Anda di halaman 1dari 33

Air payau adalah campuran antara air tawar dan air laut (air asin).

Jika kadar garam yang dikandung


dalam satu liter air adalah antara 0,5 sampai 30 gram, maka air ini disebut air payau. Namun jika
lebih, disebut air asin.

Air payau ditemukan di daerah-daerah muara dan memiliki keanekaragaman hayati tersendiri.
Beberapa jenis ikan yang populer di Indonesia, hidup di air payau, seperti bandeng,kepiting windu
dan masih banyak yang lainya.

Balai Pengembagan Budidaya Air Payau dan Laut (BPBAPL) yaitu tempat pengembagan air payau
dan laut tempat ini juga memilii lahan yang sangat luas dan berpotensi sangat baik dan harus di
kembangkan. Disamping itu pula di BPBAPL mempunyai banyak tambak yang masih aktif.

Dari BPBAPL ini kita dapat tau tentang pengembagan ikan payau,laut, dan potensi dari ikan tersebut.
Cara membudidayakan ikan payau dan ikan laut, secara lagsung. Di tempat ini juga memiiki
beberapa ikan seperti ikan bandeng, kepiting windu , udang , nila , rajungan, rumput laut. Di tempat
ini juga kita dapat mengetahui jenis-jenis ikan yang bisa dibudidayakan dengan baik .

BPBAPL juga mempunya tambak yang diisi oleh udan,kepiting,nila seperti itu dan juga di tempat ini
juga ada cara untuk membudidayakan udang windu. Di Indonesia ini udang windu itu sudah tidak
terlalu banyak yang membudidayanya tetapi ditempat ini di budidayakan secara baik.

Definisi Air Payau

Air payau adalah campuran antara air tawar dan air laut (air asin). Jika kadar garam yang dikandung
dalam satu liter air adalah antara 0,5 sampai 30 gram, maka air ini disebut air payau. Namun jika
lebih, disebut air asin.

Dan tidak jauh juga dari pesisir laut, untuk itu air payau disebut juga air laut karena lokasinya
berdekatan. Yang berada di Balai Air Payau dan laut (BPBAPL)

2.2 Fungsi Pokok BPBAPL

a. Penyelenggaraan pengkajian bahan petunjuk teknis pengembangan budidaya air payau dan laut

b. Penyelenggaraan pengembangan budidaya ikan air payau dan laut.

2.3 Jenis – jenis Ikan Payau

Di tempat BPBAPL ini memiliki bayank jenis ikan payau yang sangat bagus secara membudiyakannya
juga baik diantaranya adalah

a. Kepiting

Kepiting sudah dapat dibudidayakan walaupun perkembangan budidayanya belum begitu pesat
karena memang komoditas jenis ini masih belum dikenal luas sebagai salah satu komoditas budidaya
air payau. Padahal pasar kepiting masih sangat luas dan nilai jualnya sangat tinggi. Apalagi kepiting
merupakan salah satu makanan favorit pada restoran-restoran seafood. Sentra budidaya kepiting
terdapat di provinsi jawa timur,
dan di provinsi jawa barat.
b. Sidat

Sidat, bentuknya menyerupai ikan belut. Ikan sidat termasuk komoditas yang memiliki nilai
ekonomis di pasaran, baik dalam negeri maupun luar negeri. Perkembangannya memang belum
begitu baik namun dengan potensi pasarnya yang masih terbuka tentu budidaya ikan sidat masih
sangat menjanjikan. Pembudidayaan ikan sidat air payau terdapat di provinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah.

c. Udang windu

Windu adalah jenis udang yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Udang windu memiliki nama
ilmiah Penaeus monodon. Walaupun sempat ambruk akibata serangan hama penyakit. Udang windu
perlahan bangkit dan saat ini mulai berkembang sangat baik di berbagai daerah di Indonesia.
Budidaya udang windu terdapat hampir di semua wilayah Indonesia. Sentra budidaya udang windu
sendiri terletak di provinsi Sumatera selatan, jawa barat dan sulawesi selatan.

d. Udang vannamei

Udang vannamei adalah jenis udang yang pada awal kemunculannya di Indonesia dikenal sebagai
udang yang dapat dibudidayakan denga tingkat ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama
penyakit. Namun sejak tahun akhir 2008, udang vannamei juga terkena serangan hama penyakit
yang menyebabkan jatuhnya produksi udang secara nasional. Udang vannamei yang memiliki nama
ilmiah Litopenaeus vannamei ini sentra lokasi budidayanya terdapat pada provinsi Lampung, Jawa
timur, nusa tenggara barat dan sumatera selatan.
Komoditas budidaya air payau sebetulnya masih banyak lagi. Tidak terbatas pada ketujuh belas
komoditas di atas. Tujuh belas komoditas di atas adalah yang perkembangan pembudidayaan secara
produksi masih sangat baik dan masih dapat berkembang. Pada awalnya komoditas yang
dikembangkan pada budidaya air payau hanya sebatas beberapa komoditas saja. Seiring dengan
perkembangan teknologi budidaya maka mulai bermunculan banyak komoditas yang dapat di
budidayakan.

4. Nila

Sama halnya dengan ikan mujair, ikan nila juga termasuk ikan yang dapat beradaptasi pada berbagai
jenis budidaya kecuali budidaya laut. Ikan nila yang memiliki varietas nilai hitam dan nila merah ini,
persebaran daerah budidayanya tidak sebanyak pada budidaya air tawar karena memang habitat asli
ikan ini sangat tumbuh baik pada perairan tawar.

f. Bandeng

Ikan bandeng adalah salah satu jenis ikan yang dapat dibudidayakan di laut maupun di tambak.
Namun saat ini perkembangan bandeng masih lebih baik pada budidaya tambak. Hal ini wajar
karena memang bandeng awalnya sangat baik dibudidayakan di tambak. Ikan yang dikenal dengan
nama inggrisnya milk fish ini banyak ditemui hasil pembudidayaannya di pulau jawa utamanya jawa
barat, jawa tengah dan jawa timur. Selain di pulau jawa.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia perikanan merupakan dunia yang kaya akan sumberdaya hayati, dimana begitu banyak
komoditi yang menjamin kita untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu
kegiatan tersebut adalah kegiatan usaha budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang perikanan
tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan laut, budidaya perairan payau
dan budidaya perairan tawar. Ketiga usaha budidaya tersebut masing-masing telah berkembang
pesat pada masyarakat indonesia saat ini pada umumnya dan masyarakat sulawesi tengah pada
khususnya.

Khusus untuk budidaya perairan payau, ramai digalakkan oleh masyarakat saat ini adalah budidaya
bandeng dan udang di tambak. Adapun pengertian dari daerah payau itu sendiri adalah merupakan
daerah daratan pantai dengan genangan-genangan air, campuran air asin dan air tawar dan biasanya
merupakan daerah supralitoral.

Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri sudah dikenal sejak abad ke-14 dan lazim digunakan sebagai
wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang, namun tidak banyak mengalami perubahan dalam
hal konstruksi dan rancang bangun. Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan konstruksi yang
sederhana dan murah, tetapi kuantitas maupun kualitas produksinya cenderung rendah.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka melalui laporan ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai usaha budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Tolongano, Sulawesi
Tengah.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktek mata kuliah “Manajemen Budidaya Perairan Payau” ini adalah untuk
mengetahui apakah pertambakan di desa tolongano berpotensi untuk diusahakan atau tidak.

Kegunaan dari praktek tersebut adalah sebagai bahan masukan dan pengetahuan kita tentang
prospek budidaya tambaksaat ini, serta dapat membandingkan materi yang diperoleh di perkuliahan
dengan praktek di lapangan.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kriteria dan Konstruksi tambak

Suyanto & Mudjiman (1981), menyatakan bahwa ada beberapa kriteria lahan untuk dijadikan
pertambakan yaitu sebagai berikut :

- Terdiri dari beberapa petakan tambak untuk berproduksi.

- Terdapat saluran-saluran suplai air.

- Adanya suplai air tawar dari sungai atau dari sumur pompa yang memadai.

- Pemasukan air asin dari laut yang mencukupi kebutuhan.


- Terdapat kolam pengendapan air, bila air keruh.

- Terdapat tempat untuk mendirikan gudang, rumah jaga, rumah untuk tekhnisi, unit rumah pompa,
generator listrik dan kendaraan.

Untuk mencegah akumulasi patogen dalam petakan tambak, saluran air yang masuk dan keluar
harus dipisahkan. Tinggi dasar saluran air masuk lebih rendah daripada dasar tambak untuk
mengurangi pelumpuran dalam petak. Hal tersebut sebagai upaya mempermudah pembagian air ke
dalam petak, saluran air masuk dapat difungsikan sebagai tandon dengan cara mengatur bukaan
pintu air utama (Ahmad, Ratnawati & Yakob, 1998).

Tanah yang ideal buat tambak ialah tanah yang bertekstur liat atau liat berpasir karena jenis tanah
tersebut dapat menahan air. Tanah dengan tekstur tersebut mudah diperoleh dan tidak pecah-
pecah di musim panas. Pembangunan pematang dengan tanah yang mengandung tanaman yang
belum membusuk harus dihindari, karena tanggul itu akan menyusut dan banyak kebocoran
(Buwono, 1992).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan, termasuk bandeng adalah luas ruang
(Soeseno, 1983). Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam ruang yang lebih luas, dengan asumsi semua
faktor lain yang berpengaruh adalah sama, ikan tumbuh lebih cepat daripada dalam ruang yang lebih
sempit.

2.2 Kualitas Air tambak

(Ahmad, Ratnawati & Yakob, 1992) menyatakan bahwa air untuk pengairan tambak udang dapat
diperoleh langsung dari laut yang kadar garamnya berkisar antara 30 ‰. Bisa juga diambil dari air
sungai yang sudah mendekati muara dengan sifat payau. Kadar garam air ini kurang dari 30 ‰.

Semua organisme hidup dalam air peka terhadap perubahan temperatur yang tinggi (lebih dari 5oC)
dan yang datang secara tiba-tiba, dan dapat mengakibatkan stress bahakan kematian (Brotowidjoyo,
1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa temperatur yang berubah-ubah secara mendadak
mempengaruhi proses kimia air, distribusi oksigen dan distribusi pakan. Temperatur yang dikehndaki
untuk organisme budidaya tambak tersebut adalah 27-32oC.

