RAPID SURVEY
INSIDENS DAN DETERMINAN DIARE PADA BALITA SERTA KETERSEDIAAN
DAN PEMANFAATAN LAYANAN REHIDRASI ORAL
PADA EMPAT PROVINSI DI INDONESIA
TAHUN 2015
Kementerian Kesehatan RI
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung
Subdit Pengendalian Daire dan Infeksi Saluran Pencernaan
Tahun 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO dan UNICEF, setiap tahunnya terjadi sekitar 2 milyar kasus
diare di dunia, dan sekitar 1,9 juta anak balita diantaranya meninggal karena
diare. Sebagian besar kasus diare terjadi di negara berkembang. Dari semua
kematian anak balita karena diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara.
Jumlah kematian anak balita karena diare ini merupakan 18% dari semua
kematian anak balita dan berarti lebih dari 5000 anak balita meninggal setiap
hari karena diare. Dari semua kematian anak balita karena diare, 78% terjadi
di wilayah Afrika dan Asia Tenggara. (World Gastroenterology Organisation,
2012).
2
angka kesakitan diare pada kelompok semua umur 996,7 per 1000 penduduk
dan episode pada kelompok balita 2,6 kali per tahun (Kemenkes, 2014).
Pada tahun 2013, period prevalen diare untuk seluruh kelompok umur di
Indonesia sebesar 7.0%. Lima provinsi dengan period prevalen dan insiden
diare tertinggi, yaitu Papua (14,7% dan 6,3%), Nusa Tenggara Timur (10,9%
dan 4,3%), Sulawesi Selatan (10,2% dan 5,2%), Sulawesi Barat (10,1% dan
4,7%), dan Sulawesi Tengah (8,8% dan 4,4%). Semakin rendah kuartil indeks
kepemilikan, semakin tinggi proporsi diare pada penduduk.
Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi (7,1%), jenis kelamin dan
tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda.
Insidens diare balita di Indonesia sebesar 6,7%. Lima provinsi dengan insiden
diare pada balita tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta
(8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%). Anak balita merupakan
kelompok umur paling tinggi menderita diare, terutama 12-23 bulan (7,6%),
laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil
indeks kepemilikan terbawah (6,2%) (Riskesdas, 2013).
3
(<1%). Tingginya angka kematian diare ini menunjukkan bahwa Sistem
Kewaspadaan Dini KLB (SKD-KLB) belum terlaksana dengan baik.
Untuk mengetahui insidens diare tahun 2015, maka dipandang perlu untuk
melakukan rapid survey tentang insidens dan determinan diare pada balita,
serta untuk mengetahui layanan dan pemanfaatan layanan rehidrasi oral yang
ada saat ini. Rapid Survey ini sebagai hasil antara sebelum Kajian Morbiditas
Diare akan dilakukan pada tahun 2016 nanti.
4
B. Tujuan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
C. Manfaat
Tersedianya data dan informasi besaran masalah diare pada Balita serta
ketersediaan dan pemanfaatan LRO di empat provinsi di Indonesia, sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam kegiatan pengendalian diare
Balita di Indonesia, khsusnya terutama di lokasi survei.
5
BAB II
METODOLOGI
A. Desain Studi
Desain studi yang digunakan dalam rapid survey ini adalah desain studi potong
lintang (cross sectional) yang mengumpulkan berbagai variabel berbagai faktor
risiko serta kejadian kesakitan dan kematian diare pada saat yang bersamaan
B. Populasi
Populasi dalam rapid survey ini adalah rumah tangga yang mempunyai anak
usia di bawah lima tahun (0-59 bulan), sedangkan responden dalam rapid
survey ini adalah ibu/pengasuh balita.
