Payau
Payau
Air payau ditemukan di daerah-daerah muara dan memiliki keanekaragaman hayati tersendiri.
Beberapa jenis ikan yang populer di Indonesia, hidup di air payau, seperti bandeng,kepiting windu
dan masih banyak yang lainya.
Balai Pengembagan Budidaya Air Payau dan Laut (BPBAPL) yaitu tempat pengembagan air payau
dan laut tempat ini juga memilii lahan yang sangat luas dan berpotensi sangat baik dan harus di
kembangkan. Disamping itu pula di BPBAPL mempunyai banyak tambak yang masih aktif.
Dari BPBAPL ini kita dapat tau tentang pengembagan ikan payau,laut, dan potensi dari ikan tersebut.
Cara membudidayakan ikan payau dan ikan laut, secara lagsung. Di tempat ini juga memiiki
beberapa ikan seperti ikan bandeng, kepiting windu , udang , nila , rajungan, rumput laut. Di tempat
ini juga kita dapat mengetahui jenis-jenis ikan yang bisa dibudidayakan dengan baik .
BPBAPL juga mempunya tambak yang diisi oleh udan,kepiting,nila seperti itu dan juga di tempat ini
juga ada cara untuk membudidayakan udang windu. Di Indonesia ini udang windu itu sudah tidak
terlalu banyak yang membudidayanya tetapi ditempat ini di budidayakan secara baik.
Air payau adalah campuran antara air tawar dan air laut (air asin). Jika kadar garam yang dikandung
dalam satu liter air adalah antara 0,5 sampai 30 gram, maka air ini disebut air payau. Namun jika
lebih, disebut air asin.
Dan tidak jauh juga dari pesisir laut, untuk itu air payau disebut juga air laut karena lokasinya
berdekatan. Yang berada di Balai Air Payau dan laut (BPBAPL)
a. Penyelenggaraan pengkajian bahan petunjuk teknis pengembangan budidaya air payau dan laut
Di tempat BPBAPL ini memiliki bayank jenis ikan payau yang sangat bagus secara membudiyakannya
juga baik diantaranya adalah
a. Kepiting
Kepiting sudah dapat dibudidayakan walaupun perkembangan budidayanya belum begitu pesat
karena memang komoditas jenis ini masih belum dikenal luas sebagai salah satu komoditas budidaya
air payau. Padahal pasar kepiting masih sangat luas dan nilai jualnya sangat tinggi. Apalagi kepiting
merupakan salah satu makanan favorit pada restoran-restoran seafood. Sentra budidaya kepiting
terdapat di provinsi jawa timur,
dan di provinsi jawa barat.
b. Sidat
Sidat, bentuknya menyerupai ikan belut. Ikan sidat termasuk komoditas yang memiliki nilai
ekonomis di pasaran, baik dalam negeri maupun luar negeri. Perkembangannya memang belum
begitu baik namun dengan potensi pasarnya yang masih terbuka tentu budidaya ikan sidat masih
sangat menjanjikan. Pembudidayaan ikan sidat air payau terdapat di provinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah.
c. Udang windu
Windu adalah jenis udang yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Udang windu memiliki nama
ilmiah Penaeus monodon. Walaupun sempat ambruk akibata serangan hama penyakit. Udang windu
perlahan bangkit dan saat ini mulai berkembang sangat baik di berbagai daerah di Indonesia.
Budidaya udang windu terdapat hampir di semua wilayah Indonesia. Sentra budidaya udang windu
sendiri terletak di provinsi Sumatera selatan, jawa barat dan sulawesi selatan.
d. Udang vannamei
Udang vannamei adalah jenis udang yang pada awal kemunculannya di Indonesia dikenal sebagai
udang yang dapat dibudidayakan denga tingkat ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama
penyakit. Namun sejak tahun akhir 2008, udang vannamei juga terkena serangan hama penyakit
yang menyebabkan jatuhnya produksi udang secara nasional. Udang vannamei yang memiliki nama
ilmiah Litopenaeus vannamei ini sentra lokasi budidayanya terdapat pada provinsi Lampung, Jawa
timur, nusa tenggara barat dan sumatera selatan.
Komoditas budidaya air payau sebetulnya masih banyak lagi. Tidak terbatas pada ketujuh belas
komoditas di atas. Tujuh belas komoditas di atas adalah yang perkembangan pembudidayaan secara
produksi masih sangat baik dan masih dapat berkembang. Pada awalnya komoditas yang
dikembangkan pada budidaya air payau hanya sebatas beberapa komoditas saja. Seiring dengan
perkembangan teknologi budidaya maka mulai bermunculan banyak komoditas yang dapat di
budidayakan.
4. Nila
Sama halnya dengan ikan mujair, ikan nila juga termasuk ikan yang dapat beradaptasi pada berbagai
jenis budidaya kecuali budidaya laut. Ikan nila yang memiliki varietas nilai hitam dan nila merah ini,
persebaran daerah budidayanya tidak sebanyak pada budidaya air tawar karena memang habitat asli
ikan ini sangat tumbuh baik pada perairan tawar.
f. Bandeng
Ikan bandeng adalah salah satu jenis ikan yang dapat dibudidayakan di laut maupun di tambak.
Namun saat ini perkembangan bandeng masih lebih baik pada budidaya tambak. Hal ini wajar
karena memang bandeng awalnya sangat baik dibudidayakan di tambak. Ikan yang dikenal dengan
nama inggrisnya milk fish ini banyak ditemui hasil pembudidayaannya di pulau jawa utamanya jawa
barat, jawa tengah dan jawa timur. Selain di pulau jawa.
PENDAHULUAN
Dunia perikanan merupakan dunia yang kaya akan sumberdaya hayati, dimana begitu banyak
komoditi yang menjamin kita untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu
kegiatan tersebut adalah kegiatan usaha budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang perikanan
tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan laut, budidaya perairan payau
dan budidaya perairan tawar. Ketiga usaha budidaya tersebut masing-masing telah berkembang
pesat pada masyarakat indonesia saat ini pada umumnya dan masyarakat sulawesi tengah pada
khususnya.
Khusus untuk budidaya perairan payau, ramai digalakkan oleh masyarakat saat ini adalah budidaya
bandeng dan udang di tambak. Adapun pengertian dari daerah payau itu sendiri adalah merupakan
daerah daratan pantai dengan genangan-genangan air, campuran air asin dan air tawar dan biasanya
merupakan daerah supralitoral.
Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri sudah dikenal sejak abad ke-14 dan lazim digunakan sebagai
wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang, namun tidak banyak mengalami perubahan dalam
hal konstruksi dan rancang bangun. Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan konstruksi yang
sederhana dan murah, tetapi kuantitas maupun kualitas produksinya cenderung rendah.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka melalui laporan ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai usaha budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Tolongano, Sulawesi
Tengah.
Tujuan dari praktek mata kuliah “Manajemen Budidaya Perairan Payau” ini adalah untuk
mengetahui apakah pertambakan di desa tolongano berpotensi untuk diusahakan atau tidak.
Kegunaan dari praktek tersebut adalah sebagai bahan masukan dan pengetahuan kita tentang
prospek budidaya tambaksaat ini, serta dapat membandingkan materi yang diperoleh di perkuliahan
dengan praktek di lapangan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Suyanto & Mudjiman (1981), menyatakan bahwa ada beberapa kriteria lahan untuk dijadikan
pertambakan yaitu sebagai berikut :
- Adanya suplai air tawar dari sungai atau dari sumur pompa yang memadai.
- Terdapat tempat untuk mendirikan gudang, rumah jaga, rumah untuk tekhnisi, unit rumah pompa,
generator listrik dan kendaraan.
Untuk mencegah akumulasi patogen dalam petakan tambak, saluran air yang masuk dan keluar
harus dipisahkan. Tinggi dasar saluran air masuk lebih rendah daripada dasar tambak untuk
mengurangi pelumpuran dalam petak. Hal tersebut sebagai upaya mempermudah pembagian air ke
dalam petak, saluran air masuk dapat difungsikan sebagai tandon dengan cara mengatur bukaan
pintu air utama (Ahmad, Ratnawati & Yakob, 1998).
Tanah yang ideal buat tambak ialah tanah yang bertekstur liat atau liat berpasir karena jenis tanah
tersebut dapat menahan air. Tanah dengan tekstur tersebut mudah diperoleh dan tidak pecah-
pecah di musim panas. Pembangunan pematang dengan tanah yang mengandung tanaman yang
belum membusuk harus dihindari, karena tanggul itu akan menyusut dan banyak kebocoran
(Buwono, 1992).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan, termasuk bandeng adalah luas ruang
(Soeseno, 1983). Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam ruang yang lebih luas, dengan asumsi semua
faktor lain yang berpengaruh adalah sama, ikan tumbuh lebih cepat daripada dalam ruang yang lebih
sempit.
(Ahmad, Ratnawati & Yakob, 1992) menyatakan bahwa air untuk pengairan tambak udang dapat
diperoleh langsung dari laut yang kadar garamnya berkisar antara 30 ‰. Bisa juga diambil dari air
sungai yang sudah mendekati muara dengan sifat payau. Kadar garam air ini kurang dari 30 ‰.
Semua organisme hidup dalam air peka terhadap perubahan temperatur yang tinggi (lebih dari 5oC)
dan yang datang secara tiba-tiba, dan dapat mengakibatkan stress bahakan kematian (Brotowidjoyo,
1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa temperatur yang berubah-ubah secara mendadak
mempengaruhi proses kimia air, distribusi oksigen dan distribusi pakan. Temperatur yang dikehndaki
untuk organisme budidaya tambak tersebut adalah 27-32oC.
Air tambak harus jernih, dalam artian tidak terlalu banyak mengandung suspensi bahan padat.
Karena air jernih ini menjamin cahaya matahari mencapai dasar tambak dan produktivitas primer
tinggi (fotosintesis maksimal, fitoplankton tumbuh baik). Air yang keruh dapat menyulitkan
pernafasan dari organisme yang dipelihara, sebab suspensi dapat menyumbat saluran pernapasan.
Oleh karena itu suplai air keruh perlu diendapkan lebih dulu sebelum masuk ke dalam tambak
(Afrianto & Liviawaty, 1991).
(Brotowidjoyo, 1995), proses pembusukan sangat banyak memerlukan oksigen, terlalu banyak sisa
pakan dan bahan organis lainnya menyebabkan kandungan oksigen rendah. Adapun kandungan
oksigen yang baik adalah 4-8 mg/l. Jika kandungan oksigen rendah dapat diatasi dengan membuang
sebagian air tambak dan menggantinya dengan air suplai. Selain itu, kisaran pH yang dikehendaki
untuk tambak adalah 7,5-8,5. Apabila di luar batas dapat diatasi dengan pemupukan dengan gips.