Air tambak harus jernih, dalam artian tidak terlalu banyak mengandung suspensi bahan padat.
Karena air jernih ini menjamin cahaya matahari mencapai dasar tambak dan produktivitas primer
tinggi (fotosintesis maksimal, fitoplankton tumbuh baik). Air yang keruh dapat menyulitkan
pernafasan dari organisme yang dipelihara, sebab suspensi dapat menyumbat saluran pernapasan.
Oleh karena itu suplai air keruh perlu diendapkan lebih dulu sebelum masuk ke dalam tambak
(Afrianto & Liviawaty, 1991).

(Brotowidjoyo, 1995), proses pembusukan sangat banyak memerlukan oksigen, terlalu banyak sisa
pakan dan bahan organis lainnya menyebabkan kandungan oksigen rendah. Adapun kandungan
oksigen yang baik adalah 4-8 mg/l. Jika kandungan oksigen rendah dapat diatasi dengan membuang
sebagian air tambak dan menggantinya dengan air suplai. Selain itu, kisaran pH yang dikehendaki
untuk tambak adalah 7,5-8,5. Apabila di luar batas dapat diatasi dengan pemupukan dengan gips.

2.3 Pemeliharaan organisme (bandeng dan udang)


Pemupukan pada usaha budidaya ikan walaupun ditujukan pada peningkatan produksi ikan, tetapi
ikan sendiri tidak dapat memanfaatkan pupuk secara langsung. Pupuk yang ditambahkan akan
digunakan fitoplankton untuk tumbuh sebagai pakan dasar rantai makanan dalam tambak. Jenis ikan
herbivora, dalam hal ini bandeng memanfaatkan fitoplankton tersebut, sedangkan ikan karnivora
memakan ikan hebivora karen atidak dapat memanfaatkan fitoplankton tersebut (Suyanto &
Mudjiman, 1981).

Salah satu sumber kemasaman air tambak adalah tanah dasar. Kapur dapat digunakan untuk
memperbaiki pH tanah secara praktis, aman dan murah (Buwono, 1992). Selanjutnya, dikatakan
bahwa tanah dasar kolam yang mengandung pirit memerlukan jumlah kapur yang lebih banyak
dibandingkan tanah yang tidak mengandung pirit. Oleh karena itu, tanah yang mengandung pirit
sebelum dikapuri harus melewati reklamasi terlebih dahulu.

(Soeseno, 1983), menyatakan bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan jenis pakan alami
yang terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran berbagai organisme), plankton dan
lumut-lumut, bahkan detritus (kotoran dan bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar
tambak.

Ikan maupun udang yang hidup dalam kondisi air yang jelek dapat mengalami tekanan (stress)
sehingga mudah terjangkit oleh parasit maupun penyakit. Perkembangan parasit dan penyakit
dipacu seiring dengan memburuknya kualitas lingkungan perairan. Bahan organik yang berasal dari
sisa pakan dan kotoran ikan merupakan media yang cocok bagi perkembangan parasit dan bakteri
(Afrianto & Liviawaty, 1991).

Dalam mengusahakan tambak, sering kali kita akan menghadapi gangguan hama (Suyanto &
Mudjiman, 1981). Lebih lanjut dinyatakan bahwa hama tambak tersebut dapat dibedakan menjadi
tiga golongan yaitu golongan pemangsa atau predator (ikan-ikan buas, kepiting, kerang-kerangan,
bangsa burung, bangsa ular, dan wlingsang), golongan penyaing atau kompetitor (bangsa siput, ikan
liar seperti mujair, ketam-ketaman dan udang-udnag kecil), dan golongan pengganggu (bangsa
ketam-ketaman, udang tanah hewan-hewan penggerek dan tritip).

III METODE PRAKTEK

3.1 Waktu dan Tempat

Praktek mata kuliah “Manajemen Budidaya Perairan Payau” ini dilakasanakan pada hari senin,
tanggal 8 Januari 2007. Praktek dilaksanakan pada pukul 10.00 Wita sampai selesai, dan bertempat
di Desa Tolongano, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Sulawesi tengah.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktek ini adalah termometer, refractometer, dan alat tulis menulis.
Sedangkan bahan yang digunakan pada praktek ini adalah air, questioner.

3.3 Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja dari praktek ini terbagi menjadi dua yaitu :

- Pengukuran terhadap kualitas air tambak

Untuk mengukur suhu (temperatur), yaitu termometer dicelupkan ke dalam air tambak selama ± 2
menit, kemudian diangkat dan melihat kisaran suhu yang terbaca di alat tersebut. Sedangkan untuk
salinitasnya, pertama-tama ambil air tambak dengan sedotan kemudian teteskan ke alat
refractometer, lalu lihat berapa kisaran salinitas yang terbaca di alat tersebut. Setelah itu, hasil
pengukurannya dicatat.

- Wawancara terhadap petambak

Mewawancarai narasumber yang dalam hal ini petani tambak melalui questioner yang telah
disiapkan.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan dari praktek yang telah dilaksanakan, maka diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 1. hasil pengukuran kualitas air tambak

Petakan tambak Suhu (0C) Salinitas (ppt)

I 29 31

II 29,5 30

III 30 32

IV 32 25

Tabel 2. Hasil wawancara kepada petani tambak

Narasumber Pak Lukman

Organisme yang dibudidaya Bandeng (Chanos chanos) dan Udang Windu (Penaeus
monodon)

Luas/petak tambak 2 ha

Kedalaman tambak <>

Substrat tanah Lumpur berpasir

Jumlah organisme dalam tiap petak - Bandeng 5000 ekor


tambak
- Udang 4000 ekor

Harga bibit - Bandeng Rp. 30-40/ekor


- Udang Rp. 40/ekor

Sumber air laut dan air tawar dari muara, pergantian air dilakukan
2 kali dalam sebulan

Pintu air masuk dan keluar Hanya 1 buah, menggunakan penyaring berupa jaring
dengan maksud agar ikan-ikan dari sumber air tidak
masuk

Hama dan penyakit Hama yang menyerang yaitu burung bangau dan
kerang-kerangan, sedangkan untuk penyakit dipastikan
bandeng dan udang tersebut tidak terserang penyakit

Pakan Hanya mengandalkan pakan alami berupa lumut dan


klekap

Perlakuan Sebelum pemeliharaan dilakukan, tanah dasar tambak


dikeringkan, kemudian dilakukan pemupukan dengan
jenis pupuk urea, dan takarannya 450 kg (3 sak)/petak
selama ± 2 hari

Pemanenan Untuk hasil panen pertama pada tiap petak tambak


berkisar 70 %

4.2 Pembahasan

Budidaya tambak baik untuk pemeliharaan ikan bandeng maupun udang di indonesia sangatlah luas,
terdapat ± 200.000 ha yang dimiliki dan diusahakan oleh petani, namun kebanyakan masih bersifat
tradisional. Sejak beberapa tahun terakhir ini, tekhnik intensifikasi tambak telah dikenal secara luas.
Namun karena kemampuan permodalan sebagai masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan
petani tambak tidak sama, maka perkembangan tekhnik pertambakan yang diterapkan saat ini pun
berbeda-beda tingkatannya. Ada tambak yang masih secara sederhana, dengan hasilnya yang masih
rendah. Adapula tambak yang telah diusahakan secara intensif dengan masukan modal yang tinggi
dan hasilnya pun tinggi.

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di lapangan, dapat dilihat bahwa metode yang digunakan
dalam usaha tambak tersebut bersifat tradisional plus. Hal ini dapat dilihat dari luas petakan tambak
dan kedalaman tambak tersebut. Di mana, untuk tambak tradisional plus luas petakan tambaknya
sudah mulai diatur dengan ukuran 0,25-2 ha, sedangkan untuk memudahkan pengontrolan
sebaiknya tambak memiliki luas 0,25-0,5 ha/petak, dan ini biasanya terdapat pada tambak intensif.
Selain dilihat dari luas petakan, dapat juga dilihat dari kedalaman tambak tersebut yakni
kedalamannya kurang dari 1 m, sedangkan kedalaman tambak yang ideal adalah 1,25-1,5 m atau
lebih.

Adapun untuk tanah dasar tambaknya lumpur berpasir. Tekstur tanah demikian kurang baik untuk
pemeliharaan bandeng dan udang, adapun substrat tanah yang baik untuk tambak adalah dari jenis
tanah liat berpasir. Hal demikian sesuai dengan pernyataan dari (Buwono, 1992), di mana tanah
dengan tekstur tersebut mudah menahan air dan tidak pecah-pecah bila musim panas tiba.
Yang paling penting dalam usaha budidaya adalah meninjau tentang pengairannya. Air yang
diperoleh bisa air payau atau air laut murni asal jumlahnya cukup untuk mengganti air tambak setiap
waktu diperlukan. Air tersebut harus bebas dari pencemaran yang bersifat racun, seperti sisa-sisa
pestisida, limbah industri, dsb. Apabila air tersebut kotor atau keruh karena suspensi lumpur atau
kotoran bahan organik limbah rumah tangga, maka dapat dibersihkan dengan cara penyaringan dan
pengendapan.

Namun, lebih idealnya lagi apabila di suatu pertambakan dapat diperoleh suplai air laut yang bersih
dan juga suplai air tawar yang jernih. Di mana, air tawar ini juga harus bebas dari pencemaran yang
dapat membahayakan organisme peliharaan. Di lapangan, sumber air yang diperoleh untuk
pertambakan tersebut berasal dari laut dan muara sungai. Adapun untuk pergantian air yang
dilakukan di tambak tersebut minimal 2 kali dilakukan dalam sebulan.

Berbicara tentang sumber air, erat hubungannya dengan kualitas air. Dalam hal ini yang termasuk di
dalamnya adalah suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut. Namun, pada praktek yang dilakukan
pengukuran kualitas air hanya dilakukan pada suhu dan salinitasnya saja. Adapun kisaran salinitas
yang diukur pada tiap petak tambak tersebut berada pada kisaran 25‰-32‰, hal demikian sesuai
dengan pernyataan dari (Ahmad, Ratnawati & Yakob, 1992), di mana dikatakan bahwa air untuk
pengairan tambak dapat diperoleh langsung dari laut yang salinitasnya berkisar antara 30‰-36‰.

Adapun untuk suhu air yang terdapat di lapangan berkisar antara 290C-320C. Kisaran tersebut sesuai
dengan pernyataan dari (Brotowidjoyo, 1995), yang menyatakan bahwa suhu yang dikehendaki
untuk organisme budidaya tambak adalah 270C-320C. Suhu air sangat berkaitan erat dengan
konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan air. Meskipun di lapangan
tidak dilakukan pengukuran terhadap oksigen terlarut tersebut, namun perlu diketahui kisaran
oksigen terlarut yang biasanya bagi pertambakan adalah 4-8 mg/ltr. Selain oksigen terlarut, perlu
juga diketahui pH air yang ideal bagi pertambakan yaitu 7,5-8,5 (Brotowidjoyo, 1995).

Salah satu ciri dari tambak tradisional plus adalah sudah memiliki 2 buah pintu air masuk dan keluar
secara terpisah, namun yang terdapat di lapangan hanya memiliki satu buah pintu air saja baik pintu
air masuk maupun keluar. Di mana pada pintu air tersebut dipasang saringan berupa jaring dengan
tujuan agar ikan-ikan yang berasal dari sumber air tersebut tidak ikut masuk ke tambak. Terdapatnya
satu buah pintu air sangat tidak efisien untuk suatu usaha pertambakan, mengapa demikian karena
untuk mencegah akumulasi patogen yang terjadi dalam petakan tambak, maka saluran air yang
masuk dan keluar harus dipisahkan, demikian pernyataan dari Ahmad, Ratnawati & Yakob (1998).

Setelah kita mengetahui tentang pengairan dari tambak, maka kita juga perlu mengetahui tentang
perlakuan selanjutnya sebelum bandeng dan udang di masukan ke tambak. Adapun yang dilakukan
yaitu tanah dasar tambak dikeringkan terlebih dahulu, setelah itu dipupuk dengan menggunakan
pupuk urea sebanyak 450 kg atau 3 sak/petaknya selama ± 2 hari. Setelah itu, barulah bibit dari
bandeng dan udang tersebut di tebar ke dalam tambak. Adapun padat penebaran untuk tiap petak
yaitu 5000 ekor untuk bandeng dan 4000 ekor untuk udang. Tingkatan padat penebaran tersebut
masih begitu rendah.

Untuk pemberian pakannya tidaklah sulit, karena di tambak tersebut pakan yang diberikan hanya
mengandalkan pakan alami yaitu berupa lumut dan klekap, sedangkan untuk pemberian pakan
buatan tidak dilakukan. Meskipun sebenarnya untuk metode tradisional plus ini pemberian pakan
buatan sudah harus dilakukan, namun kenyataan di lapangan hanya pakan alami saja yang diberikan.
Pemberian pakan alami saja merupakan ciri dari metode tradisional, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Soeseno (1983) bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan jenis pakan alami yang
terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran berbagai organisme), plankton dan lumut-
lumut, bahkan detritus (kotoran dan bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar tambak.

Selain pemberian pakan, pengontrolan terhadap hama dan penyakit juga perlu dilakukan agar
organisme peliharaan kita dapat tumbuh dengan baik. Di lokasi tambak tersebut, dinyatakan oleh
petani tambak itu bahwa udang dan bandeng yang dipelihara tidak terkena penyakit, hanya di
tambak tersebut terdapat hama berupa burung bangau dan kerang-kerangan. Demikian halnya
pernyataan dari (Suyanto & Mudjiman, 1981), bahwa golongan hama terbagi menjadi tiga yaitu
predator, kompetitor dan pengganggu. Burung dan kerang-kerangan tersebut termasuk ke dalam
hama predator. Untuk memberantas hama-hama tersebut dapat digunakan bahan beracun seperti
pestisida.

Setelah 3-4 bulan masa pemeliharaan, maka udang dan bandeng tersebut sudah dapat dipanen,
pada lokasi tambak tersebut panen pada tahap pertama diperoleh hasil sekitar 70 %. Melihat dari
keadaan lokasi tambak di desa tolongano tersebut, sebenarnya lokasi tambak tersebut layak untuk
diusahakan hanya saja yang perlu ditingkatkan adalah pengontrolan dan manajemennya, serta
pengetahuan dari pengolah tambak.

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :

1). Metode tambak yang digunakan di Desa Tolongano tersebut adalah metode tradisional plus.

2). Hanya terdapat satu buah pintu air keluar dan masuk.

3). Pakan yang diberikan hanya mengandalkan pakan dari alam yaitu berupa lumut dan klekap.

4). Kualitas air yang diukur baik suhu maupun salinitas berada pada kisaran yang dikehendaki untuk
usaha pertambakan.

5). Tambak di desa tolongano tersebut layak untuk diusahakan, namun diperlukan peningkatan
pengongtrolan dan pengetahuan dalam hal pengolahan tambak.

5.2 Saran

Saran kami sebagai praktikan adalah sebaiknya pada praktek-praktek selanjutnya semua kualitas air
dapat diukur.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perikanan merupakan dunia yang kaya akan sumberdaya hayati,
dimana begitu banyak komoditi yang menjamin kita untuk melakukan berbagai
kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu kegiatan tersebut adalah kegiatan usaha
budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang perikanan tersebut terbagi menjadi
tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan laut, budidaya perairan payau dan
budidaya perairan tawar. Ketiga usaha budidaya tersebut masing-masing telah
berkembang pesat pada masyarakat indonesia saat ini pada umumnya dan
masyarakat sulawesi tengah pada khususnya.
Khusus untuk budidaya perairan payau, ramai digalakkan oleh masyarakat
saat ini adalah budidaya bandeng dan udang di tambak. Adapun pengertian dari
daerah payau itu sendiri adalah merupakan daerah daratan pantai dengan
genangan-genangan air, campuran air asin dan air tawar dan biasanya merupakan
daerah supralitoral.
Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri sudah dikenal sejak abad ke-14 dan
lazim digunakan sebagai wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang, namun
tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan rancang bangun.
Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan konstruksi yang sederhana dan murah,
tetapi kuantitas maupun kualitas produksinya cenderung rendah. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut, maka melalui laporan ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai usaha budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat di daerah
Ampibabo, Kab. Parimo, Sulawesi Tengah.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Praktek Lapang Manejemen Perikanan Budidaya Payau bertujuan untuk
mengetahui teknik budidaya udang dan bandeng ditambak, kegunaannnya yaitu
para mahasiswa dapat melihat secara langsung budidaya ikan dan udang ditambak.

II. METODE PRAKTEK LAPANG


2.1 Waktu dan Tempat
Praktek lapang Manajemen Perikanan Budidaya Payau di laksanakan pada
hari Sabtu tanggal 5 Mei 2012 pada pukul 07.00 WITA sampai dengan selesai.
Bertempat di Desa Tomoli, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parig Moutongi,
Sulawesi Tengah.
2.2 Metode Praktek
2.2.1 Pengamatan Langsung
Metode praktek dengan pengamatan langsung di lakukan dengan cara
melihat secara langsung lokasi budidaya.
2.2.2 Wawancara
Metode wawancara di lakukan dengan mewawancarai para pemilik lahan
budidaya.
2.2.3 Kepustakaan
Kepustakaan di peroleh dari literatur maupun referensi yang terkait dengan
kegiatan budidaya yang di amati.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengenalan Organisme
3.1.1 Ikan Bandeng
Menurut Hadi (2000), Klasifikasi dan ciri morfologi ikan bandeng adalah
sebagai berikut :
Kingdom : animalia
Filum : chordata
class : pisces
Ordo : Gonorynchiformes
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies : Chanos chanos.

Menurut Mansyur (2003), salah satu ciri khas Ikan bandeng yaitu bentuk
badan yang langsing berbentuk torpedo, sirip ekor bercabang, berwarna keperak-
perakan, mulut terletak di ujung kepala dengan rahang tanpa gigi, lubang hidung
terletak di depan mata, mata di selimuti selaput bening.
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan primadona para pembudidaya ikan
di tambak dan organisme ini tergolong euryhaline atau ikan yang memiliki
kemampuan toleransi pada rentang salinitas yang jauh berbeda. Ikan bandeng aktif
mencari makan pada siang hari (diurnal) dengan menjadi konsumen utama di
tambak yang memakan alga dan organisme lainnya (Syahid dkk., 2006).
3.1.2 Udang Putih (Litopenaeus Vannamei)
Klasifikasi udang putih menurut Mudjiman (1992), adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Sub genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei.

Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu
bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax),dan bagian tubuh
sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak
kepala (Cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut
dengan cucuk kepala (rostrum). Pada udang windu, gigi rostrum bagian atas
biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah, sedangkan untuk udang putih
biasanya bagian atas biasanya delapan buah dan bagian bawah lima buah (Syahid
dkk, 2006).
Udang putih yang memang berwarna putih polos dan berkulit tipis (sehingga
mudah mati), di luar negeri di kenal sebagai Banana prawnkarena putihnya memang
agak kuning muda, berbintik-bintik kecil seperti pisang ambon. Di banding jenis lain,
udang putih ini lebih banyak jumlahnya. Mereka sudah mati bila masa
pemeliharaannya lama (lebih dari 2 bulan), karena peka sekali terhadap perubahan
lingkungan (Soesono, 1983).
Benih udang putih yang dibudidayakan oleh pak naim berasal dari surabaya
yang berumur ± 2 minggu dan siap ditebarkan, padat penebaran dalam tiap petakan
± 7.000 ekor/petak. Selama pemeliharaan ikan bandeng tidak diberi pakan buatan
hanya pakan alami saja yang ditumbuhkan didalam tambak sebagai makanan
utama. Pemberantasan hama selama pemeliharaan dilakukan dengan cara
pembersihan secara manual dengan mengunakan tangan, untuk panennya belum
diketahui pada umur berapa karena udang yang dibudidayakan masih dalam tahap
percobaan/baru dibudidayakan, akan tetapi menurut pak naim apabila udangnya
sudah mencapai ukuran konsumsi maka panen dapat dilakukan.
3.2 Metode Budidaya
Budidaya tambak baik untuk pemeliharaan ikan bandeng maupun udang di
indonesia sangatlah luas, terdapat ± 200.000 ha yang dimiliki dan diusahakan oleh
petani, namun kebanyakan masih bersifat tradisional. Sejak beberapa tahun terakhir
ini, tekhnik intensifikasi tambak telah dikenal secara luas. Namun karena
kemampuan permodalan sebagai masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan
petani tambak tidak sama, maka perkembangan tekhnik pertambakan yang
diterapkan saat ini pun berbeda-beda tingkatannya. Ada tambak yang masih secara
sederhana, dengan hasilnya yang masih rendah. Adapula tambak yang telah
diusahakan secara intensif dengan masukan modal yang tinggi dan hasilnya pun
tinggi.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di lapangan, dapat dilihat bahwa
metode yang digunakan dalam usaha tambak tersebut bersifat tradisional. Hal ini
dapat dilihat dari luas petakan tambak dan kedalaman tambak tersebut. dilihat dari
kedalaman tambak tersebut yakni kedalamannya kurang dari 1 m, sedangkan
kedalaman tambak yang ideal adalah 1,25-1,5 m atau lebih.
Adapun untuk tanah dasar tambaknya lumpur berpasir. Tekstur tanah
demikian kurang baik untuk pemeliharaan bandeng dan udang, adapun substrat
tanah yang baik untuk tambak adalah dari jenis tanah liat berpasir. Hal demikian
sesuai dengan pernyataan dari (Buwono, 1992), di mana tanah dengan tekstur
tersebut mudah menahan air dan tidak pecah-pecah bila musim panas tiba.
Yang paling penting dalam usaha budidaya adalah meninjau tentang
pengairannya. Air yang diperoleh bisa air payau atau air laut murni asal jumlahnya
cukup untuk mengganti air tambak setiap waktu diperlukan. Lanjut dikatakan oleh
Kemur dan amin (2000), untuk itu suatu tambak perlu adanya pinti air. Pintu air
suatu unit tambak terdiri dari pintu air utama dan pintu air petakan. Pintu air utama
dipasang di depan saluran pembagi air dan dibangun pada bagian terendah dari unit
tambak.
Namun, lebih idealnya lagi apabila di suatu pertambakan dapat diperoleh
suplai air laut yang bersih dan juga suplai air tawar yang jernih. Di mana, air tawar ini
juga harus bebas dari pencemaran yang dapat membahayakan organisme
peliharaan. Di lapangan, sumber air yang diperoleh untuk pertambakan tersebut
berasal dari laut dan muara sungai. Adapun untuk pergantian air yang dilakukan di
tambak tersebut minimal 2 kali dilakukan dalam sebulan.
Salah satu ciri dari tambak tradisional adalah sudah memiliki 2 buah pintu air
masuk dan keluar secara terpisah, namun yang terdapat di lapangan hanya memiliki
satu buah pintu air saja baik pintu air masuk maupun keluar. Di mana pada pintu air
tersebut dipasang saringan berupa jaring dengan tujuan agar ikan-ikan yang berasal
dari sumber air tersebut tidak ikut masuk ke tambak. Terdapatnya satu buah pintu air
sangat tidak efisien untuk suatu usaha pertambakan, mengapa demikian karena
untuk mencegah akumulasi patogen yang terjadi dalam petakan tambak, maka
saluran air yang masuk dan keluar harus dipisahkan (Ahmad, 1998).
Setelah kita mengetahui tentang pengairan dari tambak, maka kita juga perlu
mengetahui tentang perlakuan selanjutnya sebelum bandeng dan udang di masukan
ke tambak. Adapun yang dilakukan yaitu tanah dasar tambak dikeringkan terlebih
dahulu, setelah itu dipupuk dengan menggunakan pupuk urea sebanyak 400 kg
/petaknya selama ± 2 minggu. Setelah itu, barulah bibit dari bandeng dan udang
tersebut di tebar ke dalam tambak. Adapun padat penebaran untuk tiap petak yaitu
300-400 ekor untuk bandeng dan udang.. Tingkatan padat penebaran tersebut
masih begitu rendah.
Penebaran benih udang dan bandeng pada budidaya campuran/polycultur
tidak boleh dilakukan bersama.-sama, tetapi terlebih dahulu yang ditebarkan adalah
benur (benih udang). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada
udang untuk beradaptasi dengan lingkungan tanpa merasa terganggu oleh gerakan
ikan bandeng yang gesit. Penebaran dapat dilakukan pada saat suhu rendah yaitu
pagi atau sore hari.
Untuk pemberian pakannya tidaklah sulit, karena di tambak tersebut pakan
yang diberikan hanya mengandalkan pakan alami yaitu berupa lumut dan klekap,
sedangkan untuk pemberian pakan buatan tidak dilakukan. Meskipun sebenarnya
untuk metode tradisional plus ini pemberian pakan buatan sudah harus dilakukan,
namun kenyataan di lapangan hanya pakan alami saja yang diberikan. Pemberian
pakan alami saja merupakan ciri dari metode tradisional, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Soeseno (1983) bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan
jenis pakan alami yang terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran
berbagai organisme), plankton dan lumut-lumut, bahkan detritus (kotoran dan
bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar tambak.
Selain pemberian pakan, pengontrolan terhadap hama dan penyakit juga
perlu dilakukan agar organisme peliharaan kita dapat tumbuh dengan baik. Di lokasi
tambak tersebut, dinyatakan oleh petani tambak itu bahwa udang dan bandeng yang
dipelihara tidak terkena penyakit, hanya di tambak tersebut terdapat hama berupa
burung bangau dan kerang-kerangan. Demikian halnya pernyataan dari (Suyanto,
1995), bahwa golongan hama terbagi menjadi tiga yaitu predator, kompetitor dan
pengganggu. Burung dan kerang-kerangan tersebut termasuk ke dalam hama
predator. Untuk memberantas hama-hama tersebut dapat digunakan bahan beracun
seperti pestisida.
Panen ikan dan udang dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 3-4 bulan.
Pada umur demikian ukuran udang berkisar antara 30-40 gram/ekor dan bandeng
sekitar 500 gram/ekor. pemanenan baik ikan maupun udang dilakukan dengan dua
cara, yaitu panen sebagian (selektif) dan panen total. Dalam pelaksanan panen total
atau panen sebagian, ikan dipanen terlebih dahulu kemudian udang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang di peroleh, maka dapat di tarik
beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Tambak yang berada di desa Tomoli, hanya membudidayakan 2 jenis organisme,
yaitu : udang putih (Litopenaeus vannamei) dan ikan bandeng (Chanos chanos).
2. Metode budidaya yang digunakan oleh pembudidaya di desa tomoli yaitu metode
polycultur anatara ikan bandeng dengan udang vannamei (udang putih).
3. Jenis tambak yang berada di desa Tomoli, termasuk tambak tradisional
4.2 Saran
Sebagai praktikan, saya menyarankan sebaiknya sebelum melakukan
praktek, lokasi harus ditinjau terlebih dahulu agar dalam pelaksanaan praktek dapat
berjalan dengan lancar, dan untuk pembudidaya di kecamatan ampibabo, sebaiknya
memperhatikan aspek-aspek pendukung untuk kegiatan budidaya

Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,
mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi. Dengan berbagai kekayaan keanekaragaman hayati
dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis
dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya
harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta mampu memberika manfaat yang sebesar-
besarnya kepada semua stakeholder terutama masyarakat pesisir, dam meniminimalkan dampak
serta konflik yang berpotensi terjadi.
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan
tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting
ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta
memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan
penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus
bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul
karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Di
masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian
pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma
tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena
mereka juga adalah warga negara Indonesia.
Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena
ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan
masyarakat pesisir. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat,
umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang
atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu
perlu waktu bertahun-tahun agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat
pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih
sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan
adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas
lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di
Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian
barat Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup
memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis
pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya.
Kegiatan budidaya laut dan payau berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani
di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Meskipun
demikian pengembangan budidaya laut dan payau hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan
yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan,
sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Penguasaan manajemen budidaya air payau merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai
keberhasilan produksi dengan mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara berkelanjutan.
Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastuktur, manajemen dumberdaya manusia,
manajemen produksi budidaya dan manajemen pemasaran.
Klasifikasi budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton,
budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup.
Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa
pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah
berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan yang dilakukan
di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan
pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan
teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.

1.2. Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) adalah sebagai berikut :
a. Mahasiswa dapat lebih memahami manajemen perikanan budidaya air payau.
b. Mahasiswa nantinya dapat memahami dan mengaplikasikan teknologi budidaya air payau terkini.
c. Mahasiswa nantinya dapat menerapkan sistem manajemen yang baik tentang pembudidayaan
perikanan air payau kepada masyarakat.

1.3. Waktu dan Tempat


Praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) dilaksanakan pada :
Tempat : Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara,
yang terletak di kawasan Pantai Kartini Jepara.
Tanggal : 19 Desember 2008
Pukul : 09.00 – 11.00 WIB
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemilihan Lokasi Budidaya Air Payau


