Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “eu” yang artinya baik, tanpa
penderitaan dan “tanathos” yang artinya mati.Sehingga arti dari kata eutanasia adalah mati
dengan baik atau mati tanpa penderitaan. Eutanasia merupakan permasalahan dibidang
kesehatan yang menjadi dilema bagi para dokter dan tenaga kesehatan dikarenakan pada
kasus-kasus tertentu seorang pasien yang menderita penyakit yang tidak bisa diobati
memohon kepada dokter untuk mengakhiri hidupnya, salah satunya adalah dengan
menyuntik mati, kasus inilah yang dinamakan eutanasia.
Hal ini yang menimbulkan dilema bagi para dokter, dimana di satu sisi apabila
dokter mengakhiri hidup pasien atas permintaan pasien itu sendiri maka ia akan
menghadapi konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 344 KUHP dan bertentangan
dengan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain apabila ia menolak permintaan pasien, maka
pasien tersebut akan merasakan penderitaan yang berkepanjangan dan menghabiskan
banyak biaya untuk pengobatan pasien.
Sejauh ini khususnya di Indonesia, melarang adanya tindakan eutanasia walaupun
sampai saat ini ada pihak yang setuju denganeutanasia dan ada pula yang tidak setuju.
Pihak yang setuju dengan adanya eutanasia berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai
hak menentukan nasib apakah ia akan mengakhiri atau melanjutkan hidupnya, sedangkan
pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai hak untuk
mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati merupakan kehendak Tuhan.
Selain euthanasia, pendonoran organ pada orang yang sudah mengalami penyakit
terminal masih pro-kontra. Dimana dibeberapa Negara pendonoran organ dengan orang
yang mengidap penyakit terminal sudah dijinkan seperti di Belanda. Namun di Indonesia
aturan donor organ pada orang yang sedang menderita penyakit terminal masih belum ada
regulasi yang mengatur.
Selain itu, terkadang kita sebagai tenaga medis dihadapkan pada keadaan “DNR”
DO NOT RESUSITATION” keadaan dimana pasien datang sudah dalam keadaan tidak
memungkinkan untuk di resusitasi atau ada permintaan khusus dari keluarga agar tidak

1
dilakukan resusitasi jantung paru. Dalam peraturan kita sebagai dokter harus semaksimal
mungkin untuk menolong jiwa sesame umat.Hal ini juga tercantum pada KODEKI pasal 10
dimana Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup
insani.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. Eutanasia
II.1 Sejarah
Kata “eutanasia” pertama kali digunakan dalam konteks medis oleh Francis Bacon
pada abad 17, yang berarti mudah, tanpa nyeri, atau kematian yang
menyenangkan,.Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, Eu (baik) dan Thanatosis (mati)
yang digabung sehingga memiliki arti “Mati yang baik,” “Mati yang mudah dan
lembut.”Dalam aspek ini eutanasia dilihat sebagai kematian aktif, atau, inaktif seperti
dehidrasi dan kelaparan.1 Menurut sejarah, menghentikan atau menahan perawatan atau
pengobatan telah digunakan sejak dahulu; hal in disebut sebagai orthothanasia, yang berarti
“kematian pasif”.Melalui kaedah ini, pasien tidak pernah di rawat untuk sembuh dan
kematiannya dipermudah dengan cara pasif. Dalam orthotanasia, tindakan membunuh tidak
pernah diaplikasi, tetapi, tindakan pasif yang direncanakan untuk mempermudah kematian.

Kasus Eutanasia
Ada banyak kasus eutanasia yang dilaporkan karena timbulnya persepsi bahwa
eutanasia merupakan salah satu cara untuk mengakhiri hidup bagi mereka yang menderita.
Salah satu kasus yang terkenal dan mendapat banyak perhatian adalah Aruna
Ramachandara Shaunbaug yang mengenai permintaan untuk menjalankan eutanasia secara
pasif dengan menghentikan asupan nutrisi untuk membiarkan Aruna mati secara alami. Di
Indonesia sendiri, Again Isna Nauli Siregar yang menderita akibat komplikasi selepas
melahirkan, suami Again Isna membuat sebuah permintaan eutanasia aktif ke Pengadilan
Tinggi yang menimbulkan perdebatan di dalam negeri.
1) India, Aruna Ramachandra Shanbaug

3
Pada tahun 1973, Aruna Ramachandra Shaunbaug, bekas perawat yang dipukul dan
diperkosa oleh rekan sejawat yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Rumah Sakit
Mumbai’s King Edward Memorial.Aruna menderita kerusakan otak yang berat dan lumpuh
setelah Sohanlal Bharta Valmiki mencekik korban dengan rantai.Valmiki dituduh
melakukakan kekerasan dan perampokan pada tahun 1974 dan dipenjara tujuh tahun.
Setelah selesai dipenjara, Valmiki dilaporkan pindah, menukar nama dan mendapatkan
kerja baru di rumah sakit yang lainnya. Petisi untuk membiarkan Shaunbaug mati telah
diusulkan oleh Pinki Virani, seorang aktivis hak-untuk-mati. Virani membahas bahwa
korban tidak mampu melihat apa lagi berbicara, mempertahankan Shaunbaug untuk terus
hidup telah melanggar harga dirinya. Virani juga menyatakan kekesalannya terhadap
pengadilan karena menolak permintaan untuk terminasi asupan makanan Shaunbaug. Selain
itu Virani menyatakan, “Setelah lebih dari tiga dekade, Aruna masih belum mendapatkan
keputusan pengadilan, malahan mereka yang menyatakan sayang dan kasih kepadanya
adalah mereka yang tidak merelakan Aruna untuk pergi dengan tenang.” Pada 7 Maret
2011, juri yang terdiri dari Markandey Katju dan Gyan Sudha Mishra, hakim di Peradilan
Tertinggi telah membenarkan eutanasi pasif dengan menghentikan bantuan hidup kepada
korban tetapi menolak untuk dilakukan eutanasia aktif dengan memasukkan suntikan untuk
terminasi hidup.1
Mahkamah di India akhirnya mengatur garis panduan untuk eutanasia pasif
dijalankan pada Shaunbag yang seterusnnya diminta untuk dijadikan undang-undang yang
sebelumnya diatur dan disetujui oleh Parlemen. Malah jaksa tersebut meminta untuk
parlemen menghapus Seksyen 309 IPC untuk percobaan bunuh diri dan menggantinya
menjadi; “A person who attempts suicide in a depression, and hence he needs help, rather
than punishment,"
2) Indonesia Case, Agian Isna Nauli Siregar
Panca Satrya Hasan, yang berasal dari Jakarta telah mengajukan permintaan untuk
menghentikan alat bantuan nafas terhadap isterinya Again Isna Nauli Siregar, 33 tahun
yang mengalami stroke permanen dan mapu bertahan hidup dengan alat bantu nafas.
Suaminya mengatakan bahwa istrinya telah mengalami koma lebih dari satu bulan yang
disebabkan oleh kerusakan otak karena hipertensi, yang menurut ahli merupakan

4
komplikasi dari operasi caesarion section. Suaminya Hassan, meminta agar istrinya di
eutanasia karena tidak mampu untuk membayar biaya medis yang berjumlah kira-kira satu
juta rupiah perhari. Hassan menyatakan jika hidupnya tidak dapat dipastikan untuk
diteruskan, lebih baik jika dikurangi penderitaan yang dialaminya.2
Kasus Again ini merupakan kasus pertama di negera - negera Asia sekaligus
menimbulkan perdebatan baik di dalam maupun luar negeri. Menurut ahli Saraf, Salim
Haris, menurut pandangannya, haruslah dimaklumi mengenai kondisi pasien dan
keluarganya jika pasien sudah memasuki fase terminal atau irrevissible, dan mereka berhak
mengambil keputusan untuk meneruskan perawatan atau tidak.
Menurut Franz Magnis-Suseso SJ, professor di Institut Filosopi Driyarkara di
Jakarta mengatakan adalah tanggung jawab negera untuk menjaga warga negaranya yang
sakit terminal atau menderita serta kekurangan uang untuk biaya rumah sakit. Jadi,
eutanasia baik secara aktif atau pasif adalah dilarang sama sekali dalam hukum di
Indonesia. “Jika pengadilan membenarkan permintaan tersebut, maka eutanasia akan
menjadi legal.” Bahkan beliau menyatakan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi
pemerintah terhadap rakyatnya yang terbeban dengan masalah biaya.

II.2 Definisi dan Klasifikasi


Para penduduk di dunia ini berusaha untuk menjalani "kehidupan yang baik" dan
berharap untuk mati dengan bermartabat "kematian yang baik", atau "mati mudah", yang
berasal dari dua kata Yunani yaitu, Eu dan Thanatos, disebut dalam bahasa Inggris sebagai
eutanasia. 3 pada istilah etimologis, kata "eutanasia" dalam bahasa Yunani Klasik berarti
"kematian yang baik" (εύ = baik, θάνατος = kematian). Istilah "eutanasia", menafsirkan hal
itu berarti tidak hanya "kematian yang baik" tetapi juga ekspresi seperti "kematian yang
bagus", "kematian yang indah", "kematian yang bahagia "," kematian beruntung ", atau
dalam arti tropological juga berarti " kematian yang ringan "," kematian yang mudah ","
kematian yang damai "," kematian tanpa kekerasan "atau" kematian tanpa rasa sakit ". Dari
sudut pandang etimologi, jelas bahwa "eutanasia" bukanlah mengenai sesuatu hal spesifik
seperti memberikan suntikan mematikan atas permintaan pasien tetapi tentang konsep
"kematian yang baik". Hal ini diadopsi oleh kesehatan yang berarti mempercepat kematian

5
pasien untuk menghindari penderitaan yang tidak semestinya dari penyakit tersebut. 3
Karena hal tersebut memiliki jangkauan konsep yang luas, banyak macam variasi yang
digunakan untuk menggambarkan berbagai "jenis eutanasia",

Klasifikasi
Terdapat beberapa macam mengenai jenis eutanasia, dimana masing-masing
memiliki definisi yang berbeda-beda,yaitu:
1. Pasif Eutanasia
Hal ini didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mempercepat kematian
dengan mengubah beberapa bentuk dukungan dan membiarkan proses alamiah
mengambil alih dengan mengikuti salah satu metode seperti melepaspendukung
kehidupan prosedur medis, obat-obatan ,dll, atau menghentikan makanan dan air
dan memungkinkan seseorang untuk mengalami dehidrasi atau kelaparan sampai
meninggal atau tidak memberikan RJP (resusitasi jantung paru) dan memungkinkan
seseorang, yang jantungnya telah berhenti dan meninggal)prosedur-prosedur
tersebut dilakukan pada sakit yang sudah parah dan seseorang yang menderita
sehingga kematian yang secara alamiahakan terjadi lebih cepat. eutanasia pasif
adalah menahan atau melepaskan dukungan kehidupan buatan atau perawatan medis
lainnya, yang dapat memperpanjang kehidupan sehingga memungkinkan pasien
untuk mati.3
Eutanasia Pasif dapat berupa menahan atau melepaskan suatu prosedur
tindakan medis, pengobatan, atau alat medis:
a) Melepaskan pengobatan: misalnya, mematikan alat yang membuat
seseorang untuk hidup, sehingga mereka meninggal karena penyakit mereka.
b) Menahan pengobatan: misalnya, tidak melakukan operasi yang akan
memperpanjang kehidupan mereka untuk waktu yang singkat.
Sebuah contoh, jika seorang pasien membutuhkan hemodialisis ginjal untuk
bertahan hidup, dan dokter memutuskan alat hemodialisis, pasien akan mungkin
akan lebih cepat meninggal. Contoh klasik lainnya dari eutanasia pasif adalah "tidak
melakukan resusitasi". Biasanya jika pasien mengalami henti jantung atau serangan

6
jantung n, staf medis akan berusaha untuk melakukan tindakan RJP. Jika mereka
tidak berusaha melakukan RJP atau tindakan medis lainnya dan hanya berdiri serta
menonton maka pasien akan meninggal, ini adalah salah satu bentuk eutanasia pasif

2. Eutanasia aktif
Bentuk eutanasiaini adalah suatu tindakan yang menyebabkan kematian
seseorang melalui tindakan secara langsung, dalam menanggapi permintaan dari
seorang pasien bersangkutan. eutanasia aktif adalah ketika kematian disebabkan
oleh suatu tindakan - misalnya ketika seseorang dibunuh dengan diberi overdosis
obat penghilang rasa nyeri atau dokter memberikan obat dengan dosis yang
mematikan kepada pasien yang meminta hal tersebut.
3. Phsycician Assisted Suicide (PAS)
Seorang dokter menyediakan informasi dan / atau sarana bunuh diri (contoh:
memberikan resep untuk dosis mematikan obat tidur, atau pasokan gas karbon
monoksida) kepada seseorang, sehingga ia dapat dengan mudah mengakhiri
hidupnya sendiri. Istilah "Voluntary Pasif Eutanasia" (VAE) adalah istilah umum
yang sering digunakan.
4. Involuntary Eutanasia
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pembunuhan orang yang tidak
memohon permintaan untuk dibantu dalam proses kematianya. Hal ini paling sering
dilakukan pada pasien yang berada dalam kondisi vegetatif atau dalam keadaan
koma dan mungkin tidak akan pernah pulih kesadarannya. Biasanya pasien tidak
sadar, tidak mampu berkomunikasi, atau terlalu sakit dan lemah untuk menyadari
apa yang terjadi atau mengambil keputusan apapun atas nama sendiri.5

II.3 Sudut Pandang Eutanasia Berdasarkan Aspek Hukum

Euntanasia diterima oleh hukum pada beberapa negera dengan syarat-syarat tertentu
seperti Belanda dan Belgium. Luxembourg menjadinegeri ketiga yang membenarkan

7
eutanasia yaitu pada tanggal 16 Maret 2009.Di Amerika Syarikat, negeri Oregon dan
Washington membenarkan physicians assisted suicide namun eutanasia tetap tidak
dibenarkan. Di Belanda, eutanasia dan physicians assisted suicide secara formal dibenarkan
setelah hampir 30 tahun perdebatan.
Physicians assisted suicide secara legal dijalankan di Switzerland pada sejak 1990.
Apa yang terjadi di Belanda telah mencipta suatu fenomena pada sosial dan pembudayaan
perubahan mengenaipercobaan bunuh diri kepada physicians assisted suicide dan eutanasia
sekaligus menggalakkan pasien dan dokter untuk mendapatkan pengertian yang sebenarnya
mengenaieutanasia dan physicians assisted suicide pada kasus kasus tertentu. Eutanasia
lebih diinginkan oleh ahli-ahli kesehatan sekaligus menurunkan angka kejadian bunuh diri.9
Di negera-negara Scandinavian, ahli-ahli kesehatan tidak menerima tindakan
berlebihan pada pasien yang umumnya mendekati kematian atau tidak dapat disembuhkan
begitu juga menolak untuk melakukan tindakan yang mempercepat kematian.Eutanasia
secara aktif dan pasif dilarang di negera-negera sepeti Norwegia dan Yunani. Di Yunani,
eutanasia hanya digunakan untuk tindakan mematikan hewan yang sakit berat.7-9
Walaupun eutanasia tidak diterima hukum, terdapat banyak gerakan kearah
melegalisir eutanasia khususnya di negeri-negeri luar. Sejak awal 1990. Tindakan yang
serius telah diambil oleh berbagai pengacara eutanasi untuk mendapatkan pembenaran oleh
undang-undang.Malah, legalisasi untuk membenarkan euthanasia secara sukarela telah
mendapatkan izin dari beberapa tahapan.Melalui persidangan, berbagai kriteria,
prosedur,dan direncanakan untuk memastikan adanya kontrol terhadap tindakan
eutanasiaagar tidak disalahgunakan oleh berbagai pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
pribadi.

Hukum Kriminal
Pengaturan eutanasia terdapat dalam kitab perundang-undanganKUHP dalamBab
XIX tentang kejahatan terhadap nyawa orang, Pasal 344 yang berbunyi:

8
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu
sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Eutanasia secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Eutanasia aktif - Yang dimaksud eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara
langsung dari dokter atas persetujuan pasien atau pihak keluarga untuk
mempercepat kematian pasien, agar terlepas dari penderitaan yang berkepanjang.
2. Eutanasia pasif - Yang dimaksud eutanasia pasif yaitu suatu tindakan
secara tidak langsung dari dokter atas persetujuan dari pasien atau pihak keluarga
untuk menghentikan segala upaya medis yang dianggap tidak memberikan
perubahan terhadap pasien.

Eutanasia Aktif
Dalam Pasal 344 KUHP kalau dicermati ada beberapa unsur yang terkandung di
dalamnya yaitu:
 Perbuatan: menghilangkan nyawa
 Objek: nyawa orang lain
 Atas permintaan orang itu sendiri
 Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.
Unsur-unsur di atas harus dapat dipenuhi untuk menyatakan suatu perbuatan itu
merupakan tindakan eutanasia. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut harus dapat dibuktikan
guna untuk memastikan perbuatan itu memang merupakan tindakan eutanasia.Seperti yang
sudah diuraikan sebelumnya permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang
ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi
kepentingan orang yang meminta. Adapun bagi orang yang diminta, terdapat kebebasan
untuk memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dan dinyatakan
dengan sungguh-sungguh itu akan dipenuhi atau tidak.Apabila seorang dokter menyetujui
apa yang diminta oleh pasiennya (permintaan mati) secara langsung maka, dokter dapat
dikenakan Pasal 344 KUHP. Tindakan tersebut tentunya sudah dapat dibuktikan
sebelumnya dan perbuatan itu pun sudah terjadi serta tindakan dokter tersebut telah
memenuhi syarat-syarat pemidanaan seperti:

9
 Sudah ada pengaturannya terlebih dahulu
 Adanya perbuatan
 Perbuatan tersebut memang melanggar hukum
 Adanya kesalahan, dan
 Dapat dipertanggung jawabkan
Selain itu, dokter juga sudah melanggar ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia,
sesuai dengan Pasal 10, yang berbunyi:
“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.”
Untuk eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang
berkaitan atau dapat menjelaskan dasar hukum dilakukannya eutanasia bagi orang atau
keluarga yang mengajukan untuk dilakukan eutanasia:
1. Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
2. Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selamanyalima tahun atau kurungan selamanya satu tahun.
3. Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.10
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2
bentuk eutanasia, yaitu eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu
sendiri dan eutanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap
pasien/korban sebagaimana secara jelas diatur dalam Pasal 344 KUHP dan 304 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:

10
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”
Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu,diancam dengan pidanapenjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun
tetap diancam pidana bagi pelakunya.11
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia eutanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif
di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.Eutanasia dilihat dalam Kode Etik Kedokteran yaitu:
1. Eutanasia aktif merupakan suatu tindakan yang dilarang sesuai dengan Kode
Etik Kedokteran Indonesia Pasal 10 yang berbunyi: “Seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
2. Eutanasia pasif dibolehkan jika dapat dibuktikan dengan tepat dan akurat
berbagai ketentuan yang ada. Sebagai contoh seperti: penyakit tersebut memang
tidak dapat disembuhkan lagi (upaya medis tidak ada gunannya lagi jika
pengobatan itu diteruskan).
Dengan adanya hukum-hukum tersebut, maka Indonesia dengan tegas menolak
dilakukan eutanasia dalam keadaan apapun, dan akan memberikan sanksi tegas bagi
siapapun yang melanggar hukum-hukum tersebut. Tetapi dibeberapa negara lain ada yang
menyetujui tindakan eutanasia, seperti Negara Belanda, Swiss, Luxemberg, dan Belgia.
Negara-negara ini setuju dengan dilakukannya eutanasia karena negera tersebut didasarkan

11
kepada suatu paradigma yang melihat bahwa manusia selain memiliki hak untuk hidup,
mereka juga mempunyai hak untuk mati “The right to die”. Menurut mereka, jika pasien
sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.
Mereka menganggap bahwa eutanasia dengan bantuan hanya sekadar mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang tidak
perlu. Negara tersebut sudah mengatur hukum eutanasia secara tegas. Beberapa contoh
yang dapat disebutkan antara lain:
1. Belanda
Tanggal 10 april 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengijinkan eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak
tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Dalam karangan yang
berjudul “The Slippery Slope Of Dutch Eutanasia” dilaporkan bahwa sejak tahun
1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan untuk melakukan eutanasia dan tidak
akan dituntut dipengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan, seperti mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat dan membuat
laporan dengan menjawab setiap 50 pertanyaan.
2. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri.
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir september
2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuat tindakan eutanasia telah
dilakukan setiap tahun sejak legalisasi tersebut. Namun mereka masih mengkritik
sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga ada upaya untuk menciptakan
birokrasi kematian.
4. Luxemburg
19 februari 2008 parlemen negara ini menjadi negara yang selanjutnya
menyetujui tindakan eutanasia.
5. Australia

12
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
6. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara jelas
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-
undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-
syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke
atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan
meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali
pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya)
dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis
serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada
dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh
terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama

13
tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia.
7. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania
Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan
sebuah proposal kepada Ulama Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics)
agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang
lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk
melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada
Belanda).Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British
Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk
apapun juga.
8. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di
Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai
"eutanasia pasif". Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif ".
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka
hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh
dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada
kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang
melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke

14
tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.

II.4 Kode Etik Kedokteran


Berdasarkan pasal 344 KUHP, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,
apabila ia melakukan eutanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia
tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”.
Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan:

“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi


‘hidup’ makhluk insani”.

Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:


a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
akan mungkin sembuh lagi.

Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya


untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan eutanasia dalam tiga arti,
yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.

15
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka eutanasia mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang eutanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis
adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates
jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia.12
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik
kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali,
maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman
yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah
diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan
keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan
demikian, dasar etik moral untuk melakukan eutanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum
ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang eutanasia. Pasal-pasal KUHP justru

16
menegaskan bahwa eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula
dengan eutanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Eutanasia justru bertentangan radikal
dengan hakikat itu.

II.5 Agama dan Eutanasia


II.5.1 Islam
Eutanasia dari perspektif Al-Quran
Islam melarang eutanasia.Hal ini didasarkan pada dua sumber yaitu Al-Quran dan
hadist. Pertama dari Mendukung, di mana disebutkan dalam beberapa ayat seperti:
 "…Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu" (An-Nisa’, ayat 29)
 "....janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya).."
(Al-An’am, ayat 151)
Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian (Muslim) di Eropa telah menyatakan:
"dilarang untuk sengaja mengakhiri (dengan niat) atau untuk mempercepat kematian dari
setiap orang."
Muslim tidak bisa membunuh, atau akan terlibat dalam pembunuhan lain, kecuali
dalam kepentingan keadilan. Namun, Kode Islam Etika Kedokteran menyatakan "adalah
sia-sia untuk tetap berusaha menjaga pasien dalam keadaan vegetatif dengan cara heroik ...
Dokter bertujuan untuk mempertahankan proses kehidupan dan tidak proses sekarat". Ini
berarti dokter dapat berhenti berusaha untuk memperpanjang hidup dalam kasus di mana
tidak ada harapan untuk sembuh.14
Menurut Islamic Medical Association of America (IMANA) "Ketika kematian
menjadi tak terelakkan, seperti yang ditentukan oleh dokter yang merawat pasien yang sakit
parah, pasien harus dibiarkan untuk mati tanpa prosedur yang tidak perlu." IMANA
mengatakan bahwa menghentikan alat pendukung kehidupan bagi pasien yang berada
dalam keadaan vegetatif persisten diperbolehkan.Hal ini karena mereka menganggap semua
alat dukungan kehidupan mekanik sebagai tindakan sementara. Sementara menghentikan
alat pendukung kehidupan diperbolehkan, mempercepat kematian dengan penggunaan obat

17
penghilang rasa sakit tertentu tidak diperbolehkan karena hal ini akan sama dengan
eutanasia.13

UlamaKepimpinan Agama Islam MenentangEutanasia


Islamic European Council for Fatwa and Research (ECFR) telah memutuskan
bahwa "aktif" dan "pasif" eutanasia-- atau pembunuhan belas kasihan-- dan bunuh diri
semua dilarang dalam Islam. Menutupi sesi ke-11 yang diadakan di ibukota Swedia
Stockholm dari 01-06 Juli, Ulama mengatakan, "Hal ini dilarang untuk pasien untuk
membunuh dia / dirinya sendiri atau untuk orang lain untuk membunuh dia / dia bahkan
jika pasien sendiri memungkinkan mereka untuk melakukannya. Kasus pertama bunuh diri,
sedangkan yang kedua adalah mengambil kehidupan. " Ulama memutuskan bahwa
penghentianalat pendukung kehidupan untuk orang mati secara klinis diperbolehkan. "Alat
ini membantu pasien bernapas dan mengaktifkan siklus darah mereka, tetapi jika mereka
sudah mati secara klinis dan telah kehilangan semua indera mereka karena kerusakan otak,
tidak memungkinkan untuk meneruskan alat penunjang kehidupan tersebut, karena biaya
rumah sakit yang banyak dan mungkin sangat dibutuhkan oleh pasien lain."

II.5.2. Budhism
Pandangan umum terhadap Eutanasia
Umat Buddha tidak memiliki kesepakatan dalam pandangan mereka
terhadapeutanasia, dan ajaran Buddha tidak secara jelas menjelaskan mengenaieutanasia.
Sebagian besar umat Buddha (seperti hampir semua orang) menentang eutanasia secara
sukarela. Pandangan mereka terhadapeutanasia sukarela masih kurang jelas. Pandangan
yang paling umum adalah bahwa eutanasia sukarela adalah salah, karena hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran seseorang dalam keadaan buruk dan salah satu
penyebabnya adalah penderitaan fisik. Meditasi dan penggunaan yang tepat dari obat
penghilang nyeri seharusnya memungkinkan seseorang untuk mencapai keadaan di mana
mereka tidak sakitl, dan sehingga tidak lagi memikirkan eutanasia atau bunuh diri. Umat
Buddha juga berpendapat bahwa membantu untuk mengakhiri hidup seseorang cenderung
menempatkan pelaku ke keadaan mental yang buruk, dan ini juga harus dihindari.15
a. Menghindari bahaya

18
Budhame menekankan untuk menghindari mengakhiri kehidupan.Jadi
mengakhiri kehidupan secara langsung bertentangan dengan ajaran Buddha dan
eutanasia sukarela harus dilarang. Ketentuan mengenai hukum monastik Buddha
secara jelas melarangnya.Penganut agama Budha yang tidak mengikuti ketentuan
ajaran Buddha, tetapi mengambil bagian dalam eutanasiaadalah mereka yang telah
salah membuat keputusan
b. Karma
Umat Buddha menganggap kematian sebagai transisi. Orang yang
meninggal akan terlahir kembali ke kehidupan baru, yang kualitasnya adalah hasil
dari karma mereka. Hal ini menghasilkan dua pendapat. Mereka tidak tahu apa yang
akan terjadi pada kehidupan berikutnya. Jika kehidupan berikutnya menjadi lebih
buruk dari kehidupan orang sakit tersebut pada saat ini adalah jelas salah untuk
mengizinkan eutanasia, yaitu memperpendek keadaan buruk kehidupan ini untuk
meneruskan kehidupan yang lebih buruk. Pendapat kedua adalah bahwa
memperpendek hidup dapat mengganggu kerja dari karma, dan mengubah
keseimbangan karma yang dihasilkan apabila kehidupan dipersingkat.
c. Eutanasia sebagai bentuk membunuh diri
Terdapat kesulitan lain jika kita melihat eutanasia sukarela sebagai bentuk
bunuh diri. Buddha sendiri menunjukkan toleransi terhadap bunuh diri oleh para
biarawan dalam dua kasus. Tradisi Buddha Jepang mencakup banyak cerita bunuh
diri oleh para rahib, dan bunuh diri digunakan sebagai senjata politik oleh para
biksu Budha selama perang Vietnam. Tetapi ini adalah biarawan, dan tentu
membiliki perbedaan. Dalam Budhisme, cara hidup berakhir, memiliki dampak
yang mendalam pada cara hidup baru yang akan dimulai. Jadi keadaan pikiran pada
saat kematian adalah penting - pikiran mereka harus tanpa pamrih dan tercerahkan,
bebas dari kemarahan, kebencian atau ketakutan. Hal ini menunjukkan bahwa
bunuh diri (dan eutanasia) hanya disetujui untuk orang-orang yang telah mencapai
keadaan pemikiran yang damai.

II.5.3 Hindu

19
Pandangan Umum terhadap Eutanasia
Ada beberapa cara pandang umat Hindu terhadap eutanasia. Kebanyakan umat
Hindu akan mengatakan bahwa dokter tidak harus menerima permintaan pasien untuk
eutanasia karena ini akan menyebabkan jiwa dan tubuh untuk dipisahkan pada waktu yang
tidak wajar. Hasilnya akan merusak karma dokter dan pasien.
Umat Hindu lainnya percaya bahwa eutanasia tidak bisa dibiarkan karena
melanggar ajaran ahimsa (tidak membahayakan). Namun, beberapa orang Hindu
mengatakan bahwa dengan membantu untuk mengakhiri hidup yang menyakitkan,
seseorang melakukan perbuatan baik dan memenuhi kewajiban moral mereka. Hindu
kurang tertarik pada filosofi Barat, melainkan berfokus pada konsekuensi dari setiap
tindakan. Bagi umat Hindu, budaya dan iman tidak dapat dipisahkan. Jadi meskipun banyak
keputusan moral yang diambil oleh umat Hindu tampaknya lebih dipengaruhi oleh budaya
tertentu mereka dibandingkan dengan pemahaman dari iman mereka.16
Pembunuhan
Membunuh (eutanasia, pembunuhan, bunuh diri) mengganggu kemajuan jiwa yang
tewas ke arah pembebasan. Hal ini juga membawa karma buruk untuk si pembunuh, karena
melanggar prinsip tidak membahayakan. Apabila jiwanyareinkarnasi dalam tubuh fisik lain,
jiwa itu akan menderita seperti yang terjadi sebelumnya karena karma yang sama masih
ada.
Kematian
Sebuah doktrin karma menanamkan prinsip bahawa umat Hindu harus mencoba
untuk memastikan kehidupan mereka dalam keadaan baik sebelum mereka mati,
memastikan bahwa tidak ada urusan yang belum selesai, atau ada kesedihan yang tinggal.
Mereka mencoba untuk memasuki fasa Sannyasin - Individu yang telah meninggalkan
segalanya. Kematian yang ideal adalah kematian sadar, dan ini berarti perawatan paliatif
akan menjadi masalah jika mereka mengurangi kewaspadaan mental. Keadaan pikiran yang
mengarahkan seseorang untuk memilih eutanasia dapat mempengaruhi proses reinkarnasi,
karena pengalaman akhir seseorang setara dengan proses reinkarnasi. Ada dua pandangan
dalam Hindu terhadapeutanasia:

20
 Dengan mengakhiri penderitaan individu, orang tersebut melakukan kebaikan dan
memenuhi tanggungjawab moralnya.
 Dengan membantu untuk mengakhiri hidup walaupun penuh dengan penderitaan,
seseorang mengganggu waktu siklus kematian dan kelahiran kembali. Ini adalah hal
yang buruk untuk dilakukan, dan mereka yang terlibat dalam eutanasiaakan
mengambil karma yang tersisa dari pasien.
Perdebatan yang sama menunjukkan bahwa menjaga seseorang yang hidup secara
artifisial dengan bergantung pada alat pendukung kehidupan adalah hal yang buruk untuk
dilakukan. Namun, penggunaan alat pendukung kehidupan sebagai bagian dari upaya
sementara untuk penyembuhan bukanlah hal yang buruk

II.5.4 Katolik
Pandangan Umum terhadap Eutanasia
Ajaran Katolik hampir secara keseluruhan mengecameutanasia aktif sebagai
pembunuhan oleh karena itu diklasifikasikan sebagai dosa berat. Alasan untuk ajaran ini
adalah bahwa Allah berkuasa tertinggi ciptaan-Nya dan ada tujuan untuk penderitaan
manusia. Dalam Perjanjian Baru ada setidaknya lima tempat yang berbeda di mana ada
perintah Alkitab, "Jangan membunuh" (Matius 05:21, 19:18, Markus 10:19, Lukas 18:20,
Roma 13: 9). Berdasarkan ayat-ayat ini, Gereja Katolik Roma menentangeutanasia.

Pendapat tokoh yang mewakili Gereja


Hal ini didukung oleh pendapat dari;
 Paus Francis dari Vatikan mengatakan bahwa eutanasia adalah "kasih sayang
palsu;" sebaliknya, ia menekankan perlunya untuk ". Mengurus orang-orang,
terutama ketika mereka menderita, lemah dan tak berdaya" Untuk Paus, "Tidak ada
yang progresif tentang memecahkan masalah dengan menghilangkan kehidupan
manusia. " Itulah yang "mafia lakukan. Ada masalah: kita menyingkirkan orang
ini. . . "
 Canadian Conference of Catholic Bishops benar-benar tegas tidak setuju dengan
segala upaya membenarkan atau mendukung 'hak' untuk bunuh diri yang dibantu

21
atau eutanasia, "Hamilton Uskup Doug Crosby, presiden Canadian Conference of
Catholic Bishops (CCCB)

 Uskup Agung Gomez mengatakan hukum adalah salah. "Bagaimana salah


keputusan ini, akan diukur dalam kehidupan yang akan hilang dalam tahun-tahun
mendatang - kehidupan orang-orang miskin, orang tua, orang cacat, dan orang-
orang yang bergantung pada bantuan publik. Logika bunuh diri yang dibantu dokter
tidak berhenti dengan golongan sakit parah, "uskup agung memperingatkan.17

II.5.5 Protestan
Pandangan umum terhadap Eutanasia
Dalam agama Protestan ada berbagai pandangan tentang eutanasia.Mereka yang
menentang euthanasia dan mengutip ajaran Yesus terhadap pembunuhan dan bunuh diri.
Mereka juga akan sangat berpendapat bahwa tidak ada seorangpun bisa "bermain Tuhan"
dan menentukan kapan kehidupan manusia harus dibatasi. Berikut adalah contoh
perdebatan al kitab tentang eutanasia;
Eutanasia dari perspektif Al-kitab
Dalam kasus Raja Saul (I Samuel 31: 1-6), yang terluka parah dalam pertempuran
melawan orang Filistin; ia memohon untuk pembawa senjatanya sendiri untuk
membunuhnya daripada membiarkan dia untuk mati perlahan-lahan dalam penyiksaan atau
menderita penghinaan dari musuh yang akan membawanya sebagai tawanan. Saul mencoba
bunuh diri ketika pembawa senjatanya menolak.16
Kemudian (II Samuel 1: 1-10), orang Amalek dari negara yang netral lewat dan
Saul memohon dia untuk mengambil hidupnya. "Berdiri di samping aku dan bunuh aku
untuk penderitaan telah menangkap aku tetapi aku masih tetap hidup" (ayat 9). Jawabannya
adalah persis seperti orang yangmelakukan eutanasia. "Jadi aku berdiri di sampingnya dan
membunuh dia karena aku yakin bahwa dia tidak bisa hidup setelah ia jatuh" (ayat 10). Apa
yang terjadi? Tuhan mengecamnya!
Orang Amalek dibunuh karena tindakannya, tapi kenapa? David menggambarkan
tindakan itu sebagai "menempatkan tangan untuk menghancurkan" (II Samuel 1:14). Dari

22
penilaian David kita tampaknya harus menyimpulkan bahwa itu benar-benar tidak dapat
diterima oleh Tuhan, terlepas dari motif di balik itu. David menyamakan tindakan
Amelakite dengan tindakan pembunuhan dan kita dibiarkan untuk menganggap bahwa ia
mencerminkan sikap Alkitab terhadap kesucian hidup dan pentingnya tetap
melestaraikannya.18
Penderitaan memungkinkan seorang Kristen untuk belajar kerendahan hati.
Melakukaneutanasia aktif menyebabkan pelakunya berdosa, dan pada saat yangsama
merupakan tindakan bunuh diri untuk orang yang meminta kematian tersebut. Mengakhiri
kehidupan sendiri, meskipun mungkin dengan tangan orang lain adalah tetap pembunuhan -
bunuh diri.
UmatKristen harus tahu bahwa eutanasia adalah isu yang seharusnya tidak
diabaikan.Eutanasia memberi efeklangsung kepada mereka di mana mereka harus hidup.
Pada saat yang sama, eutanasia bertentangan langsung dengan ajaran Alkitab.

II. 6. Transplantasi

Secara etimologis transplantasi berasal dari bahasa Inggris, transplantation (kata


benda) dari kata kerja (verb) to transplant, yang menurut Taylor berarti ”to take up and
plant to another” (mengambil dan menempelkan pada tempat lain). Sedangkan menurut
Hornby, dkk, to transplant, diartikan dengan ”to move from one place to another”
(memindahkan dari satu tempat ke tempat lain). Kedua makna ini bersifat umum
mencakup tumbuhan, hewan dan manusia. Sebenarnya kata transplantasi pada awalnya
digunakan pada tumbuhan dengan makna pencangkokan namun dalam
perkembangannya terjadi perbedaan makna antara pencangkokan dengan transplantasi
dari sisi prosesnya.

Secara terminologi transplantasi adalah ”pemindahan organ tubuh yang


mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat
dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa,
harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.” Transplantasi menurut istilah
kedokteran berarti ”memindahkan jaringan dari suatu tempat ke tempat lain,” atau
”pemindahan bahan yang hidup (sel, jaringan atau organ) dari suatu tempat ke tempat
lain dalam susunan yang berbeda.” Transplantasi juga dapat pula diartikan dengan suatu
upaya medis untuk memindahkan jaringan, sel atau organ tubuh dari donor kepada
resipien secara okulasi.

23
Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan
metode kerja berupa ”pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat
lain lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu.” Dengan
demikian transplantasi tidak hanya diterapkan untuk organ tubuh tetapi juga pada
jaringan dan sel, baik manusia maupun hewan.

II.6.1 Jenis-jenis Transplantasi Organ

Berdasarkan jenis transplantasi yang digunakan dalam dunia kedokteran, transplantasi


terdiri dari dua jenis: 20

a. Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata.

b. Transplantasi organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.

Ditinjau dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, transplantasi dapat
dibedakan menjadi 3:

a. Autotransplantasi
Transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada satu
individu. Atau pencangkokan internal dalam tubuh seseorang. Misalnya, orang
yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan dari bagian
badannya

b. Homotransplantasi (allottransplantasi)
Transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada individu
yang sama jenisnya. Donor dan resipien sama-sama manusia tetapi berlainan
individu. Misalnya, penderita gagal ginjal, ditransplantasi dengan ginjal orang lain,
baik donor dari orang hidup maupun dari orang mati.

c. Heterotransplantasi (Xenotransplantasi)
Transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada dua individu
yang berbeda jenis. Misalnya mentransplantasi jaringan atau organ dari babi
(khususnya jantung babi) ke manusia. Menurut Tim Klinik RS Dr. Sardjito
Yogyakarta membuktikan, bahwa katup jantung babi paling sesuai sebagai katub
jantung manusia. 20

Di samping itu berdasarkan kondisi donornya, transplantasi dapat dibedakan dalam


tiga tipe:

a. Donor dalam kondisi hidup sehat.21

24
Dalam tipe diperlakukan seleksi yang cermat dan harus diadakan general
chek up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan menyeluruh) baik terhadap
donor maupun resipien. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan
transplantasi yang disebabkan oleh adanya penolakan tubuh rispien dan juga untuk
menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik 1 dari
1.000 donor meninggal dan si donor juga was-was dan merasa tidak aman, karena
menyadari dengan mendonorkan sebuah ginjal misalnya dia tidak akan
memperoleh kembali ginjalnya seperti semula.

b. Donor dalam keadaan koma.


Jika donor dalam keadaan koma, atau diduga kuat akan meninggal segera,
maka dalam pengambilan organ tubuh donor membutuhkan alat kontrol dan
penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian
alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan
organ tubuhnya. Hanya kriteria mati secara medis/klinis dan yuridis, perlu
ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria mati itu ditandai dengan
berhentinya denyut jantung dan pernapasan, atau ditandai dengan berhentinya
fungsi otak.

c. Donor dalam keadaan meninggal


Dalam tipe ini organ tubuh yang akan ditransplantasi diambil saat donor
sudah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis. Di samping itu harus
diperhatikan daya tahan organ yang akan ditransplantasikan, apakah masih ada
kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel dan jaringan
sudah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.22

II.6.2 Epidemiologi

25
Sumber : http://www.ahc.umn.edu/img/assets/26104/Organ_Transplantation.pdf

Sumber : http://www.ahc.umn.edu/img/assets/26104/Organ_Transplantation.pdf

II.6.3 Tujuan Transplantasi

Transplantasi sebagai suatu upaya untuk menghindarkan manusia dari penderitaan yang
secara jasmaniah mengalami cacat atau menderita suatu penyakit yang mengakibatkan
rusaknya fungsi suatu organ, jaringan atau sel, pada umumnya bertujuan:

a. Menyembuhkan penyakit yang diderita resipien, misalnya kebutaan, rusaknya


jantung, ginjal dan sebagainya.
b. Memulihkan kembali fungsi suatu organ, jaringan, atau sel yang telah rusak atau
mengalami kelainan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis, misalnya bibir

26
sumbing. Sedangkan tujuan utama dari transplantasi cornea mata bertujuan untuk
memulihkan penglihatan.
Tujuan itu dibagi dua yaitu terapeutik (pengobatan) dan tektonik (memperbaiki bentuk),
serta optik (untuk memperoleh penglihatan maksimal). Berdasarkan tingkatan tujuannya,
tujuan transplantasi antara lain:

a. Semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang jika tidak dilakukan dengan
transplantasi tidak akan menimbulkan kematian, seperti transplantasi cornea mata
dan menambal bibir sumbing. Transplantasi jenis ini bukan untuk menghindari
kematian, tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup. Karena
itu dia berada pada tingkatan hajiyat (dihajatkan), belum sampai pada tingkat
darurat.
b. Sebagai alternatif terakhir yang jika tidak dilakukan dengan transplantasi akan
menimbulkan kematian, seperti transplantasi ginjal, hati, dan jantung. Transplantasi
di sini telah berada pada tingkat darurat.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan utama transplantasi adalah bersifat
kemanusiaan; menghindarkan suatu kematian yang diduga akan terjadi tanpa dilakukan
transplantasi, dan melepaskan derita kesakitan atau cacat biologis. Dengan demikian tujuan
utama transplantasi adalah untuk mewujudkan keselamatan bagi manusia khususnya
memelihara keselamatan jiwa resipien.

II.6.4 Proses Transplantasi

Komputer itu menghasilkan daftar peringkat pasien transplantasi yang dapat menerima
organ donor. Informasi bahwa faktor-faktor ke dalam daftar peringkat ini meliputi:

a. Jenis organ, golongan darah dan ukuran organ


b. Jarak dari organ donor ke pasien
c. Tingkat urgensi medis (tidak dipertimbangkan untuk calon transplantasi paru)
d. Waktu pada daftar tunggu
Setelah generasi daftar peringkat, organ yang disumbangkan ditawarkan ke yang pertama
pusat transplantasi pasien. Namun, orang pertama di daftar peringkat mungkin tidak
menerimaorgannya. Faktor tambahan yang harus dievaluasi sebelum organisasi pengadaan
organ memilih kandidat yang tepat adalah:

a. Apakah pasien sudah siap dan mau segera ditransplantasikan?


b. Apakah pasien cukup sehat untuk ditransplantasikan?
Begitu kandidat yang tepat berada, organisasi pengadaan organ mengambil organ dan
mengirimkannya ke pusat transplantasi di mana transplantasi akan dilakukan Seluruh
proses ini harus terjadi dengan sangat cepat karena organ hanya dapat transplantasi untuk

27
jangka waktu yang singkat setelah mereka dihapus. Bila pasien transplantasi siap untuk
organ donor, pusat transplantasi itu secara operasi memindahkan dan mengganti organ yang
gagal atau gagal melalui general berikut prosedur:

1. Buat sayatan di tubuh di dekat organ yang gagal

2. Potong arteri dan vena yang mengalir ke organ

3. Lepaskan organ melalui sayatan

4. Ambil organ baru dan masukkan ke dalam tubuh melalui sayatan

5. Sambungkan organ baru ke arteri dan vena

6. Tutup sayatan

Setelah transplantasi, pasien memulai perjalanan panjang menuju pemulihan. Jika operasi
berjalan dengan baik, pasien tetap harus menghadapi kemungkinan penolakan. Penolakan
adalah prosesnya dimana tubuh berjuang melawan organ yang baru ditanamkan. Penolakan
itu berbahaya bagi keberhasilan transplantasi karena tubuh berjuang melawan yang baru
organ seperti virus atau bakteri. Sebenarnya, sistem kekebalan tubuh memperlakukan organ
karena akan ada penjajah asing berbahaya lainnya. Sistem kekebalan tubuh membuat
protein disebut antibodi yang masuk ke organ transplantasi dan mencoba membunuhnya.
Untuk menahan antibodi yang mengancam organ baru, transplantasi pasien harus memakai
obat imunosupresan yang kuat untuk menjaga tingkat antibody turun cukup rendah agar
organ bisa berintegrasi ke dalam tubuh dan mulai bekerja.20

II. 7 Transplantasi Organ Ditinjau Dari Berbagai Aspek


II.7.1 Aspek Etik Transplantasi Organ

28
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien degan
kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etik kedokteran, tindakan ini wajib
dilakukan jika ada indikasi,berlandaskan beberapa pasal dalam kode etik kedokteran
Indonesia tahun 2012, yaitu 23:
1. Pasal 2.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.
2. Pasal 10.
Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup
insani.
3. Pasal 11.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita.
Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981, pada hakekatnya
telah mencakup aspek etik, terutama mengenai dilarangnya memperjual belikan alat dan
jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi material lainnya.

Berdasarkan biomedikal Etik


Transplantasi dibutuhkan dua pihak yaitu donor dan resipien. Donor digolongkan
men`jadi donor hidup dan donor mati. Donor hidup dapat berasal dari keluarga dan non-
keluarga. Dalam hal perkembangannya dimana kemiskinan dan tingginya tingkat
kebutuhan akan organ menyebabkan timbulnya donor komersil yaitu orang yang
memberikan organnya dengan imbalan uang. Transplantasi dipandang dari sudut etika
harus dipertimbangkan dari sudut 4 (empat) prinsip dasar Biomedikal Etik23:
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten
dan memiliki kekuatan memnuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan
nilai atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan
bentuk respek terhadap seseoran, atau dipandang sebagai persetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan

29
kebebasan individu yang menuntut pembelaan diri. Jika dikaitkan dengan kasus
transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan adalah seseorang
melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan
tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan
yang telah dipertimbangkan secara matang.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam
situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dalam Transplantasi Organ lebih relevan terhadap alokasi
organ, yang menyangkut pada perlakukan yang adil, sama dan sesuai dengan
kebutuhan pasien yang tidak terpengaruh oleh faktor lain.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti dalam pelaksanaan transplantasi organ, harus diupayakan
semaksimal mungkin bahwa praktek yang dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya/
cedera fisik dan psikologis pada klien.

II.7.2 Transplantasi Organ Dari Aspek Agama

30
Agama memegang peranan penting dalam pengaturan mengenai donasidan

transplantasi organ yang beralaku di seluruh dunia. Sehubungan dengan peranan penting

agama dalam masyarakat indonesia, mengenai cara pandangmasyarakat indonesia terhadap

donasi dan transplantasi organ tubuh manusia di Indonesia, maka pemabahasan mengenai

transpalntasi dan donasi organ inimeliputi seluruh agama sebagaimana dimaksud dalam

Penetapan Presiden no 14tahun 1967.

II.7.3.I Transplantasi Organ dari Segi Agama Islam

Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahan

sendiri - sendiri, yaitu24;

a. Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan general check

up, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resepient), demi menghindari

kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resepien, dan

sekaligus mencegah resiko bagi donor.

b. Donor dalam hidup koma atau di duga akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan

organ tubuh donor memerlukan alat control dan penunjang kehidupan, misalnya dengan

bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat tersebut di cabut setelah pengambilan
organ tersebut selesai.

c. Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal

menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yudiris dan harus

diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau di transplantasi.

Hingga kini, tidak ada ulama yang mengajukan argumen tertulis yang secara

terang-terangan mendukung transplantasi organ. Namun demikian, ulama di berbagai

belahan dunia telah menulis argumen-argumen yang mendukung maupun mengeluarkan

fatwa-fatwa keagamaan mengenai transplantasi organ.

31
Para ulama yang mendukung pembolehan transplantasi organ berpendapat bahwa

transplantasi organ harus dipahami sebagai satu bentuk layanan altruistik bagi sesama

muslim.24

Hadis Nabi SAW :”Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhya

Allah tidak meletakkan suatu pentakit, kecuali dia juga meletakkan obat

penyembuhnya,selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua.”(H.R. Ahmad, Ibnu Hibban

dan Al-Hakim dari Usamah Ibnu Syuraih)24

Hadist tersebut menunjukkan, bahwa wajib hukumnya berobat bila sakit, apapun
jenis dan macam penyakitnya, kecuali penyakit tua. Oleh sebab itu, melakukan

transplantasi sebagai upaya untuk menghilangkan penyakit hukumnya mubah, asalkan tidak

melanggar norma ajaran islam.24

Transplantasi organ hukumnya mubah dan dapat berubah hukumnya sesuai dengan

situasi dan kondisi yang dihadapi. Transplantasi ini dapat di qiyaskan dengan donor darah

dengan illat bahwa donor darah dan organ tubuh dapat dipindahkan tempatnya, keduannya

suci dan tidak dapat diperjual belikan. Tentu saja setelah perpindahan itu terjadi maka

tanggungjawab atas organ itu menjadi tanggungan orang yang menyandangnya. Kaidah-

kaidah hukum wajib dijunjung dalam melakukan trasnplantasi ini antaranya :24

Tidak boleh menghilangkan bahaya dengan menimbulkan bahaya lainnya artinya:

a. Organ tidak boleh diambil dari orang yang masih memerlukannnya

b. Sumber organ harus memiliki kepemilikan yang penuh atas organ yang diberikannnya,

berakal, baligh, ridho dan ikhlas dan tidak mudharat bagi dirinya.

c. Tindakan transplantasi mengandung kemungkinan sukses yang lebih besar dari

kemungkinan gagal.

d. Organ manusia tidak boleh diperjualbelikan sebab manusia hanya memperoleh hak

memanfaatkan dan tidak sampai memiliki secara mutlak.

32
Pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara medis

maupun yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang

mengharamkan. Yang membolehkan menggantungkan pada dua syarat sebagai berikut:24

1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah

menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.

2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi

repisiendibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.

Adapun alasan membolehkannya adalah sebagai berikut:


1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 195 di atas.

Ayat tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa Islam tidak membenarkan pula

orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau tidak berfungsi organ tubuhnya

yang sangat vital, tanpa ausaha-usaha penyembuhan termasuk pencangkokan di

dalamnya.

2. Surat Al-Maidah: 32.Artinya;”Dan barang siapa yang memelihara kehidupan

seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”

Ayat ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa

manusia.

3. Hadits

Artinya:”Berobatlah wahai hamba Allah, karen sesungguhnya Allah tidak meletakkan

penyakit kecuali Dia meletakkan jua obatnya, kecuali satu penyakit yang tidak ada

obatnya, yaitu penyakit tua.”

Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan cara transplantasi organ tubuh.

1. Kaidah hukum Islam

Artinya:”Kemadharatan harus dihilangkan”.Dalam kasus ini bahaya (penyakit)

harus dihilangkan dengan cara transplantasi.

33
2. Menurut hukum wasiat, keluarga atau ahli waris harus melaksanakan wasiat orang

yang meninggal.Dalam kasus ini adalah wasiat untuk donor organ tubuh.

Sebaliknya, apabila tidak ada wasiat, maka ahli waris tidak boleh melaksanakan

transplantasi organ tubuh mayat tersebut.

Akan tetapi Mendonorkan Organ tubuh dapat menjadi haram hukumya apabila :

1. Transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup

sehat, dengan alasan :

Firman Allah dalam Alqur’an S. Al-Baqarah ayat 195, bahwa ayat tersebut
mengingatkan , agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi

harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri

donor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.

Melakukan transplantasi dalam keadaan dalam keadaan koma.Karena hal itu dapat

mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah. Dalam hadis nabi

dikatakan : “ Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula

membuat madharat pada orang lain.”(HR. Ibnu Majah, No.2331)

2. Penjualan Organ Tubuh Sejauh mengenai praktik penjualan organ tubuh

manusia, ulama sepakat bahwa praktik seperti itu hukumnya haram berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan berikut :

Seseorang tidak boleh menjual benda-benda yang bukan miliknya.Sebuah

hadis menyatakan, “ Diantara orang-orang yang akan diminta pertanggungjawaban

di akhirat adalah mereka yang menjual manusia merdeka dan memakan

hasilnya.”Dengan demikian , jika seseorang menjual manusia merdeka, maka

selamanya si pembeli tidak memiliki hak apapun atas diri manusia itu, karena sejak

awal hukum transaksi itu sendiri adalah haram. Penjualan organ manusia bisa

mendatangkan penyimpangan, dalamarti bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan

34
diperdagangkannya organ-organtubuh orang miskin dipasaran layaknya komoditi

lain.

II.7.3.2 Transplantasi Organ dari Segi Agama Kristen

Pengorbanan dan menolong sesama merupakan dasar ajaran bagi seluruh umat

kristiani. Bagi umat kristen menolong sesama merupakan perbuatan cinta dan mengikuti
teladan Yesus.

Di alkitab tidak dituliskan mengenai mendonorkan organ tubuh, selama niatnya

tulus dan tujuannya kebaikan itu boleh-boleh saja terutama untuk membantu kelangsungan

hidup suatu nyawa (nyawa orang yang membutuhkan donor organ), bukan karena

mendonorkan untuk mendapatkan imbalan materi/uang untuk si pendonor organ. Akan

lebih baik lagi bila si pendonor sudah mati dari pada saat si pendonor belum mati, karena

saat masih hidup organ tubuh itu bagaimanapun penting artinya, sedangkan saat sudah mati

tidak dibutuhkan tubuh.25

II.7.3.3 Transpalntasi Organ dari Segi Agama Katolik

Secara umum, pandangan agama katolik mengenai donasi organ dan jaringan

adalah perbuatan amal dan cinta kasih. Donor organ merupakan keputusan individu yang

karena tujuan mulianya dapat melakukan setiap saat untuk sesama.

Bahkan , dalam buku Ensiklik " Evangelium Vitae " ( " The Gospel of Life " , 1995), ia

mengemukakan bahwa salah satu cara untuk memelihara budaya asli hidup " adalah

sumbangan organ , dilakukan secara etis dapat diterima , dengan maksud untuk

35
menawarkan kesempatan kesehatan dan bahkan kehidupan itu sendiri untuk orang sakit

yang kadang-kadang tidak memiliki harapan lain “26

Gereja menganjurkan untuk mendonorkan organ tubuh sekalipun jantung, asal saja

pedonor sudah benar-benar mati artinya bukan mati secara medis yaitu otak yang mati,

seperti koma, vegetative state atau kematian medis lainnya. Pada keadaan hidup dan sehat kita

dianjurkan untuk menolong hidup orang lain dengan menjadi donor.

Bila donor tidak menuntut pedonor harus mati, seperti donor darah, sumsum, ginjal,

kulit, mata, rambut, lengan, jari, kaki atau urat nadi, tulang maka dianjurkan untuk
melakukannya. Sedangkan menjadi donor mati seperti jantung atau bagian tubuh lainnya

dimana donor tidak bisa hidup tanpa adanya organ tersebut, maka wajib untuk dinyatakan

mati oleh ajaran GK. Kematian klinis atau medis bukan mati sepenuhnya menurut gereja,

jadi harus menunggu sampai si donor benar-benar mati untuk diambil organnya, dan ini

bukti tidak ada halangan dalam pengambilan organ.

II.7.3.4 Transpalntasi Organ dari Segi Agama Budha.

Pengertian Budhis, seorang terlahir kembali dengan badan yang baru. Oleh karena

itu, pastilah organ tubuh yang telah didonorkan pada kehidupan yang lampau tidak lagi

berhubungan dengan tubuh dalam kehidupan yang sekarang. Artinya, orang yang telah

mendermakan anggota tubuh tertentu tetap akan terlahir kembali dengan organ tubuh yang

lengkap dan normal. Ia yang telah berdonor kornea mata misalnya, tetap akan terlahir

dengan mata normal, tidak buta. Malahan, karena donor adalah salah satu bentuk karma

baik, maka ketika seseorang berderma kornea mata, dipercaya dalam kelahiran yang

berikutnya, ia akan mempunyai mata lebih indah dan sehat dari pada mata yang ia miliki

dalam kehidupan saat ini. 27

36
Buddhisme tidak memiliki aturan baik untuk atau terhadap darah , sumsum tulang dan

donasi organ .Bagian penting dari agama Buddha adalah keinginan untuk meringankan

penderitaan .Sekarat dan kematian dipandang sebagai waktu yang sangat penting, tubuh harus

diperlakukan dengan hormat27

II.7.3.5 Transpalntasi Organ dari Segi Agama Hindu

Menurut ajaran agama Hindu, Donasi dan Transplatasi Organ tubuh dapat

dibenarkan dengan alasan, bahwa pengorbanan ( yajna)kepada orang yang menderita, agar

dia bebas dari penderitaan dan dapat menikmati kesehatan dan kebahagiaan , jauh lebih
penting, utama, mulia, dan luhur, dari keutuhan organ tubuh manusia yang telah meninggal.

Tetapi sekali lagi perbuatan ini harus dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan

yang tulus ikhlas tanpa pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatakn

keuntungan material. Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai dalam kitab Bhadawadgita

II.2 sebagai berikut : “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani, tahtha

sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” artinya: seperti halnya seseorang

mengenakan pakaiaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang Roh menerima

badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama yang tiada

berguna. Kematian adalah berpisahnya jiwatman atau roh dengan jasmani ini. Badan

jasmani atau sthula sarira ( badan kasar) terbentuk dari Panca Maha Bhuta ( apah= unsur

cair, prethiwi=unsur padat, teja=unsur sinar, bayu=unsur udara dan akasa=unsur ether).

Ibarat pakaian, apabila jasmani( pakaian) sudah lama rusak, kita membuangnya dan

menggantikannya dengan pakaian yang baru.28

Menurut hukum agama Hindu, Tidak ada hukum agama mencegah Hindu dari

menyumbangkan organ atau jaringan mereka .Hindu percaya pada kehidupan setelah kematian dan

ini adalah proses yang berkelanjutan dari kelahiran kembali .donasi organ merupakan bagian

integral dari kehidupan Hindu , sebagaimana dibimbing oleh Veda.28

37
II.8. Hukum Donor Organ

Penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup


Pasal 14
(1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit
yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat
dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan tindakan
kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur atau Kepala Rumah
Sakit.
(3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk
oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus
diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang mewakili
pasien.
(5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang bersifat
terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary), meliputi:
a. Rawat di Intensive Care Unit;
b. Resusitasi Jantung Paru;
c. Pengendalian disritmia;
d. Intubasi trakeal;
e. Ventilasi mekanis;
f. Obat vasoaktif;
g. Nutrisi parenteral;
h. Organ artifisial;
i. Transplantasi;
j. Transfusi darah;

38
k. Monitoring invasif;
l. Antibiotika; dan
m. Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
(6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen, nutrisi
enteral dan cairan kristaloid.
Pasal 15
(1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau penundaan
terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk
oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a. pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal ini (advanced
directive) yang dapat berupa:
1. pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau penundaan
terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility (kesia-siaan).
2. pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada seseorang
tertentu (surrogate decision maker)
b. pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga pasien yakin
bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan seperti itu, berdasarkan
kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bila
pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan keinginannya sendiri.
(5) Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.
(6) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan rekomendasi tim
yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik, dimana keluarga tetap meminta

39
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak
keluarga.

Pemanfaatan organ donor


Pasal 16
(1) Penyelenggaraan pemanfaatan organ donor dilakukan dengan penerapan dan penapisan
teknologi kesehatan.
(2) Penerapan dan penapisan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai norma agama, moral, dan etika.
(3) Pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
donor dinyatakan mati batang otak.
(4) Selain organ sebagaimana dimaksud ayat (1) pemanfaatan dapat dilakukan dalam
bentuk jaringan dan/atau sel.
Pasal 17
(1) Organ yang berasal dari mayat dapat diperoleh atas persetujuan calon donor sewaktu
masih hidup.
(2) Tata cara pelaksanaan donor organ dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 18
(1) Mayat yang tidak dikenal atau tidak diurus keluarganya dapat langsung dimanfaatkan
untuk donor organ, jaringan dan sel.
(2) Pemanfaatan organ, jaringan, dan/atau sel dari mayat yang tidak dikenal atau tidak
diurus keluarganya harus atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya,
persetujuan tertulis keluarganya dan/atau persetujuan dari penyidik Kepolisian
setempat.

40
(3) Persetujuan dari penyidik Kepolisian setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan dalam hal tidak diketahui adanya persetujuan tertulis orang tersebut semasa
hidupnya/persetujuan tertulis keluarganya tidak dimungkinkan.
(4) Dalam hal mayat tersebut berhubungan dengan perkara pidana, pemanfaatan organ dari
mayat hanya dapat dilakukan setelah proses pemeriksaan mayat yang berkaitan dengan
perkara selesai.
(5) Pemanfaatan organ dari mayat harus dilakukan pencatatan dan pelaporan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Pengambilan organ dari donor kadaver hanya dilakukan segera setelah calon donor
kadaver dinyatakan mati batang otak.
(2) Sebelum pengambilan organ dari donor kadaver sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memperoleh persetujuan dari keluarga terdekat donor lebih dahulu.29

II.9. Konsep DNR

DNR (do not resuscitation), merupakan sebuah perintah tidak melakukan resusitasi
yang ditulis oleh seorang dokter dalam konsultasi dengan pasien atau pengambil keputusan
pengganti yang menunjukkan apakah pasien akan menerima atau tidak tindakan CPR
(Braddock and Clark, 2014). DNR merupakan keputusna untuk mengabaikan CPR dan
secara resmi diperkenalkan sebagai akternatif untuk end of life care pada awal tahun
1970.30DNR merupakan suatu tindakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah
instruksi berupa informed consent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien
di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain
untuk tidak melakukan RJP pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang
tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan
tingkat keberhasilan CPR yang rendah.31 DNR dindikasikan jika seseorang dengan penyakit
terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima CPR ketika jantung atau napasnya

41
berhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah membahas dan manfaat dari CPR dengan
psien atau pembuat keputusan dalam keluarga pasien.32

AHA (American Heart Association), mengganti istilah DNR dengan istilah DNAR
(Do Not Attempt Resuscitation) yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak melakukan
resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika
memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi kematian secara ilmiah,
sedangkan istilah DNR mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika
kita berusaha.33

Prinsip etik pelaksanaan DNR

Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada penyakit
kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan perawat, karena
ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang
alat pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena kurangnya kejelasan
dalam peran tenaga professional dalam melakukan tindakan / bantuan pada saat kondisi
kritis, meskipun dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang kematian
adalah sangat penting.34

Prinsip etik otonomi, dokter memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan
cara – cara yang baik dan tidak menghakimi keluarga dengan menerima saran/masukan,
tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan.35

Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi


mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik berdasarkan
keterangan yang diberikan dokter. Pada etik ini, dokter memberikan informasi akurat
mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup
pasca resusitasi, termasuk efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan,
serta penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar.
Data – data dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam
menentukan keputusan.36

42
Prinsip etik nonmaleficence berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak
membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Pada etik ini, dokter membantu dalam
mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan
angka harapan hidup relative kecil dan prognosa yang buruk.

Dilema etik

Pengambilan keputusan DNR harus menghargai otonomi pasien. Otonomi


membentuk salah satu dari tiga prinsip etika biomedis yang mengacu untuk menghormati
dalam pengambilan keputusan kapasitas individu yang memungkinkan untuk membuat
suatu pilihan tentang informasi kesehatan mereka. Dua prinsip lainnya adalah kebaikan dan
tidak bersifat mencelakakan.37

Di Idonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilemma
bagi tenaga medis. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan di dalamnya bahwa prosedur pemberian atau
penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan
HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation),
dilakukan pada pasien – pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan
pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam
tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan – tindakan
luar biasa, pada psien – pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan
bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau
penundaan bantuan hidup. Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya
dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasein merasa nyaman dan bebas nyeri. 37

43
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Eutanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Contoh kasus eutanasia di Indonesia meliputi kasus Isna Nauli Siregar, kasus
tersebut pada umumnya merupakan eutanasia yang diluar keinginan pasien, pihak keluarga
mengajukan permohonan eutanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tidak
disetujui.Dilihat dari sudut pandang etika dan moral eutanasia merupakan hal yang
melanggar etika dan perbuatan yang tidak bermoral. Prinsip etika yang sangat mendasar
ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya
dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dilihat dari sudut agama yang ada di Indonesia yaitu agama Buddha, Hindu, Islam dan
Katholik eutanasia merupakan perbuatan yang tidak diijinkan oleh agama.
Eutanasia juga melanggar HAM karena perbuatan eutanasia dapat menghilangkan
nyawa manusia itu artinya eutanasia melanggra hak manusia untuk hidup.Pasien harus
diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak
manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui
pertimbangan yang jelas. Beberapa pasientidak dapat menentukan pilihan pengobatan
sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.
Orang lain disini tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter
harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.19
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Dari sekian
banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai
lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang

44
sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana.
Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif”
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu.
Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup
manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah
meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan
“vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.

III.2 Saran
Eutanasia merupakan tindakan yang melanggar hukum dan etik kedokteran.
Diharapkan pemerintah menyususn dasar hukum tentang tindakan eutanasia lebih jelas,
dan dalam penerapannya pemerintah harus lebih tegas. Jika eutanasia merupakan hal yang
melanggar hukum, sebaiknya pihak yang terlibat harus ditindak tegas. Jangan sampai
kasus eutanasia menjadi alasan dan dijadikan “kambing hitam” dalam upaya untuk
menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Para dokter diharapkan tetap berpegang pada
kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya sehingga tindakan yang mengarah kepada
percepatan proses kematian dapat dihindari. Sedangkan hukum di Indonesia diharapkan
dapat dijalankan sesuai dengan undang-undang apabila mendapatkan kasus euthanasia
dengan seadil-adilnya. Kemudian untuk sisi agama seluruh umat beragama hendaknya
tetap berpegang teguh terhadap kepercayaannya yang menganggap segala musibah
(termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa dan
dengan keadaan kritis tersebut merupakan masa penentuan kokoh dan tidaknya iman
seseorang, serta konsekuensi dari sikap yang diambil akan dipertanggung jawabkan
dikemudian hari.

45
Daftar Pustaka

1. J Indian Acad Forensic Med. April-June 2012, Vol. 34, No. 2


2. Mathias Hariyadi. Eutanasia? The government should instead provide medical
treatment to the poor. Diakses online melalui website
http://www.asianews.it/news-en/Eutanasia-The-government-should-instead-
provide-medical-treatment-to-the-poor,-the-Church-says-1629.html pada
tanggal 26 November 2016.
3. Sanbar S.S..Classification of Eutanasia2006. Diakses online melalui website
http://www.ablminc.org/ editorial_classification_of_eutanasia_sss_06.pdf pada
tanggal 26 November 2016.
4. Caramelli P., Vilela P.L. Knowledge Of The Definition Of Eutanasia: Study
With Doctors And Caregivers Of Alzheimer's Disease Patients.Rev Association
Medical Bras. 2009).55(3).263.Diakses online melalui website
http://www.scielo. br/pdf/ramb/v55n3 /v55n3a16 pada tanggal 24 November
2016.
5. Goel V. Eutanasia - A Dignified End Of Life. International NGO Journal Vol.3
(12), 229. 2008. Diakses melalui website
http://www.academicjournals.org/journal/INGOJ/
article-full-text-pdf/3B0D3B437042 pada tanggal 26 November 2016
6. Josef K. Everything under control: how and when to die - a critical analysis of
the perdebatants for eutanasia, InTech, Croatia. 2011. p 139-145.
7. Chao DVK, Chan NY and Chan WY. Eutanasia revisited. Family Practice 2002;
19: p 128–134.
8. Efi P, Kyriaki M et al.Attitudes of health care professionals, relatives of
advanced cancerpatients and public towards eutanasia and physician assisted
suicide. Health Policy 97 (2010) p 160–165.
9. Beresford S. Eutanasia, the right to die and the bill of rights act. Downloaded
from http://www.victoria.ac.nz/law/centres/nzcpl/publications/human-rights-
research-journal/publications/vol-3/Beresford.pdf on 30th November 2016.

46
10. Pereira J. Legalizing eutanasia orassisted suicide: the illusionof safeguards and
controls. PubMed Central. 2011. Current Oncology; Volume 18, Number 2.
11. Mz.Al-Shari, Palliative Care for Muslim Patients
http://www.prolifemuslims.com/ISLAM-PROHIBITS-ASSISTED-
SUICID.html pada tanggal 29 November 2016
12. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online melalui
website
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/islam/islamethics/eutanasia.shtml pada
tanggal 28 November 2016
13. Islamic Religious Leadership Council Rules Against Eutanasia, Assisted
Suicide. Diakses online melalui website http://www.eutanasia.com/islamic.html
pada tanggal 29 November 2016
14. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online melalui
website
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/budham/budhatethics/eutanasiasuicide.s
html pada tanggal 28 November 2016
15. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online melalui
website
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/hinduism/hinduethics/eutanasia.shtml
pada tanggal 28 November 2016
16. Catechism of the Catholic Church on Assisted-Suicide. Diakses online melalui
website http://www.eutanasia.com/catech.html pada tanggal 29 November 2016
17. Michael Swan, C-14 ‘fundamentally unjust,’ bishops tell committee. Diakses
online melalui website http://www.catholicregister.org/item/22256-c-14-
fundamentally-unjust-bishops-tell-committee pada tanggal 30 November 2016
18. Jeery Brown, California bishops push for referendum to overturn assisted
suicide law, Diakses online melelui website
https://www.lifesitenews.com/news/california-bishops-push-for-referendum-to-
overturn-assisted-suicide-law pada tanggal 30 November 2016

47
19. Eutanasia, assisted dying, suicide and medical ethics. Diakses online memalui
website http://www.bbc.co.uk/religion/religions/christianity/christianethics/
eutanasia 1.shtml pada tanggal 28 November 2016
20. Ethics of Organ Transplantation .2004 :5-48.Diunduh dari.
http://www.ahc.umn.edu/img/assets/26104/Organ_Transplantation.pdf
21. Adams PL, Cohen DJ, Danovitch DM, et.al. The nondirected live-kidney donor:
Ethical considerations and practice guidelines: A National Conference Report.
Transplantation, 2002; 74(4):582-589.
22. UNOS website. www.unos.org. Accessed 5/30/03. 7 Douglas DD. Should
Everyone Have Equal Access to Organ Transplantation? An Argument in Favor.
Archives of Internal Medicine, 2003; 163:1883-1885. 8 The Unite
23. Kementrian kesehatan, kodekki; http:www.kemenkes.co.id//kodeki// diunduh
tanggal 21 november 2017,
24. Nata, Abuddin, Masail Al-Fiqhiyah, pandangan islam tentang transplantasi; p:1-
10 Jakarta: Kencana, 2006.
25. Gereja Methodist Indonesia, pandangan Kristen protestan terhadap
transpalantasi organ; diunduh
http://www.gerejamethodistindonesia.com/pandangantransplantasiorgan//
diunduh tanggal 21 november 2017
26. Keuskupan agung Jakarta; pandangan katholik terhadap transplantasi organ,
diunduh pada tanggal 21 november 2017
27. Pandangan agama budha terhadap transplantasi organ; walubi Indonesia
diunduh: http:www.walubi.com/pandanganbudha terhadap transplantasi organ/
diunduh tanggal 21 november 2017
28. Pandangan hindu terhadap transplantasi organ;PHDI;Jakarta 2012

29. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 37 tahun 2014 tentang
penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor. Berita negara republik
indonesia tahun 2014 nomor 1023. Jakarta. 2014.
30. Fallahi et al. 2016. The Iranian Physician Attitude Toward The Do Not
Resuscitate Order. Journal of Multidiscplinar Healthcare.
31. Sabatino, Charles. 2015. Do Not Resuscitate Order.
http://www.merckmanuals.come/home/fundamentals/legals-and-ethical-issues/
do-not-resuscitate-dnr-orders.
32. Cleveland Clinic. 2010. Do Not Resuscitate Order and Comfort Care.
http://my.clevelandclinic.org/ccf/media/Files/Bioethics/DNR.

48
33. Brewer, Brenda. 2008. Do Not Abandon, Do Not Resuscitate; a Pattient
Advocay Position.
34. Adams, Judith, Bailey. 2011. Nursing Roles and Strategies in End of Life
Decision Making in Acute Care: A Systematic Review of The Literature.
35. Basbeth, Sampurna. 2009. Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru.
Majalah Kedkteran Indonesia Edisi 59.
http://Indonesia.digitaljournal.org/index.php.idnmed/article/viewFile/691/696.
36. AAGBI. 2009. Do Not Attempt Resuscitation Decissions in the Perioperative
Period. London. The Association of Anesthetics of Great Britain and Ireland.
37. Depkes RI. 2009. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit.
http://bppsdmk.depkes.go.id/web/files/peraturan/4.pdf.

49

Anda mungkin juga menyukai