Anda di halaman 1dari 4

Menjadi Berwawasan Inklusif karena Anak Speech Delay

Tak pernah aku sangka, ternyata Tuhan mengaruniakan seorang anak yang luar biasa.
Anak yang harus aku asuh dengan segudang pertanyaan tentang pola tumbuh kembangnya.
Tentu saja itu sedikit menguras tenaga serta emoji, sehingga aku harus membangun pulau
kesabaran yang tiada tara.) Ia baru bisa diajak bicara 2 arah diusianya yang ke-4.

Bukan hanya perkembangan bicara, tetapi juga menyangkut kemampuan


bersosialisasi, cara bermain dengan teman se-usianya. Dalam satu sisi ia sangat cerdas, tetapi
di sisi lain ia seperti anak yang kurang memahami apa yang tengah dihadapinya.

Aku sadar bahwa banyak pemberian Tuhan yang harus kita syukuri dalam hidup ini.
Keterbatasan dan kelebihan yang diberikan Tuhan bukan untuk diratapi dan bukan juga untuk
disombongkan.

Hai Aku Setyorini Safitri, akrabnya dipanggil Rini.


Memiliki anak laki-laki usia 4,5 tahun yang sangat membanggakan, bernama Hazza.

Memiliki penghasilan sendiri bagi seorang perempuan mungkin bisa menjadi suatu
kebanggaan, atau mungkin juga sebagai bentuk apresiasi untuk sebuah title yang ada di ijazah
yang akhirnya terpakai. Sejak hamil hingga Hazza usia 18 bulan, Aku memilih untuk fokus di
rumah menemani tumbung kembangnya. Nyaris tidak ada yang terlewat, bahkan ketika orang
sibuk membahas GTM (Gerakan Tutup Mulut) pada anak saat MPASI, Aku tidak
merasakannya karena Hazza tidak menolak apa yang Aku masak untuknya.

Di kala pandemi tahun 2019, seorang konsultan meminta bantuan untuk mengurus
beberapa dokumen perizinan, sontak bagi seorang ibu yang sudah lama tidak bekerja, ini
merupakan penawaran yang menarik. Tanpa pikir panjang akhirnya aku mengambil tawaran
tersebut untuk kembali bekerja. Saat Hazza berusia 18 bulan, ia sudah mampu merangkai 2
kata, tapi ketika usianya masuk 24 bulan, anakku hampir tidak mengeluarkan sepatah
katapun. Aku terlalu cuek dan terlalu santai saat itu. “Ah, mana mungkin dia tidak bisa
berbicara? Tunggulah sampai usianya 2,5 tahun, nanti juga ia bicara.” ujarku saat itu.

Tahun berganti, saat Hazza berusia 2,5 tahun, ia juga belum mampu meyusun kalimat,
semua akses sudah dibatasi seperti tidak ada TV di rumah, tidak ada gadget untuk Mbak
pengasuh, tapi setiap pagi tetap menangis dan meraung jika aku akan berangkat kerja. Lagi-
lagi aku tahu dan mengabaikan tanda bahwa Hazza sudah masuk masa red flag untuk aspek
bahasanya. Namun aku memilih untuk abai. “Sebentar lagi, saat ia 3 tahun juga pasti bisa.
Pasti nanti akan terjadi ledakan bahasa,” ungkapku dalam hati.

Bulan berganti, tibalah saatnya ia memasuki usia 3,5 tahun. Hazza masih belum
mampu menyusun kalimat, bahkan kata-katanya sangat terbatas, terlebih ternyata dia tidak
suka bermain dengan teman seusianya. Ketika diajak bermain hanya 1 kata yang keluar
”takut”.

“Apa yang terjadi? Bukankah pengasuhnya selalu mengajaknya bermain?” pikirku.

Akhirrnya aku memutuskan resign. Aku kembali pada anakku saat usianya sudah 3,5
tahun dengan kemampuan berbahasa yang belum sama sekali berkembang.

***

Psikolog mengatakan anakku mantap speech delay dan sudah harus diterapi. Masa-
masa penerimaan ini sangat berat, aku hampir menyalahkan diri sendiri setiap hari dan
meminta waktu untuk dapat diulang.

“Namun, mana mungkin waktu bisa diputar ulang?” tanyaku dalam hati.

Banyak membaca dan berdiskusi adalah cara yang paling bijak untuk memahami
masalah yang dihadapai saat itu. Dalam tugas pengasuhan yang tidak terbilang ringan,
dibutuhkan kemampuan pemahaman, dan pemahaman itu tidak bisa secara instan akan kita
dapatkan begitu saja. Setiap anak mempunyai keunikannya masing-masing. Dengan melihat
secara positif berbagai gejala yang ditampilkan anak, akan membuat aku semakin bijak dan
lebih dewasa menghadapinya.

Aku memutuskan untuk menemani hari-hari ke terapis wicara agar dapat mengejar
keterlambatannya. Aku memutuskan untuk kembali menjadi sangkar yang hangat baginya.
Sebuah sangkar hangat sangat penting dan perlu diberikan pada anak yang aku cintai, tempat
di mana ia dapat tumbuh secara sehat dalam suasana yang aman serta nyaman. Terlebih lagi
terhadap anak yang mempunyai kesulitan sendiri dan perlu perjuangan dalam menghadapi
dunia luar. Ia membutuhkan dukunganku, Hazza berhak untuk mendapatkan penghargaan,
respek dan pemanahaman akan tumbuh kembangnya yang istimewa. Biarlah orang lain akan
mengatakan bahwa keluargaku contoh gambaran keluarga yang tidak normal. Namun, aku
dapat memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak dalam tumbuh kembang sesuai dengan
usianya saat ini.

Tepat saat usianya 4 tahun, dan sudah berlangsung 6 bulan lamanya ia terapi kini
membuahkan hasil. Ledakan bahasanya banyak dan sudah mampu membuat kalimat, hobi
baru kami adalah membaca buku bersama. Aku sangat merasakan momen bahagia dimana ia
mampu mengucapkan kalimat panjang ketika akan meminta sesuatu. Ternyata ia hanya butuh
aku untuk di rumah.

Kini usianya sudah 4,5 tahun dan tibalah ia untuk bersekolah. Memilih sekolah pun
tidak mudah, ada masa ketika kami ditolak oleh salah satu sekolah taman kanak-kanak. Itu
menarik perhatian aku ketika sekolah taman kanak-kanak menolak calon siswa yang
terdiagnosa speech delay sebelumnya. Akhirnya aku belajar arti sebuah inklusif. Ternyata
banyak sekali pelajaran yang aku peroleh seperti bagaimana seharusnya pendidikan inklusif
itu ditegakkan dan bagaimana seharusnya anak dengan berkebutuhan khusus mendapatkan
kesempatan untuk sama-sama belajar di sekolah impiannya. Namun ternyata praktiknya
sangat jauh. Tidak banyak sekolah yang ada di Indonesia saat ini yang mampu menerapkan
konsep inklusivitas dalam dunia pendidikan.

Bootcamp Ibu Inklusif sangat membantu memberikanku pemahaman bahwa


seharusnya dunia pendidikan tidak lagi membeda-bedakan kemampuan anak, karena semua
anak mampu dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pengasuhan dan pendidikan
adalah faktor yang turut mendukung tercapainya prestasi yang optimal. Oleh karena itu peran
keluarga, sekolah, dan lingkungan juga turut menentukan keberhasilan. Membangun
pandangan baru terhadap keberbakatan, karena anak berbakat bukanlah semata-mata anak
yang mampu menyabet prestasi dan medali, tapi anak berkebutuhan khusus juga
berkesempatan menjadi anak berbakat. Giftenedness-nya adalah karunia Tuhan yang menjadi
haknya sebagai modal hidupnya kelak, karenanya kita perlu menghormati giftedness-nya dan
membimbing anak-anak ini secara baik sebagai risalah Tuhan yang ditugaskan untuk kita
semua.
Halo, perkenalkan, nama saya Setyorini Safitri, tetapi
biasanya dipanggil Rini. Saya dilahirkan di Jakarta dan sekarang telah menjadi seorang ibu.
Meskipun menjadi seorang ibu, saya tetap aktif terlibat dalam berbagai komunitas. Saat ini,
saya menjalankan peran sebagai seorang Ibu Rumah Tangga yang produktif. Saya bekerja
dalam ranah publik sebagai Impactful Writer dan Senior Copywriter. Saya percaya bahwa
menjadi seorang ibu tidak menghalangi saya untuk tetap berkarir dan terus berkembang
dalam dunia menulis. Satu hal khusus tentang perjalanan saya adalah memiliki seorang putra
dengan speech delay (keterlambatan bicara). Namun, itu tidak pernah menjadi halangan bagi
saya untuk terus belajar dan tidak menyerah pada keadaan. Jika Anda ingin mengenal saya
lebih lanjut, silakan kunjungi website pribadi saya di www.setyorinisafitri.blogspot.com atau
dapat berinteraksi dengan saya melalui Instagram dengan akun @setyorinisafitri.

Anda mungkin juga menyukai