Anda di halaman 1dari 15

TEORI HUKUM DALAM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Dosen pengampu :

Dwi Runjani Juwita M.H.I

Disusun oleh :

Agung Eka Prasetya 401220008

Amir Syarifudin Mufti 401220022

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Teori Hukum dalam Islam tepat waktu.

Makalah Teori Hukum dalam Islam disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqih di Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada ibu Dwi Runjani Juwita


M.H.I. Selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih. Penulis juga berterimakasih kepada pihak yang
telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penulis
memohon maaf atas kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
A. Pengertian Al-Hakim ...................................................................................................... 2
B. Al-Mahkum „Alaih.......................................................................................................... 5
C. Pembagian Hukum Wadh‟i dan Taklifi .......................................................................... 7
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 11
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori hukum Islam adalah disiplin ilmu yang mempelajari asas-asas dan teori-
teori hukum yang bersumber dari ajaran Islam. Teori hukum Islam mencakup berbagai
konsep dan aspek seperti sumber hukum, metode interpretasi, teori pengadilan, dll.

Sejarah teori hukum Islam sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang
memperkenalkan prinsip-prinsip hukum Islam yang kemudian diadopsi dan
dikembangkan di berbagai mazhab dan mazhab di seluruh dunia Islam. Teori hukum
Islam telah mengalami perkembangan yang signifikan sepanjang sejarahnya, terutama
pada masa kejayaan Islam antara abad ke-7 dan ke-13.

Peranan teori hukum Islam dalam masyarakat muslim sangat penting karena
kaidah dan asas hukum yang terkandung dalam teori hukum Islam dianggap sebagai
pedoman untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan kehidupan yang bahagia. Teori
hukum Islam juga menjadi sumber kekuatan moral dan spiritual masyarakat muslim,
karena di dalamnya terkandung ajaran agama dan etika yang dianggap sebagai pedoman
hidup yang baik.

Namun, penerapan teori hukum Islam di dunia modern yang semakin kompleks
juga menghadapi berbagai tantangan. Teori hukum Islam mendapat kritikan karena
dianggap tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat
modern, serta adanya perbedaan interpretasi dan implementasi di berbagai daerah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Al-Hakim ?


2. Apa yang dimkasud Al-Maahkum „Alaih ?
3. Bagaimana pembagian Hukum Wadh‟i dan taklifi ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Hakim

Kata hakim secara etimologi berarti orang yanng memutuskan hukum. Dalam
istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di
pengadilan yang sama maknanya dengan qadi. Dalam kajian usul fikih kata hakim di sini
berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari‟at secara hakiki. Ulama usul fikih
sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari‟at adalah
Allah. Hal itu ditunjukkan oleh al-Qur‟an dalam Surat al-An‟am ayat 57.1

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (Q.S
Al-An‟am :57)

Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa “Pembuat Hukum” dalam pengertian
islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang
menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dengan hubungnnya dengan
kepentingan hidup dunia maupun untuk ke pentingan hidup diakhrat, baik aturan
yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan
sesamanya dan alam sekitar.

Yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah apakah hukum-hukum Allah


atas perbuatan mukalaf itu mungkin untuk di ketahui oleh akal secara langsung tanpa
perantara Rasul Allah dan kitab-kitab-Nya. Artinya apakah orang yang tidak pernah
mendengar dakwah para Rasul dan Kitab-kitab Allah mampu mengetahui hukum Allah
atas perbuatannya cukup dengan rasio, tanpa perantaraan para Rasul dan Kita-kitab Allah
atau tidak? Memang tidak ada perbedaan pendapat bahwa al Hakim adalah Allah, tetapi
perbedaan pendapat itu pada cara mengetahui hukum-hukum Allah.2

Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga madzhab:


1
Julita Julita, Asmuni Asmuni, dan Anggraini Tuti, “SIGNIFIKANSIAL-HUKM, AL-HAKIM, AL MAHKUMFIHI, DAN
AL MAHKUM’ALAIH,” Jurnal Landraad 1, no. 1 (2022): 62–76.
2
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih (kuwait: Darul Qalam, 1977).

