Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

Dosen : Qomaria Abusama, M.Pd.

Disusun oleh :
NAMA : MOH FATIR YUNUS
NPM : 3120231001

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN BUDAYA
UNIVERSITAS BINA MANDIRI GORONTALO
2023-2024
DAFTAR ISI

BAB I ................................................................................................. 3

PENDAHULUAN.............................................................................. 3

1.1 Latar Belakang............................................................................ 3

1.2 Perumusan masalah.................................................................... 3

BAB II................................................................................................. 4

PEMBAHASAN................................................................................ 4

2.1 HUKUM / ATURAN DASAR .................................................. 4

2.2 SEJARAH KETATANEGARAAN........................................... 9

2.3 PANDANGAN TERHADAP AMANDEMEN UUD 1945...... 10

2.4 PANDANGAN PENOLAKAN TERHADAP UUD 1945....... 21

BAB III ............................................................................................. 23

KESIMPULAN..................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA........................................................................24

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan, landasan konstitusional


memegang peranan yang sangat penting dan strategis karena konstitusi adalah
hukum dasar bagi suatu bangsa.Sebagai hukum dasar suatu bangsa atau negara
maka secara hierarki semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
negara atau bangsa yang bersangkutan haruslah dari dan tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi.
Indonesia adalah suatu negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana
ditentukan dalam penjelasan UUD 1945 yang kemudian “diangkat” ke dalam
Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001) dengan rumusan: Negara
Indonesia adalah negara hukum. Kemudian dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat TAP
MPR No. III/MPR/2000). Menempatkan Pancasila yang termuat dalam
Pembukaan UUD 1945 (dengansila-silanya: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosialbagi seluruh Rakyat Indonesia),
dan Batang Tubuh UUD 1945 (dan Perubahannya) sebagai sumber hukum dasar
nasional. Ketentuan dalam TAPMPR No. III/MPR/2000 ini menempatkan
konstitusi (dalam hal ini UUD 1945 dan perubahannya).

3
1.2 Perumusan Masalah

Dalam sistem ketatanegaraan, masalah perundang – undangan merupakan hal


yang sangat penting bagi jalannya sistem pemerintahan suatu negara, disebabkan
berjalannya sistem pemerintahan tidak lepas dari rujukan yang mesti dilaksanakan
dalam perundang–undangan negara.

Masalah kontroversi perubahan UUD 1945 yang masih menjadi


perbincangan,merupakan bahan yang kami bahas dalam makalah ini.

Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan perdebatan, penyusun


mengidentifikasi beberapa masalah pokok sebagai berikut :

1. Sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya UUD


1945sampai saat kini.

2. Permasalahan yang kencenderungan terjadi perdebatan sehingga timbulnyapra-


kontra terhadap perumusan amandemen UUD 1945.

3. Beberapa pendapat terhadap amandemen UUD 1945.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. HUKUM / ATURAN DASAR

Dalam Penjelasan Umum Angka I UUD1945, dikatakan bahwa UUD hanyalah


sebagian dari hukum dasar negara itu. UUDialah hukum dasar tertulis, sedang di
samping UUD itu berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, yaitu aturan-aturan
dasar yang timbul dant erpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara
meskipun tidak tertulis.Penjelasan ini memberikan landasan konstitusional bahwa
konvensi ketatanegaraan merupakan bagian dari hukum dasar. Artinya, Indonesia
menganut pemahaman hukum dasar tertulis dan tidak tertulis, yang dituangkan ke
dalam konstitusi.Konstitusi tertulis adalah UUD 1945, sedangkan yang tidak
tertulis, misalnya adalah pidato Presiden dihadapan DPR setiap tanggal 16
Agustus dan pemisahan pengertian treaty dan agreement (sekarang tidak lagi).
Menurut Sri Soemantri konstitusi adalah sama dengan UUD.Pendapat Sri
Soemantri ini rupa-rupanya sangat besar pengaruhnya kepada PAHII BP MPR,
sehingga TAP MPR No. III/MPR/2000 telah menetapkan bahwa sumber hukum
dasar nasional adalah Pancasila dan UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis.
Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 ini dan rencana akan dihapuskannya
Penjelasan UUD 1945, maka tidak dibedakan lagi antara konstitusi tertulis dan
tidak tertulis, sebagaimana yang dianut dalam UUD 1945 (lama) yang termuat
dalam Penjelasannya.

Merasa heran kalau sebagian besar para ahli hukum tata negara sekarang
dan para anggota MPR yang duduk di PAH I BP MPR (yang diberi tugas
mengamandemen UUD 1945) berpendapat bahwa di dunia ini hanya Indonesia
satu-satunya negara yang konstitusinya mempunyai Penjelasan, oleh karena itu
Penjelasan UUD 1945 harus dihapus. Alasan lain perlunya penghapusan tersebut
adalah bahwa Penjelasan itu dibuat oleh Soepomo yang bukan ahli hukum tata
negara --Soepomo adalah ahli hukum adat. dan Penjelasan UUD 1945 lahir satu
tahun kemudian setelah lahirnya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.

5
Para pakar dan anggota MPR tersebut lupa bahwa semua sarjana hukum
belajar hukum tata negara. Sedangkan hukum tatanegara sendiri menurut penulis
tidak bersifat dinamis, tidak seperti hukum ekonomi yang terus bergerak seiring
dengan perkembangan ekonomi dunia. Ataupun bidang-bidang ilmu lain misalnya
ilmu kedokteran dan obat-obatan (farmasi) yang terus berkembang dari waktu ke
waktu dan dari zaman ke zaman tidak statisseperti hukum tata negara yang sejak
dikenalnya bentuk organisasi negara hukummodern yang demokratis, praktis tidak
berkembang lagi. Rupa-rupanya MPR EraReformasi sangat terpengaruh dengan
pendapat para pakar hukum tata negara,sehingga kemudian ingin menghapuskan
Penjelasan UUD 1945 dari dunia perundang-undangan Indonesia, dengan alasan
bahwa Penjelasan UUD tidak lazim dalam dunia konstitusi.

Kalau alasan penghapusan Penjelasan UUD 1945 adalah karena dalam


Penjelasan banyak dimuat norma hukum yang seharusnya dimuat ke dalam
Batang Tubuh UUD 1945.,sesuai dengan teori dan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan , di mana kemudian norma-norma hukum yang dimuat
dalam PenjelasanUUD 1945 diangkat ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Namun
kalau alasannya “tidaklazim” karena di seluruh dunia tidak ada satu pun konstitusi
yang mempunyai penjelasan,karena sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan
UUD 1945 (Penjelasan Umum Angka I, alinea kedua dan ketiga):

“...Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droitconstitutionnel) suatu


negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD (loi
constitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana
prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen
Hintergrund) dari UUD tersebut.

UUD negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya
saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu
negara kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus
diketahui keterangan-keterangannya juga harus diketahui dalam suasana
apa teksitu dibikin...”

Penjelasan UUD 1945 tersebut memberikan arahan bahwa untuk mengerti


pasal-pasal dalam Batang TubuhUUD 1945 perlu dimengerti latar belakang dan
suasana kebatinan lahirnya teks-teks pasal tersebut. Dengan demikian apabila kita

6
ingin mengetahui alasan penghapusan Penjelasan UUD 1945, maka untuk
mengetahui alasan penghapusan tersebut perlu mengetahui latar belakang dan
suasana kebatinan penghapusan tersebut. Hal ini hanya dapat diketahui kalau kita
membaca risalah/notulen pembahasan perubahan tersebut dalam Sidang-sidang
MPR atau mewawancarai anggota MPR yang membahas perubahan UUD 1945
tersebut khususnya penghapusan Penjelasan.Sedangkan kalau Penjelasan tersebut
tidak dihapus tetapi disempurnakan dan disesuaikan dengan pasal-pasal perubahan
tersebut, maka risalah Sidang-sidang MPR tersebut hanyalah sebagai pelengkap
dari Penjelasan tersebut.

Berdasarkan literatur, hukum dasar negara disebut norma dasar (grund-


norm )yang dalam hierarki norma menduduki jenjang yang paling tinggi dan
bersifat presupposed yang ditentukan sebelumnya oleh suatu masyarakat
manusia,dan dapat ditelusuri lebih lanjut serta bersifat hipotetis dan fiktif.Norma
dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma –yang ditetapkan
terlebih dahulu—merupakan gantungan bagi norma yang berada di
bawahnya.Selanjutnya Maria Farida mengatakan bahwa berdasarkan teori
jenjangnya (stoefenTheory) Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu berdasar
dan bersumber pada norma di atasnya, ke bawah, norma hukum tersebut menjadi
sumber dana bagi norma yang lebih rendah. Dalam suatu organisasi masyarakat
yang bernama negara,norma dasar ini kemudian menjadi dasar dibentuknya
konstitusi atau UUD. Hans Nawiasky –murid HansKelsen—mengembangkan
teori gurunya dengan mengelompokkan norma hukum kedalam 4 kelompok
yaitu:

1. Staatsfundamentalnorm (norma funda mental negara);

2. Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara);

3. Formell Gesetz (undang-undang formal);

4. Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan


otonom).

Apabila teori di atas dikaitkandengan sistem dan hierarki peraturan


perundang-undangan di Indonesia, maka yang dikatakan “norma fundamental
negara” adalah Pancasila yang merupakan cita hukum(rechts idee) dan sebagai
“bintang pemandu” (leitstern) UUD 1945yang berisi “aturan dasar/pokok negara”
sebagaimana dikatakan A. Hamid, SA.

7
Aturan dasar/pokok negara merupakan aturan umum yang masih bersifat garis
besar, sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma
sekunder (sanksi). Aturan dasar/pokok kalau dituangkan dalam satu dokumen
resmi menurutHans Nawiasky sebagaimana dikutip A. Hamid SA dan Maria
Farida, dinamakan staatsverfassung dan kalau dituangkan dalam berbagai
dokumen disebut staatsgrundgesetz.

Salah satu contoh aturan dasar/pokoknegara yang dimuat dalam UUD


1945 adalah ketentuan dalam Pasal 11 UUD 1945 dan Perubahannya yang
berbunyi:

1. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat


perdamaian,dan perjanjian dengan negara lain (sesuai dengan aslinya).

2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan


akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan DPR.

3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-


undang

Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, sebelum lahirnya UU Nomor 24


Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disingkat UU No.
24/2000), berdasarkan Surat Presiden RI (Soekarno) kepada DPR-GR Nomor
2826/HK/60, tanggal 22 Agustus 1960, perihal “pembuatan perjanjian dengan
negara lain”, dibedakan antara treaty dengan agreement. Suatu treaty yang
ditandatangani Indonesia sebagai negara peserta diratifikasi dengan undang-
undang. Substansi treatytersebut biasanya soal-soal politik yang penting yang
akan mempengaruhi haluan politik luar negeri. Sedangkan yang berbentuk
agreement cukup diratifikasi dengan Keputusan Presiden yang kemudian
disampaikan kepada DPR untuk diketahui. Dalam UU No. 24/2000, yang
disampaikan kepada DPR adalah Salinan Keputusan Presiden tentang Ratifikasi
Perjanjian Internasional (videPasal 11 ayat (2) UU No. 24/2000). Dalam UU No.
24/2000 tidak dibedakan lagi antara istilah “persetujuan” (agreement) dan
“perjanjian” (treaty) karena hanya menggunakan istilah “perjanjian”.

Dalam Pasal 10 UU No.24/2000 dikatakan bahwa:

8
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik


Indonesia;

c. kedaulatan atau hakberdaulat negara;

d. hak asasi manusia danlingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukumbaru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Dalam Pasal 11 Perubahan Ketiga UUD1945 khususnya yang termuat


dalam ayat (3) dikatakan bahwa:: Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan DPR.

Aturan dasar di atas khususnya klausula “menimbulkan akibat yang luas


dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara” mungkin sudah terkover dalam Pasal 10 huruf f UU No.24/2000. Namun
klausula “mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang”masih
perlu dicermati dan dipikirkan bersama apakah sudah terkover dalamPasal 11
(khususnya huruf e) UU No. 24/2000 ataukah ada maksud lain dari pembentuk
UUD.

Kelompok ketiga yaitu FormellGesetz adalah yang kita kenal sehari


dengan nama undang-undang (UU). Dalam hal ini pengertian undang-undang
dalam artian formil dan materiel kurang tepat diterapkan di sini karena yang
dimaksud dalam Formell Gesetz di sini hanyalah UU yang dibentuk oleh DPR dan
Presiden. Dalam kelompok inilah norma hukumnya dapat dilekati dengan norma
sekunder yaitu berupa sanksi untuk penegakan hukumnya.

Kelompok keempat yaitu Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom


merupakan peraturan pelaksanaan dari UU (Formell Gesetz) yang dibuat oleh
lembaga atau pejabat baik berdasarkan kewenangan atribusi (untuk peraturan
otonom) maupun kewenangan delegasi (untuk peraturan pelaksanaan).

9
Kewenangan atributif adalah diberikan/diciptakan oleh suatu UUD/UU kepada
lembaga/pejabat negara tertentu untuk membuat peraturan perundang-
undangan,sedangkan kewenangan delegatif adalah dilimpahkan dari pemegang
kewenangan atributif kepada lembaga/pejabat di bawahnya untuk membuat
peraturan perundang-undangan.

2.2 SEJARAH KETATANEGARAAN

Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan


Prof Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945
hanya bersifat sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar kilat".
Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan
melaksanakan pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan
rakyat. Sejarah ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945
sebagai landasan struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan
yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.

Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama


(Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti
hanya dua bulan kita menerapkan UUD 1945 yang "asli" yang kekuasaan
sepenuhnya di tangan Presiden.

Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem


ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD
1945 sebagai konstitusi. Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945
dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara
1950, tetapi tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem
berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk
Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitif. Sebelum tugasnya
selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.
Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock dalam

menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran sejarah
versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan
pendukung Soekarno.

Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul
kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno
dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.

Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid,

Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945
mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-

10
interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan
devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.

kondisi dewasa ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah,

adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki


kembalinya "Demokrasi Terpimpin". Dulu mereka berhasil menjegal Majelis
Konstituante dengan memakai "pedang" Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung
Soeharto yang menghendaki kembalinya "Demokrasi Pancasila" yang dengan
landasan UUD 1945 yang "murni dan konsekuen" berhasil berkuasa selama 32
tahun. Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau
sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa
lampau dan merasa "kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun
kekuatan politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.

2.3 PANDANGAN TERHADAP AMANDEMEN UUD 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang

diposisikan “tertinggi” karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah


badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini
didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“untuk melakukan perubahan UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang


terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan
UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat
GBHN. Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah
UUD 1945 sebanyak empat kali. Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah
9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif
serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan
yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang
terkandung didalamnya. Perubahan dan penambahan itu menyangkut soal wilayah
negara, warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, kewenangan DPR,
Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara,
Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.Diakui bahwa dalam
perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya
soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam
konstitusi.

11
Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi
eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif
heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada
DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya
melakukan kontrol terhadap eksekutif.

Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini
dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak
ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman
dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya
telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti
yang dialami saat ini. Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama
dalam soal fungsi legislasi dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi
pergeseran bandul politik ke arah legislatif.

Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem
pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model
pemerintahan yang dianut negaranegara demokrasi lainnya, antara sistem
pemerintahan presidensiil atau parlementer.

Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara keduanya

berdasarkan distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem


dengan pencampuran semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-
persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan
lembaga-lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan
penambahan kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah
baru dan memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka
dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi
perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal
yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama
ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.

Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya
sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang
demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan
lembaga legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi
rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super
body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari
masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan
keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau
meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.

12
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah

memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan


Presidensiil dan Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah
ketiga hal tersebut secara politis memang terkesan telah menjadi kehendak
mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari kenyataan yang ada
dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu
tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi
dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak
dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara

politis oleh MPR. Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah
menggugat konsep negara kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara
federal untuk menghindar dari sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi
dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil,
pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang
dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang
diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.

Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup

rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada


penghargaan terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu,
kekhawatiran bubarnya negara,kalau itu diubah dan adanya deologi negara
pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya kekhawatiran bubarnya negara jika
pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara historis para founding fathers
yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya dalam pembukaan
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu ternyataa
tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk

dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan
akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu
yang setiap saat bisa meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem
presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu. Dengan demikian
secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945

tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia


yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala
sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan
menentukan posisi serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga
pemerintahan yang bersifat desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945
belum memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945
belum menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi
dan semangat yang berkembang saat ini.

13
Catatan-catatan ini ditujukan untuk dapat melihat secara komprehensif dan
menelaah lebih jauh beberapa kekurangan-kelemahan dari hasil amandement
UUD 1945. Guna memudahkan pemahaman, catatan dibawah ini dibuat
sistematikanya berdasarkan tema/issue (bab perubahan) yang dilakukan, yakni
sebagai berikut;

2.3.1. Hak Asasi Manusia (HAM)

Dimuatnya materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945,merupakan
satu langkah maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak
ada” sama sekali materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya materi
HAM dalam bab tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan
jaminan bagi pelaksanaan HAM di Indonesia.

Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab XA Pasal 28
Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A – J).
Beberapa persoalankelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:

a. Rumusan-rumusan HAM ini, bila dijabarkan keseluruhan, secara substansial


rumusan rumusan yang dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak
asasi manusia, sehingga terkesan bahwa Anggota MPR tidak dilandasi
pemahaman yang mendalam tentang esensi HAM yang harus diatur dalam UUD.
Hal ini terlihat pula dalam contoh hak yang diberikan untuk warga negara dalam
pasal 28 D (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan “ hanya diatur dalam satu pasal. Padahal masih banyak lagi
sesungguhnya hak-hak yang hakikatnya diberikan kepada warga negara sebagai
konsekuensi kalau UUD adalah hukum dasar yang substansinya antara lain
mengenai bagaimana hubungan antara negara dan warga negara. Apabila ditinjau
dari tujuan negara sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD maka ada hak-hak
yang secara khusus hanya dimiliki dan diberikan oleh negara hanya untuk
warganegara. Oleh karena itu, ketentuan hak asasi warga negara ini harus diatur
serta dalam mengelaborasi ketentuan mengenai hak asasi manusia perlu kiranya
dibedakan antara hak yang diberikan kepada setiap orang dengan hak yang
diberikan kepada warga negara.

b. Penyusunan pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari
pada pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak sosial-
budaya. Hal ini dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan hak
memilih pekerjaan, begitu pula hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih
pendidikan dan pengajaran. Malah perumusannya disatukan atau dicampurbaur
antara satu soal dengan soal lain. Bahkan dalam beberapa soal perumusannya
disebut disebut dua kali yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam pasal 28 G (2)
dan 28 I (1), demikian pula soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I
ayat 1) dan hak hidup (pasal 28A dan pasal 28I ayat (1).

14
c. Rumusan – rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM
atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), masih rancu,

menimbulkan ketidakjelasan dan persoalan/kontroversi baru, hal ini dapat dilihat


dari rumusan-rumusan Rumusan pasal 28D (2) yang berbunyi “setiap orang
berhak untuk bekerja…” rumusan semacam itu ada pemikiran berusaha untuk
menghilangkan/ menyembunyikan tanggungjawab negara. Berbeda esensinya
dengan rumusan yang berbunyi “setiap orang berhak atas pekerjaan…”, seperti
yang tertuang dalam pasal 23 ayat 1 DUHAM. Demikian pula dalam rumusan
pasal lainnya seperti berhak untuk mendapat pendidikan (pasal 28 C ayat 1)
berhak untuk memperoleh informasi (pasal 28 F). Seharusnya adalah kewajiban
negara untuk melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak asasi seseorang
bukan malah menyembunyikannya.

d. Pasal 28I (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Rumusan ini

mengundang pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban itu”? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih

mengarah kepada pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas
budaya tidak menerjemahkan secara lebih luas mencakup hak ekonomi, sosial,
dan politik.

e. Dalam perumusan pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Adanya penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
karena belum ada aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan asas
nonretroaktif telah mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan Politik
tanpa mengetahui prinsip dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip hukum
pidana modern yang oleh sistem hukum internasional ditempatkan sebagai hak
yang bersifat sekunder ketika berhadapan dengan asas keadilan dan adanya
kejahatan HAM berat, sebagaimana dimaksud Konvensi Geneva 1949.

Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan tidak membuka
peluang bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang
tertuang dalam pasal 11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Konvensi Hak
Sipil dan Politik). Berarti, rumusan itu tidak menyerap seluruh aspirasi dalam

15
DUHAM dan ICCPR yang mengakui adanya kewenangan untuk mengadili para
pelanggaran HAM masa lalu, yang dianggap sebagai kejahatan menurut hukum
nasional maupun internasional. Meskipun ada klausul lain dalam pasal 28 J (2)
yang menyatakan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan

undang-undang, hal ini bisa berdampak serius mengingat bahwa penempatan


pasal ini ada dalam konstitusi yang merupakan hukum tertinggi yang tidak
mungkin dikalahkan peraturan perundangan dibawahnya. Oleh karena itu
keberadaan pasal itu bukan untuk melindungi para pelanggar HAM melainkan
untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM. Perumusan pasal ini
juga dipandang sangat lemah, dan menjadi dilematis apabila diterapkan. Artinya,
dengan memasukkan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun (non derogable) kedalam UUD, jika dikaitkan dengan ketentuan

hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula dicantumkan dalam
UUD akan berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi manusia. Sementara di
pihak lain, keterbatasan dana pemerintah yang selalu menjadi alasan untuk
memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat diterima masyarakat. Maka
dari itu perlu dipertimbangkan secara serius apakah asas non derogable tetap akan
dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi bila mengingat bahwa PBB
sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam kovenan, yang statusnya
sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita mengikat tangan sendiri,
suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR.

2.3.2 System Pemerintahan

Yang akan dicermati soal sistem pemerintahan ini adalah rumusan perubahan
yang berkenaan dengan pemberian kewenangan/kekuasaan kepada Legeslatif
(DPR) dan pengurangan kewenangan presiden serta pembatasan masa jabatannya.

1. Terhadap pemberian kewenangan/kekuasaan kepada DPR dapat terlihat dalam

rumusan-rumusan perubahan pertama UUD 1945. Yakni dalam soal presiden

mengangkat duta/konsul dan penerimaan/penempatan duta negara lain (pasal 13),

presiden memberi amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), presiden membentuk

departemen (pasal 17 ayat 4), harus dilakukan dengan memperhatikan


pertimbangan DPR. Sedangkan dalam perubahan yang kedua kekuasaan DPR ini
ditambah dengan memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat untuk menjalankan fungsinya (pasal 20A ayat 2).

Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan adanya upaya pemberdayaan dan

16
meningkatkan peran DPR, yang secara tidak langsung pula menandakan
pembatasan

kewenangan presiden yang besar, termasuk dalam hal ini ketika presiden
memberikan grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan MA (pasal 14 ayat
1) dan dalam memberikan gelar serta tanda jasa yang harus diatur dengan undang-
undang (pasal 15). Perubahanperubahan itu menjadikan lembaga DPR “setara”
dengan presiden sebagai balance sekaligus kontrol terhadap peranan presiden.

Namun konsekwensinya yang terjadi kemudian adalah terhambatnya proses-


proses pemulihan yang harus dilakukan oleh presiden karena kesemuanya harus
melalui mekanisme atau prosedur DPR. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari
tertundanya pembebasan Sdr. Budiman Sujatmiko karena harus menunggu proses
dari DPR dan pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan yang menimbulkan
konflik antara Presiden dan DPR. Hal ini menjadi dilematis, satu sisi pemberian
kekuasaan itu membuat DPR menjadi “kuat” dan disisi lain membuat presiden
menjadi “lemah” tidak berdaya. Kontruksi semacam ini nampaknya juga tidak
menguntungkan juga bagi jalannya demokrasi.

Perubahan dengan semangat “parlementarian” itu, telah menempatkan DPR pada

posisi yang kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang
paling urgen yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada
pasal 7 yang telah membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua
periode. Artinya, meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi
seperti yang tertuang diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi
penyalahgunaan kekuasaan lagi oleh presiden.

Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan pers yang telah dijamin dapat menjadi
kontrol yang efektif kepada kekuasaan presiden.

2. Perubahan lainnya yang terjadi adalah dalam soal pengajuan dan pengesahan

undang-undang. Berdasarkan perubahan pertama pasal 5 UUD 1945, presiden


berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam
perubahan pasal 20 (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Kekuasaan ini tidak hanya DPR secara institusional namun juga secara personal
anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang (pasal
21). Perubahan ini menempatkan DPR pada posisi sebagai pemegang kekuasaan
pembuat undangundang yang sebelumnya dipegang oleh presiden.

Namun ada ketentuan lainnya yg mengatur bahwa dalam pembahasan rancangan

undang-undang dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan


bersama. (pasal 20 ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan “Dalam hal

17
rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi
UU dan wajib diundangkan”. Dua ketentuan ini membikin rancu dan mengundang
kontroversi karena menempatkan secara bersama kewenangan presiden dan DPR
dapat mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya dari ketentuan ini
menimbulkan adanya abuse of power terhadap kewenangan DPR untuk
mengusulkan rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar

mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU
yang diajukan DPR kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai
hak apakah akan menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu.
Selain itu ketentuan ini juga menimbulkan kendala lain apakah memang ketentuan
ini berlaku surut terhadap RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya
amandemen kedua UUD. Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya (RUU PKB) dan RUU Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung
tidak jelas nasib penentuannya. Rupanya pula pengertian pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang ini tidak dicermati secara benar, karena dalam
amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa Presiden mengesahkan Rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden

untuk menjadi undang-undang. Dalam kekuasaan membuat undang-undang, ada 3


hal pokok yang terkandung, yaitu persetujuan yang dilakukan oleh DPR dan
Presiden, pernyataan mengesahkan RUU untuk menjadi UU, dan kewenangan
mengundang UU. Dalam hal ini, perihal pernyataan mengesahkan RUU oleh
Presiden menimbulkan pertanyaan, dan itu termasuk bagian dari kekuasaan proses
penerapan kekuasaan membentuk undang undang.

Seharusnya, jika mau konsisten prosedur itu menjadi kewenangan DPR sesuai

dengan bunyi pasal 20 (1) Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR lah
yang harus mengesahkan RUU menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat.

3. Perubahan-perubahan dalam konteks sistem pemerintahan itu nampaknya


cenderung memberi penguatan ,terutama fungsi kontrolnya kepada DPR dengan
melakukan pemangkasan terhadap peran dan kewenanangan presiden. Perubahan
itu ditambah lagi dengan adanya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 yang
mengaharuskan adanya persetujuan DPR jika Presiden mengangkat Panglima TNI
dan Kapolri, yang sebelumnya merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana
diatur dalam pasal 10 UUD 1945. Rumusan –rumusan ini dapat dikatakan masih
menggunakan sebagian sistem presidensiil dan sebagian sistem parlementer, yang
amat rentan menimbulkan konflik antara Presiden dan DPR.

4. Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa “presiden ialah warga negara

18
Indonesia asli” (pasal 6) apa yang menjadi ukuran “asli” itu tidaklah jelas.
Rumusan ini dapat menimbulkan penafsiran diskriminatif terhadap hak warga
negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan (presiden).

5. Terhadap penambahan pasal 9 yang menyatakan “jika MPR/DPR tidak dapat

mengadakan sidang, Presiden dan Wapres bersumpah /berjanji dihadapan


pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA”. Rumusan ini nampaknya
mengadopsi dari Ketetapan MPR No.VII/MPR/1973 yang dipakai sebagai
landasan yuridis pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Rumusan semacam
ini dapat menimbulkan penafsiran yang beragam, terutama bagi faktor
kepentingan politis baik yang dilakukan untuk kepentingan presiden sendiri
maupun fraksi-fraksi politik di MPR. Dikarenakan masih belum jelasnya apa yang
dimaksud dengan tidak dapat mengadakan sidang, apa syarat-syaratnya atau
dalam kondisi yang bagaimana MPR/DPR itu dikatakan tidak dapat mengadakan
sidang.

2.3.3 Pemerintahan Daerah

a. Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 ini tidak


mensistematisir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi
daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur
dalam pasal ini. Seperti soal, pembagian wilayah (ps 18 ayat 1), pemilihan kepala
daerah dan DPRD (ps 18 ayat 3&4), sampai soal pengakuan terhadap masyarakat
hukum adat (ps. 18B ayat 2). Kalaupun itu mau diatur dalam UUD, persoalan
kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi)
lagi dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi
ini perihal pemerintahan daerah (otonomi daerah). Hal ini berkenaan dengan
adanya beragam format pengaturan perundang-undangan tentang pemerintahan
daerah/otonomi daerah, yakni di Amandemen Kedua UUD 1945, TAP MPR No.
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

b. Penggunaan kata “dibagi” dalam perumusan “Negara kesatuan RI dibagi atas


daerah provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota….” Dapat menimbulkan kontradiksi. Karena pengertian “dibagi” ini
tergantung dari interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realitas dan
aspirasi masing-masing daerah. Dan seharusnya digunakan kata terdiri yang lebih
menunjukan prinsip independensi dan egalitarian dalam mewujudkan otonomi
daerah. Dalam kasus lain, meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi
daerah itu merupakan hakikat dalam konteks negara kesatuan, namun disisi lain
pada kenyataan adanya tuntutan untuk membebaskan daerah (merdeka) seperti

19
Aceh dan Papua, serta kehendak untuk merubah bentuk negara kesatuan menjadi
federalisme tidak bisa dinafikkan begitu saja. Sehingga penempatan konsep
pemerintahan daerah ini dalam konstitusi masih menjadi kendala, karena bisa jadi
itu bukan merupakan rumusan yang final berdasarkan kehendak politis seluruh
rakyat Indonesia.

c. Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan pasal 18 (5) yang berbunyi “


Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,…” berbeda maknanya
dengan apa yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 tahun 1999 yakni
Otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini
disamping menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan menimbulkan interpretasi
yang beragam dalam pelaksanaannya.

2.3.4. Wilayah Negara

Masalah wilayah negara dirumuskan dalam Bab IX A pasal 25 E yang


menyatakan bahwa “Negara Kesatuan RI adalah sebuah negara kesatuan yang
berciri Nusantara dengan wilayah dan hak-haknya ditetapkan dengan UU”. Disini
ada ketidak jelasan apa yang dimaksud dengan “yang berciri Nusantara” itu? apa
yang kemudian menjadi tolak ukurnya?

Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU, namun
tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum
internasional, untuk mencegah terulangnya kembali “ekspansi” dalam kasus
Timur-Timor.

2.3.5. Warga Negara dan Penduduk

Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga negara disebutkan bahwa, setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Seharusnya
hal mengenai pembelaan negara ini cukup menjadi hak dan bukan menjadi
kewajiban warga negara. Dengan kewajiban itu akan memudahkan siapapun yang
mempunyai kewenangan (dalam hal ini alat negara yang bernama TNI) untuk
melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga negara. Upaya ini amat rentan
terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan
kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas.

2.3.6. Pertahanan dan Keamanan

Dalam pasal 35 ayat 1 amandemen II UUD 1945 disebutkan bahwa “Tiap-tiap


warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.” Dalam
hal usaha pertahanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi

20
menjadi hak dan kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu
kewajiban bagi warga negara, maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada
warga negaranya untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Ketentuan pasal
35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) ini
memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan Negara).

Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara kekuatan
pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem
HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan
sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini,
yang perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi
apabila suatu saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan
keamanan. Dengan adanya ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula
diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan dibawah UUD yang berkaitan dengan
TNI dan POLRI, (misalnya RUU Kepolisian) agar antara peraturan satu dengan
lainnya tidak saling bertentangan. Dari UUD 1945, masih ada ketentuan pasal
yang menimbulkan kendala. Misalnya dari ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang
mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan
AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat Panglima AD, AL, dan
AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan Panglima TNI sejajar

atau bahkan diatas kedudukan menteri, bila mengingat pula Ketetapan MPR No.

VII/MPR/2000 bahwa untuk penentuan Panglima TNI/Kapolri harus melalui


persetujuan DPR.kebijakan itu amat bertentangan dengan kehendak tuntutan
dicabutnya dwifungsi TNI dan penempatan kontrol militer dibawah sipil.
Nampaknya masih ada upaya konsolidasi militer dan menarik-narik kembali
militer kekancah politik. Jadi hanya tinggal dua negara didunia ini yang Panglima
TNI berada tidak di bawah Menhankam, yaitu Indonesia dan Myanmar.

21
2.4 PANDANGAN PENOLAKAN TERHADAP UUD 1945

Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif
konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee)
yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi
konstitusional. Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa
kelemahan mendasar, yaitu :

a. Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau
desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai
melalui serangkaian amandemen itu.

b. Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal


drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi
sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya,
banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan
memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita
harus kembali kepada UUD 1945. Adapun beberapa alasan penolakan atas
amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut :

c. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif.


Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara
dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia aspek restriktif ini
merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa
jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi
daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen
UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD,
yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen
UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A
sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat.

d. Dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.

e. Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh,
penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu,
partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang
dilakukan.

f. Amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting
dilihat dari segi kedaulatan :

1. tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka

2. tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer

3. tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta,

22
sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan
otonomi.

g. tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif

terhadap pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah

otonomi khusus.

h. Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. "Salah satu


contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Sekarang dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu
hilangnya eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara
yang tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi.

i. Kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan


koreksi atas pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat
melakukan impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi
mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh
lembaga legislatif

23
BAB III
KESIMPULAN

Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah
perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya kemampuan
legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari
segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan.
Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan
memungkinkan multitafsir

2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR
tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan
tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.

3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang
penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih
menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil
terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua
maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi
arti kekhususan otonomi.

24
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pikiran-rakyat.com/

http://www.mpr.go.id/

http://makalahdanskripsi.blogspot.com

25

Anda mungkin juga menyukai