Filsafat Pendidikan Islam Kel1
Filsafat Pendidikan Islam Kel1
Di Susun Oleh:
Kelompok 1
Alvin Satria Ananda : 2311203054
Siti Fatimah Shahla: 2311203047
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberi
hidayahnya sehingga Makalah yang berjudul “ FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM ” dapat diselesaikan. Sholawat serta salam tak lupa juga kita haturkan
kepada baginda besar nabi muhammad SAW. Makalah ini merupakan pelengkap
tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ustadz
Dr.Habib Anwar Al-Anshori, M.Pd selaku dosen mata kuliah filsafat Pendidikan
islam.
Dalam menyusun makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini
belum sempurna dan masih banyak kekurangan disana sini, baik mengenai materi
maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran-saran dari siapapun
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telahmembantu menyelesaikan makalah ini.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian filsafat Pendidikan islam?
b. Apa saja ruang lingkup filsafat Pendidikan islam?
c. Dari mana munculnya filsafat Pendidikan islam?
C. Tujuan
a. Untuk memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul,terutama yang
berhubungan dengan pola pikir manusia.
b. Untuk sama sama belajar mengarahkan pemikiran yang sistematik,logis dan
universal terhadap masalah masalah yang dioprasikan dalam bidang
Pendidikan.
c. Agar dapat memberikan fondasi tanggung jawab kepada calon-calon guru
tentang hakikat setiap praktik pembelajaran dikampus.
BAB II
PENDAHULUAN
1
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi, 1997), Cet. Ke-9, h. 55.
2
Diantara mereka adalah Al-Farabi dengan karyanya yang berjudul Ihshâ’ al-‘Ulûm yang diedit oleh ‘Usman M.
Amin, (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabiy, 1949), h. 45-113. Al-Ghazali dalam bukunya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, 4 jilid (Jeddah
Sanqafurah al-Haramain, tt). Ibnu Sina dengan karyanya yang berjudul: Risâlat Aqsâm al-‘Ulûm al-Aqliyah, dalam Mu’jam
al-Rasâil, Diedit oleh Muhy al-Din al-Kurdi (Mesir: Mathba’ah Kurdistân Al-‘Ilmiyah, 1910), h. 226-243)
Filsafat teoritis adalah filsafat yang membahas berbagai hal sesuai dengan
apa adanya. Sedangkan filsafat praktek adalah pembahasan mengenai bagaimana
selayaknya prilaku dan perbuatan manusia.
Filsafat teoritis kemudian dibagi menjadi tiga bagian; filsafat tinggi
(teologi); filsafat menengah (matematika); dan filsafat rendah (fisika). Filsafat
tinggi (ilahiyah) ini kemudian dibagi lagi menjadi dua bagian; Pertama adalah
filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang umum. Kedua adalah
filsafat yang berhubungan dengan perkaraperkara khusus. Sedangkan filsafat
menengah (matematika) dibagi menjadi empat bagian; aritmetika, geometri,
astronomi dan musik.
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan
“pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan
sebagainya).4 Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan pada anak. Istilah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang
berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering
diterjemahkan dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan. Dalam
perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa.
Arifin menyatakan bahwa pengertian Filsafat Pendidikan Islam pada
hakikatnya adalah “Konsep berfikir tentang pendidikan yang bersumber pada
ajaran Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam.3
Mulkhan memberikan pengertian Filsafat Pendidikan Islam adalah“Suatu
analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis
dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan
Islam4
3
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 28
4
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah,
(Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet. I, h. 74
Dari pendapat kedua tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-
Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof
Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam
secara singkat dapat dikatakan sebagai filsafat pendidikan yang berdasarkan
ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam. Jadi, ia bukan
filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai
dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
5
Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Pent. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 9-10.
6
Syadali, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet.I h. 20
dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Pertanyaan
“mengapakah” menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu obyek.
Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas
(sebab akibat). Pertanyaan “kemanakah” menanyakan tentang apa
yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Pertanyaan “apakah” menanyakan tentang hakikat atau inti
mutlak dari suatu hal.7
2. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran
kefilsafatan tentang pendidikan, maka perlu diikuti pola dan pemikiran
kefilsafatan pada umumnya. Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan
sebagai suatu ilmu adalah:
a.Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara
berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan
yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis, artinya
satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
b.Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal, artinya
menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakarakarnya.
c.Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya
persoalanpersoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh
dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan
yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa
sekarang maupun masa mendatang.
d.Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya
pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-
pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan
tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Nilai obyektif oleh
permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek
yang dipikirkannya.8
Pola dan sistem berpikir filosofis yang demikian dilaksanakan dalam
ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut:
7
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Cet. IV, h. 1
8
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1997), h. 27
a.Cosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang ber-
hubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, serta proses kejadian kejadian
dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan sebagainya.
b.Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta,
dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis
akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam
semesta ini, apakah pencipta itu satu zat (monisme) ataukah dua zat
(dualisme) atau banyak zat
(pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat
kebendaan, maka paham ini disebut materialisme.
Secara makro apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam
ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta
dan sekitarnya, adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara
mikro yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
1.Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan.
2.Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek
pendidikan.
