Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aditia Tri Putra

Nim : 233221038

Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk hidup selalu berkelompok

dalam suatu gugus yang disebut masyarakat (zoon politicon).sejak ribuan tahun silam , itulah

yang mampu menjamin kelestarian eksistensi orang, demi menjaga keberlangsungan hidup

dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup primer maupun sekunder , manusia tidak lepas dari

kehidupan bermasyarakat dengan berinteraksi sesama anggota untuk bekerja sama guna

mendapatkan keuntungan masing-masing sesuai takaran porsinya.

Tidak terkecuali anggota masyarakat, maka pengendalian diri merupakan gerakan massa

dan tentunya diperlukan aturan untuk menjaga ketertiban sosial. Mengenai aturan yang mengikat

untuk memenuhi kebutuhan pribadi, pedoman umum untuk ketentuan mereka di Indonesia

selama ini dijelaskan dalam Burgerlijk Wetboek (BW), yang secara khusus mencantumkan

norma-norma perikatan dalam Buku III BW. Menyimak BW sebagai kompilasi peninggalan

pemerintahan Belanda masa lalu, pasti sudah cukup tua usianya, bahkan sudah menyentuh

hampir 2 (dua) abad. BW sudah begitu tua, tidak dapat dihindari bahwa ia tidak dapat mengikuti

perkembangan kehidupan masyarakat yang pesat. Jika setiap pembangunan membawa perubahan

sosial, maka konsekuensinya akan membawa banyak masalah, bahkan jika sistemnya sangat

kuat, BW tentu tidak akan bisa sepenuhnya diatasi Konsisten dan komprehensif. Bagaimanapun

sistematisasi BW sebagai sebuah kodifikasi, adalah hasil pikir para kodifikator pada masa lalu

dengan jenis tantangan kala itu yang coraknya, tentu berbeda dengan perjalanan historis tatanan

sosial penggunanya. Tak luput bagi bangsa Indonesai yang terus bergerak berbenah diri untuk
mengejar kemajuan, baik dalam bidang teknologi, ilmu, maupun jurus-jurus bisnis, kerentaan

BW tak bakal mampu meliputnya setuntas harapan. Jelas, ini sebuah tantangan yang layak untuk

segera disikapi sebijak serta searif-arifnya. Hanya saja kehidupan konkrit menunjukkan fakta,

bahwa di Indonesia, BW masih tetap dijadikan acuan saat berwacana seluk beluk urusan privat

seolah tanpa ada pilihan lain.

Berdasarkan paparan di atas, keberlakuan norma-norma tentang Hukum Perikatan dalam

ruang lingkup Buku III BW, lebih khusus menyangkut bagian umumnya, perlu diperhatikan

dengan seksama, dengan tetap mencermati perkembangan saat ini maupum melakukan antisipasi

di masa depan, agar jeda ketertinggalan itu dapat dieliminir disertai pola pikir sarat kebijakan.

Norma perikatan bagian umum Buku III BW, bercokol di atas asas-asas hukum yang umumnya

sudah tertempa ribuan tahun sejak jaman Romawi. Landasan alur filsafati norma perikatan, wajib

digali menggunakan ketajaman pola pikir jernih, sehingga pemahaman terhadap batang tubuh

ketentuan-ketentuan Buku III BW wajib diresapi sebijak mungkin. Tanpa menggunakan sikap

pola pikir seperti itu, dikhawatirkan saat menerapkan BW untuk memecahkan problema-

problema juridis dalam tatanan kehidupan sosial, bakal dilakukan secara serampangan dan tidak

taat asas. Apabila ini terjadi, dapat dipastikan akhirnya BW hanya akan menjadi sarangnya

ketidak adilan yang jauh pula dari harapan lahirnya kepastian hukum sesuai tuntutan kebutuhan

masyarakat.

Pasal 1233 BW: Perikatan itu dilahirkan dari perjanjian, dan dari undang-undang.

Ketentuan pembuka Buku III BW tentang Hukum Perikatan, menegaskan bahwa sumber

perikatan

(verbintenis) itu ada dua (2), yakni:


1. Perjanjian atau kontrak (overeenskomst)

2. Undang-Undang berdasarkan pasal 1352 BW :

A. Undang-Undang (misalnya Pasal 45 jo46 UU Perkawinan Indonesia)

B. Undang-Undang karena perbuatan orang,berdasarkan Pasal 1353 BW terbagi:

a. Perbuatan sesuai hukum (rechtmatig):

1. Pasal 1354 BW : mengurus tentang kepentingan orang lain secara sukarela

(zaakwarneming = Negotiorum Gestio)

2. Perbuatan tidak sesuai hukum (onrechmatig): Pasal 1365 BW (Onrechmatige

daad = perbuatan melanggar hukum)

Berlandas Pasal 1233 BW, perikatan dengan perjanjianitu tidak sama, dengan menilik

beberapa argumentasi:

1. Perikatan adalah terjemahan istilah verbintenis sedang perjanjian merupakan alih bahasa

dari overeenkomst

2. Buku III BW tidak memberikan definisi tentang perikatan, tetapi untuk perjanjian

diberikan definisi dalam Pasal 1313 BW

3. Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan, selain itu perikatan juga

bersumber dari undang-undang (lihat Pasal 1233 BW).

Dalam ranah Hukum Perikatan, istilah perjanjian adalah sama dengan kontrak, adapun

dasar hukumnya dapat dirujuk pada narasi judul Bab Kedua Buku III BW: Perikatan-perikatan

yang bersumber pada perjanjian atau kontrak (Verbindtenissen die uit contract of overeenkomst
geboren worden). Ini penting dipahami sejak dini untuk menghindari kesalahan fatal yang acap

kali dijumpai dalam bentuk pernyataan maupun penulisan. Kalangan warga hukum sudah

semestinya memiliki kecermatan, baik dalam pola pikir ataupun perbuatan agar tidak terjebak

pada kebiasaan menggampangkan pemakaian istilah-istilah juridis.

Mengamati Pasal 1233 BW yang menegaskan tentang sumber perikatan berwujud

perjanjian dan undang undang, dalam perkembangannya, ada sebagian orang yang kontra,

beberapa diantaranya dengan menyertakan argumennya masing-masing, dapat dirujuk contohnya

sebagai berikut:

(I)Pasal 1233 BW mengatakan bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan, sehingga

disimpulkan sejatinya sumber perikatan itu hanya satu, yakni undang-undang.(II). Berdasarkan

asas pacta sunt servanda, setiap perjanjian itu secara otomatis sudah punya kekuatan mengikat

bagi dirinya sendiri, oleh sebab itu kekuatan mengikatnya perjanjian tersebut tidak perlu

dinyatakan oleh Pasal 1233 BW. Menurut pendapat ini, kehadiran Pasal 1233 BW itu sebenarnya

tidak diperlukan. Apabila secara faktual hadir Pasal 1233 BW, hal ini dianggap terlalu berlebihan

dan tidak ada manfaatnya.

Perikatan untuk memberikan sesuatu

Anda mungkin juga menyukai