Anda di halaman 1dari 6

BAB II PEMBAHASAN

A.Definisi PPh Badan

PPh Badan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan suatu perusahaan atau badan.Dalam
kewajibannya,wajib pajak badan harus menghitung, memungut, menyetor dan melaporkan pajak.

Wajib pajak badan yang dimaksud merupakan sekumpulan orang atau kelompok yang
tergabung dan bekerjasama dalam bentuk modal yang melakukan kegiatan usaha maupun tidak
melakukan usaha yang diwajibkan dalam ketentuan perpajakan.

B.Subjek PPh Badan

Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang diberikan
kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun dan disetor ke kas negara.

Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang termasuk
dalam pengertian Badan adalah sebagai berikut:

1. Perseroan Terbatas (PT)


2. Perseroan Lainnya
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
5. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
6. Firma
7. Kongsi
8. Koperasi
9. Dana Pensiun
10. Persekutuan
11. Perkumpulan
12. Yayasan
13. Organisasi Masyarakat
14. Organisasi Sosial Politik
15. Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun
16. Lembaga dan bentuk badan lainnya
17. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
18. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Pengertian BUT dalam hal Badan Usaha adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

Bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan ini dapat berupa.

 Tempat kedudukan manajemen


 Cabang perusahaan
 Kantor perwakilan
 Gedung kantor
 Pabrik
 Bengkel
 Gudang
 Ruang untuk promosi dan penjualan
 Pertambangan dan penggalian sumber alam
 Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
 Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
 Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
 Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
hari dalam jangka waktu 12 bulan
 Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
 Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia
 Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

C.Objek PPh Badan


Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan.Bagi Subjek Badan
dalam negeri yang menjadi objek PPh badan adalah semua penghasilan baik dari dalam maupun dari
luar negeri.

Penghasilan yang menjadi Objek Pajak Badan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1)
UU HPP meliputi:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

2. Hadiah dari undian pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;

3. Laba usaha;

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

a. Keuntungan karena pengalihan harta sebagai pengganti saham


b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan dan sejenisnya
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibahan, bantuan, atau sumbangan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan Hak
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian


utang;

7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis;

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan Hak;

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

10.Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

11.Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu


yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14. Premi asuransi;


15. Iuran yang diterima/diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas;

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;

17. Penghasilan dari usaha berbasis Syariah;

18. Imbalan bunga sesuai UU KUP;

19. Surplus Bank Indonesia.

D.Tarif PPh Badan

Dalam PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2023 dalam pasal 2
menyatakan “Tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar:

a. 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan

b. 22% (dua puluh dua persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022, sesuai dengan ketentuan
UndangUndang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.”

E.Tahapan Perhitungan PPh Badan

Apabila PPh Terutang dihitung dari tarif dikali PKP, maka PPh yang masih harus dibayar adalah
jumlah pajak terutang dikurangi kredit pajak.Kredit pajak adalah pajak-pajak yang sebelumnya telah
disetorkan atau yang telah dipotong/dipungut oleh pihak ketiga.

Berikut ini tahapan atau langkah-langkah menghitung pajak penghasilan badan.

1. Menghitung Penghasilan

Langkah pertama, WP Badan harus menghitung seluruh penghasilan yang diterima selama
satu tahun pajak.Namun perlu diingat bahwa penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak
perlu dimasukkan dalam perhitungan pajak penghasilan.

2. Mengurangi Penghasilan dengan Biaya


Langkah kedua, mengurangi penghasilan pada poin 1 di atas dengan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh WP Badan.Biaya-biaya tersebut meliputi seluruh biaya yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha.

Jenis biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto ini diperjelas dalam Pasal 6
UU HPP, yakni biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara.

3. Mengurangi dengan Penyusutan dan Amortisasi Fiskal

Langkah ketiga, wajib pajak badan dapat mengurangkan penghasilan dengan penyusutan atas
pengeluaran yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU HPP.Sedangkan pengurangan penghasilan dengan
amortisasi atas pengeluaran diatur dalam Pasal 11A UU HPP.

4. Melakukan Koreksi atau Rekonsiliasi Fiskal

Langkah keempat, WP Badan harus melakukan koreksi fiskal atau rekonsiliasi


fiskal.Rekonsiliasi fiskal adalah proses pencatatan penyesuaian, dan pembetulan yang dilakukan
karena ada perbedaan perlakuan atas pendapatan atau laba komersial maupun biaya antara standar
akuntansi dan aturan perpajakan.

Sehingga rekonsiliasi fiskal ini terbagi menjadi dua, yaitu.

 Rekonsiliasi beda tetap : karena perbedaan antara laba yang dikenakan pajak dengan laba akuntansi
yang belum terkena pajak. seperti penghasilan final, PPh.
 Rekonsiliasi beda waktu: karena perbedaan waktu pengakuan, baik penghasilan maupun biaya antara
sistem akuntansi dan sistem perpajakan, seperti perbedaan metode penyusutan.
Sedangkan koreksi fiskal terbagi menjadi dua, yaitu.

 Koreksi fiskal postitif : menambah laba komersial atau laba penghasilan kena pajak, dengan
menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-iaya yang tidak diakui secara
fiskal.
 Koreksi fiskal negatif : mengurangi laba komersial atau laba penghasilan kena pajak yang disebabkan
pendapatan komersial lebih tinggi daripada pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersial yang lebih
kecil daripada biaya-biaya fiskal.
Biaya-biaya yang tidak menjadi pengurang pajak yang diatur dalam Pasal 9 UU HPP.

WP badan harus mengeluarkan biaya-biaya tersebut dari penghitungan Penghasilan Kena


Pajak.Apabila didapati penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya ternyata menghasilkan
perhitungan yang minus atau rugi, sehingga tidak terdapat PKP/Penghasilan Kena Pajak.

Maka nilai kerugian tersebut dapat dikompensasikan mulai tahun pajak berikutnya selama
dengan 5 tahun berturut-turut.

Anda mungkin juga menyukai