Anda di halaman 1dari 2

Menyayangi Sesama Manusia: Tadabur Tiga Ayat Petama Surah Al-Ma’un

Bersama Fakhruddin Ar-Razi


Muhammad Ihza Fazrian
Setelah sebelumnya kita mentadaburi ayat terakhir surah ad-Dhuha, mari kita melanjutkan
pembahasan tematik tafsir Fakhruddin Ar-Razi. Pada kesempatan kali ini kita akan bersama-
sama mentadaburi surah al-Ma’aun ayat 1-3. Tiga ayat dalam surah tersebut menggambarkan
gagasan penting agar seorang muslim memiliki kepekaan yang kuat terhadap sesamanya.
Pada ayat pertama yang berbunyi “ara’aitalladzi yukadzibu biddin” yang artinya, “Tahukah
kamu (wahai Muhammad saw) orang-orang yang mendustakan agama?”
Ayat tersebut menggambarkan keheranan Allah terhadap hamba-Nya yang tidak
memperhatikan kondisi sekitarnya. Padahal di sekitarnya pastilah terdapat banyak anak yatim
yang terlantar dan sengsara. Begitu juga orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan.
Ar-Razi menyatakan bahwa ada beberapa permasalahan penting terkait ayat pertama ini di
antaranya; Makna “ara’aita” yang artinya, “apakah kamu (wahai Muhammad saw) telah
melihat?” dapat diartikan menjadi, “apakah kamu (wahai Muhammad saw) mengetahui?”
Jadi, ayat pertama dapat dipahami dengan, “apakah kamu (Wahai Muhammad saw)
mengetahui orang-orang yang mendustakan agama?”
Oleh karena itu, jawaban setelahnya terdapat pada ayat kedua yang berbunyi,
“Fadzalikalladzi yadu’ul yatim” yang artinya “maka itulah (seseorang) yang menghardik
anak-anak yatim.”
Perlu diketahui bahwa di dalam Islam, anak-anak yatim memiliki posisi yang khusus. Mereka
memiliki hak untuk disejahterahkan oleh orang-orang yang berkemampuan. Namun
seringkali orang-orang yang berkemampuan tersebut lalai, sehingga ia melupakan
kewajibannya untuk memenuhi hak anal-anak yatim terrsebut. Hal ini menurut Ar-Razi
merupakan sebuah kezaliman yang besar. Terlebih ia mengambil kisah bahwa di zaman Nabi,
terdapat orang-orang yang memanggil anak yatim untuk dipekerjakan. Namun bukannya
memperhatikan atau membina, mereka malah mengeksploitasi anak yatim tersebut.
Kemudian dilanjutkan pada ayat ketiga yang berbunyi, “walaa yahudhu a’la tha’amil miskin”
yang artinya, “Dan (seseorang tersebut) juga tidak memperhatikan kelebihan makanannya
atas orang-orang miskin” juga merupakan bentuk keheranan Allah atas ketidakpedulian
seseorang terhadap orang-orang miskin di sekitarnya. Mengutip perilaku mulia Nabi
Muhammad, Ar-Razi menegaskan bahwa di dalam kelebihan makanan yang kita miliki tentu
kelebihan tersebut merupakan hak bagi orang-orang miskin yang kelaparan.
Dari penjelasan tersebut, bila seseorang tidak memperhatikan keadaan sekitarnya bahkan
cenderung tidak peduli, menurut Ar-Razi hal tersebut menandakan kotornya hati dan jiwa
seseorang tersebut. Ar-Razi melanjutkan ketidakpedulian tersebut juga bisa terjadi jika
seseorang merasa bahwa tidak ada pahala atau kebaikan jika ia berbagi terhadap sesamanya.
Oleh karena itu, kepercayaan tersebut dapat mengantarkan seseroang pada ketidakyakinan
yang berbahaya, yakni tidak percayaannya pada akhir. Hal inilah yang menurut Ar-Razi dapat
mengantarkan seseorang kepada kekafiran.
Merefleksikan penjelasan Ar-Razi, kita perlu merenung sejenak. Sejauh manakan kepedulian
kita terhadap sesama? Bukankah dalam dunia yang sudah maju ini saja kita masih sering
menemukan para pengemis miskin dan anak-anak yatim yang terlantar? Apakah kita masih
mengaku sebagai umat Islam yang beriman? Atas dasar apa kita mengakui kesalehan
individual kita sendiri, kalau pada praktiknya kita sering melalaikan perintah Allah untuk
peduli dengan sekitar?
Oleh karena itu, marilah kita menciptakan kepekaan untuk berbagi terhadap sesama. Dalam
konteks kemodernan ini, memenuhi hak-hak anak yatim dapat dilakukan dengan memberikan
mereka hak untuk belajar, tempat tinggal, apapun itu demi kesejehteraannya agar ia sukses
dan tidak terlantar lagi. Begitu juga kalau kita seorang saudagar yang kaya, kiranya kita perlu
untuk merangkul saudara kita yang miskin dengan mengarahkannya agar mendapat
pekerjaan. Dengan itu harapannya ia dapat terlepas dari kemiskinan yang mengikat dirinya.
Ini semua tentang melaksanakan visi besar Islam, yaitu Rahmatan lil a’lamin. Wallahu a’lam
bishshawab.
Sumber Bacaan
Fakhruddin Ar-Razi. Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi. Dar al-Fikr, 1981.

Anda mungkin juga menyukai