Referat Forensik Mentah
Referat Forensik Mentah
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “eu” yang artinya baik, tanpa
penderitaan dan “tanathos” yang artinya mati.Sehingga arti dari kata eutanasia adalah mati
dengan baik atau mati tanpa penderitaan. Eutanasia merupakan permasalahan dibidang
kesehatan yang menjadi dilema bagi para dokter dan tenaga kesehatan dikarenakan pada
kasus-kasus tertentu seorang pasien yang menderita penyakit yang tidak bisa diobati
memohon kepada dokter untuk mengakhiri hidupnya, salah satunya adalah dengan
menyuntik mati, kasus inilah yang dinamakan eutanasia.
Hal ini yang menimbulkan dilema bagi para dokter, dimana di satu sisi apabila
dokter mengakhiri hidup pasien atas permintaan pasien itu sendiri maka ia akan
menghadapi konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 344 KUHP dan bertentangan
dengan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain apabila ia menolak permintaan pasien, maka
pasien tersebut akan merasakan penderitaan yang berkepanjangan dan menghabiskan
banyak biaya untuk pengobatan pasien.
Sejauh ini khususnya di Indonesia, melarang adanya tindakan eutanasia walaupun
sampai saat ini ada pihak yang setuju denganeutanasia dan ada pula yang tidak setuju.
Pihak yang setuju dengan adanya eutanasia berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai
hak menentukan nasib apakah ia akan mengakhiri atau melanjutkan hidupnya, sedangkan
pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai hak untuk
mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati merupakan kehendak Tuhan.
Selain euthanasia, pendonoran organ pada orang yang sudah mengalami penyakit
terminal masih pro-kontra. Dimana dibeberapa Negara pendonoran organ dengan orang
yang mengidap penyakit terminal sudah dijinkan seperti di Belanda. Namun di Indonesia
aturan donor organ pada orang yang sedang menderita penyakit terminal masih belum ada
regulasi yang mengatur.
Selain itu, terkadang kita sebagai tenaga medis dihadapkan pada keadaan “DNR”
DO NOT RESUSITATION” keadaan dimana pasien datang sudah dalam keadaan tidak
memungkinkan untuk di resusitasi atau ada permintaan khusus dari keluarga agar tidak
1
dilakukan resusitasi jantung paru. Dalam peraturan kita sebagai dokter harus semaksimal
mungkin untuk menolong jiwa sesame umat.Hal ini juga tercantum pada KODEKI pasal 10
dimana Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup
insani.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. Eutanasia
II.1 Sejarah
Kata “eutanasia” pertama kali digunakan dalam konteks medis oleh Francis Bacon
pada abad 17, yang berarti mudah, tanpa nyeri, atau kematian yang
menyenangkan,.Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, Eu (baik) dan Thanatosis (mati)
yang digabung sehingga memiliki arti “Mati yang baik,” “Mati yang mudah dan
lembut.”Dalam aspek ini eutanasia dilihat sebagai kematian aktif, atau, inaktif seperti
dehidrasi dan kelaparan.1 Menurut sejarah, menghentikan atau menahan perawatan atau
pengobatan telah digunakan sejak dahulu; hal in disebut sebagai orthothanasia, yang berarti
“kematian pasif”.Melalui kaedah ini, pasien tidak pernah di rawat untuk sembuh dan
kematiannya dipermudah dengan cara pasif. Dalam orthotanasia, tindakan membunuh tidak
pernah diaplikasi, tetapi, tindakan pasif yang direncanakan untuk mempermudah kematian.
Kasus Eutanasia
Ada banyak kasus eutanasia yang dilaporkan karena timbulnya persepsi bahwa
eutanasia merupakan salah satu cara untuk mengakhiri hidup bagi mereka yang menderita.
Salah satu kasus yang terkenal dan mendapat banyak perhatian adalah Aruna
Ramachandara Shaunbaug yang mengenai permintaan untuk menjalankan eutanasia secara
pasif dengan menghentikan asupan nutrisi untuk membiarkan Aruna mati secara alami. Di
Indonesia sendiri, Again Isna Nauli Siregar yang menderita akibat komplikasi selepas
melahirkan, suami Again Isna membuat sebuah permintaan eutanasia aktif ke Pengadilan
Tinggi yang menimbulkan perdebatan di dalam negeri.
1) India, Aruna Ramachandra Shanbaug
3
Pada tahun 1973, Aruna Ramachandra Shaunbaug, bekas perawat yang dipukul dan
diperkosa oleh rekan sejawat yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Rumah Sakit
Mumbai’s King Edward Memorial.Aruna menderita kerusakan otak yang berat dan lumpuh
setelah Sohanlal Bharta Valmiki mencekik korban dengan rantai.Valmiki dituduh
melakukakan kekerasan dan perampokan pada tahun 1974 dan dipenjara tujuh tahun.
Setelah selesai dipenjara, Valmiki dilaporkan pindah, menukar nama dan mendapatkan
kerja baru di rumah sakit yang lainnya. Petisi untuk membiarkan Shaunbaug mati telah
diusulkan oleh Pinki Virani, seorang aktivis hak-untuk-mati. Virani membahas bahwa
korban tidak mampu melihat apa lagi berbicara, mempertahankan Shaunbaug untuk terus
hidup telah melanggar harga dirinya. Virani juga menyatakan kekesalannya terhadap
pengadilan karena menolak permintaan untuk terminasi asupan makanan Shaunbaug. Selain
itu Virani menyatakan, “Setelah lebih dari tiga dekade, Aruna masih belum mendapatkan
keputusan pengadilan, malahan mereka yang menyatakan sayang dan kasih kepadanya
adalah mereka yang tidak merelakan Aruna untuk pergi dengan tenang.” Pada 7 Maret
2011, juri yang terdiri dari Markandey Katju dan Gyan Sudha Mishra, hakim di Peradilan
Tertinggi telah membenarkan eutanasi pasif dengan menghentikan bantuan hidup kepada
korban tetapi menolak untuk dilakukan eutanasia aktif dengan memasukkan suntikan untuk
terminasi hidup.1
Mahkamah di India akhirnya mengatur garis panduan untuk eutanasia pasif
dijalankan pada Shaunbag yang seterusnnya diminta untuk dijadikan undang-undang yang
sebelumnya diatur dan disetujui oleh Parlemen. Malah jaksa tersebut meminta untuk
parlemen menghapus Seksyen 309 IPC untuk percobaan bunuh diri dan menggantinya
menjadi; “A person who attempts suicide in a depression, and hence he needs help, rather
than punishment,"
2) Indonesia Case, Agian Isna Nauli Siregar
Panca Satrya Hasan, yang berasal dari Jakarta telah mengajukan permintaan untuk
menghentikan alat bantuan nafas terhadap isterinya Again Isna Nauli Siregar, 33 tahun
yang mengalami stroke permanen dan mapu bertahan hidup dengan alat bantu nafas.
Suaminya mengatakan bahwa istrinya telah mengalami koma lebih dari satu bulan yang
disebabkan oleh kerusakan otak karena hipertensi, yang menurut ahli merupakan
4
komplikasi dari operasi caesarion section. Suaminya Hassan, meminta agar istrinya di
eutanasia karena tidak mampu untuk membayar biaya medis yang berjumlah kira-kira satu
juta rupiah perhari. Hassan menyatakan jika hidupnya tidak dapat dipastikan untuk
diteruskan, lebih baik jika dikurangi penderitaan yang dialaminya.2
Kasus Again ini merupakan kasus pertama di negera - negera Asia sekaligus
menimbulkan perdebatan baik di dalam maupun luar negeri. Menurut ahli Saraf, Salim
Haris, menurut pandangannya, haruslah dimaklumi mengenai kondisi pasien dan
keluarganya jika pasien sudah memasuki fase terminal atau irrevissible, dan mereka berhak
mengambil keputusan untuk meneruskan perawatan atau tidak.
Menurut Franz Magnis-Suseso SJ, professor di Institut Filosopi Driyarkara di
Jakarta mengatakan adalah tanggung jawab negera untuk menjaga warga negaranya yang
sakit terminal atau menderita serta kekurangan uang untuk biaya rumah sakit. Jadi,
eutanasia baik secara aktif atau pasif adalah dilarang sama sekali dalam hukum di
Indonesia. “Jika pengadilan membenarkan permintaan tersebut, maka eutanasia akan
menjadi legal.” Bahkan beliau menyatakan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi
pemerintah terhadap rakyatnya yang terbeban dengan masalah biaya.
5
pasien untuk menghindari penderitaan yang tidak semestinya dari penyakit tersebut. 3
Karena hal tersebut memiliki jangkauan konsep yang luas, banyak macam variasi yang
digunakan untuk menggambarkan berbagai "jenis eutanasia",
Klasifikasi
Terdapat beberapa macam mengenai jenis eutanasia, dimana masing-masing
memiliki definisi yang berbeda-beda,yaitu:
1. Pasif Eutanasia
Hal ini didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mempercepat kematian
dengan mengubah beberapa bentuk dukungan dan membiarkan proses alamiah
mengambil alih dengan mengikuti salah satu metode seperti melepaspendukung
kehidupan prosedur medis, obat-obatan ,dll, atau menghentikan makanan dan air
dan memungkinkan seseorang untuk mengalami dehidrasi atau kelaparan sampai
meninggal atau tidak memberikan RJP (resusitasi jantung paru) dan memungkinkan
seseorang, yang jantungnya telah berhenti dan meninggal)prosedur-prosedur
tersebut dilakukan pada sakit yang sudah parah dan seseorang yang menderita
sehingga kematian yang secara alamiahakan terjadi lebih cepat. eutanasia pasif
adalah menahan atau melepaskan dukungan kehidupan buatan atau perawatan medis
lainnya, yang dapat memperpanjang kehidupan sehingga memungkinkan pasien
untuk mati.3
Eutanasia Pasif dapat berupa menahan atau melepaskan suatu prosedur
tindakan medis, pengobatan, atau alat medis:
a) Melepaskan pengobatan: misalnya, mematikan alat yang membuat
seseorang untuk hidup, sehingga mereka meninggal karena penyakit mereka.
b) Menahan pengobatan: misalnya, tidak melakukan operasi yang akan
memperpanjang kehidupan mereka untuk waktu yang singkat.
Sebuah contoh, jika seorang pasien membutuhkan hemodialisis ginjal untuk
bertahan hidup, dan dokter memutuskan alat hemodialisis, pasien akan mungkin
akan lebih cepat meninggal. Contoh klasik lainnya dari eutanasia pasif adalah "tidak
melakukan resusitasi". Biasanya jika pasien mengalami henti jantung atau serangan
6
jantung n, staf medis akan berusaha untuk melakukan tindakan RJP. Jika mereka
tidak berusaha melakukan RJP atau tindakan medis lainnya dan hanya berdiri serta
menonton maka pasien akan meninggal, ini adalah salah satu bentuk eutanasia pasif
2. Eutanasia aktif
Bentuk eutanasiaini adalah suatu tindakan yang menyebabkan kematian
seseorang melalui tindakan secara langsung, dalam menanggapi permintaan dari
seorang pasien bersangkutan. eutanasia aktif adalah ketika kematian disebabkan
oleh suatu tindakan - misalnya ketika seseorang dibunuh dengan diberi overdosis
obat penghilang rasa nyeri atau dokter memberikan obat dengan dosis yang
mematikan kepada pasien yang meminta hal tersebut.
3. Phsycician Assisted Suicide (PAS)
Seorang dokter menyediakan informasi dan / atau sarana bunuh diri (contoh:
memberikan resep untuk dosis mematikan obat tidur, atau pasokan gas karbon
monoksida) kepada seseorang, sehingga ia dapat dengan mudah mengakhiri
hidupnya sendiri. Istilah "Voluntary Pasif Eutanasia" (VAE) adalah istilah umum
yang sering digunakan.
4. Involuntary Eutanasia
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pembunuhan orang yang tidak
memohon permintaan untuk dibantu dalam proses kematianya. Hal ini paling sering
dilakukan pada pasien yang berada dalam kondisi vegetatif atau dalam keadaan
koma dan mungkin tidak akan pernah pulih kesadarannya. Biasanya pasien tidak
sadar, tidak mampu berkomunikasi, atau terlalu sakit dan lemah untuk menyadari
apa yang terjadi atau mengambil keputusan apapun atas nama sendiri.5
Euntanasia diterima oleh hukum pada beberapa negera dengan syarat-syarat tertentu
seperti Belanda dan Belgium. Luxembourg menjadinegeri ketiga yang membenarkan
7
eutanasia yaitu pada tanggal 16 Maret 2009.Di Amerika Syarikat, negeri Oregon dan
Washington membenarkan physicians assisted suicide namun eutanasia tetap tidak
dibenarkan. Di Belanda, eutanasia dan physicians assisted suicide secara formal dibenarkan
setelah hampir 30 tahun perdebatan.
Physicians assisted suicide secara legal dijalankan di Switzerland pada sejak 1990.
Apa yang terjadi di Belanda telah mencipta suatu fenomena pada sosial dan pembudayaan
perubahan mengenaipercobaan bunuh diri kepada physicians assisted suicide dan eutanasia
sekaligus menggalakkan pasien dan dokter untuk mendapatkan pengertian yang sebenarnya
mengenaieutanasia dan physicians assisted suicide pada kasus kasus tertentu. Eutanasia
lebih diinginkan oleh ahli-ahli kesehatan sekaligus menurunkan angka kejadian bunuh diri.9
Di negera-negara Scandinavian, ahli-ahli kesehatan tidak menerima tindakan
berlebihan pada pasien yang umumnya mendekati kematian atau tidak dapat disembuhkan
begitu juga menolak untuk melakukan tindakan yang mempercepat kematian.Eutanasia
secara aktif dan pasif dilarang di negera-negera sepeti Norwegia dan Yunani. Di Yunani,
eutanasia hanya digunakan untuk tindakan mematikan hewan yang sakit berat.7-9
Walaupun eutanasia tidak diterima hukum, terdapat banyak gerakan kearah
melegalisir eutanasia khususnya di negeri-negeri luar. Sejak awal 1990. Tindakan yang
serius telah diambil oleh berbagai pengacara eutanasi untuk mendapatkan pembenaran oleh
undang-undang.Malah, legalisasi untuk membenarkan euthanasia secara sukarela telah
mendapatkan izin dari beberapa tahapan.Melalui persidangan, berbagai kriteria,
prosedur,dan direncanakan untuk memastikan adanya kontrol terhadap tindakan
eutanasiaagar tidak disalahgunakan oleh berbagai pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
pribadi.
Hukum Kriminal
Pengaturan eutanasia terdapat dalam kitab perundang-undanganKUHP dalamBab
XIX tentang kejahatan terhadap nyawa orang, Pasal 344 yang berbunyi:
8
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu
sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Eutanasia secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Eutanasia aktif - Yang dimaksud eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara
langsung dari dokter atas persetujuan pasien atau pihak keluarga untuk
mempercepat kematian pasien, agar terlepas dari penderitaan yang berkepanjang.
2. Eutanasia pasif - Yang dimaksud eutanasia pasif yaitu suatu tindakan
secara tidak langsung dari dokter atas persetujuan dari pasien atau pihak keluarga
untuk menghentikan segala upaya medis yang dianggap tidak memberikan
perubahan terhadap pasien.
Eutanasia Aktif
Dalam Pasal 344 KUHP kalau dicermati ada beberapa unsur yang terkandung di
dalamnya yaitu:
Perbuatan: menghilangkan nyawa
Objek: nyawa orang lain
Atas permintaan orang itu sendiri
Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.
Unsur-unsur di atas harus dapat dipenuhi untuk menyatakan suatu perbuatan itu
merupakan tindakan eutanasia. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut harus dapat dibuktikan
guna untuk memastikan perbuatan itu memang merupakan tindakan eutanasia.Seperti yang
sudah diuraikan sebelumnya permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang
ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi
kepentingan orang yang meminta. Adapun bagi orang yang diminta, terdapat kebebasan
untuk memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dan dinyatakan
dengan sungguh-sungguh itu akan dipenuhi atau tidak.Apabila seorang dokter menyetujui
apa yang diminta oleh pasiennya (permintaan mati) secara langsung maka, dokter dapat
dikenakan Pasal 344 KUHP. Tindakan tersebut tentunya sudah dapat dibuktikan
sebelumnya dan perbuatan itu pun sudah terjadi serta tindakan dokter tersebut telah
memenuhi syarat-syarat pemidanaan seperti:
9
Sudah ada pengaturannya terlebih dahulu
Adanya perbuatan
Perbuatan tersebut memang melanggar hukum
Adanya kesalahan, dan
Dapat dipertanggung jawabkan
Selain itu, dokter juga sudah melanggar ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia,
sesuai dengan Pasal 10, yang berbunyi:
“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.”
Untuk eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang
berkaitan atau dapat menjelaskan dasar hukum dilakukannya eutanasia bagi orang atau
keluarga yang mengajukan untuk dilakukan eutanasia:
1. Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
2. Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selamanyalima tahun atau kurungan selamanya satu tahun.
3. Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.10
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2
bentuk eutanasia, yaitu eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu
sendiri dan eutanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap
pasien/korban sebagaimana secara jelas diatur dalam Pasal 344 KUHP dan 304 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:
10
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”
Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu,diancam dengan pidanapenjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun
tetap diancam pidana bagi pelakunya.11
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia eutanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif
di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.Eutanasia dilihat dalam Kode Etik Kedokteran yaitu:
1. Eutanasia aktif merupakan suatu tindakan yang dilarang sesuai dengan Kode
Etik Kedokteran Indonesia Pasal 10 yang berbunyi: “Seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
2. Eutanasia pasif dibolehkan jika dapat dibuktikan dengan tepat dan akurat
berbagai ketentuan yang ada. Sebagai contoh seperti: penyakit tersebut memang
tidak dapat disembuhkan lagi (upaya medis tidak ada gunannya lagi jika
pengobatan itu diteruskan).
Dengan adanya hukum-hukum tersebut, maka Indonesia dengan tegas menolak
dilakukan eutanasia dalam keadaan apapun, dan akan memberikan sanksi tegas bagi
siapapun yang melanggar hukum-hukum tersebut. Tetapi dibeberapa negara lain ada yang
menyetujui tindakan eutanasia, seperti Negara Belanda, Swiss, Luxemberg, dan Belgia.
Negara-negara ini setuju dengan dilakukannya eutanasia karena negera tersebut didasarkan
11
kepada suatu paradigma yang melihat bahwa manusia selain memiliki hak untuk hidup,
mereka juga mempunyai hak untuk mati “The right to die”. Menurut mereka, jika pasien
sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.
Mereka menganggap bahwa eutanasia dengan bantuan hanya sekadar mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang tidak
perlu. Negara tersebut sudah mengatur hukum eutanasia secara tegas. Beberapa contoh
yang dapat disebutkan antara lain:
1. Belanda
Tanggal 10 april 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengijinkan eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak
tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Dalam karangan yang
berjudul “The Slippery Slope Of Dutch Eutanasia” dilaporkan bahwa sejak tahun
1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan untuk melakukan eutanasia dan tidak
akan dituntut dipengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan, seperti mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat dan membuat
laporan dengan menjawab setiap 50 pertanyaan.
2. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir september
2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuat tindakan eutanasia telah
dilakukan setiap tahun sejak legalisasi tersebut. Namun mereka masih mengkritik
sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga ada upaya untuk menciptakan
birokrasi kematian.
4. Luxemburg
19 februari 2008 parlemen negara ini menjadi negara yang selanjutnya
menyetujui tindakan eutanasia.
5. Australia
12
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
6. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara jelas
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-
undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-
syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke
atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan
meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali
pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya)
dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis
serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada
dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh
terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama
13
tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia.
7. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania
Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan
sebuah proposal kepada Ulama Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics)
agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang
lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk
melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada
Belanda).Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British
Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk
apapun juga.
8. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di
Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai
"eutanasia pasif". Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif ".
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka
hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh
dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada
kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang
melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke
14
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.
15
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka eutanasia mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang eutanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis
adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates
jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia.12
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik
kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali,
maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman
yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah
diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan
keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan
demikian, dasar etik moral untuk melakukan eutanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum
ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang eutanasia. Pasal-pasal KUHP justru
16
menegaskan bahwa eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula
dengan eutanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Eutanasia justru bertentangan radikal
dengan hakikat itu.
17
penghilang rasa sakit tertentu tidak diperbolehkan karena hal ini akan sama dengan
eutanasia.13
II.5.2. Budhism
Pandangan umum terhadap Eutanasia
Umat Buddha tidak memiliki kesepakatan dalam pandangan mereka
terhadapeutanasia, dan ajaran Buddha tidak secara jelas menjelaskan mengenaieutanasia.
Sebagian besar umat Buddha (seperti hampir semua orang) menentang eutanasia secara
sukarela. Pandangan mereka terhadapeutanasia sukarela masih kurang jelas. Pandangan
yang paling umum adalah bahwa eutanasia sukarela adalah salah, karena hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran seseorang dalam keadaan buruk dan salah satu
penyebabnya adalah penderitaan fisik. Meditasi dan penggunaan yang tepat dari obat
penghilang nyeri seharusnya memungkinkan seseorang untuk mencapai keadaan di mana
mereka tidak sakitl, dan sehingga tidak lagi memikirkan eutanasia atau bunuh diri. Umat
Buddha juga berpendapat bahwa membantu untuk mengakhiri hidup seseorang cenderung
menempatkan pelaku ke keadaan mental yang buruk, dan ini juga harus dihindari.15
a. Menghindari bahaya
18
Budhame menekankan untuk menghindari mengakhiri kehidupan.Jadi
mengakhiri kehidupan secara langsung bertentangan dengan ajaran Buddha dan
eutanasia sukarela harus dilarang. Ketentuan mengenai hukum monastik Buddha
secara jelas melarangnya.Penganut agama Budha yang tidak mengikuti ketentuan
ajaran Buddha, tetapi mengambil bagian dalam eutanasiaadalah mereka yang telah
salah membuat keputusan
b. Karma
Umat Buddha menganggap kematian sebagai transisi. Orang yang
meninggal akan terlahir kembali ke kehidupan baru, yang kualitasnya adalah hasil
dari karma mereka. Hal ini menghasilkan dua pendapat. Mereka tidak tahu apa yang
akan terjadi pada kehidupan berikutnya. Jika kehidupan berikutnya menjadi lebih
buruk dari kehidupan orang sakit tersebut pada saat ini adalah jelas salah untuk
mengizinkan eutanasia, yaitu memperpendek keadaan buruk kehidupan ini untuk
meneruskan kehidupan yang lebih buruk. Pendapat kedua adalah bahwa
memperpendek hidup dapat mengganggu kerja dari karma, dan mengubah
keseimbangan karma yang dihasilkan apabila kehidupan dipersingkat.
c. Eutanasia sebagai bentuk membunuh diri
Terdapat kesulitan lain jika kita melihat eutanasia sukarela sebagai bentuk
bunuh diri. Buddha sendiri menunjukkan toleransi terhadap bunuh diri oleh para
biarawan dalam dua kasus. Tradisi Buddha Jepang mencakup banyak cerita bunuh
diri oleh para rahib, dan bunuh diri digunakan sebagai senjata politik oleh para
biksu Budha selama perang Vietnam. Tetapi ini adalah biarawan, dan tentu
membiliki perbedaan. Dalam Budhisme, cara hidup berakhir, memiliki dampak
yang mendalam pada cara hidup baru yang akan dimulai. Jadi keadaan pikiran pada
saat kematian adalah penting - pikiran mereka harus tanpa pamrih dan tercerahkan,
bebas dari kemarahan, kebencian atau ketakutan. Hal ini menunjukkan bahwa
bunuh diri (dan eutanasia) hanya disetujui untuk orang-orang yang telah mencapai
keadaan pemikiran yang damai.
II.5.3 Hindu
19
Pandangan Umum terhadap Eutanasia
Ada beberapa cara pandang umat Hindu terhadap eutanasia. Kebanyakan umat
Hindu akan mengatakan bahwa dokter tidak harus menerima permintaan pasien untuk
eutanasia karena ini akan menyebabkan jiwa dan tubuh untuk dipisahkan pada waktu yang
tidak wajar. Hasilnya akan merusak karma dokter dan pasien.
Umat Hindu lainnya percaya bahwa eutanasia tidak bisa dibiarkan karena
melanggar ajaran ahimsa (tidak membahayakan). Namun, beberapa orang Hindu
mengatakan bahwa dengan membantu untuk mengakhiri hidup yang menyakitkan,
seseorang melakukan perbuatan baik dan memenuhi kewajiban moral mereka. Hindu
kurang tertarik pada filosofi Barat, melainkan berfokus pada konsekuensi dari setiap
tindakan. Bagi umat Hindu, budaya dan iman tidak dapat dipisahkan. Jadi meskipun banyak
keputusan moral yang diambil oleh umat Hindu tampaknya lebih dipengaruhi oleh budaya
tertentu mereka dibandingkan dengan pemahaman dari iman mereka.16
Pembunuhan
Membunuh (eutanasia, pembunuhan, bunuh diri) mengganggu kemajuan jiwa yang
tewas ke arah pembebasan. Hal ini juga membawa karma buruk untuk si pembunuh, karena
melanggar prinsip tidak membahayakan. Apabila jiwanyareinkarnasi dalam tubuh fisik lain,
jiwa itu akan menderita seperti yang terjadi sebelumnya karena karma yang sama masih
ada.
Kematian
Sebuah doktrin karma menanamkan prinsip bahawa umat Hindu harus mencoba
untuk memastikan kehidupan mereka dalam keadaan baik sebelum mereka mati,
memastikan bahwa tidak ada urusan yang belum selesai, atau ada kesedihan yang tinggal.
Mereka mencoba untuk memasuki fasa Sannyasin - Individu yang telah meninggalkan
segalanya. Kematian yang ideal adalah kematian sadar, dan ini berarti perawatan paliatif
akan menjadi masalah jika mereka mengurangi kewaspadaan mental. Keadaan pikiran yang
mengarahkan seseorang untuk memilih eutanasia dapat mempengaruhi proses reinkarnasi,
karena pengalaman akhir seseorang setara dengan proses reinkarnasi. Ada dua pandangan
dalam Hindu terhadapeutanasia:
20
Dengan mengakhiri penderitaan individu, orang tersebut melakukan kebaikan dan
memenuhi tanggungjawab moralnya.
Dengan membantu untuk mengakhiri hidup walaupun penuh dengan penderitaan,
seseorang mengganggu waktu siklus kematian dan kelahiran kembali. Ini adalah hal
yang buruk untuk dilakukan, dan mereka yang terlibat dalam eutanasiaakan
mengambil karma yang tersisa dari pasien.
Perdebatan yang sama menunjukkan bahwa menjaga seseorang yang hidup secara
artifisial dengan bergantung pada alat pendukung kehidupan adalah hal yang buruk untuk
dilakukan. Namun, penggunaan alat pendukung kehidupan sebagai bagian dari upaya
sementara untuk penyembuhan bukanlah hal yang buruk
II.5.4 Katolik
Pandangan Umum terhadap Eutanasia
Ajaran Katolik hampir secara keseluruhan mengecameutanasia aktif sebagai
pembunuhan oleh karena itu diklasifikasikan sebagai dosa berat. Alasan untuk ajaran ini
adalah bahwa Allah berkuasa tertinggi ciptaan-Nya dan ada tujuan untuk penderitaan
manusia. Dalam Perjanjian Baru ada setidaknya lima tempat yang berbeda di mana ada
perintah Alkitab, "Jangan membunuh" (Matius 05:21, 19:18, Markus 10:19, Lukas 18:20,
Roma 13: 9). Berdasarkan ayat-ayat ini, Gereja Katolik Roma menentangeutanasia.
21
atau eutanasia, "Hamilton Uskup Doug Crosby, presiden Canadian Conference of
Catholic Bishops (CCCB)
II.5.5 Protestan
Pandangan umum terhadap Eutanasia
Dalam agama Protestan ada berbagai pandangan tentang eutanasia.Mereka yang
menentang euthanasia dan mengutip ajaran Yesus terhadap pembunuhan dan bunuh diri.
Mereka juga akan sangat berpendapat bahwa tidak ada seorangpun bisa "bermain Tuhan"
dan menentukan kapan kehidupan manusia harus dibatasi. Berikut adalah contoh
perdebatan al kitab tentang eutanasia;
Eutanasia dari perspektif Al-kitab
Dalam kasus Raja Saul (I Samuel 31: 1-6), yang terluka parah dalam pertempuran
melawan orang Filistin; ia memohon untuk pembawa senjatanya sendiri untuk
membunuhnya daripada membiarkan dia untuk mati perlahan-lahan dalam penyiksaan atau
menderita penghinaan dari musuh yang akan membawanya sebagai tawanan. Saul mencoba
bunuh diri ketika pembawa senjatanya menolak.16
Kemudian (II Samuel 1: 1-10), orang Amalek dari negara yang netral lewat dan
Saul memohon dia untuk mengambil hidupnya. "Berdiri di samping aku dan bunuh aku
untuk penderitaan telah menangkap aku tetapi aku masih tetap hidup" (ayat 9). Jawabannya
adalah persis seperti orang yangmelakukan eutanasia. "Jadi aku berdiri di sampingnya dan
membunuh dia karena aku yakin bahwa dia tidak bisa hidup setelah ia jatuh" (ayat 10). Apa
yang terjadi? Tuhan mengecamnya!
Orang Amalek dibunuh karena tindakannya, tapi kenapa? David menggambarkan
tindakan itu sebagai "menempatkan tangan untuk menghancurkan" (II Samuel 1:14). Dari
22
penilaian David kita tampaknya harus menyimpulkan bahwa itu benar-benar tidak dapat
diterima oleh Tuhan, terlepas dari motif di balik itu. David menyamakan tindakan
Amelakite dengan tindakan pembunuhan dan kita dibiarkan untuk menganggap bahwa ia
mencerminkan sikap Alkitab terhadap kesucian hidup dan pentingnya tetap
melestaraikannya.18
Penderitaan memungkinkan seorang Kristen untuk belajar kerendahan hati.
Melakukaneutanasia aktif menyebabkan pelakunya berdosa, dan pada saat yangsama
merupakan tindakan bunuh diri untuk orang yang meminta kematian tersebut. Mengakhiri
kehidupan sendiri, meskipun mungkin dengan tangan orang lain adalah tetap pembunuhan -
bunuh diri.
UmatKristen harus tahu bahwa eutanasia adalah isu yang seharusnya tidak
diabaikan.Eutanasia memberi efeklangsung kepada mereka di mana mereka harus hidup.
Pada saat yang sama, eutanasia bertentangan langsung dengan ajaran Alkitab.
II. 6. Transplantasi
23
Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan
metode kerja berupa ”pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat
lain lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu.” Dengan
demikian transplantasi tidak hanya diterapkan untuk organ tubuh tetapi juga pada
jaringan dan sel, baik manusia maupun hewan.
Ditinjau dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, transplantasi dapat
dibedakan menjadi 3:
a. Autotransplantasi
Transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada satu
individu. Atau pencangkokan internal dalam tubuh seseorang. Misalnya, orang
yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan dari bagian
badannya
b. Homotransplantasi (allottransplantasi)
Transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada individu
yang sama jenisnya. Donor dan resipien sama-sama manusia tetapi berlainan
individu. Misalnya, penderita gagal ginjal, ditransplantasi dengan ginjal orang lain,
baik donor dari orang hidup maupun dari orang mati.
c. Heterotransplantasi (Xenotransplantasi)
Transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada dua individu
yang berbeda jenis. Misalnya mentransplantasi jaringan atau organ dari babi
(khususnya jantung babi) ke manusia. Menurut Tim Klinik RS Dr. Sardjito
Yogyakarta membuktikan, bahwa katup jantung babi paling sesuai sebagai katub
jantung manusia. 20
24
Dalam tipe diperlakukan seleksi yang cermat dan harus diadakan general
chek up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan menyeluruh) baik terhadap
donor maupun resipien. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan
transplantasi yang disebabkan oleh adanya penolakan tubuh rispien dan juga untuk
menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik 1 dari
1.000 donor meninggal dan si donor juga was-was dan merasa tidak aman, karena
menyadari dengan mendonorkan sebuah ginjal misalnya dia tidak akan
memperoleh kembali ginjalnya seperti semula.
II.6.2 Epidemiologi
25
Sumber : http://www.ahc.umn.edu/img/assets/26104/Organ_Transplantation.pdf
Sumber : http://www.ahc.umn.edu/img/assets/26104/Organ_Transplantation.pdf
Transplantasi sebagai suatu upaya untuk menghindarkan manusia dari penderitaan yang
secara jasmaniah mengalami cacat atau menderita suatu penyakit yang mengakibatkan
rusaknya fungsi suatu organ, jaringan atau sel, pada umumnya bertujuan:
26
sumbing. Sedangkan tujuan utama dari transplantasi cornea mata bertujuan untuk
memulihkan penglihatan.
Tujuan itu dibagi dua yaitu terapeutik (pengobatan) dan tektonik (memperbaiki bentuk),
serta optik (untuk memperoleh penglihatan maksimal). Berdasarkan tingkatan tujuannya,
tujuan transplantasi antara lain:
a. Semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang jika tidak dilakukan dengan
transplantasi tidak akan menimbulkan kematian, seperti transplantasi cornea mata
dan menambal bibir sumbing. Transplantasi jenis ini bukan untuk menghindari
kematian, tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup. Karena
itu dia berada pada tingkatan hajiyat (dihajatkan), belum sampai pada tingkat
darurat.
b. Sebagai alternatif terakhir yang jika tidak dilakukan dengan transplantasi akan
menimbulkan kematian, seperti transplantasi ginjal, hati, dan jantung. Transplantasi
di sini telah berada pada tingkat darurat.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan utama transplantasi adalah bersifat
kemanusiaan; menghindarkan suatu kematian yang diduga akan terjadi tanpa dilakukan
transplantasi, dan melepaskan derita kesakitan atau cacat biologis. Dengan demikian tujuan
utama transplantasi adalah untuk mewujudkan keselamatan bagi manusia khususnya
memelihara keselamatan jiwa resipien.
Komputer itu menghasilkan daftar peringkat pasien transplantasi yang dapat menerima
organ donor. Informasi bahwa faktor-faktor ke dalam daftar peringkat ini meliputi:
27
jangka waktu yang singkat setelah mereka dihapus. Bila pasien transplantasi siap untuk
organ donor, pusat transplantasi itu secara operasi memindahkan dan mengganti organ yang
gagal atau gagal melalui general berikut prosedur:
6. Tutup sayatan
Setelah transplantasi, pasien memulai perjalanan panjang menuju pemulihan. Jika operasi
berjalan dengan baik, pasien tetap harus menghadapi kemungkinan penolakan. Penolakan
adalah prosesnya dimana tubuh berjuang melawan organ yang baru ditanamkan. Penolakan
itu berbahaya bagi keberhasilan transplantasi karena tubuh berjuang melawan yang baru
organ seperti virus atau bakteri. Sebenarnya, sistem kekebalan tubuh memperlakukan organ
karena akan ada penjajah asing berbahaya lainnya. Sistem kekebalan tubuh membuat
protein disebut antibodi yang masuk ke organ transplantasi dan mencoba membunuhnya.
Untuk menahan antibodi yang mengancam organ baru, transplantasi pasien harus memakai
obat imunosupresan yang kuat untuk menjaga tingkat antibody turun cukup rendah agar
organ bisa berintegrasi ke dalam tubuh dan mulai bekerja.20
28
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien degan
kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etik kedokteran, tindakan ini wajib
dilakukan jika ada indikasi,berlandaskan beberapa pasal dalam kode etik kedokteran
Indonesia tahun 2012, yaitu 23:
1. Pasal 2.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.
2. Pasal 10.
Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup
insani.
3. Pasal 11.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita.
Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981, pada hakekatnya
telah mencakup aspek etik, terutama mengenai dilarangnya memperjual belikan alat dan
jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi material lainnya.
29
kebebasan individu yang menuntut pembelaan diri. Jika dikaitkan dengan kasus
transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan adalah seseorang
melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan
tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan
yang telah dipertimbangkan secara matang.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam
situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dalam Transplantasi Organ lebih relevan terhadap alokasi
organ, yang menyangkut pada perlakukan yang adil, sama dan sesuai dengan
kebutuhan pasien yang tidak terpengaruh oleh faktor lain.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti dalam pelaksanaan transplantasi organ, harus diupayakan
semaksimal mungkin bahwa praktek yang dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya/
cedera fisik dan psikologis pada klien.
30
Agama memegang peranan penting dalam pengaturan mengenai donasidan
transplantasi organ yang beralaku di seluruh dunia. Sehubungan dengan peranan penting
donasi dan transplantasi organ tubuh manusia di Indonesia, maka pemabahasan mengenai
transpalntasi dan donasi organ inimeliputi seluruh agama sebagaimana dimaksud dalam
Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahan
a. Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan general check
up, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resepient), demi menghindari
kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resepien, dan
b. Donor dalam hidup koma atau di duga akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan
organ tubuh donor memerlukan alat control dan penunjang kehidupan, misalnya dengan
bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat tersebut di cabut setelah pengambilan
organ tersebut selesai.
c. Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal
menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yudiris dan harus
Hingga kini, tidak ada ulama yang mengajukan argumen tertulis yang secara
31
Para ulama yang mendukung pembolehan transplantasi organ berpendapat bahwa
transplantasi organ harus dipahami sebagai satu bentuk layanan altruistik bagi sesama
muslim.24
Hadis Nabi SAW :”Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhya
Allah tidak meletakkan suatu pentakit, kecuali dia juga meletakkan obat
penyembuhnya,selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua.”(H.R. Ahmad, Ibnu Hibban
Hadist tersebut menunjukkan, bahwa wajib hukumnya berobat bila sakit, apapun
jenis dan macam penyakitnya, kecuali penyakit tua. Oleh sebab itu, melakukan
transplantasi sebagai upaya untuk menghilangkan penyakit hukumnya mubah, asalkan tidak
Transplantasi organ hukumnya mubah dan dapat berubah hukumnya sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi. Transplantasi ini dapat di qiyaskan dengan donor darah
dengan illat bahwa donor darah dan organ tubuh dapat dipindahkan tempatnya, keduannya
suci dan tidak dapat diperjual belikan. Tentu saja setelah perpindahan itu terjadi maka
tanggungjawab atas organ itu menjadi tanggungan orang yang menyandangnya. Kaidah-
kaidah hukum wajib dijunjung dalam melakukan trasnplantasi ini antaranya :24
b. Sumber organ harus memiliki kepemilikan yang penuh atas organ yang diberikannnya,
berakal, baligh, ridho dan ikhlas dan tidak mudharat bagi dirinya.
kemungkinan gagal.
d. Organ manusia tidak boleh diperjualbelikan sebab manusia hanya memperoleh hak
32
Pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara medis
maupun yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah
menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
Ayat tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa Islam tidak membenarkan pula
orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau tidak berfungsi organ tubuhnya
dalamnya.
Ayat ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa
manusia.
3. Hadits
penyakit kecuali Dia meletakkan jua obatnya, kecuali satu penyakit yang tidak ada
Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan cara transplantasi organ tubuh.
33
2. Menurut hukum wasiat, keluarga atau ahli waris harus melaksanakan wasiat orang
yang meninggal.Dalam kasus ini adalah wasiat untuk donor organ tubuh.
Sebaliknya, apabila tidak ada wasiat, maka ahli waris tidak boleh melaksanakan
Akan tetapi Mendonorkan Organ tubuh dapat menjadi haram hukumya apabila :
1. Transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup
Firman Allah dalam Alqur’an S. Al-Baqarah ayat 195, bahwa ayat tersebut
mengingatkan , agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi
harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri
donor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.
Melakukan transplantasi dalam keadaan dalam keadaan koma.Karena hal itu dapat
dikatakan : “ Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula
manusia, ulama sepakat bahwa praktik seperti itu hukumnya haram berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan berikut :
selamanya si pembeli tidak memiliki hak apapun atas diri manusia itu, karena sejak
awal hukum transaksi itu sendiri adalah haram. Penjualan organ manusia bisa
34
diperdagangkannya organ-organtubuh orang miskin dipasaran layaknya komoditi
lain.
Pengorbanan dan menolong sesama merupakan dasar ajaran bagi seluruh umat
kristiani. Bagi umat kristen menolong sesama merupakan perbuatan cinta dan mengikuti
teladan Yesus.
tulus dan tujuannya kebaikan itu boleh-boleh saja terutama untuk membantu kelangsungan
hidup suatu nyawa (nyawa orang yang membutuhkan donor organ), bukan karena
lebih baik lagi bila si pendonor sudah mati dari pada saat si pendonor belum mati, karena
saat masih hidup organ tubuh itu bagaimanapun penting artinya, sedangkan saat sudah mati
Secara umum, pandangan agama katolik mengenai donasi organ dan jaringan
adalah perbuatan amal dan cinta kasih. Donor organ merupakan keputusan individu yang
Bahkan , dalam buku Ensiklik " Evangelium Vitae " ( " The Gospel of Life " , 1995), ia
mengemukakan bahwa salah satu cara untuk memelihara budaya asli hidup " adalah
sumbangan organ , dilakukan secara etis dapat diterima , dengan maksud untuk
35
menawarkan kesempatan kesehatan dan bahkan kehidupan itu sendiri untuk orang sakit
Gereja menganjurkan untuk mendonorkan organ tubuh sekalipun jantung, asal saja
pedonor sudah benar-benar mati artinya bukan mati secara medis yaitu otak yang mati,
seperti koma, vegetative state atau kematian medis lainnya. Pada keadaan hidup dan sehat kita
Bila donor tidak menuntut pedonor harus mati, seperti donor darah, sumsum, ginjal,
kulit, mata, rambut, lengan, jari, kaki atau urat nadi, tulang maka dianjurkan untuk
melakukannya. Sedangkan menjadi donor mati seperti jantung atau bagian tubuh lainnya
dimana donor tidak bisa hidup tanpa adanya organ tersebut, maka wajib untuk dinyatakan
mati oleh ajaran GK. Kematian klinis atau medis bukan mati sepenuhnya menurut gereja,
jadi harus menunggu sampai si donor benar-benar mati untuk diambil organnya, dan ini
Pengertian Budhis, seorang terlahir kembali dengan badan yang baru. Oleh karena
itu, pastilah organ tubuh yang telah didonorkan pada kehidupan yang lampau tidak lagi
berhubungan dengan tubuh dalam kehidupan yang sekarang. Artinya, orang yang telah
mendermakan anggota tubuh tertentu tetap akan terlahir kembali dengan organ tubuh yang
lengkap dan normal. Ia yang telah berdonor kornea mata misalnya, tetap akan terlahir
dengan mata normal, tidak buta. Malahan, karena donor adalah salah satu bentuk karma
baik, maka ketika seseorang berderma kornea mata, dipercaya dalam kelahiran yang
berikutnya, ia akan mempunyai mata lebih indah dan sehat dari pada mata yang ia miliki
36
Buddhisme tidak memiliki aturan baik untuk atau terhadap darah , sumsum tulang dan
donasi organ .Bagian penting dari agama Buddha adalah keinginan untuk meringankan
penderitaan .Sekarat dan kematian dipandang sebagai waktu yang sangat penting, tubuh harus
Menurut ajaran agama Hindu, Donasi dan Transplatasi Organ tubuh dapat
dibenarkan dengan alasan, bahwa pengorbanan ( yajna)kepada orang yang menderita, agar
dia bebas dari penderitaan dan dapat menikmati kesehatan dan kebahagiaan , jauh lebih
penting, utama, mulia, dan luhur, dari keutuhan organ tubuh manusia yang telah meninggal.
Tetapi sekali lagi perbuatan ini harus dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan
yang tulus ikhlas tanpa pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatakn
keuntungan material. Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai dalam kitab Bhadawadgita
II.2 sebagai berikut : “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani, tahtha
sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” artinya: seperti halnya seseorang
mengenakan pakaiaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang Roh menerima
badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tiada
berguna. Kematian adalah berpisahnya jiwatman atau roh dengan jasmani ini. Badan
jasmani atau sthula sarira ( badan kasar) terbentuk dari Panca Maha Bhuta ( apah= unsur
cair, prethiwi=unsur padat, teja=unsur sinar, bayu=unsur udara dan akasa=unsur ether).
Ibarat pakaian, apabila jasmani( pakaian) sudah lama rusak, kita membuangnya dan
Menurut hukum agama Hindu, Tidak ada hukum agama mencegah Hindu dari
menyumbangkan organ atau jaringan mereka .Hindu percaya pada kehidupan setelah kematian dan
ini adalah proses yang berkelanjutan dari kelahiran kembali .donasi organ merupakan bagian
37
II.8. Hukum Donor Organ
38
k. Monitoring invasif;
l. Antibiotika; dan
m. Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
(6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen, nutrisi
enteral dan cairan kristaloid.
Pasal 15
(1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau penundaan
terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk
oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a. pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal ini (advanced
directive) yang dapat berupa:
1. pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau penundaan
terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility (kesia-siaan).
2. pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada seseorang
tertentu (surrogate decision maker)
b. pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga pasien yakin
bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan seperti itu, berdasarkan
kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bila
pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan keinginannya sendiri.
(5) Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.
(6) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan rekomendasi tim
yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik, dimana keluarga tetap meminta
39
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak
keluarga.
40
(3) Persetujuan dari penyidik Kepolisian setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan dalam hal tidak diketahui adanya persetujuan tertulis orang tersebut semasa
hidupnya/persetujuan tertulis keluarganya tidak dimungkinkan.
(4) Dalam hal mayat tersebut berhubungan dengan perkara pidana, pemanfaatan organ dari
mayat hanya dapat dilakukan setelah proses pemeriksaan mayat yang berkaitan dengan
perkara selesai.
(5) Pemanfaatan organ dari mayat harus dilakukan pencatatan dan pelaporan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Pengambilan organ dari donor kadaver hanya dilakukan segera setelah calon donor
kadaver dinyatakan mati batang otak.
(2) Sebelum pengambilan organ dari donor kadaver sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memperoleh persetujuan dari keluarga terdekat donor lebih dahulu.29
DNR (do not resuscitation), merupakan sebuah perintah tidak melakukan resusitasi
yang ditulis oleh seorang dokter dalam konsultasi dengan pasien atau pengambil keputusan
pengganti yang menunjukkan apakah pasien akan menerima atau tidak tindakan CPR
(Braddock and Clark, 2014). DNR merupakan keputusna untuk mengabaikan CPR dan
secara resmi diperkenalkan sebagai akternatif untuk end of life care pada awal tahun
1970.30DNR merupakan suatu tindakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah
instruksi berupa informed consent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien
di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain
untuk tidak melakukan RJP pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang
tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan
tingkat keberhasilan CPR yang rendah.31 DNR dindikasikan jika seseorang dengan penyakit
terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima CPR ketika jantung atau napasnya
41
berhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah membahas dan manfaat dari CPR dengan
psien atau pembuat keputusan dalam keluarga pasien.32
AHA (American Heart Association), mengganti istilah DNR dengan istilah DNAR
(Do Not Attempt Resuscitation) yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak melakukan
resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika
memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi kematian secara ilmiah,
sedangkan istilah DNR mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika
kita berusaha.33
Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada penyakit
kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan perawat, karena
ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang
alat pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena kurangnya kejelasan
dalam peran tenaga professional dalam melakukan tindakan / bantuan pada saat kondisi
kritis, meskipun dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang kematian
adalah sangat penting.34
Prinsip etik otonomi, dokter memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan
cara – cara yang baik dan tidak menghakimi keluarga dengan menerima saran/masukan,
tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan.35
42
Prinsip etik nonmaleficence berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak
membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Pada etik ini, dokter membantu dalam
mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan
angka harapan hidup relative kecil dan prognosa yang buruk.
Dilema etik
Di Idonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilemma
bagi tenaga medis. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan di dalamnya bahwa prosedur pemberian atau
penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan
HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation),
dilakukan pada pasien – pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan
pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam
tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan – tindakan
luar biasa, pada psien – pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan
bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau
penundaan bantuan hidup. Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya
dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasein merasa nyaman dan bebas nyeri. 37
43
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Eutanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Contoh kasus eutanasia di Indonesia meliputi kasus Isna Nauli Siregar, kasus
tersebut pada umumnya merupakan eutanasia yang diluar keinginan pasien, pihak keluarga
mengajukan permohonan eutanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tidak
disetujui.Dilihat dari sudut pandang etika dan moral eutanasia merupakan hal yang
melanggar etika dan perbuatan yang tidak bermoral. Prinsip etika yang sangat mendasar
ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya
dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dilihat dari sudut agama yang ada di Indonesia yaitu agama Buddha, Hindu, Islam dan
Katholik eutanasia merupakan perbuatan yang tidak diijinkan oleh agama.
Eutanasia juga melanggar HAM karena perbuatan eutanasia dapat menghilangkan
nyawa manusia itu artinya eutanasia melanggra hak manusia untuk hidup.Pasien harus
diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak
manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui
pertimbangan yang jelas. Beberapa pasientidak dapat menentukan pilihan pengobatan
sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.
Orang lain disini tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter
harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.19
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Dari sekian
banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai
lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang
44
sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana.
Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif”
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu.
Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup
manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah
meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan
“vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
III.2 Saran
Eutanasia merupakan tindakan yang melanggar hukum dan etik kedokteran.
Diharapkan pemerintah menyususn dasar hukum tentang tindakan eutanasia lebih jelas,
dan dalam penerapannya pemerintah harus lebih tegas. Jika eutanasia merupakan hal yang
melanggar hukum, sebaiknya pihak yang terlibat harus ditindak tegas. Jangan sampai
kasus eutanasia menjadi alasan dan dijadikan “kambing hitam” dalam upaya untuk
menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Para dokter diharapkan tetap berpegang pada
kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya sehingga tindakan yang mengarah kepada
percepatan proses kematian dapat dihindari. Sedangkan hukum di Indonesia diharapkan
dapat dijalankan sesuai dengan undang-undang apabila mendapatkan kasus euthanasia
dengan seadil-adilnya. Kemudian untuk sisi agama seluruh umat beragama hendaknya
tetap berpegang teguh terhadap kepercayaannya yang menganggap segala musibah
(termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa dan
dengan keadaan kritis tersebut merupakan masa penentuan kokoh dan tidaknya iman
seseorang, serta konsekuensi dari sikap yang diambil akan dipertanggung jawabkan
dikemudian hari.
45
Daftar Pustaka
46
10. Pereira J. Legalizing eutanasia orassisted suicide: the illusionof safeguards and
controls. PubMed Central. 2011. Current Oncology; Volume 18, Number 2.
11. Mz.Al-Shari, Palliative Care for Muslim Patients
http://www.prolifemuslims.com/ISLAM-PROHIBITS-ASSISTED-
SUICID.html pada tanggal 29 November 2016
12. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online melalui
website
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/islam/islamethics/eutanasia.shtml pada
tanggal 28 November 2016
13. Islamic Religious Leadership Council Rules Against Eutanasia, Assisted
Suicide. Diakses online melalui website http://www.eutanasia.com/islamic.html
pada tanggal 29 November 2016
14. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online melalui
website
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/budham/budhatethics/eutanasiasuicide.s
html pada tanggal 28 November 2016
15. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online melalui
website
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/hinduism/hinduethics/eutanasia.shtml
pada tanggal 28 November 2016
16. Catechism of the Catholic Church on Assisted-Suicide. Diakses online melalui
website http://www.eutanasia.com/catech.html pada tanggal 29 November 2016
17. Michael Swan, C-14 ‘fundamentally unjust,’ bishops tell committee. Diakses
online melalui website http://www.catholicregister.org/item/22256-c-14-
fundamentally-unjust-bishops-tell-committee pada tanggal 30 November 2016
18. Jeery Brown, California bishops push for referendum to overturn assisted
suicide law, Diakses online melelui website
https://www.lifesitenews.com/news/california-bishops-push-for-referendum-to-
overturn-assisted-suicide-law pada tanggal 30 November 2016
47
19. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online memalui
website http://www.bbc.co.uk/religion/religions/christianity/christianethics/
eutanasia 1.shtml pada tanggal 28 November 2016
20. Ethics of Organ Transplantation .2004 :5-48.Diunduh dari.
http://www.ahc.umn.edu/img/assets/26104/Organ_Transplantation.pdf
21. Adams PL, Cohen DJ, Danovitch DM, et.al. The nondirected live-kidney donor:
Ethical considerations and practice guidelines: A National Conference Report.
Transplantation, 2002; 74(4):582-589.
22. UNOS website. www.unos.org. Accessed 5/30/03. 7 Douglas DD. Should
Everyone Have Equal Access to Organ Transplantation? An Argument in Favor.
Archives of Internal Medicine, 2003; 163:1883-1885. 8 The Unite
23. Kementrian kesehatan, kodekki; http:www.kemenkes.co.id//kodeki// diunduh
tanggal 21 november 2017,
24. Nata, Abuddin, Masail Al-Fiqhiyah, pandangan islam tentang transplantasi; p:1-
10 Jakarta: Kencana, 2006.
25. Gereja Methodist Indonesia, pandangan Kristen protestan terhadap
transpalantasi organ; diunduh
http://www.gerejamethodistindonesia.com/pandangantransplantasiorgan//
diunduh tanggal 21 november 2017
26. Keuskupan agung Jakarta; pandangan katholik terhadap transplantasi organ,
diunduh pada tanggal 21 november 2017
27. Pandangan agama budha terhadap transplantasi organ; walubi Indonesia
diunduh: http:www.walubi.com/pandanganbudha terhadap transplantasi organ/
diunduh tanggal 21 november 2017
28. Pandangan hindu terhadap transplantasi organ;PHDI;Jakarta 2012
29. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 37 tahun 2014 tentang
penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor. Berita negara republik
indonesia tahun 2014 nomor 1023. Jakarta. 2014.
30. Fallahi et al. 2016. The Iranian Physician Attitude Toward The Do Not
Resuscitate Order. Journal of Multidiscplinar Healthcare.
31. Sabatino, Charles. 2015. Do Not Resuscitate Order.
http://www.merckmanuals.come/home/fundamentals/legals-and-ethical-issues/
do-not-resuscitate-dnr-orders.
32. Cleveland Clinic. 2010. Do Not Resuscitate Order and Comfort Care.
http://my.clevelandclinic.org/ccf/media/Files/Bioethics/DNR.
48
33. Brewer, Brenda. 2008. Do Not Abandon, Do Not Resuscitate; a Pattient
Advocay Position.
34. Adams, Judith, Bailey. 2011. Nursing Roles and Strategies in End of Life
Decision Making in Acute Care: A Systematic Review of The Literature.
35. Basbeth, Sampurna. 2009. Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru.
Majalah Kedkteran Indonesia Edisi 59.
http://Indonesia.digitaljournal.org/index.php.idnmed/article/viewFile/691/696.
36. AAGBI. 2009. Do Not Attempt Resuscitation Decissions in the Perioperative
Period. London. The Association of Anesthetics of Great Britain and Ireland.
37. Depkes RI. 2009. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit.
http://bppsdmk.depkes.go.id/web/files/peraturan/4.pdf.
49