Memilih lokasi untuk usaha pertambakan tergantung pada faktor kondisi sosiologis. Di daerah
potensial yang sudah banyak digunakan untuk usaha pertambakan tentu sulit mencari lahan kosong
untuk dibuat tambak baru. Di daerah seperti ini, alternatif yang dapat diambil adalah menyewa atau
membeli tambak. Di daerah yang belum banyak digunakan untuk pertambakan, cukup banyak lahan
yang bisa dimanfaatkan. Namun untuk membangun suatu lokasi menjadi daerah pertambakan,
minimal harus dilalui tiga jalur permohonan izin terpadu, yaitu izin dari Dinas Perikanan, Agraria dan
Pemerintah Daerah. Bila tambak yang hendak diusahakan lebih dari 1 Ha, diperlukan tambahan
permohonan sampai tingkat Gubernur (Murtidjo, 1991).
Pada umumnya di Jawa tidak mungkin lagi dapat ditemukan lahan kososng untuk diusahakan
sebagai pertambakan baru, sebaliknya di luar Jawa lokasi untuk ekstensifikasi pertambakan masih
tersedia. Di Daerah Istimewa Aceh, status pemilikan areal tambak memang masih semrawut. Di
daerah ini pemilikan tambak cenderung berkaitan dengan tradisi hukum adat. Hampir setiap tanah
kosong di dekat tambak yang sudah diusahakan sesorang dijadikan miliknya, sehingga tidak
mengherankan jika ada orang-orang yang bisa memiliki tambak seluas 33 Ha, mesti status hukumnya
hanya Hak Guna Tanah. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, umumnya status pemilikan tambak sudah
cukup teratur. Tambak-tambak yang diusahakan di daerah ini sudah berdasarkan Surat Petok dan
Surat Keputusan Penggunaan Tanah, sehingga dalam pengelolaan, sangat mungkin dilakukan kerja
sama dengan pemilik modal demi mengatasi kesulitan untuk mengusahakan tambak semi intensif
dan tambak intensif. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, umumnya lokasi tambak yang diusahakan
berstatus tanah milik. Hanya sebagian kecil lokasi tambak yang masih diusahakan berdasarkan Surat
Keputusan Penggunaan Tanah. Jual beli tambak di daerah ini seperti jual beli sawah, karena sebagian
besar tambak memasuki daerah pedalaman. Di daerah ini sulit sekali mencari lahan luas sekaligus
dalam satu wilayah. Jarang ada tambak milik perorangan yang dijual, meski dalam keadaan terjepit
sekali pun (Murtidjo, 1991).
Menurut Ranoemihardjo (1984), sebelum membeli atau menyewa tambak, perlu diperhitungkan
klasifikasi tambak, yakni :
1. Tambak bersalinitas tinggi adalah tambak yang umumnya berada dekat pantai. Kadar keasinan air
tambak ini tinggi, dan sulit diatur, kecuali dengan menggunakan alat-alat tertentu. Pengeringan juga
sulit dilakukan. Dengan demikian tambak seperti ini hanya mungkin diusahakan sebagai tambak
berpola tunggal intensif. Jika digunakan sebagai tambak udang intensif, diperlukan biaya besar untuk
membeli makanan dan peralatan.
2. Tambak bersalinitas menengah adalah tambak yang terlalu dekat dengan laut atau pantai,
melainkan dekat dengan sungai. Tambak demikian bisa diatur dengan mudah. Tambak semacam ini
memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena sangat memungkinkan untuk dibuat tambak berpola
tunggal atau ganda, dengan sistem semi intensif maupun intensif. Tambak mudah dikeringkan untuk
dipupuk, sehingga pertumbuhan klekap (ganggang biru) sebagai makanan alami ikan bandeng dan
udang dapat memenuhi kebutuhan dan mengurangi penggunaan makanan tambahan.
3. Tambak bersalinitas rendah adalah tambak yang terletak sangat jauh dari laut atau pantai, tetapi
dekat dengan sungai. Dengan kecenderungan umum salinitas air sangat rendah, tambak jenis ini
cocok untuk memelihara ikan bandeng.
Menurut Murtidjo (1991), seberapa tinggi potensi kepayauan air tambak juga merupakan salah satu
hal yang sangat penting untuk diketahui dalam pemilihan lokasi tambak. Pada tambak yang
bersalinitas tinggi, kadar keasinannya sekitar 26 – 35 ‰, tambak bersalinitas menengah berkadar
berkadar keasinan sekitar 11 – 25 ‰, sedangkan tambak bersalinitas rendah berkadar keasinan
sekitar 3 – 10 ‰. Pengukuran bisa dilakukan dengan alat yang disebut salinometer. Pengamatan
menggunakan sampel air tanbak di beberapa tempat secara acak. Selanjutnya sampel-sampel
tersebut dikocok-kocok merata. Bila terlalu kotor air bisa disaring dan diambil sebanyak 2 – 3 liter,
ditempatkan dalam toples atau tabung kaca. Selanjutnya salinometer diapungkan pada ruangan
yang memiliki suhu 27,5 °C.
Derajat keasaman air tambak pun tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pemilihan lokasi tambak,
terutama untuk usaha tambak semi intensif yang menggunakan pemupukan. Pengukuran pH air
tambak bisa dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut ‘pH meter’ atau ‘pH comparator’,
bahakan di Indonesia sudah beredar alat pengukuran keasaman air sistem digital, sehingga lebih
praktis dan hasilnya dapat dibaca pada angka yang tampak pada alat tersebut (Ranoemihardjo,
1984).
Derajat keasaman perlu diketahui dengan pasti agar dapat diperoleh data mengenai potensi air
tambak, apakah air tambak mengandung cukup mineral atau tidak. Air yang agak alkalis dapat
mempercepat penguraian bahan organik menjadi garam mineral, misalnya : nitrat, amonia dan
fosfat. Dengan demikian akan mudah diserap sebagai makanan oleh tumbuh-tumbuhan renik. Zat-
zat mineral yang cukup akan menyuburkan klekap (ganggang biru) yang merupakan makanan alami
ikan dan udang. Namun sebaliknya, air tambak dengan pH lebih rendah atau lebih tinggi dari batas
normal jelas kurang baik bagi kesuburan klekap. Bila dipaksakan untuk memelihara ikan dan udang,
angka kematian akan tinggi (Murtidjo, 1991).

2.2. Kualitas Lahan


Tanah pada dasar tambak yang potensial adalah tanah liat yang bercampur tanah endapan dan
sedikit pasir. Tanah seperti ini pada umumnya terbentuk dari air sungai yang bermata air di gunung
yang membawa tanah lahar mengandung lahar. Tanah dasar yang hanya terdiri dari tanah liat atau
pasir kurang baik. Terlalu banyak tanah liat akan mengakibatkan tanah mempunyai sifat keras bila
kering dan menjadi becek, lengket dan lembek jika basah. Kemampuan menahan air pun terlalu
kecil, namun bila terlalu banyak mengandung pasir, tanah tambak akan mudah longsor. Bila
terpaksa, tanah liat berpasir masih bisa dimanfaatkan untuk usaha tambak, namun dalam
pengelolaan harus sering dikontrol dan jika terjadi kerusakan harus secepatnya diperbaiki (Murtidjo,
1991).
Lahan yang ideal atau alami dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi tanah yang
dievaluasi dengan asumsi bahwa lahan/tanah yang dipakai acuan mengandung sifat-sifat ideal. Sifat-
sifat tanah sebagai acuan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi.
Lahan/tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produksi kandungan
oksigen yang terlarut juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara di dalam kandungan lahan/tanah
lokasi tambak tersebut (Soepardi, 1983).
Menurut Soepardi (1983), tekstur dan struktur lahan/tanah mempengaruhi jumlah air dan udara di
dalam lahan lokasi pertambakan tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan ikan. Ukuran partikel tanah sangat penting karena :
a) Ukuran partikel tanah makin kecil (liat) maka partikel-partikel tanah tersebut akan berikatan lebih
kuat dibandingkan dengan yang berukuran besar (pasir). Hal ini berarti tanah akan didominasi pori-
pori berukuran kecil. Demikian juga air dan udara di dalam tanah berada di dalam pori-pori kecil
tersebut.
b) Partikel lebih kecil mempunyai luas permukaan lebih luas/besar dibandingkan dengan yang besar
dalam satuan berat yang sama. Dalam berat yang sama liat dapat mengembang mempunyai sekitar
10 ribu kali luas permukaan partikel debu dan 100 ribu kali dibandingkan dengan pasir. Jika luas
permukaan tanah meningkat berarti jumlah air dan kation/unsur hara yang teradsorpsi (diikat) akan
meningkat pula.
Proses dan reaksi bahan kapur di dalam tanah, sehingga menurunkan kemasaman tanah adalah
sangat komplek. Walaupun demikian pengaruh tersebut dapat diterangkan dengan sangat
sederhana, seperti telah disebutkan bahwa pH tanah diekspresikan sebagai aktifitas H+. Sumber
utama H+ dalam sebagian besar tanah yang mempunyai pH di bawah 5,5 adalah reaksi Al dengan air
(Winarso, 2005).
Lahan pertambakan yang dipakai umtuk lokasi, tanah yang dipakai tidak hanya dipandang sebagai
produk transformasi mineral dan bahan organik dan sebagai media produktivitas ikan yang tinggi,
akan tetapi juga dipandang lebih menyeluruh yaitu mencakup fungsi-fungsi lingkungan. Sehingga
penilaian tanah saat ini, dikatakan tang yang berkualitas tidak saja tanah tersebut subur dan
produktif akan tetapi harus mencakup aspek lingkungan dan kesehatan. Tanah-tanah yang sehat
atau berkualitas akan menunjukkan rendahnya bahkan tidak adanya polusi tanah, tidak mengalami
degradasi, dan akan memberikan keuntungan bagi petani tambak secara berkelanjutan (Winarso,
2005).
Menurut Bezdicek et al. (1996), menyatakan bahwa kualitas lahan/tanah dapat dipandang dengan
dua cara yang berbeda yaitu :
1. Sebagai sifat/atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil
observasi idak langsung (seperti kepekaan terhadap erosi atau pemadatan).
2. Sebagai kemampuan tanah untuk menampakan fungsi-fungsi produktivitas, lingkungan, dan
kesehatan.
Hingga saat ini terus dikembangkan pendekatan-pendekatan untuk penilaian kualitas lahan/tanah,
sehingga dapat diterima oleh sebagian besar pengguna. Akan tetapi pada umumnya penilaian
kualitas tanah dapat dikelompokan menjadi dua : 1) menilai kualitas tanah berdasarkan perubahan,
kecenderungan, dan perkembangan parameter-parameter tanah oleh penggunaannya dan 2)
membandingkan parameter-parameter tanah dengan tanah-tanah yang sudah dikatakan ideal atau
berkualitas, sehingga sifat-sifat tanah dapat dipakai sebagai acuan untuk dipergunakan mengevaluasi
sifat-sifat tanah yang dievaluasi atau yang dinilai. Dalam pengertian ini tanah yang mempunyai
kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara
yang terkandung dalam lahan yang dipergunakan lokasi pertambakan tersebut atau yang telah
diserap (Winarso, 2005).

2.3. Kualitas Air


Air merupakan sumber daya alam yang siperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh
semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk
berbagai kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Saat ini, masalah utama yang
dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan
yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan
industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain
menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan
bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air (Effendi, 2003).
Menurut Dugan (1972); Hutchinson (1975); Miller (1992), air memiliki karakteristik yang khas yang
tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0°C (32°F) – 100°C, air berwujud cair. Suhu
0°C merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100°C merupakan titik didih (boiling point) air.
Tanpa sifat tersebut, air yang terdapat di dalam jaringan tubuh makhluk hidup maupun air yang
terdapat di laut, sungai, danau, dan badan air yang lain akan berada dalam bentuk gas atau padatan,
sehingga tidak akan terdapat di muka bumi ini, karena sekitar 60% - 90% bagian sel makhluk hidup
adalah air (Pecl, 1990).
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang
sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas ataupun dingin seketika. Perubahan
suhu air yang lambat mencegah terjadinya stress pada makhluk hidup karena adanya perubahan
suhu yang mendadak dan memelihara suhu bumi agar sesuai bagi makhluk hidup.
3. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses
perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar.
Sebaliknya, proses penguapan uap air menjadi cairan (kondensasi) melepaskan energi panas yang
besar. Sifat ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya penyebaran
panas secara baik di bumi.
4. Air merupakan pelarut yang baik. Air mampu melarutkan berbagai jenis senyawa kimia. Air hujan
mengandung senyawa kimia dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan air laut dapat
mengandung senyawa kimia hingga 35.000 mg/liter (Tebbut, 1992). Sifat ini memungkinkan unsur
hara (nutrien) terlarut diangkut ke seluruh jaringan tubuh makhluk hidup dan memungkinkan bahan-
bahan toksik yang masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup dilarutkan untuk dikeluarkan
kembali. Sifat ini juga memungkinkan air digunakan sebagai pencuci yang baik dan pengencer bahan
pencemar (polutan) yang masuk ke badan air.
5. Air memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Suatu cairan dikatakan memiliki tegangan
permukaan yang tinggi jika tekanan antar-molekul cairan tersebut tinggi. Tegangan permukaan yang
tinggi menyebabkan air memiliki sifat membasahi suatu bahan secara baik (higher wetiing ability).
Tegangan permukaan yang tinggi juga memungkinkan terjadinya sistem kapiler, yaitu kemampuan
untuk bergerak dalam pipa kapiler. Adanya tegangan permukaan memungkinkan beberapa
organisme, misalnya jenis-jenis insekta, dapat merayap di permukaan air.
6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang merenggang ketika membeku. Pada saat membeku, air
membeku sehingga es memiliki nilai densitas (massa/volume) yang lebih rendah daripada air.
Dengan demikian, es akan mengapung di air. Sifat ini mengakibatkan danau-danau di daerah yang
berilklim dingin hanya membeku pada bagian permukaan sehingga kehidupan organisme akuatik
tetap berlangsung. Densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm3 terjadinya pada suhu
3,95°C. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95°C, densitas air lebih kecil dari satu
(Moss, 1993; Tebbut, 1992).
Dalam tatalaksana pemeliharaan, baik di petak peneneran, buyaran, maupun pembesaran,
penggantian air sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air tambak tetap baik dan untuk
menghindarkan pencemaran air. Salinitas air senantiasa harus dijaga dengan baik, terutama sesudah
hujan. Harus diusahakan agar air hujan yang masuk ke dalam tambak tidak mengganggu salinitas air
tambak (Murtidjo, 1991).
Penggantian air tambak setiap hari sangat diperlukan agar sisa-sisa makanan buatan terbuang. Sisa
makanan akan mengalami proses pembusukan, dalam proses seperti itu tentu membutuhkan
banyak oksigen yang sebenarnya sangat diperlukan udang dan bandeng khususnya. Penggantian air
dengan bantuan pompa air lebih mudah, karena bisa dilakukan bisa setiap waktu. Dalam pengisian
kembali akan lebih baik bila air segar disaring lebih dahulu untuk menghindari kemungkinan
masuknya benih ikan buas atau liar, baik predator maupun kompetitor. Untuk lebih gampangnya kita
mengambil contoh tambak udang, pemberian kapur 5 – 10 kg/ha setiap minggu, khususnya pada
pemeliharaan buyaran dan pembesaran. Kapur merupakan kebutuhan pokok udang, terutama untuk
pembentukan kulit dan penggantian cangkang. Kapur juga berfungsi mengikat zat asam arang yang
ada di dasar tambak dan menyerap serta menetralkan gas racun seperti amonia (Murtidjo, 1991).
Lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal kolom air berdasarkan intensitas cahaya
(eufotik, kompensasi, dan profundal/afotik) kadang-kadang berada pada posisi yang sama dengan
lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal berdasarkan perbedaan panas (epilimnion,
metalimnion/termoklin, dan hipolimnion). Lapisan eufotik yang biasanya juga merupakan lapisan
epilimnion merupakan lapisan yang paling produktif. Lapisan ini mendapat pasokan cahaya matahari
yang cukup sehingga proses fotosintesis berlangsung secara optimum. Keberadaan oksigen, baik
yang dihasilkan oleh proses fotosintesis maupun difusi dari udara juga mencukupi. Lapisan tanah
yang bersifat porous (mampu menahan air) dan permeable (mampu melalukan atau memindahkan
air) disebut akifer. Akifer terbagi menjadi dua, yaitu akifer dangkal dan akifer dalam (Effendi, 2003).

2.4. Tipe Teknologi Budidaya Air Payau


Sistem budidaya yang dikenal sekarang ada 3 tingkatan yaitu : budidaya extensive, semi-intensive
dan intensive. Sistem budidaya extensive merupakan sistem tradisional yang tambaknya memiliki
bentuk dan ukuran tang tidak teratur. Luasnya antara 3 Ha sampai 10 Ha per petak. Biasanya setiap
petakan mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5 – 10 m di sepanjang keliling pertakan
sebelah dalam. Dibagian tengah juga dibuat caren dari sudut ke sudut (diagonal). Kedalaman caren
itu 30 - 50 cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran. Bagian
pelataran hanya dapat berisi air sedalam 30 – 40 cm saja. Pada tempat ini akan tumbuh klekap
sebagai pakan alami bagi ikan bandeng dan udang. Sistem budidaya semi-intensif adalah metode
atau sistem budidaya yang merupakan peningkatan atau perbaikan dari sistem extensive yaitu
dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam
pengelolaan airnya, pengelolaan petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 – 3 Ha per
petakan. Sistem intensif adalah sistem budidaya yang dilakukan dengan teknik yang canggih dan
memerlukan masukan (input) biaya yang besar. Sebagai imbalan dari masukan yang tinggi, maka
dapat dicapai volume produksi yang sangat tinggi pula. Petakan umumnya kecil-kecil, 0,2 – 0,5 Ha
per petak. Maksudnya supaya pengelolaan air dan pengawasannya lebih mudah. Kolam atau petak
pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari tanah seperti biasa. Atau dindingnya saja
dari tembok sedangkan dasarnya dari tanah. Ciri khas dari teknik budidaya intensif ini adalah padat
penebaran benur sangat tinggi yaitu 50.000 – 60.000 ekor per Ha (diberi aerasi dengan kincir atau
alat lain). Untuk menambah kadar oksigen dalam air. Pergantian air sangat sering agar air tetap
bersih dan tidak menjadi kotor oleh sisa-sisa makanan dan kotoran (ekskresi). Keterampilan
pelaksana (operator) sangat diperlukan untuk dapat memonitor kualitas air dan dapat mengambil
keputusan untuk bertindak sesuatu kelainan dalam air terjadi (Suyanto, 1989).

2.5. Kultivan Budidaya Air Payau


Ikan laut yang memiliki potensi untuk dipelihara dalam tambak adalah ikan bandeng (Chanos
chanos). Ikan ini memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang, serta lincah di dalam air,
memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Bila dipelihara dalam tambak ikan bandeng sangat
potensial dan cepat pertumbuhannya. Lebih baik lagi bila di pelihara bersama udang karena
kelincahannya dapat berfungsi sebagai aerator. Namun demikian, ikan bandeng tidak dapat
berkembangbiak di dalam tambak, ikan ini dapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupun
rendah, bahkan bias dipelihara di dalam air tawar (Murtidjo, 1989).
Kepiting Bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu hasil dari perikanan yang dapt dibudidayakan
dalam tambak. Kepiting sering lari dari tambak untuk memijah ke tengah laut karena sifatnya
beruaya ke laut. Ini merupakan suatu siklus hidup yang harus dijalani oleh kepiting untuk
meneruskan generasinya. Keinginan terebut tentu akan terhalang bila mereka dipelihara dalam
tambak yang dipagari, kecuali untuk induk kepiting yang sudah berukuran besar dan telah memijah
beberapa kali. Bagi kepiting muda yang baru akan memjiah tentu masalah ruaya ini akan berkaitan
pula dengan proses sebelumnya, yaitu masa kencan, berganti kulit, dan melakukan kopulasi (Kasri,
1992).
Budidaya kakap dalam tambak atau dalam karamba merupakan satu alternative menghindari
terjadinya penangkapan ikan yang berlebih di waktu lokasi yang padat dan di andalkan sebagai
wilayah penangkapan ikan. Ikan kakap pada mulanya dikenal sebagai ikan hasil penangkapan laut,
tetapi dewasa ini berkait kemajuan teknologi perikanan, ikan kakap sudah dapat dipijahkan di bak
buatan, ikan kakap sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa Negara seperti Australia,
Singapura, Thailand, dan Hongkong (Kasri, 1992).

2.6. Manajemen Budidaya Air Payau


Kondisi manajemen usaha pembenihan di Indonesia selama ini belum memiliki prototip yang jelas.
Usaha ini terlihat masih mencoba-coba, sehingga umumnya belum mampu memproduksi benur
secara optimal. Berbeda dengan Indonesia, Taiwan berhasil melaksanakan manajemen pembenihan
dengan baik, meski mengalami kesulitan memperoleh induk udang. Hampir setiap usaha
pembenihan udang disini mampu memproduksi secara optimal. Keberhasilan itu di raih karena
ditunjang sistem pembagian kerja dengan memanfaatkan secara optimal manajemen produksi
modern. Oleh karena itu di Taiwan dikenal 3 klasifikasi usaha pembenihan, yaitu: usaha pembenihan
dengan produksi khusus Nauplius, usaha pembenihan dengan dengan pro post larva 11-13, 20-23
(Murtidjo, 1989).
Lokasi calon tambak yang dekat dengan daerah pemasaran sudah tentu lebih bernilai untuk dipilih,
daripada yang jauh. Dari tambak yang terletak strategis di persimpangan jalan, atau mudah dicapai
oleh para pedagang, juga lebih bernilai daripada yang terpencil, sekalipun dekat dengan laut dan
harganya murah sekali. Yang paling ideal adalah daerah pertambakan umum dari desa yang
mempunyai depot es, gudang garam, tempat pengalengan dan fasilitas pengepakan ikan untuk
pengiriman jarak jauh. Kunci keberhasilan tambak terletak pada profesi analisis manajer dan staf
produksi dalam mengoptimalkan factor-faktor produksi sehingga dapat meningkatkan hasil panen
dan memberikan produk yang berkualitas baik dengan harga tinggi. Pengelolaan tambak yang
meliputi pengelolaan kualitas air, pengaturan sirkulasi air, persiapan pengolahan tanah dasar dan
penebaran benih serta pengendalian hama, pengelolaan pakan buatan, pengaturan jadwal kerja
merupakan pekerjaan rutin yang terus-menerus menyita perhatian dan pikiran, sehingga perlu
diadakan koordinasi kerja yang sesuai dengan pola budidaya dan pola tanam yang diterapkan
(Buwono, 1993).

2.7. Pemasaran Budidaya Air Payau


Setelah pemanenan dan penangkapan udang dan ikan selesai,tahap selanjutnya adalah penangan
hasil panen. Kualitas dan kesegaran udang dan ikan harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang
dan ikan sampai pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan
teksis yaitu penanganan secara fisis mekanis yang berkaitan dengan proses yang lebih lanjut
komoditas hasil tambak. Produk perikanan dalam hal ini termasuk pula hasil tambak merupakan
bahan makanan yang mudah rusak bila terlalu lama disimpan, kualitasnya akan menurun diikuti
dengan perubahan penampilan luar dan rasa. Terjadinya proses pembusukan pada produk perikanan
dapat diatasi dengan teknologi pengawetan seperti penggunaan es, penggaraman, pengasapan dan
pengeringan (Murtidjo, 1989).
Para pengusaha tambak di daerah Sidoarjo biasanya hanya memungut hasil dari satu petakan saja,
dari sebuah unit tambak tipe porong atau taman, sehingga pengurusannya pun dapat seksama,
sampai tak ada seekor ikan pun (ibaratnya yang rusak dan hilang). Hasil pencernaan yang sedikit-
sedikit ini memang merupakan siasat untuk mempertahankan harga ikan bandeng agar senantiasa
tinggi. Sebab, segera para tengkulak menghadapi hasil panenan yang melimpah, segera pula mereka
menekan harga. Kebanyakan karena modal kulakan mereka sangat terbatas (dan tidak mau
berusahah memperbaikinya dengan meminjam modal ke bank pusat, melainkan justru memakai
keadaan itu sebagai alasan untuk menekan harga), sehingga tidak mungkin membali bandeng dalam
partai yang lebih besar daripada biasanya itu, dengan demikian maka dimana-mana dapat dilihat,
hasil dibagi sesuai dengan besarnya permintaan pasaran saja. Ini berarti sedikit pada hari (bulan
biasa), dan meningkat pada hari raya dan musim paceklik ikan laut. Rencanan pemanenan kemudian
disesuaikan dengan naik turunnya harga, sehubungan dengan naik turunnya permintaan masyarakat
(Soeseno, 1983).

III. HASIL

3.1. Lokasi Budidaya


Kegiatan budidaya air payau di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara,
berlokasi dekat dengan laut. Tambak yang dikembangkan di daerah tersebut terletak ± 25 meter dari
laut dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan lokasi tambak ini di dasarkan pada pertimbangan
antara lain dekat dengan muara sungai dan laut (tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut
minimal), kondisi lahan untuk kegiatan budidaya, jaringan pendukung yang menunjang kegiatan
seperti transportasi (aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4 atau jauh dekatnya dengan jalan raya).

3.2. Kualitas Lahan dan Air


Persyaratan lahan (tanah) memegang peranan penting dalam menentukan baik atau tidaknya tanah
untuk usaha pertambakan. Tanah yang baik tidak hanya mampu menahan air tetapi harus mampu
menyediakan berbagai unsur hara. Tekstur tanah tambak untuk pembesaran di Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah pasir bertanah dengan warna tanah
kecoklatan. Tanah dengan kandungan pasir yang besar kurang bagus untuk tambak sebab tanah
menjadi porous dan miskin unsur hara. Tanah porous ini sulit untuk menahan air sehingga ada
beberapa tambak yang dilapisi dengan plastik.
Air merupakan media hidup bagi kultivan yang dibudidayakan. Oleh karena itu air yang akan
digunakan harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Tambak ini menggunakan
tandon sebagai penampung air sekaligus untuk pengendapan dan biofilter sebelum air digunakan
untuk pemelliharaan. Air yang digunakan hanya berasal dari air laut dengan metode closed system
(resirkulasi air tertutup). Salinitas tambak berkisar antara 20 ‰ – 35 ‰. Fluktuasi harian salinitas
pada petak pembesaran harus di pertahankan tidak lebih dari 3 ‰ untuk menghindari stres. Fungsi
tandon ini sangat penting karena digunakan untuk menekan fluktuasi salinitas yang tinggi.
Suhu air dan pH pada tambak pembesaran harus seimbang (stabil). Jika terjadi penurunan kualitas
air maka segera dilakukan treatment dengan mengatur sirkulasi air dan membuang limbah yang
berlebihan. Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas air tambak.
Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air dengan ditandai banyaknya buih yang relatif
besar pada kincir.

3.3. Aplikasi Teknologi Pembudidayaan


Berdasarkan tipe teknologi yang digunakan, pada kegiatan tambak di Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP) Jepara dikembangkan secara intensif. Penggunaan kincir air dan blower untuk
mengontrol dan menambah suplai oksigen. Petakan tambak sudah teratur, menggunakan pipa
paralon sebagai saluran pembuangan dan saluran pemasukan menggunakan pompa langsung
sehinggga air dapat dikeringkan sewaktu-waktu. Selain itu juga digunakannya tandon yang berfungsi
dalam sistem resirkulasi air.
Sistem resirkulasi air merupakan cara pemanfaatan air buangan dari petak pemeliharaan untuk
dimasukkan kembali ke petak tersebut dengan mengolahnya di petak tandon sehingga memenuhi
persyaratan air bagi kegiatan budidaya. Sistem resirkulasi ini terdiri dari beberapa petak perlakuan,
antara lain petak pengendapan, penyaringan (biofilterasi), penyuburan, dan petak oksigenasi.
Penerapkan sistem biofilterasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan herbivor dan karnivor,
kekerangan dan rumput laut.

3.4. Kultivan yang Dibudidayakan


Tambak yang dikembangkan di tempat ini sesuai dengan prinsip pelestarian lingkungan. Metode
budidaya di tambak ini dikembangkan dengan sistem polikultur. Kultivan yang dipelihara antara lain
udang windu, ikan kerapu, bandeng, kerang hijau dan rumput laut (E. cotoni). Semua kultivan
tersebut dipelihara dan dimanfaatkan untuk proses pelestarian lingkungan menggunakan sistem
biofilterasi dalam resirkulasi air.

3.5. Manajemen Operasional Budidaya


Kegiatan operasional pada budidaya tambak tersebut terdiri dari persiapan pengolahan tanah dasar,
penebaran benih ke tambak pemeliharaan, pengelolaan dan pemberian pakan, pengawasan dan
pengaturan terhadap kualitas air dan hama penyakit, dan pemanenan. Pemberian pakan untuk
tambak sistem polikultur dilakukan 2 kali sehari. Pakan ini berupa pakan rucah dan pakan buatan.
Untuk kontrol terhadap kualitas air dilakukan 2 kali selama satu minggu.
Pengaturan dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan kontrol terhadap limbah hasil budidaya.
Limbah ini dikelola kembali untuk digunakan sebagai media pemeliharaan. Metode pengelolaan ini
dengan cara memasukkan air buangan limbah ke dalam petak pengendapan. Saluran air dilengkapi
dengan sekat berselang-seling untuk memperpanjang dan memperlambat aliran air agar lumpur dan
kotoran mengendap. Selanjutnya masuk ke petak penyaringan (biofilter) agar bahan organik dan
racun terlarut. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora berperan untuk
mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi virus, seperti udang-udang liar. Ikan
hervibora dapat mengendalikan kepadatan plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga
berisi tanaman atau tumbuhan air (rumput laut) yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil
perombakan bahan organik. Rumput laut yang digunakan berasal dari jenis E. Cotoni. Air hasil dari
penyaringan ini dapat langsung digunakan untuk pemeliharaan kembali.

3.6. Manajemen Organisasi Kegiatan Budidaya


Untuk budidaya tambak berpola intensif, salah satu faktor penting untuk kelancaran kegiatan
operasional ditentukan oleh struktur organisasinya. Kejelian dari pemimpin dibutuhkan untuk
menempatkan orang-orang yang langsung dapat mengadaptasikan diri dengan jenis kegiatan
operasional tambak. Penyusunan bentuk struktur organisasi perlu memperhatikan keahlian khusus
tiap orang untuk dapat langsung ditempatkan pada bagian yang sesuai dengan pekerjaan baik teknis
maupun non teknis. Pada kegiatan budidaya ini, setiap petakan tambak dibentuk satu tim kerja non
teknis dengan beranggotakan ± 5 orang untuk bertanggungajawab terhadap kegiatan operasional
tambak tersebut. Jika ada masalah dengan kegiatan operasional di lapangan, maka tim ini akan
berkonsultasi dengan bagian teknisi untuk memecahkan masalah tersebut.

3.7. Manajemen Sumberdaya manusia


Untuk melaksanakan kegiatan operasional dengan baik, diperlukan adanya keterampilan dan
keahlian dari manusianya (tenaga kerja). Teknisi tambak dalam organisasi adalah staf ahli (sarjana)
perikanan yang terampil dan memiliki pengalaman memadai serta menguasai operasional tambak.
Pengalaman kerja sangat membantu dalam mengatur, mengkoordinasi serta mengambil keputusan
tentang jenis kegitan operasional secara teknis dan non teknis baik pekerjaan yang berat maupun
ringan.

