Bab 2 Eklamsi
Bab 2 Eklamsi
PEMBAHASAN
2. 1 Preeklamsia Berat
1. Definisi Preeklamsia Berat
Preeklamsia adalah keadaan di mana hipertensi disertai dengan proteinuria,
edema, atau kedua-duanya yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20 atau
kadang-kadang lebih awal terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada vili dan
korialis (Mitayani, 2009). Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria
dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan (Mansjoer, 2000).
Preeklamsia merupakan salah satu kondisi berisiko pada ibu hamil. Preeklamsia
merupakan darah tinggi atau hipertensi yang terjadi pada ibu hamil setelah usia
kehamilan 20 minggu (≥20 minggu).
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria >
5 g/24 jam.
2. 2 Eklamsia
Eklamsia adalah kondisi dimana pasien memenuhi kriteria preeklamsia dengan
disertai kejang atau tidak diketahui penyebabnya, yang bukan merupakan kelainan
neurologis misalnya epilepsy yang bisa disertai penurunan kesadaran pada wanita
preeklampsia.
Eklamsia didefinisikan sebagai kondisi kejang yang berhubungan dengan
preeklamsia. Preeklamsia berat didefinisikan sebagai preeklamsia dengan hipertensi
berat dengan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg, tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
dan/atau dengan gejala, dan/atau kerusakan biokimia dan/atau hematologis.
Eklamsia merupakan satu atau lebih bangkitan kejang yang berhubungan dengan
preeklamsia. Hal ini dapat terjadi sekalipun tekanan darah masih dalam batas normal.
Pada preeklamsia tidak terjadi kejang. Namun, jika hipertensi kehamilan diikuti kejang
maka disebut eklampsia.
2. 3 Etiologi
1. Stress
2. Diabetes Melitus
3. Nutrisi saat kehamilan
5. Kecemasan : ibu hamil dengan kecemasan yang tinggi ketika hamil akan
meningkatkan risiko hipertensi pada kehamilan
6. Usia : Kehamilan pada usia remaja memiliki risiko tinggi untuk mengalami
komplikasi kehamilan dibandingkan usia kehamilan 20-39 tahun
7. Obesitas : Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT diatas 30 dengan kategori
obesitas, resiko preeklampsia meningkat menjadi 4 kali lipat.
8. Riwayat keluarga pernah preeklampsia
2. 4 Patofsiologi
Stress pada tubuh seseorang dapat merangsang pelepasan endotel pada pembuluh
darah yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah yang mengarah pada preeklampsia (Agustin & Indriani,
2013). Selain itu, pengaruh stres akan merangsang kelenjar anak ginjal atau adrenal untuk
mengeluarkan hormon adrenalin. Hormon adrenalin akan bekerja dan memacu denyut
jantung lebih cepat yang berdampak pada peningkatan tekanan darah.
Peningkatan kadar glukosa memiliki efek yang sama pada perkembangan
preeklampsia. Glukosa yang berlebih selama kehamilan menghambat fungsi sel
sitotrofoblas (CTB) dengan menginduksi pensinyalan jalur stres (P38 MAPK dan
PPARγ) diikuti dengan penghambatan MMP-9 yang menyebabkan migrasi CTB dan
komplikasi invasi, stres oksidatif yang menyebabkan hipoksia plasenta, dan peningkatan
IL6 yang menyebabkan ketidakseimbangan angiogenik. Semua perubahan ini tampaknya
berkontribusi pada jalur umum akhir yang mengarah ke plasentasi abnormal, sehingga
berkembangnya preeklampsia.
Preeklampsia menjadi salah satu komplikasi pada masa kehamilan yang dapat
dipengaruhi oleh asupan nutrisi ibu hamil. Hal ini dikarenakan pada kasus preeklampsia
adanya peningkatan kadar oksidan terutama peroksida lemak, oksidan/radikal bebas
didalam tubuh mengalami peningkatan sehingga melebihi kapasitas dalam tubuh untuk
menetralkannya yang disebut sebagai stress oksidatif dan menyebabkan disfungsi sel
endotel. Mengutip dari Saifudin (2016) pada kondisi preeklampsia membran sel endotel
ini lebih mudah mengalami kerusakan, karena letaknya langsung berhubungan dengan
pembuluh darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.
Paritas juga merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan
terjadinya preeklampsia. Berdasarkan teori imunologis, pada kehamilan pertama terjadi
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen tidak sempurna. Hal ini dapat
menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai batas tertentu sehingga
mengganggu fungsi plasenta. Akibatnya sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel
endotel plasenta berkurang dan sekresi tromboksan bertambah sehingga terjadi
vasokontrikso generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Hal ini meningkatkan
terjadinya preeklampsia.
Hal ini terjadi karena pada saat terjadi kecemasan, maka tubuh akan memberikan
respon terhadap kecemasan yaitu neuron dihipotalamus akan mensekresikan suatu
substansi yang dinamakan corticotrophin releasing fac-tor (CRF). CRF dibawa ke
hipofisis (terletak tepat di bawah hipotalamus) melalui struktur yang berbentuk saluran.