C. Besar Sampel
Sampel untuk rapid survey ini dihitung berdasarkan rumus uji estimasi proporsi
(Lemeshow, 1986) dengan mempertimbangkan hasil survei sebelumnya, yaitu:
6
Sesuai dengan rumus uji estimasi proporsi di atas, dapat diketahui bahwa
jumlah sampel balita minimal yang harus diperoleh adalah 867 balita, yang
kemudian dikalikan 2 (dua) dengan design effect menjadi 1.734. Untuk
cadangan maka jumlah sampel dibulatkan menjadi 1800 responden. Jumlah
sampel tiap-tiap puskesmas adalah sebanyak 75 responden dengan rincian 4
provinsi x 1 kab x 6 puskesmas x 75 responden = 1.800 responden.
D. Lokasi
7
pemilihan puskesmas dilakukan oleh Kab/kota terpilih. Pada setiap
puskesmas akan dipilih 3 desa secara acak. Pada masing-masing desa
akan dipilih 25 KK yang memiliki bayi/balita (0-59 bulan) dengan cara
random walk.
Kriteria Inklusi pada rapid survey ini adalah rumah tangga yang mempunyai
anak Balita (0-59 bulan) bersedia di wawancarai dan berada dalam wilayah
kerja puskesmas, jika ada lebih dari satu balita dalam satu rumah tangga yang
datang berobat ke puskesmas maka yang diambil sebagai sampel adalah
balita termuda.
E. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi form kunjungan rumah
tangga, form skrining rumah tangga, kuesioner rumah tangga, rekap kejadian
diare, form jumlah penduduk, dan form observasi pojok oralit atau layanan
rehidrasi oral.
8
F. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan hasil rapid survey dengan
melakukan coding, entry data, cleaning dan analisis data menggunakan
software EPI INFO. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat untuk
melihat distribusi dan frekuensi insidens diare dan faktor determinannya.
H. PELAKSANAAN KEGIATAN
1. Persiapan
a. Pusat
Tim Pusat menyusun surat beserta TOR, Kuesioner dan
Penggandaannya serta bahan keperluan rapid survey
Memberikan penjelasan dan petunjuk hal-hal yang berkaitan secara
teknis tentang pelaksanaan rapid survey pada saat sosialisasi di
masing-masing kabupaten terpilih.
Konfirmasi jadwal dan kesiapan petugas sesuai provinsi terpilih
b. Provinsi
9
Sesuai dengan surat dari Pusat, Provinsi segera melakukan
koordinasi dan mengirimkan surat pemberitahuan pelaksanaan ke
Kabupaten dan menyiapkan petugas pelaksana (Kabupaten dan
Puskesmas)
Petugas Provinsi bersedia melaksanakan kegiatan rapid survey
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
c. Kabupaten/Kota
Memberikan informasi ke Puskesmas di wilayahnya tentang jadwal
pelaksanaan rapid survey
Menfasilitasi pelaksanaan sosialisasi/penjelasan hal-hal teknis
pelaksanaan rapid survey
Petugas Kabupaten bersedia melaksanakan kegiatan rapid survey
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
d. Puskesmas
Menyiapkan data pelayanan diare per bulan tahun 2014 dirinci
menurut golongan umur bayi (0 - <1 th), alita (>1 - <5 th) dan di atas
balita (> 5 th) dan jenis kelamin Form tersebut diharapkan sudah
selesai diisi pada saat petugas tiba di lokasi kegiatan
Menfasilitasi pelaksanaan pengumpulan data di lapangan
Petugas puskesmas bersedia melaksanakan kegiatan rapid survey
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
10
2 (dua) orang petugas provinsi
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder, data primer
diperoleh dari hasil wawancara dengan orang tua atau anggota keluarga
lainnya yang mewakili dengan mengunakan kuesioner, Wawancara dan
pengamatan dilakukan di masing-masih rumah responden, dan data hasil
observasi dengan menggunakan chek list/form observasi. Sedangkan data
sekunder berupa data jumlah kasus diare pada tahun 2014 yang diperoleh
dari medical record puskesmas.
3. Pembiayaan
11
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Rapid Evaluasi Kesakitan Diare pada tahun 2015 dilakukan pada 4 (empat)
provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi
Tenggara dan Provinsi Bali. Pada masing-masing provinsi terpilih masing-
masing 1 (satu) Kabupaten/Kota sebagai lokasi kegiatan, dan pada masing-
masing Kabupaten/Kota terpilih diambil masing-masing 6 puskesmas yang
ditetapkan sebagai lokasi survey.
12
B. Karakteristik Responden
1. Pendidikan Responden
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pendidikan responden yang paling
tinggi adalah tamat SLTA/sederajat (40,03%), sedangkan yang paling
sedikit adalah tidak sekolah hanya (1%) dan Sarjana hanya 9,5%.
Berdasarkan grafik juga hampir sama pendidikan yang ditamatkan
responden dengan pendidikan yang ditamaatkan oleh kepala keluarga.
2. Umur
13
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rata-rata umur sasaran bayi/balita
yang disurvey adalah 24 bulan di Provinsi Aceh, 24,9 bulan di provinsi
Sumatera Barat, 26 bulan di Provinsi Sulawesi Tenggara dan 23 bulan di
Provinsi Bali.
3. Pekerjaan Responden
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada umumnya responden adalah
Ibu Rumah Tangga (72,8%), sedangkan distribusi pekerjaan kepala
keluarga yang paling banyak adalah pegawai swasta (21,1%) dan
angkanya tidak jauh berbeda dengan petani (20,1%), disamping itu juga
ditemukan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS, TNI/POLRI,
Nelayan, buruh dan lainnya.
14
4. Yang Dominan Mengasuh Anak
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa yang dominan mengasuh anak di
rumah pada semua provinsi adalah ibu kandung dan secara total hanya
9,55 % anak ditinggal sama pengasuh di rumah. Berdasarkan hasil survey
yang mengasuh disini adalah pembantu dan dan nenek bayi/balita sasaran.
Tabel 3.1
Angka Kesakitan Diare Bayi, Balita dan Semua Umur
1 ACEH
450 117 521 1.899 0,034 0,036 0,015 0,943 1,006 0,407
SUMATERA
2
BARAT 450 111 532 2.048 0,018 0,024 0,008 0,444 0,602 0,192
SULAWESI
3
TENGGARA 468 149 572 2.038 0,013 0,040 0,012 0,245 0,735 0,224
4 BALI
539 135 549 2.040 0,067 0,042 0,011 1,431 0,899 0,242
NASIONAL (4 PROV) 1.907 512 2.174 8.025 0,033 0,036 0,011 0,781 0,843 0,270
*)
Keterangan : Angka Kesakitan Diare Setahun
15
Pada tabel 3.1 dapat dilihat bahwa dari 1.907 rumah tangga yang dikunjungi
terdiri dari 8. 025 jiwa, 512 diantaranya bayi dan 2.174 Balita. Angka kesakitan
diare pada bayi adalah 781 per 1000 penduduk, Episode kejadian diare pada bayi
paling tinggi Provinsi bali yaitu 1,431 kali (rata-rata 1-2 kali) setahun dan terendah
di Provinsi Sulawesi tenggara yaitu 0,241 (rata-rata kurang dari 1 kali setahun).
Angka kesakitan diare pada Balita adalah 843 per 1000 penduduk, episode diare
paling tinggi di Provinsi Aceh yaitu 1,006 kali (rata-rata 1-2 kali) setahun dan
terendah di Provinsi Sumatera Barat yaitu 0,602 kali (rata-rata kurang dari 1 kali)
setahun. Sedangkan angka kesakitan diare pada kelompok semua umur adalah
270 per 1000 penduduk, tertinggi di Provinsi Aceh yaitu 407 per 1000 penduduk
dan terendah di Provinsi Sumatera Barat yaitu 192 per 1000 penduduk.
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar jenis diare yang
terjadi pada bayi dan balita adalah diare biasa (65,3%). Diare berdarah (2,0%),
diare seperti cucian beras (3,1%), diare berlendir (22,4%), dan diare berbau khas
(6,1%).
16
2. Penyakit Penyerta pada Diare Bayi dan Balita
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa gejala penyakit penyerta saat
bayi dan Balita kena diare yaitu campak (2,08%), Batuk Pilek (27,08%), Demam
(34,38%) dan ada 36,46% yang tidak ada gejala penyakit penyerta. Gejala
penyerta demam paling tinggi ditemui di Provinsi Sultra (48,48%)
17
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kejadian diare berulang lebih tinggi (53,2%)
dibandingkan dengan kejadian diare yang tidak berulang (46,3%) dan kejadian
diare berulang tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (78,6%) dan diikuti di
Provinsi Aceh (73,9%), Bali (36,0%) dan yang terendah di provinsi Sultra (29,4%).
90
80,1
80
70
60,6
58,2
57,8
55,1
60
50,7
50
38,2
34,6
40
28,9
27,1
26,2
28
30
20,4
19,8
18,9
21
16,4
15,8
14,4
20
11,9
10,7
8,9
6,4
5,7
10
3,4
2,7
2,4
1,9
1,6
0,4
0
Sumbar Aceh Sultra Bali Total
Sakit perut BAB lebih 3x sehari Muntah Tinja cair, disertai darah/lendir Lainnya Tdk Tahu
Dari grafik dapat dilihat bahwa pengetahuan responden tentang tanda dan
gejala diare yang paling tinggi adalah buang air besar lebih dari 3 x sehari
dalam sehari yaitu 57,8% dan hanya 21% responden yang menjawab
tidak tahu tanda dan gejala diare, tetapi masih ada 6,4% yang menjawab
lainnya, lainnya disini pada umumnya responden menjawab tanda tumbuh
gigi.
18
- Pengetahuan responden tentang penyebab diare
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa yang paling banyak responden
menjawab penyebab diare adalah karena makan makanan yang tercemar
(26,6%), sedangkan yang menjawab penyebab diare karena kuman
(bakteri, virus, jamur) hanya 17,5%. Dalam hal ini mungkin terdapat
kesalahan dalam meyusun opsi pilhan jawaban kuesioner,
menggabungkan antara jawaban penyebab diare dengan faktor risiko
kejadian diare. Pada grafik diketahui bahwa responden sudah tahu faktor
risiko kejadian diare lainnya seperti minum yang tercemar walaupun
persentasenya hanya 12,7 % .
19
- Pengetahuan responden tentang tanda dan gejala bahaya pada anak diare
yang harus dibawa ke petugas kesehatan
Grafik 3.6 : Pengetahuan tentang tanda dan gejala diare pada anak yg
harus dibawa ke petugas kesehatan
Dari grafik diketahui bahwa tanda dan gejala diare pada anak yang harus
dibawa ke petugas kesehatan adalah paling banyak menjawab jika tidak
membaik selama 3 hari (20%)dan apabila tinja berdarah (20%) dan yang
menjawab tidak tahu 2,2%.
- Pengetahuan responden tentang tanda-tanda anak dehidrasi/kekurangan
cairan karena diare
20
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir sebagian responden
menjawab tidak tahu tanda anak dehidrasi/kekurangan cairan karena diare
(41,8%) dan yang tahu dan menjawab lemas/tidak aktif (19,5%), demam
(11,7%), kulit kering dan tidak lentur (10,9%), mata cekung (4,2%), bibir
kering(3,4%), jarang BAK (0,4%) dan menjawab lainnya (8,1%).
21
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pengetahuan tentang tindakan yang
perlu dilakukan untuk mencegah diare adalah mencuci tangan dengan
sabun (38,06%) sedangkan yang paling sedikit menjawab menyediakan
tempat sampah tertutup (0,83%) dan masih ada menjawab tidak tahu
(17,36%).
22
- Pengetahuan tentang akibat diare
23
- Pengetahuan tentang Oralit
Dari grafik di atas diketahui bahwa pada semua Provinsi pada umumnya
sebagian besar responden menjawab sudah tahu oralit. Secara nasional
(86,78%) sudah tahu oralit dan hanya 13,22% yang menjawab tidak tahu
oralit.
24
Pada grafik di atas dapat diketahui bahwa pada semua provinsi hanya
sebagian kecil responden yang tahu tantang zink. Secara nasional hanya
(21,48%) responden yang menjawab tahu tentang zink dan sebagian besar
responden tidak tahu zink (78,52%).
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa sumber informasi tentang oralit
dan zink adalah sebagian besar dari tenaga kesehatan (83,60%) untuk
zink dan 72,79% untuk oralit. Sedangkan sumber informasi tentang oralit
hanya 1,72% dari pojok oralit.
25
- Riwayat pemberian ASI
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa di Provinsi Bali persentase anak
yang tidak pernah di beri ASI paling tinggi dibanding pprovinsi lainnya
(8,9%) dan hampir semua anak responden pernah diberikan ASI (94,1%)
dan hanya sebagian kecil saja anak responden yang tidak diberi ASI
(5,9%).
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden tetap
memberikan ASI kepada anaknya ketika menderita diare (95$%) dan
26
hanya 4,6% yang berhenti memberikan ASI kepada anaknya ketika
anaknya menderita diare.
Secara umum dapat dilihat pada tabel di atas bahwa sikap responden sudah
cukup baik terhadap pencegahan diare yang dilihat dari segi kebiasaan cuci
tangan, pengobatan dan tata laksana diare pada anak serta sikap terhadap
pemanfaatan faslitas kesehatan, secara rinci dpat dilihat pada grafik di bawah ini :
27
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa sikap responden setuju ketika air sulit
didapat, ibu akan mencuci tangan dengan sabun setelah menceboki bayi
(95,^%) dan hanya (4,7%) yang tidak setuju. Persentase sikap setuju paling
tinggi di Provinsi Sumatera Barat (97,5%).
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa sikap responden setuju ibu mencuci
tangan dengan sabun sebelum memberikan ASI kepada anaknya meskipun anak
menangis keras (85,6%) dan responden yang tidak setuju masih ada (14,4%).
28
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir semua responden setuju ketika
anak diare, ibu tetap memberikan oralit meskipun rasanya tidak enak (95,3%).
Dan hanya 4,6% yang tidak setuju. Bahkan di provinsi Bali sikap responden setuju
paling tinggi (97%) tetap memberikan oralit kepada anaknya meskipun rasanya
tidak enak.
29
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden tidak setuju
ketika anak diare, ibu berhenti memberikan ASI (85,6%) dan masih ada sebanyak
14,3 % yang setuju ketika anak diare, ibu berhenti memberikan ASI.
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa lebih dari sebagian responden (63,1%)
setuju meskipun anak sudah sembuh, ibu akan tetap memberikan zink selama 10
hari. Dan yang tidak setuju memberikan zink selama 10 hari meskipun anaknya
sudah sembuh dari diare (36,7%).
30
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir semua responden setuju ibu tetap
akan memberikan makanan/minuman pada saat anak menderita diare meskipun
anaknya tidak mau makan (96,6%)
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden tidak setuju
(88%) kalau diare tidak perlu diobati karena merupakan tanda anak menjadi
31
pintar, dan masih ada 12,0% yang setuju kalau diare itu tidak perlu diobati karena
tanda anak akan tumbuh besar atau menjadi pintar.
Dari grafik di atas diketahui bahwa hampir semua responden setuju (97%)
meskipun air terlihat bersih dan jernih, ibu tetap akan memasak air hingga
mendidih dan hanya 3% yang tidak setuju.
32
Dari grafik di atas dapat dilihat lebih dari sebagian responden tidak setuju (69,9%)
ibu akan mencuci tangan hanya saat tangan terlihat kotor, dan hampir
sepertiganya setuju (30,1%) ibu akan mencuci tangan hanya saat tangan terlihat
kotor.
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa hampir semua responden setuju (98,3%)
ibu membawa anak yang menderita diare ke pelayanan kesehatan meskipun jarak
ke pelayanan kesehatan jauh, dan hanya 1,7% yang tidak setuju.
33
G. Perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS)
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa tempat buang air besar anggota
keluarga responden sebagian besar sudah menggunakan Septic tank
(74,1%), walaupun masih ditemukan anggota keluarga responden yang buang
air besar di lubang galian (1,0)%, sungai (4,2%), kolam (0,8%),
lapangan/semak (1,2%), jamban gantung di sungai (1,4%) dan tempat
sampah (0,8%). Sedangkan provinsi yang paling tinggi persentasenya
anggota keluarga responden yang menggunakan septic tank adalah Provinsi
Sumatera Barat (81,8%).
34
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa secara keseluruhan persentase
tempat membuang tinja dari popok bayi lebih besar di tempat sampah
(42,53%) dibandingkan di jamban (23,85%). Persentase tempat membuang
tinja bayi dari popok ke tempat sampah yang paling tinggi adalah Provinsi
Sulawesi Tenggara (56,9%), diikuti Provinsi Aceh (50,89%), dan yang paling
rendah persentasenya adalah Provinsi Sumabar (27,6%). Dan masih
ditemukan membuang tinja dari popok bayi ke saluran pembuangan air limbah
(3,3%) dan saluran air (4,4%), lahan kosong (3,75%), halaman rumah
(1,42%), sungai (8,4%), got/parit (1,36%), kolong rumah (0,19%) dan ke
tempat lainnya masih ditemukan sebesar 10,80%.
35
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sumber air bersih untuk keperluan
keluarga sehari-hari yang paling banyak adalah ledeng sampai dalam rumah
(34,0%), kemudian diikuti dengan sumur gali terlindung (30,9%), mata ir
terlindung (11,1%). Masih ditemukan sumber air bersih dari sumur gali tidak
terlindung (4,8%), mata air tidak terlindung (1,5%) dan air permukaan seperti
sungai, danau dan kolam sebanyak (0,1%). Di Provinsi Aceh sumber air
bersih responden paling tinggi dari sumur gali terlindung yaitu 68,0%.
36
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kebiasaan ibu mengolah air minum
keluarga dengan memasak sampai mendidih (81,9%), yang tertinggi yaitu di
provinsi Sulawesi Tenggara (96,5%). Masih ditemukannya air minum yang
tidak dimasak sebesar (6,5%) dan angka tertinggi kebiasaan minum air yang
tidak dimasak adalah di Provinsi Aceh (16,2%).
37
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa kebiasaan keluarga mengolah
sayuran/lalapan/buah lebih dari sebagaian responden menjawab dicuci
dengan air mengalir (68,3%) dan dicuci dengan air tidak mengalir (31,0%).
Sedangakan di Provinsi Sulawesi Tenggara lebih dari sebagian responden
mengolah sayuran/lalapan/buah dicuci dengan air tidak mengali+9r (54,4%).
38
H. Angka Penggunanaan Oralit dan Zink
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa hanya 31,6% responden yang
memberikan oralit ketika anak diare, masih ada 22,4% yang memberikan
Larutan Gula Garam (LGG), masih ada 16,9% yang memberikan obat-
obatan lain, masih ada 21,1 % yang memberikan ramuan/jamu, dan masih
ada 6,6% yang tidak memberikan apa-apa saat anak diare. Angka
pemberian oralit paling tinggi adalah Provinsi Bali (45,0%). Sedangkan di
provinsi Sumbar ditemukan angka paling tinggi responden yang memberikan
LGG saat anaknya menderita diare (50%) artinya sebagian anak yang
menderita diare masih diberi LGG, padahal menurut kebijakan program
pengendalian diare LGG sudah tidak direkomendasikan lagi untuk diberikan
kepada anak yang menderita diare, tetapi yang direkomendasikan adalah
oralit dengan osmolaritas rendah.
39
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sudah lebih sebagian anak yang
menderita diare diberikan obat zink (52,4%) dan sebanyak 47,6% anak diare
belum mendapatkan obat zink. Bahkan di Provinsi Aceh sudah 100% anak
yang menderita diare dapat obat zink.
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa dari 6 (enam) puskesmas yang
dikunjungi pada masing-masing provinsi, di provinsi Aceh dan Sulawesi
40
Tenggara tidak ada satupun puskesmas yang punya LROA/Pojok Oralit.
Sedangkan di Provinsi Sumatera Barat dari 6 Puskesmas, 5 Puskesmas
sudah ada dan hanya satu puskesmas yang tidak ada pojok oralit.
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa hanya ada 29,2% puskesmas
yang masih punya pojok oralit, tertinggi yaitu di Provinsi Sumatera Barat
(83,3%).
41
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa dari 5 puskesmas yang punya pojok
oralit, hanya 3 puskesmas yang pojok oralitnya masih berfungsi, sedangkan di
Provinsi Bali dari 2 puskesmas yang punya pojok oralit semuanya tidak ada
yang berfungsi.
Di Provinsi Sumatera Barat, pojok oralit yang sudah punya peralatan dan
ruangan serta berfungsi dengan baik yaitu di Puskesmas Silungkang. Disini
sudah ada kegiatan rutin dan melayani kegiatan konseling dan rujukan
penderita diare dari poliklinik anak. Di Provinsi Bali ada 2 puskesmas yang
masih punya pojok oralit tetapi kondisinya sudah tidak berfungsi sebagai
mana mestinya karena tidak punya peralatan yang lengkap dan tidak punya
petugas khusus yang bertugas di pojok oralit tersebut, dari hasil wawancara
yang dilakukan dengan kepala puskesmas menyatakan bahwa masih
kekurangan SDM sehingga program diare dipegang rangkap oleh petugas
lainnya.
42
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pendidikan yang ditamatkan oleh kepala keluarga yang paling banyak
adalah SLTA/sederajat (42,8%) dan hampir sama dengan tingkat
pendidikan responden yaitu 40,03%
2. Pekerjaan responden pada umumnya adalah Ibu Rumah Tangga (72,8%)
3. Angka kesakitan diare pada bayi adalah 781 per 1000 penduduk
4. Episode kejadian diare pada bayi paling tinggi Provinsi bali yaitu 1,431 kali
(rata-rata 1-2 kali) setahun dan terendah di Provinsi Sulawesi tenggara
yaitu 0,241 (rata-rata kurang dari 1 kali setahun)
5. Angka kesakitan diare pada Balita adalah 843 per 1000 penduduk
6. Episode diare paling tinggi di Provinsi Aceh yaitu 1,006 kali (rata-rata 1-2
kali) setahun dan terendah di Provinsi Sumatera Barat yaitu 0,602 kali
(rata-rata kurang dari 1 kali) setahun.
7. Angka kesakitan diare pada kelompok semua umur adalah 270 per 1000
penduduk, tertinggi di Provinsi Aceh yaitu 407 per 1000 penduduk dan
terendah di Provinsi Sumatera Barat yaitu 192 per 1000 penduduk.
8. Karakteristik diare pada bayi dan Balita yang terbanyak adalah diare biasa
(65,3%)
9. Penyakit penyerta pada diare Bayi dan Balita adalah demam (34,38%),
batuk pilek (27,08%) dan campak (2,0%).
10. Kejadian diare berulang (53,2%) lebih tinggi dibanding kejadian diare yang
tidak berulang (46,3%) dan kejadian diare berulang tertinggi terjadi di
Provinsi Sumatera Barat (78,6%)
11. Lebih dari sebagian responden tahu tentang tanda dan gejala diare BAB
lebih 3x sehari (57,8%), hampir sebagian responden tidak tahu tanda anak
dehidrasi/kekurangan cairan karena diare (41,8%), hanya 38,06 %
responden yang mengetahui tindakan yang harus dilakukan untuk
43
mencegah diare, hampir sebagian responden (42,32%) yang tahu bahwa
yang pertama kali diberikan kepada anak diare adalah oralit, hanya 33,82%
responden yang tahu akibat diare akan menyebabkan anak kekurnagan
cairan
12. Sumber informasi responden tentang tanda, gejala dan bahaya diare paling
tinggi adalah dari petugas kesehatan (65,52%)
13. Pada umumnya responden sudah tahu oralit (76,78%) dan hanya sebagian
kecil responden saja yang tahu tahu zink (19,39%). Sumber Informasi
responden tentang oralit (72,79%) dan zink (83,60%) dari tenaga
kesehatan
14. Pada umumnya responden sudah pernah memberikan ASI pada anaknya
(94,1%)
15. Sikap responden setuju mencuci tangan dengan sabun setelah menceboki
bayi (95,3%), setuju mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan
ASI (85,6%), setuju tetap memberikan oralit kepada anak ketika diare,
walaupun rasanya tidak enak (95,3%), masih ada 14,3% responden yang
setuju ibu memberikan ASI ketika anak diare, masih ada 36,7% responden
yang tidak setuju meskipun anak sudah sembuh ibu tetap memberikan
selama 10 hari, hampir semua responden setuju (96,6%) ibu tetap
memberikan makanan/minuman pada saat anak menderita diare meskipun
anak tidak mau makan, masih ada 12,0% responden yang setuju bahwa
diare tidak perlu diobati karena merupakan tanda anak akan tumbuh besar
dan menjadi pintar, hampir semua responden setuju (97,0%) ibu akan tetap
memasak air hingga mendidih meskipun air terlihat bersih dan jernih, masih
ada 30,1 % responden yang setuju ibu akan mencuci tangan hanya saat
tnagan terlihat kotor, dan hampir semua responden setuju (98,3%) ibu
membawa anak yang menderita diare ke palayanan kesehatan meskipun
jaraknya jauh.
44
16. Sebagian besar responden sudah menggunakan sarana pembuangan
jamban yang memenuhi syarat kesehatan dengan menggunakan septick
tank (74,1%)
17. Hampir sebagian responden mempunyai kebiasaan membuang tinja bayi
dari popok ke tempat sampah (42,5%) dan yang tertinggi di Provinsi Sultra
(56,9%)
18. Sumber air bersih responden yang paling banyak yaitu dari ledeng sampai
dalam rumah (34,0%) diikuti dengan sumur gali terlindung (30,9%).
Sedangkan di Provinsi Aceh lebih dari sebagian responden (68,0%)
menggunakan sumur gali terlindung
19. Kebiasaan ibu mengolah air minum keluarga dengan dimasak sampai
mendidih (81,9%) dan masih ada 6,5% ibu yang tidak memasak air untuk
minum.
20. Kebiasaan keluarga mengolah sayuran/buah/lalapan dicuci dengan air
mengalir 68,3%
21. Angka penggunakaan oralit adalah 31,6% dan angka penggunakaan zink
52,4%
22. Dari hasil survei yang dilakukan ke puskesmas ternyata hanya ada 29,2%
puskesmas yang masih punya pojok oralit. Dari pojok oralit yang ada di
puskesmas hanya ada 3 puskesmas yang pojok oralitnya masih berfungsi
yaitu di Provinsi Sumatera Barat.
B. Saran
1. Agar melakukan penyuluhan tentang faktor risiko yang meningkatkan
terjadinya diare dan penyuluhan tentang PHBS, terutama tentang
penyebab diare, cara pencegahan diare, terutama kebiasaan membuang
kotoran bayi agar tidak menjadi sumber penularan
45
2. Agar mengadakan pelatihan bagi petugas puskesmas tentang
manajemen program dan tatalaksana diare
3. Agar membuat dan mengkatifkan kembali pojok oralit atau Layanan
rehidrasi Oral Aktif (LROA) di Puskesmas sehingga bisa menjadi tempat
konseling dan layanan bagi penderita diare
46