3.8. Pemasaran Hasil Budidaya


Hasil budidaya pada Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara didistribusikan
ke distributor besar yang langsung datang ke Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
(BBPBAP) sendiri.
IV. ANALISA HASIL

4.1. Analisa Faktor Utama Pembudidayaan

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang terletak di ujung pantai kota Jepara

memiliki lokasi yang strategis untuk digunakan sebagai lokasi pembudidayaan. Hal ini antara lain

didukung oleh perairan laut Jepara yang tidak digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal. Sehingga tingkat

pencemaran rendah karena tidak adanya sisa pembakaran bahan bakar kapal. Sumber air yang

digunakan bisa dibilang layak untuk lokasi pembudidayaan karena tidak tercemar bahan kimia.

Teknologi yang digunakan merupakan teknologi pembudidayaan secara intensif. Teknologi ini

menggunakan kincir air untuk menjaga suplai oksigen dalam tambak. Konstruksi pada tambak

menggunakan beton sebagai dindingnya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kerusakan pada

tambak oleh hama seperti kepiting. Selain itu, hal ini dimaksudkan karena substrat dasar tambak adalah

berpasir.

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) membudidayakan kultivan yang bernilai ekonomis

penting dan memiliki pasaran luas. Kultivan yang dibudidayakan adalah kultivan yang memiliki habitat

air payau dan air laut, antara lain udang, rajungan, kerapu, abalone, rumput laut, kakap, dan pakan

alami. Kultivan-kultivan ini selain untuk kegiatan penjualan, juga dimaksudkan untuk kegiatan penelitian

bagi kemajuan dunia perikanan.

4.2. Analisa Aspek Manajemen

Aspek manajemen operasional budidaya di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara

telah tertata dengan teratur. Hal ini dapat dilihat dengan adanya diversivikasi antara kegiatan produksi

maupun kegiatan penelitian. Pada kegiatan produksi, sistem operasionalnya juga diatur sedemikian rupa

mulai dari pemijahan, pembenihan, dan pembesaran. Hal ini dapat dilihat dengan pemisahan lokasi-

lokasi yang digunakan untuk kegiatan tersebut berjarakterpisah. Jam kerja yang telah diatur sedemikian
rupa memungkinkan para karyawan untuk bekerja lebih efektif dan efisien.

Pembagian kerja yang diterapkan juga memungkinkan diperolehnya hasil kerja yang optimal. Bagian

administrasi hanya mengurusi tugasnya dalam hal administratif saja. Sedangkan bagian lapangan

diserahkan pada karyawan yang bertugas di lapangan. Pembagian terdiri dari kepala bagian yang

dibantu oleh para pekerja. Selain itu, juga terdapat pagawai laboratorium yang bertugas menganalisa

hal-hal yang bersifat laboratoris.

Sumberdaya manusia yang dimiliki Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sangat

beragam. Mayoritas diisi oleh para lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sehingga mampu

menghasilkan kualitas kerja yang baik. Selain itu, inovasi maupun terobosan baru dari para karyawan

sangat diharapkan untuk kemajuan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Dari

segi pekerja lapangan, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) memiliki banyak pekerja

yang memiliki banyak pengalaman di dunia perikanan karena telah menekuni dunia perikanan cukup

lama.

4.3. Forecasting

Kedepannya, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara hendaknya lebih

memperhatikan pengolahan tambak pasca panen untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak. Hal ini

juga diharapkan untuk meningkatkan produksi budidaya mengingat sistem yang digunakan adalah

sistem budidaya intensif. Sistem budidaya intensif merupakan sistem yang menurunkan kualitas

lingkungan karena terus menerus dipakai untuk memacu hasil budidaya. Sehingga apabila hal ini tidak

diperhatikan, maka dikhawatirkan suatu saat nanti akan mematikan kegiatan budidaya.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah keberadaan green belt berupa tanaman mangrove.

Mengingat lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang berada di pinggir laut,

maka akan sangat rawan terhadap abrasi pantai maupun serangan ombak. Sehingga untuk menghindari

hal tersebut, maka sangat diperlukan untuk penanaman mangrove di sekitar lokasi Balai Besar

Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sehingga diharapkan terjaganya ekosistem di sekitar

lokasi budidaya.

V. REKOMENDASI
5.1. Faktor yang Mempengaruhi Pembudidayaan

Secara garis besar, kegiatan akuakultur dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan produksi on

farm dan kegiatan produksi off farm. Kegiatan produksi on farm antara lain meliputi pembenihan dan

pembesaran, sedangkan kegiatan off farm antara lain meliputi pengadaan prasarana dan saran

produksi, penanganan hasil panen, distribusi hasil dan pemasaran.

Pembenihan ikan adalah kegitan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan benih dan

selanjutnyabenih yang dihasilkan menjadi komponen input bagi kegiatan pembesaran. Pembesaran ikan

adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan ikan ukuran konsumsi.

Dalam kegiatan budidaya, ada beberapa aspek yang diperlukan antara lain adalah : pemilihan spesies,

lokasi budidaya, kontruksi, skala budidaya, pasar, dan ukuran jual. Spesies yang menjadi pilihan harus

memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah didapat, mudah dibudidayakan, dapat diproduksi dalam unit

budidaya, memiliki nilai ekonomis tinggi, relatif tahan terhadap penyakit, dan disukai masyarakat.

Pemilihan spesies juga dipengaruhi oleh keberadaan stock. Faktor yang kedua adalah pemilihan lokasi

budidaya. Langkah awal keberhasilan usaha budidaya adalah pemilihan lokasi, kontruksi, dan penentuan

skala budidaya. Oleh karena itu lokasi yang ideal untuk usaha budidaya harus memenuhi beberapa hal

sebagai berikut :

 Lokasi budidaya harus bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi air. Polusi yang terdapat

pada tambak dapat berupa limbah rumah tangga, oleh karena itu rekomendasi yang dilakukan adalah

melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar agar tidak membuang limbah rumah tangga ke

saluran air yang digunakan untuk usaha budidaya.

 Perbaikan saluran air agar dapat terjadi keseimbangan antara parameter air dengan tanah.

 Apabila terjadi penyakit pada kultivan dalam wadah budidaya maka rekomendasi yang dilakukan agar

terjadi kesinambungan hidup antara yang sehat dan yang mati karena terkena penyakit dengan cara

mengambil kultivan yang telah mati, dan mengobati kultivan yang sakit dengan segera.

5.2. Manajemen Pembudidayaan

Penguasaan Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) merupakan salah satu faktor penting dalam

mencapai keberhasilan produksi dalam mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara

bwrkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastruktur, manajemen sumber daya

manusia, manajemen produksi budidaya, dan manajemen pemasaran.

 Manajemen infrastruktur

Manajemen infrastuktur adalah usaha yang dilakukan untuk perbaikan sarana dan prasarana budidaya.

Manajemen infrastruktur terdiri dari :

a. Persiapan wadah

Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk mendapatkan lingkungan

yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh maksimal. Persiapan wadah meliputi pengeringan
dasar kolam, pengangkatan lumpur, perbaikan pematang dan pintu air, pengapuran, pemupukan,

pengisian air, pemberantasan hama dan penyakit.

b. Penebaran benih

Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah dengan padat penebaran (stock

density) tertentu. Benih berasal dari produksi pembenihan atau hasil tangkaan dari alam dengan kriteria

: spesies definitif dan tidak bercampur dengan spesies lain, organ tubuh lengkap, ukuran seragam,

respon terhadap gangguan, posisi tubuh di dalam air normal, menghadap dan melawan arus ketika

diberi arus, berwarna cerah, dan tidak membawa penyakit.

 Manajemen sumber daya manusia

Spesialisasi dalam pengolahan tambak sangat diperlukan agar pendeteksian terhadap hal-hal yang

muncul, misalnya masuknya penyakit pada tubuh ikan dapat segera teratasi, termasuk di dalamnya

yang mempunyai keahlian dalam bidang pemasaran.

BAB VI. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini

adalah :

1. Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini mempelajari tentang penentuan lokasi budidaya, kualitas

dari lahan budidaya, kualitas air, kultivan yang dibudidayakan serta tipe teknologi apa yang digunakan

dalam budidaya.

2. Aplikasi teknologi yang digunakan dalam budidaya air payau yang ada di Balai Besar Perikanan

Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah dengan memanfaatkan air laut sebagai sumber air untuk

kegiatan budidaya. Penerapan sistem teknologi ini adalah dengan cara menyaring air laut yang telah

ditampung di dalam bak tandon yang telah diisi pasir laut dan pecahan karang sebagai penyaring serta

penambahan zat kimia untuk mensterilkan air laut. Setelah beberapa jam kemudian air tersebut baru

bisa digunakan.

Saran yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :

1. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih
tertib ketika melakukan wawancara agar informasi yang didapat lebih jelas lagi.

2. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih

aktif dalam memberikan pertanyaan agar data serta informasi yang didapat lebih banyak sehingga

dengan begitu diharapkan tujuan dari praktikum ini tercapai.

Daftar Pustaka

Bezdicek, D.F., R.I. Papendick, and R. Lal. 1996. Introduction: Importance of Soil Quality to Health and

Sustainable Land Management. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.). 1999. Methods for Assessing Soil

Quality. Soil Science Society of America, Inc. Wisconsin. 1-8.

Buwono, Ibnu D. 1993. Tambak Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta.

Dugan, P.R. 1972. Biochemical Ecology of Water Pollution. Plenum Press. New York. 159 p.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.

Yogyakarta.

Hutchinson, G.E. 1975. A Treatise on Limnology. John Wiley and Sons. New York. 942 p.

Kasri, A.1992. Budidaya Kepiting Bakau. PT. Bharata Niaga Media. Jakarta.

Miller, G.T. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company.

California. 705 p.

Moss, B. 1993. Ecology of Freshwaters. Second edition. Blackwell Scientific Publications. London. 415 p.

Murtidjo, Bambang A. 1989. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.

Murtidjo, Bambang A. 1991. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.

Pecl, K. 1990. The Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223 p.

Rahmanto, S. dan Mudjiman, A. 1989. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya.

Ranoemihardjo, Bambang S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat

Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.


Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Gramedia. Jakarta.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Waters. Martinus Nijhoff/Dr.W.Junk. Publ, Dordrecht,

The Netherlands. 497 p.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media.

Yogyakarta.

diposting oleh fajrie budidaya perairan undip 2009 di 07.27

tidak ada komentar:

Anda mungkin juga menyukai