3.Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama dan kebudayaan.
4.Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori
pendidikan.
5.Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat
pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
6.Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang
merupakan tujuan pendidikan.9
9
Prasetya, Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.152
Dengan demikian, diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi obyek
filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia
untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan
dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu
dapat dicapai seperti yang dicitacitakan.
10
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. II, h.31 16 Endang Saifudd
11
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 87-88.
12
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 16.
C. Latar belakang munculnya filsafat Pendidikan islam
16
Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai
Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo
Semarang, 1985), 4
17
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-
Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah
lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan muslim sebelum kedatangan
filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan sejak masa
kekuasaan Bani Umaiyah (661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya yang
kemudian melahirkan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa
dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun
(811-833 M), oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M),
Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).18Pada
masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat
intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi).
Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional yang dibangun oleh Wasil ibn
Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi
doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya
masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (664- 761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w.
825 M), Mu‘ammar ibn Abbad (w. 835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-
835 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M) dan Jahiz Amr ibn Bahr (781- 869
M).19Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian
hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti istih}sân, istis}lâh}, qiyâs, dan
lainnya telah lazim digunakan. Tokohtokoh mazhab fikih yang melahirkan
metode istinbât} dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah
(699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855
M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa
sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran
rasional filosofis yang berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam
kajian teologis dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum
inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya
logika dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.20
18
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363
19
Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh Subhi Saleh dan Farid Jabr,
(Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76.
20
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam
Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56
Jika demikian, dari mana sumber pemikiran rasional filosofis Islam itu
berasal? Seperti dinyatakan oleh banyak peneliti, baik muslim maupun non-
muslim,21pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar melainkan dari
kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-
upaya untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada
awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa
diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan
kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah
Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan
perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada
ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat berbagai pemahaman.
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga
model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain,
(1)penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau
menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi
secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran
dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah
(zâhir) teks.
(2)Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari
satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu
arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang
pertama.
(3)Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada
penyelesaiannya secara langsung dalam teks. 22 Misalnya, apakah larangan
menimbun emas dan perak (QS. al-Taubah: 34) itu hanya berlaku pada emas
dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata
‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang secara bahasa Arab menunjuk
makna laki-laki) juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis, para sarjana Muslim
dituntut untuk menyelaraskan pandanganpandangan yang tampaknya kontradiktif dan
rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan
kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat Maha Tahu-Nya atas segala tindak
21
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah alFikr al-Dîni, 77; Abid al-
Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57
22
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9.
manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana
menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-
Qur‘an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak
bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.23Semua itu menggiring para intelektual muslim
periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis. Kenyatannya,
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah-masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan di antara keduanya, menurut Leaman,24hanya
terletak pada premispremis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara
penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci
sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Pemikiran
dan filsafat Yunani baru masuk lewat program penerjemahan setelah sistem penalaran
rasional dalam Islam mapan, khususnya dalam teologi dan yurisprudensi.
23
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Louis Gardet (1904- 1986 M), seorang orientalis asal
Prancis, persoalan teologis ini juga didorong oleh adanya polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang
dibahas antara lain adalah soal kebebasan dan keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur‘an sebagai firman yang tidak
ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam kajian rumit ini dan berusaha membela dan mempertahankan doktrinya dari
serangan luar, sehingga pembahasan teologi Islam bersifat apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat
apologis tersebut ternyata belum juga hilang
24
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Sebagai manusia biasa tentu memiliki salah,khilaf dan lupa, Oleh karna itu
rangkaian baris-berbaris dari makalah ini pemakalah menyadari bahwa pasti
banyak kesalahan yang harus di perbaikin hingga bisa menjadi makalah yang
sempurna. Karna kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Maka
dari itu kami sebagai pemakalah sekiranya ada keritik dan saran dari pembaca
sangat kami butuh kan hingga kami dapat memperjuangkan bagaimana membuat
suatu makalah dengan lebih baik lagi.
Wallahu A'lam Bisshowab
DAFTAR PUSTAKA
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi, 1997), Cet. Ke-9, h.
55.
Diantara mereka adalah Al-Farabi dengan karyanya yang berjudul Ihshâ’ al-‘Ulûm yang diedit oleh
‘Usman M. Amin, (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabiy, 1949), h. 45-113. Al-Ghazali
dalam bukunya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, 4 jilid (Jeddah Sanqafurah al-Haramain, tt).
Ibnu Sina dengan karyanya yang berjudul: Risâlat Aqsâm al-‘Ulûm al-Aqliyah,
dalam Mu’jam al-Rasâil, Diedit oleh Muhy al-Din al-Kurdi (Mesir: Mathba’ah
Kurdistân Al-‘Ilmiyah, 1910), h. 226-243)
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet. I, h. 74
Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Pent. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan
Bintang,1984), h. 9-10.
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Cet. IV, h. 1
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1997), h. 27
Prasetya, Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.152
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. II, h.31 16 Endang
Saifudd
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 87-88.
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam
Jurnal al-Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363
Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh Subhi Saleh dan
Farid Jabr, (Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76.
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat
Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah alFikr al-Dîni, 77;
Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,
1991), 57