CRF menstimulasi hipofisis untuk melepaskan hormon adenokortikotropik (ACTH), yang
merupakan hormon stres utama tubuh. ACTH selanjutnya dibawa oleh aliran darah ke
kelenjar adrenal dan ke berbagai organ tubuh lainnya. Kelenjar adrenal akan mensekresi
epinefrin (adrenalin) dan kortisol yang akan meningkatkan tekanan darah dan kadar gula
darah untuk memenuhi kebutuhan ke otak, jantung, otot, dan tulang untuk mengatasi
krisis.
Perjalanan preeklampsia juga dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver
enzymes, dan thrombocytopena (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati,
stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat
mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia neurogenik, kecil masa kehamilan (KMK),
dan kematian.
2. 5 Manifestasi Klinis
a. Penyebab Hipertensi dan Proteinuria
Hipertensi dan proteinuria merupakan dua gejala penting pada preeklamsia,
tetapi ibu hamil jarang menyadari hal itu. penyebab dua masalah ini diantaranya
adalah:
1) Tekanan darah
Tekanan darah meningkat yaitu lebih dari 140/90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah merupakan tanda peningkatan awal yang penting pada
preeklamsia. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih akurat
dibandingkan dengan tekanan sistolik. Tekanan diastolic sebesar 90 mmHg
atau lebih yang terjadi terus-menerus menunjukkan keadaan abnormal.
2) Kenaikan berat badan
Penilaian kenaikan berat badan pada ibu hamil preeklamsia, yaitu:
a) Peningkatan berat badan yang tiba-tiba mendahului serangan
preeklamsia dan bahkan kenaikan berat badan (BB) yang berlebihan
merupakan tanda pertama preeklamsia pada sebagian besar ibu hamil.
b) Peningkatan berat badan normal adalah 0,5 kg per minggu. Bila 1 kg
dalam seminggu, maka kemungkinan akan terjadinya preeklamsia harus
dicurigai.
c) Peningkatan berat badan terutama disebabkan retensi cairan dan
ditemukan sebelum timbul gejala edema yang mendadak, meluas, dan
terlihat jelas seperti kelopak mata yang bengkak atau jaringan tangan
yang membesar. Bengkak bisa terjadi pada anggota gerak (seperti tangan
atau kaki) atau wajah, bengkak tersebut tidak hilang dengan
mengistirahatkan kaki.
3) Proteinuria
Pemeriksaan air kencing di laboratorium atau di pelayanan kesehatan
ditemukan adanya zat protein dalam urin/ air kencing ibu. Pada preeklamsia
ringan, proteinuria hanya minimal positif satu, positif dua, atau tidak sama
sekali. Pada kasus berat, proteinuria dapat ditemukan dan dapat mencapai
10g/dL. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan hipertensi
dan kenaikan berat badan yang berlebihan.
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-
eklamsi dengan gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual, nyeri epigastrium, dan hiperefleksia. Bila keadaan ini tidak
segera diobati, akan timbul kejangan, konvulsi eklamsi dibagi 4 tingkat yaitu :
1) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 menit. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan kepala
diputar ke kanan dan ke kiri
2) Tingkat kejangan tonik
Berlangsung lebih 30 menit, dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku,
wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke
dalam, pernafasan berhenti, muka menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3) Tingkat kejangan klonik
Berlangsung 1-2 menit, spasmus tonik menghilang, semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat, mulut
membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi, bola mata menonjol,
dari mulut keluar ludah yang berbusa aka menunjukan kongesti dan
sianosis. Penderita menjadi tak sadar, kejadian kronik ini demikian
hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya.
Akhirnya kejangan terhenti dan penderita menarik nafas secara
mendengkur.
4) Tingkat koma
Lamanya koma tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita
menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu
timbul serangan baru yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.
2. 6 Dampak Preeklamsia
a. Dampak Preeklamsia pada Ibu
Preeklamsia menyebabkan masalah pada fisik dan kesehatan psikologis ibu
hamil. Dampak pada kesehatan fisik yang dirasakan ibu adalah:
Ari-ari / plasenta lepas atau terputus saat bersalin
Anemia (kurang darah)
Pandangan kabur hingga buta (tidak bisa melihat sama sekali)
Perdarahan pada hati, perdarahan saat melahirkan
Kejang hingga stroke (jika muncul kejang disebut ekslamsia)
Gagal jantung
Tidak sadar/koma hingga kematian
Preeklamsia dapat mengancam keselamatan ibu dan janin karena ibu dan janin
terhubung melalui saluran pembuluh darah dalam rahim ibu. Preeklamsia dapat
menimbulkan masalah kesehatan kehamilan yang serius hingga risiko tinggi
terjadinya kematian baik ibu maupun janin yang dilahirkan. Penemuan diagnose
dan penanganan sedini mungkin akan sangat membantu untuk meminimalkan
dampak preeklamsia.
2. 7 Penatalaksanaan Preeklamsia
Penanganan preeklampsia dilakukan dengan dua pendekatan pengobatan, yaitu
tindakan medis konvensional dan tindakan secara holistik modern. Tindakan medis
konvensional merupakan pengobatan yang dilakukan dengan melihat derajat keparahan
preeklampsia dan seberapa dekat tanggal perkiraan kelahiran.
Preeklamsia Berat
Wanita hamil dengan preeklampsia berat, harus dirawat di rumah sakit. Pada
preeklampsia berat, biasanya dokter akan mengobatinya dengan memberikan obat
untuk menurunkan tekanan darah sampai perkembangan bayi cukup untuk dapat
dilahirkan dengan selamat. Sementara itu, penanganan dengan pendekatan holistik
modern biasanya dengan menyarankan ibu melakukan tindakan preventif dan
perawatan yang dapat dilakukan mandiri yang dibantu oleh keluarga dan petugas
kesehatan
2. 8 Penatalaksaan Lanjutan
Prinsip-prinsip pelaksanaan:
a) Mengontrol konvulsi
Ini sangat penting untuk mengontrol konvulsi, terlebih lagi konvulsi pada
wanita memiliki resiko tinggi untuk hidupnya dan janinnya. Obat diberikan dengan
segera untuk mengurangi rangsangan sistem saraf. Obat yang dipilih untuk
pengobatan eklampsi adalah Magnesium Sulfat (Neilsen 1995;Lucas 1995)
1) Magnesium sulfat
Antikonvulsi yang efektif dan bereaksi cepat. Penemuan Collaborative
Eclampsi Trial, dipublikasikan pada tahun 1995, terbukti Magnesium Sulfat
lebih efektif mengurangi dan mencegah konvulsi eklampsi dibandingkan dengan
diazepam dab phenytoin (Eclampsia Collaborative Trial Group, 1995). Wanita
yang menerima Magnesium Sulfat memiliki resiko 52% lebih rendah dari
konvulsi dibandingkan diberi diazepam, dan 67% resiko lebih rendah
dibandingkan dengan phenytoin. Magnesium Sulfat direkomendasikan untuk
pengobatan untuk eklampsi.WHO sekarang merekomendasikan penggunaan
Magnesium Sulfat untuk pengobatan eklampsi dan memasukkannya ke dalam
Daftar Obat Esensial (WHO, 1995). Injeksi intravena 4-5 gr dalam 20%
pemberian, diikuti dengan infus 1- 2 gr/jam.
MgSO4 di berikan dengan 2 dosis yaitu loading dose: 4g MgSO4 (10 ml
kosentrasi 40% atau 20 ml kosentrasi 20%) IV selama 5-8 menit (kecepatan 0,5-
1 gr/menit). Untuk 10 ml Kosentrasi 40% dilarutkan menjadi 20 ml dengan
aquadest, selanjutnya maintenance dose diberikan 15 ml MgSO4 (40%) atau 6
gr dalam larutan ringer asetat/ ringer laktat selama 6 jam (1 gr/jam).
2) Injeksi intravena diazepam
Injeksi intravena diazepam 10-40 mg diikuti dengan infus 20-80 mg dalam
500 ml dari 5% dextrose dengan rata-rata 30 tetes/menit.
Obat lain yang digunakan seperti morfin, tribromoethanol (Avertin),
paraldehyde dan lytic cocktail (kombinasi dari pethidine, promethozin dan
chlorpromazine dalam infus intravena dextrose 5%) sekarang tidak
direkomendasikan phenytoine digunakan untuk mengobati epilepsy dan saat ini
ada pembaharuan pada penatalaksanaan pre eklampsi. Walaupuntidak efektif
dalam mengontrol eklampsi (The eclampsia Collaborative Trial Group, 1995)
dan dianggap sebagai prophylactic dari pada metode pengobatan (Howard
1993).
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Preeklamsia merupakan suatu gangguan kehamilan yang menjadi penyebab
kematian ibu dan bayi. Preeklamsia dapat terjadi di masa kehamilan, persalinan,
maupun setelah persalinan atau masa nifas. Penyebab terjadinya preeklamsia sampai
saat ini belum dapat diketahui secara pasti atau disebut juga “diseases of theory”.
Preeklamsi berat ditandai dengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. Pada
preeklamsia tidak terjadi kejang. Namun, jika hipertensi kehamilan diikuti kejang
maka disebut eklampsia.
Preeklamsia dapat mengancam keselamatan ibu dan janin karena ibu dan janin
terhubung melalui saluran pembuluh darah dalam rahim ibu. Preeklamsia dapat
menimbulkan masalah kesehatan kehamilan yang serius hingga risiko tinggi
terjadinya kematian baik ibu maupun janin yang dilahirkan. Penemuan diagnose dan
penanganan sedini mungkin akan sangat membantu untuk meminimalkan dampak
preeklamsia.
5.2 Saran
Kurniawati, Dini. dkk. 2020. Preeklampsia dan Perawatannya Untuk Ibu Hamil, Keluarga,
Kader maupun Khalayak Umum. Bondowoso: KHD Production.