Makalah Fatir
Makalah Fatir
KEWARGANEGARAAN
Disusun oleh :
NAMA : MOH FATIR YUNUS
NPM : 3120231001
BAB I ................................................................................................. 3
PENDAHULUAN.............................................................................. 3
BAB II................................................................................................. 4
PEMBAHASAN................................................................................ 4
KESIMPULAN..................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................24
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
3
1.2 Perumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
Merasa heran kalau sebagian besar para ahli hukum tata negara sekarang
dan para anggota MPR yang duduk di PAH I BP MPR (yang diberi tugas
mengamandemen UUD 1945) berpendapat bahwa di dunia ini hanya Indonesia
satu-satunya negara yang konstitusinya mempunyai Penjelasan, oleh karena itu
Penjelasan UUD 1945 harus dihapus. Alasan lain perlunya penghapusan tersebut
adalah bahwa Penjelasan itu dibuat oleh Soepomo yang bukan ahli hukum tata
negara --Soepomo adalah ahli hukum adat. dan Penjelasan UUD 1945 lahir satu
tahun kemudian setelah lahirnya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
5
Para pakar dan anggota MPR tersebut lupa bahwa semua sarjana hukum
belajar hukum tata negara. Sedangkan hukum tatanegara sendiri menurut penulis
tidak bersifat dinamis, tidak seperti hukum ekonomi yang terus bergerak seiring
dengan perkembangan ekonomi dunia. Ataupun bidang-bidang ilmu lain misalnya
ilmu kedokteran dan obat-obatan (farmasi) yang terus berkembang dari waktu ke
waktu dan dari zaman ke zaman tidak statisseperti hukum tata negara yang sejak
dikenalnya bentuk organisasi negara hukummodern yang demokratis, praktis tidak
berkembang lagi. Rupa-rupanya MPR EraReformasi sangat terpengaruh dengan
pendapat para pakar hukum tata negara,sehingga kemudian ingin menghapuskan
Penjelasan UUD 1945 dari dunia perundang-undangan Indonesia, dengan alasan
bahwa Penjelasan UUD tidak lazim dalam dunia konstitusi.
UUD negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya
saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu
negara kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus
diketahui keterangan-keterangannya juga harus diketahui dalam suasana
apa teksitu dibikin...”
6
ingin mengetahui alasan penghapusan Penjelasan UUD 1945, maka untuk
mengetahui alasan penghapusan tersebut perlu mengetahui latar belakang dan
suasana kebatinan penghapusan tersebut. Hal ini hanya dapat diketahui kalau kita
membaca risalah/notulen pembahasan perubahan tersebut dalam Sidang-sidang
MPR atau mewawancarai anggota MPR yang membahas perubahan UUD 1945
tersebut khususnya penghapusan Penjelasan.Sedangkan kalau Penjelasan tersebut
tidak dihapus tetapi disempurnakan dan disesuaikan dengan pasal-pasal perubahan
tersebut, maka risalah Sidang-sidang MPR tersebut hanyalah sebagai pelengkap
dari Penjelasan tersebut.
7
Aturan dasar/pokok negara merupakan aturan umum yang masih bersifat garis
besar, sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma
sekunder (sanksi). Aturan dasar/pokok kalau dituangkan dalam satu dokumen
resmi menurutHans Nawiasky sebagaimana dikutip A. Hamid SA dan Maria
Farida, dinamakan staatsverfassung dan kalau dituangkan dalam berbagai
dokumen disebut staatsgrundgesetz.
8
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
9
Kewenangan atributif adalah diberikan/diciptakan oleh suatu UUD/UU kepada
lembaga/pejabat negara tertentu untuk membuat peraturan perundang-
undangan,sedangkan kewenangan delegatif adalah dilimpahkan dari pemegang
kewenangan atributif kepada lembaga/pejabat di bawahnya untuk membuat
peraturan perundang-undangan.
menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran sejarah
versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan
pendukung Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul
kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno
dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945
mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-
10
interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan
devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
11
Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi
eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif
heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada
DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya
melakukan kontrol terhadap eksekutif.
Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini
dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak
ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman
dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya
telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti
yang dialami saat ini. Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama
dalam soal fungsi legislasi dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi
pergeseran bandul politik ke arah legislatif.
Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem
pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model
pemerintahan yang dianut negaranegara demokrasi lainnya, antara sistem
pemerintahan presidensiil atau parlementer.
Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya
sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang
demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan
lembaga legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi
rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super
body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari
masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan
keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau
meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
12
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah
politis oleh MPR. Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah
menggugat konsep negara kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara
federal untuk menghindar dari sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi
dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil,
pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang
dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang
diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.
Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup
dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan
akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu
yang setiap saat bisa meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem
presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu. Dengan demikian
secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945
13
Catatan-catatan ini ditujukan untuk dapat melihat secara komprehensif dan
menelaah lebih jauh beberapa kekurangan-kelemahan dari hasil amandement
UUD 1945. Guna memudahkan pemahaman, catatan dibawah ini dibuat
sistematikanya berdasarkan tema/issue (bab perubahan) yang dilakukan, yakni
sebagai berikut;
Dimuatnya materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945,merupakan
satu langkah maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak
ada” sama sekali materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya materi
HAM dalam bab tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan
jaminan bagi pelaksanaan HAM di Indonesia.
Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab XA Pasal 28
Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A – J).
Beberapa persoalankelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:
b. Penyusunan pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari
pada pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak sosial-
budaya. Hal ini dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan hak
memilih pekerjaan, begitu pula hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih
pendidikan dan pengajaran. Malah perumusannya disatukan atau dicampurbaur
antara satu soal dengan soal lain. Bahkan dalam beberapa soal perumusannya
disebut disebut dua kali yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam pasal 28 G (2)
dan 28 I (1), demikian pula soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I
ayat 1) dan hak hidup (pasal 28A dan pasal 28I ayat (1).
14
c. Rumusan – rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM
atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), masih rancu,
d. Pasal 28I (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
mengarah kepada pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas
budaya tidak menerjemahkan secara lebih luas mencakup hak ekonomi, sosial,
dan politik.
e. Dalam perumusan pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Adanya penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
karena belum ada aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan asas
nonretroaktif telah mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan Politik
tanpa mengetahui prinsip dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip hukum
pidana modern yang oleh sistem hukum internasional ditempatkan sebagai hak
yang bersifat sekunder ketika berhadapan dengan asas keadilan dan adanya
kejahatan HAM berat, sebagaimana dimaksud Konvensi Geneva 1949.
Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan tidak membuka
peluang bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang
tertuang dalam pasal 11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Konvensi Hak
Sipil dan Politik). Berarti, rumusan itu tidak menyerap seluruh aspirasi dalam
15
DUHAM dan ICCPR yang mengakui adanya kewenangan untuk mengadili para
pelanggaran HAM masa lalu, yang dianggap sebagai kejahatan menurut hukum
nasional maupun internasional. Meskipun ada klausul lain dalam pasal 28 J (2)
yang menyatakan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula dicantumkan dalam
UUD akan berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi manusia. Sementara di
pihak lain, keterbatasan dana pemerintah yang selalu menjadi alasan untuk
memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat diterima masyarakat. Maka
dari itu perlu dipertimbangkan secara serius apakah asas non derogable tetap akan
dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi bila mengingat bahwa PBB
sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam kovenan, yang statusnya
sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita mengikat tangan sendiri,
suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR.
Yang akan dicermati soal sistem pemerintahan ini adalah rumusan perubahan
yang berkenaan dengan pemberian kewenangan/kekuasaan kepada Legeslatif
(DPR) dan pengurangan kewenangan presiden serta pembatasan masa jabatannya.
presiden memberi amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), presiden membentuk
16
meningkatkan peran DPR, yang secara tidak langsung pula menandakan
pembatasan
kewenangan presiden yang besar, termasuk dalam hal ini ketika presiden
memberikan grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan MA (pasal 14 ayat
1) dan dalam memberikan gelar serta tanda jasa yang harus diatur dengan undang-
undang (pasal 15). Perubahanperubahan itu menjadikan lembaga DPR “setara”
dengan presiden sebagai balance sekaligus kontrol terhadap peranan presiden.
posisi yang kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang
paling urgen yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada
pasal 7 yang telah membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua
periode. Artinya, meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi
seperti yang tertuang diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi
penyalahgunaan kekuasaan lagi oleh presiden.
Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan pers yang telah dijamin dapat menjadi
kontrol yang efektif kepada kekuasaan presiden.
2. Perubahan lainnya yang terjadi adalah dalam soal pengajuan dan pengesahan
17
rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi
UU dan wajib diundangkan”. Dua ketentuan ini membikin rancu dan mengundang
kontroversi karena menempatkan secara bersama kewenangan presiden dan DPR
dapat mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya dari ketentuan ini
menimbulkan adanya abuse of power terhadap kewenangan DPR untuk
mengusulkan rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar
mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU
yang diajukan DPR kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai
hak apakah akan menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu.
Selain itu ketentuan ini juga menimbulkan kendala lain apakah memang ketentuan
ini berlaku surut terhadap RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya
amandemen kedua UUD. Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya (RUU PKB) dan RUU Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung
tidak jelas nasib penentuannya. Rupanya pula pengertian pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang ini tidak dicermati secara benar, karena dalam
amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa Presiden mengesahkan Rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden
Seharusnya, jika mau konsisten prosedur itu menjadi kewenangan DPR sesuai
dengan bunyi pasal 20 (1) Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR lah
yang harus mengesahkan RUU menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat.
18
Indonesia asli” (pasal 6) apa yang menjadi ukuran “asli” itu tidaklah jelas.
Rumusan ini dapat menimbulkan penafsiran diskriminatif terhadap hak warga
negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan (presiden).
19
Aceh dan Papua, serta kehendak untuk merubah bentuk negara kesatuan menjadi
federalisme tidak bisa dinafikkan begitu saja. Sehingga penempatan konsep
pemerintahan daerah ini dalam konstitusi masih menjadi kendala, karena bisa jadi
itu bukan merupakan rumusan yang final berdasarkan kehendak politis seluruh
rakyat Indonesia.
Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU, namun
tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum
internasional, untuk mencegah terulangnya kembali “ekspansi” dalam kasus
Timur-Timor.
Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga negara disebutkan bahwa, setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Seharusnya
hal mengenai pembelaan negara ini cukup menjadi hak dan bukan menjadi
kewajiban warga negara. Dengan kewajiban itu akan memudahkan siapapun yang
mempunyai kewenangan (dalam hal ini alat negara yang bernama TNI) untuk
melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga negara. Upaya ini amat rentan
terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan
kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas.
20
menjadi hak dan kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu
kewajiban bagi warga negara, maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada
warga negaranya untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Ketentuan pasal
35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) ini
memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan Negara).
Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara kekuatan
pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem
HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan
sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini,
yang perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi
apabila suatu saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan
keamanan. Dengan adanya ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula
diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan dibawah UUD yang berkaitan dengan
TNI dan POLRI, (misalnya RUU Kepolisian) agar antara peraturan satu dengan
lainnya tidak saling bertentangan. Dari UUD 1945, masih ada ketentuan pasal
yang menimbulkan kendala. Misalnya dari ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang
mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan
AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat Panglima AD, AL, dan
AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan Panglima TNI sejajar
atau bahkan diatas kedudukan menteri, bila mengingat pula Ketetapan MPR No.
21
2.4 PANDANGAN PENOLAKAN TERHADAP UUD 1945
Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif
konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee)
yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi
konstitusional. Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa
kelemahan mendasar, yaitu :
a. Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau
desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai
melalui serangkaian amandemen itu.
e. Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh,
penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu,
partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang
dilakukan.
f. Amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting
dilihat dari segi kedaulatan :
22
sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan
otonomi.
terhadap pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah
otonomi khusus.
23
BAB III
KESIMPULAN
Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah
perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya kemampuan
legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari
segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan.
Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan
memungkinkan multitafsir
2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR
tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan
tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang
penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih
menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil
terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua
maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi
arti kekhususan otonomi.
24
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pikiran-rakyat.com/
http://www.mpr.go.id/
http://makalahdanskripsi.blogspot.com
25