan gambaran

klinis yang meyakinkan COVID–19 dan belum ada hasil pemeriksaan

laboratorium RT-PCR.
51

3. Kasus Konfirmasi

Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID–19 yang

dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi

menjadi 2 yaitu: Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik), dan Kasus

konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)

4. Kontak Erat

Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau

konfirmasi COVID–19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

a. Kontak tatap muka/ berdekatan dengan kasus probable atau kasus

konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit

atau lebih,

b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi

(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain – lain),

c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable

atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar,

d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan

penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan

epidemiologi setempat (penjelasan sebagaimana terlampir).

Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik), untuk

menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus timbul

gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Pada kasus konfirmasi yang

tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak

dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen

kasus konfirmasi.
52

5. Pelaku Perjalanan

Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik)

maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

6. Discarded

Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-

PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut – turut dengan selang waktu

> 24 jam,

b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa

karantina selama 14 hari.

7. Selesai Isolasi

Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan

pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi

mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi,

b. Kasus probable/ kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang

tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak

tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi

menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan,

c. Kasus probable/ kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang

mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif,

dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan

gejala demam dan gangguan pernapasan.


53

8. Kematian

Kematian COVID–19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus

konfirmasi/ probable COVID–19 yang meninggal.

Gambar 2.6 Alur Manajemen Kesehatan Masyarakat


Sumber: (Kementrian Kesehatan RI, 2020).

2.4.3 Etiologi

Penyebab COVID–19 adalah virus yang tergolong dalam family

coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul

dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu:

protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike),

protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga

Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau

manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,

gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Coronavirus yang menjadi etiologi

COVID–19 termasuk dalam genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar


54

dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter 60 – 140 nm. Hasil analisis

filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama

dengan coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002 – 2004 silam,

yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of

Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab COVID–19 sebagai SARS-CoV-2.

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID–19 bertahan di atas

permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis – jenis coronavirus lainnya.

Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi – kondisi yang

berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan). Penelitian

(Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan

selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada

tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-

COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan

dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan

yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali

khlorheksidin).

2.4.4 Penularan Covid–19

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).

Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet

cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi

sumber penularan COVID–19 ini masih belum diketahui. Masa inkubasi COVID–

19 rata – rata 5 – 6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun dapat mencapai

14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari – hari pertama penyakit

disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi
55

dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala

(presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah studi

yang dilakukan Du Z et al, (2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan

penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode presimptomatik

karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau kontak dengan benda

yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang

tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah, akan

tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan. Berdasarkan studi

epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID–19 utamanya

ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada

jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter

> 5 – 10 μm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat

(dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya,

batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung)

atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan

permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh

karena itu, penularan virus COVID–19 dapat terjadi melalui kontak langsung

dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau

benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau

termometer). Dalam konteks COVID–19, transmisi melalui udara dapat

dimungkinkan dalam keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif

yang menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction

terbuka, pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi,

mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi


56

tekanan positif noninvasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Masih

diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara.

2.4.5 Manifestasi Klinis

Gejala – gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara

bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan

tetap merasa sehat. Gejala COVID–19 yang paling umum adalah demam (suhu >

38ºC), rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa

nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit

tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Menurut

data dari negara – negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan

mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk

pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan

mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah

1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress

Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multiorgan, termasuk gagal

ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia

(lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti

tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko

lebih besar mengalami keparahan (Kementrian Kesehatan RI, 2020).

2.4.6 Patofisiologi

Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan.

Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan

kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda,

kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang
57

ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat membawa

patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular tertentu. Kelelawar,

tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan untuk

Coronavirus. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber utama untuk

kejadian severe acute respiratorysyndrome (SARS) dan Middle East respiratory

syndrome (MERS) (PDPI, 2020).

Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus

tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah

menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk virus

ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus. Protein S

penentu utaman dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya

(Wang Z, 2020). Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel

host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat

ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus,

usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel

alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos.

20 Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA melalui

translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah

perakitan dan rilis virus (Fehr, 2015).

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian

bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah

itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus

dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel
58

gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul

penyakit sekitar 3 – 7 hari (PDPI, 2020).

2.4.7 Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan foto toraks, CT-scan thoraks, USG thoraks. Pada pencitraan

dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, lobar atau

kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass. Pada stage awal, terlihat bayangan

multiple plak kecil dengan perubahan intertisial yang jelas menunjukkan di perifer

paru dan kemudian berkembang menjadi bayangan multiple ground-glass dan

infiltrate di kedua paru. Pada kasus berat, dapat ditemukan konsolidasi paru

bahkan “white-lung” dan efusi pleura (jarang).

2) Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah

Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring).

Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan

endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal). Untuk pemeriksaan RT-PCR

SARS-CoV-2, (sequencing bila tersedia). Ketika melakukan pengambilan

spesimen gunakan APD yang tepat. Ketika mengambil sampel dari saluran napas

atas, gunakan swab viral (dakron steril atau rayon bukan kapas) dan media

transport virus. Jangan sampel dari tonsil atau hidung. Pada pasien dengan curiga

infeksi COVID–19 terutama pneumonia atau sakit berat, sampel tunggal saluran

napas atas tidak cukup untuk eksklusi diagnosis dan tambahan saluran napas atas

dan bawah direkomendasikan. Klinisi dapat hanya mengambil sampel saluran

napas bawah jika langsung tersedia seperti pasien dengan intubasi. Jangan

menginduksi sputum karena meningkatkan risiko transmisi aerosol. Kedua sampel


59

(saluran napas atas dan bawah) dapat diperiksakan jenis patogen lain. Bila tidak

terdapat RT-PCR dilakukan pemeriksaan serologi. Pada kasus terkonfirmasi

infeksi COVID–19, ulangi pengambilan sampel dari saluran napas atas dan bawah

untuk petunjuk klirens dari virus. Frekuensi pemeriksaan 2 – 4 hari sampai 2 kali

hasil negative dari kedua sampel serta secara klinis perbaikan, setidaknya 24 jam.

Jika sampel diperlukan untuk keperluan pencegahan infeksi dan transmisi,

spesimen dapat diambil sesering mungkin yaitu harian.

3) Bronkoskopi, Pungsi pleura sesuai kondisi,

4) Pemeriksaan kimia darah

a. Darah perifer lengkap

Leukosit dapat ditemukan normal atau menurun; hitung jenis limfosit

menurun. Pada kebanyakan pasien LED dan CRP meningkat.

Pada covid-19, pneumonia, sering terjadi peningkatan jumlah leukosit

sebagai respon terhadap peradangan akut. Sedangkan infeksi juga

dapat menyebabkan peningkatan jumlah CRP. Peradangan disebabkan

oleh penyakit menular, dan semakin banyak bukti yang mendukung

perannya yang penting dalam perkembangan berbagai pneumonia

virus, termasuk COVID-19 (Zhu N, et al, 2020)

b. Analisis gas darah

Kadar pH dalam analisa gas darah didapatkan 7.26 (7.340 – 7.440),

pCO2: 46.8 mmHg (35 – 45 mmHg), Pada pneumonia ditemukan

hipoksemia sedang atau berat, beberapa kasus tekanan parsial

karbondioksida (PCO2) meningkat dan pada stadium lanjut

menunjukkan asidosis respiratorik.(Luttfiya MN, Henley E, 2010).


60

c. Fungsi hepar (Pada beberapa pasien, enzim liver dan otot meningkat),

d. Fungsi ginjal,

e. Gula darah sewaktu,

f. Elektrolit,

g. Faal hemostasis ( PT/ APTT, d Dimer), pada kasus berat, Ddimer

meningkat,

h. Prokalsitonin (bila dicurigai bakterialis),

i. Laktat (Untuk menunjang kecurigaan sepsis).

5) Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas

(sputum, bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah. Kultur darah untuk

bakteri dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan

menunda terapi antibiotik dengan menunggu hasil kultur darah),

6) Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan)

(PDPI, 2020).

2.4.8 Komplikasi

Menurut (Yang et al, 2020) komplikasi utama pada pasien COVID-19

adalah ARDS, tetapi data dari 52 pasien kritis bahwa komplikasi tidak terbatas

ARDS, melainkan juga komplikasi lain seperti gangguan ginjal akut (29%), jejas

kardiak (23%), disfungsi hati (29%), dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain

yang telah dilaporkan adalah syok sepsis, koagulasi intravaskular diseminata

(KID) rabdomiolisis, hingga pneumomediastinum.

a. Pankreas

Menunjukkan bahwa ekspresi ACE2 pada beberapa orang, penyakit ini

dapat berkembang menjadi pneumonia, kegagalan multi organ, dan kematian.


61

Manifestasi neurologis termasuk kejang, stroke, ensefalitis, dan sindrom Guillain–

Barre. Komplikasi yang berhubungan dengan kardiovaskuler mungkin termasuk

gagal jantung, aktivitas listrik yang tidak teratur, pembekuan darah, dan

peradangan jantung. Di pankreas tinggi dan lebih dominan di sel eksokrin

dibandingkan endokrin. Hal ini juga diperkuat data kejadian pankreatitis yang

telah dibuktikan secara laboratorium dan radiologis. Bila ini memang

berhubungan, maka perlu perhatian khusus agar tidak berujung pada pankreatitis

kronis yang dapat memicu inflamasi sistemik dan kejadian ARDS yang lebih

berat. Namun, peneliti belum dapat membuktikan secara langsung apakah SARS-

CoV-2 penyebab kerusakan pankreas karena belum ada studi yang menemukan

asam nukleat virus di pankreas.

b. Miokarditis

Miokarditis fulminan telah dilaporkan sebagai komplikasi COVID–19.

Temuan terkait ini adalah peningkatan troponin jantung, myoglobin, dan n-

terminal brain natriuretic peptide. Pada pemeriksaan lain, dapat ditemukan

hipertrofi ventrikel kiri, penurunan fraksi ejeksi, dan hipertensi pulmonal.

Miokarditis diduga terkait melalui mekanisme badai sitokin atau ekspresi ACE2

di miokardium.

c. Kerusakan Hati

Peningkatan transaminase dan biliriubin sering ditemukan, tetapi

kerusakan liver signifikan jarang ditemukan dan pada hasil observasi jarang yang

berkembang menjadi hal yang serius. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada

kasus COVID–19 berat. Elevasi ini umumnya maksimal berkisar 1,5 - 2 kali lipat

dari nilai normal. Terdapat beberapa faktor penyebab abnormalitas ini, antara lain
62

kerusakan langsung akibat virus SARS-CoV-2, penggunaan obat hepatotoksik,

ventilasi mekanik yang menyebabkan kongesti hati akibat peningkatan tekanan

pada paru.

2.4.9 Penatalaksanaan

Terapi dan monitoring penatalaksanaan Covid–19 menurut (PDPI, 2020),

yaitu:

1) Isolasi pada semua kasus sesuai dengan gejala klinis yang muncul,

baik ringan maupun sedang,

2) Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI),

3) Serial foto thoraks untuk menilai perkembangan penyakit

4) Suplementasi oksigen

Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan, distress

napas, hipoksemia atau syok. Terapi oksigen pertama sekitar 5 lpm

dengan target SpO2 ≥ 90% pada pasien tidak hamil dan ≥ 92 – 95%

pada pasien hamil,

5) Kenali kegagalan napas hipoksemia berat,

6) Terapi cairan konservatif diberikan jika tidak ada bukti syok harus

diperhatikan dalam terapi cairannya, karena jika pemberian cairan

terlalu agresif dapat memperberat kondisi distress napas atau

oksigenasi. Monitoring keseimbangan cairan dan elektrolit,

7) Pemberian antibiotik empiris,

8) Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik, obat batuk dan

lainnya jika memang diperlukan,


63

9) Pemberian kortikosteroid sistemik tidak rutin diberikan pada

tatalaksana pneumonia viral atau ARDS selain ada indikasi lain,

10) Observasi ketat, dan pahami komorbid pasien.

Saat ini belum ada penelitian atau bukti talaksana spesifik pada COVID–

19. Belum ada tatalaksana antiviral untuk infeksi Coronavirus yang terbukti

efektif, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah

terapi simtomatik dan oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi

mekanik. National Health Commission (NHC) China telah meneliti beberapa obat

yang berpotensi mengatasi infeksi SARS-CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-

α), lopinavir/ ritonavir (LPV/r), ribavirin (RBV), klorokuin fosfat (CLQ/ CQ),

remdesvir dan umifenovir (arbidol). Selain itu, juga terdapat beberapa obat

antivirus lainnya yang sedang dalam uji coba di tempat lain. Selain China, Italia

juga sudah membuat pedoman penanganan COVID–19 berdasarkan derajat

keparahan penyakit:

1. Asimtomatis, gejala ringan, berusia < 70 tahun tanpa faktor risiko:

observasi klinis dan terapi suportif,

2. Gejala ringan, berusia > 70 tahun dengan faktor risiko dan bergejala

demam, batuk, sesak napas, serta rontgen menunjukkan pneumonia: LPV/r

200 mg/ 50 mg, 2 x 2 tablet per hari; atau Darunavir/ ritonavir (DRV/r)

800 mg/ 100 mg, 1 x 1 tablet per hari; atau Darunavir/ cobicistat 800 mg/

150 mg, 1 x 1 tablet per hari; DAN klorokuin fosfat 2 x 500 mg/hari atau

hidroksiklorokuin (HCQ) 2 x 200 mg/hari. Terapi diberikan selama 5 – 20

hari berdasarkan perubahan klinis,


64

3. Pada kasus membutuhkan terapi oksigen atau perburuk secara cepat, terapi

poin 2 dihentikan dan diganti remdesivir (RDV) 200 mg (hari 1)

dilanjutkan 100 mg (hari 2 – 10) dan klorokuin 2 x 500 mg/hari atau HCQ

200 mg, 2 kali perhari. Obat selama 5 – 20 hari, berdasarkan perubahan

klinis. Jika nilai Brescia-COVID respiratory severity scale (BCRSS) ≥ 2,

berikan deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10 mg/hari

selama 5 hari dan/atau tocilizumab,

4. Pneumonia berat, ARDS/ gagal napas, gagal hemodinamik, atau

membutuhkan ventilasi mekanik: RDV 200 mg (hari 1), 100 mg (hari 2 –

10); DAN klorokuin fosfat 2 x 500 mg/hari atau HCQ 2 x 200 mg/hari.

Kombinasi diberikan selama 5 – 20 hari. Jika RDV tidak tersedia, berikan

suspensi LPV/r 5 ml, 2 kali per hari atau suspensi DRV/r; DAN HCQ 2 x

200 mg/hari,

5. Terapi ARDS: deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10

mg/hari selama 5 hari atau tocilizumab. Rekomendasi dosis tocilizumab

adalah 8 mg/kgBB pada ≥ 30 kg dan 12 mg/kgBB pada < 30 kg. Dapat

diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak 8 jam bila dengan satu dosis

dianggap tidak ada perbaikan.

a. Manajemen simtomatik dan suportif terdiri dari: oksigen, antibiotik,

kortikosteroid, vitamin C, ibuprofen dan tiazolidindio, profilaksis

tromboemboli vena, plasma konvalesen, dan Imunoterapi.

b. Manajemen Pasien COVID–19 yang Kritis

Median waktu onset gejala sampai masuk intensive care unit (ICU)

adalah 9 – 10 hari dengan penyebab utama ARDS. Faktor risiko


65

meliputi usia di atas 60 tahun, memiliki komorbid, umumnya

hipertensi, penyakit jantung dan diabetes melitus, dan neonatus.

