Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin
dan kehendakNya jualah Karya tulis sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada
waktunya.
Penulisan dan pembuatan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
pelajaran Aqidah Akhlak
Dalam penulisan Makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan
terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan dengan penulisan Makalah
ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada guru pembimbing kami
yang telah memberikan limpahan ilmu berguna kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam Makalah ini kami
sudah berusaha semaksimal mungkin.Tapi kami yakin Makalah ini masih banyak kekurangan
disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih
maju di masa yang akan datang.
Harap kami, Makalah ini dapat menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa
depan. Kami juga berharap agar Makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang
membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perjalanan diartikan, perihal (cara,
gerakan), yakni berjalan atau berpergian dari suatu tempat menuju tempat untuk suatu
tujuan. Secara istilah, perjalanan sebagai aktifitas seseorang untuk keluar ataupun
meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana
transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun
tujuan tertentu.
Dalam istilah fiqh, kata safar diartikan dengan, keluar bepergian meninggalkan
kampung halaman dengan maksud menuju suatu tempat dengan jarak tertentu yang
membolehkan seseorang yang bepergian untuk menqashar sholat.
Pada zaman Rasulullah, melakukan perjalanan telah menjadi tradisi masyarakat
Arab. Dalam Al Quran Surah Al Quraisy yang disebut di atas, Allah mengabadikan
tradisi masyarakat Arab yang suka melakukan perjalananpada musim tertentu untuk
berbagai keperluan. Karena itu tidak heran jika Islam sebagai satu-satunya agama yang
mengatur kegiatan manusia dalam melakukan perjalanan, mulai dari masa persiapan
perjalanan, ketika masih berada dirumah, selanjutnya pada saat dalam perjalanan dan
ketika sudah kembali pulang dari suatu
Dalam kehidupan modern, seiring dengan kemajuan pola hidup serta tingkat
kesibukan seseorang melakukan perjalanan jauh (safar) merupakan bagian yang tidak
dapat terpisahkan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini juga telah berlaku pada
masa Rasulullah Saw., oleh sebab itu Islam melalui Rasulullah Saw. telah memberikan
tuntunan yang terinci tentang akhlak dalam perjalanan, mulai dari persiapan, dalam
perjalanan dan sampai ketika sudah kembali dari perjalanan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis menetapkan
rumusan permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini, yakni sebagai
berikut :
a. Apa pengertian Akhlak dalam perjalanan ?
b. Bagaimana bentuk akhlak dalam perjalanan ?
c. Apa Nilai Positif Akhlak dalam Perjalanan ?
d. Ada Berapa Permasalahan Penting Dalam Safar ?
BAB II
PEMBAHASAN
"Tidak seorang keluar meninggalkan rumahnya, kecuali di pintu rumahnya ada panji.
Sebuah di tangan malaikat dan sebuahnya lagi di tengan setan. Kalau tujuannya kepada
apa yang diridhai (disenangi) Allah Azza wa Jalla, maka dia diikuti malaikat dengan
panjinya sampai dia pulang ke rumahnya. Apalagi tujuannya yang dimurkai Allah, maka
setan dengan panjinya mengikutinya sampai dia pulang ke rumahnya." (HR.Ahmad).
Pergi Haji
Umrah
menyambung silaturahmi
menuntut ilmu
berdakwah
berperang di jalan Allah
mencari karunia Allah.
Di samping itu perjalanan berfungsi untuk menyehatkan kondisi jasmani dan
rohani dari kelelahan dan kepenatan karena rutinitas sehari-hari.
Supaya umatnya selalu dalam ridha Allah, Islam telah mengajarkan beberapa
tuntunan adab dan etika dalam melakukan perjalanan, yaitu sebagai berikut :
Sebelum Perjalanan
1. Takbir Tiga Kali dan Berdo'a. Setelah melakukan perjalanan atau dari medan perang,
Rasulullah Saw. mengucapkan takbir tiga kali, lalu mengucapkan (artinya) : "Tiada
sembahan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Allah
kekuasaan dan pujian dan Dia mampu melakukan segala sesuatu. Kami pulang
kembali bertobat, beribadah dan kepada Allah kami bertahmid."
2. Jangan Pulang Mendadak. Rasulullah Saw. bila pulang larut malam, beliau tidak
langsung mengetuk pintu, tetapi menanti sampai besok pagi.
3. Shalat Dua Raka'at. Sekembali dari perjalanan, Rasulullah Saw. memasuki masjid,
sgalat dua raka'at dan baru pulang ke rumah. Ketika memasuki rumah beliau
mengucapkan istighfar (astaghfirullah hal-'azim).
1. Melakukan perjalanan dapat menghibur diri dari kesedihan, kepenatan, kejenuhan dari
rutinitas aktivitas atau me-refresh masalah-masalah yang membelenggu.
2. Perjalanan merupakan sarana untuk meningkatkan penghasilan. Jika hanya berdiam di
rumah tidak akan menemukan betapa luasnya karunia Allah.
3. Perjalanan akan menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Baik karena pengamatan
ataupun karena berjumpa dengan banyak orang.
4. Dengan melakukan perjalanan, seseorang akan lebih mengenal adab kesopanan yang
berkembang di suatu komunitas masyarakat.
5. Perjalanan akan menambah kawan dan sahabat yang baik serta mulia, karena dalam
melakukan perjalanan tentu akan bertemu dengan orang-orang yang beragam.
D. Beberapa Permasalahan Penting Dalam Safar
1. Bagi orang yang dalam perjalanan disyareatkan untuk mengqashar shalatnya
semenjak ia keluar dari daerahnya.
2. Jika telah masuk waktu shalat dan ia dalam keadaan mukim, lalu ia safar, kemudian ia
shalat dalam safarnya, maka apakah ia shalat sempurna atau qashar ? Jawaban yang
benar adalah qashar.
3. Jika dalam perjalanan ia teringat shalat yang mestinya ia lakukan di saat mukim, maka
ia shalat secara sempurna2, dan jika ingat di saat mukim, shalat yang semestinya ia
lakukan dalam safar, maka dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat apakah ia
menyempurnakan shalatnya atau mengqashar. Pendapat yang benar adalah
mengqashar (shalat).
4. Jika seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, maka ia shalat empat
rakaat secara mutlak meski tidak ia dapatkan kecuali tasyahud. Shalatnya seperti
halnya orang yang mukim, empat raka'at.
5. Jika orang yang musafir shalat bersama jamaah yang mukim, maka ia mengqashar
shalat.
6. Sunnah-sunnah Rawatib yang tidak dilakukan dalam perjalanan adalah shalat sunnah
qabliyah dan ba'diyah Dzuhur, ba'diyah maghrib dan ba'diyah isya'. Adapun shalat
sunnah qabliyah fajar dan shalat witir, maka tetap dilakukan. Orang yang musafir juga
bisa melakukan Shalat Dhuha, shalat sunnah wudhu dan shalat tahiyatul masjid.
7. Yang disunnahkan adalah meringankan bacaan surat (dalam shalat) ketika dalam
perjalanan.
8. Jika ia (orang yang musafir) menjamak shalat, maka hendaknya dikumandangkan
adzan satu kali dan dua kali iqamat. Satu shalat satu iqamat. Ia boleh menjamak di
awal waktu, pertengahannya atau akhirnya. Pada waktu-waktu tersebut adalah saat
untuk menjamak dua shalat.
9. Menjamak antara dua shalat dalam perjalanan adalah sunnah ketika Dibutuhkan.
10. Mereka yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jum'at seperti musafir dan orang
yang sedang sakit, maka boleh bagi mereka untuk menunaikan Shalat Dzuhur setelah
tergelincirnya matahari, walaupun imam belum memulai shalat jum'at.
11. Musafir boleh melakukan shalat sunnah di atas mobil atau pesawat, sebagaimana
diriwayatkan dari banyak jalan, dari nabi yang shalat sunnah di atas hewan
tunggangannya.
12. Setiap orang yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, maka boleh pula baginya
untuk berbuka (tidak berpuasa), dan tidak sebaliknya.
13. Bepergian di Hari Jum'at adalah dibolehkan.
14. Dzikir yang diucapkan setelah shalat yang pertama pada shalat jama' tidak dilakukan.
15. Tidak disyaratkan dalam safar niat untuk mengqashar (shalat).
16. Banyak para ulama yang melarang untuk menjama' Shalat Ashar dan Jum'at.
17. Mengqashar shalat hukumnya adalah sunnah muakkad, ada pula yang mengatakan
wajib.
18. Dibolehkannya mengqashar shalat adalah umum, baik itu safar dalam rangka ketaatan
maupun maksiat. Inilah pendapat yang benar dan dipilih oleh Syaikhul Islam (Ibnu
Taimiyyah).
19. Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama muhrimnya yaitu suami atau
setiap laki-laki yang sudah baligh, berakal yang haram atasnya wanita tersebut
selamanya, karena nasab maupun sebab yang dibolehkan.
20. Jika musafir menjama' antara Shalat Maghrib dan Isya' jama' taqdim, maka baginya
telah masuk waktu Shalat Witir. Inilah pendapat yang kuat dari para ulama, dan tidak
perlu menunggu sampai datangnya waktu Shalat Isya.
21. Jika seorang musafir menjadi makmum dan ia ragu apakah imam orang yang mukim
atau juga musafir, maka pada asalnya seorang makmum diharuskan untuk
menyempurnakan. Tetapi jika si makmum berniat jika imam menyempurnakan shalat,
maka aku juga akan menyempurnakan dan jika imam mengqashar aku juga akan
mengqashar, maka hal itu adalah dibolehkan. Ini adalah bab menggantungkan niat dan
bukan karena keraguan.
22. Shalat Jum'at tidak diharuskan atas orang musafir yang sedang tinggal di sebuah
negeri selama ia masih berstatus musafir.
23. Jika orang yang musafir mendapatkan Shalat Jum'at, maka hal itu mencukupinya dari
Shalat Dzuhur (maksudnya ia tidak perlu Shalat Dzuhur lagi), baik ia mendapatkan
dua raka'at atau satu raka'at (bersama imam), lalu ia sempurnakan. Tetapi jika kurang
dari satu raka'at, maka pendapat yang benar, ia boleh mengqashar .
24. Jika ia bepergian di Bulan Ramadhan, maka ia boleh berbuka dan juga boleh
berpuasa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran