Hal Dan Tamyiz
Hal Dan Tamyiz
BAHASA ARAB
Disusun oleh:
Rahmatika
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah nahwu tentang
haal dan tamyiz.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah nahwu tentang haal dan tamyiz ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar...................................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................................... ii
Bab I : Pendahuluan
1.1. Latar Belakang....................................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................
1
1.3. Tujuan.................................................................................................................
1
Bab II : Pembahasan
A. Pengertian Haal dan Tamyiz.............................................................................. 2
B. Macam-macam Haal dan Tamyiz beserta contohnya........................................ 3
C. Ketentuan-ketentuan Hal dan Tamyiz............................................................... 6
D. Perbedaan Haal dan Tamyiz.............................................................................. 9
Bab III : Penutup
Kesimpulan........................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
a. Haal
اْلَح اُل َو ْص ٌف َفْض َلٌة ُم ْنَتِص ُب * ُم ْفِهُم ِفي َح اِل َكَفْر دًا َأْذ َهْب
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan
memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: ( َف ْر دًا َأْذ َهُبaku akan pergi
sendiri)”.1
Dengan istilah lain:
َاْلَح اُل ُهَو ِإْس ٌم َم ْنُصْو ٌب ُيَبْيُن َهْيَئَة ْالَفاِع ِل َأْو المْفُعْو ِل ِبِه ِح ْيَن ُو ُقْو ِع اْلِفْع ِل َو ُس َّم ي َك ٌّل ِم ْنُهَم ا َص اِح ُب الَح اِل.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il
atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih
tersebut dinamakan Shohibul Haal”.2
b. Tamyiz
Secara etimologi kata tamyiz berasal dari kata مّيز, ia merupakan bentuk masdhar dari
fi’il tersebut. Dalam kamus disebutkan bahwa mayyaza berarti “memisahkan sesuatu
dari yang lain atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain. Tamyiz berfungsi
untuk menjelaskan atau menghilangkan kekaburan atau ketidak jelasan dari apa yang
dimaksud kata atau kalimat sebelumnya, misalnya:
1
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, hlm. 432
2
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, hlm. 147
) إْشّتّرْيُت ِع ْش رْيَن كتاًب اsaya membeli dua puluh buku). Kata-kata ini masih sifatnya
umum, bisa berarti dua puluh buku, dua puluh majallah, dua puluh pulpen dan lain-
lain, namun setelah ada kata-kata كتاًبا, maka sudah jelaslah yang dimaksud buku dan
keluarlah yang lain. Inilah yang dimaksud tamyiz dalam bahasa Arab.
Sedangkan tamyiz dari segi terminologi ialah :
اسم نكرة يذكر تفسيرا للمبهم من ذات أو نسبة: التمييز.
“ isim nakirah yang dituturkan untuk memperjelas kesamaran suatu zat atau suatu
nisbah.”3
Sedangkan Ali Ridha dalam bukunya اللغة العربيةmengatakan bahwa:
التمييز هو اسم نكرة جامد متضمن معنى من يفّسر و يبين ما قبله من إسم ذات أو جملٍة.
“Tamyiz adalah isim nakirah yang mengandung arti menjelaskan kata- kata
sebelumnya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tamyiz adalah isim nakirah yang
disebutkan dengan tujuan menghilangkan kesamaran isim yang terletak sebelumnya.
Atau dengan kata lain bahwa tamyiz merupakan keterangan pembeda, terhadap
pengertian yang belum jelas pada kata-kata yang sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Isim nakirah itu mengandung pengertian ( )منyang berarti dari.4
3
Mustafa Moh. Nori daan Hafsah Intan, Al ‘arabiyyah al Muyassarah, hlm. 201
4
Abd. Karim Hafid, Pedoman dan Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab Kuning, hlm. 217
(Para anak itu makan sambil berdiri)
b. Haal berupa jumlah ismiyah.
Contoh: ( َحَضَر الُض ُيْو ُف َو الُمِض ْيُف َغ اِئٌبpara tamu datang, sedang tuan rumahnya
tidak ada). Lafadz الُمِض ْيُف َغ اِئٌبadalah jumlah ismiyah yang berkedudukan
sebagai haal dari lafadz الُضُيْو ُف.
c. Haal berupa jumlah fi’liyah.
Contoh: ( َذ َهَب الَج اِني َتْح ُرُسُه الُج ُنْو ُدpenjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh tentara).
Lafadz َتْح ُرُسُه الُج ُنْو ُدadalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai haal dari
lafadz الَج اِني.
d. Haal berupa zharaf.
Contoh: ( ) َر َأْيُت الِهاَل َل َبْيَن الَّس َح ابaku telah melihat bulan diantara bulan). Lafadz َبْيَن
adalah zharaf yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الِهاَل َل.
e. Haal berupa jar dan majrur.
Contoh: ( ِبْع ُت الَّثَم َر َع َلي َش َج ِر ِهsaya menjual buah yang masih ada di pohonya).
Lafadz َع َلي َش َج ِر ِهadalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz
الَّثَم َر
2. Macam-macam Tamyiz
Tamyiz terbagi menjadi dua, yaitu Tamyiz Dzat (atau yang disebut juga dengan
Tamyiz Mufrad) dan Tamyiz Nisbat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz
Jumlah).
Tamyiz Dzat
Tamyiz dzat adalah tamyiz yang menjelaskan pada isim yang masih samar
(isim mubham) yang dilafalkan, seperti (ِع ْنِد ي ِر ْطٌل َزْيتًا
Isim mubham ada lima macam, yaitu:5
a. Isim adad (hitungan), seperti( ) “ِاْش َتَر ْيُت َاَح َد َع َش َر ِكتَابًاaku membeli sebelas
kitab.” Tidak ada bedanya jika adad tersebut sharih, seperti dalam
contoh, atau mubham, seperti ( ) “َك ْم ِكتَابًا ِع ْنَدَك ؟Berapa kitab yang ada
padamu?”
Adad ada dua macam, yaitu adad sharih (: yaitu adad yang sudah
diketahui hitungannya, seperti ( “ )َو اِح ٌدsatu” dan semisalnya) dan adad
mubham (: yaitu adad yang tidak diketahui hitungannya, seperti ( ) َك ْم
“berapa” dan semisalnya).
5
Jami’ al-Durus al-Arabiyyah, juz III hlm. 113
b. Isim yang menunjukkan pada ukuran (sesuatu yang diukur dengan
alat), yaitu adakalanya berupa jarak area, seperti ()“ ِع ْنِد ي َقَص َبٌة َاْر ض^ًا
“aku mempunyai sekotak tanah,” atau timbangan, seperti ( َلَك ِقْنطَاٌر َع َس ًال
“ ) “kamu mempunyai satu kuintal madu,” atau takaran, seperti ( َاْع ِط
“ ) اْلَفِقْيَر َص اعًا ُقْم حًاberilah orang fakir satu sha’ gandum,” atau ukuran,
seperti(“ ) “ ِع ْنِد ي ِذَر اٌع ُجوخًاada padaku satu dzira’ kain.”
c. Isim yang menunjukkan pada perkara yang menyerupai ukuran
(perkara yang menunjukkan pada sesuatu yang tidak tertentu), karena
perkara itu tidak diukur dengan alat khusus.
Adakalanya menyerupai jarak area, seperti (“ )“ )ِع ْنِد ي َم ُّد الَبَص ِر َاْر ضًاada
padaku tanah sepanjang mata memandang,” atau timbangan, seperti
(“ ) َو َم ْن َيْع َم ْل ِم ْثقَاَل َذ َّر ٍة َخْيرًا َيَرُهbarang siapa yang beramal sebesar atom,
maka dia akan melihatnya,” atau takaran, seperti ( “ ) ِع ْنِد ي َج َّر ٌة مَاًءada
padaku satu guci air,” atau ukuran, seperti ( “ )ِع ْن ِد ي َم ُّد َي ِد َك َح بًالada
padaku benang sepanjang tanganmu.”
d. Isim yang diberlakukan seperti ukuran, yaitu semua isim mubham yang
membutuhkan pada tamyiz dan penjelas, seperti ( “ )َلنَا ِم ْثُل مَا َلُك ْم َخْيًالada
padaku kuda yang seperti yang ada padamu.”
e. Perkara yang merupakan cabang dari tamyiz, seperti ( )ِع ْنِد ي َخ اَتُم ِفَّض ٍة
“ada padaku cincin perak.”
Hukum tamyiz dzat adalah boleh dibaca nashab, seperti yang telah
kalian lihat, dan boleh dijerkan dengan ( )ِم ْنseperti ( )ِع ْنِد ي ِر ْطٌل ِم ْن َزْيٍت
atau dengan diidlafahkan, seperti ( )َلنَا َقَص َبُة َاْر ٍضkecuali jika
diidlafahkan akan menyebabkan terjadinya dua idlafah, yaitu ketika
mumayyaznya berupa mudlaf, maka pengidlafahan itu dilarang dan
wajib untuk dibaca nashab atau dijerkan dengan ( )ِم ْنseperti ( مَا ِفي الَّسمَاِء
)َق ْد ُر َر اَح ٍة َس حَابًا َاو ِم ْن َس حَاٍب. Dikecualikan dari hukum tersebut adalah
tamyiznya adad, karena dia mempunyai hukum tersendiri.
Tamyiz Nisbat
Tamyiz nisbat adalah tamyiz yang menjelaskan pada jumlah yang
masih samar nisbatnya, seperti ()َح ُسَن َع ِلٌّي ُخ ُلقًا, karena nisbatnya baik pada Ali
masih samar yang memungkinkan pada banyak keadaan, lalu kita
menghilangkan kesamarannya dengan mengucapkanُخ ُلقًا.
Termasuk dalam tamyiz nisbat adalah isim yang jatuh setelah ( )مَاyang
berfaidah ta’ajjub, sepertiمَا َاْش َجَع ُه َر ُج ًال
Tamyiz nisbat terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Tamyiz Muhawwal, yaitu tamyiz yang asalnya adalah fa’il, seperti (
)َو اْش َتَعَل الَّر ْأُس َش ْيبًاyang asalnya adalah ()ِاْش َتَعَل َش ْيُب الَّر ْأِس, atau maf’ul,
seperti ( ) َو َفَّجْر نَا اَأْلْر َض ُعُيونًاyang asalnya adalah ( ) َفَّجْر نَا ُع ُيوَن اَأْلْر ِض, atau
mubtada’, seperti ( ) َانَا َاْكَثُر ِم ْنَك مَاًال َو َاَع ُّز َنَفرًاyang asalnya adalah
( مَاِلي َاْكَثُر ِم ْن مَاِلَك َو َنَفِر ي َاَع ُّز ِم ْن َنَفِرَك
Hukum tamyiz ini adalah selamanya dibaca nashab dan tidak boleh
dijerkan dengan ( )ِم ْنatau dengan idlafah.
b. Tamyiz Ghairu Muhawwal, yaitu tamyiz yang bukan pindahan dari yang
lain, seperti َس َم وَت َاِد ْيبًا
Hukum tamyiz ini adalah boleh dibaca nashab dan boleh dibaca jer dengan ( )ِم ْن,
seperti َس َم وَت ِم ْن َاِد ْيب
Perlu diketahui bahwa lafal yang jatuh setelah isim tafdlil, wajib dibaca nashab
menjadi tamyiz, jika lafal itu bukanlah jenisnya lafal sebelumnya, seperti (َاْنَت َاْعَلى
)َم ْن ِز ًال. Namun, jika termasuk jenisnya lafal sebelumnya, maka wajib dijerkan
dengan diidlafahkan kepada ()َاْفَع ل, seperti ( )َاْنَت َاْفَض ُل َر ُج ٍلkecuali jika ( )َاْفَع لdi
idlafahkan kepada selain tamyiz maka wajib untuk membaca nashab tamyiz karena
sulitnya mengidlafahkan untuk kedua kalinya, seperti َاْفَض ُل الَّناِس َر ُج ًال
6
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm 264-265
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah
secara makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal
dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,7 sperti contoh: َج اَء َزْيٌد الَر اِكْيَب
2) Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurna kalamnya, yakni
sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu
tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang
dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal)
dengan berlandasan firman Allah Swt.: ( َو اَل َتْم ِش ِفْي اَألْر ِض َم َر ًح اdan janganlah
kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37).8
3) Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya
(mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang
memperbolehkanya yaitu:
a. Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh: (ِفْيَها َقاِئًم ا َر ُجٌلdidalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri). lafadz
َقاِئًم اberkedudukan sebagai haal dari lafadz َر ُجٌل.
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat
didalam firman Allah Swt. Berikut: ( ِفْي َاْر َبَعِة َاَياٍم َس َو اًءdalam empat hari yang genap.
(Fushsilat: 10). Lafadz َس َو اًءberkedudkan sebagai haal dari lafadz َاْر َبَعِة.
c. Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
َو َم ا َاْهَلْك َن ا ِم ْن َقْر َي ٍة ِاَاَّل َلَه ا ُم ْن ِذ ُرْو َنdan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan. (As-
Syu’ara: 208). Lafadz َلَها ُم ْنِذ ُرْو َنadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai
haal dari lafadz َقْر َيٍة, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah
dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yang muystaq atau bukan
jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
َو َك ْو ُنُه ُم ْنَتِقًال ُم ْش َتَّقا * َيْغ ِلُب لِكْن َلْيَس ُم ْسَتِح ّقًا
7
Iman Syaiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf, hlm. 88
8
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Op. Cit, hlm. 266
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah,
tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas,
bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh: = َج اَء َزْيٌد َر اِكْيبًاZaid telah datang
secara berkendaraan. Lafadz َر اِكْيبًاadalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat
lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat
muystaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: ( َكَّر َع ِلٌي َأَس ًداAli menyerang
dengan berani seperti macan). Takwilanya ُش َج اَعا َك ا اَألَسِد:
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: ( ِبْع ُتَك ْالَفَرَس َي ًدا ِبَي ٍدaku telah
menjual kuda secara kontan). Takwilanya: ُم َتَقاِبَض ْيِن
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: ( َد َخ َل الَق ْو ُم َر ُج اًل َر ُج اًلkaum itu telah masuk
secara tertib satu persatu). Takwilanya: ُم َتَر ِّتَبْيِن.
2. Ketentuan-ketentuan Tamyiz
a. Amil yang menashabkan dalam tamyiz dzat adalah isim mubham yang
ditamyizi, sedangkan dalam tamyiz jumlah adalah fi’il atau syibih fi’il yang
ada dalam jumlah itu.
b. Tamyiz tidak boleh mendahului amilnya, jika amilnya berupa dzat, seperti ِر ْطٌل
)َزْيتًاatau berupa fi’il, seperti ِنْع َم َزْي ٌد َر ُج ًالAdapun menengah-nengahinya
tamyiz dan ma’mul marfu’nya, maka diperbolehkan, seperti طَاَب َنْفسًا َع ِلٌّي
c. Tamyiz harus berupa isim sharih, sehingga tamyiz tidak boleh berupa jumlah
atau syibih jumlah.
d. Tamyiz tidak boleh berbilang.
e. Asalnya tamyiz adalah berupa isim jamid, namun terkadang berupa isim
musytaq, jika berupa sifat yang menggantikan maushufnya, seperti مَا َاْح َس َنُه عَاِلمًا
karena asalnya adalah مَا َاْح َس َنُه َر ُج ًال عَاِلمًا
f. Asalnya tamyiz adalah berupa isim nakirah, namun terkadang datang tamyiz
dengan bentuk isim ma’rifat secara lafdzi dan maknanya nakirah, seperti ( َر َأْيُتَك
)َلمَّا َاْن َع َر ْفَت ُو ُجوَهنَا * َص َد ْدَت َو ِط ْبَت الَّنْفَس َي ا َقْيُس َع ْن َع ْم ِر وkarena الpada lafal itu
adalah zaidah dan asalnya adalah ِط ْبَت َنْفسًا
g. Terkadang tamyiz datang sebagai penguat atau taukid, yang bertentangan
dengan pendapat kebanyakan ulama’, sepertiِإَّن ِع َّدَة الُّش ُهوِر ِع ْن َد ِهللا اْثنَا َع َش َر َش ْهرًا
karena َش ْهرdisebutkan bukan untuk menjelaskan, karena dzatnya sudah
diketahui, tetapi dia disebutkan untuk menguatkan.
h. Tidak diperbolehkan untuk memisahkan diantara tamyiz dan ‘adad kecuali
dalam dlarurat syair, seperti syair, ِفي َخ ْمَس َع َش َر َة َلْيَلًة ِم ْن ُجمَاَدى َلْيَل ًةketika yang
diinginkan adalah ِفي َخ ْمَس َع َش َر َة َلْيَلًة ِم ْن ُجمَاَدى
i. Ketika setelah tamyiz adad, seperti َأَح َد َع َش َرdan sesamanya atau ) )ِع ْش ُروَنdan
sesamanya, kita datangkan na’at, maka sah jika memufradkan na’at itu dengan
dibaca nashab dengan melihat pada lafalnya tamyiz, sepertiِع ْنِد ي َثَالَثَة َع َش َر َأو
َثَالُثوَن َر ُج ًال َك ِرْيمًا, dan sah juga jika kita menjama’kannya dengan jama’ taksir
dengan dibaca nashab, seperti ِع ْنِد ي َثَالَثَة َع َش َر َأو َثَالُثوَن َر ُج ًال ِكرَامًاkarena () َر ُج ًال
dalam contoh itu bermakna ( ) َر ُج ًالtidakkah kalian melihat kalau maknanya
adalah ( ) َثَالَثَة َع َش َر َأو َثَالُثوَن ِم َن الِّر جَاِلNamun, jika kita menjama’kannya dengan
jama’ shahih, maka diwajibkan untuk menanggungkan na’at itu pada dirinya
sendiri dan menjadikannya sebagai na’atnya adad bukan tamyiz, sepertiِع ْنِد ي
َاْر َبَع َة َع َش َر َأو َأْر َبُعوَن َر ُج ًال َص اِلُحوَن
j. Terkadang adad diidlafahkan sehingga tamyiz tidak dibutuhkan, seperti ( َهِذِه
)َع َش َر ُتَك َو ِع ْش ُرو َأِبْي َك َو َأَح َد َع َش َر َأِخ ْي َك, karena tidaklah kita mengidlafahkannya
kecuali jenis mumayyaznya sudah maklum bagi orang yang mendengarnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tamyiz adalah isim nakirah yang disebutkan dengan tujuan menghilangkan kesamaran
isim yang terletak sebelumnya. Atau dengan kata lain bahwa tamyiz merupakan
keterangan pembeda, terhadap pengertian yang belum jelas pada kata-kata yang
sebelumnya.
Tamyiz terbagi dua yaitu tamyiz mufrad dan tamyiz nisbah atau tamyiz jumlah. Dan
tamyiz mufrad terbagi menjadi dua lagi yaitu tamyiz bilangan dan tamyiz bukan bilangan.
Tamyiz bukan bilangan itu yang menunjukkan kepada takaran, timbangan, luas, panjang,
dan tamyiz yang berasal dari kata sebelumnya. Begitupun dengan tamyiz nisbah terbagi
dua, yaitu: tamyiz yang berasal dari fungsi yang lain, selain ia sebagai tamyiz, juga biasa
dikenal dengan istilah tamyiz manqul, dan tamyiz yang tidak dialihkan dari posisi yang
lain menjadi tamyiz atau dikenal dengan istilah tamyiz ghairu manqul.
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa
bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan masih jauh dari
sempurna, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan
bermanfaat untuk para pemakalah begitu pula bagi teman-teman agar mewujudkan
makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar harapan kami semoga makalah yang
singkat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan metode Pengajarannya Cet.II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar
Baru Algennsido, 2009
Fahmi, Akrom, Ilmu Nahwu dan Saraf (Tata Bahasa Arab) Prakis dan Aplikatif. Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Gulayani, Mustafa, Jami’ al- Durus al- Arabiyyah, Semarang: al- syifa. 1991
Hafid, Abd. Karim, Pedoman & Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab Kuning.
Makassar: Alauddin Press. 2009
Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al- Asasiyah li al- Lughah al- Arabiyah, Bairut: Dar al-Qutub
al-‘Ilmiah, 1354 H.
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008
Jasim, Ali & Mustafa Amin, Nahwu al- Wadi fi Qawaid al- Lughah al-‘Arabiy.
Moh. Nuri, H. Mustafa. Tuntunan Praktis Memahami Bahasa Arab II, Makassar: Fakultas
Adab dan Humaniora, IAIN Alauddin Makassar. 1993.
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido,
2010