Salah satu sumber kemasaman air tambak adalah tanah dasar. Kapur dapat digunakan untuk
memperbaiki pH tanah secara praktis, aman dan murah (Buwono, 1992). Selanjutnya, dikatakan
bahwa tanah dasar kolam yang mengandung pirit memerlukan jumlah kapur yang lebih banyak
dibandingkan tanah yang tidak mengandung pirit. Oleh karena itu, tanah yang mengandung pirit
sebelum dikapuri harus melewati reklamasi terlebih dahulu.
(Soeseno, 1983), menyatakan bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan jenis pakan alami
yang terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran berbagai organisme), plankton dan
lumut-lumut, bahkan detritus (kotoran dan bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar
tambak.
Ikan maupun udang yang hidup dalam kondisi air yang jelek dapat mengalami tekanan (stress)
sehingga mudah terjangkit oleh parasit maupun penyakit. Perkembangan parasit dan penyakit
dipacu seiring dengan memburuknya kualitas lingkungan perairan. Bahan organik yang berasal dari
sisa pakan dan kotoran ikan merupakan media yang cocok bagi perkembangan parasit dan bakteri
(Afrianto & Liviawaty, 1991).
Dalam mengusahakan tambak, sering kali kita akan menghadapi gangguan hama (Suyanto &
Mudjiman, 1981). Lebih lanjut dinyatakan bahwa hama tambak tersebut dapat dibedakan menjadi
tiga golongan yaitu golongan pemangsa atau predator (ikan-ikan buas, kepiting, kerang-kerangan,
bangsa burung, bangsa ular, dan wlingsang), golongan penyaing atau kompetitor (bangsa siput, ikan
liar seperti mujair, ketam-ketaman dan udang-udnag kecil), dan golongan pengganggu (bangsa
ketam-ketaman, udang tanah hewan-hewan penggerek dan tritip).
Praktek mata kuliah “Manajemen Budidaya Perairan Payau” ini dilakasanakan pada hari senin,
tanggal 8 Januari 2007. Praktek dilaksanakan pada pukul 10.00 Wita sampai selesai, dan bertempat
di Desa Tolongano, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Sulawesi tengah.
Alat yang digunakan pada praktek ini adalah termometer, refractometer, dan alat tulis menulis.
Sedangkan bahan yang digunakan pada praktek ini adalah air, questioner.
Untuk mengukur suhu (temperatur), yaitu termometer dicelupkan ke dalam air tambak selama ± 2
menit, kemudian diangkat dan melihat kisaran suhu yang terbaca di alat tersebut. Sedangkan untuk
salinitasnya, pertama-tama ambil air tambak dengan sedotan kemudian teteskan ke alat
refractometer, lalu lihat berapa kisaran salinitas yang terbaca di alat tersebut. Setelah itu, hasil
pengukurannya dicatat.
Mewawancarai narasumber yang dalam hal ini petani tambak melalui questioner yang telah
disiapkan.
4.1 Hasil
Berdasarkan dari praktek yang telah dilaksanakan, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
I 29 31
II 29,5 30
III 30 32
IV 32 25
Organisme yang dibudidaya Bandeng (Chanos chanos) dan Udang Windu (Penaeus
monodon)
Luas/petak tambak 2 ha
Sumber air laut dan air tawar dari muara, pergantian air dilakukan
2 kali dalam sebulan
Pintu air masuk dan keluar Hanya 1 buah, menggunakan penyaring berupa jaring
dengan maksud agar ikan-ikan dari sumber air tidak
masuk
Hama dan penyakit Hama yang menyerang yaitu burung bangau dan
kerang-kerangan, sedangkan untuk penyakit dipastikan
bandeng dan udang tersebut tidak terserang penyakit
4.2 Pembahasan
Budidaya tambak baik untuk pemeliharaan ikan bandeng maupun udang di indonesia sangatlah luas,
terdapat ± 200.000 ha yang dimiliki dan diusahakan oleh petani, namun kebanyakan masih bersifat
tradisional. Sejak beberapa tahun terakhir ini, tekhnik intensifikasi tambak telah dikenal secara luas.
Namun karena kemampuan permodalan sebagai masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan
petani tambak tidak sama, maka perkembangan tekhnik pertambakan yang diterapkan saat ini pun
berbeda-beda tingkatannya. Ada tambak yang masih secara sederhana, dengan hasilnya yang masih
rendah. Adapula tambak yang telah diusahakan secara intensif dengan masukan modal yang tinggi
dan hasilnya pun tinggi.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di lapangan, dapat dilihat bahwa metode yang digunakan
dalam usaha tambak tersebut bersifat tradisional plus. Hal ini dapat dilihat dari luas petakan tambak
dan kedalaman tambak tersebut. Di mana, untuk tambak tradisional plus luas petakan tambaknya
sudah mulai diatur dengan ukuran 0,25-2 ha, sedangkan untuk memudahkan pengontrolan
sebaiknya tambak memiliki luas 0,25-0,5 ha/petak, dan ini biasanya terdapat pada tambak intensif.
Selain dilihat dari luas petakan, dapat juga dilihat dari kedalaman tambak tersebut yakni
kedalamannya kurang dari 1 m, sedangkan kedalaman tambak yang ideal adalah 1,25-1,5 m atau
lebih.
Adapun untuk tanah dasar tambaknya lumpur berpasir. Tekstur tanah demikian kurang baik untuk
pemeliharaan bandeng dan udang, adapun substrat tanah yang baik untuk tambak adalah dari jenis
tanah liat berpasir. Hal demikian sesuai dengan pernyataan dari (Buwono, 1992), di mana tanah
dengan tekstur tersebut mudah menahan air dan tidak pecah-pecah bila musim panas tiba.
Yang paling penting dalam usaha budidaya adalah meninjau tentang pengairannya. Air yang
diperoleh bisa air payau atau air laut murni asal jumlahnya cukup untuk mengganti air tambak setiap
waktu diperlukan. Air tersebut harus bebas dari pencemaran yang bersifat racun, seperti sisa-sisa
pestisida, limbah industri, dsb. Apabila air tersebut kotor atau keruh karena suspensi lumpur atau
kotoran bahan organik limbah rumah tangga, maka dapat dibersihkan dengan cara penyaringan dan
pengendapan.
Namun, lebih idealnya lagi apabila di suatu pertambakan dapat diperoleh suplai air laut yang bersih
dan juga suplai air tawar yang jernih. Di mana, air tawar ini juga harus bebas dari pencemaran yang
dapat membahayakan organisme peliharaan. Di lapangan, sumber air yang diperoleh untuk
pertambakan tersebut berasal dari laut dan muara sungai. Adapun untuk pergantian air yang
dilakukan di tambak tersebut minimal 2 kali dilakukan dalam sebulan.
Berbicara tentang sumber air, erat hubungannya dengan kualitas air. Dalam hal ini yang termasuk di
dalamnya adalah suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut. Namun, pada praktek yang dilakukan
pengukuran kualitas air hanya dilakukan pada suhu dan salinitasnya saja. Adapun kisaran salinitas
yang diukur pada tiap petak tambak tersebut berada pada kisaran 25‰-32‰, hal demikian sesuai
dengan pernyataan dari (Ahmad, Ratnawati & Yakob, 1992), di mana dikatakan bahwa air untuk
pengairan tambak dapat diperoleh langsung dari laut yang salinitasnya berkisar antara 30‰-36‰.
Adapun untuk suhu air yang terdapat di lapangan berkisar antara 290C-320C. Kisaran tersebut sesuai
dengan pernyataan dari (Brotowidjoyo, 1995), yang menyatakan bahwa suhu yang dikehendaki
untuk organisme budidaya tambak adalah 270C-320C. Suhu air sangat berkaitan erat dengan
konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan air. Meskipun di lapangan
tidak dilakukan pengukuran terhadap oksigen terlarut tersebut, namun perlu diketahui kisaran
oksigen terlarut yang biasanya bagi pertambakan adalah 4-8 mg/ltr. Selain oksigen terlarut, perlu
juga diketahui pH air yang ideal bagi pertambakan yaitu 7,5-8,5 (Brotowidjoyo, 1995).
Salah satu ciri dari tambak tradisional plus adalah sudah memiliki 2 buah pintu air masuk dan keluar
secara terpisah, namun yang terdapat di lapangan hanya memiliki satu buah pintu air saja baik pintu
air masuk maupun keluar. Di mana pada pintu air tersebut dipasang saringan berupa jaring dengan
tujuan agar ikan-ikan yang berasal dari sumber air tersebut tidak ikut masuk ke tambak. Terdapatnya
satu buah pintu air sangat tidak efisien untuk suatu usaha pertambakan, mengapa demikian karena
untuk mencegah akumulasi patogen yang terjadi dalam petakan tambak, maka saluran air yang
masuk dan keluar harus dipisahkan, demikian pernyataan dari Ahmad, Ratnawati & Yakob (1998).
Setelah kita mengetahui tentang pengairan dari tambak, maka kita juga perlu mengetahui tentang
perlakuan selanjutnya sebelum bandeng dan udang di masukan ke tambak. Adapun yang dilakukan
yaitu tanah dasar tambak dikeringkan terlebih dahulu, setelah itu dipupuk dengan menggunakan
pupuk urea sebanyak 450 kg atau 3 sak/petaknya selama ± 2 hari. Setelah itu, barulah bibit dari
bandeng dan udang tersebut di tebar ke dalam tambak. Adapun padat penebaran untuk tiap petak
yaitu 5000 ekor untuk bandeng dan 4000 ekor untuk udang. Tingkatan padat penebaran tersebut
masih begitu rendah.
Untuk pemberian pakannya tidaklah sulit, karena di tambak tersebut pakan yang diberikan hanya
mengandalkan pakan alami yaitu berupa lumut dan klekap, sedangkan untuk pemberian pakan
buatan tidak dilakukan. Meskipun sebenarnya untuk metode tradisional plus ini pemberian pakan
buatan sudah harus dilakukan, namun kenyataan di lapangan hanya pakan alami saja yang diberikan.
Pemberian pakan alami saja merupakan ciri dari metode tradisional, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Soeseno (1983) bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan jenis pakan alami yang
terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran berbagai organisme), plankton dan lumut-
lumut, bahkan detritus (kotoran dan bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar tambak.
Selain pemberian pakan, pengontrolan terhadap hama dan penyakit juga perlu dilakukan agar
organisme peliharaan kita dapat tumbuh dengan baik. Di lokasi tambak tersebut, dinyatakan oleh
petani tambak itu bahwa udang dan bandeng yang dipelihara tidak terkena penyakit, hanya di
tambak tersebut terdapat hama berupa burung bangau dan kerang-kerangan. Demikian halnya
pernyataan dari (Suyanto & Mudjiman, 1981), bahwa golongan hama terbagi menjadi tiga yaitu
predator, kompetitor dan pengganggu. Burung dan kerang-kerangan tersebut termasuk ke dalam
hama predator. Untuk memberantas hama-hama tersebut dapat digunakan bahan beracun seperti
pestisida.
Setelah 3-4 bulan masa pemeliharaan, maka udang dan bandeng tersebut sudah dapat dipanen,
pada lokasi tambak tersebut panen pada tahap pertama diperoleh hasil sekitar 70 %. Melihat dari
keadaan lokasi tambak di desa tolongano tersebut, sebenarnya lokasi tambak tersebut layak untuk
diusahakan hanya saja yang perlu ditingkatkan adalah pengontrolan dan manajemennya, serta
pengetahuan dari pengolah tambak.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1). Metode tambak yang digunakan di Desa Tolongano tersebut adalah metode tradisional plus.
2). Hanya terdapat satu buah pintu air keluar dan masuk.
3). Pakan yang diberikan hanya mengandalkan pakan dari alam yaitu berupa lumut dan klekap.
4). Kualitas air yang diukur baik suhu maupun salinitas berada pada kisaran yang dikehendaki untuk
usaha pertambakan.
5). Tambak di desa tolongano tersebut layak untuk diusahakan, namun diperlukan peningkatan
pengongtrolan dan pengetahuan dalam hal pengolahan tambak.
5.2 Saran
Saran kami sebagai praktikan adalah sebaiknya pada praktek-praktek selanjutnya semua kualitas air
dapat diukur.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perikanan merupakan dunia yang kaya akan sumberdaya hayati,
dimana begitu banyak komoditi yang menjamin kita untuk melakukan berbagai
kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu kegiatan tersebut adalah kegiatan usaha
budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang perikanan tersebut terbagi menjadi
tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan laut, budidaya perairan payau dan
budidaya perairan tawar. Ketiga usaha budidaya tersebut masing-masing telah
berkembang pesat pada masyarakat indonesia saat ini pada umumnya dan
masyarakat sulawesi tengah pada khususnya.
Khusus untuk budidaya perairan payau, ramai digalakkan oleh masyarakat
saat ini adalah budidaya bandeng dan udang di tambak. Adapun pengertian dari
daerah payau itu sendiri adalah merupakan daerah daratan pantai dengan
genangan-genangan air, campuran air asin dan air tawar dan biasanya merupakan
daerah supralitoral.
Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri sudah dikenal sejak abad ke-14 dan
lazim digunakan sebagai wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang, namun
tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan rancang bangun.
Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan konstruksi yang sederhana dan murah,
tetapi kuantitas maupun kualitas produksinya cenderung rendah. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut, maka melalui laporan ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai usaha budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat di daerah
Ampibabo, Kab. Parimo, Sulawesi Tengah.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Praktek Lapang Manejemen Perikanan Budidaya Payau bertujuan untuk
mengetahui teknik budidaya udang dan bandeng ditambak, kegunaannnya yaitu
para mahasiswa dapat melihat secara langsung budidaya ikan dan udang ditambak.
Menurut Mansyur (2003), salah satu ciri khas Ikan bandeng yaitu bentuk
badan yang langsing berbentuk torpedo, sirip ekor bercabang, berwarna keperak-
perakan, mulut terletak di ujung kepala dengan rahang tanpa gigi, lubang hidung
terletak di depan mata, mata di selimuti selaput bening.
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan primadona para pembudidaya ikan
di tambak dan organisme ini tergolong euryhaline atau ikan yang memiliki
kemampuan toleransi pada rentang salinitas yang jauh berbeda. Ikan bandeng aktif
mencari makan pada siang hari (diurnal) dengan menjadi konsumen utama di
tambak yang memakan alga dan organisme lainnya (Syahid dkk., 2006).
3.1.2 Udang Putih (Litopenaeus Vannamei)
Klasifikasi udang putih menurut Mudjiman (1992), adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Sub genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei.
Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu
bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax),dan bagian tubuh
sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak
kepala (Cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut
dengan cucuk kepala (rostrum). Pada udang windu, gigi rostrum bagian atas
biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah, sedangkan untuk udang putih
biasanya bagian atas biasanya delapan buah dan bagian bawah lima buah (Syahid
dkk, 2006).
Udang putih yang memang berwarna putih polos dan berkulit tipis (sehingga
mudah mati), di luar negeri di kenal sebagai Banana prawnkarena putihnya memang
agak kuning muda, berbintik-bintik kecil seperti pisang ambon. Di banding jenis lain,
udang putih ini lebih banyak jumlahnya. Mereka sudah mati bila masa
pemeliharaannya lama (lebih dari 2 bulan), karena peka sekali terhadap perubahan
lingkungan (Soesono, 1983).
Benih udang putih yang dibudidayakan oleh pak naim berasal dari surabaya
yang berumur ± 2 minggu dan siap ditebarkan, padat penebaran dalam tiap petakan
± 7.000 ekor/petak. Selama pemeliharaan ikan bandeng tidak diberi pakan buatan
hanya pakan alami saja yang ditumbuhkan didalam tambak sebagai makanan
utama. Pemberantasan hama selama pemeliharaan dilakukan dengan cara
pembersihan secara manual dengan mengunakan tangan, untuk panennya belum
diketahui pada umur berapa karena udang yang dibudidayakan masih dalam tahap
percobaan/baru dibudidayakan, akan tetapi menurut pak naim apabila udangnya
sudah mencapai ukuran konsumsi maka panen dapat dilakukan.
3.2 Metode Budidaya
Budidaya tambak baik untuk pemeliharaan ikan bandeng maupun udang di
indonesia sangatlah luas, terdapat ± 200.000 ha yang dimiliki dan diusahakan oleh
petani, namun kebanyakan masih bersifat tradisional. Sejak beberapa tahun terakhir
ini, tekhnik intensifikasi tambak telah dikenal secara luas. Namun karena
kemampuan permodalan sebagai masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan
petani tambak tidak sama, maka perkembangan tekhnik pertambakan yang
diterapkan saat ini pun berbeda-beda tingkatannya. Ada tambak yang masih secara
sederhana, dengan hasilnya yang masih rendah. Adapula tambak yang telah
diusahakan secara intensif dengan masukan modal yang tinggi dan hasilnya pun
tinggi.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di lapangan, dapat dilihat bahwa
metode yang digunakan dalam usaha tambak tersebut bersifat tradisional. Hal ini
dapat dilihat dari luas petakan tambak dan kedalaman tambak tersebut. dilihat dari
kedalaman tambak tersebut yakni kedalamannya kurang dari 1 m, sedangkan
kedalaman tambak yang ideal adalah 1,25-1,5 m atau lebih.
Adapun untuk tanah dasar tambaknya lumpur berpasir. Tekstur tanah
demikian kurang baik untuk pemeliharaan bandeng dan udang, adapun substrat
tanah yang baik untuk tambak adalah dari jenis tanah liat berpasir. Hal demikian
sesuai dengan pernyataan dari (Buwono, 1992), di mana tanah dengan tekstur
tersebut mudah menahan air dan tidak pecah-pecah bila musim panas tiba.
Yang paling penting dalam usaha budidaya adalah meninjau tentang
pengairannya. Air yang diperoleh bisa air payau atau air laut murni asal jumlahnya
cukup untuk mengganti air tambak setiap waktu diperlukan. Lanjut dikatakan oleh
Kemur dan amin (2000), untuk itu suatu tambak perlu adanya pinti air. Pintu air
suatu unit tambak terdiri dari pintu air utama dan pintu air petakan. Pintu air utama
dipasang di depan saluran pembagi air dan dibangun pada bagian terendah dari unit
tambak.
Namun, lebih idealnya lagi apabila di suatu pertambakan dapat diperoleh
suplai air laut yang bersih dan juga suplai air tawar yang jernih. Di mana, air tawar ini
juga harus bebas dari pencemaran yang dapat membahayakan organisme
peliharaan. Di lapangan, sumber air yang diperoleh untuk pertambakan tersebut
berasal dari laut dan muara sungai. Adapun untuk pergantian air yang dilakukan di
tambak tersebut minimal 2 kali dilakukan dalam sebulan.
Salah satu ciri dari tambak tradisional adalah sudah memiliki 2 buah pintu air
masuk dan keluar secara terpisah, namun yang terdapat di lapangan hanya memiliki
satu buah pintu air saja baik pintu air masuk maupun keluar. Di mana pada pintu air
tersebut dipasang saringan berupa jaring dengan tujuan agar ikan-ikan yang berasal
dari sumber air tersebut tidak ikut masuk ke tambak. Terdapatnya satu buah pintu air
sangat tidak efisien untuk suatu usaha pertambakan, mengapa demikian karena
untuk mencegah akumulasi patogen yang terjadi dalam petakan tambak, maka
saluran air yang masuk dan keluar harus dipisahkan (Ahmad, 1998).
Setelah kita mengetahui tentang pengairan dari tambak, maka kita juga perlu
mengetahui tentang perlakuan selanjutnya sebelum bandeng dan udang di masukan
ke tambak. Adapun yang dilakukan yaitu tanah dasar tambak dikeringkan terlebih
dahulu, setelah itu dipupuk dengan menggunakan pupuk urea sebanyak 400 kg
/petaknya selama ± 2 minggu. Setelah itu, barulah bibit dari bandeng dan udang
tersebut di tebar ke dalam tambak. Adapun padat penebaran untuk tiap petak yaitu
300-400 ekor untuk bandeng dan udang.. Tingkatan padat penebaran tersebut
masih begitu rendah.
Penebaran benih udang dan bandeng pada budidaya campuran/polycultur
tidak boleh dilakukan bersama.-sama, tetapi terlebih dahulu yang ditebarkan adalah
benur (benih udang). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada
udang untuk beradaptasi dengan lingkungan tanpa merasa terganggu oleh gerakan
ikan bandeng yang gesit. Penebaran dapat dilakukan pada saat suhu rendah yaitu
pagi atau sore hari.
Untuk pemberian pakannya tidaklah sulit, karena di tambak tersebut pakan
yang diberikan hanya mengandalkan pakan alami yaitu berupa lumut dan klekap,
sedangkan untuk pemberian pakan buatan tidak dilakukan. Meskipun sebenarnya
untuk metode tradisional plus ini pemberian pakan buatan sudah harus dilakukan,
namun kenyataan di lapangan hanya pakan alami saja yang diberikan. Pemberian
pakan alami saja merupakan ciri dari metode tradisional, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Soeseno (1983) bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan
jenis pakan alami yang terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran
berbagai organisme), plankton dan lumut-lumut, bahkan detritus (kotoran dan
bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar tambak.
Selain pemberian pakan, pengontrolan terhadap hama dan penyakit juga
perlu dilakukan agar organisme peliharaan kita dapat tumbuh dengan baik. Di lokasi
tambak tersebut, dinyatakan oleh petani tambak itu bahwa udang dan bandeng yang
dipelihara tidak terkena penyakit, hanya di tambak tersebut terdapat hama berupa
burung bangau dan kerang-kerangan. Demikian halnya pernyataan dari (Suyanto,
1995), bahwa golongan hama terbagi menjadi tiga yaitu predator, kompetitor dan
pengganggu. Burung dan kerang-kerangan tersebut termasuk ke dalam hama
predator. Untuk memberantas hama-hama tersebut dapat digunakan bahan beracun
seperti pestisida.
Panen ikan dan udang dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 3-4 bulan.
Pada umur demikian ukuran udang berkisar antara 30-40 gram/ekor dan bandeng
sekitar 500 gram/ekor. pemanenan baik ikan maupun udang dilakukan dengan dua
cara, yaitu panen sebagian (selektif) dan panen total. Dalam pelaksanan panen total
atau panen sebagian, ikan dipanen terlebih dahulu kemudian udang.
Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,
mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi. Dengan berbagai kekayaan keanekaragaman hayati
dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis
dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya
harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta mampu memberika manfaat yang sebesar-
besarnya kepada semua stakeholder terutama masyarakat pesisir, dam meniminimalkan dampak
serta konflik yang berpotensi terjadi.
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan
tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting
ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta
memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan
penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus
bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul
karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Di
masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian
pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma
tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena
mereka juga adalah warga negara Indonesia.
Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena
ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan
masyarakat pesisir. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat,
umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang
atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu
perlu waktu bertahun-tahun agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat
pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih
sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan
adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas
lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di
Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian
barat Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup
memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis
pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya.
Kegiatan budidaya laut dan payau berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani
di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Meskipun
demikian pengembangan budidaya laut dan payau hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan
yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan,
sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Penguasaan manajemen budidaya air payau merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai
keberhasilan produksi dengan mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara berkelanjutan.
Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastuktur, manajemen dumberdaya manusia,
manajemen produksi budidaya dan manajemen pemasaran.
Klasifikasi budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton,
budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup.
Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa
pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah
berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan yang dilakukan
di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan
pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan
teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.
III. HASIL
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang terletak di ujung pantai kota Jepara
memiliki lokasi yang strategis untuk digunakan sebagai lokasi pembudidayaan. Hal ini antara lain
didukung oleh perairan laut Jepara yang tidak digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal. Sehingga tingkat
pencemaran rendah karena tidak adanya sisa pembakaran bahan bakar kapal. Sumber air yang
digunakan bisa dibilang layak untuk lokasi pembudidayaan karena tidak tercemar bahan kimia.
Teknologi yang digunakan merupakan teknologi pembudidayaan secara intensif. Teknologi ini
menggunakan kincir air untuk menjaga suplai oksigen dalam tambak. Konstruksi pada tambak
menggunakan beton sebagai dindingnya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kerusakan pada
tambak oleh hama seperti kepiting. Selain itu, hal ini dimaksudkan karena substrat dasar tambak adalah
berpasir.
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) membudidayakan kultivan yang bernilai ekonomis
penting dan memiliki pasaran luas. Kultivan yang dibudidayakan adalah kultivan yang memiliki habitat
air payau dan air laut, antara lain udang, rajungan, kerapu, abalone, rumput laut, kakap, dan pakan
alami. Kultivan-kultivan ini selain untuk kegiatan penjualan, juga dimaksudkan untuk kegiatan penelitian
Aspek manajemen operasional budidaya di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
telah tertata dengan teratur. Hal ini dapat dilihat dengan adanya diversivikasi antara kegiatan produksi
maupun kegiatan penelitian. Pada kegiatan produksi, sistem operasionalnya juga diatur sedemikian rupa
mulai dari pemijahan, pembenihan, dan pembesaran. Hal ini dapat dilihat dengan pemisahan lokasi-
lokasi yang digunakan untuk kegiatan tersebut berjarakterpisah. Jam kerja yang telah diatur sedemikian
rupa memungkinkan para karyawan untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Pembagian kerja yang diterapkan juga memungkinkan diperolehnya hasil kerja yang optimal. Bagian
administrasi hanya mengurusi tugasnya dalam hal administratif saja. Sedangkan bagian lapangan
diserahkan pada karyawan yang bertugas di lapangan. Pembagian terdiri dari kepala bagian yang
dibantu oleh para pekerja. Selain itu, juga terdapat pagawai laboratorium yang bertugas menganalisa
Sumberdaya manusia yang dimiliki Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sangat
beragam. Mayoritas diisi oleh para lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sehingga mampu
menghasilkan kualitas kerja yang baik. Selain itu, inovasi maupun terobosan baru dari para karyawan
sangat diharapkan untuk kemajuan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Dari
segi pekerja lapangan, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) memiliki banyak pekerja
yang memiliki banyak pengalaman di dunia perikanan karena telah menekuni dunia perikanan cukup
lama.
4.3. Forecasting
Kedepannya, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara hendaknya lebih
memperhatikan pengolahan tambak pasca panen untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak. Hal ini
juga diharapkan untuk meningkatkan produksi budidaya mengingat sistem yang digunakan adalah
sistem budidaya intensif. Sistem budidaya intensif merupakan sistem yang menurunkan kualitas
lingkungan karena terus menerus dipakai untuk memacu hasil budidaya. Sehingga apabila hal ini tidak
diperhatikan, maka dikhawatirkan suatu saat nanti akan mematikan kegiatan budidaya.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah keberadaan green belt berupa tanaman mangrove.
Mengingat lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang berada di pinggir laut,
maka akan sangat rawan terhadap abrasi pantai maupun serangan ombak. Sehingga untuk menghindari
hal tersebut, maka sangat diperlukan untuk penanaman mangrove di sekitar lokasi Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sehingga diharapkan terjaganya ekosistem di sekitar
lokasi budidaya.
V. REKOMENDASI
5.1. Faktor yang Mempengaruhi Pembudidayaan
Secara garis besar, kegiatan akuakultur dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan produksi on
farm dan kegiatan produksi off farm. Kegiatan produksi on farm antara lain meliputi pembenihan dan
pembesaran, sedangkan kegiatan off farm antara lain meliputi pengadaan prasarana dan saran
Pembenihan ikan adalah kegitan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan benih dan
selanjutnyabenih yang dihasilkan menjadi komponen input bagi kegiatan pembesaran. Pembesaran ikan
adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan ikan ukuran konsumsi.
Dalam kegiatan budidaya, ada beberapa aspek yang diperlukan antara lain adalah : pemilihan spesies,
lokasi budidaya, kontruksi, skala budidaya, pasar, dan ukuran jual. Spesies yang menjadi pilihan harus
memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah didapat, mudah dibudidayakan, dapat diproduksi dalam unit
budidaya, memiliki nilai ekonomis tinggi, relatif tahan terhadap penyakit, dan disukai masyarakat.
Pemilihan spesies juga dipengaruhi oleh keberadaan stock. Faktor yang kedua adalah pemilihan lokasi
budidaya. Langkah awal keberhasilan usaha budidaya adalah pemilihan lokasi, kontruksi, dan penentuan
skala budidaya. Oleh karena itu lokasi yang ideal untuk usaha budidaya harus memenuhi beberapa hal
sebagai berikut :
Lokasi budidaya harus bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi air. Polusi yang terdapat
pada tambak dapat berupa limbah rumah tangga, oleh karena itu rekomendasi yang dilakukan adalah
melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar agar tidak membuang limbah rumah tangga ke
Perbaikan saluran air agar dapat terjadi keseimbangan antara parameter air dengan tanah.
Apabila terjadi penyakit pada kultivan dalam wadah budidaya maka rekomendasi yang dilakukan agar
terjadi kesinambungan hidup antara yang sehat dan yang mati karena terkena penyakit dengan cara
mengambil kultivan yang telah mati, dan mengobati kultivan yang sakit dengan segera.
Penguasaan Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) merupakan salah satu faktor penting dalam
bwrkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastruktur, manajemen sumber daya
Manajemen infrastruktur
Manajemen infrastuktur adalah usaha yang dilakukan untuk perbaikan sarana dan prasarana budidaya.
a. Persiapan wadah
Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk mendapatkan lingkungan
yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh maksimal. Persiapan wadah meliputi pengeringan
dasar kolam, pengangkatan lumpur, perbaikan pematang dan pintu air, pengapuran, pemupukan,
b. Penebaran benih
Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah dengan padat penebaran (stock
density) tertentu. Benih berasal dari produksi pembenihan atau hasil tangkaan dari alam dengan kriteria
: spesies definitif dan tidak bercampur dengan spesies lain, organ tubuh lengkap, ukuran seragam,
respon terhadap gangguan, posisi tubuh di dalam air normal, menghadap dan melawan arus ketika
Spesialisasi dalam pengolahan tambak sangat diperlukan agar pendeteksian terhadap hal-hal yang
muncul, misalnya masuknya penyakit pada tubuh ikan dapat segera teratasi, termasuk di dalamnya
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini
adalah :
1. Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini mempelajari tentang penentuan lokasi budidaya, kualitas
dari lahan budidaya, kualitas air, kultivan yang dibudidayakan serta tipe teknologi apa yang digunakan
dalam budidaya.
2. Aplikasi teknologi yang digunakan dalam budidaya air payau yang ada di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah dengan memanfaatkan air laut sebagai sumber air untuk
kegiatan budidaya. Penerapan sistem teknologi ini adalah dengan cara menyaring air laut yang telah
ditampung di dalam bak tandon yang telah diisi pasir laut dan pecahan karang sebagai penyaring serta
penambahan zat kimia untuk mensterilkan air laut. Setelah beberapa jam kemudian air tersebut baru
bisa digunakan.
Saran yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih
tertib ketika melakukan wawancara agar informasi yang didapat lebih jelas lagi.
2. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih
aktif dalam memberikan pertanyaan agar data serta informasi yang didapat lebih banyak sehingga
Daftar Pustaka
Bezdicek, D.F., R.I. Papendick, and R. Lal. 1996. Introduction: Importance of Soil Quality to Health and
Sustainable Land Management. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.). 1999. Methods for Assessing Soil
Dugan, P.R. 1972. Biochemical Ecology of Water Pollution. Plenum Press. New York. 159 p.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta.
Hutchinson, G.E. 1975. A Treatise on Limnology. John Wiley and Sons. New York. 942 p.
Kasri, A.1992. Budidaya Kepiting Bakau. PT. Bharata Niaga Media. Jakarta.
Miller, G.T. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company.
California. 705 p.
Moss, B. 1993. Ecology of Freshwaters. Second edition. Blackwell Scientific Publications. London. 415 p.
Pecl, K. 1990. The Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223 p.
Rahmanto, S. dan Mudjiman, A. 1989. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya.
Ranoemihardjo, Bambang S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Waters. Martinus Nijhoff/Dr.W.Junk. Publ, Dordrecht,
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media.
Yogyakarta.