Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Dr. Habib Anwar al Anshori, M.Pd

Di Susun Oleh:
Kelompok 1
Alvin Satria Ananda : 2311203054
Siti Fatimah Shahla: 2311203047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberi
hidayahnya sehingga Makalah yang berjudul “ FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM ” dapat diselesaikan. Sholawat serta salam tak lupa juga kita haturkan
kepada baginda besar nabi muhammad SAW. Makalah ini merupakan pelengkap
tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ustadz
Dr.Habib Anwar Al-Anshori, M.Pd selaku dosen mata kuliah filsafat Pendidikan
islam.
Dalam menyusun makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini
belum sempurna dan masih banyak kekurangan disana sini, baik mengenai materi
maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran-saran dari siapapun
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telahmembantu menyelesaikan makalah ini.

Samarinda,8 September 2023

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

BAB II PENDAHULUAN ......................................................................................... 2


A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam ................................................... 2
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam ........................................... 4
C. Latar belakang Munculnya Filsafat Pendidikan Islam ......................... 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 14


A. Kesimpulan........................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, karena sejarah


filsafat erat kaitannya dengan sejarah manusia pada masa lampau. Filsafat yang
dijadikan sebagai pandangan hidup, erat kaitannya dnegan nilai-nilai tentang manusia
yang dianggap benar sebagai pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa
untuk mewujudkannya yang terkandung dalam filsafat tersebut. Oleh karena itu
suatu filsafat yang diyakini oleh suatu masyarakat atau bangsa akan berkaitan erat
dengan sistem pendidikan yang diraaskan oleh masyarakat dan bangsa tersebut.
Filsafat pendidikan ini sebagai usaha untuk mengenalkan filsafat pendidikan
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Adapun filsafat pendidikan adalah
disiplin ilmu yang mempelajari dan berusaha mengungkap masalah-masalah
pendidikan yang bersifat filosofis. Agar pendidikan mempunyai arti jelas, karena
pendidikan sangat pesar peranannya dalam membna kemajuan suatu bangsa
sesuai dengan filsafat yang diyakini.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian filsafat Pendidikan islam?
b. Apa saja ruang lingkup filsafat Pendidikan islam?
c. Dari mana munculnya filsafat Pendidikan islam?

C. Tujuan
a. Untuk memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul,terutama yang
berhubungan dengan pola pikir manusia.
b. Untuk sama sama belajar mengarahkan pemikiran yang sistematik,logis dan
universal terhadap masalah masalah yang dioprasikan dalam bidang
Pendidikan.
c. Agar dapat memberikan fondasi tanggung jawab kepada calon-calon guru
tentang hakikat setiap praktik pembelajaran dikampus.
BAB II
PENDAHULUAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani; “philosophia.” Kata


philosophia merupakan gabungan dari dua kata: philos dan sophia dengan makna
pengetahuan dan kearifan. Dengan demikian, arti dari kata philosophia adalah
cinta pengetahuan. Philos berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia
memiliki arti kebijaksanaan. Atau dengan kata lain, orang yang senang mencari
ilmu dan kebenaran. Filsafat juga dapat diartikan dengan cinta akan kebajikan.
Defenisi ini berasal dari zaman Yunani dan merupakan rangkaian dari dua
pengertian: philare yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijakan. Defenisi
ini pada hakikatnya meletakkan suatu landasan ideal bagi manusia. Barang siapa
yang mempelajari filsafat diharapkan dapat mengetahui adanya mutiara-mutiara
yang cemerlang dan menggunakan mereka sebagai pedoman dan pegangan untuk
hidup bijasksana.1
Perlu diingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat (philosophia) ini
baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri tidak
menggunakan istilah ini (philosophia atau philosophos) dalam literatur-
literaturnya. Dan Pitagoras (481- 411 SM), yang dikenal sebagai orang yang
pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Setelah masa kejayaan Romawi
dan Persia memudar, penggunaan istilah filsafat berikutnya mendapat perhatian
besar dari kaum muslimin di Arab. Kata falsafah (hikmah) atau filsafat kemudian
mereka sesuaikan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Arab, yang memiliki
arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional. Ketika kaum muslimin Arab saat
itu ingin menjabarkan pembagian ilmu menurut pandangan Aritoteles, mereka
(muslimin Arab) kemudian mengatakan bahwa yang disebut dengan pengetahuan
yang rasional adalah pengetahuan yang memiliki dua bagian utama, yaitu filsafat
teoritis dan filsafat praktek.2

1
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi, 1997), Cet. Ke-9, h. 55.
2
Diantara mereka adalah Al-Farabi dengan karyanya yang berjudul Ihshâ’ al-‘Ulûm yang diedit oleh ‘Usman M.
Amin, (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabiy, 1949), h. 45-113. Al-Ghazali dalam bukunya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, 4 jilid (Jeddah
Sanqafurah al-Haramain, tt). Ibnu Sina dengan karyanya yang berjudul: Risâlat Aqsâm al-‘Ulûm al-Aqliyah, dalam Mu’jam
al-Rasâil, Diedit oleh Muhy al-Din al-Kurdi (Mesir: Mathba’ah Kurdistân Al-‘Ilmiyah, 1910), h. 226-243)
Filsafat teoritis adalah filsafat yang membahas berbagai hal sesuai dengan
apa adanya. Sedangkan filsafat praktek adalah pembahasan mengenai bagaimana
selayaknya prilaku dan perbuatan manusia.
Filsafat teoritis kemudian dibagi menjadi tiga bagian; filsafat tinggi
(teologi); filsafat menengah (matematika); dan filsafat rendah (fisika). Filsafat
tinggi (ilahiyah) ini kemudian dibagi lagi menjadi dua bagian; Pertama adalah
filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang umum. Kedua adalah
filsafat yang berhubungan dengan perkaraperkara khusus. Sedangkan filsafat
menengah (matematika) dibagi menjadi empat bagian; aritmetika, geometri,
astronomi dan musik.
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan
“pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan
sebagainya).4 Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan pada anak. Istilah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang
berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering
diterjemahkan dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan. Dalam
perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa.
Arifin menyatakan bahwa pengertian Filsafat Pendidikan Islam pada
hakikatnya adalah “Konsep berfikir tentang pendidikan yang bersumber pada
ajaran Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam.3
Mulkhan memberikan pengertian Filsafat Pendidikan Islam adalah“Suatu
analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis
dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan
Islam4

3
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 28
4
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah,
(Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet. I, h. 74
Dari pendapat kedua tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-
Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof
Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam
secara singkat dapat dikatakan sebagai filsafat pendidikan yang berdasarkan
ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam. Jadi, ia bukan
filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai
dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam

1. Ruang Lingkup Filsafat


Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen
komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu?. Apa
hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah? Hal
ini tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai-mana (yang) “ada”
sesuatu. Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme,
paham dua-lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan masing
masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi
kebenaran yang dicari.
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal
pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan
dalam menentukan sarana yang akan dipilih. Akal dan pengalaman atau
komunikasi antara akal dan pengalaman serta intuisi, merupakan sarana yang
dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model model
epistemologik, seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme
kritis, positivisme, feno-menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagai-mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be-serta tolok
ukurnya bagi pengetahuan itu seperti teori ko-herensi, korespondesi, pragmatis,
dan teori intersubjektif. Aksiologi llmu meliputi nilal nilal yang bersifat normatif
dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke-nyataan, sebagaimana
dijumpai dalam kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan
sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu, nilai nilai juga
ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu yang wajib dipatuhi dalam semua
kegiatan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya, filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada
strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai
pada dimensi ke-budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman-
faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
Ruang lingkup filsafat menurut beberapa ahli filsafat diantaranya: M.J.
Langeveld menyatakan: filsafat dapat dikatakan sebagai satu kesatuan yang
teridiri dari tiga lingkungan masalah:
(a).Lingkungan masalah-masalah keadaan (metafisika, manusia, alam)
(b).Lingkungan masalah-masalah pengetahuan(teorkebenaran,teori
pengetahuan, logika) dan lingkungan masalah-masalah nilai (teori
nilai, etika, estetika dan nilai yang berdasarkan agama).5
Al-Kindi, membagi filsafat dalam tiga lapangan:
(a). Ilmu fisika, merupakan tingkatan yang terendah;
(b). Ilmu Matematika, tingkatan tengah;
(c). Ilmu ke-Tuhanan, tingkatan tinggi.6 Al-Farabi,
membagi filsafat kedalam dua lapangan:
(a). Filsafat teori (al-Falsafah anNadzâriyah), mengetahui sesuatu yang
ada dengan tanpa tuntutan pengalaman. Lapangan ini meliputi: Ilmu
Matematika, Ilmu Fisika, dan Ilmu Metafisika;
(b). Filsafat praktek (al-Falsafah al-Amaliyah), mengetahui sesuatu
dengan keharusan melakukan dengan amal dan melahirkan tenaga
untuk melakukan bagian-bagiannya yang baik. Seperti ilmu akhlak,
ilmu politik, dan ilmu mantiq (logika) filsafat sebagai Ilmu. Dikatakan
filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung
pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah,
dan apakah. Pertanyaan “bagaimana” menanyakan sifatsifat yang

5
Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Pent. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 9-10.
6
Syadali, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet.I h. 20
dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Pertanyaan
“mengapakah” menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu obyek.
Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas
(sebab akibat). Pertanyaan “kemanakah” menanyakan tentang apa
yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Pertanyaan “apakah” menanyakan tentang hakikat atau inti
mutlak dari suatu hal.7
2. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran
kefilsafatan tentang pendidikan, maka perlu diikuti pola dan pemikiran
kefilsafatan pada umumnya. Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan
sebagai suatu ilmu adalah:
a.Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara
berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan
yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis, artinya
satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
b.Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal, artinya
menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakarakarnya.
c.Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya
persoalanpersoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh
dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan
yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa
sekarang maupun masa mendatang.
d.Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya
pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-
pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan
tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Nilai obyektif oleh
permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek
yang dipikirkannya.8
Pola dan sistem berpikir filosofis yang demikian dilaksanakan dalam
ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut:

7
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Cet. IV, h. 1
8
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1997), h. 27
a.Cosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang ber-
hubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, serta proses kejadian kejadian
dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan sebagainya.
b.Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta,
dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis
akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam
semesta ini, apakah pencipta itu satu zat (monisme) ataukah dua zat
(dualisme) atau banyak zat
(pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat
kebendaan, maka paham ini disebut materialisme.
Secara makro apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam
ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta
dan sekitarnya, adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara
mikro yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
1.Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan.
2.Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek
pendidikan.
3.Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama dan kebudayaan.
4.Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori
pendidikan.
5.Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat
pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
6.Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang
merupakan tujuan pendidikan.9

9
Prasetya, Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.152
Dengan demikian, diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi obyek
filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia
untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan
dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu
dapat dicapai seperti yang dicitacitakan.

3. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam


Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa
Filsafat Pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat
dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang
menginformasikan hasil penelitian tentang Filsafat Pendidikan Islam. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau Filsafat Pendidikan Islam harus
menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan
pembahasannya.
Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari Filsafat Pendidikan
Islam berarti memasuki area pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan
menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi
oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari
ilmu-ilmu lain yang relevan.10
Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup Filsafat Pendidikan
Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti
masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
Secara makro, yang menjadi ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam
adalah objek formal itu sendiri, yaitu mencari keterangan secara radikal mengenai
Tuhan, manusia dan alam yang tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan biasa.11
Secara mikro, objek kajian Filsafat Pendidikan Islam adalah pemikiran
yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis, menyeluruh dan
universal mengenai konsep-konsep pendidikan yang didasarkan pada ajaran
Islam. Konsep-konsep tersebut mencakup lima faktor atau komponen pendidikan,
yaitu: tujuan pendidikan Islam, pendidik, anak didik, alat pendidikan, (kurikulum,
metode, dan penilaian/evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan.12

10
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. II, h.31 16 Endang Saifudd
11
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 87-88.
12
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 16.
C. Latar belakang munculnya filsafat Pendidikan islam

Perkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah


panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya bukan sesuatu yang sederhana.
Banyak aspek dan hubungan yang harus dipahami, dijelaskan dan diuraikan.
Ketidaktelitian dalam mencermati, memilah dan memilih persoalan inilah yang
sering menyebabkan kita tidak tepat untuk menilai dan mengambil tindakan.
Adanya sikap yang anti-filsafat di sebagian kalangan umat Islam atau anggapan
bahwa filsafat Islam hanyalah berasal dari Yunani, salah satu sebabnya adalah
karena adanya kekurang telitian tersebut.
Tulisan ini akan mencermati sejarah panjang perkembangan filsafat Islam,
mulai asal-asulnya, pertemuannya dengan filsafat Yunani dan perkembangannya
dalam sejarah pemikiran Islam.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam,
diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi
makin pesat. Meski demikian, menurut ditulis Oliver Leaman (l. 1950 M), 13
seorang orientalis asal Universitas Kentucky, USA, adalah suatu kesalahan besar
jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-
teks Yunani tersebut, atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384- 322 SM)
seperti dituduhkan Ernest Renan (1823-1893 M), atau dari Neo-Platonisme seperti
disampaikan Pierre Duhem (1861-1916 M).14
Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa belajar atau
berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti semata. Harus dipahami bahwa
suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai
macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain
tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya
sendiri. Aristoteles (384-322 SM), misalnya, jelas murid Plato (427-348 SM),
tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula
Baruch Spinoza (1632-1777 M), walau secara jelas sebagai pengikut Rene
Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis
yang berdiri sendiri.15 Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim.
Al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Rusyd (126-1198 M), misalnya, walau banyak
13
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1988), 8.
14
Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, T. Th), 26
15
Ibid.
dilhami oleh pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk
mempunyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani
Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan Karl A.
Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh dengan
kondisi sosial lingkungannya. 16 Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan
tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang
melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir
dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial yang berbeda. Karena itu, menyamakan
dua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah sesuatu yang
tidak tepat, sehingga penjelasan karya-karya Muslim secara terpisah dari faktor
dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap,
deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering
terjadi ketika batasbatas kultural sudah terlewati.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka apa yang disebut sebagai transmisi


filsafat Yunani ke Arab Islam pada dasarnya adalah suatu proses panjang dan
kompleks di mana ia justru sering banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan
teologis para pelakunya, kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya;
termasuk dalam hal istilahistilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari
konteks dan problem bahasa Arab dan ajaran Islam. Konsekuensinya, tugas
rekonstruksi sumber-sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu
diharapkan dalam terjemahan yang jelas ke dalam sesuatu yang dianggap asli
Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi di luar teks. Begitu
juga perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide
Yunani dari alKindi (801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan
Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya dapat
dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah
dan karakter karya-karya tersebut.17

16
Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai
Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo
Semarang, 1985), 4
17
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-
Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah
lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan muslim sebelum kedatangan
filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan sejak masa
kekuasaan Bani Umaiyah (661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya yang
kemudian melahirkan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa
dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun
(811-833 M), oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M),
Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).18Pada
masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat
intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi).
Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional yang dibangun oleh Wasil ibn
Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi
doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya
masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (664- 761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w.
825 M), Mu‘ammar ibn Abbad (w. 835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-
835 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M) dan Jahiz Amr ibn Bahr (781- 869
M).19Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian
hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti istih}sân, istis}lâh}, qiyâs, dan
lainnya telah lazim digunakan. Tokohtokoh mazhab fikih yang melahirkan
metode istinbât} dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah
(699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855
M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa
sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran
rasional filosofis yang berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam
kajian teologis dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum
inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya
logika dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.20

18
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363
19
Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh Subhi Saleh dan Farid Jabr,
(Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76.
20
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam
Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56
Jika demikian, dari mana sumber pemikiran rasional filosofis Islam itu
berasal? Seperti dinyatakan oleh banyak peneliti, baik muslim maupun non-
muslim,21pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar melainkan dari
kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-
upaya untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada
awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa
diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan
kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah
Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan
perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada
ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat berbagai pemahaman.
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga
model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain,
(1)penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau
menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi
secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran
dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah
(zâhir) teks.
(2)Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari
satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu
arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang
pertama.
(3)Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada
penyelesaiannya secara langsung dalam teks. 22 Misalnya, apakah larangan
menimbun emas dan perak (QS. al-Taubah: 34) itu hanya berlaku pada emas
dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata
‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang secara bahasa Arab menunjuk
makna laki-laki) juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis, para sarjana Muslim
dituntut untuk menyelaraskan pandanganpandangan yang tampaknya kontradiktif dan
rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan
kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat Maha Tahu-Nya atas segala tindak

