Anda di halaman 1dari 2

DAMPAK NEGATIF DARI PERNIKAHAN DINI

DAMPAK NEGATIF DARI PERNIKAHAN DINI


Masa remaja merupakan masa yang harus dilalui seorang remaja pada usia 12 tahun
sampai 19 tahun. Masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju remaja kemudian menuju
dewasa. Disaat perkembangan kognitifnya lebih berkembang dengan pesat juga dengan
dibarengi dengan matangnya alat reproduksi. Sekaligus juga masa dimana seorang anak sedang
asik dalam menjalin pertemanan yang menjurus kepada kebutuhan afiliasi yang menjalin
hubungan dengan lawan jenis mereka. Tetapi apabila seorang anak melebihi batas dari
perkembangan mereka, juga karena lengahnya orang tua dalam mengawasi pertumbuhan dan
perkembangan si anak maka akan terjadi hal tidak diinginkan.

Seperti halnya penyimpangan perilaku yaitu pernikan dini. Sekarang saya akan menulis
juranal tentang “DAMPAK NEGATIF DARI PERNIKAHAN DINI” seperti banyak kejadian
yang mungkin telah menjadi begitu banyak kontrofersi. Pernikahan dini di indonesia Menurut
Tri, hak-hak anak yang dilanggar, yaitu pertama, hak untuk mendapatkan pendidikan. "Dengan
kasus pernikahan dini itu, anak tidak melanjutkan sekolah," katanya. Kedua, hak untuk berpikir
dan berekspresi. Sesuai UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan setiap
anak berhak untuk berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam
bimbingan orangtuanya. Ketiga, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya.
"Perlu dipertanyakan apakah dalam kasus pernikahan dini anak telah dimintai pendapatnya dan
didengar pendapatnya. Sebab, pada kenyataannya orang dewasa cenderung memandang anak
belum mampu menentukan keputusan sendiri. Keempat, hak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi.
Kelima, hak perlindungan. Anak seharusnya dilindungi dari pernikahan dini yang berdampak
pada perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikis.
1.Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi
Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan
“kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena
keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.
Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bias
dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah
satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama
sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Kita akan menyaksikan kehancuran yang
berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar
nikah. Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.

1. Dampak terhadap hukum


Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
b. Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang
mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
1. 2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga
belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil
kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan
infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut
dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi
antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap
seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak
untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias
gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap
seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama
Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan
melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap
perempuan.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat
yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku,
melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan
para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya
pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal
pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
UU Perkawinan, UU PTPPO).

Anda mungkin juga menyukai