Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai dengan saat ini, Diare masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat di Indonesia khususnya pada bayi dan balita. Menurut WHO dan
UNICEF, setiap tahunnya terjadi sekitar 2 milyar kasus diare di dunia, dan
sekitar 1,9 juta anak balita diantaranya meninggal. Sebagian besar kasus diare
terjadi di negara berkembang. Dari semua kematian anak balita karena diare,
78% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia, diare merupakan
penyebab nomor satu (proporsi) kematian bayi (31,4%) dan kematian balita
(25,2%) serta penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur dalam
kelompok penyakit menular (Riskesdas 2007).

Pada tahun 2013, period prevalen diare untuk seluruh kelompok umur di
Indonesia sebesar 7.0%. Lima provinsi dengan period prevalen dan insiden
diare tertinggi, yaitu Papua (14,7% dan 6,3%), Nusa Tenggara Timur (10,9%
dan 4,3%), Sulawesi Selatan (10,2% dan 5,2%), Sulawesi Barat (10,1% dan
4,7%), dan Sulawesi Tengah (8,8% dan 4,4%). Semakin rendah kuartil indeks
kepemilikan, semakin tinggi proporsi diare pada penduduk.
Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi (7,1%), jenis kelamin
dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda.

Insiden diare balita di Indonesia sebesar 6,7%. Lima provinsi


dengan insiden diare pada balita tertinggi adalah Aceh (10,2%),
Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan
Banten (8,0%). Anak balita merupakan kelompok umur paling
tinggi menderita diare, terutama 12-23 bulan (7,6%), laki-laki
(5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil
indeks kepemilikan terbawah (6,2%) (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan laporan Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI tahun
2014, angka kematian diare (Case Fatality Rate=CFR) diare
pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2013 sebesar 1,11%,
dan tahun 2014 sebesar 1,14%. Case Fatality Rate ini masih di
atas target nasional yang telah ditetapkan (<1%). Tingginya
angka kematian diare ini menunjukkan bahwa Sistem
Kewaspadaan Dini KLB (SKD-KLB) belum terlaksana dengan
baik.

Tingginya angka kematian diare merupakan masalah yang perlu menjadi


perhatian semua pihak. Teknologi sederhana dan tepat guna dalam
penanggulangan diare, yaitu dengan pemberian cairan (rehidrasi) dan tablet
zinc pada balita sangat diperlukan dalam menurunkan angka kematian. Pada
tahun 2014, WHO-UNICEF merekomendasikan bahwa pemberian oralit dan
tablet zinc, pemberian ASI dan makanan serta antibiotika selektif merupakan
bagian utama dari manajemen diare.

Penyediaan fasilitas “Pojok Oralit” di puskesmas merupakan salah satu upaya


pemerintah dalam menurunkan angka kematian diare, dan sarana bagi petugas
kesehatan dalam melakukan kegiatan konseling atau Komunikasi Informasi
dan Edukasi (KIE) untuk meningkatkan pengetahuan, serta membangun sikap
dan perilaku positif masyarakat untuk berperan aktif dalam penanggulangan
diare pada bayi dan balita.

Namun kenyataannya cakupan pemberian oralit di masyarakat masih rendah,


yaitu sebesar 33,3% dan cakupan pemberian tablet zinc hanya 16,9%
(Riskesdas, 2013). Penanganan diare di puskesmas juga masih banyak yang
belum sesuai dengan standar. Hasil pengamatan Ditjen PP dan PL di 40
puskesmas di 10 provinsi tahun 2012, menunjukkan bahwa penggunaan oralit
sebesar 86,5%, penggunaan tablet zinc 22%, penggunaan antibiotik tidak
rasional 81,8%, dan penggunaan anti diare 8,8%. Hasil pengamatan pada
tahun 2014, pelaksanaan pojok oralit belum sesuai dengan yang diharapkan,
dan jumlah pojok oralit yang tersedia di puskesmas masih rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya upaya peningkatan layanan


rehidrasi oral di fasyankes khususnya puskesmas. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan mengganti istilah “Pojok Oralit” menjadi “Layanan Rehidrasi
Oral Aktif (LROA)”. Mengingat LROA juga merupakan salah satu indikator
kegiatan pengendalian diare, maka buku ini perlu disusun sebagai petunjuk
teknis dalam pelaksanaan LROA di Indonesia. Indikator pengendalian diare
di Indonesia adalah sebesar 90% kabupaten/kota yang mempunyai layanan
rehidrasi oral aktif pada tahun 2019.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Terlaksananya kegiatan Layanan Rehidrasi Oral Aktif di Puskesmas
sesuai dengan ketentuan.
2. Tujuan khusus
a. Penanggung jawab/pengelola program/kegiatan pengendalian diare di
dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota mampu
melakukan manajemen dan meningkatkan jumlah LROA di
Puskesmas minimal sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
b. Petugas puskesmas mampu melaksanakan kegiatan LROA di
puskesmas sesuai dengan ketentuan (petunjuk teknis).
C. Sasaran

Penanggung jawab/pengelola program/kegiatan pengendalian diare di dinas


kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan petugas puskesmas.

D. Dasar Hukum

1. UU. No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran


Negara Republik Indonesia Thn 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3273)

2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

4. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

5. Permenkes No. 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman


Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB).

6. Permenkes No. 741/Menkes/per.VII/2008 tentang Standar Pelayanan


Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota.
7. Kepmenkes No. 828/Menkes.SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kab/Kota.

8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang


Penanggulangan Penyakit Menular (Berita Negara Republik Indonesia
tahun 2010 Nomor 1755)

9. Kepmenkes No. HK.02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana Strategis


Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019
BAB II
PENANGANAN DIARE

A. Klasifikasi Diare
1. Diare akut
Buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada
umumnya 3 kali atau lebih) perhari dengan konsistensi cair dan
berlangsung kurang dari 7 hari.
a. Etiologi
Secara klinis penyebab diare akut dibagi dalam 4 kelompok yaitu
infeksi, malabsorbsi, keracunan makanan, dan diare terkait
penggunaan antibiotika. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
fungi, parasit (protozoa, cacing). Dari berbagai penyebab tersebut,
yang sering ditemukan adalah diare yang disebabkan oleh infeksi
virus (Bagan 1).
Bagan 1. Etiologi Diare Akut
b. Patofisiologi

1) Diare sekretorik
Disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang
terjadi akibat gangguan absorpsi natrium oleh vilus saluran cerna,
sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningkat.
Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh
sebagai tinja cair.
Diare sekretorik ditemukan pada diare yang disebabkan oleh infeksi
bakteri akibat rangsangan pada mukosa usus oleh toksin, misalnya
toksin Escherichia coliatau Vibrio cholerae 01.
2) Diare osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori yang dapat dilalui oleh air
dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik
antara lumen usus dan cairan intrasel. Oleh karena itu, bila di lumen
usus terdapat bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap akan
menyebabkan diare.
2. Diare bermasalah

Diare bermasalah terdiri dari disentri, diare berkepanjangan (prolonged


diarrhea), diare persisten/kronik, diare dengan gizi buruk (malnutrisi),
dan diare dengan penyakit penyerta.

a. Disentri

1) Batasan
Diare berdarah tidak selalu disentri, tidak selalu karena infeksi,
bisa alergi pada bayi, IBD (Inflammatory Bowel Disease).
Disentri adalah diare dengan darah dan lendir dalam tinja, dapat
disertai dengan adanya tenesmus. Disentri berat adalah disentri
yang disertai dengan komplikasi.
2) Etiologi dan Epidemiologi
Di Indonesia penyebab Disentri adalah Shigella sp, Salmonella
sp, Campylobacter jejuni, E.coli, dan Entamoeba histolytica.
Disentri berat umumnya disebakan oleh Shigella dysentriae,
Shigella flexneri, Salmonella dan Entero Invasive E.Coli (EIEC).
3) Patogenesis
Faktor risiko kejadian beratnya disentri antara lain gizi kurang,
usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita campak dalam
6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi, serta penyebab
disentrinya, misalnya Shigella sp yang menghasilkan toksin
dan/atau multiple drug resistent.
Pemberian spasmolitik memperbesar kemungkinan terjadinya
megakolon toksik. Pemberian antibiotika pada disentri yang
disebabkan oleh kuman yang telah resisten terhadap antibiotika
akan memperberat manifestasi klinis dan memperlambat sekresi
kuman dalam feses penderita.

4) Gambaran klinis
Disentri umumnya diawali oleh diare cair, kemudian pada hari
kedua atau ketiga baru muncul darah dengan atau tanpa lendir,
sakit perut yang diikuti tenesmus, panas disertai hilangnya nafsu
makan dan badan terasa lemah. Pada saat tenesmus terjadi, pada
kebanyakan penderita akan mengalami penurunan volume diare
dan mungkin tinja hanya berupa darah dan lendir. Pada kondisi
seperti ini perlu dipikirkan kemungkinan invaginasi terutama
pada bayi. Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat
menyertai disentri. Disentri dapat menimbulkan dehidrasi, dari
yang ringan sampai dengan dehidrasi berat, walaupun
kejadiannya lebih jarang jika dibandingkan dengan diare cair
akut. Komplikasi disentri dapat terjadi lokal di saluran cerna,
maupun sistemik.

b. Kolera
Gejala/tanda kolera, yaitu diare terus menerus, tinja cair seperti air
cucian beras, tanpa sakit perut, disertai mual dan muntah pada awal
penyakit.

Seseorang dicurigai kolera apabila:

1) Berumur >5 tahun menjadi dehidrasi berat karena diare akut


secara tiba-tiba (biasanya disertai mual dan muntah), tinjanya cair
seperti air cucian beras, tanpa rasa sakit perut/mulas.
2) Diare akut pada umur >2 tahun di daerah yang terjangkit KLB
kolera.

Diagnosis kolera ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.

c. Diare berkepanjangan (prolonged diarrhea)

Diare yang berlangsung lebih dari 7 hari dan kurang dari 14 hari.
Penyebab berbeda dengan diare akut. Pada keadaan ini kita tidak lagi
memikirkan infeksi virus melainkan infeksi bakteri, parasit,
malabsorpsi, dan beberapa penyebab lain dari diare persisten.

d. Diare persisten/diare kronik

1) Batasan
Diare persisten atau diare kronik adalah diare dengan atau tanpa
disertai darah, dan berlangsung selama 14 hari atau lebih. Bila
sudah terbukti disebabkan oleh infeksi disebut sebagai diare
persisten.
2) Etiologi
Sesuai dengan batasan bahwa diare persisten atau diare kronik
adalah diare akut yang menetap, dengan sendirinya etiologi diare
persisten atau diare kronik merupakan kelanjutan dari diare akut.

e. Diare dengan gizi buruk

Gizi buruk yang dimaksud adalah gizi buruk tipe


marasmus atau kwarsiorkor, yang secara nyata
mempengaruhi perjalanan penyakit dan tatalaksana
(penanganan) diare yang muncul. Diare yang terjadi pada
gizi buruk cenderung lebih berat, lebih lama dan dengan
angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan
diare pada anak dengan gizi baik. Walaupun pada dasarnya penanganan
diare pada gizi buruk sama dengan pada anak dengan status gizi baik,
tetapi ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.

f. Diare dengan penyakit penyerta

Anak yang menderita diare (diare akut atau diare persisten) mungkin
juga disertai dengan penyakit lain. Penanganan pada penderita selain
berdasarkan acuan baku penanganan diare juga tergantung dari penyakit
yang menyertai.

Penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan diare:

■ Infeksi saluran pernapasan (bronkhopneumonia, bronkhiolitis, dan lain-


lain)
■ Infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis, dan lain- lain)
■ Infeksi saluran kemih
■ Infeksi sistem lain (sepsis, campak, dan lain-lain)
■ Kurang gizi (gizi buruk, kurang vitamin A, dan lain-lain)
B. Prinsip Penanganan Diare pada Anak

Prinsip penanganan diare pada anak adalah Lintas Diare (Lima Langkah
Tuntaskan Diare), yaitu: Langkah 1. Pemberian oralit osmolaritas rendah;
Langkah 2. Pemberian zinc; Langkah 3. Pemberian ASI/Makanan; Langkah
4. Pemberian antibiotik hanya atas indikasi; dan Langkah 5. Pemberian
nasihat.

Anda mungkin juga menyukai