Umumnya anak memiliki spektrum penyakit ringan. Tatalaksana

pasien kritis COVID–19 memiliki prinsip penanganan yang sama

dengan ARDS pada umumnya. Pedoman penanganan meliputi:

1) Terapi cairan konservatif,

2) Resusitasi cairan dengan kristaloid,

3) Norepinefrin sebagai lini pertama agen vasoaktif pada

COVID–19 dengan syok,

4) Antibiotik spektrum luas sedini mungkin pada dugaan

koinfeksi bakteri sampai ditemukan bakteri spesifik,

5) Pilihan utama obat demam adalah acetaminophen,

6) Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) dan plasma

konvalesen COVID 19 telah dilaporkan, tetapi belum

direkomendasikan rutin,

7) Mobilisasi pasien setiap 2 jam untuk mencegah ulkus

decubitus,

8) Berikan nutrisi enteral dalam 24 – 48 jam pertama, pada

kondisi pelayanan tidak memadai untuk ventilasi invasif,

dapat dipertimbangkan pemberian oksigen nasal dengan aliran

tinggi atau ventilasi non invasif dengan tetap mengutamakan

kewaspadaan karena risiko dispersi dari aerosol virus lebih

tinggi.
66

c. Ventilasi Mekanik pada COVID–19

Saat melakukan ventilasi mekanik invasif, operator wajib waspada,

mengenakan alat pelindung diri lengkap, dan memakai masker N95

ketika prosedur intubasi. Upayakan rapid sequence intubation (RSI).

Strategi ventilasi yang direkomendasikan Society of Critical Care

Medicine pada Surviving Sepsis Campaign:

1) Pertahankan volume tidal rendah (4 - 8 ml/kg berat badan

prediksi),

2) Target plateau pressure (Pplat) < 30 cmH2O,

3) PEEP lebih tinggi pada pasien ARDS berat, waspada

barotrauma,

4) Ventilasi posisi pronasi selama 12 – 16 jam (dikerjakan tenaga

ahli),

5) Agen paralitik dapat diberikan pada ARDS sedang/ berat

untuk proteksi ventilasi paru. Hindari infus kontinu agen

paralitik, bolus intermiten lebih dipilih,

6) Untuk hipoksemia refrakter, dipertimbangkan venovenous

extracorporeal membrane oxygenation (VV ECMO).

Ventilasi mekanik noninvasif dapat dipertimbangkan jika didukung

dengan sistem fasilitas kesehatan yang dapat memastikan tidak terjadi penyebaran

secara luas dari udara ekshalasi pasien. Teknik ini dapat digunakan pada pasien

derajat tidak berat dan patut dipertimbangkan mengganti ke ventilasi mekanik

noninvasif jika tidak terdapat perbaikan.


67

2.4.10 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes

Cara penyebaran beberapa virus atau patogen dapat melalui kontak dekat,

lingkungan atau benda yang terkontaminasi virus, droplet saluran napas, dan

partikel airborne. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5um.

Droplet dapat melewati sampai jarak tertentu (biasanya 1 meter) ke permukaan

mukosa yang rentan. Partikel droplet cukup besar sehingga tidak akan bertahan

atau mengendap di udara dalam waktu yang lama. Produksi droplet dari saluran

napas diantaranya batuk, bersin atau berbicara serta tindakan invasif prosedur

respirasi seperti aspirasi sputum atau bronkoskopi, insersi tuba trakea. Partikel

airborne merupakan partikel dengan diameter yang kurang dari 5 um yang dapat

menyebar dalam jarak jauh dan masih infeksius. Patogen airborne dapat

menyebar melalui kontak. Kontak langsung merupakan transmisi patogen secara

langsung dengan kulit atau membran mukosa, darah atau cairan darah yang masuk

ke tubuh melalui membran mukosa atau kulit yang rusak. Oleh karena itu, kita

dapat melakukan pencegahan transmisi virus (PDPI, 2020).

A Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Faktor Risiko COVID–19 di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Untuk meminimalkan risiko terjadinya pajanan virus SARS-CoV-2 kepada

petugas kesehatan dan non kesehatan, pasien dan pengunjung di fasilitas

pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan prinsip pencegahan dan pengendalian

risiko penularan menurut Kementrian Kesehatan RI (2020), yaitu: menerapkan

kewaspadaan isolasi untuk semua pasien, menerapkan pengendalian administrasi,

melakukan pendidikan dan pelatihan.


68

B Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan

Strategi PPI untuk mencegah atau memutuskan rantai penularan infeksi

COVID–19 di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan penerapan

prinsip pencegahan dan pengendalian risiko penularan COVID–19.

a) Penerapan Kewaspadaan Isolasi

Kewaspadaan isolasi terdiri dari kewaspadaan standar dan kewaspadaan

transmisi.

1) Kewaspadaan Standar, terdiri dari:

a) Kebersihan Tangan/ Hand Hygiene, dilakukan pada kondisi sesuai 5

moment WHO: sebelum kontak dengan pasien, sebelum melakukan

tindakan aseptik, setelah kontak atau terpapar dengan cairan tubuh,

setelah kontak dengan pasien dan setelah kontak dengan lingkungan

sekitar pasien. Selain itu, kebersihan tangan juga dilakukan pada saat

melepas sarung tangan steril, melepas APD, setelah kontak dengan

permukaan benda mati, dan objek termasuk peralatan medis, setelah

melepaskan sarung tangan steril, dan sebelum menangani obat –

obatan atau menyiapkan makanan

b) Alat Pelindung Diri (APD)

APD dipakai untuk melindungi petugas atau pasien dari paparan

darah, cairan tubuh sekresi maupun ekskresi yang terdiri dari sarung

tangan, masker bedah atau masker N95, gown, apron, pelindung

mata (goggles), faceshield (pelindung wajah), pelindung/ penutup

kepala dan pelindung kaki.


69

1. Penggunaan Alat Pelindung Diri memerlukan 4 unsur yang

harus dipatuhi:

a) Tetapkan indikasi penggunaan APD mempertimbangkan

risiko terpapar dan dinamika transmisi:

(1) Transmisi penularan COVID-19 ini adalah droplet

dan kontak: gown, sarung tangan, masker bedah,

penutup kepala, pelindung mata (goggles), sepatu

pelindung,

(2) Transmisi airborne bisa terjadi pada tindakan yang

memicu terjadinya aerosol: gown, sarung tangan,

masker N95, penutup kepala, goggles, face shield,

sepatu pelindung.

b) Cara “memakai” dengan benar,

c) Cara “melepas” dengan benar,

d) Cara mengumpulkan (disposal) yang tepat setelah dipakai.

2. Hal – hal yang harus dilakukan pada penggunaan APD yaitu:

melepaskan semua aksesoris di tangan seperti cincin, gelang dan

jam tangan, menggunakan baju kerja/ scrub suit sebelum

memakai APD, melakukan kebersihan tangan sebelum dan

setelah memakai APD, menggunakan sarung tangan saat

melakukan perawatan kepada pasie, melepaskan sarung tangan

setelah selesai melakukan perawatan di dekat pasien dan

lakukan kebersihan tangan memakai APD di anteroom atau

ruang khusus. APD dilepas di area kotor segera setelah


70

meninggalkan ruang perawata, menggunakan masker N95 pada

saat melakukan tindakan yang menimbulkan aerosol, mengganti

googles atau faceshield pada saat sudah kabur/ kotor, mandi

setelah melepaskan APD dan mengganti dengan baju bersih.

3. Hal – hal yang tidak boleh dilakukan pada penggunaan APD

yatu: menyentuh mata, hidung dan mulut saat menggunakan

APD, menyentuh bagian depan masker, mengalungkan masker

di leher, menggantung APD di ruangan kemudian mengunakan

kembali, menggunakan APD keluar dari area perawatan,

membuang APD dilantai, menggunakan sarung tangan berlapis

saat bertugas apabila tidak dibutuhkan, menggunakan sarung

tangan terus menerus tanpa indikasi, menggunakan sarung

tangan saat menulis, memegang rekam medik pasien, memegang

handle pintu, memegang HP, dan melakukan kebersihan tangan

saat masih menggunakan sarung tangan.

c) Kebersihan Pernafasan meliputi: perhatikan etika batuk atau bersin,

gunakan masker kain/ masker bedah apabila mengalami ganguan

system pernafasan, apabila tidak ada masker, maka tutup mulut dan

hidung menggunakan tissue atau menggunakan lengan atas bagian

dalam saat batuk atau bersin, lakukan kebersihan tangan setelah

kontak dengan sekret pernafasan, pisahkan penderita dengan infeksi

pernafasan idealnya > 1meter di ruang tunggu Fasyankes.

d) Kebersihan Lingkungan dengan cara lakukan prosedur pembersihan

dan desinfeksi seara rutin sekitar lingkungan dengan cara mengelap


71

seluruh permukaan lingkungan ruangan dan pengepelan lantai

ruangan dengan menggunakan cairan detergen kemudian bersihkan

dengan air bersih selanjutnya menggunakan klorin 0,05%. Cairan

pembersih harus diganti setelah digunakan di area perawatan pasien

COVID–19, dan aplikasi desinfektan ke permukaan lingkungan

secara rutin di dalam ruangan dengan penyemprotan atau fogging

tidak direkomendasikan.

e) Penanganan Linen

1) Semua linen di ruang perawatan COVID–19 dianggap infeksius

yang dibagi menjadi dua yaitu linen kotor tidak ternoda darah

atau cairan tubuh dan linen ternoda darah atau cairan tubuh,

2) Pisahkan linen kotor ternoda darah dan cairan tubuh dengan

linen kotor tanpa noda darah dan cairan tubuh, masukan

kewadah infeksius yang tertutup dan diberi label. Semua linen

harus dikemas (dimasukan dalam plastik infeksius) didalam

ruang perawatan pasien,

3) Ganti linen setiap satu atau dua hari atau jika kotor dan sesuai

dengan kebijakan rumah sakit,

4) Linen harus ditangani dan diproses khusus untuk mencegah

kontak langsung dengan kulit dan membran mukosa petugas,

mengkontaminasi pakaian petugas dan lingkungan,

5) Gunakan APD yang sesuai dengan risiko saat menangani linen

infeksius,
72

6) Tempatkan linen bersih pada lemari tertutup, dan tidak

bercampur dengan peralatan lainnya.

f) Tatalaksana Limbah

1) Limbah pasien COVID–19 dianggap sebagai limbah infeksius

dan penatalaksanaan sama seperti limbah infeksius lainya,

2) Segera buang limbah yang dihasilkan, ke tempat pembuangan

limbah sesuai kebijakan dan SOP,

3) Pertahankan tempat limbah tidak lebih mencapai ¾ penuh sudah

dibuang,

4) Pertahankan kebersihan kontainer sampah senantiasa bersih.

g) Desinfeksi Peralatan Perawatan Pasien Berdasarkan Jenisnya

1) Peralatan kritikal

Peralatan kritikal adalah peralatan yang masuk kedalam

pembuluh darah dan jaringan steril, risiko infeksnya tinggi,

maka peralatan ini harus dilakukan pemrosesan sterilisasi,

contohnya instrument bedah, intravena kateter vena, kateter

jantung, jarum suntik, dialyser.

2) Peralatan semi kritikal

Peralatan semi kritikal adalah peralatan yang masuk kedalam

membran mukosa, risiko infeksinya sedang, maka alat ini harus

melalui disinfeksi tingkat tinggi (DTT) contoh: ETT, spekulum

telinga, hidung, vagina, mulut, spatel dan lain – lain.


73

3) Peralatan non kritikal

Peralatan non kritikal adalah peralatan yang hanya menyentuh

sekitar permukaan tubuh, risiko infeksinya kecil bahkan tidak

ada, namun demikian peralatan ini melalui pemrosesan

dekontaminasi pembersihan setelah dipakai oleh pasien, jika

terkontaminasi darah, caian tubuh sekresi dan ekskresi harus di

lakukan pemrosesan disinfeksi tingkat rendah dengan larutan

klorin 0,05%, alkohol 70% dan air dan deterjen sesuai indikasi.

2) Kewaspadaan Transmisi

Kewaspadaan transmisi dapat dibagi menjadi tiga yaitu: droplet,

kontak, dan airborne. Penerapan kewaspadaan berdasarkan transmisi

antara lain:

a) Melakukan triase dengan melakukan penyaringan dipintu masuk

ruang penerimaan pasien baru,

b) Pemisahan antara pasien dengan gangguan system pernapasan dan

tidak dengan gangguan sistem pernapasan. Pasien dengan gangguan

sistem pernapasan dimasukkan dalam ruangan khusus dan pastikan

agar alur gerak pasien dan staf tetap satu arah. Petugas kesehatan

yang melakukan pemeriksaan menggunakan APD standar (gown,

masker bedah, pelindung mata/ wajah dengan kacamata atau

faceshield, dan sarung tangan), dan Pasien bukan dengan gangguan

pernapasan boleh langsung masuk ke ruang tunggu pasien poliklinik

umum, pasien dan petugas cukup menggunakan masker bedah,


74

c) Memberi penanda khusus untuk mengatur jarak minimal 1 meter di

lokasi – lokasi antrian pasien/ pengunjung,

d) Membuat penghalang fisik (barrier) antara petugas dan pengunjung.

Pembatas terbuat dari kaca atau mika dan dapat dipasang pada: loket

pendaftaran, apotek, penerimaan spesimen, kasir, dan lain – lain,

e) Mengatur penempatan posisi meja konsultasi, tempat tidur periksa

dan kursi pasien dengan tenaga kesehatan, dan lain – lain yang

mencegah aliran udara dari pasien ke pemeriksa/ petugas.

f) Menempatkan kasus suspek atau terkonfirmasi positif di ruang

Isolasi:

(1) Pasien COVID–19 dengan menggunakan ruangan tersendiri jika

memungkinkan atau melakukan kohorting dengan memberi jarak

tempat tidur minimal 1 meter – 1.8 meter dengan ventilasi yang

baik. Apabila menggunakan ventilasi natural, ventilasi yang

adekuat sebesar 60 l/s per pasien,

(2) Ruangan tidak harus tekanan negatif kecuali pasien dengan

penyakit penyerta yang lain/ komorbid dan kondisi menurun

dengan pemasangan alat dan tindakan yang berisiko

menghasilkan aerosol dan menimbulkan airborne, maka wajib

ditempatkan di ruang isolasi dengan tekanan negatif.

g) Petugas kesehatan yang memberikan perawatan untuk pasien

sebaiknya ditetapkan untuk mengurangi transmisi.


75

b) Pengendalian Administratif

1) Memastikan penerapan jaga jarak minimal 1 meter dapat diterapkan di

semua area fasyankes,

2) Melakukan pelarangan pengunjung dan penunggu pada pasien dewasa

kasus suspek, kasus probable atau terkonfirmasi positif COVID–19,

3) Mengorganisir logistik APD agar persediaan digunakan dengan benar.

4) Membuat kebijakan tentang kesehatan dan perlindungan petugas

kesehatan seperti:

(a) Petugas kesehatan dalam keadaan sehat, apabila sakit tidak boleh

bekerja,

(b) Pengaturan waktu kerja maksimal 40 jam seminggu dengan waktu

kerja harian 7 – 8 jam dan tidak melebihi 12 jam,

(c) Memantau aspek kesehatan pekerja dengan penekanan pada

surveilans ISPA pada petugas kesehatan,

(d) Pemantauan kesehatan pada petugas kesehatan secara berkala

sesuai indikasi medis,

(e) Melakukan penilaian kelaikan kerja untuk petugas dengan

komorbid dan kondisi khusus seperti kehamilan, sebelum

ditugaskan memberikan pelayanan pasien COVID–19,

(f) Melakukan penilaian kembali bekerja (return to work) pada

petugas pasca sakit,

(g) Memastikan adanya jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan

kerja bagi petugas di fasyankes,


76

(h) Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada petugas

yang terkena COVID–19 akibat kerja (sesuai dengan Keputusan

Menteri Kesehatan No. HK.01.07/ Menkes/ 327/ 2020 tentang

Penetapan COVID–19 Akibat Kerja sebagai Penyakit Akibat Kerja

yang Spesifik pada Pekerjaan Tertentu).

c) Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan pelatihan yang dapat dilakukan antara lain: Berikan

pendidikan pelatihan kepada seluruh staf fasyankes tentang COVID-19

dengan materi: Segitiga epidemiologi, Rantai Infeksi, Konsep Infeksi,

Program PPI, Kewaspadaan Isolasi (Kewaspadaan standar dan

Kewaspadaan berdasarkan transmisi), Konsep COVID–19, Alat pelindung

diri, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Pengelolaan limbah. Berikan

sosialisasi kepada masyarakat tentang COVID–19 tentang: Rantai Infeksi

untuk awam, Kewaspadaan Standar, Kewaspadaan berdasarkan transmisi,

dan Konsep COVID–19.

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Pneumonia e. c

Covid–19

2.5.1 Pengkajian

Pengkajian keperawatan dilakukan dengan cara pengumpulan data secara

subjektif (data yang didapatkan dari pasien/ keluarga) melalui anamnesa dan data

objektif (data hasil pengukuran atau observasi).


77

a. Pengkajian primer

1) Airway

Peningkatan sekresi pernapasan, Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi,

jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing, jalan

napas bersih atau tidak.

2) Breathing

Distress pernapasan: pernapasan cuping hidung, takipnea/ bradipnea,

retraksi, peningkatan frekuensi napas, Napas dangkal dan cepat,

kelemahan otot pernapasan, reflek batuk ada atau tidak, penggunaan

otot bantu pernapasan, penggunaan alat bantu pernapasan ada atau

bunyi napas normal atau tidak. Manifestasi klinis pada pasien

pneumonia berat e. c Covid–19 ditandai dengan pengawasan infeksi

saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit,

distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) < 90% pada

udara kamar (HIPGABI, 2020).

3) Circulation

Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia, sakit kepala,

Gangguan tingkat kesadaran

4) Disability

Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran, nyeri atau tidak, adanya

trauma atau tidak pada thoraks

5) Exposure
78

Enviromental control, Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya

hipotermia

b. Pengkajian Sekunder

1) Identitas Pasien

Meliputi: nama, umur, tanggal lahir, pendidikan, pekerjaan, suku,

agama, alamat, tanggal Pengkajian, no. rekam medis, jenis kelamin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui

bahwa kasus Covid-19, pneumonia paling banyak terjadi pada pria

(51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit terjadi

pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang

ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan JM, 2020).

2) Keluhan utama

Pasien dengan covid biasanya mengeluh, batuk kadang disertai demam

Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat.

Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >38ºC), batuk dan

kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat,

fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran

napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu

(PDPI, 2020). Menurut Brunner & suddarth (2012) pada klien

pneumonia yang sering ditemukan keluhan mendadak panas tinggi

(38⁰C - 41⁰C) Disertai menggigil, kadang-kadang muntah, nyeri pleura

dan batuk pernafasan terganggu (takipnea), batuk yang kering akan

menghasilkan sputum seperti karat dan purulen.


79

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Kaji apakah klien pernah bepergian ke kota / negara terjangkit Covid-

19, apakah pernah kontak orang yang positif Covid-19 atau bertemu

dengan orang banyak beberapa hari terakhir sebelum timbul keluhan.

Menurut Joko dkk (2020) penularan dapat terjadi karena adanya kontak

dekat dengan potensi menghirup droplet yang mengandung virus SARS

CoV-2. Saat ini, sumber utama infeksi adalah para pasien COVID-19.

Pembawa (carrier) nCoV-2019 baik bergejala ataupun asimptomatik

juga berpotensi menjadi sumber infeksi (Huang C, Wang Y, et al,

2020).

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji riwayat penyakit klien sebelumnya, misalnya riwayat diabetes,

riwayat hipertensi dan jantung Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh

adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada

pasien dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan

diabetes, 6,3% pada pasien dengan penyakit pernapasan kronis, 6%

pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan kanker

(Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020).

5) Pemeriksaan Fisik

a) B1 (Breath)

Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, apakah terdapat suara

tambahan seperti ronchi di kedua lapang paru


80

b) B2 (Blood)

Takikardi, tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya

hipoksemia).

c) B3 (Brain)

Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), pingsan,

nyeri kepala (penyebabnya karena adanya trauma), mata berkunang

– kunang, berkeringat banyak.

d) B4 (Bowel)

Adakah penurunan prouksi urine (berkurangnya produksi urine

menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal).

e) B5 (Bladder)

Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan

status nutrisi dan cairan akan memperberat keadaan. Pada infeksi

akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat

berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah

penyembuhan. Kadang terjadi diare pada pasien Covid–19 (PDPI,

2020).

f) B6 (Bone) : Kelemahan otot, mudah lelah.

2.5.2 Diagnosis Keperawatan

1) Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Covid–19

dengan Gejala Ringan – Sedang (SDKI, 2017)

a. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan membran alveolus-

kapiler (SDKI, 2017) D.0003 hal. 22


81

Definisi:

Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi

karbondioksida pada membran alveolus-kapiler.

Penyebab:

Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, perubahan membran

alveolus-kapiler.

Gejala dan Tanda Mayor:

Subjektif: Dispnea

Objektif: PCO2 meningkat/ menurun, PO2 menurun, takikardia,

pH arteri meningkat/ menurun, bunyi napas tambahan.

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif: pusing, penglihatan kabur.

Objektif: sianosis, diaforesis, gelisah, napas cuping hidung, pola

napas abnormal (cepat/ lambat, regular/ ireguler, dalam/

dangkal), warna kulit abnormal (mis. pucat, kebiruan),

keasadaran menurun.

b. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d hipersekresi jalan napas,

proses infeksi (SDKI, 2017) D.0001 hal. 17

Definisi:

Ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan

napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.

Penyebab:

Fisilogis: spasme jalan napas, hipersekresi jalan napas, disfungsi

neuromuskuler, benda asing dalam jalan napas, adanya jalan


82

napas buatan, hiperplasia dinding jalan napas, proses infeksi,

efek agen farmakologis (mis. anastesi),

Situasional: merokok aktif, merokok pasif, terpapar polutan.

Gejala dan Tanda Mayor:

Subjektif (tidak tersedia).

Objektif: batuk tidak efektif atau tidak mampu batuk, sputum

berlebih atau obstruksi di jalan napas, mengi, wheezing danatau

ronkhi kering.

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif: dispnea, sulit berbicara, ortopnea.

Objektif: gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi

napas berubah, pola napas berubah.

c. Hipertermia b/d proses penyakit infeksi) (SDKI, 2017) D.0130

hal. 284

Definisi:

Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh.

Penyebab:

Dehidrasi, terpapar lingkungan panas, proses penyakit (mis.

infeksi, kanker), ketidaksesuaian pakaian dengan suhu

lingkungan, peningkatan laju metabolisme, respon trauma,

aktivitas berlebihan, penggunaan inkubator.

Gejala dan Tanda Mayor:

Subjektif (tidak tersedia).

Objektif: suhu tubuh diatas nilai normal.


83

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif: kulit merah, kejang, takikardia, takipnea, kulit terasa

hangat.

d. Ansietas b/d krisis situasional, ancaman terhadap kematian

(SDKI, 2017) D.0080 hal. 180

Definisi:

Kondisi emosi dan pengalaman subjektif individu terhadap

objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang

memungkinkan individu melakukan tidakan untuk menghadapi

ancaman.

Penyebab:

Krisis situasional, kebutuhan tidak terpenuhi, krisis

maturasional, ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap

kematian, kekhawatiran mengalami kegagalan, disfungsi ssstem

keluarga, penyalahgunaan zat, kurang terpapar informasi.

Gejala dan Tanda Mayor:

Subjektif: merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari

kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi.

Objektif: tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur.

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif: mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi, merasa tidak

berdaya.
84

Objektif: frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi meningkat,

tekanan darah meningkat, diaforesis, tremor, muka tampak

pucat, suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih,

berorientasi pada masa lalu.

2) Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Covid–19

dengan Gejala Sedang – Berat (SDKI,2017)

a. Gangguan Ventilasi Spontan b/d gangguan metabolisme,

kelemahan/ keletihan otot pernapasan (SDKI, 2017) D.0004 hal.

24

Definisi:

Penurunan cadangan energi yang mengakibatkan individu tidak

mampu bernapas secara adekuat.

Penyebab:

Gangguan metabolisme, kelemahan otot pernapasan.

Gejala dan Tanda Mayor:

Subjektif: dispnea.

Objektif: penggunaan otot bantu napas meningkat, volume tidal

menurun, PCO2 meningkat, PO2 menurun, SaO2 menurun.

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif: gelisah, takikardia.

b. Risiko Syok d/d hipoksia, sepsis, sindrom respon inflamasi

sistemik (SDKI, 2017) D.0039 hal.92


85

Definisi:

Berisiko mengalami ketidakcukupan aliran darah ke jaringan

tubuh, yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang

mengancam jiwa.

Faktor Risiko:

Hipoksemia, hipoksia, hipotensi, kekurangan volume cairan,

sepsis, sindrom respons inflamasi sistemik.

c. Gangguan Sirkulasi Spontan b/d penurunan fungsi ventrikel

(SDKI, 2017) D.0007 hal. 32

Definisi:

Ketidakmampuan untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat

untuk menunjang kehidupan.

Penyebab:

Abnormalitas kelistrikan jantung, abnormalitas struktur jantung,

penurunan fungsi ventrikel.

Gejala dan Tanda Mayor:

Subjektif: tidak berespon

Objektif: frekuensi nadi < 50 x/menit, atau > 150 x/menit,

tekanan darah sistolik < 60 mmHg atau > 200 mmHg, frekuensi

napas < 6 x/menit atau > 30 x/menit, kesadaran menurun atau

tidak sadar.

Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif (tidak tersedia)


86

Objektif: suhu tubuh < 34,5 ºC, tidak ada produksi urin dalam 6

jam, saturasi oksigen < 85%, gambaran EKG menunjukkan

aritmia letal (mis. VT, VF, asistol, PEA), ETCO2 < 35 mmHg.
2.5.3 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.5 Intervensi keperawatan pada pasien dengan COVID-19


No. Masalah Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam 2 – Terapi Oksigen (SIKI, 2018) 1.01026 hal. 430
b/d perubahan membran 4 jam, pertukaran gas Meningkat, dengan Observasi
alveolus-kapiler (SDKI, kriteria: 1. Monitor kecepatan aliran oksigen,
2017) D.0003 hal. 22 Pertukaran Gas (SLKI, 2019) L.01003 hal. 94 Rasional: memastikan ketepatan dosis
1. Dispnea menurun pemberian oksigen.
2. Bunyi napas tambahan (ronkhi) 2. Monitor integritas mukosa hidung akibat
menurun pemasangan oksigen,
3. PaCO2 membaik (35-45 mmHg) Rasional: mengidentifikasi terjadinya
4. PaO2 membaik (>80 mmHg) iritasi mukosa akibat aliran oksigen
5. pH arteri membaik (7.35-7.45) 3. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis.
6. Takikardia membaik, frekuensi nadi oksimetri, AGD),
(60-100x/menit) Rasional: karena SpO2 ↓, PO2 ↓ & PCO2 ↑
7. pola napas membaik pernapasan 12-20 dapat terjadi akibat peningkatan sekresi
kali/menit paru dan keletihan respirasi.
8. Sianosis membaik 4. Monitor rontgen dada untuk melihat adanya
peningkatan densitas pada area paru yang
menunjukkan terjadinya pneumonia.
Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan
trakea, jika perlu
Rasional: menghilangkan obstruksi pada
jalan napas dan meningkatkan ventilasi
2. Berikan oksigen
Rasional: mempertahankan oksigenasi
87
adekuat. Dimulai 5 lpm dengan target SpO2
≥ 90% pada pasien tidak hamil & ≥ 92 –
95% pada pasien hamil.
3. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
seperti high flow nasal canulla (HFNC)
atau noninvasive mechanical ventilation
(NIV) pada pasien ARDS atau efusi paru
luas.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemberian
oksigen.
Rasional: meningkatkan keterlibatan dan
kekooperatifan pasien terhadap terapi
oksigen.
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
Rasional: untuk memperjelas pemberian
terapi oksigen sesuai kondisi dan
kebutuhan pasien.
2 Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam 24 Manajemen Jalan Napas (SIKI, 2018) 1.01011
efektif b/d hipersekresi jam, bersihan jalan napas meningkat dengan hal. 186
jalan napas, proses infeksi kriteria: Observasi
(SDKI, 2017) D.0001 hal. Bersihan Jalan Napas (SLKI, 2019) L.01001 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
17 hal. 18 usaha napas,
1. Batuk efektif meningkat Rasional: mengidentifikasi terjadinya
2. Produksi sputum menurun hipoksia melalui tanda peningkatan
3. Wheezing menurun frekuensi, kedalaman dan usaha napas.
4. Dispnea menurun 2. Monitor sputum (jumlah, warna, bau,

88
5. Frekuensi napas membaik konsistensi),
6. Pola napas membaik Rasional: Tanda infeksi berupa secret
tampak keruh dan berbau. Sekret kental
dapat meningkatkan hipoksemia dan dapat
menandakan dehidrasi.
Terapeutik
1. Posisikan semi-Fowler atau Fowler,
Rasional: meningkatkan ekskursi
diafragma dan ekspansi paru.
2. Berikan minum hangat,
Rasional: memberikan efek ekspektorasi
pada jalan napas.
3. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik,
Rasional: mengeluarkan sekret jika batuk
tidak efektif.
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika
tidak kontraindikasi,
Rasional: meningkatkan aktivitas silia
mengeluarkan sekret dan kondisi dehidrasi
dapat meningkatkan viskositas secret.
2. Ajarkan teknik batuk efektif.
Rasional: memfasilitasi pengeluaran
secret.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektorn, mukolitik, jika perlu.

89
Manajemen Isolasi (SIKI, 1.14509) hal.186
Observasi
1. Identifikasi pasien-pasien yang
membutuhkan isolasi.
Terapeutik
1. Tempatkan satu pasien,
Rasional: satu kamar untuk menurunkan
risiko terjadinya infeksi silang (cross
infection).
2. Sediakan seluruh kebutuhan harian dan
pemeriksaan sederhana di kamar pasien,
Rasional: meminimalkan mobilisasi pasien
dan staf yang merawat pasien.
3. Dekontaminasi alat-alat kesehatan sesegera
mungkin setelah digunakan,
Rasional: menghilangkan virus yang
mungkin menempel pada permukaan alat
kesehatan.
4. Lakukan kebersihan tangan pada 5 moment,
Rasional: menurunkan transmisi virus.
5. Pasang alat proteksi diri sesuai SPO (mis.
sarung tangan, masker N95, gown coverall,
apron),
Rasional: memutuskan transmisi virus
kepada staf.
6. Lepaskan alat proteksi diri segera setelah
kontak dengan pasien,
Rasional: meminimalkan peluang

90
terjadinya transmisi virus kepada staf.
7.Minimalkan kontak dengan pasien, sesuai
kebutuhan.
Rasional: menurunkan transmisi virus
kepada staf yang merawat pasien.
Edukasi
1. Ajarkan kepada pasien untuk melakukan
kebersihan tangan,
2. Anjurkan isolasi mandiri di rumah selama
14 hari (pada pasien tanpa gejala dan
dengan gejala ringan) atau isolasi di RS
Darurat Covid (pada pasien gejala sedang),
atau isolasi di RS Rujukan (pada pasien
gejala berat/kritis).
3 Hipertermia berhubungan Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Manajemen Hipertermia (I.15506)
dengan proses penyakit dalam waktu 1 x 24 jam diharapkan Observasi
(infeksi) (SDKI, 2017) termoregulasi membaik. Ditandai dengan 1. Identifikasi penyebab hipertermia
D.0130 kriteria hasil: (dehidrasi, terpapar lingkungan panas),
Termoregulasi (L.14134) 2. Monitor suhu tubuh,
1. Suhu tubuh membaik 3. Monitor kadar elektrolit dan haluaran urin,
2. Suhu kulit membaik 4. Monitor komplikasi akibat hipertermia.
3. Ventilasi membaik Terapeutik
4. Pengisian kapiler membaik 1. Sediakan lingkungan dingin,
5. Menggigil menurun 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian,
6. Kejang menurun 3. Berikan cairan oral dan kompres hangat
7. Sianosis menurun (daerah dada, abdomen, axilla, dahi,
8. Pucat menurun leher).

91
9. Hipoksia menurun Edukasi
10. Takipnea menurun 1. Anjurkan tirah baring.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan, elektrolit
intravena, dan antiperetik, jika perlu.
4 Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam 24 Dukungan Ventilasi (SIKI, 2018) 1.01002 hal.
b/d gangguan metabolisme, – 48 jam, ventilasi spontan meningkat, dengan 49
kelemahan/ keletihan otot kriteria: Observasi
pernapasan (SDKI, 2017) Ventilasi Spontan (SLKI, 2019) L.01007 hal. 1. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu
D.0004 hal. 24 150 napas,
1. Volume tidal meningkat Rasional: kelelahan otot bantu napas dapat
2. dispnea menurun menurunkan kemampuan batuk efektif dan
3. Penggunaan otot bantu napas proteksi jalan napas.
menurun 2. Monitor status respirasi dan oksigenasi
4. PO2 membaik (>80mmHg) (mis. RR dan kedalaman, penggunaan otot
5. PCO2 membaik (35-45 mmHg) bantu, bunyi napas tambahan, saturasi
6. gelisah menurun oksigen).
Rasional: menilai status oksigenasi.
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas,
Rasional: untuk menjamin ventilasi
adekuat.
2. Berikan posisi semi Fowler atau Fowler,
Rasional: meningkatkan ekskursi
diafragma dan ekspansi paru.
3. Gunakan bag-valve mask, jika perlu.
Rasional: untuk memperbaiki ventilasi
dengan memberikan napas buatan pada

92
pasien yang tidak mampu napas spontan.
Edukasi
1. Ajarkan teknik batuk efektif,
2. Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas
dalam.
Kolaborasi
1. Kolaborasi tindakan intubasi dan ventilasi
mekanik, jika perlu.
Rasional: mempertahankan ventilasi dan
oksigenasi adekuat serta mencegah kondisi
mengancam nyawa.

2.5.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan. Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari

rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).

2.5.5 Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus – menerus dilakukan untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan

bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011).

93
2.6 Kerangka Masalah Keperawatan
Bakteri, virus, jamur,

Degranulasi sel mast Infeksi saluran pernapasan bawah

Antigen pathogen berikatan Gangguan pada fungsi ventilasi maupun difusi paru – paru
dengan antibodi
Pelepasan pirugen
Inflamasi pada alveolus
endogen (sitokin)
Antigen antibody berikatan dengan
molekul komplemen Penumpukkan eksudat di alveolus
IL 1 & IL 6, pelepasan pirugen endogen (sitokin)

Pengangtifan jalur komplemen Sekret menumpuk di


bronkus dan jalan napas Meransangan nervus dan
sinyal mencapai sistem
Gangguan saraf pusat
Aktivasi sel mast dan basophil
ventilasi spontan Batuk dan dispnea

Prostaglandin otak
Vasodilatasi kapiler
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Merangsang hipotalamus
Permabilitas kapiler
Gangguan Risiko Syok
Suhu tubuh meningkat Kurang pengetahuan
Eksudat masuk dalam alveoli Pertukaran Gas

Terjadinya evaporasi Ansietas


Hipertermi
Edema antar kapiler dan alveolus dan kehilangan cairan
Difusi O2
secara signifikan

94
BAB 3

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini akan disajikan asuhan keperawatan pada pasien dengan

Pneumonia e. c Covid–19 di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Premier

Surabaya yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan,

meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,

implementasi keperawatan, dan evaluasi sebagai berikut:

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas Pasien

Pengkajian dilakukan pada tanggal 29 Juni 2020 di ruang Instalasi Gawat

Darurat Rumah Sakit Premier Surabaya, terhadap Tn. H. S, usia 66 tahun, berjenis

kelamin laki – laki, beragama Islam, suku bangsa Jawa/ Indonesia, dan bertempat

tinggal di Surabaya, memiliki 4 orang anak. Pendidikan terakhir Akademi dan saat

ini pasien sudah tidak bekerja (pensiun). Penanggung jawab biaya rumah sakit

adalah pribadi. Pasien dirawat dengan diagnosis medis Pneumonia e. c Covid–19.

Pasien masuk melalui IGD pukul 22.00 dengan keluhan sesak napas.

3.1.2 Primary Survey

Pasien datang dengan menggunakan mobil pribadi dibawa oleh

keluarganya pada pukul 22.00 di Instalasi Gawat Darurat RS Premier Surabaya,

pasien masuk IGD dengan menggunakan bed, kondisi pada saat datang pasien

sesak napas, akral dingin basah, pucat dan menggigil. Sebelum ke IGD RS

Premier pasien dibawa ke klinik dekat rumah dan dilakukan cek darah, hasil
95
96

pemeriksaan di klinik pasien terdiagnosa typhoid fever, karena kondisi semakin

memburuk dan tidak ada perubahan pasien dibawa ke IGD RS Premier Surabaya.

Saat di IGD kondisi pasien lemah, kesadaran komposmentis, GCS E: 4, V: 5, M:

6, kategori triase P2 warna merah, dengan klasifikasi kasus medik emergency non

trauma. Hasil pemeriksaan di IGD keluhan utama pasien: sesak napas dirasakan

sudah seminggu, disertai dengan batuk berdahak dan demam tinggi jika malam

hari, pasien mengatakan penciuman sudah berkurang dalam 3 hari ini, badan

lemas tidak nafsu makan. Keluhan sesak memberat siang ini, sesak diarasakan

terutama jika pasien batuk dan beraktivitas. Keluhan sesak berkurang jika pasien

posisi duduk atau tidur dengan diberi ganjal 3 bantal. Riwayat perjalanan keluar

kota disangkal, tetapi pasien mengatakan masih sering sholat di mushola rumah.

Sebelum ke IGD RS Premier Surabaya pasien sudah dibawa keluarga ke klinik

dekat rumah, dikarenakan selama observasi tidak ada perbaikan kondisi pasien

keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke IGD RS Premier Surabaya.

Riwayat penyakit dahulu, anak pasien mengatakan jika pasien tidak

memiliki riwayat sakit diabetes, hipertensi maupun riwayat operasi apapun. Anak

pasien juga mengatakan jika pasien tidak ada alergi baik obat – obatan, atau

makanan. Hasil vital sign pasien didapatkan tekanan darah 131/78 mmHg, nadi

112x/ menit (regular), pernapasan 36x/ menit, SpO2 86% tanpa oksigen, suhu

39⁰C, pasien tidak ada keluhan nyeri.

Pemeriksaan Airway jalan nafas pasien paten, tidak ada suara snoring

atau gargling, Breathing didapatkan pergerakan dada simetris, irama pernafasan

reguler, suara nafas tambahan ronkhi halus di daerah basal paru kanan dan kiri,

pasien diberikan terapi oksigen NRBM 10 lpm, SpO2 96%. Circulation


97

didapatkan Irama jantung reguler, akral dingin, basah dan pucat. Membran

mukosa normal, CRT < 3 detik, turgor kulit baik, tidak ada edema, tidak ada

perdarahan. Disability didapatkan kesadaran komposmentis, GCS E: 4, V:5, M:6

pupil : isokor, ukuran 2mm/2mm reflek cahaya +/+, tidak ada fraktur, tidak ada

paralisis.

3.1.3 Secondary Survey

Hasil pemeriksaan fisik Head to Toe didaptakan kulit teraba dingin, basah,

pucat, berkeringat, ikterik (-/-). Kondisi kepala, rambut warna hitam, sebagian ada

yang sudah beruban tidak mudah dicabut, distribusi merata, tidak ada kelainan.

Mata, palpebra edema (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek

cahaya (+/+), mata cekung (-), pupil: isokor. Telinga: otore (-/-), nyeri tekan (-/-),

serumen (-), tidak ada reaksi alergi. Hidung: secret (-/-), epistaksis (-/-), tidak ada

reaksi alergi dan pembesaran polip, terdapat pernapasan cuping hidung, terpasang

oksigen NRBM 10lpm. Mulut dan gigi: gigi tidak ada caries gigi, pasien memakai

gigi palsu, tidak ada sariawan, gusi tidak berdarah, bibir kering, tidak ada

kesulitan menelan. Leher: kelenjar tiroid tidak membesar, tidak ada nyeri.

Thoraks/dada: Bentuk dada normochest, paru – paru: inspeksi: simetris kanan kiri,

tidak ada retraksi dinding dada, palpasi: fremitus simetris kanan kiri, Perkusi:

sonor pada seluruh lapang paru, auskultasi: suara napas vesikuler, rhonci (+),

wheezing (-), krepitasi (-). Jantung: inspeksi: iktus tidak terlihat, palpasi:

kecepatan denyut apical 112x/menit, perkusi: batas jantung dalam batas normal,

auskultasi: bunyi jantung S1 S2 tunggal, irama teratur regular. Abdomen:

inspeksi: bentuk abdomen sedikit buncit, palpasi: tidak ada nyeri tekan, hepar/

limpa tidak teraba, perkusi: timpani, auskultasi: bising usus (+) normal 10x/menit.
98

Genetalia: saat ini pasien terpasang kateter dengan folley cath no. 16 balon 12ml,

kondisi genetalia bersih. Muskuloskeletal: edema ekstremitas tidak ada, akral

teraba dingin, tidak ada fraktur, turgor kulit elastis, kontraktur persendian tidak

ada, kesulitan pergerakan tidak ada. Pasien terapasang infus di tangan kiri dengan

iv line no.20, CRT < 3 detik.

3.1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 29/06/2020


Parameter Hasil Nilai Rujukan
White Blood Cell 17.10 4.00 – 11.50 K/ uL
Neutrophils 88.7 42.0 – 74.0 %
Lymphocytes 4.58 19.00 – 48.00 %
Monocytes 4.77 0.00 – 9.00 %
Easinophiles 0.00 0.00 – 7.00 %
Basophils 0.06 0.00 – 1.00 %
Red Blood Cell 6.14 4.00 – 5.90 M/ uL
Hemoglobin 15.9 12.0 – 17.00 g/ dL
Hematocrit 49.7 35.0 – 51.0 %
MCV 80.9 78.0 – 100.0 fL
MCH 25.9 26.0 – 34.5 pg
MCHC 32.0 32.0 – 37.0 g/ dL
RDW 16.3 0.0 – 17.0 %
Platelet 226 130 – 400 K/ uL
MPV 7.13 0.00 – 99.90 fL
Lymphocytes Absolut 458 600 – 3400 cell/ uL
NLR 19.37

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik tanggal 29/06/2020


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Glukosa Sewaktu 115 55 – 140 mg/ dl
Urea 66.3 10.0 – 50.0 g/ dl
Blood Urea Nitrogen 31.0 4.6 – 23.3 mg/ dl
Creatinine 1.39 0.40 – 1.10 mg/ dl
Albumin 3.7 3.5 – 5.0 g/ dl
SGOT 48 0 – 37 U/l
SGPT 79 0 – 41 U/l
Sodium 134 135 – 146 mmol/ l
Potassium 4.3 3.5 – 5.0 mmol/ l
Chloride 95 95 – 106 mmol/ l
99

Calsium total 9.10 8.60 – 1020 mg/ dl


CRP 36.80 0.00 – 4.99 mg/ l
Procalcitonin 0.07 0.00 – 0.05 ng/ ml
D-Dimer (CMIA) 1707.50 0.00-500.00 ng/ ml
Feritin 1234.00 21.81 – 274.66 ng/ ml
PCR Covid Abnormal Negative
(Positive)

Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Analisa Gas Darah tanggal 29/06/2020


Parameter Hasil Nilai Rujukan
pH 7,260 7,340 – 7,440
pCO2 46.8 35 – 45mmHg
pO2 79 89 – 116 mmHg
HCO3 27.8 22 – 26 mmol/ l
TCO2 19 22 – 29 mmol/ l
SO2 95 95 – 98 %
Beecf -1 -2 - +2 mmol/ l
Temp-Alat 39,2 36 – 37,5⁰C

2. Foto Thorax

Hasil thorax tanggal 29/06/2020

Cor: bentuk dan ukuran normal

Pulmo: tampak perselubungan pada parahilar dan paracardial kanan kiri

disertai prominent bronchovaskular marking

Sinus phrenicostalis kanan kiri tajam

Soft tissue dan tulang tidak tampak kelainan

Kesan:

Pneumonia bilateral

3. MSCT Thorax

Hasil MSCT Thorax tanpa dan dengan contrast i.v 29 Juni 2020:

Tampak multifokal ground glass opasities (GGO) mixed konsolidasi,

lokasi peripheral part:

a. Segmen apical dan posterior lobus superior paru kanan


100

b. segmen lateral lobus medius paru kanan

c. segmen superior, anteromedial, lateral, dan posterior lobus inferior

paru kanan

d. segmen apicoposterior dan superior lingular lobus superior paru kiri

e. segmen superior, anteromedial, lateral, dan posterior lobus inferior

paru kiri

Tak tampak gambaran abnormal nodule/ mass

Trachea dan bronchus kanan kiri paten, tak tampak efusi pleura, jantung

ukuran normal, tak tampak efusi pericard, caliber aorta dan trunkus

pulmonalis normal, tulang – tulang normal.

Kesimpulan:

Multifokal peripheral ground glass opasities (GGO) mixed konsolidasi

dikedua parenkim paru, sesuai gambaran Bilateral Pneumonia.

Secara radiologis highly suspicious Covid-19 Pneumonia.

3.1.5 Penatalaksanaan Medis

Tabel 3.4 Daftar terapi yang diberikan pada Tn. H. S, yaitu:


No Obat yang Dosis Rute Indikasi
diberikan
1 Asering 1000ml/ 24jam Infus Pengganti cairan tubuh yang hilang
2 Neurobion 3ml/ 24jam i.v Vitamin menjaga kesehatan sistem
drip saraf
3 Meropenem 3 x 1gram i.v Antibiotik yang digunakan untuk
menangani berbagai infeksi seperti
pneumonia dan infeksi lainnya
4 Medixon 3 x 125mg i.v Mengatasi peradangan dan untuk
meredakan alergi
5 Pantoprazole 2 x 40mg i.v Meredakan gejala meningkatnya
asam lambung
6 Probio C 2 x 1gram i.v Memenuhi kebutuhan vitamin C,
101

sebagai antioksidan
7 Ondansetron 2 x 8mg i.v Mencegah serta mengobati mual
adan muntah yang bisa disebabkan
oleh efek pengobatan
8 Resfar 1 x 1vial i.v Mengencerkan dahak yang
drip menghalangi saluran pernapasan
9 Aristra 1 x 5mg s.c Mencegah dan mengobati DVT
yaitu suatu kondisi yang
menyebabkan terbentuknya
gumpalan darah dan penyumbatan
dipembuluh darah tungkai.
Gumpalan ini dapat lepas dan
menyumbat pembuluh darah paru –
paru
10 Tamoliv 3 x 1gram i.v Mengobati nyeri ringan sampai
drip sedang dan menurunkan demam
11 Lopivia 2 x 2gram oral Menghambat proses pembelahan
virus
12 hyloquin 2 x 200mg oral Selain untuk pengobatan malaria
obat ini juga digunakan untuk
menangani penyakit yang
menyerang sistem kekebalan tubuh
102

3.2 Diagnosis Keperawatan

3.2.1 Analisa Data

Penulis mengelompokkan data dari hasil pengkajian kemudian dianalisa

sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Tabel 3.5 Analisa Data Pada Tn. H. S dengan Diagnosa Medis Pneumonia e. c
Covid–19 di Ruang Instalasi Gawat Darurat RS Premier Surabaya.
Data Etiologi Masalah
DS : Perubahan membran Gangguan pertukaran
Pasien mengeluh sesak alveolus – kapiler gas
DO : (SDKI, 2017)
1. Adanya bunyi napas D. 0003
tambahan (ronkhi)
2. Nadi: 112x/ menit (60 –
100x/ menit)
3. Adanya napas cuping
hidung
4. Pernapasan: 36x/ menit
(16 – 20x/ menit)

Hasil pemeriksaan BGA


29/06/2020
1. pH: 7.26 (7.340 – 7.440)
2. PCO2: 46.8 mmHg (35 –
45 mmHg)
3. pO2: 79 mmHg (89 – 116
mmHg)
4. HCO3: 27.8 mmol/l (22 –
26 mmol/ l)
DS : Proses penyakit Hipertermia
Anak pasien mengatakan (infeksi) (SDKI, 2017)
demam sudah satu minggu, D. 0130
demam turun jika minum obat
penurun panas
DO :
1. Suhu frontal: 39 ̊ C
2. Pernapasan: 36x/ menit
3. Nadi: 112x/ menit regular
Data Penunjang:
Hasil pemeriksaan laborat
29/06/2020:
1. CRP: 36.80 mg/ dl (0 –
4.99 mg/ dl)
2. WBC: 17.10 K/ ul (4.00 –
11.50 K/ ul)
103

DS: Hipersekresi jalan Bersihan jalan napas


Pasien mengeluh batuk napas tidak efektif
berdahak dan dahak susah (SDKI, 2017)
keluar D.0001
DO :
1. Dispnea (sesak)
2. Tidak mampu batuk atau
mengeluarkan dahak
3. Terdapat suara napas
tambahan ronkhi +
4. Pernapasan: 36x/ menit
5. Nadi: 112x/ menit regular
Hasil pemeriksaan thorax foto
tanggal 29/06/2020 gambaran
paru pneumonia bilateral

3.3 Intervensi Keperawatan

Dari hasil analisa data penulis mengambil 3 prioritas masalah yang

kemudian menuyusun rencana keperawatan sebagai berikut:

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveolus – kapiler (SDKI, 2017) D.0003

Tujuan: setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan pertukaran gas membaik. Ditandai dengan kriteria hasil: Setelah

dilakukan asuhan keperawatan dalam 2 – 4 jam, pertukaran gas meningkat,

ditandai dengan kriteria hasil: dispnea menurun, bunyi napas tambahan (ronkhi)

menurun, PaCO2 membaik (35 – 45 mmHg), PaO2 membaik (> 80 mmHg), pH

arteri membaik (7.35 – 7.45), takikardia membaik, frekuensi nadi (60 – 100x/

menit), pola napas membaik pernapasan 12 – 20x/ menit, napas cuping hidung

menurun (SLKI, 2019).

Rencana tindakan keparawatan yang dilakukan adalah: 1) Monitor

frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas, 2) Monitor pola napas (seperti:
104

bradipnea, takipnea, kussmaul), 3) Monitor saturasi oksigen, 4) Monitor nilai

Analisa Gas Darah, 5) Auskultasi bunyi napas, 6) Berikan oksigen dan monitor

kecepatan aliran oksigen, 7) Monitor efektifitas terapi oksigen, 8) Monitor rontgen

dada untuk melihat adanya peningkatan densitas pada area paru yang

menunjukkan terjadinya pneumonia, 9) Edukasi: Jelaskan tujuan dan prosedur

pemberian oksigen, 10) Kolaborasi penentuan dosis oksigen (SIKI, 2018).

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi) (SDKI, 2017)

D.0003

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3 x 24

jam diharapkan termoregulasi membaik. Ditandai dengan kriteria hasil: suhu

tubuh membaik (36,5 – 37,5oC), suhu kulit membaik (akral teraba hangat, kering,

merah), dan ventilasi membaik (pernapasan: 16 – 20x/ menit) (SLKI, 2019).

Rencana tindakan keparawatan yang dilakukan adalah: 1) Identifikasi penyebab

hipertermia, 2) Monitor suhu tubuh, 3) Monitor warna dan suhu kulit, 4) Berikan

cairan oral, 5) anjurkan tirah baring, 6) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit

intravena, 7) Kolaborasi pemberian antipiretik (SIKI, 2018).

3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan

napas. (SDKI, 2017) D.0003

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selam 3x24 jam diharapkan

bersihan jalan nafas efektif, ditandai dengan kriteria hasil: batuk efektif

meningkat, produksi sputum menurun, suara napas tambahan menurun, dispnea

menurun, frekuensi napas membaik (RR: 16 – 20x/ menit) (SLKI, 2019). Rencana

tindakan keperawatan yang dilakukan adalah: 1) Monitor pola napas (frekuensi,

kedalaman, usaha napas), 2) Posisikan semi – Fowler atau Fowler, 3) Ajarkan


105

teknik batuk efektif, 4) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektorn,

mukolitik, jika perlu (SIKI, 2018).

3.4 Implementasi Keperawatan

Perencanaan asuhan keperawatan yang telah dibuat diimplementasikan

pada pasien sesuai dengan kondisi pasien, kemudian sebelum dipindah keruang

rawat inap dilakukan evaluasi.

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveolus – kapiler.

Implementasi yang dilakukan pada hari pertama pada tanggal 29 Juni 2020

pukul 22.00 WIB adalah membina hubungan saling percaya dengan pasien dan

keluarga. Setelah itu melakukan implementasi sesuai dengan intervensi untuk

menangani masalah keperawatan dengan gangguan pertukaran gas yaitu: 1)

Memonitor kesadaran dan vital sign pasien meliputi: tekanan darah, frekuensi,

irama, kedalaman, dan upaya napas, pola napas, serta saturasi oksigen (Hasil:

GCS E:4 V:5 M:6, tekanan darah: 131/78 mmHg, nadi: 112x/ menit (regular),

pernapasan: 36x/ menit, SpO2: 86% tanpa oksigen, suhu: 39⁰C), 2) Melakukan

pengambilan Analisa Gas Darah, (Hasil: pH: 7,260 (7,340 – 7,440), pCO2: 46.8

mmHg (35 – 45 mmHg), pO2: 79 mmHg (89 – 116 mmHg, HCO3: 27.8 mmol/ l

(22 – 26 mmol/ l), 3) Memberikan oksigen dan monitor kecepatan aliran oksigen

dan efektifitas pemberian oksigen, (pasien terpasang NRBM 10 lpm dengan

SpO2: 96%), 4) Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian oksigen, 5)

Memonitor rontgen dada untuk melihat adanya peningkatan densitas pada area

paru yang menunjukkan terjadinya pneumonia (hasil thorax foto 29/06/2020:


106

pneumonia bilateral), 6) Melakukan konsultasi dengan dokter terkait hasil

pemantauan dan perkembangan pasien.

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)

Implementasi yang dilakukan pada hari pertama pada tanggal 29 Juni 2020

pukul 22.00 WIB untuk perbaikan termoregulasi pada hari pertama adalah: 1)

Mengidentifikasi penyebab hipertermia (proses inflamasi pada paru), 2)

Memonitor suhu tubuh (suhu: 39oC pada pukul 22.00 WIB), 3) Memonitor warna

dan suhu kulit (kulit teraba panas, merah), 4) Menganjurkan pasien minum air

putih ± 1100cc/ 24 jam (sedikit – sedikit tapi sering), 5) Menganjurkan pasien

tirah baring, 6) Memberikan terapi sesuai advis dokter (infus Asering 500ml drip

neurobion 3ml dalam 24 jam, injeksi meropenem 3 x 1gram i.v, injeksi tamoliv 3

x 1gram drip).

3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan

napas

Implementasi yang dilakukan pada hari pertama pada tanggal 29 Juni 2020

pukul 22.00 WIB untuk menangani masalah keperawatan dengan bersihan jalan

napas tidak efektif, yaitu: 1) Memonitor pola napas dan suara napas tambahan

(frekuensi napas: 36x/ menit pada pukul 22.00 WIB, terdapat suara ronkhi

dikedua lapang paru), 2) Memberikan posisi semi – Fowler, 3). Mengajarkan

teknik batuk efektif, 4). Memberikan terapi sesuai advis dokter, (injeksi medixon

3 x 125mg i.v, injeksi resfar 1 x 1vial drip).


107

3.5 Evaluasi Keperawatan

Setelah diberikan intervensi dan implementasi pada pasien Tn. H. S

dengan diagnosa medis Pneumonia e. c Covid–19 penulis melakukan evaluasi

selama proses keperawatan tersebut sebagai berikut:

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveolus – kapiler.

Setelah dilakukan intervensi dan implementasi keperawatan pada pasien

Tn. H. S dengan diagnosa medis Pneumonia e. c Covid–19, dilakukan evaluasi

keperawatan hari pertama sebelum pasien diantar keruang perawatan tanggal 30

Juni 2020 didapatkan masalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan

perubahan membran alveolus – kapiler teratasi sebagian ditandai dengan pasien

mengatakan sesak berkurang tetapi hanya sedikit Pada pemeriksaan fisik

didapatkan akral teraba hangat, napas cuping hidung tidak ada, suara napas

tambahan (ronkhi dikedua lapang paru). Pengkajian tanda – tanda vital didapatkan

tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 105x/ menit (reguler), pernapasan: 30x/ menit

(terpasang NRBM 10 lpm), SpO2: 97% dengan NRBM 10 lpm, suhu: 37.7 ⁰C

(frontal), CRT < 3 detik. Dari hasil pemeriksaan BGA 29/06/2020 didapatkan pH:

7.26 (7.340 – 7.440), PCO2: 46.8 mmHg (35 – 45 mmHg), pO2: 79 mmHg (89 –

116 mmHg), HCO3: 27.8 mmol/ l (22 – 26 mmol/ l). Dari data tersebut

membuktikan masalah belum teratasi oleh karena itu perawat tetap

mempertahankan tindakan keperawatan, observasi kebutuhan oksigen dan

turunkan secara bertahap, serta pantau hasil gas darah pasien, Cek laborat lanjutan

untuk darah lengkap, D-dimer dan feritin.


108

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)

Setelah dilakukan intervensi dan implementasi keperawatan pada pasien

Tn. H. S dengan diagnosa medis Pneumonia e. c Covid–19, dilakukan evaluasi

keperawatan hari pertama sebelum pasien diantar keruang perawatan tanggal 30

Juni 2020 didapatkan masalah hipertermia berhubungan dengan proses penyakit

(infeksi) teratasi sebagian ditandai dengan pasien mengatakan sudah mulai

berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan badan teraba panas, akral teraba

hangat, kulit kemerahan. Pengkajian tanda – tanda vital didapatkan suhu pasien:

37.7⁰C (frontal), nadi: 105x/ menit (reguler), pernapasan: 30x/ menit (terpasang

NRBM 10 lpm), SpO2: 97% dan pada hasil laboratorium terdapat peningkatan

jumlah leukosit dengan jumlah 17.10 K/ uL (4.0 – 11.50 K/ uL), CRP: 36.80 mg/ l

(0.00 – 4.99 mg/ l), procalcitonin 0.07 ng/ ml (0.00 – 0.05 ng/ ml), NLR: 19.7.

Dari data tersebut membuktikan masalah teratasi sebagian oleh karena itu perawat

tetap mempertahankan tindakan keperawatan, observasi suhu tiap 3 jam, dan

kolaborasi pemeriksaan laborat lanjutan.

3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan

napas

Setelah dilakukan intervensi dan implementasi keperawatan pada pasien

Tn. H. S dengan diagnosa medis Pneumoni e. c Covid–19, dilakukan evaluasi

keperawatan hari pertama sebelum pasien diantar keruang perawatan tanggal 30

Juni 2020 didapatkan masalah bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan

dengan hipersekresi jalan napas belum teratasi yang ditandai dengan pasien masih

batuk masih “ngekel”. Hasil pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan tekanan

darah: 110/80 mmHg, nadi: 105x/ menit (reguler), pernapasan: 30x/ menit
109

(terpasang NRBM 10 lpm), SpO2: 97% dengan NRBM 10 lpm, suhu: 37.7⁰C

(frontal), auskultasi suara napas tambahan terdengar ronkhi dikedua lapang paru,

Hasil pemeriksaan thorax pada tanggal 29 Juni 2020 Gambaran pneumonia

bilateral. Dari data tersebut membuktikan masalah belum teratasi oleh karena itu

perawat tetap mempertahankan tindakan keperawatan. Ajarkan batuk efektif dan

monitoring pernapasan, suara napas tambahan, dan pola napas.


BAB 4

ANALISA SITUASI

Pada bab ini akan disajikan tentang asuhan keperawatan pada pasien

dengan Pneumonia e. c Covid–19 di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Premier Surabaya, melalui pendekatan studi kasus untuk mendapatkan

kesenjangan antara teori dan praktek dilapangan. Pembahasan terhadap proses

keperawatan ini dimulai dari analisis masalah dan intervensi keperawatan sesuai

dengan teori dan intervensi keperawatan sesuai dengan kasus.

4.1 Pengkajian

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan pengkajian dilakukan pada tanggal

29 Juni 2020 di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Premier Surabaya,

terhadap Tn. H. S, usia 66 tahun, berjenis kelamin laki – laki, Pasien dirawat

dengan diagnosis medis Pneumonia e. c Covid–19. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus Covid–19 paling banyak

terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30 – 79 tahun dan paling sedikit

terjadi pada usia < 10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang

ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan JM, 2020). Menurut

peneliti fakta yang terdapat dilapangan jumlah pasien laki – laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan angka kunjungan dalam satu bulan terakhir

jumlah pasien laki – laki sebesar 182 orang sedangkan perempuan 142 orang.

Peneliti juga berpendapat bahwa pada usia lanjut memiliki risiko rentan terjadi

pneumonia e. c Covid–19, dikarenakan pada usia lanjut respon imunitas yang

mulai menurun serta diikuti dengan riwayat penyakit yang dimiliki seseorang.
110
111

Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan keluhan utama yang dirasakan

pasien yaitu sesak napas dirasakan sudah seminggu, disertai dengan batuk

berdahak dan demam tinggi jika malam hari, pasien mengatakan penciuman sudah

berkurang dalam 3 hari ini, badan lemas tidak nafsu makan. Menurut Kementrian

Kesehatan RI (2020), gejala COVID–19 yang paling umum adalah demam (suhu

> 38ºC), rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa

nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit

tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Menurut

data dari negara – negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan

mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk

pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan

mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah

1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress

Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multiorgan, termasuk gagal

ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia

(lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti

tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko

lebih besar mengalami keparahan. Pada kasus yang dibahas pasien tidak memiliki

riwayat penyakit hipertensi, diabetes, jantung, kemungkinan proses penyembuhan

lebih cepat namun pasien termasuk dalam kategori lansia. Pasien dengan usia

lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui lebih berisiko untuk

mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan

dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan bahwa CFR pada pasien

dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%.
112

Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian di Italia, di mana CFR pada usia ≥

80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR keseluruhan adalah 7,2% (Onder G,

Rezza G, Brusaferro S, 2020). Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh adanya

penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien dengan

penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien

dengan penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6%

pada pasien dengan kanker. Menurut peneliti meskipun pasien tidak memiliki

riwayat komorbid, tetapi pasien termasuk dalam kriteria lansia sehingga

membutuhkan proses penyembuhan yang lebih lama dibandingkan dengan usia

remaja.

Beberapa pasien yang datang ke Rumah Sakit sering mendapat pengantar

rujukan dengan diagnosis typhoid fever dari klinik seperti pada kasus ini, pasien

mendapat pengantar untuk rawat inap dengan thypoid fever, keluhan utama yang

dirasakan pasien Covid–19 memiliki persamaan dengan gejala thypoid. Menurut

(Yatnita, 2011) manifestasi klinis demam tifoid sangat bervariasi, tetapi biasanya

didapatkan trias tifoid, yaitu demam lebih dari 5 hari, gangguan pada saluran

cerna dan dapat disertai atau tanpa adanya gangguan kesadaran, serta bradikardia

relatif. Umumnya perjalanan penyakit ini berlangsung dalam jangka waktu

pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. Berdasarkan pengalaman peneliti

dilapangan dari 40 kunjungan dan rujukan pasien yang terdiagnosa thypoid fever

terkonfirmasi ke covid–19 sebesar 10 orang, untuk pembahasan signifikan

diperlukan penelitian lebih lanjut adakah hubungan thypoid fever dengan kejadian

covid–19.
113

Hasil pengkajian pasien mengalami desaturasi dan mengalami hipoksia

dengan hasil pemeriksaan fisik tanda – tanda vital GCS E:4 V:5 M:6, tekanan

darah 131/78 mmHg, Nadi 112x/menit (regular), pernapasan 36x/menit, SpO2

86% tanpa oksigen, suhu 39⁰C. Pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas

tambahan ronkhi halus di daerah basal paru kanan dan kiri. Berikut sindrom klinis

yang dapat muncul jika terinfeksi Covid–19 disertai dengan pneumonia berat.

Pada pasien dewasa, gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi

saluran napas. Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas: > 30x/menit),

distres pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien < 90% udara luar (PDPI,

2020). Hipoksia dan desaturasi terjadi karena sirkulasi oksigen yang tidak

adekuat. Sirkulasi oksigen yang terganggu disebabkan oleh karena adanya

gangguan fungsi paru yang disebabkan oleh infeksi virus SARS CoV-2.

Sebagai data penunjang yang lain kadar pH dalam analisa gas darah didapatkan

7.26 (7.340 – 7.440), pCO2: 46.8 mmHg (35 – 45 mmHg), Pada pneumonia

ditemukan hipoksemia sedang atau berat, beberapa kasus tekanan parsial

karbondioksida (PCO2) meningkat dan pada stadium lanjut menunjukkan asidosis

respiratorik (Luttfiya MN, Henley E, 2010). Berdasarkan pengalaman peneliti

dilapangan saturasi oksigen pada pasien yang curiga Covid–19 tidak melebihi

96%, peneliti berpendapat pasien dengan covid–19 sirkulasi oksigen terganggu

disebabkan oleh karena adanya gangguan fungsi paru yang disebabkan oleh

infeksi virus SARS CoV-2.

Hasil pemeriksaan Laboratorium Tn H. S didapatkan leukosit dengan

jumlah 17.10 K/uL (4.0 – 11.50 K/uL), CRP: 36.80 mg/l (0.00 – 4.99 mg/l),

procalcitonin 0.07 ng/ml (0.00 – 0.05 ng/ml), NLR: 19.7. Pada covid-19,
114

pneumonia, sering terjadi peningkatan jumlah leukosit sebagai respon terhadap

peradangan akut. Sedangkan infeksi juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah

CRP. Peradangan disebabkan oleh penyakit menular, dan semakin banyak bukti

yang mendukung perannya yang penting dalam perkembangan berbagai

pneumonia virus, termasuk COVID-19 (Zhu N, et al, 2020). Respons inflamasi

yang parah berkontribusi pada respons imun adaptif yang lemah, sehingga

mengakibatkan ketidakseimbangan respons imun. Oleh karena itu, biomarker

yang bersirkulasi yang dapat mewakili peradangan dan status kekebalan adalah

prediktor potensial untuk prognosis pasien COVID-19 (Xiang N, et al, 2013).

Hitung sel darah putih (WBC) perifer, rasio neutrofil (NEU)-terhadap-limfosit

(LYM) (NLR), yang diperoleh rasio NLR (d-NLR, jumlah neutrofil dibagi dengan

hasil penghitungan WBC dikurangi jumlah neutrofil), trombosit ke -lymphocyte

rasio (PLR) dan limfosit-ke-monosit (LMR) adalah indikator dari respon

inflamasi sistematis yang banyak diselidiki sebagai prediktor yang berguna untuk

prognosis pasien dengan pneumonia virus (Ying H., et al, 2014). Pemeriksaan dini

c-reactive protein (CRP) serum 24 – 48 jam merupakan uji laboratorium yang

telah dikenal luas untuk mendiagnosis dan memonitor berbagai proses infeksi dan

inflamasi akut, termasuk pneumonia. Almirall J, et al, (2004) melaporkan bahwa

median kadar CRP pada pasien yang sudah dikonfirmasi menderita pneumonia

lebih tinggi dibandingkan median CRP pada mereka yang tidak pneumonia (110,7

mg/l vs 31,9 mg/l, p<0,05). Studi lainnya mendapatkan bahwa sensitifitas CRP

dalam mendiagnosis infeksi saluran napas bagian bawah berkisar antara 10 – 98%

dengan spesifisitas berkisar antara 44 – 99%. Namun demikian, penelitian –

penelitian tersebut tidak secara khusus melibatkan pasien usia lanjut maupun
115

melakukan analisis sub-grup pada kelompok usia lanjut. Hasil pengkajian

berdasarakan skrining EWS didapatkan hasil 13, menurut Song, C. Y., Xu, J., He,

J. Q., & Lu, (2020), pasien dicurigai tinggi Covid – 19 jika nilai EWS ≥10.

Peneliti berpendapat bahwa skrining EWS sangat bermanfaat dalam penentuan

triase pasien secara cepat untuk mengetahui apakah pasien beresiko tinggi Covid–

19.

Hasil pemeriksaan radiologi thorax foto Tn H. S pada tanggal

29/06/2020 yang dilakukan ditemukan gambaran paru pneumonia bilateral.

Pemeriksaan foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada pencitraan dapat

menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps paru

atau nodul, tampilan groundglass. Pada stage awal, terlihat bayangan multiple plak

kecil dengan perubahan intertisial yang jelas menunjukkan di perifer paru dan

kemudian berkembang menjadi bayangan multiple ground-glass dan infiltrate di

kedua paru (PDPI, 2020). Selain itu pemeriksaan yang dapat dilakukan pada

kasus pneumonia dilakukan RT-PCR. Pada kasus terkonfirmasi infeksi COVID-

19, ulangi pengambilan sampel dari saluran napas atas dan bawah untuk petunjuk

klirens dari virus. Frekuensi pemeriksaan 2- 4 hari sampai 2 kali hasil negative

dari kedua sampel serta secara klinis perbaikan, setidaknya 24 jam. Peneliti

berpendapat bahwa pasien Covid – 19 pemeriksaaan penunjang yang wajib

dilakukan jika pasien dicurigai Covid-19 adalah PCR, berdasarkan pengalaman

peneliti dilapangan beberapa kejadian sering terjadi, meskipun gambaran rapid

test negative dan gambaran thorax pneumonia pasien belum tentu positif Covid-19

semua ditunjang dengan pemeriksaan PCR.


116

4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang muncul pada tinjauan kasus diatas, yaitu:

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveolus kapiler.

Diperoleh data pada Nadi 112x/menit (regular), pernapasan

36x/menit, SpO2 86% tanpa oksigen, Hasil analisa gas darah pH:

7,260 (7,340 – 7,440), pCO2: 46.8mmHg (35 – 45mmHg), pO2:

79mmHg (89 – 116 mmHg, HCO3: 27.8mmol/l (22 – 26 mmol/l),

Menurut SDKI (2017) pada domain D.0003, menjelaskan pada data

objektif gangguan pertukaran gas tanda mayor minor yang terdapat

pada Tn. H. S yaitu hasil laborat pH arteri menurun, pCO2 meningkat,

bunyi napas tambahan (ronkhi), terdapat napas cuping hidung, pola

napas cepat dengan RR: 36 x/menit. Masalah ini menjadi perhatian

khusus dan memerlukan observasi ketat agar terhindar dari kondisi

gagal nafas. Kenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan

distress pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar

(walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup dengan kantong

reservoir 10 – 15 lpm). Gagal napas hipoksemi pada ARDS biasanya

membutuhkan ventilasi mekanik (PDPI, 2020). Menurut peneliti

masalah keperawatan yang pertama ini menjadi masalah prioritas pada

asuhan keperawatan pasien covid–19 dikarenakan pasien mengalami

masalah pada proses difusi sehingga kadar oksigen dan


117

karbondioksida dalam darah menurun. Jika tidak ditangani dengan

cepat bisa berakibat gagal napas.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)

Diperoleh data Data pengkajian tanda-tanda vital didapatkan suhu

pasien : 39oC, nadi : 112 x/menit, pernapasan: 36x/menit, dan pada

hasil laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit dengan

jumlah 17.10 K/uL (4.0 – 11.50 K/uL), CRP: 36.80 mg/l (0.00 – 4.99

mg/l), Menurut SDKI (2017) pada domain D.0130, menjelaskan pada

data objektif hipertermia tanda mayor minor yang terdapat pada Tn

H. S yaitu suhu tubuh diatas nilai normal, kulit terasa hangat,

takikardi, takipnea. Hipertermia dapat disebabkan karena adanya

proses inflamasi di dalam paru sebagai respon masuknya organisme

pathogen, Bila suatu partikel dapat mencapai paru – paru, partikel

tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan

mekanisme imun sistemik dan humoral. Infeksi pulmonal bisa terjadi

karena terganggunya salah satu mekanisme pertahanan dan organisme

dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui aspirasi

maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus

maka terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti

leukosit dalam jumlah besar (Nugroho, 2011). Berdasarkan data dan

teori tersebut analisa penulis penyebab demam pada pasien

pneumonia e. c Covid–19 adalah karena adanya peradangan yang

disebabkan oleh mikroorganisme sehingga tubuh merespon dan

terjadilah demam pada Tn. H. S ditandai dengan suhu tubuh: 39oC dan
118

kulit teraba hangat dan berwarna kemerahan. Selain itu adanya demam

karena proses infeksi dalam paru dapat dilihat adanya leukositosis,

dimana hal tersebut menjadi salah satu upaya tubuh dalam melawan

virus yang berhasil masuk kedalam tubuh. Monitor suhu tubuh

secara berkala dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan proses

infeksi dan mencegah terjadinya syok sepsis.

3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi

jalan napas

Diperoleh data pasien didapatkan pasien mengeluh batuk, tidak

mampu mengeluarkan dahak, frekuensi pernapasan: 36 x/menit,

terdapat suara napas tambahan ronkhi di seluruh lobus kanan kiri, dan

nadi: 112 x/menit. Menurut SDKI (2017) pada domain D.0001,

menjelaskan pada data objektif bersihan jalan napas tanda mayor

minor yaitu batuk tidak efektif/ tidak dapat batuk, sputum berlebih,

ronkhi, dan frekuensi nafas berubah. Menurut Nurarif dan Kusuma

(2013) mikroorganisme yang masuk kesaluran pernafasan memicu

peradangan yang menimbulkan sekret yang semakin lama semakin

menumpuk dibronkus sehingga aliran bronkus menjadi sempit dan

pasien merasa sesak. Akibat dari sekresi atau infeksi sputum yang

berlebih dapat menyebabkan obstruksi saluran pernafasan dan

sumbatan pada saluran pernafasan. Produksi sputum berlebih terjadi

karena adanya inflamasi dan infeksi saluran pernafasan. Bersihan jalan

napas didefinisikan ketidakmampuan membersihkan sekret atau

obstruksi jalan untuk mempertahankan jalan napas tetap paten (SDKI,


119

2017). Menurut peneliti pada pasien terjadi bersihan jalan napas tidak

efektif terjadi karena terdapat infeksi dan peradangan dalam paru yang

menyebabkan produksi sputum berlebih, pada Tn. H. S tidak mampu

mengeluarkan sekret, sehingga terdapat penumpukan sputum yang

membuat perlengketan pada jalan nafas dan dapat mengakibatkan

pasien mengalami sesak nafas

Diagnosa yang tidak muncul pada kasus Tn. H. S tetapi ada dalam tinjauan

pustaka yaitu:

d. Gangguan Ventilasi Spontan b/d gangguan metabolisme, kelemahan/

keletihan otot pernapasan (SDKI, 2017) D.0004 hal. 24

e. Risiko Syok d/d hipoksia, sepsis, sindrom respons inflamasi sistemik

(SDKI, 2017) D.0039 hal.92

f. Gangguan Sirkulasi Spontan b/d penurunan fungsi ventrikel (SDKI,

2017) D.0007 hal. 32

Peneliti berpendapat bahwa sesuai dengan SDKI, (2017) tidak terdapat

tanda baik mayor dan minor pada diagnosa yang tidak diambil peneliti,

sehingga peneliti mengambil diagnose sesuai dengan kondisi dan keluhan

yang dirasakan pasien.

4.3 Intervensi Keperawatan

Pembuatan intervensi keperawatan menyesuaikan dengan diagnosa

keperawatan yang muncul. Setiap diagnosa keperawatan yang muncul memiliki

tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan sebagai penilaian keberhasilan

implementasi yang diberikan.


120

4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveolus – kapiler (SDKI, 2017) D.0003

Rencana tindakan keparawatan yang dilakukan adalah: 1). Monitor

frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas, 2). Monitor pola napas (seperti:

bradipnea, takipnea, kussmaul), 3). Monitor saturasi oksigen, 4). Monitor nilai

Analisa Gas Darah, 5). Auskultasi bunyi napas, 6). Berikan oksigen dan monitor

kecepatan aliran oksigen, 7). Monitor efektifitas terapi oksigen, 8). Monitor

rontgen dada untuk melihat adanya peningkatan densitas pada area paru yang

menunjukkan terjadinya pneumonia, 9). Edukasi: Jelaskan tujuan dan prosedur

pemberian oksigen, 10). Kolaborasi penentuan dosis oksigen (SIKI, 2018).

Menurut peneliti intervensi yang dapat dilakukan pada masalah gangguan

pertukaran gas membantu memenuhi kebutuhan oksigen. Pasien yang datang ke

IGD diberikan penanganan pertama yang tepat untuk meningkatkan status

kesehatan dan mencegah terjadinya komplikasi gagal nafas akut. Observasi ketat

yang dilakukan membantu mengontrol perkembangan terapi yang sudah

dilakukan. Pemantauan ketat tanda – tanda vital dan tanda hipoksemia yang

memberat menjadi tugas perawat dalam membantu mengatasi masalah gangguan

pertukaran gas dan mencegah terjadinya komplikasi. Pastikan patensi jalan napas

sebelum memberikan oksigen.

5. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi) (SDKI, 2017)

D.0003

Rencana tindakan keparawatan yang dilakukan adalah: 1) identifikasi

penyebab hipertermia, 2) monitor suhu tubuh, 3) monitor warna dan suhu kulit, 4)
121

berikan cairan oral, 5) anjurkan tirah baring, 6) kolaborasi pemberian cairan dan

elektrolit intravena, 7) kolaborasi pemberian antipiretik (SIKI, 2018).

Menurut peneliti intervensi keperawatan mandiri yang dapat dilakukan

perawat adalah melepas jaket atau selimut tebal yang menutupi tubuh pasien,

memastikan suhu ruangan yang dingin dan nyaman, pemberian cairan untuk

mencegah dehidrasi akibat proses penguapan. Monitor ketat suhu dan tanda

vital lainnya yang menjadi tanda perburukan kondisi pasien.

6. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan

napas. (SDKI, 2017) D.0003

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan adalah: 1). Monitor pola

napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas), 2). Posisikan semi-Fowler atau

Fowler, 3). Ajarkan teknik batuk efektif, 4). Kolaborasi pemberian bronkodilator,

ekspektorn, mukolitik, jika perlu (SIKI, 2018).

Menurut peneliti pemantauan bersihan jalan nafas harus dilakukan pada

pasien dengan gejala batuk produksi sputum yang tidak dapat dikeluarkan secara

efektif. Sputum yang berlebih dapat menjadi sumbatan jalan nafas jika tidak

dikeluarkan. Perawat mengajarkan batuk efektif kepada pasien untuk membantu

mengeluarkan sputum dan berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

mukolitik untuk mengencerkan dahak. Menurut PDPI (2020) pada anamnesis

gejala utama dapat ditemukan seseorang mengalami batuk berdahak atau pilek

dengan sulit bernafas dan sesak. Hal ini membutuhkan penanganan berlanjut

dalam pemberian terapi oksigen dan obat golongan mukolitik untuk

mengencerkan dahak dan mengurangi batuk.


122

4.4 Implementasi Keperawatan

Dalam melakukan tindakan keperawatan pada Tn. H. S seluruh tindakan

yang dilakukan berdasarkan teori keperawatan yang berfokus pada intervensi yang

telah ditetapkan yang mengacu pada SDKI dan SIKI. Namun tidak seluruh

intervensi yang telah ditetapkan dapat dilakukan di ruang instalasi gawat darurat

dimana sesuai dengan pengertian gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang

membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan

kecacatan. Pelayanan Gawat Darurat adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh

korban atau pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan

nyawa dan pencegahan kecacatan (Kemenkes RI, 2016). Intervensi kolaborasi

pemberian bronkodilator pada diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif tidak

dilakukan nebulizer untuk pasien dalam pengawasan atau terbukti COVID–19

karena dapat menyebabkan aerosolisasi, menurut peneliti untuk mengurangi

tindakan tersebut bisa digantikan dengan terapi lain misalnya pada kasus

diberikan injeksi Resfar.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus – menerus dilakukan

untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana

keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana

keperawatan (Manurung, 2011). Tahap evaluasi merupakan tahap dalam asuhan


123

keperawatan yang dimana peneliti menilai asuhan keperawatan yang telah

dilakukan.

Pada kasus Tn. H. S terdapat tiga masalah keperawatan dan dari ketiga

masalah yang telah diambil pada Tn. H. S masalah gangguan pertukaran gas dan

hipertermi teratasi sebagian, sedangkan masalah bersihan jalan napas tidak efektif

belum teratasi, maka intervensi dari ketiga diagnosa yang diambil tetap

dilanjutkan diruang perawatan.


BAB 5

PENUTUP

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn. H. S diagnosa

dengan Pneumonia e. c Covid–19 di Ruang IGD Rumah Sakit Premier Surabaya,

maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sekaligus saran yang dapat

bermanfaat dalam meningkatkan mutu asuhan keperawatan pada pasien dengan

Pneumonia e. c Covid–19.

5.1 Simpulan

1. Pengkajian pada pasien dengan diagnosis medis Pneumonia e. c

Covid–19, pada Tn. H. S ditemukan adanya keluhan sesak napas,

disertai dengan batuk, dan demam tinggi, akral dingin, basah, pucat.

Terdapat pernapasan cuping hidung, SpO2: 86% tanpa oksigen, pasien

beresiko mengalami gagal napas.

2. Perumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa

Pneumonia e. c Covid–19, didasarkan pada masalah yang ditemukan

yaitu: gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan

membran alveolus–kapiler, hipertermia berhubungan dengan proses

penyakit (infeksi), dan bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan

dengan hipersekresi jalan napas.

3. Perencanaan keperawatan pada Tn. H. S disesuaikan dengan diagnosa

keperawatan dengan tujuan pertukaran gas membaik, termoregulasi

membaik, dan bersihan jalan nafas efektif.

124
125

4. Perencanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan monitoring

status pernapasan, monitoring saturasi oksigen, dan pemeriksaan

analisa gas darah, memberikan cairan per oral sesuai kebutuhan,

pemberian antipiretik, antivirus, dan antibiotik, serta ajarkan pasien

batuk efektif.

5. Pada evaluasi tanggal 30 Juni 2020, masalah keperawatan gangguan

pertukaran gas dan hipertermi teratasi sebagian, sedangkan masalah

bersihan jalan napas tidak efektif belum teratasi, maka intervensi

keperawatan dilanjutkan diruang perawatan.

5.2 Saran

Guna mencapai keberhasilan dalam memberikan asuhan keperawatan

pada pasien dengan Pneumonia e. c Covid–19, saran dari penulis:

1. Bagi Pasien dan Keluarga

Agar patuh dalam melakukan protokol pencegahan Covid–19, keluarga

diharapkan memberikan semangat serta dukungan untuk kesembuhan pasien,

sehingga dapat membantu proses penyembuhan pasien.

2. Bagi Perawat

Perawat Instalasi Gawat Darurat hendaknya dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien dengan diagnosis Pneumonia e. c Covid–19,

melakukan pengkajian diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, dan melakukan

evaluasi keperawatan secara baik dan benar sesuai dengan standar asuhan

keperawatan yang berlaku dan perawat hendaknya melakukan dokumentasi secara

adekuat dan berkesinambungan, karena tidak menutup kemungkinan dokumentasi


126

tidak bisa maksimal karena jumlah pasien yang datang pada masa pandemi seperti

ini dimana jumlah pasien melebihi kapasitas tempat tidur dan jumlah perawat

yang berdinas. Perawat dituntut supaya lebih waspada dan patuh terhadap

pencegahan penularan infeksi pasien COVID–19.

3. Bagi Ruang Instalasi Gawat Darurat

Agar selalu meningkatkan kewaspadaan standar pencegahan infeksi pasien

positif Covid–19 sebagai salah satu bagian dari upaya peningkatan mutu

pelayanan di Rumah Sakit.


127

DAFTAR PUSTAKA

Algasaff H & Mukti A. (2015). Anatomi dan Fisiologi paru. Edisi 4. Airlangga
University Press.

Ali, U., Latif, H. A., & Kadir, A. (2014). Keperawatan Di Ruang IGD RSUP Dr .
Wahidin. 4, 228–235.

Australian Government Department of Health and Aging. (2009). Emergency


Triage Education Kit and Triage Workbook.

Axton Sharon dan Terry Fugate. (2014). Rencana asuhan keperawatan pediatrik.
Edisi 3. EGC.

Brunner & Suddarth. (2012). Keperawatan Medikal-Bedah. EGC.

Dalgleish, T., Williams, J. M. G. ., Golden, A.-M. J., Perkins, N., Barrett, L. F.,
Barnard, P. J., Au Yeung, C., Murphy, V., Elward, R., Tchanturia, K., &
Watkins, E. (2007). Emergency Education Kit. Journal of Experimental
Psychology: General, 136(1).

Depkes RI. (2006). Pedoman Penyelenggaraan Dan Prosedur Rekam Medis


Rumah Sakit Di Indonesia.

Depkes RI. (2010). Prinsip Umum Pelayanan Rumah Sakit.

Destifiana, N. (2015). Hubungan Kejenuhan Kerja dan Beban Kerja Dengan


Kinerja Perawat Dalam Pemberian Pelayanan Kpeerawatan DI IGD dan
ICU RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga. 13–43.

Djojodibroto, R. D. (2013). Respirologi (Respiratory Medicine) (2nd ed.). EGC.

Evelyn, C. . (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.

Fehr, R. . (2015). Institutional Ownership and Environmental Performance: AN


overview in emerging and developed countries. Master Thesis, Radboud
University Nijmegen.

Guyton, A. & J. . H. (2007). Buku Ajar Fisioterapi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:


EGC.

Hedu. (2016). Anatomi Fisiologi Paru - Paru. CV. Agung Suseto.

Hidayati, H. (2014). Standar Pelayanan Kesehatan Pasien IGD di Rumah Sakit


Umum Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Ejournal Administrasi Negara,
3(2), 653–665.
128

HIPGABI. (2020). Panduan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pada Masa


Covid-19 (A. Kurniati (ed.)). Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan
Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (HIPGABI).

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, H. Y. et al. (2020). Clinical features of


patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet.
2020;395(10223):497-506. Epub 2020/01/28. doi: 10.1016/S0140-
6736(20)30183-5. PubMed PMID: 31986264. 4.

Jayanti, N. (2013). Perbandingan Kapasitas Vital Paru pada Atlet Pria Cabang
Olahraga & Lari Cepat Persiapan Olahraga Provinsi 2013 di Bandar
Lampung. Majority Journal. 2(5): 113-118.

Jeremy, dkk. (2008). At a Glance Sistem Respiratori Edisi Kedua. Erlangga.

Juarfianti. Engka, Joice N. Supit, S. (2015). Kapasitas Vital Paru pada Penduduk
Dataran Tinggi Desa Rurukan Tomohon. Jurnal e-Biomedik. 3(1): 430-434.

Kebijakan RS Premier Surabaya. (2015a). Standar Operasional Prosedur Tentang


Alur Pasien Instalasi Gawat Darurat.

Kebijakan RS Premier Surabaya. (2015b). Standar Operasional Prosedur Tentang


Triase IGD.

Kemenkes RI. (2016). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. 1–18.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Situasi Terkini Perkembangan


(COVID-19).05Mei,17–19.
https://covid19.kemkes.go.id/download/Situasi_Terkini_050520.pdf\

Kementrian Kesehatan RI. (2020). PEDOMAN PENCEGAHAN DAN


PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISESASE (COVID-19). revisi ke-.
https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/REV05_Pedoman_P2_CO
VID-19_13_Juli_2020.pdf

Kepmenkes RI. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Kepmenkes RI No.856/Menkes/SK/IX/2009. (2009). Standarisasi Pelayanan


Gawat Darurat.

Manurung, S. (2011). Keperawatan Profesional. Trans Info Media.

Maysanjaya, I. D. (2020). Classification of Pneumonia Based on Lung X-rays


Images using Convolutional Neural Network. 9(2), 190–195.
129

Miller, HU & Frank, I. (2011). Effect of Respiratory Muscle Training on Exercise


Perfomance in Healthy Individuals: A Systemic Review and Metaanalysis.
Sport Medicine Journal. 42(8): 707-724.

Muttaqin, A. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Respirasi. Salemba Medika.

Ngastiyah. (2015). Perawatan Anak Sakit: Edisi 2. Buku Kedokteran.

Nicki Gilboy. (2018). Triase. Keperawatan Gawat Darurat Dan Bencana Sheehy.

Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah Dan


Paenyakit Dalam. Nuha Medika.

Nurarif & Kusuma. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Daignosa


Medis &.Nanda Nic-Noc. MediAction.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Dianosa Medis & Nanda NIC-NOC (3rd ed.). Mediaction.

PDPI. (2020). Panduan Praktik Klinisi Pneumonia 2019-nCoV. PDPI.

Pitang, Y., Widjajanto, E., & Ningsih, D. K. (2016). Pengaruh Peran Perawat
Sebagai Care Giver Terhadap Length of Stay (Los) Di Igd Rsud
Dr.T.C.Hillerrs Maumere Dengan Pelaksanaan Triage Sebagai Variabel
Moderasi. Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016,
4(2), 240–255.

Setiadi. (2012). Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan. Graha


Ilmu.

Sherwood, L. (2012). Fisioogi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC

Song, C. Y., Xu, J., He, J. Q., & Lu, Y. Q. (. (2020). COVID-19 early warning
score: a multi-parameter screening tool to identify highly suspected patients.
medRxiv.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi I cetakan III. Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi I cetakan II. Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Edisi I cetakan II. Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tortora, GJ, Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy & Physiology 13th


Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
130

Vicki C Patrick dan John Fazio. (2018). Praktik Keperawatan Gawat Darurat. In
Yanny Trisyani (Ed.), Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy.
ELSEVIER.

Wang Z, Qiang W, K. H. (2020). A. Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control


and Prevention. Hubei Science and Technologi Press. China; 2020.

World Health Organization. (2020a). Coronavirus disease. Coronavirus Disease


(COVID-19) Situation Report – 119, 2019(May), 2633.
https://doi.org/10.1001/jama.2020.2633

World Health Organization. (2020b). Tatalaksana klinis infeksi saluran


pernapasan akut berat ( SARI ) suspek penyakit COVID-19. World Health
Organization, 4(March), 1–25.

Xu H, Zhong L, Deng J, Peng J, Dan H, Zeng X, et al. (2020). “High expression


of ACE2 receptor of 2019-nCoV on the epithelial cells of oral mucosa”.
International Journal of Oral Science. 12 (1): 8. doi:10.1038/s41368-020-
0074-x.

Yang X, Yu Y, Xu J, Shu H, Xia J, L. H. et al. (2020). Clinical course and


outcomes of critically ill patients with SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan,
China: a single-centered, retrospective, observational study. Lancet Respir
Med. 2020. Epub 2020/02/28. doi: 10.1016/S2213-2600(20)30079-5.
PubMed PMID: 32105632.

Yunus, F. (2007). Faal paru dan latihan. Jurnal Respirasi Indonesia. 17(1): 100-
105.

Yusran Haskas, SKM., S.Kep., M.Kes, Suarnianati, SKM., S.Kep., M. K. (2016).


Buku Ajar Sistem Respirasi. Indomedia Pustaka.
131

Lampiran 1

Curriculum Vitte

Nama : Siti Fatmawati

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 29 Agustus 1990

Agama : Islam

Alamat : Jl. Mojo 3 sawah No. 14 Surabaya

Email : sitifatmawati101015@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. Lulus TK Kusuma Surabaya Tahun 1997

2. Lulus SDN Mojo VI 225 Tahun 2003

3. Lulus SMP UNESA 2 Tahun 2006

4. Lulus SMA GIKI 3 Tahun 2009

5. Lulus D3 Keperawatan Poltekes Kemenkes Soetomo Tahun 2012

6. Lulus S1 Keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya Tahun 2019


132

Lampiran 2
MOTTO

Karunia Allah yang paling lengkap adalah kehidupan yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan.
(Ali bin Abi Thalib)
Kesuksesan bukan tentang seberapa banyak uang yang kamu hasilkan, tetapi
seberapa besar kamu bisa membawa perubahan untuk hidup orang lain.
(Michelle Obama)

PERSEMBAHAN
Kupersembahkan tugas akhir ini kepada:
1. Allah SWT yang senantiasa selalu memberikan kekuatan, kemudahan dan
meridhoi setiap langkahku.
2. Suami serta anakku Arga Rizki Afriano, dan Narendra Rizki Pratama,
terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan, serta kesabaran dalam
membimbing saya dalam setiap hal.
3. Kedua Orang tuaku, Almarhum Bapak Namin, dan Ibu Katimah, terima
kasih atas doa, kasih sayang, serta dukungan yang telah diberikan selama
ini.
4. Semua Dosen serta Kepala Ruangan IGD yang sudah membantu
memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan karya ilmiah
ini.
5. Kakakku Aris Kurniawan, Titin, dan keponakanku Luis dan Aisyah yang
sudah memberi semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini ini, serta
keluarga lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
6. Rekan – rekan IGD RS Premier yang selalu meluangkan waktu
menggantikan dinas dan memberi semangat serta dorongan agar karya
ilmiah ini selesai tepat waktu.
7. Sahabatku Mintoem dan Pucca yang telah memberikan motivasi agar
segera menyelesaikan karya ilmiah ini.
8. Temanku Septa, Boru, Emanuella, Febri, Mita, Alifah, Agung, Risky, dan
seluruh rekan – rekan A10 yang selalu kompak dan semangat dalam
mengerjakan karya ilmiah ini, dan senantiasa membantu, terima kasih atas
semangat serta waktu yang sudah kita jalani selama satu tahun ini.
133

Lampiran 3
SURAT PERMOHONAN

Kepada Yth.
Direktur Rumah Sakit Premier Surabaya

Saya adalah mahasiswa Prodi Profesi STIKES Hang Tuah Surabaya yang
sedang melakukan penyusunan karya ilmiah akhir yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Tn. H. S dengan Diagnosa Pneumonia e. c COVID–19 di
Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Premier Surabaya.”. Tujuan
karya ilmiah ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ners.
Dengan ini saya mengharapkan memperoleh persetujuan dari pihak rekam
medis untuk memberikan informasi tentang data jumlah pasien dalam periode
bulan Maret sampai Juni 2020 yang tekonfirmasi positif Covid-19
Informasi atau keterangan dari rekam medis akan dijamin kerahasiannya
dan akan digunakan untuk kepentingan ini saja.

Surabaya, 22 Juli 2020


Peneliti

Siti Fatmawati
1930081
134

Lampiran 4

STANDAR OPERASIONAL No SOP: 01


PROSEDUR SOP
Pemberian Oksigenasi

Tanggal Dibuat Tanggal Berlaku Nama Departemen


28 Juni 2020 28 Juni 2020 INSTALASI GAWAT DARURAT
Judul No Revisi
Hal. 01
Pemberian Oksigen Melalui Masker 00
Dibuat oleh Disetujui oleh

Siti Fatmawati, S.Kep PJMK DOSEN STASE GADAR


A. Definisi
Suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada inspirasi
melalui:
1. Masker sederhana (simple mask)
2. Masker dengan reservoir rebreathing
3. Masker dengan reservoir non - rebreathing
B. Tujuan
1. Memberikan penambahan oksigen dengan konsentrasi lebih tinggi melalui
masker untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan
2. Mencegah atau mengatasi hipoksia
C. Indikasi
Pada klien hipoksemia dengan tanda klinis sianosis (pucat pada wajah. bibir,
dan warma kulit)
D. Persiapan Alat
1. Sumber oksigen (sentral/ tabung)
2. Flowmeter oksigen
3. Pulse oxymeter/ SpO2 monitor (bila perlu)
4. Plester (bila perlu)
5. Kapas (bila perlu)
6. Masker (jenis sesuai kebutuhan)
135

Beberapa jenis masker yang sering dipakai


1. Simple mask: untuk memberi oksigen dengan konsentrasi 40% - 60% atau
lebih kurang 5 – 8 liter/menit
2. Rebreathing mask: digunakan bila memberikan oksigen dengan konsentrasi
60% - 90% atau lebih kurang 8 – 10 liter/menit.
3. Non rebreathing mask: digunakan untuk memberikan oksigen dengan
konsentrasi setinggi mungkin yaitu 95% - 100% atau 10 – 15 liter/menit.
E. Prosedur
Tahap Pra Interaksi
1. Mencuci tangan (merujuk pada mencuci tangan yang baik dan benar)
2. Mempersiapkan alat.
3. Membaca status pasien untuk memastikan instruksi
Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan
Tahap Kerja
1. Menjelaskan kepada pasien tentang tujuan pemberian oksigen
2. Menjaga privasi pasien, jika memungkinkan dengan menutup tirai
3. Memposisikan kepala pasien lebih tinggi atau setengah duduk
4. Memasang flow meter ke sumber oksigen, pastikan alat benar – benar telah
menancap dengan baik, sehingga tidak terjadi kebocoran. Bila menggunakan
tabung oksigen pastikan isinya masih mencukupi dengan melihat anak
panah yang tertera pada meteran yang terdapat di tabung oksigen tersebut,
daerah warna hijau menunjukkan bahwa isi tabung oksigen masih cukup
5. Menghubungkan ujung selang masker dengan flow meter
6. Putar flow meter, atur aliran sesuai dengan instruksi dokter dan pastikan ada
udara yang keluar dari pangkal selang dalam masker
7. Memasang masker ke pasien, pastikan masker menutupi hidung, mulut, dan
dagu pasien. Sesuaikan bentuk wajah pasien dan pastikan masker di daerah
hidung tidak terlalu longgar dengan membentuk bahan logam yang berada
di masker sesuai dengan batang hidung pasien. Hal ini penting agar tidak
terjadi kebocoran oksigen
136

8. Kaitkan tali elastis kearah belakan kepala pasien dan kencangkan ikatan
tersebut dengan menarik tali yang berada dikedua sisi masker

9. Pastikan pasien merasa nyaman dengan posisi masker, bila perlu beri kasa
pada daerah telinga, dan tulang yang menonjol (hidung) untuk mencegah
terjadinya iritasi pada daerah tersebut
10. Atur aliran oksigen dengan memutar regulator pada flow meter sesuai
pesanan dokter
Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan pasien
3. Membereskan alat – alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatat tindakan yang dilakukan dalam lembar catatan perawatan
Evaluasi
1. Kaji ulang pernapasan pasien, observasi saturasi oksigen
2. Monitoring daerah telinga dan hidung terhadap tanda – tanda iritasi
pemakaian selang oksigen, jika perlu beri kasa
3. Keluhan pasien setelah dilakukan tindakan pemasangan oksigen masker
Dokumentasi
Catat jam, hari, tanggal, serta respon pasien setelah dilakukan tindakan
pemasangan oksigen.
Referensi:
Alimul, Aziz & Uliyah, Musrifatul. 2005. Buku Saku Praktikum: Kebutuhan Dasar
137

Manusia. Jakarta : EGC


Eni, Yunani & Achmad. 2013. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium
Keperawatan Dasar. Jakarta : EGC
Korzier B, ERB Glenora, Berman A, Synder Shirlee J. 2010. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan, konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika
138

Lampiran 5

STANDAR OPERASIONAL No SOP: 02


PROSEDUR SOP
Batuk Efektif

Tanggal Dibuat Tanggal Nama Departemen


Berlaku INSTALASI GAWAT DARURAT
28 Juni 2020
28 Juni 2020
Judul No Revisi Hal.
Batuk Efektif 00 01

Dibuat oleh Disetujui oleh

Siti Fatmawati, S.Kep PJMK DOSEN STASE GADAR


A. Definisi
Suatu metode batuk dengan benar dimana dapat energi dapat dihemat
sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal.
B. Tujuan
1. Membebaskan jalan nafas dari akumulasi secret
2. Mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan diagnostik laboraturium
3. Mengurangi sesak nafas akibat akumulasi secret
4. Melatih otot – otot pernafasan agar dapat melakukan fungsi dengan baik
5. Melatih pasien agar terbiasa melakukan cara pernafasan dengan baik
C. Indikasi
1. Pasien dengan gangguan saluran nafas akibat akumulasi secret, dilakukan pada
pasien seperti: COPD/ PPOK, Emphysema, Fibrosis, Asma, chest
infection, pasien bedrest atau post operasi
2. Pemeriksaan diagnostik sputum di laboraturium
D. Kontra Indikasi
1. Tension pneumothoraks
2. Hemoptisis
3. Gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark
miokard akut, dan aritmia.
4. Edema paru dan efusi pleura yang luas
139

E. Persiapan Alat
1. Tempat sputum
2. Tissue
3. Stestoskop
4. Handscoon
5. Masker
6. Air putih hangat dalam gelas
F. Prosedur
Tahap Pra Interaksi
1. Mencuci tangan (merujuk pada mencuci tangan yang baik dan benar)
2. Mempersiapkan alat.
3. Membaca status pasien untuk memastikan instruksi
Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan
Tahap Kerja
1. Menjaga privasi pasien
2. Mempersiapkan pasien
3. Meminta pasien meletakkan satu tangan di dada dan satu tangan di perut
4. Melatih pasien melakukan napas perut (menarik napas dalam melalui
hidung hingga 3 hitungan, jaga mulut tetap tertutup)
5. Meminta pasien merasakan mengembangnya perut
6. Meminta pasien menahan napas hingga 3 hitungan
7. Meminta pasien menghembuskan napas perlahan dalam 3 hitungan
(lewat mulut, bibir seperti meniup)
8. Meminta pasien merasakan mengempisnya perut
9. Memasang perlak/ alas dan bengkok (di pangkuan pasien bila duduk atau
di dekat mulut bila tidur miring)
10. Meminta pasien untuk melakukan napas dalam 2 kali, pada inspirasi
yang ketiga tahan napas dan batukkan dengan kuat tarik nafas dalam 4 –
5 kali
11. Pada tarikan nafas dalam yang terakhir, nafas ditahan selama 1 – 2 detik
140

12. Angkat bahu dan dada dilonggarkan serta batukkan dengan kuat dan
spontan
13. Keluarkan dahak dengan bunyi “ha..ha..ha” atau “huf..huf..huf..”
14. Menampung lendir ditempat pot yang telah disediakan tadi
Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan pasien
3. Membereskan alat – alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatat tindakan yang dilakukan dalam lembar catatan perawatan
Evaluasi
1. Kaji ulang pernapasan pasien, observasi saturasi oksigen
2. Keluhan pasien setelah dilakukan tindakan batuk efektif
Dokumentasi
Catat jam, hari, tanggal, serta respon pasien setelah dilakukan tindakan batuk
efektif.
Referensi:
Ambarwati, Nasution. 2015. Keterampilan Dasar Praktik Klinik. Yogyakarta:
Dua Satria Offset
Prof, Ikawati, Zullies, Ph.D, Apt. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan
Tatalaksana Terapinya. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Vol. 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai