Anda di halaman 1dari 98

BAB XX

PASAL 23

PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima


atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang
berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain
yang telah dipotong PPh Pasal 21.

PPh Pasal 23 merupakan pemotongan PPh yang dilakukan oleh WPDN yang
melakukan pembayaran kepada WPDN lainnya, atas penghasilan berupa:

1. Dividen;

2. Bunga;

3. Royalti;

4. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

5. Hadiah dan Penghargaan;

6. Imbalan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Lain dan
beberapa Jenis Jasa Tertentu lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
DJP.

Bagi pemberi penghasilan berupa WPOP (Wajib Pajak Orang Pribadi), tidak
seluruhnya merupakan pemotong PPh Pasal 23, tetapi hanya WPOP tertentu
yang ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong PPh Pasal 23 (lihat pembahasan atas
WPOP yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak).

Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23 adalah:

a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;

b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen
yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2c);

d. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;

e. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada


anggotanya;

f. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Badan usaha tersebut adalah:

• Badan Usaha non bank dan lembaga keuangan non bank termasuk
lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menkeu;

• BUMN/BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana


pembiayaan, termasuk PT PN M (Persero).

Dengan diberlakukannya UU PPh terbaru, sebagian pasal yang ada di dalam UU


PPh tersebut, mengalami perubahan baik yang signifikan maupun yang tidak.
Untuk PPh Pasal 23, perubahan yang terjadi cukup signifikan khususnya untuk
imbalan atas jasa lain yaitu dengan diubahnya tarif pengenaan PPh Pasal 23
dari 15% dihitung dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dihitung dari
penghasilan bruto.

Selain itu, apabila penerima penghasilan tidak mempunyai NPWP, maka tarif
yang dikenakan lebih tinggi 100% dari tarif semula. Dengan demikian, dasar
pengenaan pajak PPh Pasal 23 hanya atas Imbalan bruto saja dan tarif yang
dikenakan ada dua macam tergantung jenis objeknya yaitu:

RINGKASAN

Perbandingan Tarif PPh Pasal 23 UU PPh No.17 Tahun 2000 (Per- 70/PJ./2007)
dengan UU PPh No.36 Tahun 2008 (PMK No.244/PMK.03/2008).
No. Jenis Penghasilan (Jasa) Tarif Pajak Tarif Pajak
UU PPh UU PPh Baru
Lama
1 Dividen 15%
a. Kepada WP Badan dalam negeri 15%
dan BUT
b. Kepada WP Orang Pribadi dalam 10%
negeri (Final)
2 Bunga 15% 15%
3 Royalti 15% 15%
4 Hadiah, penghargaan, bonus dan 15% 15%
sejenisnya
5 Sewa harta selain tanah dan atau
bangunan
a. Sewa kendaraan 1,5% 2%
b. Sewa sehubungan dengan 4,5%
6 Jasa Tehnik, Jasa Mfinajemen,
7 Jasa Penilai (Appraisal)
8 Jasa Aktuaris
9 Jasa Akuntansi, pembukuandan
10 Jasa Perancang (Design)
11 Jasa pengeboran (jasa drilling di
12 Jasa penunjang di bidang
13 Jasa penambangan dan jasa
14 Jasa penunjang di bidang
15 Jasa penebangan hutan
16 Jasa pengolahan limbah
17 Jasa penyedia tenaga kerja
(Outsourcing services )
18 Jasa perantara dan/atau keagenan
19 Jasa dibidang perdagangan surat-
surat berharga, kecuali yang
dilakukan di Bursa Efek , KSEI,
dan KPEI
20 Jasa kustodian/ penyimpanan/
penitipan, kecuali yang dilakukan
oleh KSEI
21 Jasa pengisian suara ( dubbing )
22 Jasa mixing film
23 Jasa sehubungan dengan software
24 Jasa perawatan/ perbaikan/ 2%
pemeliharaan mesin, peralatan
listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, alat transportasi/
kendaraan dan/atau bangunan,
selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi
25 Jasa instalasi/pemasangan mesin, 3%
peralatan, / listrik/ telepon/ air/
gas/ AC dan/atau TV kabel, selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
26 Jasa maklon
27 Jasa penyelidikan dan keamanan
28 Jasa penyelenggara kegiatan atau
29 Jasa pengepakan
30 Jasa penyedia tempat dan/atau 1,5%
31 Jasa pembasmian hama 2%
32 Jasa kebersihan atau cleaning
33 Jasa katering atau tata boga 1,5%

Dalam PMK No. 244/PMI^.03/2008, dijelaskan beberapa pengertian jenis jasa


yang merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23, antara lain:

1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus


kendaraan angkutan darat adalah:

a. sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang


disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian,
mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau
tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib
Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai
pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;
b. sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus
wisata yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewa
atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian,
mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau
tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi
yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;

c. sewa kendaraan berupa milik perusahaan yang disewa atau dicarter


untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun
bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis
kepada Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk
sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;

Perjanjian tertulis maupun tidak tertulis adalah kesepakatan untuk


mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain yang dituangkan secara
tertulis maupun lisan.

2. Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan
ilmu pengetahuan yang dapat meliputi:

a. pelaksanaan suatu proyek;

b. pembuatan suatu jenis produk;

c. jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan


dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.

3. Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
dalam pelaksanaan manajemen dengan mendapat balas jasa berupa
imbalan manajemen (management fee).

4. Jasa penunjang di bidang penambangan migas adalah jasa penunjang di


bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:

a. jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur


semen secara lepat diantara pipa selubung dan lubang sumur;
b. jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan
bubur semen untuk maksud-maksud:

- penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;

- penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;

- perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;

- penutupan sumur;

c. jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin


bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut
terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan
kemungkinan tersumbatnya pipa;

d. jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk


memperbesar daya tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan
jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;

e. jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan


dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada
formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;

f. jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa
yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada
dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi
sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar
sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam
cairan buatan dalam sumur;

g. jasa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara


suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;

h. jasa reparasi pompa reda (reda repair);

i. jasa pemasangan instalasi dan perawatan;

j. jasa penggantian peralatan/material;

k. jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;


l. jasa mud engineering;

m. jasa well logging & perforating;

n. jasa stimulasi dan secondary decovery;

o. jasa well testing & wire line service;

p. jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;

q. jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;

r. jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;

s. jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas.

5. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain


migas adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang
pertambangan umum berupa

a. Jasa Ppengeboran

b. Jasa penebasan

c. Jasa pengupasan dan pengeboran

d. Jasa penambangan

e. Jasa pengangkutan/sistem transportasi kecuali jasa angkutan umum

f. Jasa pengolahan bahan galian

g. Jasa reklamasi tambang

h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi, dan


penggalian/pemindahan tanah

i. Jasa lainnya yang sejenis dibidang pertambangan umum

6. Jasa penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara berupa:

a. Bidang aeronautika, termasuk:

- Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa


lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;

- jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);


- jasa pelayanan penerbangan,

- jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari


proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang
diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang
datang, selama pesawat udara di darat;

- jasa penunjang lain di bidang aeronautika,

b. bidang non-aeronautika, termasuk;

- jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;

- jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika.

7. Jasa maklon, adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian


suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak
pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau
barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan
diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan
kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.

8. Jasa penyelenggara kegiatan (event organizer) adalah kegiatan usaha yang


dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain
penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar,
peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan
jasa penyelenggara kegiatan.
PPH FINAL

A. DASAR HUKUM

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d) Undang-
undang Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh)

B. PENGENAAN PPH FINAL

PPh final dikenakan atas penghasilan tertentu berupa :

1. Bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya bunga obligasi dan


surat utang negara Penghasilan berupa hadiah undian

2. penghasilan dari tifensaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi


derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diterima oleh perusahaan modal ventura

3. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta

4. Penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan


Peraturan Pemerintah.

Beberapa alasan pengenaan PPh Final sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat
(2) antara lain:

• Kesederhanaan dalam pemungutan pajak,

• Keadilan,

• Pemerataan dalam pengenaan pajaknya,

• Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,


• Tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak.

Sehingga pengenaan PPh termasuk sifat, besarnya, dan tata cara


pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis- jenis
penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah.

C. PENGHASILAN YANG MERUPAKAN OBJEK PPH FINAL

1. Bunga Deposito dan Tabungan

a. Dasar Hukum

 PP No. 131 Th. 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga


Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia.
 KMK Nomor 51/Kmk.04/2001 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia

b. Pemotong

Wajib Pajak yang wajib melakukan pemotongan adalah:

 Bank
 Bank Indonesia
 Dana Pensiun

c. Objek Pajak

Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh final adalah:

1. Penghasilan Bunga Deposito, Bunga Tabungan, dan Diskonto


Sertifikat BI.

2. Bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito/tabungan yang


ditempatkan di luar negeri melalui Bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri
di Indonesia.
d. Tarif Pajak

Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto


Sertifikat Bank Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Tarif PPh final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah
bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap;

2. dikenakan PPh final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah
bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

e. Mekanisme Pemotongan

Pemotongan dilakukan pada saat bunga/diskonto dari deposito dan


tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia diterima atau
diperoleh.

f. Pembayaran dan Pelaporan

Pemotong Pajak wajib menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) yang


dipotongnya lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.

Wajib Pajak yang melakukan pemotongan wajib melaporkan


pemotongan yang dilakukannya dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

g. Pengecualian

Pemotongan PPh tidak dilakukan terhadap :

1. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank


Indonesia, sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta
Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp
7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
2. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang
didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;

3. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank


Indonesia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang- Undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun;

4. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam


rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana,
kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.

Pengecualian dari pemotongan Pajak Penghasilan angka 3 di atas


dapat diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Pemotongan Pajak.

Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto


Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan
Pajak tempat Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.

Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan


tersebut diberikan terhadap :

1. tabungan.

2. deposito dan Sertifikat Bank Indonesia yang penampatan dan


atau perpanjangannya (rollover) dilakukan pada tanggal 1
Januari 2001 dan sesudahnya.

2. Hadiah atau Undian

a. Dasar Hukum

PP No. 132 Tahun 2000 pajak penghasilan atas hadiah atau undian.
b. Pemotong

Pemotongan PPh dilakukan oleh penyelenggara undian.

c. Objek

Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam


bentuk apapun yang diterima oleh Wajib Pajak (WPDN dan WPLN)

d. Tarif Pajak

Tarif 25% dari jumlah bruto hadiah undian dan bersifat final.

3. Sewa atas Tanah dan/ bangunan

a. Dasar Hukum

PP No. 29 Tahun 1996 stdtd PP No. 5 Tahun 2002 tentang


pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan
tanah dan/ atau bangunan.

b. Pemotong

 Pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah Badan


Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
 Penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa
adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak, selain yang
tersebut pada ketentuan diatas.
c. Objek
Sewa atas tanah dan bangunan yang dimaksud berupa tanah,
rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung kantor,
rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri.
d. Tarif
Tarif pemotongan pph final 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua
jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan
tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan,
biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan
dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan
(KEP-227/PJ./2002).
e. Saat terutang
PPh atas persewaan tanah dan bangunan terutang pada saat
pembayaran atau terutangnya sewa.

f. Mekanisme Pemotongan

Pihak penyewa wajib memotong pajak penghasilan yang terutang


pada saat pembayaran atas terutagnya sewa, tergantung peristiwa
mana yang lebih dulu terjadi.

g. Penyetoran ke kas negara

Dalam melaksanakan pemotongan pajak penghasilan pihak


penyewa wajib menyetor pajak penghasilan yang terutang ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa;

Dalam melaksanakan pembayaran sendiri Pajak Penghasilan, pihak


yang menyewakan wajib menyetor pajak penghasilan yang
terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat
tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya sewa;

h. Pelaporan

Dalam melaksanakan pemotongan pajak penghasilan, pihak


penyewa dan pihak yang menyewakan wajib melaporkan
pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke
Kantor pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan
takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya.

i. Keterangan lainnya
 Dalam pembukuan Wajib Pajak yang menyewakan, wajib
dipisahkan antara penghasilan dan biaya yang berhubungan
dengan persewaan tanah dan atau bangunan dengan penghasilan
dan biaya lainnya.
 Bagi Wajib Pajak yang semata-mata bergerak di bidang usaha
persewaan tanah dan atau bangunan tidak di wajibkan membayar
pajak penghasilan pasal 25 Final tersebut terutang dan wajib
dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran (cash basis).

Kemudian, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri


Keuangan (PMK) Nomor 184/PMK.03/2007 stdd PMK Nomor
80/PMK.03/2010, PPh Final yang telah dipotong selama satu masa
pajak (satu bulan takwim) tersebut, wajib disetorkan paling lambat
pada tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal
10 tersebut jatuh tepat pada hari libur—termasuk hari Sabtu — dan
hari libur nasional, penyetoran PPh Final dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Termasuk sebagai hari libur nasional adalah:

 hari yang dilburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum


(Pemilu); dan
 cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pengguna jasa konstruksi yang melakukan pemotongan PPh Final


harus memberikan Bukti Pemotongan PPh (atau tanda bukti
pemungutan lain yang ditetapkan) kepada penyedia jasa konstruksi
yang dipotong PPh. Bukti Pemotongan PPh ini harus diberikan pada
setiap kali pemotongan PPh dilakukan.

Apabila pengguna jasa konstruksi bukan pemotong PPh, misalnya


badan internasional yaftg ditetapkan bukan sebagai Subjek Pajak
atau perwakilan negara asing, maka pelunasan PPh Final dilakukan
dengan cara penyetoran sendiri oleh penyedia jasa konstruksi yang
menerima imbalan. Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b PP Nomor 51
Tahun 2008 dinyatakan bahwa PPh Final yang harus disetor sendiri
dihitung dengan DPP sebesar jumlah penerimaan pembayaran tidak
termasuk PPN. Ini berarti bahwa saat terutang dan saat penyetoran
sendiri PPh Final adalah pada saat pembayaran telah diterima (cash
basis).

Merujuk kepada PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran sendiri


tersebut wajib dilakukan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal 15
tersebut jatuh tepat pada hari libur—termasuk hari Sabtu—dan hari
libur nasional, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

j. Penyetoran

Penyetoran PPh dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran


Pajak (SSP), atau dengan sarana lain yang disamakan dengan SSP.
Penyetoran dapat dilakukan melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos
Dan Giro. Dan sesuai dengan PMK Nomor 184/PMK.03/2007, SSP
atau sarana lainnya tersebut, berfungsi sebagai bukti pembayaran
apabila telah mendapat pengesahan (validasi) dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dari kantor penerima
pembayaran.

k. Pelaporan

Setelah menyetorkan PPh Final, kewajiban berikutnya adalah


menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Final PPh
Pasal 4 ayat (2).

SPT Masa PPh Final tersebut wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Jadi untuk PPh final yang telah dipotong dalam bulan
Januari 2009 misalnya, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10
Februari 2009 dan wajib dilaporkan melalui SPT Masa PPh Final
paling lambat pada tanggal 20 Februari 2009. Apabila tanggal 20
tersebut jatuh tepat pada hari libur—termasuk hari Sabtu—atau hari
libur nasional, maka
pelaporan SPT Masa PPh dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Termasuk sebagai hari libur nasional adalah hari yang
diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilu dan cuti bersama secara
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.

4. Bunga Obligasi

a. Dasar Hukum

PP No. 16 Tahun 2009 (Pengganti dari PP 6 Tahun 2002) pajak


penghasilan atas penghasilan berupa bunga obligasi.

b. Pemotong

Pihak yang wajib melakukan pemotongan atas PPh Final tersebut


adalah:

 Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang


ditunjuk, atas pembayaran bunga dan atau diskonto obligasi yang
diterima pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo
bunga obligasi, dan atas diskonto obligasi yang diterima
pemegang obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi;
dan atau
 Perusahaan efek, dealer, atau bank selaku pedagang perantara
dan atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual
obligasi pada saat transaksi dilakukan.
c. Objek
Ketentuan ini berlaku baik untuk penghasilan bunga dari obligasi
yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan di bursa efek maupun
tidak diperdagangkan dan atau tidak dilaporkan di bursa efek. Kata
'bunga obligasi' dalam konteks ini meliputi imbalan dalam yang
diterima atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan
atau diskonto.
d. Tarif
Tarif PPh Final:
Bunga dari obligasi dengan kupon, sebesar:
15% (lima belas persen) bagi WP dalam negeri dan BUT; dan 20%
(dua puluh persen) atau sesuai tarif tax treaty bagi WPLN selain
BUT,dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan
obligasi.
Diskonto dari obligasi dengan kupon, sebesar: 15% (lima belas
persen) bagi WP dalam negeri dan BUT; dan 20% (dua puluh
persen) atau sesuai tarif tax treaty bagi WPLN selain BUT, dari
selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
obligasi, tidak termasuk bunga berjalan. Diskonto dari obligasi
tanpa bunga, sebesar:
15% (lima belas persen) bagi WP dalam negeri dan BUT; dan 20%
(dua puluh persen) atau sesuai tarif tax treaty bagi WPLN selain
BUT, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi.
Bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh
WP.
Reksadana yang terdaftar pada BAPEPAM-LK, sebesar:
1. 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2. 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013;
dan
3. 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya,
e. Mekanisme pemotongan
 Bank, termasuk Bank Indonesia wajib memotong Pajak
Penghasilan atas bunga dan diskonto. Selain wajib memotong
Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto yang dibayarkan
atau terutang, bank-bank tersebut juga wajib memotong Pajak
Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan yang
ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri yang beroperasi di
Indonesia.
 Dalam hal bank atau dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan menjual kembali Sertifikat Bank
Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada dana
pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri
Keuangan, atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia dimaksud,
"yaitu berupa selisih antara nilai nominal Sertifikat Bank
Indonesia dengan harga jualnya, wajib dipotong Pajak
Penghasilan oleh bank atau dana pensiun penjual. Sedangkan
pihak lain tersebut apabila kemudian menjual kembali Sertifikat
Bank Indonesia, maka selisih antara nilai nominal dengan harga
jualnya merupakan keuntungan karena pengalihan harta yang
tidak perlu dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini, namun demikian keuntungan tersebut wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
keuntungan tersebut.

5. Penjualan saham di bursa efek


a. Dasar Hukum
• PP 41 tahun 1994 stdd PP No. 14 Tahun 1997 tentang pajak
penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek.
• 282/kmk.04/1997 pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan
atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
• SE-06/PJ.04/1997 pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan
atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.

b. Pemotong
pemotongan oleh penyelenggaraan bursa efek melalui perantara
pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.

c. Objek
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
d. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan:
1. adalah 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi
penjualan.
2. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan
sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai saham perusahaan
pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996.
3. Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek
setelah 1 Januari 1997, maka nilai saham ditetapkan sebesar
harga saham pada saat penawaran umum perdana.

e. Saat Terutang
Pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.

f. Mekanisme Pemotongan, penyetoran dan pelaporan


1. Tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak
Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud di atas pada
huruf d angka 1) adalah :
a. Penyelenggara bursa efek wajib memotong Pajak
Penghasilan yaijg terutang melalui perantara pedagang efek
pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.
b. Penyelenggara bursa efek wajib menyetor Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam butir a di atas ke bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan
terjadinya transaksi penjualan saham.
c. Penyelenggara bursa efek wajib menyampaikan laporan
tentang pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan
tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat
selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan yang
sama dengan bulan penyetoran.
2. Tata cara penyetoran dan pelaporan pajak Penghasilan yang
terutang oleh pemilik saham pendiri adalah sebagai berikut:
a. Emiten atas nama masing-masing pemilik saham pendiri
wajib menyetor tambahan Pajak Penghasilan yang terutang
di atas ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro :
• sebelum penjualan saham pendiri, selambat- lambatnya
tanggal 29 November 1997 apabila saham tersebut telah
diperdagangkan di bursa efek sebelum tanggal 29 Mei
1997;
• saham penjualan saham pendiri, selambat-lambatnya 1
(satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di
bursa efek, apabila saham tersebut baru diperdagangkan
di bursa efek pada atau setelah tanggal 29 Mei 1997.
b. Emiten wajib menyampaikan laporan penyetoran tambahan
Pajak Penghasilan yang terutang Kepala Kantor Pelayanan
Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan penyetoran.
c. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf b di atas
berisikan sekurang-kurangnya:
• Nama dan NPWP pemilik saham pendiri;
• Nilai saham;
• Pajak penghasilan terutang;
• Tanggal penyetoran pajak,
• dilampiri dengan Surat setoran Pajak (SSP) lembar ke-3
(contoh formulir terlampir).
d. Melaporkan kepada penyelenggara bursa efek bahwa atas
seluruh saham pendiri telah dibayarkan tambahan Pajak
Penghasilan, sehingga untuk selanjutnya atas transaksi
penjualan saham pendiri hanya dikenakan Pajak Penghasilan
0,1%.
6. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan

a. Dasar Hukum

PP No.71 tahun 2008 tentang pembayaran pajak penghasilan atas


penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

b. Pemotong

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh


penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang
melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-
menukar.

c. Objek

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau


badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib
dibayar Pajak Penghasilan.

Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang di maksud adalah :

1. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak,


pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain
yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;

2. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau


cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan
umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;

3. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau


cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan
khusus.

d. Tarif

Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% (lima persen) dari


jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
bruto nilai pengalihan dan bersifat final.

e. Saat terutang

Atas pengalihan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau


badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik
dalam kegiatan usahanya maupun di luar usahanya, wajib dibayar
atau dipungut Pajak Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi
tersebut.

f. Mekanisme Pemotongan, penyetoran dan pelaporan

1. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak,


pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain
yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;

1. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh


penghaslan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang
terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum
akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda
tangani oleh pejabat berwenang.

2. Pejabat yang berwenang hanya menanda tangani akta,


keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila
kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajibantelah dipenuhi dengan
menyerahkan fotocopy Surat Setoran Pajak yang
bersangkutan dengan menunjukan aslinya.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan,
perjajian, kesepakatan atau risalah lelang wajib
menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta,
keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
Direktur Jenderal Pajak.

4. Yang dimaksud dengan pejabat berwenang adalah notaris,


Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau
pejabat lain yang diberi kewenangan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.

2. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau


cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan
umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;

1. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh


penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan
atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar menukar.

2. Bendaharawan atau pejabat wajib menyetorkan pajak


penghasilan yang telah dipungut ke bank persepsi atau
Kantor Pos dan Giro sebelum melakukan pembayaran kepada
orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau
sebelum tukar menukar dilaksanakan

3. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat


Setiran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang
menerima pembayaran atau yang melakukan tukar menukar.

4. Bendaharawan atau pejabat wajib menyampaikan laporan


mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
g. Pengecualian

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak


Penghasilan adalah:

a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah


Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh


penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) huruf c;

c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau


bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;

d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan


dengan cara hibah kepada badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan; atau

e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.


7. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
diperdagangkan di Bursa (tidak/belum diberlakukan)

a. Dasar Hukum

PP no.17 tahun 2009.

b. Pemungut

Pihak yang memungut pajak penghasilan atas transaksi derivatif


berupa kontrak berajangka yang diperdagangkan dibursa adalah
Lembaga Kliring dan Penjamin.

c. Objek

Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau


badan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa.

d. Tarif

Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 2,5% (dua koma lima


persen) dari margin awal dan bersifat final.

e. Saat terutang

saat terutangnya pajak yaitu pada saat menerima penyetoran


margin awal oleh pialang berjangka atau anggota bursa.

f. Mekanisme Pemungutan, Penyetoran, Pelaporan

1. Lembaga kliring dan penjamin wajib memungut Pajak


Penghasilan saat menerima penyetoran margin awal oleh pialang
berjangka atau anggota bursa.

2. Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak


yang dipungut kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.

3. Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan laporan


pemungutan dan penyetoran Pajak Penghasilan Kantor
Pelayanan Pajak.
Saat ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, pengenaan
PPh final atas transaksi derivative ini tidak diberlakukan.

8. Dividen kepada Orang Pribadi


a. Dasar Hukum
 PP No. 19 tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas dividen
yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri
 111/pmk.03/2010 tentang tata cara pemotongan, penyetoran,
dan pelaporan pajak penghasilan atas dividen yang diterima
atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
b. Pemotong
pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang
ditunjuk selaku pembayar dividen.
c. Objek
Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri. Dividen adalah dividen dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
d. Tarif
Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
dan bersifat final.
e. Saat pemotongan
Pemotongan dilakukan pada saat dividen disediakan untuk
dibayarkan.
f. Mekanisme pemungutan, penyetoran, pelaporan
Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
pembayar dividen wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan
pemotongan.
 Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
pembayar dividen wajib menyetor Pajak Penghasilan ke Kas
Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri
Keuangan, dengan tanggal jatuh tempo penyetoran paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
 Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak.
 Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
pembayar dividen wajib menyampaikan laporan tentang
pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
 Dalam hal batas akhir penyampaian laporan bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Penyampaian laporan Pajak Penghasilan dilakukan dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Final Pasal 4 ayat (2).

9. Bunga Koperasi

a. Dasar Hukum

PP No.15 tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas bunga


simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi 112/PMK.03/2010 tentang tata cara pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi
b. Pemotong

Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada


anggota koperasi orang pribadi.

c. Objek

Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh


koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang
pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

d. Tarif

Besarnya Pajak Penghasilan :

 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan


sampai dengan Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu
rupiah) per bulan; atau
 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk
penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000,00
(dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan

e. Saat terutang

Saat terutangnya pajak penghasilan atas bunga koperasi yaitu pada


saat pembayaran bunga kepada anggota koperasi.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, pelaporan:

 Koperasi wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak


Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak orang
pribadi yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan
pemotongan.
 Kewajiban memberikan tanda bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) , tetap dilakukan terhadap
penghasilan dari bunga simpanan yang dikenai tarif pemotongan
sebesar 0% (nol persen).
 Pajak Penghasilan yang telah dipotong oleh koperasi wajib
disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir.
 Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak.
 Koperasi fwajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan
penyetoran Pajak Penghasilan dan Pasal 5 paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
 Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Pelaporan Pajak Penghasilan dilakukan dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat
(2).
10. Penyetoran Dan Pelaporan PPH Pasal 4 Ayat (2)
Cara Penyetoran PPh:
• Menjumlahkan seluruh PPh Final yang terutang dalam 1 bulan
sesuai Bukti Pemotongan PPh Final;
• Mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan lengkap dan benar
(dalam rangkap 4) sesuai dengan jenis PPh Final Pasal 4 ayat (2)
dan Kode Akun Pajak atau Mata Anggaran Penerimaan (KAP/MAP).
• Nama Wajib Pajak, Alamat, NPWP diisi data perusahaan pemotong
dan penyetor PPh Final
• Penyetoran dilakukan di Kantor Pos dan Giro atau bank persepsi,
paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal
jatuh tempo, yaitu tanggal 10 bulan takwim berikutnya jatuh pada
hari libur atau hari sabtu, maka penyetoran harus dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
11. Pelaporan / SPT Masa
1. Mengisi SPM PPh Pasal 4 ayat (2) dengan lengkap dan benar
(rangkap 2), sesuai dengan jenis penghasilan yang dipotong PPh-
nya, yaitu besar penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan
pajak, tarif pajak dan PPh yang dipotong, sesuai Bukti Pemotongan
PPh Pasal 4 ayat (2);
2. Menyampaikan SPM PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah ditandatangani
oleh pengurus ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PERUSAFIAAN
terdaftar sebagai Wajib pajak, dengan dilampiri :
 Lembar ke-3 SSP;
 Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2);
 Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2).
3. SPM PPh Pasal 4 ayat (2) harus disampaikan ke KPP selambat-
lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo, yaitu tanggal 10 bulan takwim berikutnya
jatuh pada hari libur atau hari sabtu, maka penyetoran harus
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPH PASAL

26

A. PENDAHULUAN

Setelah dibahas ketentuan pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan


dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang diterima WP Orang Pribadi
Dalam Negeri, dalam bab ini akan dibahas pengenaan PPh atas penghasilan
tersebut jika diterima WP Orang Pribadi Luar Negeri.

B. KETENTUAN TARIF

1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas


pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Wajib Pajak luar negeri, dikenakan pemotongan PPh
pasal 26.
2. Tarif PPh Pasal 26 tersebut adalah sebesar 20% dan bersifat final
diterapkan atas penghasilan bruto, dengan memperhatikan ketentuan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku antara
Republik Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak luar negeri
tersebut.
Dengan demikian, jika antara Indonesia dengan negara penerima
penghasilan tidak ada P3B, maka akan langsung dikenakan PPh pasal
26 dengan tarif 20% dan bersifat final.
3. PPh Pasal 26 tersebut tidak bersifat final dalam hal orang pribadi
sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib
Pajak dalam negeri.

Dari ketentuan tersebut, dapat diuraikan hal-hal berikut ini:


C. STATUS WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI LUAR NEGERI

Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 1
83 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh
gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan.

Contoh WP Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima penghasilan dari


Indonesia sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, adalah :

1. Penyanyi atau Group Band dari luar negeri konser di Indonesia.

2. Atlif asing menjuarai turnamen yang diselenggarakan di Indonesia.

3. Konsultan manajemenasing memberikan konsultasi kepada


perusahaan yang didirikan di Indonesia.

Dimungkinkan terjadi perubahan status WP Orang Pribadi Luar Negeri


menjadi WP Orang Pribadi Dalam Negeri. Misalnya : Seorang dokter dari
Jepang memberikan ceramah pada seminar yang diadakan di Jakarta. Atas
kegiatan tersebut, sang dokter menerima honor dan dikenakan PPh pasal
26 dan bersifat final. Apabila setelah ceramah tersebut, sang dokter
memutuskan untuk membuka praktek di Indonesia, maka statusnya
menjadi WP Orang Pribadi Dalam Negeri. Pemotongan PPh pasal 26 yang
telah dilakukan juga berubah sifatnya dari final menjadi tidak final.

D. PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

P3B adalah perjanjian pajak antara 2 (dua) negara (bilateral) yang


mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang
diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara
pihak pada persetujuan (Both Contracting State).

Dalam ketentuan tarif diatas, dikatakan bahwa penerapan tarif PPh pasal
26 harus memperhatikan ketentuan dalam P3B. Karena dalam P3B
diatur
pengenaan pajak atas berbagai macam penghasilan yang diterima
penduduk negara dalam P3B dan belum tentu semua penghasilan yang
diterima penduduk suatu negara dari negara lainnya dikenakan pajak.

Sehubungan dengan penghasilan yang diterima WP Orang Pribadi Luar


Negeri dari pekerjaan, jasa atau kegiatan, P3B-P3B yang ada umumnya
mengatur pengenaan pajak atas beberapa jenis penghasilan sebagai
berikut:

1. Penghasilan Dari Usaha/Pekeriaan Bebas (independen/


Personal Services)
a. Terdiri dari penghasilan sehubungan dengan jasa profesional
(kegiatan dibidang ilmu pengetahuan, kesusateraan, kesenian dll)
dan pekerjaan bebas (dokter, ahli hukum, akuntan dll).
b. Negara sumber melepaskan hak pemajakannya atas penghasilan
yang timbul di wilayahnya kecuali jasa profesional atau pekerjaan
bebas itu:
• dilakukan melalui suatu tempat tetap (a fixed base) di negara
sumber, atau
• dilakukan di negara sumber dalam jangka waktu melebihi time
test sebagaimana diatur dalam P3B.

2. Penghasilan Dari Pekerjaan (Dépendent Personal Services)

a. Negara tempat pekerjaan dilakukan memiliki hak pemajakan penuh


atas imbalan itu. Pengecualian dimungkinkan bila :

• yang menerima imbalan berada di negara tempat pekerjaan


dilakukan tidak melebihi time test yang diatur P3B; dan

• imbalan yang dibayarkan bukan menjadi beban bagi pemberi


kerja yang adalah penduduk dari negara tempat pekerjaan
dilakukan; dan

• imbalan yang dibayarkan bukan menjadi beban bagi pemberi


kerja yang adalah BUT dari negara tempat pekerjaan dilakukan.
Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi agar pajak tidak dikenakan di
negara tempat pekerjaan dilakukan. Jika salah satu syarat tidak
dipenuhi maka pajak dikenakan di negara tempat pekerjaan
dilakukan.

Contoh 4:

Mr. Robert, ahli mesin dari AS, bekerja di suatu perusahaan di


Indonesia, dengan kontrak kerja selama 3 tahun. Mr. Robert adalah
orang yang ditempatkan pemegang saham yang berkedudukan di
AS. Untuk itu pemegang saham menanggung gaji Mr. Robert selama
bekerja di Indonesia.

Jawab:

Walaupun gaji Mr. Robert bukan beban perusahaan di Indonesia,


tetapi Mr. Robert bekerja di Indonesia selama 3 tahun, yang
melebihi time test, maka pajak atas gaji Mr. Robert dikenakan di
Indonesia. Penerapan pemajakannya adalah dengan pemotongan
PPh pasal 21, sesuai tarif pegawai tetap.

3. Imbalan Direktur (Director's Fee)

a. Yang dimaksud dengan direktur disini adalah direktur yang tidak


melakukan "day to day management" pada perusahaan tempat ia
memperoleh penghasilan.

b. Negara tempat perusahaan yang melakukan pembayaran itu


memiliki hak pemajakan yang penuh.

Dalam hal ini langsung dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif 20%
atau tarif sesuai.

4. Imbalan Artis Dan Atlit

a. Artis / atlit antara lain artis teater, film, radio, atau televisi atau
pemain musik, olahragawan.
b. Negara tempat pertunjukan atau pertandingan berlangsung memiliki
hak pemajakan penuh.

Dalam hal ini langsung dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif 20%
atau tarif sesuai P3B.

5. Penghasilan Pensiun

a. Uang pensiun adalah penghasilan yang diperoleh dalam


hubungannya dengan pekerjaan atau jasa dimasa lampau.

b. Negara tempat yang melakukan pembayaran atas penghasilan itu


memiliki hak pemajakan penuh.

Dalam hal ini langsung dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif 20%
atau tarif sesuai P3B.

6. Penghasilan Guru Dan Peneliti

Sehubungan dengan kegiatan mengajar atau riset di negara pihak pada


persetujuan, dalam jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) tahun,
penghasilan yang diperolehnya tidak dikenakan di negara itu asalkan
pembayaran yang diperolehnya itu berasal dari luar negara itu.

7. Penghasilan Siswa Dan Pemagang

Sehubungan dengan pembayaran yang diterima siswa atau pemagang


yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di negara pihak pada
persetujuan, yang diperolehnya semata-mata untuk keperluan hidup,
pendidikan atau pelatihan tidak dikenakan pajak di negara itu asalkan
pembayaran dimaksud berasal dari luar negara itu.

E. SURAT KETERANGAN DOMISILI

Agar ketentuan dalam P3B dapat diterapkan terhadap penduduk suatu


negara, maka penduduk tersebut harus bisa menunjukkan SKD.

SKD adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Competent Authority


atau wakilnya yang sah dari suatu negara pihak pada persetujuan yang
menyatakan wajib pajak yang bersangkutan adalah penduduk dari negara
itu. Surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh pejabat Kantor Pajak
tempat ia terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan SKD yang
dibuat oleh Competent Aufhority.

Ketentuan yang mengatur tentang bentuk formulir dan pengisian SKD


diatur lebih lanjut di PER 61 /PJ./2009.

F. PERLAKUAN PPH BAGI PEKERJA INDONESIA DI LUAR


NEGERI

Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak


Penghasilan bagi orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia
yang bekerja di luar negeri, PER 2/PJ./2009 mengatur sebagai berikut:

1. Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara


Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 1 83 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 1 2 (dua belas) bulan.

2. Pekerja Indonesia di Luar tersebut merupakan Subjek Pajak Luar


Negeri,

3. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di


Luar Negeri sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah
dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di
Indonesia.

4. Dalam hal Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut menerima atau


memperoleh penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB XV
TARIF BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK
MEMILIKI NPWP

A. PENDAHULUAN

Berbagai upaya dilakukan Ditjen Pajak dalam rangka mendorong kesadaran


masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Salah satunya
adalah dengan diluncurkannya program Sunset Policy, yang memberikan
penghapusan sanksi perpajakan bagi Orang Pribadi yang dengan sukarela
mendaftarkan NPWP dan melaporkan SPT nya. Bagaimana halnya jika
Orang Pribadi tersebut tetap tidak bersedia mendaftarkan NPWP? salah
satu upaya yang dilakukan untuk "memaksa" adalah dengan menerapkan
tarif pemotongan PPh pasal 21 yang lebih tinggi dibanding tarif bagi WP
Orang Pribadi yang ber NPWP.

B. KETENTUAN
Pasal 20 PER 31/PJ./2009

1. Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak


memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal
21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada


butir 1 adalah sebesar 1 20% dari jumlah PPh Pasal 21 yang
seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.

3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada butir 1 hanya


berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
Catatan :

Sejauh ini PPh pasal 21 yang bersifat final adalah PPh pasal 21 atas
uang pesangon dll (Bab 10) dan PPh pasal 21 atas penghasilan yang
diterima Pejabat Negara (Bab11).

4. Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21


dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada butir 1,
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh
Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh
Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak.

5. Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif
yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada butir 1 mendaftarkan diri
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah
dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Catatan :

Pilihannya adalah, kelebihan tarif tersebut diperhitungkan ke bulan


berikutnya (butir 4) atau tidak diperhitungkan ke bulan berikutnya
tetapi dikreditkan dalam SPT Tahunan WP Orang Pribadi. Jika
dikreditkan di SPT Tahunan, maka akan mengakibatkan lebih bayar
(lihat contoh 2).
BAB XVI
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN ATAU PASAL 26

A. PENDAHULUAN
Ketentuan saat terutang menjadi penting karena hal ini
akan menentukan saat pemotongan dan saat pembuatan bukti potong.

B. KETENTUAN
Pasal 21 PER 31/PJ.2009 mengatur sebagai berikut:

1. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima


Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

2. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal
21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak, yaitu akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan.

Catatan :

• Hal yang baru di ketentuan ini adalah diaturnya saat terutang PPh pasal
21 bagi Penerima Penghasilan. Penulis mempertanyakan hal ini,
mengingat PPh pasal 21 adalah PPh Pemotongan sehingga Pemotonglah
yang berkewajiban melakukan aktifitas pemotongan PPh.

• Saat terutang PPh pasal 21 bagi Pemotong mencerminkan saat


pembuatan bukti potong, dimana bukti potong dapat dibuat paling
lambat akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya
penghasilan.
BAB XVII
HAK DAN KEWAJIBAN
PEMOTONG PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN

A. PENDAHULUAN

Supaya ketentuan pemotongan PPh pasal 21 dapat terlaksana, tentunya


pemotong harus melakukan pemotongan sesuai ketentuan. Dalam bab ini
akan dibahas hak dan kewajiban pemotong pajak dan penerima
penghasilan.

B. HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK.

Pasal 22 PER 31/PJ.2009 mengatur Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak


dan Penerima Penghasilan, sebagai berikut:

1. Kewajiban Mendaftarkan Diri

Setiap Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan


Pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Kewajiban Menghitung. Memotong Dan Menyetor PPh Pasal 21/26

a. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan


PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan
kalender.

b. Pemotong Pajak wajib membuat catatan atau kertas kerja


perhitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk masing-
masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh
pasal 21 dan atau Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak
dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja tersebut sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

Sesuai UU KUP penyimpanan dokumen wajib dilakukan selama 1 0


(sepuluh tahun) sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat
bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan
memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima
penghasilan yang dipotong pajak pada waktu melakukan
pemotongan.

Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26


ditetapkan sesuai PER 32/PJ./2009

Bagi Selain Pegawai Tetap & Penerima Pensiun Bulanan : bukti


potong diberikan setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26.

Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima


penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran
penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1
(satu) bulan kalender.

Kode form F.l.1.33.01 untuk bukti potong PPh pasal 21 yang bersifat
tidak final dan PPh pasal 26.

Kode form F. 1.1.33.02 untuk bukti potong PPh pasal 21 yang


bersifat final.

Catatan:

Menjadi pertanyaan adalah untuk bukti potong tersebut (kode :


F.l.1.33.01) atau menggunakan formulir bukti potong PPh pasal 26
dengan kode form F. 1.1.33.08.

Bagi Pegawai Telap & Penerima Pensiun Bulanan : paling lama 1


(satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.

Sedangkan bagi pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan bukti


potong diberikan pada saat penghitungan kembali dengan
menggunakan form 1721 Al (kode form : D. 1.1.32.48)
Bentuk dan contoh pengisian bukti potong tersebut dicontohkan di
Bab 17.

d. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran


Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara
atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau


PPh Pasal 26 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

SSP yang dimaksud adalah SSP standar dengan kode form


F.2.0.32.01.

Yang perlu diperhatikan pada waktu mengisi SSP adalah masalah


pengisian kode MAP/KJS (mata anggaran penerimaan / kode jenis
setoran). Supaya pembayaran pajak kita dicatat dengan tepat di
kantor pajak, maka pengisian kode MAP/KJS harus benar. Di tabel
12.1 disajikan kode MAP/KJS untuk setoran PPh pasal 21.

Tabel 15.1
MAP 411121 untuk jenis pajak PPh Pasal 21

Kas Jenis Setoran Keterangan

100 Masa PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih


harus disetor yang tercantum dalam
SPT Masa PPh Pasal 21.

199 Pembayaran untuk pembayaran pajak sebelum


Pendahuluan skp diterbitkan surat ketetapan pajak PPh
Pasal 21.
PPh Pasal 21
200 Tahunan PPh Pasal untuk pembayaran pajak yang masih
21 harus disetor yang tercantum dalam
SPT Tahunan PPh Pasal 21.

300 STP PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih


harus dibayar yang tercantum dalam
Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal
21.

310 SKPKB PPh Pasal untuk pembayaran jumlah yang masih


21 harus dibayar yang tercantum dalam
SKPKB PPh Pasal 21.harus dibayar yang
tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 21.
311 SKPKB PPh Final untuk pembayaran jumlah yang masih
Pasal 21 harus dibayar yang tercantum dalam
Pembayaran SKPKB PPh Final Pasal 21 pembayaran
Sekaligus Atas sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang
Jaminan Hari Tua, Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.
Uang Tebusan
Pensiun, dan Uang
Pesangon
320 SKPKBT PPh Pasal untuk pembayaran jumlah yang masih
21 harus dibayar yang tercantum dalam
SKPKBT PPh Pasal 21.
321 SKPKBT PPh Final untuk pembayaran jumlah yang masih
Pasal 21 harus dibayar yang tercantum dalam
Pembayaran SKPKBT PPh" Final Pasal 21
Sekaligus Atas pembayaran sekaligus atas Jaminan
Jaminan Hari Tua, Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun dan
Uang Tebusan Uang Pesangon.
Pensiun, dan Uang
Pesangon
390 Pembayaran atas untuk pembayaran jumlah yang masih
Surat Keputusan harus dibayar yang tercantum dalam
Pembetulan, Surat Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keputusan Keberatan, atau Putusan
Keberatan, atau Banding.
Putusan Banding
401 PPh Final Pasal 21 untuk pembayaran PPh Final j Pasal
Pembayaran 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan
Sekaligus Atas Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan
Jaminan Hari Tua, Uang Pesangon.
Uang Tebusan
Pensiun, dan Uang
Pesangon
402 PPh Final Pasal 21 untuk pembayaran PPh Final Pasal 21
atas honorarium atas honorarium atau imbalan lain yang
atau imbalan lain diterima Pejabat Negara, PNS, anggota
yang diterima TNI/POLRI dan para pensiunnya.
Pejabat Negara,
PNS, anggota
TNI/POLRI dan
para pensiunnya

Sedangkan untuk setoran masa PPh pasal 26 menggunakan kode


MAP/KJS: 411127/100.

e. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak


atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang, kelebihan
penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.

