Anda di halaman 1dari 32

BAB II

NEKROFOBIA, PENDAMPING PASTORAL, DAN METODE STUDI KASUS )

2.1 . Pengertian Nekrofobia

Kata Nekrofobia berasal dari bahasa Yunani yaitu Nekros “nekro"” artinya “mayat”

dan bahasa Yunani “vvvfobo"” yang artinya “ketakutan’.1 Menurut Timothy J. Woods,

Nekrofobia adalah fhobia spesifik, ketakutan irasional terhadap organisme mati

(misalnya mayat) seta hal-hal yang berhubungan dengan kematian (misalnya peti mati,

batu nisan, pemakaman, kuburan). Dengan segala jenis emosi, obsesi terhadap

kematian menjadi jelas baik dalam daya tarik maupun objektivitas.2

Nekrofobia adalah ketakutan yang tidak rasional terhadap hal-hal yang mati (seperti

mayat) serta hal-hal yang berkenaan dengan kematian. Dalam artian budaya, istilah

nekrofobia juga dapat digunakan untuk menyebut ketakutan yang dimiliki oleh suatu

kelompok akan orang mati, seperti misalnya ketakutan bahwa roh orang mati akan

kembali dan menghantui orang-orang yang masih hidup.3

Jadi, dari beberapa pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa

Nekrofobia merupakan ketakutan yang berlebihan yang dimiliki oleh seseorang

terhadap objek contohnya; peti mati, makam, pemakaman, batu nisan dan kuburan

2.1.1 Ciri-ciri Penderita Nekrofobia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh badan peneliti Better Help ,

tanda dan ciri-ciri fisik yang terlihat dari nekrofobia meliputi:

1. Ketakutan yang luar biasa akan benda mati

2. Obsesi dengan kematian atau benda mati


1
Clayton L. Thomas, Kamus Kedokteran Siklopedis Taber, edisi 18 (FA Davis, 1993), hal.1205-1206
2
Timothy J. Woods, Jurnal Teologi Kematian Dalam Dunia Barat dan Kontemporer bulan Juli 2007, hal
333-343
3
Eileen Murphy, “Unusual Burials and Necrophobia: An Insight Into the Burial Archaeology of Fear” (
Oxbow Books, 2008), hal. 805
1
3. Mual, muntah, atau mulut kering

4. Jantung berdebar atau detak jantung tidak teratur

5. Tekanan darah meningkat

6. Mengalami keringat berlebih atau gemetar

7. Takut keluar rumah 4

Orang yang mengalami kondisi ini akan terus-menerus mencari

pertolongan medis dan meminum obat-obatan tertentu. Karena tingkat

kecemasan tinggi, nekrofobia sering mengalami ciri-ciri atau gejala lain seperti

kesulitan tidur dan agorafobia/takut akan mengunjungi tempat-tempat tertentu

yang menurutnya menyeramkan. 5 Pikiran-pikiran ini bisa menjadi sangat

traumatis ketika memikirkan kematian atau kematian anggota keluarga dekat.

2.1.2. Penyebab Nekrofobia

Menurut Artikel IdnMedis.com yang penulis dapatkan menyatakan bahwa

penyebab dari fobia spesifik seperti nekrofobia hingga kini masih belum diketahui

dengan jelas, namun, beberapa teori mengungkapkan bahwa penyebab dari Nekrofobia

merupkan suatu pertemuan antara objek atau situasi tertentu dengan emosi dapat

menjadi sumber berkembangnya fobia spesifik seperti nekrofobia. Artinya, jika situasi

tertentu bertemu atau berasosiasi dengan pengalaman emosional maka kemungkinan

timbulnya fobia spesifik seperti necrophobia menjadi mungkin. 6 Sebagai contoh,

seseorang yang mengemudi dipertemukan dengan pengalaman emosional melihat

kecelakaan hingga korban meninggal dapat menjadi penyebab seseorang tersebut

mengalami fobia melihat kematian. Lebih lanjut, Asosiasi Gangguan

Kecemasan Amerika juga menjelaskan bahwa, penyebab dari fobia spesifik seperti
4
https://www.orami.co.id/magazine/necrophobia diakses pada 22 Agustus 2023 pukul 20.14. Wib
5
Timothy J. Woods, Jurnal Teologi Kematian Dalam Dunia Barat dan Kontemporer, hal 345-347
6
https://idnmedis.com/necrophobia - idnmedis_ref diakses pada tanggal 8 September 2023 pukul
19.45. Wib
2
necrophobia ini juga dapat dihasilkan oleh kombinasi empat faktor; genetik, biologis,

psikologis dan lingkungan.

2.1.2.1 Pengertian Fobia

Kata Fobia berasal dari bahasa serta negeri yunani yaitu phobos, yang berarti

takut kepada musuh-musuhnya.7 Sering orang-orang membedakan bahwa takut dan

cemas itu hal yang berbeda. Seperti Rais dalam Kamus Ilmiah Populer, menyebutkan

takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan

mendatangkan bencana, takwa, segan dan hormat, tidak berani (berbuat, menempuh,

menderita, dan sebagainya), rasa gelisah, khawatir, dan kacau-balau. Sedangkan cemas

adalah risau hati, tidak tenteram hati (karena khawatir, takut dan lain-lain), dan

gelisah.8. K. T. Strongman dalam The Psychology of Emotion menjelaskan cemas atau

kecemasan menurutnya hanya dapat difahami dengan memerhatikan beberapa aspek

kognitif saja, karena aspek dasar kecemasan tampak ketidakpastian. Sedangkan takut

atau ketakutan adalah adanya objek ketakutan yang nyata, eksternal, diketahui atau

bersifat objektif.9 Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan fobia sebagai ketakutan

yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat

kehidupan penderitanya.10

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat di simpulkan bahwa fobia adalah

sebuah masalah psikologis dan atau sebuah masalah kecemasan. Dengan demikian,

pengistilahan dan pengertian yang lengkap adalah bukan secara semantik (makna kata)

saja melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia ataupun literatur dan buku tertentu, tetapi
7
Gerald C. Davison, John M. Neale & Ann M. Kring, Abnormal Psychology, terj. Noermalasari Fajar,
Psikologi Abnormal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), Ed. 9, hal184.
8
Happy El Rais, Kamus Ilmiah Populer: Memuat Berbagai Kata dan Istilah dalam Bidang Politik, Sosial,
Budaya, Sains dan Teknologi, Psikologi, Kedokteran, Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal 124.
9
K. T. Strongman, The Psychology of Emotion: From Everyday Life to Theory, (England: John Wiley &
Sons Ltd, 2003), Ed. 5, hal 135.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Ed.
3, Cet. 2, hal 319.
3
sebuah pengertian yang didapat dari diagnosa dan klasifikasi dari pihak yang

berkompeten yaitu psikolog atau psikiater, untuk menilai dan menyatakan seseorang

penderita psikologis sedang memiliki gejala ketakutan atau kecemasan yang berada di

tingkat apa fobianya, dan seberapa menganggu hidupnya terhadap fungsi-fungsi pada

dirinya (pekerjaan, sosial, pendidikan, rutinitas).

2.1.2.2 Karakteristik Fobia

Menurut Nevid, Rathus & Greene, yang sering muncul dari orang yang

mengalami fobia adalah sebagai berkut11 :

a. Ciri-ciri fisik

Adanya salah satu gejala kegelisahan, kegugupan, gemetaran, berkeringat,

pusing, pingsan, sulit berbicara, sesak nafas, jantung cepat, jantung melambat,

merinding, panas dingin, lemas, mual, mau buang air kecil, wajah merah, mudah marah,

atau sejenisnya.

b. Ciri-ciri behaviorial

Adanya salah satu gejala perilaku menghindar, melekat atau dependen,

terguncang, atau sejenisnya.

c. Ciri-ciri kognitif

Adanya salah satu gejala di pikiran khawatir, keyakinan sesuatu mengerikan

akan terjadi, waspada berlebihan, ketakutan akan kehilangan kontrol diri, berpikir

bahwa dunia mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa

dikendalikan, berpikir semua membingungkan, tidak mampu menghilangkan pikiran-

pikiran terganggu, berpikir akan segera mati, khawatir akan ditinggal sendirian, sulit

berkonsentrasi, atau sejenisnya.

11
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus & Beverly Greene. Abnormal Psychology in a Changing World,..
hal 64.
4
V. Durand & Barlow merangkum karakteristik fobia secara spesifik, sebagai

berikut:12

a. Ketakutan yang terlihat menyolok dan menetap, yang eksesif (ketentuan dan

sebagainya) dan tidak masuk akal, terhadap objek atau situasi tertentu (misalnya,

ketinggian, binatang, darah, dan lain-lain), yang berlangsung setidak-tidaknya

selama 6 bulan.

b. Respons cemas dan ketakutan ketika menghadapi objek atau situasi yang fobia.

c. Menyadari bahwa ketakutannya eksesif dan tidak masuk akal atau ada distress

(kondisi gangguan emosional) yang menyolok karena memiliki fobia dimaksud.

d. Situasi atau objek yang fobia di hindari atau dihadapi dengan kecemasan atau

distres yang intens.

2.1.2.3 Gejala Fobia

Hardiani dalam bukunya membagi beberapa gejala dari orang yang mengidap

fobia atau kecemasan, antara lain:13

a. Gejala suasana hati

Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman

dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak diketahui,

ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, mudah marah, perasaan terganggu.

b. Gejala kognitif kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan

pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi.

Individu tersebut tidak memerhatikan masalah-masalah nyata yang ada,

sehingga individu sering tidak bekerja atau belajar secara efektif, dan akhirnya

dia akan menjadi lebih merasa cemas. Contoh simtom (gejala) kognitif ialah
12
V. Mark Durand & David H. Barlow, Essentials of Abnormal Psychology, .... , hal 186.
13
Carina Agita Hardiani, “Kecemasan Dalam Menghadapi Masa Bebas Pada Narapidana Anak Di
Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo”, (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012), 21-22.
5
tidak dapat memusatkan perhatian atau sulit berkonsentrasi, pikiran terasa

bercampur atau kebingungan.

c. Gejala motorik orang-orang yang mengalami kecemasan sering merasa kegiatan

motorik atau fisik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki

mengetuk-ngetuk dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba

jari tangan dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing,

nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak, dada sesak. Simtom ini merupakan

gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada individu dan merupakan usaha

untuk melindungi dirinya dari apa saja yang dirasanya mengancam.

2.1.2.4 Faktor-Eksternal dan Internal Penyebab Fobia

A. Faktor Ekternal

Menurut Center for Mental Health in Schools UCLA memberikan faktor-faktor

eksternal, berikut:14

a. Tantangan Komunitas Sosial dan Pekerjaan. yaitu seperti efek lingkungan

pertemanan ataupun lingkungan kerja yang merugikan.

b. Tantangan Tempat Tinggal, yaitu seperti rumah yang tidak memadai, kesalahan

lokasi, bencana alam.

B. Faktor Internal

Menurut Mayo Clinic ada empat faktor internal yang dapat dipertimbangkan

terhadap sebuah fobia, yaitu:15


14
Center for Mental Health in Schools, “Anxiety, Fears, Phobias, and Related Problems: Intervention
and Resources for School Aged Youth”, (Los Angeles: UCLA Dept. Of Psychology, 2008), hal 6, diakses pada 20
Juli 2023.
15
Mayo Clinic, http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/phobias/basics/riskfactors/con-
20023478, diakses pada 20 Juli 2023 pukul 20.35.
6
a. Usia

Fobia dialami oleh seseorang secara spesifik pertama muncul biasanya saat

usia 10 tahun.

b. Temperamen

Fobia pada seseorang akan dapat beresiko jika seseorang itu temperamennya

terlalu sensitif, atau juga bisa dikatakan temperamen bisa menjadikan orang

yang mengalami fobia tertentu tersebut akan berakibat fatal karena

temperamen yang terlalu sensitif.

Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa orang yang mengidap

nekrofobia perlu dilakukan pendampingan pastoral, berikut akan diuraikan selanjutnya.

2.2. Pendampingan Pastoral

Kata pendampingan pastoral adalah gabungan dua kata yang mempunyai makna

pelayanan, yaitu kata pendampingan dan kata pastoral.

2..2.1 Pengertian Pendampingan

Istilah pendampingan. Kata ini berasal dari kata kerja mendampingi.

Mendampingi merupakan suatu kegiatan menolong orang lain yang suatu sebab perlu

didampingi. Orang yang melakukan kegiatan mendampingi disebut sebagai

pendamping. Antara yang didampingi dan pendamping terjadi suatu interaksi sejajar

dan atau relasi timbal balik.16

Dalam perjanjian baru, pendampingan dipahami sebagai tugas seluruh warga

jemaat yang berfungsi sebagai persekutuan pemeliharaan dan penyembuhan, dimana

yang lebih berperan aktif adalah pendeta sebagai pendamping. Tugas pendeta adalah

16
J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, (Jakarta: Yayasan Komunitas Bina Kasih,
1994), hal 223
7
mendidik, melatih, memberi inspirasi, dan mengawasi warga jemaat dalam pelayanan

pendampingan.17

2.2.2 Pengertian Pastoral

Istilah Pastoral berasal dari “Pastor” yang dalam bahasa Yunani disebut

“Poinmen” artinya gembala. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus dan

karya-Nya sebagai “Pastor Sejati” atau Gembala Yang Baik (Yoh. 10) yang mengacu pada

pelayanan yang bersedia tanpa pamrih, serta bersedia menolong dan mengasuh

terhadap para pengikut-Nya. Dengan demikian, dalam pelayanan pastoral, haruslah

diingat bahwa gembala dipercayakan untuk menggembalakan domba-domba Allah

yakni sesama manusia. Istilah pastor dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau

memelihara. Pastoral adalah kata sifat dari pastor. Seorang pastor adalah seseorang

yang bersifat seperti gembala yang bersedia merawat, memelihara, melindungi, dan

menolong sesamanya.18 Pastoral adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencari dan

mengunjungi anggota jemaat yang mengalami pergumulan hidup dan untuk

memberitakan Firman Tuhan.

2.2.3 Pengertian Pendampingan Pastoral

Pengertian pendampingan Pastoral adalah suatu sifat memperbaiki yang

dibutuhkan seseorang yang sedang mengalami krisis yang merintangi pertumbuhannya.

Dalam pendampingan terjadi komunikasi dua arah yang ternyata membawa positif bagi

pemahaman kejiwaan manusia.19 Pendampingan Pastoral dapat menjadi alat-alat

penyembuhan dan pertumbuhan dengan membantu orang mengembangkan apa yang

paling sulit dicapai dalam periode sejarah masa kini, yaitu hubungan yang mendalam.

17
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,(Yogyakarta: Kaninus,
2002), hal 67
18
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000), hal 10.
19
E.P. Ginting “Konseling Pastoral Penggembalaan Kontekstual”,(Bandung: IKAPI, 2009), hal 16
8
Memang sungguh sulit berhubungan dengan kedalaman orang lain. Untuk sampai ke

sana, orang patut berempati dengan sesama pada rasa sakit dan kemampuannya,

kehampaan dan keutuhannya, harapan dan keputusasaannya yang bercampur secara

unik.

Sungguh sangat berat berhubungan dengan orang lain, karena hal ini menyibak

kegelapan dunia batin kita sendiri. Kemarahan dan rasa bersalah mereka menyebabkan

kemarahan dan rasa kita turut bergetar. Kendati demikian, hanya bila ada pertalian

yang mendalam satu dengan yang lain, maka orang dapat memampukan pertumbuhan

dalam hidup sesama. Hanya orang yang sudah menemukan hidup baru dalam

kedalaman dirinya dapat menjadi dokter yang ahli kebidanan rohani, yang membantu

lahirnya kehidupan baru dalam diri sesama dan gereja. Pendampingan pastoral juga

dapat membantu memperlancar dokter ahli kebidanan rohani dalam hal mempermudah

kelahiran baru yang terus menerus. Dia berhadapan dengan Yesus yang hidup-Nya

merupakan saluran yang dalam. Dari Dia mengalir dengan bebas dan berlimpah segala

sumber daya penyembuhan dan pertumbuhan, yaitu Roh Pengasih Allah.20

Pendampingan pastoral adalah suatu proses pertolongan yang membuat orang

diberdayakan untuk hidup yang menghidupkan dan memanusiakan sesama manusia.

Itu berarti pendampingan pastoral tidak hanya sekedar membawa orang keluar dari

keterpurukan dan penderitaan hidup, tetapi mengembangkan potensi-potensi yang

dimiliki untuk memberdayakan dirinya dan orang lain. 21 Singgih berpendapat dari

mengenai pengertian pendampingan pastoral adalah membantu seseorang agar

menyadari reaksi-reaksi pribadi terhadap pengaruh perilaku dari lingkungan dan

20
Howard Clinebell, Tipe-tipe Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius,2002),
hal.18
21
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2016), hal.1
9
membantu seseorang membentuk makna dari perilakunya. Artinya bahwa

pendampingan dapat membantu klien membentuk dan memperjelas rangkaian dari

tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku selanjutnya.22

Menurut penulis, pendampingan pastoral adalah bentuk dalam memperbaiki

hubungan manusia dengan manusia dan Allah (spiritualitas). Dengan harapan proses

pendampingan ini dapat mengembalikan orang yang mengalami keterpurukan supaya

keluar dari persoalan-Nya dan berdamai dengan Allah dan diri sendiri.

2.2.4 Dasar Alkitab Pendampingan Pastoral

Alkitab merupakan pedoman untuk memecahkan persoalan-persoalan yang

dihadapi konseli. Menurut Dicks yakni bahwa “ Doa adalah sumber kerohanian” yang

terpenting dalam pelayanan terhadap orang sakit, tetapi ia mengatakan bahwa Alkitab

juga merupakan sumber yang berharga dalam mendukung doa. Bila penderita tidak

ingin berdoa, tetapi suka memikirkan atau merenung-renungkan kehidupan atau

kematian, Alkitab memberi bimbingan dan arahan terhadap refleksi seperti itu, karena

Alkitab berperan sebagai dasar latihan spiritual. 23 Berkaitan hal tersebut, Douglas

Bookman mengatakan bahwa Alkitab adalah dasar melakukan konseling. Konseling

alkitabiah adalah konseling yang berfokus kepada Tuhan, 24 sehingga dengan demikian

dasar pelayanan konseling pastoral adalah Alkitab dan bimbingan Roh Kudus. Di dalam

percakapan konselor menghadirkan Yesus Kristus dan terang Firman Tuhan agar dapat

membawa konseli keluar dari permasalahannya. Konseling Kristen adalah suatu proses

pembimbingan yang dinamis di bawah tuntunan Roh Kudus dan terang Firman Allah,

22
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan psikoterapi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal.19
23
Donald Capps, Penggunaan Alkitab dalam Konseling Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),
hal 19
24
Douglas Bookman, Konseling Alkitabiah yang berfokus kepada Tuhan (Malang: Gandum Mas, 2002),
hal 193
10
yang melibatkan seorang konselor Kristen dalam upayanya menolong seorang konseli

agar menikmati pemulihan, perubahan dan pertumbuhan di dalam Kristus.25

Alkitab adalah firman yang berfungsi untuk menyegarkan jiwa, menjadi pelita

hidup, menuntun ke jalan yang lurus dan benar, serta mampu untuk memimpin kepada

keselamatan, memperbaiki kesalahan, serta mendidik orang kepada kebenaran (Mzm.

19:8, 119: 105, Yes. 45: 19, Mat. 4: 4, 2 Tim. 3: 15-17). 26 Alkitab juga menolong orang

sakit untuk mendapatkan kekudusan. Cerita Alkitab tentang berbagai pengalaman yang

sulit dari Yesus, Paulus, Yeremia, Amos, Hosea, dan Ayub memberikan contoh akan

pencapaian kekudusan ini melalui ketabahan dalam penderitaan. 27 Nas yang dianjurkan

adalah Mazmur 23 (untuk peneguhan kepercayaan), Mazmur 21 (untuk kekuatan),

Yohanes 15:1-7 (untuk kedamaian dan ketenangan), dan Matius 6:25-27 (untuk

membebaskan dari rasa cemas).

Menurut Leory Aden dan J. Harold Ellens dalam buku The Church and Pastoral

Care mengatakan bahwa pendamping pastoral harus berusaha menjawab

permasalahan-permasalahan yang terjadi berdasarkan Firman Tuhan. Oleh karena itu

dalam pendampingan pastoral diperlukan peran Firman Allah dalam memimpin serta

membimbing konselor dalam melakukan percakapan dengan konseli. 28 Penggunaan

Alkitab dengan baik dan tepat akan menjadi sarana yang penuh kuasa untuk membina

dan membangun keutuhan spiritual.29

2.2.4.1 Dalam Perjanjian Lama

25
Magdalena Tomatla, Konselor Kompeten, (Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003) hal 15
26
Tulus Tu’u, Dasar-Dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: ANDI, 2007), hal 49
27
Donald Capps, Penggunaan Alkitab dalam Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal 19
28
Leory Aden & J. Harold Ellens, The Church and Pastoral Care, (Michigan: Baker Book House, 1988),
hal 40
29
Howard Clinebell, Basic Types of Pastoral Care and Counseling, (Nashville: Abingdon Press, 1984),
hal 122
11
Tuhan Allah adalah gembala umat-Nya, yang tersesat dibawa-Nya pulang, yang

hilang dicarinya, yang luka Ia sembuhkan, yang lemah dikuatkan dan yang sehat

dilindungi. Demikianlah peran Tuhan sebagai gembala Israel. Tuhan adalah gembala

yang baik bagi umat-Nya. Daud mengaku bahwa Tuhan gembalanya yang baik (Mzm.

23). Tuhan menjaganya dalam berbagai pergumulan hidup, menuntun dan

membimbingnya ke tempat yang tenang dan aman. Tuhan Allah adalah pencipta alam

semesta. Itu berarti seluruh alam semesta adalah milik Tuhan, termasuk manusia.

Manusia bukan hanya milik Tuhan saja, tetapi amat dikasihi-Nya dengan kasih yang

kekal. Allah dalam Firman-Nya berkata “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang

kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).30

Dalam Yehezkiel 34:16 di sini juga terlihat konteks kembalinya Israel ke

negerinya sendiri. Dimana orang-orang buangan harus dibawa kembali dari semua

negeri dan tinggal dibawah pemerintahan Yahwe. Perasaan Yehezkiel yang begitu

lemah-lembut tersirat dalam seluruh nubuatannya memperlihatkan pemerintahan Allah

yang penuh berkat sebagai gembala bagi umat-Nya, “yang hilang akan Kucari, yang

tersesat akan Kubawa pulang, yang terluka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan,

serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka

sebagaimana seharusnya”. Dalam tugas Allah seperti inilah kita dipanggil menjadi

teman sekerja Allah. Semua yang disebutkan dalam konseling pastoral adalah pekerjaan

mendukung, menguatkan (sustaining) (Yeh. 34:16).31

Dalam Alkitab Perjanjian Lama ada kasus dan pendekatan konseling yang dapat

ditemukan, salah satunya kasus Hizkia.32 Dalam Perjanjian Lama Yesaya 38:1-22

menguraikan bagaimana pengalaman Raja Hizkia ketika berada pada stadium akhir dari

30
Tulus Tu’u, Dasar-Dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: ANDI, 2007), hal 9-10
31
E.P.Ginting, Gembala dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Andi, 2002), hal 34
32
Magdalena Tomatala, Konselor Kompeten, (Jakarta: YT Leadership Foundation, 2003), hal 23
12
penyakitnya. Hizkia menyaksikan pengalaman penderitaan dan kegentarannya

menghadapi maut. Dalam keadaan yang demikian Allah melibatkan nabi Yesaya secara

langsung dalam penyelesaian penyakitnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Yesaya

berperan sebagai gembala untuk mendampinginya.33

2.2.4.2 Dalam Perjanjian Baru

Dalam pelaksanaan pelayanan konseling pastoral, ada beberapa sikap yang perlu

dikembangkan oleh para gembala dalam melakukan penggembalaan. Pertama,

“gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi

dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah.” (1 Ptr. 5:2b). Konselor memikirkan

cara terbaik untuk domba-domba-Nya. Biarlah konselor yakin seperti perkataan Paulus,

“Aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan

apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan,” (2 Tim. 1:12).

Konselor harus yakin bahwa Allah berkuasa menolong dan memelihara hidupnya.

Kedua, “Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang

dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan

domba,” (1 Ptr. 5:3). Teladan artinya sesuatu sikap yang patut ditiru. Karena ia telah

menghayati iman dan kasih Kristus.34

Nas Alkitab lain misalnya dalam perjanjian baru yang memampukan panggilan

kepada pelayanan konseling pastoral, Lukas 4:18:19 Yesus berkata “Roh Tuhan ada

pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada

orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan

kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk

membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan


33
Tesis Parsaulian Simorangkir, Pendampingan Pastoral kepada Passien Dalam Kondisi Terminal dan
Dampaknya terhadap ketenangan serta kesiapan dalam menerima kematiannya, (Medan:STT ABDI SABDA,
2007), hal 4
34
Tulus Tu’u, Dasar-Dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: ANDI, 2007), hal 16-18
13
telah datang”. Di sini dijelaskan bahwa Kristus datang untuk menjadi seorang Tabib

Agung, karena Ia diutus untuk menyembuhkan hati nurani yang menderita, memberi

kedamaian bagi orang-orang yang berada di bawah tekanan rasa bersalah dan untuk

membawa perhentian dan kelegaan bagi yang telah dan bertanggungan berat di bawah

beban rasa bersalah. Ia tidak hanya memberitakan pembebasan kepada orang-orang

tawanan, tetapi juga membebaskan mereka yang terluka. Ia melakukan itu dengan Roh-

Nya yang mencondongkan hati mereka dan menguatkan mereka. 35 Dalam refleksinya

bagi seorang pelayan Tuhan, konselor tentu harus memahami ini dengan baik. Ia harus

mengerti tugas dan tanggung jawabnya yaitu menyembuhkan hati nurani yang

menderita, memberi kedamaian bagi orang yang lemah dan tertekan oleh karna rasa

bersalah dan membawa kelegaan kepada mereka.

2.2.5 Fungsi Pendampingan Pastoral

Fungsi pendampingan merupakan tujuan-tujuan operasional yang hendak

dicapai dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Menurut A. Van Beek fungsi

pendampingan pastoral ada enam yang perlu diperhatikan dan diketahui untuk

menunjukkan tanggung jawab yang benar, sebagai tujuan yang hendak dicapai yaitu;

2.2.5.1 Fungsi Membimbing (Guiding)

Fungsi membimbing memaksudkan orang-orang didampingi, ditolong untuk

mengambil keputusan tentang apa yang akan dicapai atau apa yang akan dipilih sambil

membimbing orang ke arah pemilihan yang berguna. Pengambilan keputusan tentang

masa depan, mengubah dan memperbaiki tingkah laku tertentu atau kebiasaan tetap

dalam tangan orang yang didampingi (penderita).36 Membimbing berarti, membantu

orang yang berada dalam kebingungan dalam mengambil pilihan-pilihan yang pasti
35
Matthew Henry, Injil Lukas 1-12, (Surabaya: Momentum, 2009), hal 168
36
Singgih. D. Gunarsa,,, hal 22
14
diantara berbagai pikiran dan tindakan alternatif. Jika pilihan-pilihan tersebut

dipandang sebagai yang memengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan pada masa yang

akan datang.37 Dalam hal ini, konselor perlu menawarkan pilihan yang baru kepada

konseli dengan melihat harapan masa mendatang. Pengalaman buruk yang dialaminya

saat ini, biarlah memacu dia untuk memengaruhi hidup yang salah itu, dengan demikian

Firman Tuhan diharapkan agar konseli berharap pada Tuhan yang mampu mengubah

hidup kepada yang sepatutnya. Fungsi membimbing ini muncul dalam usaha membantu

konseli untuk mengambil keputusan tentang hidupnya sendiri, seperti: mengenai

keputusan yang dipilih, masa keputusan, apa yang harus dilakukan, dan mengenai

teman hidup, sehingga perlu membimbing, konseli agar tidak salah mengambil

keputusan dalam kehidupannya.38 Membimbing di sini dilakukan melalui respons

percakapan yang interperetative (berkesan/pandangan), yaitu percakapan yang

mengajak, membimbing, mengajar, menjelaskan. Dengan respons interperetatif, yang

didampingi semakin memahami sebab-sebab, akibat-akibat, hal-hal penting dari

permasalahannya dan ia sadar akan keberadaan dirinya.39

2.2.5.2 Fungsi Mendamaikan (Reconciling)

Salah satu kebutuhan manusia untuk hidup dan merasa aman adalah hubungan

yang baik dengan sesama manusia dan dengan Allah. Apabila hubungan tersebut rusak

maka terjadilah penderitaan yang berpengaruh pada emosional. Pengertian

mendamaikan adalah suatu usaha membangun suatu hubungan yang rusak diantara

sesamanya manusia dan Allah.40 Hampir semua persoalan konseli sedikit banyak

menyangkut hubungan dengan orang lain, jika hubungan itu tidak diperhatikan oleh
37
Howard Clinnebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jakarta: Kanaasius-BPK
Gunung Mulia, 2002), hal 154
38
William A. Mininger, Menjadi Pribadi Utuh, (Yogyakarta: Kanasius, 2003), hal 26
39
H.Norman Wright, Meredakan Konseling Emosi Jiwa, (Yogyakarta: ANDI,2000), hal 77
40
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, hal 13-14
15
konselor pelayanannya dapat menjadi tidak relevan. Oleh sebab itu, (khususnya di

Indonesia) kita membutuhkan fungsi konseling pastoral yang menjamin konselor ikut

berkecimpung dalam menyelesaikan keteganga yang timbul dalam hubungan itu.

Kesulitan komunikasi biasanyan adalah persoalan yang paling mendasar. Sebaiknya,

konselor tidak memihak kepada konseli atau sebaliknya anggota-anggota keluarganya

atau temannya. Dalam menolong proses komunikasi, semua orang yang terlibat

menjadi konselor. Kita menjadi perantara yang netral, perantara yang berkewajiban

secara terus menerus membuka jalur komunikasi timbal balik. Hendaknya konselor

minta kepada konseli-konseli yang terlibat dalam permasalahan dalam satu persatu

menyampaikan pendapat dan perasaan mereka kepada temannya, bukan kepada

konselor. Kemudian konseli yang kedua diminta oleh konselor untuk mengulang yang

dikatakan oleh konseli yang pertama. Berikutnya konseli pertama memberi tahu apakah

maksudnya telah ditangkap dengan baik oleh konseli kedua (andaikan konseli kedua

belum mengerti) prosedur ini perlu diteruskan sampai konseli pertama sudah puas,

sebaiknya konselor tidak memberikan adanya tanggapan langsung dari salah satu

konseli terhadap yang dikatakan oleh konseli yang lain sebelum tugas mengulang

selesai terlebih dahulu.

2.2.5.3 Fungsi Menopang (Sustaining)

Menopang berarti menolong yang “terluka” untuk bertahan dalam melewati

suatu keadaan yang dialaminya untuk pemulihan kepada kondisi semula, atau

peyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinan. Jika seseorang

mengalami krisis tertentu sangat membutuhkan suatu pendampingan guna membantu

agar dapat bertahan dalam situasi krisis yang dialamiyan. Topangan dan sokongan

sangatlah diperlukan guna meneguhkan dan menguatkan agat dapat mengurangi

16
penderitaan yang dipikulnya.41 Konseli yang menghadapi krisis psikis atau penderita

yang diserang oleh rasa sakit yang dalam sekali sulit diajak berbicara melalui

percakapan yang mendalam. Pada umumnya konselor dan konseli hanya dapat

berfokus pada masalah ini. tanggapan-tanggapan dari konselor adalah singkat, tepat

dan menekankan perasaan konseli. Kehadiran yang baik dan komunikasi non-lisan dari

konselor banyak menolong sebab biasanya konseli sangat gelisah.

2.2.5.4 Fungsi Menyembuhkan (Healing)

Penyembuhan merupakan salah satu fungsi konesling pastoral yang bertujuan

untuk mengatasi penderitaan seseorang. Fungsi penyembuhan ini berarti melindungi

konseli dengan penuh kasih sayang, rela mendengar segala keluhan batin dan peduli

terhadap penderitaan orang yang didampingi, serta mampu memberi rasa aman dan

kelegaan. Tujuan penyembuhan adalah membawa konseli untuk dapat keluar dari

perasaan yang melukai hatinyan dan menuju kedalam kenyataan hidup dan bertumbuh

serta berpengharapan kepada Tuhan.42 Fungsi menyembuhkan dari konseling pastoral

dapat menolong konseli untuk menyembuhkan hatinya. Tidak jarang tekanan batin

konseli menimbulkan penyakit psikosomatis seperti colitis atau penyakit jantung,

penyakit maag dan sebagainya.

2.2.5.5 Fungsi Mengasu (Nurturing)

Diharapkan bahwa konseli berkembang dan terus menerus menjadi lebih

dewasa di dalam menghadapi masalah-masalah hidup. Seharusnya konselor tidak hanya

punya tujuan meringankan penderitaan konseli untuk sementara saja dan resiko besok

masalahnya kembali lagi, tetapi konselor perlu memperkuat konseli. Fungsi ini

sebenarnya hampir selalu dapat keluar dalam konseling, itu alasannya untuk tidak perlu
41
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, hal 14
42
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, hal 14-15
17
banyak menasehati konseli dan untuk menegaskan tanggung jawab konseli dan

menolong diri sendiri. Apabila konseli tidak membutuhkan kita lagi, kita sudah berhasil.

Jangan konselor menciptakan ketergantungan konseli pada diri konselor, sebab itu

hanya membuat konseli lebih lemah.43

2.2.5.6 Fuungsi Mengutuhkan (Confirming)

Menurut Van Beek mengenai fungsi mengutuhkan. Fungsi ini merupakan fungsi

pusat karena sekaligus merupakan tujuan utama dari pendampingan pastoral,

maksudnya adalah pengutuhan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya,

berupa: fisik, sosial, mental dan spiritualitas. Dalam proses pendampingan pastoral

setiap orang dapat menjadi pendampingan pastoral, dari perspektif pendampingan

pastoral/ menggembalakan, yang dimaksud perspektif adalah perspektif pelayanan

holistik, yang dicirikan oleh keinginan melayani secara utuh sesuai dengan teladan

Yesus Kristus. Ia sebagai “gembala yang baik” memerhatikan setiap aspek dari

kehidupan manusia, tetapi tetap melihat kemampuan manusia untuk bertanggung

jawab. Dengan begitu, setiap orang dapat sebagai konselor pastoral, asalkan dia

dimotivasi perspektif menggembalakan/pendampingan dan

berketerampilan/berkemampuan dasar dalam pelayanan.44

2.2.6 Teknik Pendampingan Pastoral

Bagi seorang konselor harus menguasai teknik-teknik pendampingan pastoral

secara mutlak. Karena teknik-teknik pendampingan pastoral merupakan cara yang

digunakan oleh seorang konselor dalam hubungan konseling untuk membantu kllien

agar berkembang potensinya serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan

mempertimbangkan kondisi-kondisi lingkungan yakni nilai-nilai sosial, budaya dan

43
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, Hal 15
44
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, hal 15-17
18
agama. Dalam hal ini ada beberapa teknik pendampingan pastoral yang perlu dikuasai

oleh seorang konselor, yaitu:

2.2.6.1 Perilaku (Attending)

Perilaku (attending) merupakan perilaku menghampiri konseli yang mencakup

komponen kontak mata, bahasa badan, dan bahasa lisan. Perilaku (attending) yang baik

merupakan kombinasi ketiga komponen tersebut sehingga akan memudahkan konselor

untuk membuat konseli terlibat dalam pembicaraan dan terbuka. Attending yang baik

dapat mempermudah ekspresi perasaan konseli dengan bebas.45

Dalam langkah ini, konselor tidak banyak berbicara, namun konselor hendaknya

menerima dan mempersilakan konseli untuk menceritakan atau mengungkapkan

masalah-masalah yang dialami. Demikian juga komunikasi antara konselor dengan

konseli bersifat no-verbal, yaitu sikap menerima, menghormati, dan mendengarkan

dengan sungguh-sungguh apa yang diceritakan oleh konseli. Dengan sikap tersebut,

konseli akan merasakan bahwa dia dihargai dan didengar, sehingga konseli merasa

tenang, dan rileks dalam menceritakan masalah tanpa takut dan malu.46

Ada beberapa penampilan attending yang baik:

1. Kepada; melakukan anggukan jika setujuh.

2. Ekspresi wajah; tenang, ceria, senyum.

3. Posisi tubuh; agak condong ke arah klien, jarak konselor-klien agak dekat,

duduk akrab berhadapan atau berdampingan.

45
Sofyan S. Willis, Konseling individual Teori dan Praktek, (Bandung: Alpabeta, 2004), hal.160
46
A. Konseng, Konseling Pribadi dengan Model Konseling Carkhuff, (Jakarta:Obor, 1996), hal.47
19
4. Tangan; variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah,

menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan gerakan tangan

untuk menenkankan ucapan.

5. Mendengarkan; aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga

selesai, diam (menanti saat kesempatan beraksi), perhatian terarah pada

lawan bicara.47

2.2.6.2 Empati (Empati)

Empati adalah kemampuan seorang konselor untuk merasakan apa yang

dirasakan klien, merasa dan berpikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien.

Empati dengan ettending dapat dilakukan dengan bersamaan, tanpa ettending maka

tidak ada sikap empati. Ada dua macam, teknik empati yang harus dilakukan seorang

konselor: 1. Empati primer (primary empathy), suatu bentuk untuk menyatakan

perasaan, pikiran, keinginan dan pengalaman klien yang bertujuan agar klien dapat

terlibat dalam pembicaraan dan terbuka. 2. Empati tingkat tinggi (advanced acucurate

empathy) pemahaman seorang konselor dalam perasaan, pikiran, klien lebih mendalam

dan menyentuh klien karena konselor terlibat dengan perasaan seorang klien. 48

2.2.6.3 Eksplorasi (Exploration)

Teknik eksplorasi merupakan keterampilan konselor untuk dapat menggali

perasaan, pengalaman, dan pikiran klien. Teknik ini merupakan hal yang penting karena

kebanyakan klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu

mengemukakan pendapatnya dengan terus terang. Oleh karena itu seorang konselor

47
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 160-161
48
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal 161
20
harus mampu menggali perasaan, pengalaman dan pikiran klien sehingga konseli bebas

berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam.49

2.2.6.4 Menangkap Pesan Utama (Paraphrasing)

Tujuan Paraphrasing adalah untuk menyatakan kembali esensi atau inti

ungkapan klien. Paraphrasing memudahkan konseli memahami ide, perasaan dan

pengalamannya. Seorang konselor perlu menangkap pesan utamanya, dan

mengatakannya secara sederhana, mudah dipahami dan disampaikan dengan bahasa

konselor sendiri, sehingga konseli tidak mengemukakan perasaan, pikiran dan

pengalamannya dengan berbelit, berputar atau panjang.50

2.2.6.5 Bertanya untuk Membuka Percakapan (Open Question)

Bertanya membuka percakapan adalah untuk mempermudah membuka

percakapan. Kebanyakan calon konselor sulit untuk membuka percakapan dengan

konseli. Hal ini karena sulit menduga apa yang dipikirkan konseli sehingga pertanyaan

menjadi tepat. Untuk memudahkan membuka percakapan sebaiknya seorang calon

konselor dilatih keterampilan bertanya dalam bentuk terbuka yang memungkinkan

muncul pertanyaan-pertanyaan baru dari konseli. Pertanyaan konselor tidak selalu

terbuka, tetapi ada juga yang tertutup. Tujuan pertanyaan tertutup yaitu untuk

mengumpulkan informasi, untuk menjernihkan dan menghentikan pembicaraan konseli

yang menyimpang.51 Dalam hal ini setelah konselor berhasil melakukan pendekatan dan

sudah saling mengenal dengan konseli, maka konselor akan dengan mudah

memberikan pertanyaan-pertanyaan dengan tujuan untuk menggali informasi dari

seorang konseli.

49
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 163
50
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal 164
51
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 165
21
2.2.6.6 Dorongan Minimal (Encouragement)

Tugas konselor adalah agar si konseli selalu terlibat dalam pembicaraan dan

dirinya terbuka. Dorongan minimal adalah suatu dorongan langsung yang singkat

terhadap apa yang telah dikatakan konseli dan memberi dorongan singkat, seperti: oh,

ya, terus, lalu, dan. Tujuannya adalah untuk membuat konseli berbicara dan dapat

mengarahkan agar pembicara tujuan atau dorongan minimal dan dapat meningkatkan

eksplorasi diri.52

2.2.6.7 Interpretasi (Interpretation)

Interpretasi adalah upaya konselor untuk mengulas pemikiran, perasaan dan

perilaku/pengalaman konseli dengan merujuk pada teori-teori. Dengan tujuan untuk

memberi rujukan, pandangan atau perilaku konseli, supaya konseli mengerti dan

berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan yang baru.53

2.2.6.8 Mengarahkan (Directing)

Konselor harus mengarahkan atau mengajak konseli berpartisipasi secara penuh

dalam proses pendampingan, dan perlu ada ajakan dan arahan dari seorang konselor.

Mengarahkan adalah suatu keterampilan konseling yang mengatakan kepada konseli

agar dia berbuat sesuatu atau dengan kata lain mengarahkannya agar melakukan

sesuatu.54

2.2.6.9 Memimpin (Leading)

Tujuan dari keterampilan adalah agar klien tidak menyimpang dari fokus

pembicaraan dan agar arah pembicaraan lurus kepada tujuan konseling.55


52
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 166
53
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 167
54
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 168
55
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal 169
22
2.2.6.10 Konfrontasi (Confrontation)

Suatu teknik konseling yang menantang konseli untuk melihat adanya

diskrepansi (ketidaksesuaian) antara perkataan dengan bahasa badan (perbuatan), ide

awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan. Tujuannya adalah untuk

mendorong mengadakan penelitian secara jujur, meningkatkan potensi konseli dan

membawa konseli kepada kesadaran adanya diskriminasi, konflik atau kontradiksi

dalam dirinya.56

2.2.6.11 Menjernihkan (Purifying)

Suatu keterampilan untuk menjernihkan ucapan-ucapan konseli yang samar-

samar, kurang jelas, dan agak meragukan. Tujuannya adalah untuk mengundang konseli

untuk menyatakan pesannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas dan dengan

alasan-alasan yang logis, selanjutnya agar konseli menjelaskan, mengulang, dan

mengilustrasikan perasaannya.57

2.2.7 Tahap-tahap Pendampingan

Ada beberapa tahap atau langkah-langkah dalam melakukan pendampingan

antara lain sebagai berikut :

2.2.7.1 Tahap Awal

Seorang konselor harus mampu menciptakan relasi yang baik sebagai langkah awal

dalam pendampingan pastoral. Satu hal yang sangat penting dalam konseling pastoral

56
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal. 169-170
57
Lukas Tjandra, Pembimbing Penggembalaan, (Malang:SAAT, 1992), hal.5 170
23
yaitu teknik atau kemampuan gembala untuk dapat menyesuaiakan diri dengan

konselinya. Seorang pembimbing yang baik adalah seorang yang dapat membentuk

relasi yang baik.58 Demikian sangat diperlukan hubungan konselor dan konseli yang

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan konseli, tujuannya adalah supaya mencapai

Rapport (yaitu suatu hubungan yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian,

kecocokan).59

Konselor harus membuat relasi yang baik sebagai langkah awal dalam

pendampingan pastoral. Satu hal yang sangat penting dalam pendampingan pastoral

adalah teknik ataupun kemampuan konselor menyesuaikan diri terhadap konseli,

karena seorang pembimbing yang baik adalah seorang yang memiliki relasi yang baik. 60

Untuk mencapai tujuan yang baik, maka dalam hubungan pendampingan harus terjadi

rapport (hubungan) antara konseli dan konselor. Rapport dimulai dengan persetujuan,

kesejajaran, kesukaan dan persamaan. Jika terjadi persetujuan dan merasa ada

persamaan, maka timbullah kesukaan terhadap satu dengan yang lain sehingga

hubungan ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan dan saling tarik-

menarik.61 Jadi tahap awal ini menjadi sangat penting karena seorang konselor harus

menyakinkan dirinya terhadap konseli supaya menjalani hubungan yang erat sehingga

konseli dapat menceritakan permasalahannya.

Seorang konselor harus mampu menciptakan relasi yang baik sebagai langkah awal

dalam pendampingan pastoral. Satu hal yang sangat penting dalam konseling pastoral

yaitu teknik atau kemampuan gembala untuk dapat menyesuaiakan diri dengan

konselinya. Seorang pembimbing yang baik adalah seorang yang dapat membentuk

58
Lukas Tjandra, Pembimbing Penggembalaan, (Malang:SAAT, 1992), hal.5
59
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal.46
60
Horward .J.Clineball, Basic Types of Pastoral Couseling, (New York: Ambingdon Press, 1966), hal. 89
61
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal.46
24
relasi yang baik.62 Demikian sangat diperlukan hubungan konselor dan konseli yang

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan konseli, tujuannya adalah supaya mencapai

Rapport (yaitu suatu hubungan yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian,

kecocokan).63

Konselor harus membuat relasi yang baik sebagai langkah awal dalam

pendampingan pastoral. Satu hal yang sangat penting dalam pendampingan pastoral

adalah teknik ataupun kemampuan konselor menyesuaikan diri terhadap konseli,

karena seorang pembimbing yang baik adalah seorang yang memiliki relasi yang baik. 64

Untuk mencapai tujuan yang baik, maka dalam hubungan pendampingan harus terjadi

rapport (hubungan) antara konseli dan konselor. Rapport dimulai dengan persetujuan,

kesejajaran, kesukaan dan persamaan. Jika terjadi persetujuan dan merasa ada

persamaan, maka timbullah kesukaan terhadap satu dengan yang lain sehingga

hubungan ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan dan saling tarik-

menarik.65 Jadi tahap awal ini menjadi sangat penting karena seorang konselor harus

menyakinkan dirinya terhadap konseli supaya menjalani hubungan yang erat sehingga

konseli dapat menceritakan permasalahannya.

2.2.7.2 Tahapan Tengah

Pada tahap ini seorang konselor harus berupaya menggali, mencari, menemukan

pokok dari akar serta akibatnya yang dihadapi oleh konseli. Konselor menjadi

pendengar yang baik dan sebaiknya memulai percakapan dengan pertanyaan yang

biasa dengan hal-hal yang umum.66 Pada tahap perumusan masalah tersebut adalah

62
Lukas Tjandra, Pembimbing Penggembalaan, (Malang:SAAT, 1992), hal.5
63
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal .46
64
Horward .J.Clineball, Basic Types of Pastoral Couseling, (New York: Ambingdon Press, 1966), hal. 89
65
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal .46
66
Tu,uTulus, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: ANDI, 2007), hal.82
25
sebagai tahap kerja tujuannya adalah untuk mengelola dan mengerjakan masalah

konseli yang telah dipahami dan didefenisikan bersama tahap awal. Tahap inti ini

konselor berupaya menggali, mencari, menemukan pokok dan akar masalah serta

akibat-akibat yang dipahami konseli.67 Tujuan merumuskan masalah adalah supaya

seorang konselor dan mengarahkan konseli dalam masalah yang sedang dihadapi oleh

konseli. Perumusan masalah diperlukan yaitu untuk mempermudah konselor dan

konsili mencapai tujuan pendampingan pastoral dan dapat melanjutkan ke tahap

selanjutnya dalam pendampingan pastoral.

2.2.7.3 Tahapan Akhir

Tahap ini merupakan tahap yang terakhir dalam pendampingan pastoral bahwa

seorang konseli yang telah dibimbing oleh seorang konselor, harus mengambil

keputusan sebagai langkah supaya konseli keluar dari masalah yang sedang

dihadapinya. Tahap ini menjadi penting karena konselor berupaya mengakhiri

pendampingan dengan tindakan (action). Jika pada tahap ini tidak ada tindakan dari

seorang konseli maka percakapan ini sampai pada tahap wacana saja. Teknik

pendampingan pada tahap ini mencakup pada tahap awal dan pertengahan seperti:

menyimpulkan, memimpin, merencanakan dan mengevaluasi. 68 Pada tahap ini,

diharapkan di sini keputusan yang sudah diambil konseli dapat membawanya keluar

dari permasalahannya.

2.3 Metode Studi Kasus

67
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal.239
68
Sofyan.S. Willis, Konseling Individu Teori dan Praktek, (Bandung; ALFA BETA, 2004), hal.239-240
26
Metode studi kasus`merupakan metode penelitian yang menjadi pola dasar yang

membimbing dari proses pemikiran pastoral-teologis tentang masalah dan keadaan-

keadaan yang dihadapi oleh seorang jemaat dalam pelayanan. Metode ini bermanfaat

bagi ahli teologi pastoral, dan orang lain yang terlibat dalam sebuah pelayanan

pastoral.69 Metode studi kasus memanfaatkan teknik-teknik dalam pengamatan yang

bertujuan memberikan gambaran suatu situasi tertentu, sehingga dapat memeroleh

kejelasan, studi kasus ini merupakan penyelidikan sistematis atas suatu kejadian

khusus. Metode studi kasus berusaha memberikan penjelasan yang jujur dan seksama

tentang suatu kasus tertentu sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembacanya

memahami yang menjadi tampak di permukaan dan juga memeriksa kebenaran tafsiran

penulisan dengan meninjau sejumlah kata objektif yang sesuai dan dijadikan tumpuan

untuk membangun studi kasus.70

Penggunaan metode studi kasus dalam pelayanan pastoral bukanlah hanya sekedar

“teknis praktis” untuk memecahkan masalah, tetapi lebih daripada itu. Dalam

menangani masalah pastoral, penggunaan metode ini dituntut untuk merefleksikan

kasus ini secara analitis, mendeskripsikan kasus secara teologi dan melakukan

perencanaan untuk tindakan pastoral dalam proses yang teratur dan berdisiplin.

Seseorang yang menggunakan metode ini dituntut untuk bersikap berhati-hati dan

bertanggung jawab.71 Tujuan metode studi kasus adalam memampukan orang untuk

meningkatkan kecakapan berpikir secara pastoral teologis yang kritis tentang

persoalan-persoalan pastoral.72 Dari uraian di atas menjelaskan bahwa studi kasus

69
SEAGEST, Studi Kasus Pastoral II, NTT (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1990), hal.201
70
J. Nisbet, Studi Kasus Sebuah Panduan Praktis, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal.4
71
SEAGEST,Studi Kasus Pastoral I SUMUT, hal.4-5
72
SEAGEST,Studi Kasus Pastoral I JAWA, hal.252
27
menjelaskan suatu laporan dari suatu kejadian atau masalah, yang dilakukan dengan

wawancara, pengamatan dan lewat dokumen.

Studi kasus merupakan sebuah rekaman atau laporan dari peristiwa yang penting.

Kasus tidak akan menggambarkan semua aspek dari situasi yang dilaporkan, atau

semua kejadian yang terjadi, sebab banyak orang yang tidak ingat lagi semua aspek

kehidupannya, yang sering diingat adalah kejadian demi kejadian. Kejadian penting

inilah yang disebutkan dengan kasus. Ciri-ciri studi kasus adalah:

Studi kasus mengumpulkan bukti-bukti secara sistematis dan ilmiah, pengumpulan

data itu dilakukan dengan pertanyaan, wawancara, pemeriksaan dokumen, dll. Studi

kasus memusatkan perhatian pada interaksi-interaksi antara faktor-faktor dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi pada konseli.73

Ada 4 tahap dalam metode studi kasus:

2.3.1 Deskripsi Kasus

Deskripsi Kasus artinya menggambarkan dengan jelas. Proses deskripsi sama

dengan penulisan suatu kasus. Oleh karena itu metode studi kasus lebih dipakai dalam

bentuk lisan daripada tertulis, maka diperlukan adanya deskripsi, yang merupakan

keseluruhan informasi yang dikumpulkan oleh si pengamat. Nilai suatu deskripsi yang

baik itu harus; Jelas, padat, memadai dan memiliki obyektivitas.74

Proses pengerjaan untuk ini deskripsi kasus diuraikan mengenai apa yang

terjadi dalam sebuah kasus. Dalam deskrispsi kasus ini harus menggambarkan sejelas

jelas mungkin dengan jelas mengenai kasus. Pada langkah ini seorang ahli harus

melihat, mendengar, serta menggambarkan kasus ini dengan jelas dan apa adanya.
73
J. Nisbet, Watt, Studi Kasus, (Jakarta: Gramedia, 1995), hal. 2
74
SEAGST, Studi Kasus Pastoral I SUMUT, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1985), hal.10-11
28
2.3.2 Analisa Kasus

Dalam analisa kasus kita mencoba untuk menemukan faktor-faktor yang penting

dalam kasus, dan juga faktor sosial-budaya yang memengaruhi dan mewarnai perilaku

mereka. Tugas seorang yang melakukan analisa ialah melihat segala sesuatu dengan

mata setiap orang yang terlibat dalam kasus.75

2.3.3 Interpretasi Kasus

Dalam langkah ini mencoba untuk memberikan pendapat kita sendiri tentang

kasus sesuai dengan iman dan pemahaman teologis yang ada pada kita. Kita membuka

dialog di antara peristiwa dalam kasus dengan tradisi/iman kristen. 76 Dalam metode

studi kasus, interpretasi berlangsung terus sampai si penulis menemukan dasar teologis

yang dapat dijadikan pegangan, agar mampu menjawab atau menanggapi kasus ini

sebagai gembala dan orang Kristen.77

2.3.4 Aksi Pastoral

Aksi merupakan tindakan yang dapat melayani orang-orang, kelompok-

kelompok atau lembaga masyarakat yang terlibat dalam kasus. Aksi mengandung

rumusan-rumusan gagasan dalam rangka menyajikan alternatif pemecahan masalah

secara konkrit. Tahapan ini dibuat dengan memanfaatkan apa yang telah dihasilkan

dalam langkah-langkahnya yaitu: deskripsi, analisa dan interpretasi dan dalam bentuk

Verbatim.78
75
SEAGST, Studi Kasus Pastoral I SUMUT, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1985), hal.13-14
76
SEAGST, Studi Kasus Pastoral I NTT, hal. 203
77
SEAGST, Studi Kasus Pastoral I SUMUT, hal.20
78
SEAGST, Studi Kasus Pastoral II NTT,hal. 203
29
2.3.5 Kelebihan Metode Studi Kasus

Metode studi kasus merupakan metode dasar dalam membimbing klien terhadap

masalah-masalah yang dihadapi. Dalam keunggulan metode studi kasus ialah tidak

hanya cukup mengumpulkan informasi tentang fakta-fakta, tetapi apa yang terkandung

dalam data itu perlu di pahami dan di mengerti. Bagaimana orang-orang yang terlibat

memandang masalah-masalah pastoral tertentu, perasaan apa yang ada dalam hati

mereka, dan bagaimana pendapat mereka tentang pengaruh pemecahaan masalah itu

terhadap diri mereka.79 Jadi keunggulan dari metode studi kasus adalah pengumpulan

informasi, baik itu informasi merupakan hasil pengamatan dan pemahaman orang-

orang yang terlibat sehingga hasilnya lebih mudah di pahami oleh setiap pembaca.

2.3.6 Kelemahan Metode Studi Kasus

Kelemahan metode ini ialah dimana hasil-hasilnya tidak mudah

digeneralisasikan, kecuali dengan pertimbangan intuitif bahwa “kasus ini” serupa

dengan “kasus itu”. Hal ini terjadi karena penggunaan utama metode ini biasanya adalah

kepada individu konseling sehingga harus dengan pertimbangan intuitif untuk

menyimpulkan bahwa suatu kasus sama dengan kasus yang lain.80

79
SEAGEST, Studi Kasus I, op. Cit, 7-8
80
J Nisbet & J. Watt, Studi Kasus Sebuah Panduan Praktis, hal. 7
30
31
32

Anda mungkin juga menyukai