Anda di halaman 1dari 6

Brolucizumab sebagai Terapi Polypoidal Choroidal Vasculopathy dan

Neovascular Age-Related Macular Degeneration


Brolucizumab sebagai Terapi Polypoidal Choroidal
Vasculopathy dan Neovascular Age-Related Macular
Degeneration

dr. Lasmida Ruth Simatupang, SpM

Pendahuluan

Polypoidal choroidal vasculopathy (PCV) merupakan subtipe neovascular age-related


macular degeneration (nAMD) yang ditandai dengan adanya dilatasi polipoidal dan
anyaman vaskular yang bercabang yang terletak di atas membran Bruch dan di
bawah epitel pigmen retina.1 Kondisi ini sering dikaitkan dengan perdarahan
subretina serta akumulasi cairan yang apabila tidak ditangani dapat mengakibatkan
kehilangan penglihatan.1
Definisi

Polypoidal choroidal vasculopathy merupakan kelainan pembuluh darah koroid yang


secara klinis ditandai oleh makulopati serosanguinosa berulang dan adanya nodul
oranye. Diagnosis PCV sebagian besar ditegakkan berdasarkan temuan
pada indocyanine green angiography (ICGA) yang menunjukkan adanya dilatasi
polipoidal. Terdapat kontroversi mengenai apakah PCV merupakan spektrum dari
AMD karena beberapa tanda pada AMD seperti drusen, perubahan pigmen, atrofi
relatif jarang ditemukan pada PCV.1
Epidemiologi

Meskipun data epidemiologi menunjukkan peningkatan prevalensi AMD di Asia,


hanya sedikit data prevalensi PCV di populasi. Hal ini karena terdapat kesulitan
dalam mendiagnosis PCV hanya dengan pemeriksaan klinis dan foto fundus dan
ICGA bukan lah pemeriksaan yang rutin dilakukan. Berdasarkan data studi kasus di
Asia, prevalensi PCV berdasarkan ICGA sekitar 20-60%, sedangkan pada populasi
Eropa prevalensi sebesar 8-13%.1
Diagnosis PCV

Terdapat beberapa klasifikasi PCV dan kriteria diagnostik berdasarkan temuan klinis
dan ICGA. Berdasarkan Japanese Study Group, PCV didiagnosis
sebagai definite atau probable berdasarkan pemeriksaan funduskopi atau ICGA atau
keduanya. PCV dikatakan definite apabila terdapat lesi menonjol merah oranye pada
funduskopi dan lesi polipoidal pada ICGA, sedangkan diklasifikasikan
sebagai probable apabila hanya terlihat branching vascular network (BVN) pada
ICGA atau retinal pigment epithelium (RPE) detachment yang bersifat serosa
ataupun hemoragik berulang.1
ICGA merupakan gold standard penegakan diagnosis PCV. Berdasarkan ICGA, PCV
diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yakni tipe polip (single, cluster, string
configuration, pulsatile vs non pulsatile), tipe 1 (tipe A) apabila ICGA mengisi
vaskularisasi koroid abnormal secara simultan dengan pembuluh darah koroid lain
untuk membentuk BVN dan polip, dan tipe 2 (tipe B dan C) umum ditemukan feeding
vessels yang terisi dengan ICGA setelah arteriol koroid penuh dan kemudian kosong
dengan cepat.1
Walaupun ICGA esensial dalam menegakkan diagnosis PCV, pemeriksaan dengan
OCT dapat lebih mudah dilakukan dan akurat. Karakteristik yang paling umum
ditemukan pada SD-OCT adalah pigment epithelium detachment (PED), double-layer
sign, penebalan koroid (>300 μm), dan ekskavasi koroid fokal. PED pada PCV dapat
berupa sharp PED peak, PED notch ataupun M-shaped PED. Double layer
sign ditandai dengan dua lapisan yang sangat reflektif (RPE dan sub-RPE) di dalam
area jaringan vaskular.1
Berdasarkan konsensus pada tahun 2019, para ahli merekomendasikan kriteria
diagnostik tanpa pemeriksaan ICGA dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi.
Kombinasi tiga kriteria mayor (sub-RPE ring-like structure pada OCT penampang
lintang, complex RPE elevation pada en face OCT, dan sharp-peaked PED) dapat
memberikan dasar untuk membedakan PCV dengan nAMD jika tidak terdapat ICGA.
Sedangkan kriteria minor termasuk nodul oranye, penebalan koroid dengan
pelebaran lapisan Haller, complex PED dan double-layer sign.2
Tata Laksana PCV

Beberapa pilihan terapi PCV yakni laser fotokoagulasi fokal, photodynamic


therapy (PDT) verteporfin, anti-vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
kombinasi terapi. Laser fokal digunakan untuk mengablasi polip ekstrafovea dan
ekstramakula. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan visus namun
keterbatasan terapi ini adalah menimbulkan skar dan rekurensi. Sebelum era anti-
VEGF, PDT sangat luas penggunaannya. Suatu meta analisis menunjukkan
perbaikan visus pada tahun pertama dan kedua namun kembali ke baseline pada
tahun ketiga.1
Setelah beberapa laporan uji klinis pada nAMD, terapi anti-VEGF telah banyak
menggantikan PDT sebagai terapi lini pertama PCV. Peran VEGF dalam patogenesis
PCV masih belum pasti. Bukti kuat menunjukkan adanya ekspresi VEGF pada
endotel vaskular dan sel RPE pada beberapa studi, namun ada pula studi yang
menunjukkan ekspresi VEGF yang rendah. Konsentrasi VEGF pada akuos humor
ditemukan lebih tinggi pada mata dengan PCV dibandingkan dengan kontrol, namun
cenderung lebih rendah dibandingkan nAMD.1
Studi EVEREST-1 membandingkan intravitreal ranibizumab (IVT-R) monoterapi, PDT
monoterapi dan kombinasi IVT-R dan PDT. Hasil menunjukkan regresi polip yang
lebih tinggi pada PDT monoterapi atau kombinasi PDT dan IVT-R. Walaupun regresi
polip rendah, pasien yang mendapat IVT-R monoterapi memiliki visus yang lebih baik
meskipun secara statistik tidak signifikan. Studi EVEREST-II membandingkan IVT-R
monoterapi dengan kombinasi IVT-R dan PDT. Studi PLANET membandingkan IVT
aflibercept (AFL) monoterapi dengan atau tanpa rescue PDT setelah tiga bulan.
Kedua studi tersebut menunjukkan perbaikan visus pada tahun pertama pada pasien
yang mendapat anti-VEGF monoterapi. Pada EVEREST-II, 51% mata tidak memiliki
penyakit aktif (tidak ada polip baru berdasarkan OCT, fluorescein angiography (FA),
ICGA dan foto fundus). Pada studi PLANET, 81,7% pasien tidak memiliki polip aktif
(kebocoran pada FA, cairan intra atau subretina dan adanya perdarahan baru).
Rerata injeksi pada studi ini adalah 7,3 (EVEREST-II) dan 8,1 (PLANET).1
Namun, kunjungan ke klinik yang lebih sering untuk injeksi dan evaluasi masih
merupakan suatu tantangan terutama di daerah dengan akses terbatas. Oleh karena
itu, masih diperlukan tata laksana yang efektif dengan interval antar injeksi yang lebih
panjang.3
Brolucizumab merupakan fragmen antibodi rantai tunggal yang memiliki afinitas tinggi
terhadap VEGF. Brolucizumab dengan berat molekul rendah (26 kDa)
memungkinkan pemberian dosis yang lebih besar dibandingkan dengan anti-VEGF
lainnya (ranibizumab 48 kDa, aflibercept 97-115 kDa) sehingga lebih efektif dalam hal
penetrasi ke jaringan dan lama kerja obat yang lebih panjang. Data preklinis
menunjukkan eksposur brolucizumab sebesar 2,2 kali lebih besar pada retina dan 1,7
kali lebih besar pada RPE/koroid dibandingkan dengan ranibizumab, sehingga ada
potensi yang lebih besar untuk mengontrol cairan intraretinal, subretina maupun sub-
RPE.3
Studi HAWK dan HARRIER merupakan studi yang membandingkan efikasi dan
keamanan brolucizumab 3 mg (HAWK), brolucizumab 6 mg dan aflibercept 2 mg
pada pasien nAMD. Setelah injeksi loading dose, brolucizumab diberikan setiap 12
minggu walaupun ditemukan keadaan aktif, sedangkan aflibercept setiap 8
minggu.4 Pada kedua studi tersebut brolucizumab tidak inferior dibandingkan
aflibercept pada minggu ke-48. Selain itu, luaran anatomi terkait cairan retina dan
ketebalan retina lebih superior pada kelompok brolucizumab. Efek samping yang
paling umum adalah perdarahan konjungtiva dan penurunan visus. Efek samping
yang menjadi perhatian adalah uveitis dan iritis (2,2%) pada kedua kelompok.4
Ogura, dkk. meneliti efikasi dan keamanan brolucizumab pada subjek dengan PCV
yang berkebangsaan Jepang dalam studi HAWK. Terdapat 39 mata mendapat
brolucizumab 6 mg, dan 30 mata mendapat aflibercept 2 mg. Setelah loading dose,
brolucizumab diinjeksikan setiap 12 minggu namun dapat berubah menjadi 8 minggu
bila terlihat tanda aktif sedangkan aflibercept setiap 8 minggu. Karakteristik dasar dari
kedua kelompok seimbang selain ketebalan makula sentral (central macular
thickness/CMT), di mana CMT kelompok brolucizumab lebih rendah 50 μm. Rerata
BCVA pada kedua kelompok adalah 62,4 ETDRS.5
Pada minggu ke-48, rerata perbaikan BCVA pada kelompok brolucizumab 6 mg
adalah +10,4 (72,7) dibandingkan aflibercept +11,6 (73,9). Visus ini bertahan hingga
minggu ke-96. Perbaikan visus ini dicapai dengan sebagian besar pasien pada
kelompok brolucizumab tetap mendapat injeksi intravitreal setiap 12 minggu
setelah loading dose.5
Rerata CMT pada minggu ke-16 adalah 250 μm (baseline 393 μm) kelompok
brolucizumab dan 266 μm (baseline 445 μm) pada kelompok aflibercept. Rerata
penurunan CMT dari baseline adalah 143 (+16) μm pada kelompok brolucizumab
dan 179 (+21) μm pada kelompok aflibercept. Pada minggu ke-48, rerata penurunan
CMT adalah 149 (+ 17) μm dan 182 (+21) μm pada kelompok brolucizumab dan
aflibercept dan penurunan ini bertahan hingga minggu ke-96. Pada minggu ke-4,
setelah injeksi pertama, cairan intraretina dan atau subretina lebih sedikit ditemukan
pada kelompok brolucizumab dibandingkan aflibercept (48,7% vs 70%). Perbedaan
terlihat di awal hingga minggu ke-16 dan juga pada minggu ke-96 (brolucizumab,
12,8% vs aflibercept 16,7%).5
Profil keamanan brolucizumab pada studi oleh Ogura, dkk. menunjukkan kemiripan
dengan populasi pada studi HAWK dan secara umum dapat ditoleransi. Efek
samping yang paling umum adalah katarak (2,6% (n=1)) pada kelompok
brolucizumab 6 mg dan macular hole (3,3% (n=1)) pada kelompok aflibercept.
Insidens inflamasi intraokular lebih tinggi pada kelompok brolucizumab (15,4% (n=6))
dibandingkan aflibercept dimana tidak ditemukan efek samping tersebut. Inflamasi
intraokular ini berupa uveitis (dua pasien), iritis (dua pasien), peradangan pada bilik
mata depan (satu pasien), dan perivascular sheating (satu pasien). Rerata visus
pada pasien ini membaik > 15 huruf, dua pasien membaik > 10 huruf, satu pasien
dengan visus tetap dan satu pasien menurun sebanyak empat huruf.5
Matsumoto, dkk. meneliti pemberian brolucizumab pada pasien nAMD
dengan choroidal neovascularization (CNV) tipe 1 dan lesi polipoidal yang belum
pernah mendapat terapi sebelumnya (treatment naïve). Sebanyak 36 mata mendapat
injeksi brolucizumab loading dose. Pada penelitian ini terdapat perbaikan BCVA
setelah pemberian dosis pertama (baseline, 0,24+0,27; bulan ke-1, 0,17+0,24) dan
pada bulan ketiga BCVA 0,12+0,23 (p<0,001). Ketebalan makula sentral juga
mengalami penurunan yang signifikan. Dry macula didapatkan pada 17 mata (47,2%)
setelah injeksi pertama, dan pada 34 mata (94,4%) pada bulan ketiga. Efek samping
brolucizumab berupa perdangan intraokular ditemukan pada 8 mata (19%). Efek
samping ini banyak ditemukan pada wanita dan usia lebih tua. Inflamasi ini teratasi
dengan pemberian kortikosteroid subtenon dan topikal. Selain itu, tidak terdapat
penurunan BCVA dibandingkan dengan baseline pada kasus tersebut. Tidak
ditemukan efek samping endoftalmitis, ablasio retina regmatogenosa, infark serebri,
infrak miokard pada penelitian ini.6
Kesimpulan

Terdapat perbaikan visus dan resolusi cairan intra/subretina lebih besar dengan
pemberian brolucizumab 6 mg loading dose diikuti interval pemberian setiap 12
minggu yang sebanding dengan aflibercept dengan profil keamanan yang dapat
ditoleransi.3
Referensi

1. Cheung CMG, Lai TYY, Ruamviboonsuk P, Chen SJ, Chen Y, Freund KB, et
al. Polypoidal Choroidal Vasculopathy: Definition, Pathogenesis, Diagnosis,
and Management. Ophthalmology. 2018; 125(5):708-724.
2. Cheung CMG, Lai TYY, Teo K, Ruamviboonsuk P, Chen SJ, Kim JE, et al.
Polypoidal Choroidal Vasculopathy: Consensus Nomenclature and Non-
Indocyanine Green Angiograph Diagnostic Criteria from the Asia-Pacific
Ocular Imaging Society PCV Workgroup. Ophthalmology. 2021; 128(3):443-
452.

3. Dugel PU, Singh RP, Koh A, Ogura Y, Weissgerber G, Gedif K, et al. HAWK
and HARRIER: Ninety-Six-Week Outcomes from the Phase 3 Trials of
Brolucizumab for Neovascular Age-Related Macular Degeneration.
Ophthalmology. 2021; 128(1):89-99.

4. Dugel PU, Koh A, Ogura Y, Jaffe GJ, Schmidt-Erfurth U, Brown DM, et al;
HAWK and HARRIER Study Investigators. HAWK and HARRIER: Phase 3,
Multicenter, Randomized, Double-Masked Trials of Brolucizumab for
Neovascular Age-Related Macular Degeneration. Ophthalmology. 2020;
127(1):72-84.

5. Ogura Y, Jaffe GJ, Cheung CMG, Kokame GT, Iida T, Takahashi K, et al.
Efficacy and safety of brolucizumab versus aflibercept in eyes with polypoidal
choroidal vasculopathy in Japanese participants of HAWK. Br J Ophthalmol.
2021; bjophthalmol-2021-319090.

6. Matsumoto H, Hoshino J, Mukai R, Nakamura K, Akiyama H. Short-term


outcomes of intravitreal brolucizumab for treatment-naïve neovascular age-
related macular degeneration with type 1 choroidal neovascularization
including polypoidal choroidal vasculopathy. Sci Rep. 2021; 11.1: 1-8.

NVS/IHDO/OTHR/072022/061

Anda mungkin juga menyukai