Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit diare merupakan penyebab utama kematian anak dan

morbiditas di dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh sumber

makanan dan air minum yang terkontaminasi disamping sanitasi

lingkungan yang kurang baik.Di seluruh dunia terdapat 780 juta orang

tidak memiliki sanitasi yang baik.Diare akibat infeksi tersebar luas di

seluruh negara berkembang.Sebagian besar orang meninggal akibat diare

karena dehidrasi berat dan kehilangan cairan (WHO, 2013).

Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan di

negara berkembang terutama di Indonesia, baik di perkotaan maupun di

pedesaan. Penyakit diare bersifat endemis juga sering muncul sebagai

Kejadian Luar Biasa (KLB) dan diikuti korban yang tidak sedikit.

Untuk mengatasi penyakit diare dalam masyarakat baik tata laksana

kasus maupun untuk pencegahannya sudah cukup dikuasai. Akan

tetapi permasalahan tentang penyakit diare masih merupakan masalah

yang relatif besar (Suraatmadja, 2010 dalam Safira dkk, 2015).

Laporan WHO, angka kesakitan diare pada tahun 2014 sebesar 411

penderita per 1.000 penduduk dengan kematian sebanyak 200.000 sampai

dengan 400.000 balita setiap tahun. Diare pada balita lebih dari

setengahnya terjadi di Afrika dan Asia Selatan.Penyakit diare

mengakibatkan kematian atau keadaan berat lainnya. Balita merupakan

kelompok usia rentan terhadap diare, insiden diare tertinggi pada

1
2

kelompok anak usia dibawah dua tahun dan menurun dengan

bertambahnya usia anak (WHO, 2015).

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga

merupakan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian.

Menurut hasil Riskesdas 2007, diare merupakan penyebab kematian

nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada

golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke-empat

(13,2%). Pada tahun 2012 angka kesakitan diare pada semua umur sebesar

214 per 1.000 penduduk dan angka kesakitan diare pada balita 900 per

1.000 penduduk (Kajian Morbiditas Diare 2012). Menurut Riskesdas

2013, insiden diare (≤ 2 minggu terakhir sebelum wawancara) berdasarkan

gejala sebesar 3,5% (kisaran provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada

balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Sedangkan period

prevalence diare (>2 minggu-1 bulan terakhir sebelum wawancara)

berdasarkan gejala sebesar 7%. (Kemenkes RI, 2015).

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang memberikan

kontribusi besar terhadap jumlah kasus diare pada balita di Indonesia.

Hal ini dikarenakan Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah

penduduk terbanyak kedua di Indonesia dengan presentase diare pada

balita cukup tinggi. Cakupan pelayanan penyakit diare dalam kurun waktu

7 (Tujuh) tahun terakhir cenderung meningkat, dimana pada tahun 2013

mencapai 118,39 % dan sedikit menurun pada tahun 2014 menjadi 106 %

dan meningkat pada tahun 2015 110,66 %. Hal ini terjadi karena

penurunan angka morbiditas dari tahun 2012 yang sebesar 411/1.000


3

penduduk menjadi 214/1.000 penduduk pada tahun 2013 (Profil Kesehatan

Indonesia, 2015).

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di kabupaten

Jombang, Secara umum penyakit diare sangat berkaitan dengan prilaku

hidup bersih dan sehat. Pada tahun 33.833 orang, jumlah penderita Diare

yang ditemukan dan ditangani di Kabupaten Jombang tahun 2017 adalah

28.869 sehingga cakupan kasus diare yang ditemukan dan ditangani

sebesar 85,3%. Total kasus diare tahun 2017 menurun dibanding jumlah

kasus pada tahun 2016 mencapai 37.155 kasus, hal ini disebabkan

meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya Perilaku Hidup

Sehat dan Bersih (PHBS). (Dinas Kesehatan Jombang, 2017).

Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) merupakan salah satu

program yang dicanangkan pemerintah dan sudah berjalan sekitar 15

tahun, tetapi keberhasilannya masih jauh dari harapan. Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa masyarakat di

Indonesia yang mempraktekkan PHBS baru mencapai 38,7%, tahun 2014

sebesar 39,2% dan tahun 2015 meningkat menjadi 40,6%. Namun

peningkatan ini masih belum mencapai target Rencana Strategis (Restra)

Kementerian Kesehatan sebesar 70% (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Perilaku ibu dalam mengasuh anak dan faktor lingkungan dimana

anak tinggal yang menyebabkan penyebaran kuman dan meningkatkan

terjadinya diare yaitu tidak memberikan ASI ekslusif secara penuh pada

bulan pertama kehidupan, tidak mencuci bersih botol susu anak,

penyimpanan makanan yang salah, menggunakan air minum yang


4

tercemar, tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, sebelum

menyuapi anak, sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak,

dan tidak membuang tinja dengan benar. Faktor-faktor lingkungan yaitu

sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi

dengan perilaku manusia (Assiddiqi, 2011).

Hasil survey Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terhadap

82.302 rumah tangga di 21 wilayah kerja puskesmas di Kabupaten

Jombang menunjukkan bahwa 48.283 rumah tangga (58,7%) yang telah

berprilaku hidup bersih dan sehat. Pencapaian tahun 2017 meningkat

dibandingkan dengan tahun 2016.Tetapi dibandingkan dengan target SPM

tahun 2017 yang sebesar 60% maka pencapaian rumah tangga berprilaku

hidup bersih dan sehat masih di bawah target. Sedangkan berdasarkan

laporan capaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Puskesmas

Bareng tahun 2017 menunjukkan bahwa hasil survey Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Bareng terhadap 240 rumah tangga

menunjukkan bahwa hanya 17 rumah tangga (7,1%) yang telah berprilaku

hidup bersih dan sehat, sisanya 223 rumah tangga (92,9%) belum

berprilaku hidup bersih dan sehat.(Profil Kesehatan Kabupaten Jombang

2017).

Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan

terhadap kejadian diare, diantaranya tidak memberikan Air Susu Ibu (ASI)

selama 2 tahun, kurang gizi, penyakit campak dan imunodefisiensi.

(Aryana K et al 2014). Air Susu Ibu (ASI) bukan sekedar sebagai

makanan, tetapi juga sebagai cairan yang terdiri dari sel hidup seperti sel
5

darah putih dan mengandung antibodi, hormon, faktor-faktor

pertumbuhan, enzim serta zat yang dapat membunuh bakteri dan virus

(Ermawati et al 2012). Menurut Badan Kesehatan Dunia World Health

Organization (WHO) dan American Academi of Pediatrics, pemberian

ASI selama paling sedikit 6 bulan dapat menurunkan mortalitas karena

diare, penyakit 4 pernafasan dan berbagai penyakit infeksi lainya, hingga

sebesar 55% (Maulida 2013).

Pencegahan diare juga dapat dilakukan dengan pemberian ASI

karena ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan

adanya antibodi dan zat- zat lain yang dikandungnya. ASI turut

memberikan perlindungan terhadap diare pada balita, Pemberian Makanan

Pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan

dengan makanan orang dewasa, menggunakan air bersih yang cukup,

mencuci tangan kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan

perorangan yang penting dalam penularan kuman diare, menggunakan

Jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap

penyakit diare. pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare

oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan

(Depkes RI, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ferlando (2014)

menunjukkan bahwa ada hubungan antara personal hygiene ibu dengan

kejadian diare pada balita. Pada penelitian ini didapati bahwa sebagian

besar ibu termasuk dalam kategori personal hygiene baik (55,3%) dan

sebagian besar balita tidak mengalami diare dalam 3 bulan terakhir


6

(54,3%), sedangkan sisanya mengalami diare dalam 3 bulan terakhir

yaitu sebesar 45,7%. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian

Mokodompit dkk (2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

tindakan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di

Puskesmas Bilalang Kota Kotamobagu. Pada penelitian ini didapatkan

hasil bahwa sebagian besar ibu mempunyai personal hygiene baik (66,7%)

dan balita mengalami diare tidak berulang (62%), sedangkan ibu yang

mempunyai personal hygiene kurang (33,3%) dan balita mengalami diare

berulang sebesar 19,1%.

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti membatasi masalah pada

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Diare, Balita.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkaan latar belakang diatas maka penulis merumuskan

masalah yaitu adakah Hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Ibu

dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Grogol Kecamatan Diwek

Kabupaten Jombang?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum :

Mengetahui Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Ibu dengan Kejadian Diare Pada Balita.


7

1.4.2 Tujuan Khusus :

1. Mengidentifikasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Ibu

di Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang

2. Mengidentifikasi Kejadian Diare pada balita di Desa Grogol

Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang

3. Menganalisis Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Ibu dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Grogol Kecamatan

Diwek Kabupaten Jombang

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis :

Dapat dijadikan bahan penelitian lebih lanjut sebagai dasar untuk

lebih memantapkan dan memberi informasi adanya hubungan Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) Ibu dengan Kejadian Diare Pada Balita.

1.5.2 Manfaat Praktis :

1. Bagi Responden

Sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan tentang

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sehingga saat balita

mengalami diarediharapkan bisa mengurangi dan melakukan

perawatan diare dengan benar.

2. Bagi Puskesmas

Sebagai sumber pertimbangan pengambilan kebijakan secara

cepat, tepat dan sesuai untuk pencegahan dan pengendalian kasus

penyakit diare pada balita di puskesmas.


8

3. Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai data awal untuk melakukan intervensi penyuluhan

kepada ibu tentang diare.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai informasi yang bermanfaat dan menambah bahan

kepustakaan, khususnya tentang hubungan perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS) Ibu dengan kejadian diare pada balita.Serta dapat

dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk penelitian

selanjutnya.

5. Bagi Peneliti selanjutnya

Memperoleh informasi yang ilmiah tentang hubungan perilaku

hidup bersih dan sehat (PHBS) Ibu dengan kejadian diare pada

balita.Sehingga dalam penelitian selanjutnya, diharapkan calon

peneliti bisa menggunakan variable atau subyek yang belum pernah

diteliti untuk melengkapi kekurangan penelitian-penelitian

sebelumnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

2.1.1 Definisi PHBS

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua

perilaku yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga

atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan

dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan

dimasyarakat (Maryunani A, 2013).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk

memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi

bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan

membuka jalan komunikasi, memberikan informasi dan melakukan

edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku,

melalui pendekatan pimpinan (advokasi), bina suasana (social

support) dan pemberdayaan masyarakat (empowerman) sebagai

suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengatasi

masalahnya sendiri, dalam tatanan masing-masing, agar dapat

menerapkan cara-cara hidup sehat, dalam rangka menjaga,

memelihara dan menigkatkan kesehatan (Maryunani A, 2013).

2.1.2 Tujuan PHBS

Tujuan perilaku hidup bersih dan sehat dimasyarakat sebagai

berikut (Maryunani, 2013) :

1. Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat.

9
10

2. Masyarakat mampu mencegah dan mengatasi masalah-

masalah kesehatan yang dihadapinya.

3. Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada

untuk penyembuhan penyakit dan peningkatan kesehatan.

4. Masyarakat mampu mengembangkan upaya kesehatan untuk

pencapaian PHBS di rumah tangga.

2.1.3 Manfaat PHBS

1. Manfaat PHBS bagi rumah tangga(Maryunani, 2013):

a. Setiap rumah tangga meningkatkan kesehatannya dan

tidak mudah sakit

b. Anak tumbuh sehat dan cerdas.

c. Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat dengan

meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka

biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan

untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan,

pemenuhan gizi keluarga dan modal usaha untuk

peningkatan pendapatan keluarga.

2. Manfaat PHBS bagi masyarakat:

a. Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan yang

sehat.

b. Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi

masalah-masalah kesehatan.

c. Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.


11

d. Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan

Bersumber Masyarakat (UKBM) seperti posyandu,

jaminan pemeliharaan kesehatan, tabungan bersalin

(tabulin), arisan jamban, kelompok pemakai air, ambulans

desa dan lain-lain.

2.1.4 Sasaran PHBS

Tatanan Rumah Tangga, sasaran PHBS di rumah tangga

adalah seluruh anggota keluarga secara keseluruhan dan terbagi

dalam (Maryunani, 2013):

1. Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga

yang akan dirubah perilakunya atau anggota keluarga yang

bermasalah (individu dalam keluarga yang bermasalah).

2. Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi

individu dalam keluarga yang bermasalah misalnya, kepala

keluarga, ibu, orang tua, tokoh keluarga, kader tokoh agama,

tokoh masyarakat, petugas kesehatan, dan lintas sektor terkait,

PKK3.

3. Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi

unsur pembantu dalam menunjang atau mendukung

pendanaan, kebijakan, dan kegiatan untuk tercapainya

pelaksanaan PHBS misalnya, kepala desa, lurah, camat,

Kepala Puskesmas, guru, tokoh masyarakat dan lain-lain.


12

2.1.5 Indikator PHBS Di Rumah Tangga

PHBS di Rumah Tangga adalah upaya memberdayakan

anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan

perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan

kesehatan dimasyarakat. Indikator PHBS di Rumah Tangga

(Dinkes, 2006) dalam Maryunani (2013):

1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

Adalah persalinan dalam rumah tangga yang dilakukan

oleh tenaga kesehatan (bidan, dokter, dan tenaga para medis

lainnya).Meningkatnya proporsi ibu bersalin dengan bantuan

tenaga kesehatan yang terlatih, adalah langkah awal terpenting

untuk mengurangi kematian ibu dan kematian neonatal

dini.Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan

menggunakan peralatan yang aman, bersih dan steril sehingga

mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya.

2. Memberi ASI Eksklusif

Adalah bayi pada usia 0 – 6 bulan hanya diberi ASI

sejak lahir sampai usia 6 bulan, tidak diberi makanan tambahan

dan minuman lain kecuali pemberian air putih untuk minum

obat saat bayi sakit. Asi banyak mengandung nutrisi yang

dibutuhkan oleh tubuh. Zat gizi dalam ASI sesuai kebutuhan

bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik serta

kecerdasan.ASI mengandung zat kekebalan sehingga mampu

melindungi bayi dari alergi.


13

3. Menimbang bayi dan balita setiap bulan

Penimbangan balita di maksudkan untuk memantau

pertumbuhannya setiap bulan.Penimbangan balita dilakukan

setiap bulan mulai dari umur 1 tahun sampai 5 tahun

diposyandu. Setelah balita di timbang di buku KIA maka akan

terlihat berat badannya naik atau tidak naik. Naik, bila garis

pertumbuhannya naik mengikuti salah satu pita warna pada

KMS.Tidak naik, bila garis pertumbuhannya menurun. Bila

balita mengalami gizi kurang maka akan dijumpai tanda –

tanda:

a. Berat badan tidak naik selama 3 bulan berturut – turut,

badannya kurus

b. Mudah sakit

c. Tampak lesu dan lemah

d. Mudah menagis dan rewel

e. Mencuci tangan dengan air dan sabun

4. Mencuci tangan adalah tindakan membersihkan tangan dengan

atau tanpa air, cairan lain dan sabun dengan tujuan

membersihkan tangan daripada kotoran dan mikroorganisme.

Tujuan tindakan mencuci tangan adalah untuk membersihkan

tangan dari patogen (termasuk bakteri dan virus) dan zat-zat

kimiawi yang dapat membahayakan dan mengancam kesehatan.

Kebiasaan ini harus diterapkan kepaa seluruh masyarakat karena

tindakan paling efektif untuk mencegah penyebaran patogen


14

adalah dengan mencuci tangan dengan benar. Mencuci tangan

tidak dapat mencegah penyakit yang bersifat dropletdan

airborne seperti campak, influenza dan tuberkulosis. Jenis

penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan cara mencuci

tangan adalah infeksi yang ditularkan secara fekal-oral serta

kontak fisik, Selain menggunakan air dan sabun, tindakan

mencuci tangan juga boleh dilakukan dengan menggunakan

alkohol yang juga efektif membunuh patogen–patogen tertentu.

Misalnya: mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan

minuman, mencuci tangan sesudah buang air besar dengan

sabun, karena sabun dapat membersihkan kotoran dan

membunuh kuman, karena tanpa sabun kotoran dan kuman akan

masih tertinggal. Waktu yang tepat untuk mencuci tangan :

a. Setia kali tangan kita kotor ( setelah memegang uang ,

binatang dan berkebun)

b. Setelah buang air besar

c. Setelah membersihkan kotoran bayi

d. Sebelum memegang makanan

e. Sebelum makan dan menyuapi makanan

f. Sebelum menyusui bayi

g. Sebelum menyuapi anak

h. Setelah bersin, batuk dan membuang ingus

Langkah-langkah mencuci tangan yang benar (CDC, 2010). :

a. Basahi tangan dengan air dibawah kran atau air mengalir.


15

b. Ambil sabun secukupnya untuk seluruh tangan. Jenis sabun

yang lebih baik digunakan adalah sabun yang mengandung

antiseptik.

c. Gosokkan kedua telapak tangan sampai ke ujung jari.

d. Telapak tangan menggosok punggung tangan kiri dan

sebaliknya dengan jari-jari saling mengunci (berselang-

seling) antara tangan kanan dan kiri, lakukan sebaliknya.

e. Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lainnya

dan saling mengunci, usapkan ibu jari tangan kanan dengan

telapak tangan kiri dengan gerakan berputar, lakukan hal

yang sama dengan ibu jari tangan kiri.

f. Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya

dengan gerakan ke depan dan berputar, lakukan sebaliknya.

g. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan

lakukan gerakan memutar, lakukan pula untuk tangan kiri.

h. Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air mengalir lalu

keringkan tangan dengan handuk atau tisu (CDC, 2010).

5. Menggunakan air bersih

Air adalah kebutuhan dasar yang dipergunakan sehari-

hari.Air bersih baik secara fisik tidak berwarna harus

bening/jernih.Air tidak keruh harus bebas dari pasir, debu,

lumpur, sampah, busa dan kotoran lainya.Air tidak berasa, tidak

berasa asin, tidak berasa asam, tidak payau dan tidak pahit harus

bebas dari bahan kimia beracun. Air tidak berbau seperti bau
16

amis, anyir, busuk atau belerang. Air bersih bermanfaat bagi

tubuh supaya terhindar dari gangguan penyakit Diare, Kolera,

Thypus, Kecacingan, Penyakit mata, penyakit kulit atau

keracunan (Proverawati, 2012).Air yang kita pergunakan sehari-

hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan

lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci pakaian, membersihkan

bahan makanan haruslah bersih agar tidak terkena penyakit atau

terhindar dari penyakit. Air bersih secara fisik dapat dibedakan

melalui indra kita, antara lain (dapat dilihat, dirasa, dicium dan

diraba). Meski terlihat bersih, air belum tentu bebas kuman

penyakit.Kuman penyakit dalam air mati pada suhu 100 derajat

celcius (saat mendidih).Menjaga kebersihan sumber air bersih

merupakan hal yang penting.Jarak letak sumber air dengan

jamban dan tempat pembuangan sampah paling sedikit 10

meter.Sumber mata air harus dilindung dari pencemaran. Air

yang sehat harus mempunyai persyartan sebagai berikut:

Syarat – syarat air minum yang sehat agar air minum itu

tidak menyebabkan penyakit, maka air itu hendaknya memenuhi

persyaratan kesehatan sebagai berikut:

a. Syarat fisik

Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah

bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu

udara di luarnya, cara mengenal air yang memenuhi

persyaratan fisik ini tidak sukar.


17

b. Syarat bakteriologis

Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas

dari segala bakteri.Terutama bakteri pathogen.Cara ini untuk

mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri

pathogen, adalah dengan memeriksa sampel air tersebut. Dan

bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 4

bakteri E. Coli maka air tersebut sudahmemenuhi kesehatan

c. Syarat kimia

Air minum yang sehat harus mengandung zat – zat

tertentu dalam jumlah yang tertentu pula. (Maryunani 2013)

6. Menggunakan jamban sehat

Adalah rumah tangga atau keluarga yang menggunakan

jamban/ WC dengan tangki septic atau lubang penampung kotoran

sebagai pembuangan akhir.Misalnya buang air besar di jamban dan

membuang tinja bayi secara benar. Penggunaan jamban akan

bermanfaat untuk menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak

berbau. Jamban mencegah pecemaran sumber air yang ada

disekitarnya.Jamban yang sehat juga memiliki syarat seperti tidak

mencemari sumber air, tidak berbau, mudah dibersihkan dan

penerangan dan ventilasi yang cukup.Penggunaan jamban yang

bersih dan sehat dapat juga mencegah terjadinya pencemaran air

yang ada dilingkungan sekolah serta juga dapat menghindari

adanya lalat dan serangga yang dapat menimbulkan berbagai


18

penyakit seperti penyakit diare, demam tifoid, serta kecacingan

(Evayanti, 2012).

7. Rumah bebas jentik

Adalah melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk

dirumah satu kali seminggu agar tidak terdapat jentik nyamuk

pada tempat-tempat penampungan air, vas bunga, pot bunga/

alas pot bunga, wadah penampungan air dispenser, wadah

pembuangan air kulkas dan barang-barang bekas/ tempat-tempat

yang bisa menampung air. Pemberantasan sarang nyamuk

dengan cara 3M (menguras. Menutup dan mengubur plus

menghindari gigitan nyamuk)

8. Makan buah dan sayur setiap hari

Pilihan buah dan sayur yang bebas peptisida dan zat berbahaya

lainnya. Biasanya cirri-ciri sayur dan buah yang baik ada sedikit

lubang bekas dimakan ulat dan tetap segar. Adalah anggota

keluarga umur 10 tahun keatas yang mengkonsumsi minimal 3

porsi buah dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya setiap hari.

9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari

Adalah anggota rumah tangga umur 10 tahun keatas

melakukan aktivitas fisik 30 menit setiap hari misalnya jalan,

lari, senam dan sebagainya. Aktifitas fisik dilakukan secara

teratur paling sedikit 30 menit dalam sehari , sehingga dapat

menyehatkan jantung, paru-paru alat tubuh lainnya. Lakukan

aktifitas fisik sebelum makan atau 2 jam sesudah makan.


19

10.Tidak merokok di dalam rumah

Adalah anggota rumah tangga tidak merokok di dalam

rumah. Tidak boleh merokok di dalam rumah dimaksudkan agar

tidak menjadikan anggota keluarga lainnya sebagai perokok

pasif yang berbahaya bagi kesehatanKarena dalam satu batang

rokok yang dihisap akan dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia

berbahaya seperti nikotin, tar dan carbonmonoksida (CO).

(Evayanti, 2012).

2.2 Konsep Balita

2.2.1 Definisi Balita

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi

dibawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Balita usia 1-5

tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari satu

tahun sampai tiga tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia

lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia

prasekolah (Proverawati, 2009 dalam Faqih, 2016).

Menurut Septiari (2012) dalam Faqih (2016), balita adalah sebutan

nama anak usia di bawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan

yakni pertumbuhan cepat. Kriteria balita dibagi menjadi dua yaitu:

a. Anak usia 1-3 tahun ( Batita)

b. Anak usia 3-5 tahun ( Prasekolah)


20

2.2.2 Klasifikasi Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

Menurut Supartini (2004) dalam Faqih (2016), tahap

perkembangan untuk anak balita meliputi usia bayi (0–1 tahun), usia

bermain atau toddler (1–3 tahun), dan usia pra sekolah (3–5 Tahun).

a. Usia Bayi (0–1 Tahun)

Bayi memiliki sistem kekebalan tubuh yang primitive dengan

kekebalan pasif yang didapat dari ibunya selama dalam kandungan.

Pada saat bayi kontak dengan antigen yang berbeda ia akan

memperoleh antibodinya sendiri. Imunisasi diberikan untuk

kekebalan terhadap penyakit yang dapat membahayakan bayi bila

berhubungan secara ilmiah. Bila dikaitkan dengan status gizi bayi

memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat.

Kebutuhan kalori bayi antara 100–200 kkal/kg BB. Pada empat

bulan pertama, bayi yang lebih baik hanya mendapatkan ASI saja

tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru

dapat diberikan makanan pendamping ASI.

b. Usia Toddler (1–3 tahun)

Secara fungsional biologis masa umur 6 bulan hingga 2– 3 tahun

adalah rawan.Masa itu tantangan karena konsumsi zat makanan

yang kurang, disertai minuman buatan yang encer dan

terkontaminasi kuman menyebabkan diare dan marasmus.Selain itu

dapat juga terjadi sindrom kwashiorkor karena penghentian ASI

mendadak dan pemberian makanan padat yang kurang memadai.

Imunisasi pasif yang diperoleh melalui ASI akan menurun dan


21

kontak dengan lingkungan kan makin bertambah secara cepat dan

menetap tinggi selama tahun kedua dan ketiga kehidupan. Infeksi

dan diet tidak adekuat akan tidak banyak berpengaruh pada status

gizi yang cukup baik.

Bagi anak dengan gizi kurang, setiap tahapan infeksi akan

berlangsung lama dan mempunyai pengaruh yang cukup besar pada

kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan. Anak 1–3 tahun

membutuhkan kalori kurang lebih 100 kkal/kg BB dan bahan

makanan lain yang mengandung berbagai zat gizi.

c. Usia balita (3–5 tahun)

Pertumbuhan anak usia ini semakin lambat. Kebutuhan

kalorinya adalah 85 kkal/kg BB. Karakteristik pemenuhan

kebutuhan nutrisi pada usia pra sekolah yaitu nafsu makan

berkurang, anak lebih tertarik pada aktivitas bermain dengan teman

atau lingkungannya daripada makan dan anak mulai sering

mencoba jenis makanan yang baru.

2.3 Diare

2.3.1 Definisi

Menurut Depkes RI (2011), diare merupakan suatu keadaan yang

ditandai dengan adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang

melembek sampai mencair disertai dengan bertambahnya frekuensi buang

air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Menurut Sunoto dalam

Juffrie (2010), diare adalah buang air besar pada bayi atau anak dengan

frekuensi lebih dari empat kali perhari yang disertai dengan perubahan
22

konsistensi tinja menjadi cair baik dengan maupun tanpa disertai lendir

dan darah.Untuk bayi baru lahir yang minum ASI dikatakan diare bila

frekuensi BAB nya lebih dari empat kali sehari.Hal ini terjadi karena

adanya intoleransi laktosa akibat belum sempurnanya sistem saluran cerna

bayi.Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang 14 hari.

Menurut Navaneethan dan Ralph (2011), diare secara umum

didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi dari buang air besar dan

bentuk tinja yang tidak normal atau cair.Pada keadaan normal makanan

yang terdapat didalam lambung dicerna menjadi bubur kimus kemudian

diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim

pencernaan.Setelah zat gizi diresorpsi oleh villi kedalam darah, sisa kimus

yang terdiri dari 90% air dan sisa makanan yang sukar dicernakan,

diteruskan ke usus besar (colon).

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal

(meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair Suharyono

(2008). Diare dapat dikatakan sebagai masalah pediatrik sosial karena

diare merupakan salah satu penyakit utama yang terdapat di negara

berkembang, diamana adanya faktor yang mempengaruhi terjadinya diare

pada balita itu sendiri yaitu diantaranya faktor penyebab (agent), penjamu

(host), dan faktor lingkungan (environment) (Suharyono,2008).


23

2.3.2 Etiologi

Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor (Ahlquist dan

Camilleri, 2005) yaitu :

1. Faktor Infeksi

a. Infeksi enteral

Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang

merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi parenteral ini

meliputi: (a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella,

Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya. (b) Infeksi

virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis),

Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain. (c) Infestasi parasite

: Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa

(Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis),

jamur (candida albicans).

b. Infeksi parenteral

Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat

pencernaan, seperti Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis,

Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama

terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

2. Faktor Malabsorbsi

a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan

sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan

galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah

intoleransi laktrosa.
24

b. Malabsorbsi protein

3. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

4. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat

menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.

5. Faktor Pendidikan

Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan

status pendidikan SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali

memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding

dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah.

Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh

terhadap morbiditas anak balita.Semakin tinggi tingkat pendidikan

orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak.

(Ahlquist dan Camilleri, 2005)

6. Faktor umur balita

Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun.

Balita yang berumur 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23

kali dibanding anak umur 25-59 bulan.

7. Faktor lingkungan

Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang

berbasisi lingkungan.Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih

dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama

dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena

tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia


25

yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka

dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.

8. Faktor Gizi

Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat

diarenya.Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan baik merupakan

komponen utama penyembuhan diare tersebut.Bayi dan balita yang

gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare.Hal ini

disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat

berdasarkan status gizi yaitu baik = 100-90, kurang = <90-70, buruk =

<70 dengan BB per TB.

9. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi

Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air,

terutama air minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi secara

sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada kotoran dapat

berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan

dan kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan.

Kontaminasi alat-alat makan dan dapur.Bakteri yang terdapat pada

saluran pencernaan adalah bakteri Etamoeba colli, salmonella,

sigella.Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta parasite yaitu

cacing (Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albikan). (Ahlquist dan

Camilleri,2005).

2.3.3 Patogenesis

(Suharyono, 2008) proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh

berbagai kemungkinan.
26

1. Faktor Infeksi (Suharyono, 2008)

Proses ini dapat diawali adanya mikroba atau kuman yang

masuk dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam

usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah

permukaan usus selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang

akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan

dan elektrolit atau juga dikatakan bakteri akan menyebabkan sistem

transporaktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang

kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat.

2. Faktor Malabsorbsi (Sudarti, 2010)

Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang

mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran

air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga

usus sehingga terjadi diare.

3. Faktor Makanan

Dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan

penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian

menyebabkan diare.

4. Faktor Psikologis.

Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi kecepatan

gerakan peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses

penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare.


27

2.3.4 Cara Penularan dan Faktor Risiko

Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui

makanan atau minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung

tangan penderita atau tidak langsung melalui lalat ( melalui 5F = faeces,

flies, food, fluid, finger). Faktor risiko terjadinya diare adalah (Kemenkes

RI, 2011). :

1. Faktor perilaku

a. Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan

Makanan Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi

kontak terhadap kuman

b. Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena

penyakit diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu

c. Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan Pakai Sabun sebelum

memberi ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah

membersihkan BAB anak

d. Penyimpanan makanan yang tidak higienis

2. Faktor lingkungan

a. Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan

Mandi Cuci Kakus (MCK)

b. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk

Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari

penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara

lain: kurang gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk, penyakit


28

imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita campak (Kemenkes RI,

2011).

2.3.5 Jenis-jenis Diare

Menurut Suryono (2008) ada beberapa jenis diare :

1. Diare cair akut

Diare cair akut memiliki ciri utama : gejalanya dimulai

secara tiba-tiba, tinjanya encer dan cair, pemulihan biasanya terjadi

dalam waktu 3-7 hari. Kadang kala gejalanya bisa berlangsung

sampai 14 hari.Lebih dari 75% orang yang terkena diare

mengalami diare cair akut.

2. Disentri

Disentri memiliki dua ciri utama : adanya darah dalam tinja,

mungkin desertai kram perut, berkurangnya nafsu makan dan

penurunan berat badan yang cepat. Sekitar 10-15% anak-anak

dibawah usia lima tahun (balita) mengalami disentri.

3. Diare yang menetap atau persisten

Diare yang menetap atau persisten memiliki tiga ciri

utama : pengeluaran tinja encer disertai darah, gejala berlangsung

lebih dari 14 hari dan ada penurunan berat badan. Diare kronis

adalah istilah yang digunakan bagi diare yang berulang atau

berlangsung lama.Hal ini tidak disebabkan oleh infeksi apapun,

tetapi sering kali akibat gangguan pencernaan.Diare jangka

panjang yang disebabkan oleh infeksi disebut diare persisten.


29

4. Diare dengan masalah lain

Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten)

mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti: demam,

gangguan gizi atau penyakit lainnya (Suryono, 2008)

2.3.6 Tanda dan Gejala Diare

Gambaran awal dimulai dengan bayi atau anak menjadi

cengeng, gelisah, suhu badan mungkin menigkat, nafsu makan

berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare.Feses makin cair,

mungkin mengandung darah atau lender, dan warna feses berubah

menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu. Akibat sering

defekasi, anus dan sekitarnya menjadi lecet karena sifat feses

makin lamamakin asam, hal ini terjadi akibat banyaknya asam

laktat dari pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus

(Sodikin 2011).

Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah

diare.Apabila penderita telah banyak mengalami kehilangan air dan

elektrolit, maka terjadilah gejala dehidrasi.Berat badan turun, ubun-

ubun besar cekung pada bayi, tonus otot dan tugor kulit berkurang,

dan selaput kering pada mulut bibir terlihat kering.Gejala klinis

menyesuaikan dengan derajat atau banyaknya kehilangan cairan

yang hilang (Sodikin 2011).


30

2.3.7 Faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare

Beberapa faktor penjamu dapat meningkatkan insiden, beratnya

penyakit dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Tidak memberikan ASI sampai 2 tahun, ASI mengandung antibody

yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab

diare seperti: Shigella dan V.cholerae.

b. Menggunakan botol susu, penggunaan botol memudahkan

pencemaran oleh kuman, karena botol susah dibersihkan

c. Kurang gizi. Beratnya penyakit, lama dan resiko kematian karena

diare meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi,

terutama pada penderita gizi buruk.

d. Campak, diare, dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada

anak-anak yang sedang menderita campak dalam 4 minggu

terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh

penderita.

e. Menderita imunodefisiensi/imunosupresi , secara proporsional,

diare lebih banyak terjadi pada golongan Balita (55%) (Sitorus,

2012)

f. Faktor lingkungan dan perilaku, penyakit diare merupakan salah

satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan,

yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan

berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan

tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan


31

perilaku yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian

diare (Depkes, 2005 dalam jurnal Ni Ketut et al, 2010)

2.3.8 Diare pada Balita

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata

bawah lima tahun. Istilah ini cukup populer dalam program

kesehatan. Balita merupakan kelompok usia tersendiri yang

menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di

lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan

tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan

fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita,

karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi

dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas,

kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat

dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini,

2004).

Kebanyakan episode diare terjadi pada dua tahun pertama

kehidupan (Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2012).Insiden

tertinggi pada golongan umur 6-35 bulan, pada masa diberikan

makanan pendamping dan anak mulai aktif bermain. Faktor-faktor

yang mempengaruhi meningkatnya risiko diare pada anak usia 6-

35 bulan antara lain penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya

kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terpapar

bakteri tinja dan kontak lansung dengan tinja manusia atau

binatang pada saat bayi mulai merangkak (SDKI, 2007). Penelitian


32

tentang aspek epidemiologi dan klinis pasien dilakukan di Brazil

oleh Cameiro, et.al menemukan bahwa 87 % anak dirawat dengan

gastroenteritis berumur kurang dari empat tahun.

Diare pada balita diawali bayi menjadi cengeng, gelisah,

suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak

ada, kemudian timbul diare.Tinja cair dan mungkin disertai lendir

dan atau darah.Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-

hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah

sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama

makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang

berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.

Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat

disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat

gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.Bila penderita

telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala

dehidrasi makin tampak.Berat badan menurun, turgor kulit

berkurang, mata dan ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput

lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.Berdasarkan

banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi

ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma

dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik.

(Mansjoer, 2009).

Ada beberapa aspek yang dapat menjadi faktor resiko diare

yang ada pada anak, terutama yang berusia kurang dari dua
33

tahun.Tidak diberikan ASI Eksklusif, status imunisasi yang tidak

lengkap, status gizi yang rendah, tidak diberikan vitamin A dan

penyakit yang diderita balita.

2.3.9 Pencegahan Diare Pada Balita

Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare

Depkes RI (2006) dalam Maryunani (2013) adalah sebagai berikut:

1. Pemberian ASI

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik

dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya.ASI

turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang

baru lahir.

ASI memiliki khasiat preventif secara imunologik dengan

adanya antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya.ASI turut

memberikan perlindungan terhadap diare.Flora usus pada bayi

yang diberi ASI mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare.

Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan

pertama kehidupan, risiko mendapat diare adalah 30x lebih

besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari

menyusui. Penggunaan botol untuk pemberian susu formula,

biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga

mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Soetjiningsih, 2013).

2. Pemberian Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi

secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang


34

dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya

bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI

dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare

ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian (Depkes RI,

2006).

3. Menggunakan air bersih yang cukup

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare

ditularkan melalui jalur fecal-oral mereka dapat ditularkan

dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang

tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan,

makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air

tercemar (Depkes RI, 2006).Masyarakat dapat mengurangi

resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan

air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi

mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah

(Depkes RI, 2006).

4. Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan

perorangan yang penting dalam penularan kuman diare

adalah mencuci tangan.Mencuci tangan dengan sabun,

terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja

anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi

makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak

dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).


35

5. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan

bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang

besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit

diare.Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus

membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di

jamban (Depkes RI, 2006).

6. Membuang Tinja Bayi yang Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi

itu tidak berbahaya.Hal ini tidak benar karena tinja bayi

dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan

orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan

benar

7. Pemberian Imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak sehingga

pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare

oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah

berumur 9 bulan (Depkes RI, 2006).

2.4 Hubungan PHBS dengan Kejadian Diare Pada Balita

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan faktor tidak langsung

yang menyebabkan diare. Perilaku sehat seseorang berhubungan dengan

tindakanya dalam memelihara dan meningkatkan status kesehatan antara

lain pencegahan penyakit, kebersihan diri, pemilihan makanan sehat dan

bergizi serta kebersihan lingkungan.Keadaan kesehatan yang tidak baik


36

mempengaruhi terhadap terjadinya penyakit diare dibandingkan dalam

kesehatan yang baik (Suriadi 2001).

Penelitian yang dilakukan Hajar (2013) menyatakan Berdasarkan

hasil analisis hubungan antara PHBS dengan kejadian diare didapatkan

bahwa balita dengan PHBS keluarga kurang lebih banyak pada balita yang

mengalami diare yaitu sebesar 48,3%. Sedangkan PHBS keluarga baik

lebih banyak pada balita bukan diare yaitu sebesar 41,7%. Hasil uji

statistic berdasarkan uji Chi-Square Test dengan nilai kemaknaan α=0,05,

dimana hasil penelitian diperoleh p=0,0001 yang menunjukkan α>p atau

0,05>0,000. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara PHBS keluarga

dengan kejadian diare pada balita di Desa Mattiro Dolangeng wilayah

Puskesmas Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat merupakan salah satu upaya

dalam pencegahan diare pada balita, dengan menerapkan indikator PHBS

seperti memberikan ASI Eksklusif, menggunakan air bersih sesuai dengan

standart mutu air, penggunaan air minum yang sesuai dengan standart,

penggunaan jamban sehat dan mencuci tangan akan mengurangi resiko

terjadinya diare pada balita.

Air dalam kehidupan manusia, selain memberikan manfaat yang

menguntungkan dapat juga memberikan pengaruh buruk terhadap

kesehatan manusia.Air yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan

merupakan media penularan penyakit.Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Sinthamurniaty (2006) menemukan bahwa ada hubungan antara

kebersihan sumber air bersih dengan kejadian diare, penelitian


37

Kusumaningrum, dkk (2011) menemukan bahwa ada hubungan antara

penggunaan air bersih dengan kejadian diare pada balita. Menurut

Budiyono dan Wuryanto (2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara

sumber air minum yang digunakan sehari-hari dengan kejadian diare di

Kelurahan Bandarharjo dengan nilai p = 0,032 (p <0,05). Penelitian

Amaliah (2010) yang menemukan bahwa ada hubungan antara

penggunaan air minum dengan kejadian diare pada balita Desa Toriyo.

Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitas

akan meningkatkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada balita sebesar

dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan

membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Cuci

tangan pakai sabun dengan benar juga dapat mencegah penyakit

diare.Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 Penelitian

WHO menunjukkan bahwa mencuci tangan pakai sabun dengan benar

pada lima waktu penting dapat mengurangi angka kejadian diare sampai

45%. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa

peneliti diantaranya Nur Alam dan Hamzah, dkk (2012) bahwa memcuci

tangan mempunyai pengaruh atau hubungan terhadap kejadian penyakit

diare.penelitian Kusumaningrum, dkk (2011) yang menemukan bahwa

ibu-ibu yang memiliki kebiasaan mencuci tangan dengan baik, balitanya

kecil kemungkinan untuk terkena diare dibandingkan dengan ibu-ibu yang

memiliki kebiasaan mencuci tangan dengan kurang baik. Begitu pula

penelitian Kusumawati, dkk (2011) menemukan bahwa ada hubungan


38

antara kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dengan kejadian diare

pada balita.

2.5 Konsep Teori Lawrence W.Green (Perilaku Kesehatan)

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor

pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor lua lingkungan

(nonbehavior causes). Untuk mewujudkan suatu perilaku kesehatan,

diperlukan pengelolaan manajemen program melalui tahap pengkajian,

perencanaan, intervensi sampai dengan penilaian dan evaluasi.

Selanjutnya dalam program promosi kesehatan dikenal adanya model

pengkajian dan penindaklanjutan (Precede-Proceed model) yang diadaptasi

dari konsep Lawrence Green. Model ini mengkaji masalah perilaku manusia

dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta cara menindaklanjuti dengan

berusaha mengubah, memelihara, atau meningkatkan perilaku tersebut kearah

yang lebih positif. Proses pengkajian atau pada tahap precede dan proses

penindaklanjutan pada tahap proceed. Dengan demikian suatu program untuk

memperbaiki perilaku kesehatan adalah penerapan keempat proses pada

umumnya ke dalam model pengkajian dan penindaklanjutan.

1. Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang

pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat

sejahtera. Semakin sejahtera maka kualitas hidup semakin tinggi. Kualitas

hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin

tinggi derajat kesehatan seseorang maka kualitas hidup juga semakin

tinggi.
39

2. Derajat kesehatan adalah sesuatu yang ingin dicapaidalam bidang

kesehatan, dengan adanya derajat kesehatan akan tergambarkan masalah

kesehatan yang sedang dihadapi. Pengaruh yang paling besar terhadap

derajat kesehatan seseorang adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.

3. Faktor lingkungan adalah faktor fisik, biologis, dan sosial budaya yang

langsung/tidak memerngaruhi derajat kesehatan.

4. Faktor perilaku dan gaya hidup adalah faktor yang timbul karena adanya

aksi dan reaksi seseorang atau organism terhadap lingkungannya. Faktor

perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan gaya hidup

merupakan pola kebiasaan seseorang atau kelompok orang yang

dilakukan karena jenis pekerjaannyamengikuti tren yang berlaku dalam

kelompok sebayanya, ataupun hanya untuk meniru dari tokoh idolanya.

Dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan

reaksi atau perilaku tertentu. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan

atau terbentuk dari tiga faktor.


40

Faktor Predisposisi: Faktor Pendukung: Faktor Pendorong:


1. Pengetahuan 1. Tersedianya fasilitas 1. Dukungan
2. Kepercayaan kesehatan keluarga
3. Nilai 2. Jarak fasilitas kesehatan 2. Teman sebaya
4. Sikap 3. Peraturan pemerintah 3. Guru
5. Kepercayaan dan 4. Keterampilan petugas 4. Majikan
keyakinan kesehatan 5. Petugas kesehatan
6. Tokoh masyarakat
7. Pembuat
keputusan

Perilaku spesifik oleh Lingkungan (kondisi


individu atrau oleh tempat tinggal)
organisasi

Kesehatan

Gambar 2.1 Faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan (Green LW dan


Krueter MW., 1991)

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), merupakan faktor

internal yang ada pada diri individu, keluarga, kelompok, atau

masyarakat yang mempermudah individu untuk berperilaku yang

terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-

nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan.

3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)merupakan faktor yang

menguatkan perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas


41

kesehatan, teman sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok dari

perilaku masyarakat.

Ketiga faktor penyebab tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor

penyuluhan dan kebijakan, peraturan serta organisasi.Semua faktor-faktor

tersebut merupakan ruang lingkup promosi kesehatan.

Faktor lingkungan adalah segala faktor baik fisik, biologis, maupun

sosial budaya yang langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi

derajat kesehatan.Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau

masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap,

kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang

bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku

para petugas kesehatan terhadapkesehatan juga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku (Nursalam, 2017).


42

2.7 Kerangka Konseptual

Faktor Predisposisi: Faktor Pendukung: Faktor Pendorong:

1. Pengetahuan 1. Tersedianya fasilitas 1. Dukungan


2. Kepercayaan kesehatan keluarga
3. Nilai 2. Jarak fasilitas kesehatan 2. Teman sebaya
4. Sikap 3. Peraturan pemerintah 3. Guru
5. Kepercayaan dan 4. Keterampilan petugas 4. Majikan
keyakinan kesehatan 5. Petugas kesehatan
6. Tokoh masyarakat
7. Pembuat
keputusan

Perilaku Hidup Bersih Lingkungan (kondisi


dan Sehat (PHBS) Ibu tempat tinggal)

Diare

Keterangan : : Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita di
Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang
43

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian.Menurut La Biondo-Wood dan Haber (2002) hipotesis

adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih

variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam

penelitian.Setiap hipotesis terdiri atas suatu unit atau bagian dari

permasalahan (Nursalam, 2017).

H0 = Tidak ada hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Ibu balita

dengan kejadian diare pada balita di Desa Grogol Kecamatan Diwek

Kabupaten Jombang.

H1= Ada hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Ibu balita dengan

kejadian diare pada balita di Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten

Jombang
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian,

yang memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor yang bisa

mempengaruhi akurasi hasil.Istilah desain penelitian digunakan dalam dua

hal; pertama, desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam

mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data

(Nursalam, 2016).

Dalam penelitian ini desain yang digunakan adalah korelasional yang

mengkaji hubungan antar variable.Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu

hubungan anatar variable.Sampel perlu mewakili seluruh tentang nilai yang

ada.Penelitian korelasional bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif

antara variable.Dengan demikian pada rencangan penelitian korelasional

peneliti melibabatkan minimal dua variable (Nursalam, 2016).

Desain peneitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional yaitu

penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat

bersamaan (sekali waktu) antara faktor risiko/paparan dengan penyakit

(Hidayat, 2014).

44
45

3.2 Kerangka Kerja (Frame Work)

Kerangka kerja merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam

penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian, mulai dari desain

hingga analisis datanya (Hidayat, 2014). Kerangka kerja dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Desain Penelitian
Analitik korelasional dengan metode pendekatan cross-sectional

Populasi
Semua Ibu yang mempunyai balita di Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang
pada bulan Januari 2019 sejumlah 287 orang

Sampel
Sebagian ibu yang mempunyai balita di Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten
Jombang
pada bulan Januari 2019 sejumlah 168 orang

Sampling
Cluster random sampling

Pengumpulan data
Menggunakan Kuisioner

Pengolahan data
Editing, coding, tabulating, scoring, chi square

Analisa Data:
Uji Chi-Square

Hasil Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka kerja hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa Grogol
Kecamatan Diwek Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang.
46

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

3.3.1 Populasi

Menurut Nursalam (2017), populasi dalam penelitian adalah subjek

(misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Ibu yang

mempunyai balita sebanyak 287 orang pada bulan Januari tahun 2019

di Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang.

Peneliti mengambil lokasi penelitian berdasarkan angka kesakitan

diare tertinggi di wilayah kerja puskesmas cukir tepatnya di Desa

Grogol Kecamatan Diwek.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2017).

Beberapa buku metode penelitian menyarankan digunakannya rumus

tertentu untuk menentukan berapa sampel yang harus diambil dari

populasi.Jika ukuran populasinya diketahui dengan pasti, rumus slovin

dibawah ini dapat digunakan (Nasir dkk, 2011).

Rumus Slovin :

N
n= 2
1+ N e

Keterangan :

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi
47

e = kelonggaran ketidakefektifan karena kesalahan pengambilan

sampel yang ditolerir (5%)

Jadi besar sampel yakni :

N
n= 2
1+ N e

287
= 2
1+ 287(0,05)

287
=
1+ 0,71

287
=
1,71

= 167,8 dibulatkan menjadi 168

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian ibu yang mempunyai balita di

Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang sejumlah 168 orang.

Besar sampel yang akan diambil dari 8 posyandu yang ada di Desa Grogol

dengan cara cluster adalah sebagai berikut.

1) Desa Grogol :

a) Grogol 1 = 44 x 168 = 26
287
b) Grogol 2 = 43 x 168 = 25
287
c) Dempok Utara = 34 x 168 = 20
287
d) Dempok Selatan= 58 x 168 = 34
287
48

e) Bogem = 50 x 168 = 29
287
f) Sentanan = 26 x 168 = 15
287
g) Tawar = 26 x 168 = 15
287
h) Bongso Rejo = 6 x 168 = 4
287
3.3.3 Sampling

Menurut Nursalam (2017), sampling adalah proses menyeleksi

porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi.

Dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling.

Cluster random sampling digunakan untuk menentukan sampel bila

obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas (Sujarweni,

2014).

3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam,

2017). Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Ibu yang bersedia menjadi responden

2. Ibu yang mempunyai balita usia 1-5 tahun

3. Ibu yang ada saat penelitian dilakukan


49

b) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2017). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Ibu yang sedang sakit

2. Ibu yang kurang kooperatif terhadap kegiatan penelitian

3.4 Identifikasi Variable dan Definisi Operasional

3.4.1 Pengertian Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai

beda terhadap sesuatu (benda,manusia, dan lain-lain. (Nursalam, 2017).

3.4.2 Variabel Independent (Bebas)

Variabel Independent adalah variabel yang mempengaruhi atau

nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2017).Variable

independen dalam penelitian ini adalah Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) Ibu.

3.4.3 Variabel Dependent (Terikat)

Variabel dependent adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh

variabel lain. Variable terikat adalah faktor yang diamati dan diukur

untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel

bebas (Nursalam, 2017).Variable dependent dalam penelitian ini

adalah Kejadian Diare.


50

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut.Karakteristik yang dapat

diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat

diamati artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang

kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain. (Nursalam, 2017).

Tabel 3.2 Definisi Operasional Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (Ibu)
dengan Kejadian Diare pada Balita.
Variabel Definisi Parameter Alat S Skor
Operasional Uku k
r al
a
Variabel Tindakan/perilaku 1. Memahami K N Skala likert
Independen: ibu atas dasar tentang PHBS u O
Perilaku kesadaran sebagai 2. Aplikasi/ i M Pertanyaan positif
Hidup Bersih hasil Tindakan ke s I Sangat sering : 4
dan Sehat pembelajaran keluarga i N Sering : 3
(PHBS) Ibu yang menjadikan o A Kadang-kadang : 2
seseorang, n L Tidak pernah : 1
keluarga, dirinya e
sendiri (mandiri) r Pertanyaan negatif
dibidang Sangat sering : 1
kesehatan dan Sering : 2
berperan aktif Kadang-kadang : 3
dalam Tidak pernah : 4
mewujudkan Kemudian
kesehatan dikategorikan :
a. PHBS positif jika T
hitung > T Mean
(50)
b. PHBS negatif jika T
hitung ≤ T Mean
(50)
Variabel Suatu peristiwa 1. Frekuensi K N Ya = 1
Dependen: terjadinya buang air u O Tidak = 0
Diare frekuensi buang besar lebih i M Dengan kategori:
air besar lebih dari 3 kali s I a. Tidak diare : Jika
i N
dari 3 kali dalam dalam tidak terdapat dua
o A
sehari yang sehari tanda gejala diare
n L
ditandai dengan 2. Konsistensi e b. Diare : Jika
51

perubahan tinja encer r terdapat dua tanda


bentuk dan disertai atau gejala diare
konsistensi tinja tanpa darah
yang encer dapat atau lendir
disertai atau
tanpa darah.

3.6 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

3.6.1 Tempat Penelitian

Tempat penelitian yang digunakan oleh peneliti berlokasi di Desa

Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang.

3.6.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 Maret sampai 6

Mei 2019.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2017).

Adapun teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:

a. Mengurus surat pengantar penelitian dari STIKES PEMKAB Jombang.

b. Mengurus perizinan penelitian kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten

Jombang.

c. Mengurus perizinan penelitian kepada kepala Puskesmas Cukir Kabupaten

Jombang.

d. Meminta ijin kepada Kepala Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten

Jombang
52

e. Meminta ijin kepada Bidan Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten

Jombang

f. Mendatangi Posyandu dengan didampingi Bidan Desa

g. Meminta kesediaan responden sebagai obyek penelitian dengan

menandatangani lembar persetujuan

h. Melakukan penyebaran kuesioner, peneliti mendampingi dalam pengisian

kuesioner apabila responden kurang memahami dan butuh bantuan,

sehingga data terkumpul dengan baik, lengkap dan akurat.

i. Mengumpulkan kuesioner yang telah diisi

j. Melakukan tabulasi

3.8 Instrumen

Instrument Instrumen adalah cara dan ataupun alat mengumpulkan data


dalam pekerjaan penelitian (Saepudin, 2011). Instrumen yang digunakan
untuk PHBS adalah dengan jenis kuisioner skala likert dan Kejadian Diare
adalah kuesioner dengan jenis nominal
a. Uji Validitas
Alat ukur atau instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai
standar adalah alat ukur yang telah melalui uji validitas dan reabilitas
data. Uji validitas dapat mengunakan rumus Pearson Product
Moment,setelah itu diuji dengan menggunakan uji T dan lalu baru dilihat
penafsiran indeks korelasinya. Teknik korelasi ini digunakan untuk
mencari hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel
bila data kedua variabel berbentuk interval atau ratio, dan sumber data
dari dua variabel atau lebih tersebut adalah sama (Sugiyono, 2015).
Rumus Pearson Product Moment :
N ∑ x . y−( ∑ x )( ∑ y )
r xy =
√( N ∑ x −(∑ x ) )( N ∑ y −(∑ y ) )
2 2 2 2
53

Keterangan :
r hitung = koefisien korelasi
ΣΧ i = jumlah skor item
ΣΥ i = jumlah skor total
n = jumlah responden
Jika nilai r hitung > r tabel berarti valid demikian sebaliknya, jika niali r
hitungnya < r tabel tidak valid, tentunya tidak dapat digunakan dan
dapat diperbaiki atau dihilangkan (Hidayat, 2011)
b. Uji Reabilitas
Setelah mengukur validitas, maka perlu mengukur reabilitas data,
apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak (Hidayat, 2011). Reabilitas
adalah kesamaan hasil atau diamati berkali-kali dalam waktu yang
berlainan (Nursalam, 2008).
Untuk mengetahui reabilitas kuesioner, penelitian ini menggunakan
pendekatan pengukuran reabilitas konsistensi internal dengan
menghitung koefisien alpha. Koefisien alpha ini berkisar antara 0 sampai
1. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliable jika memberikan nilai
Cronbach Alpha > 0,6.
Untuk mengetahui reabilitas digunakan rumus Apha sebagai berikut
(Sugiyono, 2015) :

( )(

)
k σ 2b
r xy = 1− 2
k−1 σ t
Keterangan :
rxy : Reabilitas
k : Jumlah butir soal
⸹2b : Varian skor setiap butir
⸹2t : Varian total
3.9 Metode Analisa Data
3.9.1 Editing
Hasil wawancara atau angket yang diperoleh atau dikumpulkan
melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau
ternyata masih ada data atau informasi yang tidak lengkap, dan tidak
54

mungkin dilakukan wawancara ulang, maka kuesioner tersebut


dikeluarkan (droup out) (Notoatmodjo, 2012). Pemeriksaan data yang
seperti ini didalam pekerjaan penelitian dan sebagainya ( Saepudin,
2011)
3.9.2 Coding
Yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi
data angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2012). Cara
menyederhanakan jawaban tersebut yang dilakukan dalam bentuk
memberikan simbol-simbol tertentu untuk setian jawaban (Saepudin,
2011).
Coding adalah tahap dimana peneliti memeber kode pada
setiap kategori yang ada dalam setiap variabel.
1. Responden
Responden 1 = R1
Responden 2 = R2
Responden 3 = R3
2. Umur anak
Umur 3 tahun = UA1
Umur 4 tahun = UA2
Umur 5 tahun = UA3
3. Jenis kelamin
Laki-laki = J1
Perempuan = J2
4. Pendidikan orangtua
SD = P1
SMP = P2
SMA = P3
Perguruan Tinggi = P4
5. Pekerjaan Orangtua
Tidak bekerja = PK1
Petani = PK2
Swasta = PK3
55

Wiraswasta = PK4
PNS = PK5
6. Usia orangtua
Umur 20-29 tahun = U1
Umur 30-39 tahun = U2
Umur 40-50 tahun = U3
3.9.3 Scoring
Adalah penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini
menggunakan skala nominal.
a. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Ibu
Penilian PHBS menggunakan skor jawaban :
1 = Tidak pernah
2 = Kadang-kadang
3 = Sering
4 = Sangat sering
Skor berkisar dari “tidak pernah” sampai “sangat sering”
pada skala 4 point. Pada akhirnya setiap bagian menambah
nilai dan membaginya dengan jumlah pertanyaan dibagian
tersebut. Skor tersebut dihitung adalah skor total untuk
kategori tersebut. Skor tertinggi mengindikasikan gfaktor
perilaku kebersihan tersebut.
b. Kejadian diare
Ya :1

Tidak : 0

Kategori tidak terjadi diare bila tidak terdapat dua tanda

gejala diare.Kategori terjadi diare bila terdapat dua

tanda gejala diare.

3.9.4 Tabulating
Yakni membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan
penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti (Notoatmodjo, 2012).
56

Pekerjaan pengelompokan data dalam bentuk tabel menurut sifat-sifat


tersebut, dalam penelitian (Saepudin, 2011)
Hal ini diinterpretasikan dengan skala :
1. 0 % : Tidak ada
2. 1 – 25 % : Sebagian kecil
3. 26 – 49 % : Hampir setengahnya
4. 50 % : Setengahnya
5. 51 – 75 % : Sebagian besar
6. 76 – 99 % : Hampir seluruhnya
7. 100 % : Seluruhnya
( Arikunto, 2010)
3.9.5 Analisa Data
Analisa data merupakan suatu proses atau analisa yang
dilakukan secara sistematik terhadap data yang telah dikumpulkan
dengan tujuan supaya bisa dideteksi (Nursalam, 2008)
1. Analisa Univariate
Analisa univariate dilakukan terhadap tiap variabel dari
hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2010) yaitu variabel PHBS dan Kejadian Diare.
a. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Ibu
Penilaian PHBS Ibu menggunakan skor jawaban :
1 = Tidak pernah
2 = Kadang-Kadang
3 = Sering
4 = Sangat sering
Skor berkisar dari “tidak pernah” sampai “sangat sering”
pada skala 4 point. Pada akhir setiap bagian menambah nilai
dan membaginya dengan jumlah pertanyaan dibagian
tersebut. Skor tersebut dihitung adalah skor total untuk
kategori tersebut. Skor tertinggi mengindikasikan factor
perilakuKebersihan Ibu tersebut.
57

b. Kejadian Diare
Untuk mengukur kejadian diare digunakan skala nominal
Ya :1

Tidak : 0

Kategori tidak terjadi diare bila tidak terdapat dua tanda

gejala diare.Kategori terjadi diare bila terdapat dua

tanda gejala diare.

2. Analisa bivariate
Analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2012),
yaitu kriteria PHBS dan Kejadian Diare.
Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel
apakah signifikasi atau tidak dengan kemaknaan 0,05
dengan menggunakan uji chi square dengan software SPSS
16, dimana < 0,05 maka ada Hubungan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) Ibu dengan Kejadian Diare pada
Balita di Desa Grogol Kecamatan Diwek Kabupaten
Jombang.
Untuk memberikan interpretasi terhadap kuat lemahnya
hubungan antara variabel yang dituju, digunakan pedoman
menurut Sugiyono (2015) sebagai berikut :

Tabel 3.3 Tabel Interpretasi Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


58

0,00 – 0,199 Sangat Rendah


0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
Sumber : Sugiyono (2015)
3.9.6 Analisa Data bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap


dua variable yang diduga berhubungan atau berkorelasi.
(Notoadmodjo, 2012),
3.10 Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini mendapat rekomendasi dari Program

Studi S-I Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PEMKAB Jombang

dan permintaan ijin Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Bupati Jombang

dan RSUD Jombang.Setelah mendapat persetujuan barulah melakukan

penelitian dengan menekankan masalah etika, meliputi :

3.10.1 Nonmaleficience

Peneliti berkewajiban untuk meyakinkan bahwa kegiatan penelitian

yang dilakukan tidak menimbulkan suatu resiko bahaya, baik bahaya

secara fisik maupun bahaya secara psikologis (Afiyanti &

Rachmawati, 2014). Penelitian ini diyakini tidak menimbulkan bahaya

bagi partisipan, karena metode yang digunakan adalah wawancara.

Selama proses wawancara tidak terjadi hal-hal yang dapat

membahayakan bagi partisipan dan sebelum dilakukan wawancara,

peneliti memberikan informasi bahwa jika dalam kegiatan penelitian

yang dilakukan menyebabkan ketidaknyaman partisipan, maka


59

partisipan memiliki hak untuk tidak melanjutkannya. Namun, jika hal

tersebut tidak terjadi , maka wawancara akan diteruskan.

3.10.2 Beneficence

Prinsip ini mewajibkan peneliti untuk meminimalkan resiko dan

memaksimalkan manfaat, yang mana penelitian terhadap manusia

dihaeapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan manusia

baik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan

(Setiawan & Saryono, 2011). Penelitian ini akan memberikan

informasi bagaimana keluarga menanggapi kejadian hipoglikemia

yang mana hasilnya dapat memberikan informasi kepada pemberi

layanan kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang

kegawatdaruratan hipoglikemia sehinga, pasien dan keluarga pasien

dapat melakukan penatalaksanaan awal di rumah.

3.10.3 Autonomy

Partisipan memilik hak untuk menentukan keputusannya

berpartisipasi dalam kegiatan penelitian setelah diberikan penjelasan

oleh peneliti dan memahami bentuk partisipasinya dalam penelitian

(Afiyanti & Rachmawati, 2014). Penelitian ini dilakukan setelah

mendapat persetujuan dari partisipan yang mana sebelum dilakukan

kegiatan wawancara pasrtisipan diberikan penjelasan tentang tujuan,

manfaat, dan proses penelitian yang akan dilakukan. Penelitian akan

dihentikan ketika partisipan memutuskan untuk tidak melanjutkan

keikutsertaannya dalam penelitian.

3.10.4 Anonymity
60

Kerahasian partisipan dilakukan dengan cara tidak memberikan

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil peneltian

yang akan disajikan (Hidayat, 2014). Peneliti menjaga kerahasiaan

dengan memberikan kode peserta mengenai identitasnya. Penulisan

transkrip data akan diberikan inisial P1, P2, P3 dan seterusnya.

3.10.5 Justice

Prinsip memberikan keadilan dan kesetaraan dalam penelitian,

dengan menghargai hak-hak dalam memberikan perawatan secara

adil, dan hak untuk menjaga privasi partisipan (Setiawan & Saryono,

2011). Setiap partisipansebelum dilakukan kegiatan penelitian

diberikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, dan proses penelitian

yang akan dilakukan. Peneliti menghormati dan menghargai partisipan

apa adanya tanpa membedakan latar belakang budaya maupun

ekonomi.

3.10.6 Veracity

Kejujuran merupakan suatu dasar penelitian yang harus dimiliki

peneliti untuk kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu

pengetahuan tersebut dapat diterima dan tidak diragukan validitasnya

(Sarosa, 2017). Peneliti dalam penelitian ini melakukan penelitan

dengan partisipan di Kabupaten Jombang dan menuliskan hasil

penelitian berdasarkan temuan yang ada dan disusun secara sistematis.

3.10.7 Confidentiality
61

Prinsip memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik

inforasi maupun masalah-masalah (Hidayat, 2014). Peneliti

menyimpan seluruh dokumen hasil pengumpulan data berupa lembar

persetujuan mengikuti penelitian, biodata, hasil rekaman dan transkip

wawancara dalam tempat husus yang hanya bisa diakses oleh peneliti.

3.10.8 Inform consent

Inform consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan partispan peneltian dengan memberikan lembar persetujuan

yang diberikan sebelum peneltian dilakukan dengan tujuan agar

partispan mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui

dampaknya (Hidayat, 2014). Setelah partispan bersedia, maka diminta

untuk menandatangani inform consent. Setelah inform consent

ditandatangani peneliti memiliki tanggung jawab terhadap partisipan.

3.10.9 Bujukan/Inducement

Bujukan/Inducement merupakan penjelasan tentang insentif bagi

subjek penelitian, dapat berupa material seperti uang, hadiah, layanan

gratis jika diperlukan, atau lainnya, berupa non material: uraian

mengenai kompensasi atau penggantian yang akan diberikan (dalam

hal waktu, perjalanan, hari-hari yang hilang dari pekerjaan, dll).

Insentif pada penelitian yang berisiko luka fisik, atau lebih berat,

termasuk pemberian pengobatan bebas biaya termasuk asuransi,

bahkan kompensasi jika terjadi disabilitas, bahkan kematian.

(KEPPKN, 2017).Pada penelitian ini, subjek penelitian diberikan


62

sebuah insentif berupa gantungan kunci sebagai ucapan terima kasih

dan pengganti waktu yang diberikan kepada peneliti.


63

DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti, Y., & Rachmawati, I. (2014). Metodolgi Penelitian Kualitatif dalam Riset
Keperawatan. Jakarta: Rajawali Pers.

Anak, P., Sekolah, U., & Children, S. (2018). Midwifery Journal of STIKes Insan
Cendekia Medika Jombang Volume 15 No . 1 Maret 2018 Midwifery Journal of
STIKes Insan Cendekia Medika Jombang Volume 15 No . 1 Maret 2018, 15(1), 46–
54.

Hidayat, A. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.


(Nurchasanah, Ed.) (1st ed.). jakarta: Salemba Medika.

Iii, B. A. B., & Penelitian, M. (2017). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
kuantitatif dengan pendekatan penelitian deskriptif dan analisis asosiatif, karena
adanya variabel- variabel yang akan ditelaah hubungannya serta tujuannya untuk
menyajikan gambaran mengenai hubungan antara variabel-variabel yang diteliti.,
47–71.

Kemenkes RI. (2015). Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Pada Balita.

Kualitatif, S., Sukowono, K., & Jember, K. (2011). Peran ibu dalam menerapkan lima
indikator perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) tatanan rumah tangga pada anak
tunanetra.

Kusumawati, O., Nugroho, H. A., & Hartono, R. (2010). HUBUNGAN PERILAKU


HIDUP BERSIH DAN SEHAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA
USIA 1-3 TAHUN STUDI KASUS DI DESA TEGOWANU WETAN, 11.

Linda, R. E., Nugroho, B., & A, S. R. D. (2017). HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE


IBU DAN BALITA DENGAN KEJADIAN KABUPATEN JOMBANG The Corr
elation Of Mother And Toddler ’ s Personal Hygiene With The Incidence Of
Diarrhea For Toddlers At Bareng Village , Bareng Sub District In Jombang District,
45–51.

Majalengka, K., Jatiwangi, K., Burujul, D., Kecamatan, W., Kabupaten, J., Tahun, M., …
Tahun, M. (2016). DIARE PADA BALITA DI DESA BURUJUL WETAN
KECAMATAN JATIWANGI KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016
Oleh : Mahasiswa Prodi S1 Keperawatan STIKes YPIB Majalengka.

Maryunani. (2013). Perilaku Hidup Bersih dan sehat (PHBS). Trans Info Media. Jakarta.

Puskesmas Cukir. (2018). jombang : puskesmas cukir. Data Penyakit Diare.

Rahayu, F. M., Lestar, R. H., & Dwiningtyas, M. (2016). KABUPATEN JOMBANG


( Midwifery Care To Toddler With Diarrhea And Mid Dehydration In Puskesmas
Mojoagung And Mojoagung Sub-District Jombang District ).

Safira, sarah and others. (2015). Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan
Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya
Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015. Hubungan Kepadatan
Lalat, Personal Hygiene Dan Sanitasi Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di
Lingkungan Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan.
64

Sarosa, S. (2017). Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar. (B. Sarwiji, Ed.) (2nd ed.).
Jakarta: Indeks.

Setiawan, A., & Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, S1, dan
S2. (S. Nuha, Ed.). Yogyakarta: Nuha Medika.

Utara, U. S. (2016). HUBUNGAN PHBS DENGAN KEADIAN DIARE PADA BALITA DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS HUTABAGINDA KECAMATAN TARUTUNG.

WHO. (2013). No Title. Diarrhoeal Disease.

world health organization. (2013). No Title.

Purna, I. N., & Aryana, I. K. (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kejadian diare pada balita yang berobat ke badan rumah sakit umum tabanan,
134–139.

Anda mungkin juga menyukai