Makalah Ulumul Qur An

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

MEMAHAMI SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR’AN


Diajukan Untuk Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu :
Husni Mubarak, S. Pd. I., M. Ag.

Disusun Oleh :
1. Nanda Bahrul Li Ummah ( 2311203036 )
2. Mohamad Adam Ashadi ( 2311203033 )
3. Faizal Amin Al-Aziz ( 2311203008 )
4. Chaira Dzikriyatul Halwa ( 2311203028 )
5. Annisa Yasmin Holis ( 2311203029)
6. Husnul Khatimah ( 2311203007)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

‫ سيد نا و‬. ‫احلمد اﷲ رب العاملني الصالة و السال م على اشرف األ نبياء و املر سلني‬
‫ قالوا‬.‫موالنا حممد و على أله وأصحابه و قرابته و من تبعهم با حسان اىل يوم الدين‬
‫ رب زدنا علما نافعا وارقنا‬.‫سبحانك ال علم لنا اال ما علمتنا انك انت العليم احلكيم‬
.‫فهما واسعا يا فتاح يا عليم‬
Puji Syukur Kami Panjatkan Ke Hadirat Allah SWT, Yang Atas Rahmat-Nya
Maka Kami Dapat Menyelesaikan Makalah Yang Berjudul “ Memahami
Sejarah Pembukuan Al-Qur’an”.
Shalawat Serta Salam Marilah Kita Curahkan Kepada Junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW Beserta Keluarga, Sahabat, Dan Para Pengikutnya.
Semoga Kita Semua Mendapatkan Syafaatnya Di Hari Akhir Nanti.
Adapun Penulisan Makalah Ini Merupakan Salah Satu Tugas Yang
Diberikan Oleh Mata Kuliah Ulumul Qur’an Sekaligus Sebagai Bahan Pelajaran
Kepada Siapa Saja Yang Membacanya, Serta Terlebih Kepada Kami Yang
Membuatnya. Dalam Penulisan Makalah Ini Kami Merasa Masih Banyak
Kekurangan-Kekurangan, Baik Pada Teknik Penulisan Maupun Materi,
Mengingat Akan Kemampuan Yang Kami Miliki. Untuk Itu Kritik Dan Saran Dari
Semua Pihak Sangat Kami Harapkan Demi Kesempurnaan Pembuatan Makalah
Ini.

Dalam Penulisan Makalah Ini, Kami Menyampaikan Ucapan Terima Kasih


Yang Sebesar-Besarnya Kepada Pihak-Pihak Yang Membantu Dalam
Menyelesaikan Makalah Ini, Khususnya Kepada Bapak Dosen Husni Mubarak, S.
Pd. I., M. Ag. Selaku Dosen Mata Kuliah Ulumul Qur’an Yang Telah Memberikan
Tugas Dan Petunjuk Kepada Kami, Sehingga Kami Dapat Menyelesaikan Tugas

Samarinda, 19 September 2023

i
Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

A. Pengajaran Al-Qu’ran di Masa Nabi SAW......... ...........


B. Proses Pengumpulan Naskah Al-Qur’an.................. ...........................
C. Proses Penggandaan Mushaf Al-Qur’an.... .........................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah pedoman hidup umat Islam yang memuat prinsip-
prinsip dasar terkait ilmu pengetahuan dan peradaban, ini bukan berarti
bahwa al-Quran adalah buku ilmiah atau ensklopedi ilmu, tetapi ia lebih layak
disebut sebagai sumber yang memberikan motivasi dan inspirasi untuk
melahirkan ilmu pengetahuan dan peradaban dengan berbagai dimensi. Ia
adalah kalam ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. selama
sekitar 23 tahun. Masyarakat Arab, terutama yang bertempat di wilayah Hijaz,
adalah masyarakat yang pertama mendengar dan berinteraksi ( tatafâ ‘al)
dengan al-Quran via Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw. adalah
sang pendidik dan guru terbaik yang telah mampu dan sukses dalam mengajar
dan membentuk generasi terbaik umat Islam, generasi sahabat. Bisa
dibayangkan jika generasi sahabat tidak semangat dan aktif dalam menghafal
dan mempelajari al-Quran dan hadis dari Nabi Muhammad saw., apakah kita
dapat membaca dua sumber utama hukum Islam dan dasar serta pedoman
seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari?. ( We are often rich of teories,
but always poor of examples) artinya: kita sering kaya teori, tetapi selalu
miskin keteladanan . Di dalam al-Quran Surat Al Ahzab : 21, Allah berfirman
yang artinya: (sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu). Ini berarti bahwa pembacaan serta penelitian tentang sejarah,
biografi dan perilaku Nabi Muhammad saw., sebagai teladan terbaik
merupakan hal yang sangat penting dalam islamic studies.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengajaran Al-Qur’an Pada Masa Nabi SAW
2. Bagaimana Proses Pengumpulan Naskah Al-Qur’an
3. Bagaimana Proses Penggandaan Al-Qur’an
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pngajaran Al-Qur’an Pada Masa Nabi SAW
2. Untuk Mengetahui Proses Pengumpulan Naskah Al-Qur’an
3. Untuk Mengetahui Proses Penggandaan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengajaran Al-Qur’an di Masa Nabi SAW


Pengajaran Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW. Terbagi
menjadi dua periode yakni mekah dan madinah. Pada pembahasan ini akan
dimulai dari periode mekah lalu periode madinah.
1. Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an Periode Mekah
Mekkah adalah salah satu kota termasyhur dalam sejarah Islam
karena di kota inilah Rasullah terakhir diutus kepada umat manusia,
yakni Nabi Muhammad, dilahirkan pada tahun 570 M. Makkah
merupakan sebuah kota yang terletak di area pegunungan yang panas,
tidak ramah dan terjal. Di sana ditemukan sebuah perkampungan yang
terdiri atas rumah-rumah kumuh dan becek. Ia menjadi sasaran banjir
bandang yang disebabkan oleh hujan lebat yang turun di kota tersebut.
Berdasarkan nama tempat ini, dikenal sebuah istilah bagi periodesasi
dakwah Nabi yang pertama, yakni periode Makkah (al -fatrah
almakkiyyah). Periode ini merujuk kepada aktifitas Nabi Muhammad
selama masih berada di Makkah (pra-hijrah) hingga beliau melaksanakan
hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Periode ini merupakan masa
pembinaan dan pemantapan ke dalam serta penyusunan kekuatan
dakwah.
Oleh karena itu, materi-materi dakwah pada periode ini lebih
menitikberatkan kepada masalah aqidah dan keimanan. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa ayat-ayat al-Quran yang diturunkan pada
periode ini umumnya berkaitan dengan masalah tersebut Sebelum
menerima wahyu pertama, dengan hikmah dan rahmat dari Allah SWT.,
Nabi Muhammad sudah melakukan semacam pemanasan atau persiapan.
Hal tersebut terejawantahkan dalam tahap (tahannuts) yang beliau
lakukan di gua Hira yang berlangsung selama beberapa hari bahkan
minggu
. Jika dihubungkan dengan proses tahfiz al-Quran, hal tersebut
merupakan salah satu langkah ( khathwah) yang penting di dalamnya
yakni at-tahyi’ah an-nafsiyyah (persiapan mentalitas atau personalitas)
dan ‘amaliyyah at-taskhîn wa at-tahmiyah (proses pemanasan) seperti
dalam olah raga, merupakan proses yang penting yang harus dilakukan
oleh seseorang ketika ingin menghafalkan al-Quran.
Proses tahfiz al-Quran yang paling awal dalam sejarah adalah ketika
wahyu pertama turun kepada Nabi di gua Hira kemudian beliau turun
dari gunung Nur dan membacakan wahyu pertama dari hafalannya
kepada siti Khadijah ra. Hal ini bisa dipahami dari sebuah hadis Nabi
mengenai permulaan wahyu ( bad’ al-wahy). Semua wahyu al-Quran
diturunkan melalui Malaikat Jibril dan ini yang disebut dengan al-wahy
aljaly. Dengan kata lain, al-Quran tidak diturunkan kepada Nabi melalui
ilham, dalam tidur (mimpi) atau berbicara secara langsung dengan Allah
tanpa perantara (wâsithah).
Ada dua pendapat mengenai tanggal penurunan wahyu pertama,
yaitu pertama, alQuran diturunkan pada tanggal 17 Ramadan ketika Nabi
berusia 41 tahun. Pendapat ini diikuti oleh Muhammad al-Khudari dan
az-Zarqani dengan beberapa catatan. Kedua, ia diturunkan pada tanggal
24 Ramadan ketika Nabi berumur 40 tahun pendapat ini diikuti oleh Ali
Mustafa Yaqub. Mulai saat itu, tiap kali al-Quran diturunkan kepada Nabi
Muhammad, beliau menerimanya, menghafalnya dan membacakannya
kepada sahabat laki-laki dan perempuan. Nabi diperintahkan untuk
membacakan dan menyampaikan al-Quran kepada umatnya dengan pelan
(tartîl) hingga memudahkan mereka untuk mendengar bacaan dan
menghafalnya.
Sesudah para sahabat menghafal ayat-ayat al-Quran, maka mereka
akan menyebarkan apa yang dihafal kepada anak-anak dan orang lain
yang tidak menyaksikan ketika ayat-ayat tersebut turun kepada Nabi,
dengan cara ini tidak ada satu atau dua hari lewat kecuali wahyu al-
Quran sudah dihafal dalam dada sekian sahabat.
Para sahabat as-sâbiqun ila al-islam adalah orang-orang pertama
yang mendengar dan mempelajari al-Quran dari Nabi, seperti istrinya
Khadijah, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abu Bakr ra. Pada
mulanya dakwah Islam disampaikan secara sembunyi-sembunyi melalui
dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Nabi menggunakan metode ini
untuk berdakwah kepada keluarga sendiri yang berada satu rumah
dengannya, kemudian terhadap tetangganya dan kenalan-kenalan
akrabnya dengan pendekatan personal Karena jumlah orang-orang yang
memeluk Islam sudah mencapai sekitar dualima orang, Nabi menambah
metode dakwah baru penyebaran Islam dengan menyelenggarakan
pengajaran klasik secara tetap di rumah kediaman sahabat Al-Arqam bin
Abi Al-Arqam. Adapun materi yang disampaikan di tempat itu
difokuskan pada masalah keimanan, akhlak dan latihan menghafal ayat-
ayat al-Quran yang telah diwahyukan. Rumah itu tak jauh dari Ka‘bah. Ia
terletak di selatan bukit Shafa.
Menurut Ali Mustafa Yaqub , ada dua faktor yang menjadikan Nabi
Muhammad memilih tempat ini, pertama, tempat ini dekat dengan
Ka‘bah, sehingga memudahkan para sahabat untuk beribadah di al-
Masjid al-Harâm . Kedua, karena faktor keamanaan barangkali menjadi
pertimbangan Nabi dari pada seandainya beliau mengajar di rumah beliau
sendiri. Kaum Quraisy pun tidak curiga terhadap adanya aktifitas
pembelajaran yang dilakkan Nabi di tempat itu. Hal ini disebabkan,
pertama, keislaman Al-Arqam masih dirahasiakan; kedua, pihak kafir
Quraisy tidak menyangka bahwa AlArqam yang kaya dan berasal dari
keturunan Bani Makhzum, salah satu kabilah yang termasuk kelompok
kaum elit, juga telah menjadi pengikut Nabi Muhammad.
Di antara sahabat yang mengajarkan hafalan dan bacaan al-Quran di
Makkah selain Rasulullah adalah sahabat Khabbab bin al-Artt. Ia
mendatangi muridnya dari rumah ke rumah, sehingga dapat juga
dikatakan dia salah satu guru privat al-Quran di periode Makkah. Dia
memeluk Islam sebelum adanya pengajian di rumah Al-Arqam. Para
sahabat yang menjadi muridnya antara lain adalah ‘Abd Allah bin
Mas‘ud, Sa‘id bin Zaid dan Fathimah bint al-Khattab.
Dalam salah satu riwayat mengenai qishah Islam ‘Umar diceritakan
bahwa ketika ‘Umar bin Khathab diberi tahu bahwa adiknya yang
bernama Fathimah dan suaminya yang bernama Sa‘id bin Zaid telah
masuk Islam, ‘Umar langsung mendatangi rumah mereka. Sebelum
‘Umar masuk rumah mereka, beliau dengar suara Khabbab bin al-Artt
sedang membaca alQuran dari sebuah shah îfah (lembaran) bersama
Fathimah dan suaminya, ketika Khabbab merasa bahwa ‘Umar akan
masuk rumah beliau langsung bersembunyi di salah satu ruangan rumah
tersebut, ‘Umar masuk dan bertengkar dengan Sa‘id dan Fathimah
hingga melukai kepalanya, kemudian ‘Umar meminta untuk melihat
shahîfah yang tadi dia baca, akhirnya ‘Umar masuk Islam karena
tersentuh hatinya dengan keindahan ayat-ayat al-Quran.
Bacaan al-Quran telah menjadi kunci atau hal yang wajib yang
dilakukan Nabi tiap saat, khususnya untuk aktivitas dakwah. Banyak
sahabat yang masuk Islam karena mendengar bacaan al-Quran. Bahkan
kaum kafir Quraisy yang tidak masuk Islam, dalam beberapa
kesempatan, mereka mendengarkan al-Quran dari Nabi dengan
bersembunyi. Yang pasti bahwa Nabi membacanya dari hafalan beliau,
karena Nabi tidak atau belum bisa membaca dan menulis.
Sebagian sahabat membangun tempat khusus untuk beribadah dan
membaca al-Quran, seperti sahabat Abu Bakr yang membangun sebuah
musholla kecil dekat rumahnya untuk sholat dan tadarus al-Quran, dan
beliau juga adalah orang yang lembut hatinya (raqîq al-qalb) hingga
menangis ketika membaca al-Quran. Pada bai ‘ah al- ‘aqabah yang
pertama, ada dua belas orang dari Madinah yang melakukan bai ‘ah (janji
setia) dengan Nabi, ketika mereka akan pulang ke Madinah, Nabi
mengutus Mush‘ab bin ‘Umair untuk mengajar mereka al-Quran dan
ajaran Islam.
Demikian dapat dikatakan bahwa Mush‘ab adalah duta pertama
Rasulullah atau konsel pendidikan pertama . Rasulullah juga mengutus
Ibn Umm Maktum ke Madinah untuk mengajar al-Quran. Di antara hasil
kegiatan pendidikan dan dakwah Nabi dan sahabat adalah sebelum Nabi
berhijrah ke Madinah, al-Quran telah tersebar dan dihafal oleh beberapa
kabilah yang berasal dari luar kota Makkah, Zaid bin Tsabit yang berusia
sebelas tahun sudah menghafalkan tujuh belas surah dari al-Quran, al-
Barra’ yang sudah mengenal surah sabbih isma rabbika al-a ‘la (al-A‘la)
dan beberapa surah al-mufassal (dari surah Qaf hingga akhir seluruh al-
Quran) sebelum Nabi sampai ke Madinah dan Rafi‘ bin Malik al-Ansari
yang termasuk orang pertama yang membawa surat Yusuf ke Madinah,
bahkan dalam riwayat lain dijelaskan bahwa beliau mengambil dari Nabi
apa yang telah turun kepadanya selama sepuluh tahun, kemudian Rafi ‘
bin Malik mengkumpulkan keluarganya di Madinah dan membacakanya
kepada mereka Sahabat sangat jujur dan teliti dalam hal pembacaan atau
pengajaran ayat-ayat al-Quran, hal ini dapat ditemukan pada kisah Ibnu
Mas‘ud. Suatu ketika ada kelompok sahabat yang bertanya tentang surat
asySyu‘ara’, Ibnu Mas‘ud menjawab “surat itu tidak bersama saya (tidak
menghafalnya), akan tetapi kalian harus mempelajarinya dari orang yang
mengambilnya dari Rasulullah yaitu Abi ‘Abd Allah Khabbab bin al-Artt
Dari riwayat tersebut kita bisa mendapat gambaran tentang sistem
transmisi dan pembelajaran al-Quran, di mana Nabi dan para sahabat
yang dijadikan sebagai rujukan atau sumber utama al-Quran bukan
catatan atau tulisan. Ada kemungkinan bahwa ayat-ayat yang turun pra-
hijrah lebih banyak dijaga dengan hafalan dalam ingatan dibandingkan
dalam catatan, karena kondisi muslimin yang tidak aman, sering
menghadapi banyak tantangan dan problem hingga mereka terpaksa
untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dua kali, ke Habasyah dan
ke Madinah, walaupun ada beberapa riwayat yang membuktikan bahwa
kegiatan kitabah al-Qur’an sudah dimulai di Makkah, seperti yang
disebutkan dalam riwayat mengenai ‘Umar masuk Islam. Orang pertama
yang menulis untuk Nabi dari Quraisy adalah ‘Abd Allah bin Sa‘d bin
Abi as-Sarh , nama lain penulis wahyu periode Makkah adalah Khalid
bin Sa‘id bin al-‘Ash (al-A’zami, 2005 : 72).
Fakta sejarah bahwa jumlah surat-surat makkiyyah lebih banyak dari
surat-surat madaniyyah memberi isyarat atau menunjukan bahwa sejak
periode Makkah sudah banyak sahabat yang memfokuskan kegiatan
belajarnya atau aktivitas sehari-harinya untuk mempelajari dan
menghafalkan ayat-ayat al-Quran, mungkin dari peserta didik di Dar
alArqam atau sahabat-sahabat lain karena pembacaan dan pengajaran
alQuran termasuk inti kegiatan dakwah Nabi Muhammad. Dikarenakan
Nabi dan sahabatnya mengh adapi banyak cobaan di Makkah, akhirnya
Allah SWT mengizinkan Rasul-Nya untuk melakukan hijrah ke Yatsrib
(Madinah), Nabi berhijrah bersama sahabat di Masa Eabi Muhammad
SAW Nabi tiba di Madinah pada tanggal dua belas Rabi‘ al-Awwal 622
M.

2. Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an Periode Madinah.


Madinah pada masa pra-Islam disebut Yatsrib. Setelah hijrah
kota ini menjadi rumah Nabi Muhammad. Madinah merupakan sebuah
oasis berjarak 440 km. dari utara Makkah, ia semula adalah permukiman
petani dengan hutan-hutan palem serta tanah pertanian yang tersebar
luas. Penghuninya antara lain adalah orang Arab dan Yahudi.
Dengan bermukimnya Nabi di sana, Yatsrib disebut dengan
julukan kota Nabi (madinah an-Nabi) atau singkatnya Madinah Periode
Madinah (pasca-hijrah) merupakan periode pembentukan masyarakat
Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan ajaran-ajaran dan sistem
Islam, walaupun di antara warganya terdapat orang-orang yang bukan
Muslim.
Meskipun antara periode Makkah dan Madinah merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, namun suatu hal yang perlu
dicatat di sini adalah bahwa periode Madinah yang masanya lebih pendek
dari pada periode Makkah itu memberikan hasil yang lebih gemilang
dibandingkan dengan periode Makkah Ketika Nabi pindah ke Madinah,
aktifitas pertama kali yang dilakukannya adalah membangun masjid.
Tanah masjid Nabi pada asalnya merupakan sebuah marbad
(tempat untuk mengeringkan kurma) milik dua anak yatim dari Bani
Najjar yang bernama Sahl dan Suhail. Nabi membeli tanah ini dari
mereka untuk membangun masjid dan rumah-rumahnya Pada masa
selanjutnya, masjid ini menjadi pusat pendidikan. Madinah pada masa
pra-Islam disebut Yatsrib. Setelah hijrah kota ini menjadi rumah Nabi
Muhammad. Madinah merupakan sebuah oasis berjarak 440 km. dari
utara Makkah, ia semula adalah permukiman petani dengan hutan-hutan
palem serta tanah pertanian yang tersebar luas. Penghuninya antara lain
adalah orang Arab dan Yahudi. Dengan bermukimnya Nabi di sana,
Yatsrib disebut dengan julukan kota Nabi (madinah an-Nabi) atau
singkatnya Madinah).
Periode Madinah (pasca-hijrah) merupakan periode
pembentukan masyarakat Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan
ajaran-ajaran dan sistem Islam, walaupun di antara warganya terdapat
orang-orang yang bukan Muslim. Meskipun antara periode Makkah
dan Madinah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan, namun suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa
periode Madinah yang masanya lebih pendek dari pada periode
Makkah itu memberikan hasil yang lebih gemilang dibandingkan
dengan periode Makkah Ketika Nabi pindah ke Madinah, aktifitas
pertama kali yang dilakukannya adalah membangun masjid.
Tanah masjid Nabi pada asalnya merupakan sebuah marbad
(tempat untuk mengeringkan kurma) milik dua anak yatim dari Bani
Najjar yang bernama Sahl dan Suhail. Nabi membeli tanah ini dari
mereka untuk membangun masjid dan rumah-rumahnya). Pada masa

selanjutnya, masjid ini menjadi pusat pendidikan.


Pembelajaran al-Quran di Madinah masih didominasi oleh
metode oral (musyafahah), karena masyarakat Madinah yang
menguasai bacatulis sangat sedikit bahkan lebih sedikit dari masyarakat
Makkah. Di antara mereka yang bisa menulis ketika Nabi hijrah adalah
Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, Sa‘d bin ‘Ubadah, Rafi‘ bin Malik.
Orang pertama yang menulis untuk Nabi di Madinah adalah Ubay,
ketika Ubay tidak ada atau berhalangan maka Nabi mengundang Zaid.
Selain itu, karena Nabi sendiri tidak bisa menulis dan sahabat
yang mampu menulis pada masa awal Islam hanya berjumlah sedikit,
maka Nabi pun memanfaatkan semua potensi baca-tulis yang mereka
miliki untuk mencatat al-Quran dan hal-hal lain seperti penulisan surat-
surat kepada para raja, dan berbagai perjanjian dan urusan. Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa para sahabat sangat serius,
teliti dan hati-hati dalam menghafalkan al-Quran hingga adanya
tambahan satu huruf menjadi persoalan yang sangat diperhatikan.
Hal tersebut dapat dilihat juga dalam riwayat mengenai
perbedaan ‘Umar dan Zaid dalam bacaan QS. At-Taubah:100 di mana
pada akhirnya mereka bertanya kepada Ubay dan mengikuti bacaannya.
Dalam pembelajaran al-Quran, para sahabat mengacu kepada talaqqi
dan pendengaran dari Nabi atau dari sahabat yang menerima dari Nabi.
Mereka tidak mengacu kepada shahifah-shahifah karena hal itu akan
menghilangkan atau melewatkan hal yang penting dalam bacaan al-
Quran secara benar yaitu tajwid wa al-ada’ atau hal-hal yang berkaitan
dengan cara bacaan.
Misalkan cara membaca idgham, imalah dan isymam itu tidak
bisa dipelajari dari tulisan saja. Musyafah atau at-talqin asy-syafahi
adalah salah satu bentuk transmisi sebuah ilmu yang diakui oleh ulama
Muslim khususnya pada al-Quran. Fungsi shahifah-shahifah yang ada
pada masa itu adalah sarana untuk belajar al-Quran atau sebagai koleksi
pribadi khususnya bagi sahabat yang khawatir lupa ayat-ayat al-Quran.
Oleh karena itu, sebelum Nabi melakukan hijrah ke Madinah, beliau
mengutus Mush‘ab bin ‘Umair dan Ibn Umm Maktum untuk mengajar
al-Quran di Madinah. Pada hari Fath Makkah pun, Nabi menyuruh
Mu‘adz bin Jabal agar tetap di Makkah untuk mengajar al-Quran dan
ajaran Islam.
Pada masa ‘Utsman bin ‘Affan pun ketika beliau mengirimkan
mushaf-mushaf ke kota-kota besar, ia disertai dengan seorang guru
yang mengajarkan bacaan-bacaan sesuai dengan tulisan mushaf
tersebut. Perhatian Nabi dan para sahabat pada attalqin asy-syafahi
mempunyai maksud yaitu menjaga kemurnian al-Quran dengan
membacanya secara benar tanpa ada tambahan atau kekurangan serta
menghindari at-tashif (kesalahan dalam membaca atau ucapan). Di
dalam masyarakat yang mempunyai budaya lisan, penyakit lupa adalah
hal yang wajar, lawan dari lupa ( nisyan) adalah ingat (dzikr).
Seseorang biasanya ingat sesudah dia lupa dan sebaliknya, dan karena
Quran pada dasarnya merupakan kalam syafahi maka ia akan
mengalami dua hal tersebut. al-Quran sering menggabungkan antara
dua lafal tersebut, misalnya QS. al-Ma’idah [5]: 13, al-An‘am [6]: 44.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Muhammad
pernah lupa beberapa ayat alQuran dan diingatkan oleh salah satu
sahabat yang sedang baca al-Quran dalam masjid. Ibn Hajar
menjelaskan bahwa sifat lupa yang dimiliki Nabi terkait dengan al-
Quran dibagi dua macam, pertama, sifat lupa Nabi yang kemudian
hilang (ingat lagi) pada waktu dekat, hal ini termasuk sesuatu yang
manusiawi, Nabi pernah bersabda dalam sebuah hadis tentang sahwu
“sesungguhnya saya seorang manusia seperti kalian dan lupa seperti
kalian juga lupa”; kedua, Allah yang menghilangkan ayat al-Quran jika
Allah menghendaki untuk me-naskh bacaan sebuah ayat, dan kategori
yang kedua ini adalah yang dimaksud oleh firman Allah
. Para sahabat juga kadang-kadang lupa beberapa ayat al-
Quran. ‘Ali bin AAbi Thalib pernah mendatangi Nabi mengadu bahwa
hafalan beliau agak lemah dan sering lupa ayat-ayat al-Quran,
kemudian Nabi memberi resep spesial agar tidak gampang lupa yaitu
salat dan doa al-hifzh. Malaikat Jibril tiap tahun pada bulan Ramadan
bertadarus bersama Nabi Muhammad untuk melihat bentuk dan
perkembangan teks alQuran, karena al-Quran turun secara berangsur-
angsur (munajjaman). Mu ‘aradhah atau muraja’ah pada bulan
Ramadan terakhir sebelum Nabi wafat dilakukan dua kali. Hal ini Nabi
mengartikannya sebagai tanda dekatnya ajal beliau. Fatimah, putri
Nabi, adalah orang yang diberitahu rahasia berita ini oleh Nabi.
Hasil pendidikan Nabi kepada para sahabat membuahkan
banyak sahabat yang tercatat namanya dalam sejarah sebagai penghafal
dan guru al-Quran, atau dengan istilah awalnya qurra’. Para qari’ ini
adalah orang yang akan meneruskan perjalanan pendidikan pengajaran
al-Quran pada generasi selanjutnya. Dengan demikian, al-Quran tetap
dihafal, diambil dan dipelajari secara langsung dari mulut para qari’ dan
guru. Dari Allah ke Malaikat Jibril ke Nabi Muhammad, dari Nabi ke
Sahabat, dari Sahabat ke Sahabat lain dan Tabi‘in dan seterusnya
sampai kepada kita dengan sanad yang bersambung kepada Nabi
Muhammad. Apa yang dilakukan oleh Nabi semuanya adalah dalam
rangka memperbaiki dan meningkatkan pola serta kualitas pendidikan
dan pengetahuan sahabat yang mayoritas dari mereka belum dapat
membaca dan menulis.
Sistem budaya pendidikan yang diciptakan oleh Nabi sangat
memotivasi sahabat dalam hal belajar, Nabi tidak sekedar berusaha
dengan ucapan (baca: hadis) akan tetapi juga dengan tindakan dan
action. Sebagai contoh, untuk mendekatkan al-Quran kepada
masyarakat, Nabi menjadikan hafalan beberapa surat al-Quran sebagai
mahar (mas kawin) nikah. Mendahulukan proses pemakaman seorang
yang mati syahid yang hafalnya lebih banyak. Seorang qari’ adalah
orang yang berhak menjadi imam sholat. Memberi panji perang kepada
sahabat yang hafalnya paling banyak, dan masih banyak sekali riwayat-
riwayat lain tentang penghargaan Nabi terhadap qurra’ sahabat.
Budaya ini membuat sahabat semangat mempelajari dan
menghafal al-Quran, dan ini akan berlanjut ke masa Khulafa’ ar-
Rasyidin, khususnya masa ‘Umar bin al-Khattab. Budaya taqdir al- ‘ilm
wa ahlih bisa menjadi faktor penting dalam kemajuan dan
perkembangan ilmu dalam sebuah masyarakat atau negara1

B. Proses Pengumpulan Naskah Al-Qur’an


1. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Rasulullah SAW
1
Abdul Jalil, Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an di Masa Nabi Muhammad SAW, Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan 18 (1), 1-17,2013
Sejak awal pewahyuan Al-Qur‟an hingga menjadi sebuah mushaf,
telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai
ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk
menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus
dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara
yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan
menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga
menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi.
Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya
pemeliharaan Al-Qur‟an adalah mencatat atau menuliskannya dengan
persetujuan Nabi.2Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan
para sahabatnya.
Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah
memungkinkan terpeliharanya alQuran dalam cara semacam itu. Jadi,
setelah menerima suatu wahyu, Nabi Lalu menyampaikannya kepada
para pengikutnya, yang kemudian menghafalkannya. Sejumlah hadits
menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan
wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satu di antaranya adalah
yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan bahwa Rasulullah pernah
bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari
al-Quran dan kemudian mengajarkannya.3
Semasa hidup Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang
dijuluki sebagai Qari yaitu seorang yang menghafal alQuran, adapun para
Qari pada masa Nabi Muhammad adalah sebagai berikut : Keempat
Khulafa‟ur Rasyidin, Tholhah, Said, Ibn Mas‟ud, Hudaifa, Abu
Hurairah, Ibn „Umar, Ibn Abbas, Amr bin Ash, Abdullah bin Amr bin
Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibn Jabir, Abdullah bin Sa’ib, Aisyah,
Hafshah, Ummu Salamah.5
Sedangkan untuk penulisan wahyu yang turun, dikenal beberapa
sahabat yang bertugas untuk menuliskan wahyu yang turun atas perintah
2

3
Rasulullah sendiri. Para penulis wahyu tersebut kemudian mendapat
julukan sebagai Kutabul Wahyu. Adapun para penulis wahyu pada masa
nabi muhammad yaitu Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Sabit,
Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid dan Tsabit bin Qays.6 Namun
karena keterbatasan media tulis yang digunakan pada waktu itu sehingga
para sahabat menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai media
tulis dalam menuliskan wahyu.
Beberapa media tulis yang digunakan para sahabat untuk
menuliskan wahyu sebegaimana yang disampaikan oleh az-Zarqany
adalah : lembaran lontar atau perkamen (Riqa), batu tulis berwarna putih
(Likhaf), pelapah kurma (Asib), tulang belikat(Aktaf), tulang rusuk
(Adlla’), lembaran kulit (Adim).7 Namun yang menjadi catatan dari
pengumpulan alQur‟an pada masa Rasulullah adalah walupun telah ada
penulisan pada masa Rasulullah atas perintah beliau sendiri, hanya saja
pada saat itu al-Qur‟an yang dituli masih berupa lembaran yang tercecer
dan belum disatukan. Mengenai hal tersebut, az-Zarqany secara khusus
menjelaskan alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu :8 1. Keterbatasan
Media untuk membukukan al-Qur’an pada masa Rasulullah, tidak seperti
pada masa Abu Bakar bahkan Utsman yang cenderung lebih mudah
menemukan bahan baku pembukuannya. 2.
Pada saat itu para Qari masih sangat banyak, dan Islam belum
menyebar seperti pada masa Abu Bakar maupun Ustman. 3. Singkatnya
jarak antara berhentinya wahyu dan wafatnya Nabi. 4. Ayat-Ayat al-
Qur‟an yang turun terkadang untuk menghapus keberlakuan ayat
sebelumnya. 5. Al-Qur‟an tidak turun sekaligus, melainkan dengan jalan
sedikit demi sedikit (Munajaman) selama rentang duapuluh tahun atau
lebih. 6. Urutan ayat turun kepada Nabi berdasarkan Asbabun Nuzul,
sedangkan urutan ayat dalam al-Qur‟an tidak disusun berdasakan hal
tersebut.

2. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Ketika Rasulullah telah


Wafat
Al-Qur‟an memang telah terkumpul di dada para sahabat berupa
hafalan serta telah dituliskan dalam lembaran-lembaran. Namun al-
Qur‟an yang ditulis para sahabat tersebut masih berupa lembaran-
lembaran yang tercecer ditangan para sahabat atau dengan kata lain
alQur‟an pada saat itu masih belum sepenuhnya terbukukan. Sehingga
ketia terjadi perang Yamamah yang terjadi setahun setelah wafatnya Nabi
yang menewaskan 70 Qari‟ menimbulkan kegelisahan dihati „Umar bin
Khattab hingga kemudian mendesak Abu Bakar untuk segera
membukukanal-Qur‟an mengingat para Qari‟ telah banyak yang
meninggal sedangkan al-Qur‟an yang tertulis masih berupa
lembaranlembaran yang tercecer.
Atas desakan „Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan
untuk memerintahkan pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya
beliau menolaknya dengan alasan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan
yang dilakukan oleh Nabi, namun „Umar meyakinkannya dengan alasan
bahwa pembukuan tersebut adalah hal yang baik dan sangat penting.
Setelah Abu Bakar merasa yakin dengan keputusannya tersebut, maka
diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mulai mengumpulkan al-Qur‟an.10
Pemilihan Zaid sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan
al-Qur‟an menurut beberapa Ahli Ilmu Qur‟an didasarkan oleh beberapa
alasan diantaranya adalah Zaid adalah seorang yang cerdas, masih muda,
dan tidak memiliki sifat tercela, selain itu peranannya sebagai penulis
wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan yang mendsari pemilihannya.11
Dalam mengumpulkan al-Qur‟an Zaid menggunakan metode yang
sangat teliti berdasarkan arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan
„Umar. Selama pengumpulan tersebut, Zaid tidak serta-merta
mengandalkan hafalan yang dimilikinya, tidak juga dengan apa yang
telah ditulisnya maupun yang telah didengarkannya. Dalam pengumpulan
tersebut, zaid menggunakan dua rujukan utama, yaitu12: 1. Berdasarkan
ayat yang telah ditulis dihadapan Rasulullah dan telah disaksikan
langsung oleh beliau. 2.
Ayat yang dihafal dan ditulis dalam lembaran dengan menyertakan
dua saksi yang adil yang menyaksikan bahwa ayat tersebut telah benar-
benar ditulis dihadapan Rasulullah. Adapun yang dimaksud dimaksud
dengan disaksikan oleh dua orang adalah, bahwa hal itu merupakan
sesuatu yang ditulis sebagaimana bentuk yang dengannya al-Qur‟an telah
diturunkan, atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan
Rasulullah saw.
Tujuan dari penyertaan syarat tersebut adalah agar al-Qur‟an
tersebut tidak ditulis dengan tulisan yang sama dengan yang ditulis di
depan Rasulullah saw. Karena itu, kesaksian tersebut bukan kesaksian
atas alQur‟an, karena hal itu tidak perlu diragukan. Mengingat jumlah
para penghafal dan pembacanya sangat banyak. Namun, kesaksian yang
dimaksud di sini adalah kesaksian atas tulisan yang ditulis di depan Nabi
saw. Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai dengan
sempurna sehingga terkumpul dalam lembaran yang diikat dengan
benang, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian riwayat. Inilah
peranan yang dimainkan oleh Zayd bin Tsâbit.
3. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Utsman bin ‘Affan
Pengumpulan al-Qur‟an pada masa Utsman bin „Affan punya
motif berbeda dengan pengumpulan al-Qur‟an dimasa Abu Bakar, Jika
motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur‟an karena khawatir akan
hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para
penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif Utsmân
adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai
ragam bacaan.
Pada masa Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum
Muslimin telah hidup berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah
telah terkenal Qira’at sahabat yangmengajarkan al-Qur‟an kepada
penduduk setempat.
Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay bin Kaab, penduduk
Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas‟ud, penduduk di wilayah
lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak jarang terjadi
pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut sahabat-
sahabat tersebut, hingga kemudian pertentangan tersebut memuncak
menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.13 Kondisi semacam
ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah
mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau
melaporkannya kepada Khalifah Utsman agas segera ditindak lanjuti.
Setelah mendapatkan laporan tersebut Utsman segerah mengirim surat
kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk memberikan al-Qur‟an
yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk kemudian diperbanyak dan
disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk membukukan al-Qur‟an
tersebut Ustman mengutus empat orang sahabat untuk membukukan al-
Qur‟an, dari keempat orang tersebut tiga diantaranya adalah muhajirin
dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang tersebut adalah :
Zaid bin Tsabit, Abdullâh bin Zubayr, Sa‟id bin al-Ash, Abdurrahmân
bin al-Harits bin Hisyam.14
Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut
berpegang pada arahan dari Utsman, yaitu
1. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin
Tsabit sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam penulisan al-
Qur‟an.
2. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan
urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena al-
Qur‟an diturunkan dengan dialek Quraisy.
3. Dan al-Qur‟an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara
para panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa alQur‟an yang telah
dibukukan tersebut sebagai al-Qur‟an sebagaimana yang diturunkan
kepada Rasulullah.
Usaha yang dilakukan oleh Ustman tersebut mendapatkan apresiasi
yang sangat dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha tersebut
mendapat pengakuan darikalangan sahabat dan mereka meyakini bahwa
al-Qur‟an yang dikumpulkan oleh Utsman tersebut telah sesuai dan sama
persis dengan al-Qur‟an yang ada pada masa Nabi Muhammad. Baik dari
segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan Surat (Tartibus suwar),
maupun Qira‟atnya. Mushaf Utsman yang telah mendapatkan pengakuan
dari para sahabat tersebut kemudian disebarkan dan menjadi pegangan
dalam penulisan al-Qur‟an hingga saat ini yang dikenal dengan Mushaf
atau Rasm Ustmany.4

C. Proses Penggandaan Mushaf Al-Qur’an

D. Pada masa Khalifah


Utsman bin Afan wilayah
islam sudah semakin luas
banyak orang
E. non-arab memeluk
agama islam.Terjadi
interaksi dan asimilasi
antara orang-orang
Arab

4
F. dengan orang-orang
Ajam.Mereka yang
telah memeluk islam
ingin mempelajari al-
G. qur’an,sebagai
sumber utama ajaran
agama islam.Padahal al-
qur’an pada masa itu
dibaca dan
H. ditulis dalam berbagai
bentuk bacaan dan
tulisan dimana masing-
masing pembaca
mengkalim
I. bahwa bacaan dan
model penulisannya
benar.Untuk menghindari
sengketa ini,yang sudah
J. mengarah pada
perpecahan maka
Ustman sebagai
khalifah pada masa
itu mengambil
K. kebijakan dengan
mengkodifikasi kembali
al-qur’an.Kodifikasi
kali ini diusulkan
oleh
L. Khuzaifah
berdasarkan peristiwa
pertentangan antara
pendududk Syam dan
Irak mengenai
M. qira’ah ketika
menaklukkan Armenia
dan Azerbajian.Dia
berkata kepada
Utsman
N. “Perbaikilah umat
ini sebelum mereka
bersengketa (mengenai
kitab suci) seperti
O. persengketaan
Nasrani dan
Yahudi”.Maka Utsman
meminta Hafsah
mengirim kepadanya
P. naskah Al-Qur’an
(yang ditulis pada
masa Abu
BAkar).Setelah ditulis
naskah itu
Q. ddikembalikan lagi
kepada Hafsah.Dengan
menyatukan tbentuk
tulisannya berdasarkan
Al-
R. Qur’an yang ditulis
pada masa Abu
Bakar,Utsman
membentuk tim
penulisan dan
S. memerintahkan
mereka agar Al-
Qur’an ditulis pada
satu mushaf dan
selainnya harus
T. dimusnahkan.Pekerja
an ini melahirkan suatu
ilmu yang dikenal
dengan ilmu rasm al-
qur’an
U. Pada masa Khalifah
Utsman bin Afan wilayah
islam sudah semakin luas
banyak orang
V. non-arab memeluk
agama islam.Terjadi
interaksi dan asimilasi
antara orang-orang
Arab
W. dengan orang-orang
Ajam.Mereka yang
telah memeluk islam
ingin mempelajari al-
X. qur’an,sebagai
sumber utama ajaran
agama islam.Padahal al-
qur’an pada masa itu
dibaca dan
Y. ditulis dalam berbagai
bentuk bacaan dan
tulisan dimana masing-
masing pembaca
mengkalim
Z. bahwa bacaan dan
model penulisannya
benar.Untuk menghindari
sengketa ini,yang sudah
AA. mengarah pada
perpecahan maka
Ustman sebagai
khalifah pada masa
itu mengambil
BB. kebijakan dengan
mengkodifikasi kembali
al-qur’an.Kodifikasi
kali ini diusulkan
oleh
CC. Khuzaifah
berdasarkan peristiwa
pertentangan antara
pendududk Syam dan
Irak mengenai
DD. qira’ah ketika
menaklukkan Armenia
dan Azerbajian.Dia
berkata kepada
Utsman
EE. “Perbaikilah umat
ini sebelum mereka
bersengketa (mengenai
kitab suci) seperti
FF. persengketaan
Nasrani dan
Yahudi”.Maka Utsman
meminta Hafsah
mengirim kepadanya
GG. naskah Al-Qur’an
(yang ditulis pada
masa Abu
BAkar).Setelah ditulis
naskah itu
HH. ddikembalikan lagi
kepada Hafsah.Dengan
menyatukan tbentuk
tulisannya berdasarkan
Al-
II. Qur’an yang ditulis
pada masa Abu
Bakar,Utsman
membentuk tim
penulisan dan
JJ. memerintahkan
mereka agar Al-
Qur’an ditulis pada
satu mushaf dan
selainnya harus
KK. dimusnahkan.Pekerja
an ini melahirkan suatu
ilmu yang dikenal
dengan ilmu rasm al-
qur’an
LL. Pada masa Khalifah
Utsman bin Afan wilayah
islam sudah semakin luas
banyak orang
MM. non-arab
memeluk agama
islam.Terjadi interaksi
dan asimilasi antara
orang-orang Arab
NN. dengan orang-orang
Ajam.Mereka yang
telah memeluk islam
ingin mempelajari al-
OO. qur’an,sebagai
sumber utama ajaran
agama islam.Padahal al-
qur’an pada masa itu
dibaca dan
PP. ditulis dalam berbagai
bentuk bacaan dan
tulisan dimana masing-
masing pembaca
mengkalim
QQ. bahwa bacaan dan
model penulisannya
benar.Untuk menghindari
sengketa ini,yang sudah
RR. mengarah pada
perpecahan maka
Ustman sebagai
khalifah pada masa
itu mengambil
SS. kebijakan dengan
mengkodifikasi kembali
al-qur’an.Kodifikasi
kali ini diusulkan
oleh
TT. Khuzaifah
berdasarkan peristiwa
pertentangan antara
pendududk Syam dan
Irak mengenai
UU. qira’ah ketika
menaklukkan Armenia
dan Azerbajian.Dia
berkata kepada
Utsman
VV. “Perbaikilah umat
ini sebelum mereka
bersengketa (mengenai
kitab suci) seperti
WW. persengketaan
Nasrani dan
Yahudi”.Maka Utsman
meminta Hafsah
mengirim kepadanya
XX. naskah Al-Qur’an
(yang ditulis pada
masa Abu
BAkar).Setelah ditulis
naskah itu
YY. ddikembalikan lagi
kepada Hafsah.Dengan
menyatukan tbentuk
tulisannya berdasarkan
Al-
ZZ. Qur’an yang ditulis
pada masa Abu
Bakar,Utsman
membentuk tim
penulisan dan
AAA. memerintahkan
mereka agar Al-
Qur’an ditulis pada
satu mushaf dan
selainnya harus
BBB. dimusnahkan.Peker
jaan ini melahirkan suatu
ilmu yang dikenal
dengan ilmu rasm al-
qur’an
Pada masa Khalifah Utsman bin Afan wilayah islam sudah
semakin luas banyak orang non-arab memeluk agama islam. Terjadi
interaksi dan asimilasi antara orang-orang Arab dengan orang-orang
Ajam.Mereka yang telah memeluk islam ingin mempelajari al- qur'an,
sebagai sumber utama ajaran agama islam.Padahal al-qur'an pada masa itu
dibaca dan ditulis dalam berbagai bentuk bacaan dan tulisan dimana
masing-masing pembaca mengkalim bahwa bacaan dan model penulisannya
benar.
Untuk menghindari sengketa ini yang sudah mengarah pada
perpecahan maka Ustman sebagai khalifah pada masa itu mengambil
kebijakan dengan mengkodifikasi kembali al-qur'an.Kodifikasi kali ini
diusulkan oleh Khuzaifah berdasarkan peristiwa pertentangan antara
pendududk Syam dan Irak mengenai qira'ah ketika menaklukkan Armenia
dan Azerbajian.Dia berkata kepada Utsman "Perbaikilah umat ini sebelum
mereka bersengketa (mengenai kitab suci) seperti persengketaan Nasrani
dan Yahudi".Maka Utsman meminta Hafsah mengirim kepadanya naskah
Al-Qur'an (yang ditu lis pada masa Abu BAkar).Setelah ditulis naskah itu
ddikembalikan lagi kepada Hafsah.
Dengan menyatukan tbentuk tulisannya berdasarkan Al-Qur'an
yang ditulis pada masa Abu Bakar, Utsman membentuk tim penulisan dan
memerintahkan mereka agar Al-Qur'an ditulis pada satu mushaf dan
selainnya harus dimusnahkan Pekerjaan ini melahirkan suatu ilmu yang
dikenal dengan ilmu rasm al-qur'an atau ilmu rasmi al-utsmani,yang
selanjutnya menjadi salah satu kajian dalam ulum qur'an. Tim penulisan al-
qur'an pada masa ini beranggotakan Zaid bin Tsabit, Said bin Ash,dan
Abdurrahman bin Al-Harits.¹4

Ada dua hal yang membedakan mushaf yang ditulis pada masa
Ustman ini dengan mushaf-mushaf yang ada sebelumnya,yaitu susunan
surah dan qiro'ah.Para sahabat yang menulis al-qu r'an untuk pribadinya
mempunyai susunan surah yang berbeda dengan mushaf Utsmani.dan dalam
penulisannya mereka selalu memasukkan penafsiran suatu ayat dalam
penulisan Surah Al-Baqarah (2) ayat 198.ia memasukkan kata fi musim al-
hajj setelah kata min rabbikum.Demikian pula penambahan kata shalihah
setelah kata kulla safinah dalam surah Al-Khafi (18) ayat 79.
Kodifikasi ini dibuat dalam empat rangkap.Kemudian tiga rangkap
diantaranya dikirim ke Syam Kufah.dan Basrah gubernur dimasing-masing
wilayah boleh menggandakannya asal bentuk dan susunan surah yang sama.
Inilah yang kemudian disebut dengan mushaf utsmani Naskah al-qur'an
yang berbeda dengan naskah mushaf utsmani ini dimusnahkan guna
menghindari perpecahan5

CCC.

5
Kadar M Yusuf,2012,Studi Al-Qur’an,Jakarta:AMZAH,hlm 38
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam Kesimpulannya, Sejarah Pembukuan Al-Qur’an adalah proses
yang teliti, berhati-hati,dan terus menerus dilakukan oleh umat islam
untuk menjaga keakuratan dan keaslian al-qur’an. Al-qur’an adalah kitab
suci yang dipercaya oleh umat islam sebagai wahyu allah yang tidak
pernah berubah dan merupakan petunjuk bagi umat muslim di seluruh
dunia
2. Kesimpulan dari Proses naskah, al qur’an adalah naskah-naskah al-qur’an
yang ada saat ini telah melalui proses seleksi yang ketat dan hati-hati
sebelum diakui sebagai bagian resmi dari al-qur’an yang diturunkan dari
allah.para sahabat nabi dan ulama pada masa awal islam berperan penting
dalam proses ini dengan mengumpulkan dan memverifikasi naskah-
naskah al-qur’an yang tersebar. Dalam proses pengumpulan naskah, para
penghafal al-qur an memainkan peran yang krusial. Mereka menghafal
dan mengingat seluruh teks al-qur’an dengan sempurna, dan kemudian
mentransfernya secara lisan kepada generasi berikutnya.
3. Kesimpulan tentang penggandan Mushaf Al-Qur’an
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, wilayah Islam semakin meluas,
dan banyak orang non-Arab yang menganut agama Islam. Terjadi
interaksi dan asimilasi antara orang Arab dan non-Arab. Orang-orang
yang telah memeluk agama Islam ingin mempelajari Al-Quran sebagai
sumber utama ajaran agama Islam. Namun, pada masa itu, Al-Quran
dibaca dan ditulis dalam berbagai bentuk, dan masing-masing pembaca
mengklaim bahwa bacaan dan model penulisannya benar. Untuk
menghindari terjadinya kejadian yang berakhir pada perpecahan, Khalifah
Utsman mengambil kebijakan kodifikasi ulang Al-Quran. Kebijakan ini
diusulkan oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman, yang melaporkan konflik
antara masyarakat Syam dan Irak mengenai qira'ah saat penaklukan
Armenia dan Azerbaijan. Utsman memerintahkan agar Al-Quran
dikumpulkan dalam satu mushaf yang disebut Mushaf Utsmani atau Al-
Imam. Proses kodifikasi Al-Quran ini melibatkan sejumlah ulama dan
sahabat, dan hasilnya adalah beberapa mushaf yang sangat terbatas.
Mushaf Utsmani atau Al-Imam menjadi fase ketiga dalam sejarah
kodifikasi Al-Quran. Tiga salinan mushaf Utsmani dikirim ke daerah
Syam, Kufah, dan Basrah, dengan izin bagi gubernur di masing-masing
daerah untuk menggandakannya, asalkan bentuk dan susunan surahnya
sama. Kodifikasi Al-Quran ini dilakukan untuk mencegah perpecahan,
dan mushaf Al-Quran yang berbeda dengan mushaf Utsmani yang
dihancurkan. Meskipun ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai
tujuan dan motif di balik kodifikasi ini, kebijakan Utsman dalam
menyatukan bacaan dan penulisan Al-Quran telah mendapatkan apresiasi
dari kalangan sahabat
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai