Anda di halaman 1dari 1

Renungan Haji Perspektif Spiritual

Muzal Kadim
Izinkan saya menulis renungan ini sebelum lupa dan masih segar dalam ingatan. Renungan ini
saya tulis berdasarkan pengalaman pulang dari ibadah haji. Semoga berkenan dan bermanfaat
khususnya bagi diri saya sendiri.
Yang saya rasakan bahwa haji adalah “gerakan terus menerus”. Kita bergerak dari Tanah Air
yang jauh menuju Tanah Suci. Kita bergerak dari rutinitas sehari hari menuju Tuhan. Selama ini,
kehidupan kita telah jauh menyimpang dari Dia. Interaksi dengan lingkungan di luar kita selama
ini telah mengubah kita. Rutinitas dan hiruk pikuk kehidupan sehari hari, telah menurunkan
keimanan kita ke titik yang paling rendah.
Ketika berangkat dari tanah air kita sudah menyiapkan diri dengan niat dan tekad untuk
meninggalkan segala urusan dunia. Kita bergerak menuju fitrah kita sebagai manusia. Kita
memakai ihram ketika di Miqat seakan-akan kita memakai kain kafan menuju kematian kita.
Ketika tawaf kita bergerak 7 kali mengelilingi Ka’bah, menyatu dengan lautan manusia yang
berjubel, seakan-akan kita hanya partikel tidak berarti, yang tenggelam dalam keabadian Allah.
Gerakan ini menghilangkan ego dan individualitas kita. Tidak ada “aku”, yang ada hanya “kita”,
yang bergerak berputar bersama sama dengan tujuan mendekati Allah.
Ketika sa’i kita bergerak lagi dari Shafa ke Marwah 7 kali. Sa’i adalah gerakan cinta dan usaha
seorang ibu, yaitu Siti Hajar yang terus bergerak mencari air untuk Ismail anaknya yang
kehausan. Sa’i adalah gerak perjuangan dan pencarian kehidupan. Dalam setiap prosesi haji
selalu ada gerakan.
Di Arafah kita wukuf untuk berdiam diri, mulai tengah hari sampai terbenam matahari. Setelah
terbenam matahari kita harus bergerak ke Muzdalifah untuk mabit lalu bergerak lagi ke Mina
untuk jumrah. Arafah (terambil dari kata a’rif) bermakna pengetahuan (makrifat), dilambangkan
dengan berada tengah hari di Padang Arafah yang terang benderang. Arafah juga melambangkan
awal penciptaan manusia sejak zaman Nabi Adam yang diturunkan di Arafah dan bertemu
dengan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Arafah sekaligus melambangkan akhir kehidupan manusia
bagaikan di Padang Mahsyar. Seluruh umat manusia tidak berarti di hadapan-Nya, semua
memakai ihram seperti kain kafan yang dipakai saat mati.
Muzdalifah atau Masy’ar (dari kata syu’ur) bermakna kesadaran, dilambangkan dengan berada
di tengah malam yang gelap gulita, namun penuh kesadaran setelah melewati Arafah.
Mina melambangkan cinta dan keimanan yang total, setelah mendapatkan pengetahuan di Arafah
dan kesadaran di Masy’ar, sehingga Ibrahim bersedia menyembelih Ismail di Mina ini, karena
cinta dan kepasrahan yang total kepada-Nya.
Jadi, ibadah haji ini adalah ibadah yang penuh dengan gerak. Apakah itu melambangkan bahwa
kita harus dinamis, tidak boleh hanya diam dalam status quo kita yang makin lama makin
menjerumuskan kita? Wallahualam

Anda mungkin juga menyukai