Anda di halaman 1dari 7

PROPOSAL

Proposal ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Keperawatan

Disusun Oleh :
Zulfa Ima Salsabila (721621600)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS WIRARAJA

TAHUN 2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang menyebabkan penyakit

Kusta. Kusta merupakan penyakit menular yang mempengaruhi kulit dan sarf

tepi. Penyakit ini masih menjadi sumber kecacatan yang dapat dicegah

dibanyak negara endemik dan secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan

Dunia (Thomas Hamburg, 2023). Nama lain dari Kusta yaitu Marbus Hansen,

Marbus Hansen diambil dari nama penemu bakteri tersebut. Kusta dalam

bahasa sansekerta yaitu Kustha yang memiliki arti sebuah kumpulan gejala –

gejala kulit secara umum. Terdapat 2 jenis kusta yaitu kusta tipe MB (Multi

Basiler) dan kusta tipe PB (Pausi Basiler). Menurut Kemenkes RI, terdapat

berbagai masalah yang ditimbulkan oleh penyakit kusta diantaranya : masalah

kesehatan, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan serta ketahanan nasional

(Ibnatil Fitriya, 2021).

Secara total, 10.816 kasus baru di 964 negara, termasuk 370 anak – anak

mengalami G2D saat diagnosis, sebuah indikasi keterlambatan diagnosis dan

kurangnya kesadaran masyarakat. Hanya 47 negara yang melaporkan tingkat

penyelesaian pengobatan diatas 85%. Selain itu, 54 negara melaporkan 3.897

kasus kekambuhan, 44% diantaranya berada di Brasil, dibandingkan dengan

1.175 kasus pada tahun 2014. Peningkatan ini disebabkan oleh pelaporan

yang lebih baik, meskipun masih terdapat kelemahan dalam diagnosis

kekambuhan. Tingkat kekambuhan penyakit kusta tampaknya rendah, sekitar

1% dal 5 – 10 tahun. Dengan tidak adanya data yang dapat diverifikasi,


diperkirakan antara 3 dan 4 juta orang hidup dengan disabilitas dan cacat

yang terlihat akibat penyakit kusta. hal ini penting karena diketahui adanya

konsekuensi diagnosis kusta terhdap kesehatan mental, disabilitas, stigma dan

pengucilan sosial (Organization, 2021).

Indikator Dampak Meta tahun 2020 Status 2019

Tingkat GD2 dalam <1/juta penduduk 1,4/juta penduduk

kasus baru terdeteksi

Kasus baru pada anak Nol Dilaporkan : 370

terdeteksi GD2 Perkiraan : 400-500

Jumlah undang – Tidak ada negara 127 undang – undang

undang yang dengan hukum yang diskriminatif di 22

membolehkan diskriminatif negara

diskriminasi

berdasarkan penyakit

kusta

Tabel.1.1 Kemajuan menuju tujuan global tahun 2020

Data kusta dilaporkan oleh 161 negara pada tahun 2019 sebanyak 202.256

kasus baru terdeteksi di 116 negara (26,0 per juta penduduk). Dari jumlah

tersebut, 96% negara prioritas diseluruh dunia, termasuk 79% di India, Brasil,

dan Indonesia. 66 negara melaporkan kurang dari 100 kasus (organization,

2021).
Menurut data pravelensi pada penyakit kusta di Indonesia pada tahun

2020-2022 terjadikenaikan yang tidak signifikan. Total kenaikan pravelensi

penyakit kusta ditahun 2020-2022 sebanyak 0.06% dari 0.49% pada tahun

2020 0,55% pada tahun 2022. Indonesia merupakan salah satu negara yang

memiliki angka terpapar penyakit kusta tertinggi (Natasya Widiyana Putri,

2023). Menurut Dinas Kesehatan Provensi Jawa Timur, pada tahun 2018

prevelensi kusta ditemukan yaitu sebanyak 0,93/10.000 dengan penemuan

kasus baru yaitu 8,55/10.000 penduduk. Dimana penyumbang kasus kusta

tertinggi berada di wilayah Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bangkalan dan

Kabupaten Sampang. Menurut Dinas Kesehatan Sumenep, di Kabupaten

Sumenep prevalensi kusta pada tahun 2018 didapatkan sebesar 3,35/10.000

penduduk dengan penemuan kasus baru sebanyak 385 orang. Pada tahun

2018, jumlah kasus baru penderita kusta di Kecamatan talango menduduki

perigkat kedua setelah Kecamatan Gayam yaitu sebanyak 39 orang yang

yang tersebar di 8 kelurahan yaitu Kecamatan Padike, Kecamatan Cabbiya,

Kecamatan Essang, Kecamatan Kombang, Kecamatan Poteran, Kecamatan

Palasa, Kecamatan Gapurana dan Kecamatan Talango (Ibnatil Fitriya, 2021).

Penyakit kusta adalah penyakit yang dapat berdampak kecacatan bagi 79%

penderitanya. Penderita kusta tipe Mutibasiler dapat diobati dengan Muli

Drug Therapy selama 12 bulan hingga 18 bulan dan 6 bulan hingga 9 bulan

untuk penderita kusta PB. Pemberian obat tersebut pada penderita kusta tipe

Mulibasiler selain bertujuan untuk menyembuhkan penyakit penderita kusta

atau mencegah terjadinya cacat juga bertujuan untuk memutuskan mata rantai

penularan penyakit. Dampak yang ditimbulkan pada masalah reaksi yang


terjadi pada penyakit kusta akan menimbulkan masalah sosial, ekonomi, serta

psikologis pada penderita bila tidak ditangani dengan tepat. Pendeteksian dini

reaksi penyakit kusta pada penderita kusta diharuskan dilakukan secepat

mungkin untuk meminimalisir kecacatan yang timbul akibat rekasi penyakit

kusta. Dalam hal menurunkan morbiditas seperti gangguan pada saraf,

deformitas, ataupun kecacatan perlu dilakukan pengobatan yang tepat

(Natasya Widiyana Putri, 2023). Menurut Summet,dkk kecacatan cukup

umum terjadi, dengan sebagain besar mengalami sejenis gangguan. Adanya

permasalah dalam penemuan kasus dan pengobatan dini disebabkan tingkat

ketidakmampuan yang cukup tinggi. Jika penyakit dapat dideteksi lebih awal,

penderita kusta mungkin akan terbebas dari penyakitnya dan kecacatan. Hal

ini disebabkan oleh oleh beberapa faktor diantaranya, kemungkinan kesalahan

diagnosis oleh fasilitas kesehatan setempat atau pasien mungkin tidak

memiliki informasi untuk mencari layanan medis pada tahap awal. (Bezanesh

Melese Masresha, 2022).

Idealnya, pencegahan kecacatan harus dimulai dengan mempertahankan

status kelas 0 (tidak ada kecacatan) melalui pengenalan dini dan pengobatan

reaksi kusta dan neuritis. Gangguan fungsi saraf (derajat 1) sering terjadi pada

mata, tangan dan kaki yang paling banyak digunakan dalam aktivitas sehari –

hari. jika diabaikan hal ini akan menyebabkan infeksi, hilangnya jaringan dan

deformasi. Orang – orang yang beresiko dan keluarga harus diberitahu

tentang tanda – tanda kerusakan saraf, dilatih tentang perawatan diri dan

modifikasi gaya hidup untuk mencegah cedera dan melindungi ekstremitas

dan mata, dan didorong untuk datang ke layanan kesehatan. Akses terhadap
air bersih penting untuk perawatan pribadi rutin, termasuk merendam tangan

dan kaki setiap hari untuk mencegah kecacatan sekunder. (Organization,

2021).

1.2 Rumusan Masalah

1. Adakah pengaruh self care agency dan informasi terhadap pencegahan

kecacatan pada penderita kusta?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh self care agency dan informasi terhadap

pencegahan kecacatan pada penderita kusta.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi self care agency dan informasi pada

penderita kusta.

b. Untuk mengedentifikasi pencegahan kecacatan pada penderita

kusta.

c. Untuk menganalisis pengaruh self care agency dan informasi

terhadap pencegahan kecacatan pada penderita kusta.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian Ini diharapkan dapat memberi tambahan Informasi

dan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang keperawatan khususnya pengaruh self care agency dan

informasi terhadap pencegahan kecacatan pada penderita kusta.


2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Sebagai Refrensi bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian

khususnya mahasiswa jurusan keperawatan tentang gambaran

pengaruh self care agency dan informasi terhadap pencegahan

kecacatan pada penderita kusta.

b. Bagi Instansi Pendidikan

Penelitan ini diharapkan berguna sebagai masukan dalam

pengembangan ilmu keperawatan tentang pengaruh self care agency

dan informasi terhadap pencegahan kecacatan pada penderita kusta dan

bermanfaat untuk mengembangkan ilmu sehingga dapat digunakan

oleh mahasiswa/i sebagai panduan dalam memberikan edukasi

masyarakan dalam pencegahan kecacatan pada penderita penyakit

kusta.

c. Bagi Masyarakat

Supaya masyarakat dapat mengetahui mengenai pengaruh self care

agency dan informasi terhadap pencegahan kecacatan pada penderita

kusta.

Anda mungkin juga menyukai