2
1. Madzhab Asy‟ariyah
Pendapat yang dikemukakan oleh kaum Asy‟ariyah yang dipelopori oleh Abu
Hasan Al-asy‟ari, yang berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat
diketahui oleh akal semata-mata. Oleh kerena itu, seluruh bentuk perbuatan
menusia yang terjadi sebelum diangkat utusan-utusan Allah, tidak ada
hukumnya atau tidak ada sanki bagi pelaku perbuatan tersebut.
Berdasarkan mazhab ini, seorang manusia tidak mungkin untuk diperintah
melakukan atau meninggalkan sesuatu kecuali telah mendengar dakwa Rasul
dan syariat Allah. Seseorang tidak diberi pahala karena berbuat sesuatu dan
tidak disiksa karena meninggalkan atau berbuat sesuatu kecuali telah
mengetahui dari Rasul Allah tentang apa yang wajib dikerjakan dan apa yang
wajib ditinggalkan. Seseorang yang hidup dalam keadaan sangat terpencil
yang tidak pernah mendengar dak- wah dan syariat Rasul, maka ia tidak
dibebani apapun dari Allah, tidak berhak mendapat pahala atau siksa. Adapun
Ahlul Fatrah, orang-orang yang hidup setelah kematian seorang Rasul dan
belum diutusnya Rasul yang lain maka juga tidak dibebani dengan sesuatu,
mereka tidak berhak mendapat pahala dan siksa.3
2. Madzhab al Mu'tazilah
Pengikut Wasil bin a'thaa'. Menurut aliran ini, hukum-hukum Allah dapat
diketahui secara langsung, tanpa perantaraan para rasul dan kitab Allah.
Karena setiap perbuatan manusia memiliki sifat yang dapat
baik maupun buruk, maka akal dapat menggunakan ciri-ciri dasar dari
perbuatan tersebut. Apa alasan menghasilkan kebaikan atau kejahatan
dihukum untuk kebaikan atau kejahatan. Dan hukum Allah tentang perbuatan
seorang hamba bergantung pada pendapat akal, baik yang bermanfaat maupun
yang merugikan. Allah SWT. menuntut orang-orang mukallaf untuk
melakukan perbuatan yang bermanfaat menurut akalnya, mereka juga
meninggalkan perbuatan yang berbahaya menurut akalnya. Apa yang
dianggap baik menurut akal maka di tuntut oleh Allah dan pelakunya akan
diberi pahala, sedangkan yang dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh
Allah untuk ditinggalkan dan pelakunya akan disiksa.

3
Khalaf.

3
Dasar Mazhab ini: "Perbuatan baik adalah perbuatan yang di anggap baik
menurut akal karena ada manfaatnya. Sedangkan perbuatan jelek adalah
perbuatan yang dianggap jelek oleh akal karena ada bahayanya." Adapun
hukum-hukum Allah atas perbuatan orang mukallaf ukurannya adalah menurut
akal mereka sendiri; baik atau jelek. Pendapat ini adalah sesuai pendapat
mayoritas ulama akhlak bahwa ukuran baik atau jelek adalah akibat suatu
perbuatan, manfaat atau bahaya yang sampai kepada kebanyakan umat
manusia.4
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan orang yang belum mendapat
dakwah dan syariat dari para rasul, maka akan dituntut oleh Allah atas
perbuatan baik yang ditunjukkan oleh akal mereka dan akan diberi pahala dari
Allah atas perbuatan itu,dan apabila melakukan keburukan menurut akal
mereka maka akan mendapat dosa. Pengikut mazhab ini menguatkan, tidak
ada satu akal pun yang mampu membantah bahwa setiap perbuatan memilik
ciri-ciri khusus dan memiliki akibat yang menjadikan perbutan itu baik atau
jelek.
3. Mazhab Maturidiyah
Pengikut Abu Manshur al Maturidi. Pendapat ini bersifat moderat dan netral.
Kesimpulannya, perbuatan orang-orang mukallaf itu memiliki ciri-ciri tertentu
dan memiliki pengaruh pada baik atau jelek-nya perbuatan itu. Sedangkan
akal, berdasarkan ciri-ciri dan pengaruh ini, akan mampu menghukumi bahwa
perbuatan itu baik atau jelek. Apa yang oleh akal sehat dianggap baik maka
dihukumi baik, dan yang dianggap jelek maka dihukumi jelek. Tetapi hukum-
hukum Allah atas perbuatan mukallaf itu tidak boleh ditetapkan baik atau jelek
berdasarkan kemampuan akal kita. Karena meskipun akal sudah matang,
kadang juga salah, juga karena sebagian perbuatan yang tidak jelas menurut
akal maka tidak dapat ditetapkan di antara hukum-hukum Allah dan tidak
ditetapkan di antara hukum yang mampu diterima akal. Oleh karena itu tidak
ada jalan lain untuk dapat mengetahui hukum- hukum Allah kecuali melalui
para Rasul-Nya.5
Mazhab ini mengikuti pandangan al Mu'tazilah bahwa baik buruknya suatu
perbuatan diukur dengan akal baik dari segi manfaat maupun mudharatnya.

4
Khalaf.
5
Khalaf.

4
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat bahwa hukum Allah harus sesuai dengan
akal, dan apa yang baik menurut akal maka dituntut oleh Allah untuk
dikerjakan, dan apa yang jelek menurut akal maka dituntut oleh Allah untuk
ditinggalkan.
Madzhab ini juga sependapat dengan pandangan al Asya'irah bahwa hukum
Allah tidak dapat diketahui tanpa syafaat para rasul dan kitab-kitab-Nya.
Namun, pendapat mereka berbeda bahwa perbuatan baik dan buruk adalah
sifat syara‟ dan bukan akal dan bahwa perbuatan itu baik jika dituntut oleh
Allah untuk dikerjakan dan perbuatan itu jelek jika dituntut oleh Allah untuk
ditinggalkan, hal ini kurang tepat karena suatu perbuatan di anggap baik oleh
akal karena ada manfaat, dan suatu perbuatan di anggap buruk oleh akal
karena ada ke mudharatan di dalamnya, meskipun tidak di jelaskan oleh syara‟

B. Al-Mahkum ‘Alaih

Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa maḥkūm „alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah yang disebut mukallaf. Khitab/tuntutan Allah tersebut
dapat berupa hukum taklifi maupun waḍ„i. Hukum taklifi meliputi ketentuan wajib, sunat,
mubah, makruh, dan haram. Sedangkan hukum waḍ‟i meliputi ketentuan sebab, syarat,
dan mani‟. Dalam definisi ini, maḥkūm „alaih hanya dipahami kepada orang (syakhṣ)
saja, tidak termasuk di dalamnya badan hukum. Istilah mukallaf disebut juga maḥkūm
„alaih (subjek hukum). Orang mukallaf ialah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya

Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatanhukum yang


sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:

1. Mukallaf harus mampu memahami dalil taklif


Artinya seseorang bisa disebut mukallaf apabila dapat memahami nash-nash
yang di dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah secara langsung maupun
menggunakan perantara.
2. Mukallaf adalah ahli dengan sesuatu yang di bebankan kepadamya.6
Ahli menurut bahasa adalah layak atau pantas. Menurut istilah ulama ushul
membagi keahlian itu menjadi 2 yaitu:

6
Khalaf.

5
a. Keahlian wajib
Keahlian wajib adalah kelayakan seseorang untuk mendapat- kan hak
dan kewajiban. Dasarnya adalah sesuatu yang diciptakan Allah Swt.
pada manusia dan yang dapat membedakannya di antara makhluk yang
lain, dan dengan sesuatu itu, manusia layak mendapatkan hak dan
menerima kewajiban. Keistimewaan ini oleh ulama fikih disebut adz
Dzimmah (hak dan kehormatan). Adz Dzimmah adalah sifat naluri
manusia yang dengan itu ia menerima hak bagi orang lain dan
kewajiban untuk orang lain pula. Manusia dihubungkan dengan
keahlian wajib jika:
1) Keahlian wajib tidak sempurna
Keahlian wajib tidak sempurna adalah jika mukallaf layak
mendapat hak tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau
sebaliknya.
2) Keahlian wajib sempurna
Keahlian wajib sempurna jika mukallaf layak menerima hak
dan melaksanakan kewajiban.
a. Keahlian melaksanakan
Keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan
dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara'. Artinya, jika ucapan atau
perbuatan itu menimbulkan akad atau pengelolaan, maka akan
diperhitungkan menurut syara' dan akan berakibat hukum. Jika ia
melaksanakan shalat, puasa, haji atau melaksanakan suatu kewajiban,
maka yang dilakukan itu diperhitungkan oleh syara' dan gugurlah
kewajiban itu baginya. Jika ia melakukan kriminal atas jiwa, harta atau
harga diri orang lain, maka ia berdosa akibat tindakannya dan diberi
hukuman pada fisik atau hartanya. Keahlian melaksanakan inilah yang
dimintai pertanggungjawaban. Dasar yang ada pada manusia adalah
kemampuan membedakan dengan akal. Manusia dihubungkan dengan
keahlian melaksanakan jika memiliki 3 keadaan:
1) Terkadang tidak memiliki keahlian melaksanakan sama sekali
2) Terkadang tidak memiliki keahlian melaksanakan tidak
sempurna
3) Terkadang manusia memiliki keahlian yang sempurna

6
Para ulama fiqih sepakat bahwa seseorang dinyatakan cakap atau tidaknya
dalam bertindak hukum dlihat dari akalnya, namun para ulama juga sepakat sesuai
hukum biologis, akal seseorang juga dapat berubah, kurang atau hilang sehingga
mereka dianggap tidak cakap dalam bertindak hukum. Kecakapan dalam bertindak
hukum dapat berubah disebabkan oleh:

1. awaridh al-samawiyah yaitu halangan yang datang dari Allah bukan dari
manusiaseperti, gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang
berkelanjutan dengankematian) dan lupa.
2. awaridh al-mukhtasabah yaitu halangan akibat manusia seperti mabuk,
terpaksa,dibawah pengampunan dan bodoh.

C. Pembagian Hukum Wadh’i dan Taklifi

Secara etimologi, kata hukum berarti mencegah atau memutuskan. Sedangkan


secara terminologi, hukum adalah Khitab (kalam) Allah yang bersangkutan dengan
perbuatan orang yang sudah Mukallaf. Baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang
mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadh’I
(menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan mani‟ atau penghalang)7

Secara garis besar para Ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu
hukum Taklifi dan hukum Wadh‟i.

1. Hukum taklifi
Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau
meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan.8
Hukum Taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu: ijab (wajib), nadb
(sunah), tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
a. Ijab (wajib), adalah ketentuan suatu perintah itu harus dilakukan oleh
mukallaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi
dari hukum wajib ini akan mendatangkan pahala jika dilakukan dan
akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan.

7
Satria; Effendi, Ushul Fiqh / Satria Effendi (Kencana Prenada Media Group, 2008).
8
Az-Zuhaili Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu / Wahbah Az-Zuhail, trans. oleh Budi Permadi dan Abdul Hayyie
Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2011).

7
b. Mandup (sunah), secara bahasa mandup adalah sesuatu yang di
anjurkan. Sedangkan secara istilah mandup yaitu perintah yang dating
dari Allah untuk dilakukan oleh mukallaf secara tidak tegas atau harus.
Konsekuensi dari mandup (sunah) ini jika dilakukan akan mendapat
pahala dan tidak mendapatkan siksa atau celaan bagi orang yang
meninggalkannya.
c. Tahrim (haram), secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak
kerusakannya dan sesuatu yang dilarang. Secara istilah haram ialah
sesuatu yang dituntut Syara‟. Konsekuensi dari haram ini ialah bagi
seseorang yang mengerjakannya maka akan mendapat dosa dan
kehinaan, dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan
kemuliaan.
d. Karahah (makruh), ialah berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang
tidak disenangi, di benci, atau sesuatu yang dijauhi. Makruh adalah
suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan. Konsekuensi dari
makruh ini ialah jika dilakukan maka tidak mendapat dosa, namun jika
ditinggalkan akan mendapat pahala.
e. Ibahah (mubah), secara bahasa yaitu melepaskan dan memberitahukan.
Sedangkan secara istilah, mubah ialah suatu perbuatan yang diberi
kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkan.
Konsekuensinya adalah jika dikerjakan maka tidak berpahala dan tidak
berdosa dan jika ditinggalkanpun maka tidak berpahala dan tidak
berdosa.
2. Hukum wadh‟i
Hukum Wadh‟i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai
sebab, syarat, mani‟, rukhsah atau azimah, sah dan batal.9
Hukum Wadh‟i ini juga terbagi menjadi lima bagian, yaitu: sebab, syarat,
mani‟, rukhsah dan azimah, sah dan batal.

a. Sebab, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan


kepada sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab di definisikan sebagai

9
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih.

8
sesuatu yang di jadikan syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan
tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.10
Misalnya waktu, yang menjadi sebab kewajiban mendirikan shalat,
karena firman Allah SWT yang artinya:
“Didirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam”. (QS. Al-Isra: 78).
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya
shalat.
b. Syarat, menurut bahasa kata syarat berarti “sesuatu yang menghendaki
adanya sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul
Fiqh, seperti yang di kemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah:
“Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan
berada diluar dari hakikat sesuatu itu”11
Misalnya wudhu sebagai syarat sahnya shalat, tanpa wudhu maka tidak
sah mendirikan shalat, tetapi tidak berarti adanya wudhu menetapkan
adanya shalat. Dengan demikian, antara syarat dan yang disyarati itu
merupakan bagian yang terpisah.12
c. Mani’ (penghalang), secara bahasa kata mani’ ialah penghalang. Dalam
istilah Ushul Fiqh, mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan Syara‟ sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau berfungsinya sebab (batalnya
hukum).
Misalnya, seorang anak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya
yang sudah meninggal. Tetapi kemudian si anak diputuskan tidak
mendapat warisan dari peninggalan ayahnya karena ada penghalang
(mani‟). Penghalang itu bisa berupa karena si anak itu murtad atau
kematian ayahnya ternyata karena dibunuh oleh si anak itu.
d. Rukhsah dan Azimah, Rukhsah ialah keringanan hukum yang diberikan
oleh Allah SWT kepada mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu.
Sedangkan Azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT sejak semula, di mana tidak ada kekhususan
karena suatu kondisi.

10
Effendi, Ushul Fiqh / Satria Effendi.
11
Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu / Wahbah Az-Zuhail.
12
Sapiudin Shidiq, Ushul fiqh (Kencana, 2017).

9
Misalnya, shalat lima waktu yang diwajibkan kepada semua mukallaf
dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat, puasa.
Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ada hukum
yang mendahului hukum wajib tersebut.
e. Sah dan Batal, secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan lawan
saqam, yang berarti sakit. Istilah sah dalam Syara‟ digunakan dalam
ibadah dan akad muamalat. Yaitu suatu perbuatan dipandang sah apabila
sejalan dengan kehendak Syara‟, atau perbuatan mukallaf disebut sah
apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah batal, yaitu tidak
tercapainya suatu perbuatan yang memberikan pengaruh secara Syara‟.
Yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan mukallaf apabila tidak memenuhi
ketentuan yang ditetapkan syara‟, maka perbuatan disebut batal. Dengan
kata lain, suatu perbuatan yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya,
maka perbuatan itu menjadi batal.
Misalnya, seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun,
syarat, dan sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari mani‟ atau
terhalang. Apabila shalat dzuhur akan dilaksanakan, sebab wajibnya shalat
itu telah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang akan shalat itu
telah berwudlu, dan tidak ada mani‟ dalam mengerjakan shalat tersebut,
maka shalat yang dikerjakan tersebut dinyatakan sah.13

13
Nasrun; HAROEN, Ushul Fiqh 1 (logos, 1997).

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yangmemunculkan


hukum, dan yang membuat sumber hukum atau yang menemukan hukum, yang
menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum. Al-
Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengaan adanya manusia maka
untukk menegakkan hukum-Nya,Allah mengutus Rasul untukk menyampaikan risalah
tersebut. Kemudiansetelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama‟,
serta umatmuslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.

Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan


hukum syara. Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah,
yaitu mukallaf atau manusia yang menjadiobyek tuntutan hukum syara‟. Mahkum „alaih
berarti orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi).

Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh‟i.
Hukum taklifi adalah hukum syar‟i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan
ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub, haram,
makruh, mubah.

Hukum Wadh‟i ialah firman Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum Wadh‟i ada
yaitu sebab, syarat, mani‟ (penghalang), rukhshah (keringanan) dan Azimah

11
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria; Ushul Fiqh / Satria Effendi. Kencana Prenada Media Group, 2008.
HAROEN, Nasrun; Ushul Fiqh 1. logos, 1997.
Julita, Julita, Asmuni Asmuni, dan Anggraini Tuti. “SIGNIFIKANSIAL-HUKM, AL-
HAKIM, AL MAHKUMFIHI, DAN AL MAHKUM‟ALAIH.” Jurnal Landraad 1,
no. 1 (2022): 62–76.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. kuwait: Darul Qalam, 1977.
Shidiq, Sapiudin. Ushul fiqh. Kencana, 2017.
Wahbah, Az-Zuhaili. Fiqih Islam wa Adillatuhu / Wahbah Az-Zuhail. Diterjemahkan oleh
Budi Permadi dan Abdul Hayyie Al-Kattani. Jakarta: Gema Insani, 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai