PENDAHULUAN
dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh sumber makanan dan air minum yang
terdapat 780 juta orang tidak memiliki sanitasi yang baik. Diare akibat infeksi
tersebar luas di seluruh negara berkembang. Sebagian besar orang meninggal akibat
penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Penyakit diare
merupakan penyebab kematian kedua pada anak dibawah lima tahun dengan jumlah
525.000 (0.030%) anak setiap tahun. Secara global, ada hampir 1,7 miliyar kasus
penyakit diare anak-anak setiap tahun. Kejadian diare dapat berlangsung dalam
beberapa hari dan dapat menimbulkan dehidrasi. Penyebab utama kematian akibat
diare adalah dehidrasi dan penyebab lainnya adalah infeksi bakteri septik. Anak
kekurangan gizi atau memiliki gangguan kekebalan serta orang yang mengidap HIV
tahun 2012 angka kesakitan diare pada semua umur sebesar 214 per 1.000 penduduk
dan angka kesakitan diare pada balita 900 per 1.000 penduduk (Kajian Morbiditas
Diare 2016). Menurut Riskesdas 2017, insiden diare (≤ 2 minggu terakhir sebelum
insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Sedangkan
didapatkan kasus diare sebanyak 173.710 kasus, Kabupaten Tulang Bawang Barat
terdapat 5.665 kasus diare (BPS Provinsi Lampung, 2016) . Secara nasional angka
kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2014 sebesar 1,14%. Sedangkan target
CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian secara nasional, CFR
Penyakit diare pada anak dapat menimbulkan dampak yang negatif yaitu
hidup anak (Astuti, dkk., 2016). Keadaan abnormal BAB dengan frekuensi tiga kali
atau lebih dengan konsistensi cair, lembek dengan atau tanpa adanya darah lender
Penyakit diare sering menyerang anak salah satu faktor risiko yang sering diteliti
adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi lingkungan,
jamban, dan kondisi rumah. Data terakhir menunjukkan bahwa kualitas air minum
yang buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1000 penduduk. Sanitasi yang buruk
dituding sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri e.coli dalam air bersih
yang dikonsumsi masyarakat. Kontaminasi bakteri e.coli terjadi pada air tanah yang
banyak disedot penduduk, dan sungai yang menjadi sumber air baku di PDAM pun
perilaku dari yang tidak sehat menjadi perilaku sehat dan menciptakan lingkungan
sehat di rumah tangga. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga
adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan
mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan perilaku kesehatan yang
dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga dapat menolong dirinya sendiri
masyarakat, akibat faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar bakteri. penyebab
diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula maka
Dalam Riskesdas 2015 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai
dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2015, yaitu
mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi
sayur dan buah, aktivitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan oleh tenaga
kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah
Terdapat lima provinsi dengan pencapaian PHBS di atas angka nasional yaitu DI
Yogyakarta (58,2%), Bali (51,7%), Kalimantan Timur (49,8%), Jawa Tengah (47%),
dan Sulawesi Utara (46,9%). Sedangkan provinsi dengan pencapaian PHBS rendah
bersih dan sehat (PHBS) pada anak dengan diare di Rumah Sakit Umum Kelas B
Penelitian lain juga dilakukan Elizabeth Maria Mas, Atti Yudiernawati, Neni
Maemunah (2017) tentang Hubungan PHBS dengan Kejadian Diare Pada Anak
Balita menyimpulkan terdapat hubungan PHBS dengan kejadian diare pada anak
balita .
perbulannya. Hal ini disebabkan karena perilaku mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan yang kurang bai, jajan sembarangan, serta sanitasi lingkungan yang
masih kurang baik. Di wilayah kerja puskesmas ini masih ditemukan banyak
ditemukan warung yang tidak sehat seperti menjual makanan yang sudah di goreng
serta pengolahan makanan yang di masak tidak benar, Sumber air bersih
Desa Dayamurni hanya mencapai 47%. Kendala tercapainya PHBS karena kebiasaan
masyarakat yang sulit dirubah akibat masih belum memiliki pengetahuan pentingnya
Indikator PHBS yang paling banyak bermasalah adalah cuci tangan, konsumsi sayur
Hasil wawancara yang dilakukan di Desa Dayamurni pada dua ibu yang
anaknya mengalami diare didapatkan bahwa kedua anak tersebut sering jajan di luar
dan mengkonsumsi makanan tanpa mencuci tangan. Kedua ibu ini menyatakan bahwa
keluarga mereka menggunakan air sumur untuk memasak, tidak tau mengolah sayur
yang benar sebelum dimasak, tidak mengerti cara cuci tangan enam langkah yang
benar dan juga jarang mengkonsumsi buah dan sayur. Berdasarkan latar belakang
diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan PHBS
dengan kejadian diare pada Anak di wilayah kerja UPTD Puskesmas Mampu PONED
Dari latar belakang di penyakit diare merupakan masalah yang cukup penting
karena angka kesakitannya yang tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan masih
tingginya angka kejadian tersebut adalah sebagian masyarakat di wilayah kerja UPTD
baik, oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah apakah ada
hubungan Indikator PHBS dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja UPTD
Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejadian diare pada anak di wilayah kerja UPTD
1.4 Hipotesis
diare pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Mampu PONED Dayamurni
perilaku hidup bersih dan sehat dalam mengatasi kejadian diare di Rumah
Tangga.