21
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah alFikr al-Dîni, 77; Abid al-
Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57
22
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9.
manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana
menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-
Qur‘an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak
bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.23Semua itu menggiring para intelektual muslim
periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis. Kenyatannya,
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah-masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan di antara keduanya, menurut Leaman,24hanya
terletak pada premispremis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara
penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci
sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Pemikiran
dan filsafat Yunani baru masuk lewat program penerjemahan setelah sistem penalaran
rasional dalam Islam mapan, khususnya dalam teologi dan yurisprudensi.

23
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Louis Gardet (1904- 1986 M), seorang orientalis asal
Prancis, persoalan teologis ini juga didorong oleh adanya polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang
dibahas antara lain adalah soal kebebasan dan keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur‘an sebagai firman yang tidak
ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam kajian rumit ini dan berusaha membela dan mempertahankan doktrinya dari
serangan luar, sehingga pembahasan teologi Islam bersifat apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat
apologis tersebut ternyata belum juga hilang
24
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa dan pembahasan yang dilakukanpada bab-bab


sebelumnya,maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan yang berkaitan
dengan rumusan masalah yang dilanjutkan dalam makalah ini kesimpulan tersebut
adalah:
Pertama adalah ilmu filsafat itu merupakan induk dari segala ilmu,yang
diharapkan menjadi suatu pedoman bagi manusia untuk mencari kebenaranhakiki
sehingga manusia dapat berfikir positif dan keritis.
Kedua ruang lingkup filsafat adalah suatu ruang yang membatasi lingkup
pembahasan dari filsafat yang digunakan untuk memberikan Batasan pada
pengalaman manusia.
Ketiga adalah munculnya ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu
pengetahuan kedalam Bahasa arab yang telah dilakukan sejak masa klasik
islam,dalam perjalanannya filsafat islam mengalami pasang surut terbukti pada
tahun (806)M lahirlah filsuf islam bernama Al-Kindi da Al-razi.

B. Saran
Sebagai manusia biasa tentu memiliki salah,khilaf dan lupa, Oleh karna itu
rangkaian baris-berbaris dari makalah ini pemakalah menyadari bahwa pasti
banyak kesalahan yang harus di perbaikin hingga bisa menjadi makalah yang
sempurna. Karna kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Maka
dari itu kami sebagai pemakalah sekiranya ada keritik dan saran dari pembaca
sangat kami butuh kan hingga kami dapat memperjuangkan bagaimana membuat
suatu makalah dengan lebih baik lagi.
Wallahu A'lam Bisshowab
DAFTAR PUSTAKA

Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi, 1997), Cet. Ke-9, h.
55.
Diantara mereka adalah Al-Farabi dengan karyanya yang berjudul Ihshâ’ al-‘Ulûm yang diedit oleh
‘Usman M. Amin, (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabiy, 1949), h. 45-113. Al-Ghazali
dalam bukunya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, 4 jilid (Jeddah Sanqafurah al-Haramain, tt).
Ibnu Sina dengan karyanya yang berjudul: Risâlat Aqsâm al-‘Ulûm al-Aqliyah,
dalam Mu’jam al-Rasâil, Diedit oleh Muhy al-Din al-Kurdi (Mesir: Mathba’ah
Kurdistân Al-‘Ilmiyah, 1910), h. 226-243)

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 28

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet. I, h. 74

Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Pent. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan
Bintang,1984), h. 9-10.

Syadali, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet.I h. 20

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Cet. IV, h. 1

Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1997), h. 27

Prasetya, Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.152

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. II, h.31 16 Endang
Saifudd

Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 87-88.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 16


.
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1988), 8.

Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, T.


Th), 26

Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk


Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari
Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985), 4

Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam
Jurnal al-Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90

Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363

Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh Subhi Saleh dan
Farid Jabr, (Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76.

Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat
Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56

Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah alFikr al-Dîni, 77;
Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,
1991), 57

Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9.

Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10

Anda mungkin juga menyukai