3. Kewajiban Melaporkan SPT Masa

Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut pada butir

2.d. diatas sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan


(SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim
penyetoran PPh pasal 21 masa.

Dalam hal batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya

Bentuk formulir SPT masa PPh pasal 21 yang mulai berlaku sejak masa
Juli 2009 diatur dengan Per- 32/PJ./2009, dengan lampiran sebagai
berikut:
a. 1721 T — Daftar Pegawai tetap Dan Penerima Pensiun Berkala
Lampiran ini wajib disampaikan pada saat pertama kali WP memiliki
kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh pasal 21 / 26. (contoh lihat
lampiran 16.1)
Untuk tahun 2009, lampiran Ini wajib dilampirkan di masa Juli 09.

b. 1721 I - Daftar Bukti Pemotongan PPh pasal 21 Untuk Pegawai Tetap


Dan Penerima Pensiun Berkala.
Lampiran ini untuk merupakan ringkasan dari form 1721 Al dan
dilaporkan hanya pada masa pajak Desember. Form 1721 Al yang
dibuat pemotong tidak perlu dilampirkan dalam SPT Masa PPh pasal
21.

c. 1721 II - Daftar Perubahan Pegawai Tetap


Lampiran ini wajib disampaikan pada saat terdapat pegawai tetap
berhenti bekerja dan / atau masuk bekerja dan / atau baru memiliki
NPWP.

d. Daftar Bukti Pemotongan PPh pasal 21/26 Tidak Final


Lampiran ini merupakan ringkasan dari bukti pemotongan PPh pasal
21/26 yang tidak final yang dibuat pemotong kepada selain pegawai
tetap.

e. Daftar Bukti Pemotongan PPh pasal 21/26 Final


Lampiran ini merupakan ringkasan dari bukti pemotongan PPh pasal
21/26 yang final yang dibuat pemotong.
Sesuai PER 32/PJ./2009, bukti pemotongan tersebut tidak perlu
dilampirkan dalam SPT Masa PPh pasal 21/26.
Selain lampiran-lampiran tersebut, KEP 214/PJ./2001 mengatur
lampiran lainnya sebagai berikut:
a) Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan Pasal 26 yang harus disetor.
b) Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan Masa
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan
Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal Wajib Pajak
orang pribadi telah meninggal dunia dan Surat Pemberitahuan
Masa ditandatangani oleh Ahli Waris.

4. Kewajiban Penghitungan Kembali PPh pasal 21


Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal
21 yang terutang oleh pegawai tetap. Penghitungan kembali
dilakukan pada masa pajak terakhir.
Ketentuan penghitungan kembali ini telah dibahas di Bab 6.

C. SANKSI PERPAJAKAN PPH PASAL 21 / PASAL 26

1. Terlambat Setor (Pasal 9 UU KUP) Setoran Masa.

Pembayaran atau penyetoran pajak, yang dilakukan setelah tanggal


jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggai
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

2. Terlambat Lapor (Posal 7 UU KUP)

Sesuai pasal 7 UU KUP yang baru, UU No.28 Tahun 2007, diatur


tentang sanksi administrasi berupa denda apabila SPT tidak
disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan atau batas waktu
perpanjangan penyampaian SPT, sebagai berikut:

Untuk SPT Masa selain SPT Masa PPN denda Rp.l 00.000.
3. Sanksi Dalam SKP Kurana Bavor (POSOI 13 UU KUP)

a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak


yang terutang tidak atau kurang dibayar;

Sanksi :

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan


Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.

b. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka


waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau

Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau


Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya
pajak yang terutang.

Sanksi ;

100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau


kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang
disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetor.

D. HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN

1. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 wajib mendaftarkan


diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Pegawai, Penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai yang berhak


pengurangan PTKP wajib membuat surat pernyataan yang berisi
jumlah
tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai
menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagal dasar penentuan PTKP dan
wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak pada saat mulai
bekerja atau mulai pensiun.

Kewajiban tersebut juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan


jumlah tanggungan keluarga, paling lama sebelum mulai tahun
kalender berikutnya.

3. PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima


penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
BAB XVIII

LAIN-LAIN

A. STANDAR GAJI KARYAWAN ASING YANG BEKERJA DI


LUAR BIDANG PENGEBORAN MIGAS

Telah dibahas sebelumnya bahwa untuk menghitung PPh pasal 21,


penghasilan dalam mata uang asing harus dikonversikan ke Rupiah
berdasarkan kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya. Mekanisme
penghitungan PPh pasal 21 nya sama dengan contoh- contoh sebelumnya.

Pada umumnya, yang menerima penghasilan semacam ini adalah


karyawan pendatang dari luar negeri atau Expatriate. Sehubungan dengan
penghasilan Karyawan Asing ini, Dirjen Pajak melalui Kep 173/PJ./2002,
mengatur siandar gaji karyawan asing yang bekerja dalam bidang-bidang
di luar bidang pengeboran minyak dan gas bumi. (Standar gaji tersebut
terlampir di Lampiran 17.1).

Dalam keputusan tersebut diatur bahwa standar gaji hanya dapat


digunakan dalam hal:

1. terdapat petunjuk bahwa pembukuan Wajib Pajak tidak benar sehingga


tidak dapat dihitung besarnya pajak yang seharusnya terutang;

2. diperoleh bukti yang menunjukkan bahwa terdapat pembayaran gaji


karyawan asing yang tidak seluruhnya dibukukan untuk pelunasan PPh
Pasal 21 atau Pasal 26;

3. Pemeriksa tidak mendapatkan data yang dapat digunakan untuk


menentukan jumlah gaji karyawan asing dalam rangka penetapan
jumlah PPh Pasal 21 atau Pasal 26 yang terutang.
Sehingga jika indikasi-indikasi tersebut tidak terjadi, maka seharusnya
penghitungan PPh pasal 21 didasarkan pada data pembayaran gaji yang
dimiliki Pemberi Kerja dan tidak serta merta menggunkan pedoman
standar gaji.

Untuk itu pemberi kerja perlu menyiapkan data-data pendukung untuk


memperkecil kemungkinan koreksi, misalnya kontrak kerja, slip
pembayaran gaji, transfer rekening Koran dan lain-lain.

B. NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK


KARYAWAN ASING DI BIDANG PENGEBORAN MIGAS

Di bagian A telah dibahas standar gaji karyawan asing yang bekerja dalam
bidang- bidang di luar bidang pengeboran minyak dan gas bumi, di bagian
ini akan dibahas ketentuan untuk karyawan asing yang bekerja di bidang
pengeboran minyak dan gas bumi.

KMK 433/KMK.04/1994 mengatur sbb :

Norma Penghitungan khusus penghasilan kena pajak sebagai dasar


penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditetapkan sebagai berikut:

1. Untuk Kelompok General Manager : US$ 11.275 per bulan

2. Untuk Kelompok Manager: US$ 9.350 per bulan

3. Untuk Kelompok Rig Supervisor/Rig Superintendent atau Tool Pusher:


US$ 5.830 per bulan

4. Untuk Kelompok Assistant Rig Supervisor/Assistant Rig


Superintendent atau Assistant Tool Pusher: US$ 4.510 per bulan.

5. Untuk Kelompok Crew lainnya: US$ 3.245 per bulan

Lebih lanjut diatur dalam SE 17/PJ 43/1994 hal-hal sebagai berikut:


1. Norma tersebut hanya berlaku bagi tenaga asing/expatriate yang
bekerja pada perusahaan minyak dan gas bumi, baik perusahaan
nasional maupun perusahaan asing.

2. Penghasilan Kena Pajak tersebut telah meliputi seluruh jenis


penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak tenaga asing
(expatriate), termasuk pemberian dalam bentuk natura (fringe benefit).

3. Karena merupakan Norma Penghasilan Kena Pajak, maka dalam


menerapkan tarif tidak boleh dikurangi lagi dengan PTKP.

4. Pembayaran Fiskal Luar Negeri oleh tenaga asing/expatriate hanya


dapat dikreditkan atas PPh Pasal 21 karyawan yang bersangkutan,
sepanjang telah ditambahkan terlebih dahulu sejumlah pembayaran
tersebut sebagai tunjangan pajak di atas norma dari tenaga asing/
expatriate yang bersangkutan.

C. PENENTUAN KEMBALI PENGHASILAN KARYAWAN DARI


PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA
DENGAN PERUSAHAAN LUAR NEGERI
1. Dasar hukum PMK 139/PMK.03/2010

2. Besarnya penghasilan yang diperoleh WP orang pribadi dalam negeri


sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja
yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran
pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luat negeri tersebut.

3. Yang dimaksud WP Orang Pribadi dalam negeri adalah pegawai dari


perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan
pemberi kerja.
4. Biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh
pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai
Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.

5. Besarnya penghasilan WP orang pribadi dalam negeri sehubungan


dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa ditentukan kembali dengan
memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya
diperoleh oleh WP orang pribadi yang bersangkutan.

6. Dalam rangka menentukan kembali besarnya penghasilan WP orang


pribadi dalam negeri, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
pedoman standar gaji karyawan asing.

D. HADIAH SAHAM KEPADA PEGAWAI


1. Dasar hukum SE 56/PJ.42/1999.

2. Pemberian hadiah saham secara cuma-cuma oleh wajib pajak pemberi


kerja kepada para pegawainya adalah sama dengan bonus atau
gratifikasi yang merupakan penghasilan yang sifatnya tidak tetap/tidak
teratur dan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21.

3. Pengenaan PPh Pasal 21 atas hadiah saham kepada pegawai tersebut


adalah dengan menerapkan tarif umum Pasal 17 Undang- Undang PPh
dikalikan dengan penghasilan bruto (tanpa pengurangan).

4. Jumlah penghasilan bruto hadiah saham sebagai dasar pengenaan PPh-


nya adalah harga pasar atau nilai pasarnya (dalam hal diperdagangkan
di bursa) atau nilai nominalnya (dalam hal tidak diperdagangkan di
bursa).

5. PPh Pasal 21 atas hadiah saham tersebut dikenakan pada saat


keputusan pemberian hadiah tersebut disepakati.
E. PROGRAM JAMSOSTEK
1. Dasar hukum PP No.14 Tahun 1993.
2. Program Jamsostek terdiri dari :
a. Jaminan berupa uang yang meliputi:
• Jaminan Keceiakaan Kerja;
• Jaminan Kematian;
• Jaminan Hari Tua.
b. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan.

3. Besarnya iuran program sbb :


Besarnya iuran program jaminan sosial tenaga kerja adalah sebagai
berikut:
Jaminan Kecelakaan Kerja yang perincian besarnya iuran
berdasarkan kelompok jenis usaha sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I, sebagai berikut:
Kelompok I: 0.24% dari upah sebulan Kelompok II : 0,54% dari
upah sebulan
Kelompok III: 0,89% dari upah sebulan
Kelompok IV: 1,27% dari upah sebulan
Kelompok V: 1, 75% dari upah sebulan

Jaminan Hari Tua, sebesar 5.70% dari upah sebulan;

Jaminan Kematian, sebesar 0,30% dari upah sebulan:

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, sebesar 6% dari upah sebulan


bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3% dari upah sebulan
bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga.
• Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan
Pemeliharaa Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
• Iuran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, sebesar 3,70% ditanggung oleh pengusaha dan sebesar
2%, ditanggung oleh tenaga kerja.

F. PENGGUNAAN STEMPEL TANDA TANGAN PADA BUKTI


POTONG PPH PASAL 21/26

Di bab 15 telah dibahas hak dan kewajiban pemotong PPh pasal 21,
diantaranya kewajiban membuat bukti potong pada saat melakukan
pemotongan PPh pasal 21. Bukti potong akan sah jika ditandatangani oleh
Pemotong Untuk perusahaan tertentu, bukti potong yang dibuat dalam
sebulan jumlahnya sangat banyak. Misalnya perusahaan MLM yang setiap
bulan harus membayar bonus kepada distributornya yang jumlahnya busa
mencapai ribuan. Tentu merupakan beban kerja yang tidak ringan bagi
Pemotong untuk menandatangani bukti potong tersebut satu per satu.

Untuk mengatasi hal tersebut. SE 36/PJ.43/2000 mengatur tentang


prosedur penggunaan stempel tanda tangan sebagai berikut:

1. Kepada Pemotong Pajak yang setiap bulan rata-rata menerbitkan sekitar


1.000 (seribu) lembar bukti pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal
26 diberikan kemudahan untuk mengurangi beban administrasi berupa
penggunaan stempel tanda tangan.
2. Pemotong Pajak yang akan menggunakan stempel tanda tangan
terlebih dahulu mengajukan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pemotong Pajak terdaftar disertai data pendukung, seperti
jumlah karyawan/penerima penghasilan lainnya yang akan dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21/26, specimen stempel tanda tangan dan lain-
lain.
3. Setelah melakukan penelitian atas permohonan Pemotong Pajak,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan atas nama Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penggunaan Stempel
Tanda Tangan.
4. Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan diterbitkan
selambat- lambatnya 14 (empdl belas) hari setelah Pemotong Pajak
menyampaikan permohonan penggunaan stempel tanda tangan
5. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir 5 di
atas belum ada Keputusan dari Direktur Jenderal Pajak, maka
permohonan Pemotong Pajak dianggap diterima.
6. Dengan dianggap diterimanya permohonan Pemotong Pajak
sebagaimana dimaksud dalam butir 5 di atas, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak segera menerbitkan Surat
Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan.
7. Penggunaan Stempel tanda tangan oleh Pemotong Pajak pada bukti
pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 dengan mencantumkan
nomor dan tanggal Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda
Tangan.
8. Pemotong Pajak yang telah mendapat ijin penggunaan stempel tanda
tangan wajib membuat daftar nominatif bukti pemotongan PPh Pasal
21 atau PPh Pasal 26 setiap bulannya dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 SE ini dan disampaikan
bersamaan dengan pelaporan SPT masa yang berkenaan.

G. SURAT KETERANGAN BEBAS PEMOTONGAN PPH PASAL 21


Salah satu alasan pemotongan / pemungutan PPh oleh pihak lain adalah
untuk keringanan bagi WP supaya tidak terlalu berat membayar pajak pada
saat menyampaikan SPT Tahunan. Bagaimana halnya jika WP yakin bahwa
pemotongan oleh pihak lain justru akan mengakibatkan lebih bayar dalam
SPT Tahunan?

Hal tersebut dapat terjadi misalnya :


 WP Orang Pribadi sebagai pengajar freelance. Dimana penghasilannya
dalam bentuk komisi akan dikenakan pemotongan PPh pasal 21 dengan
tarif ps.17 dari penghasilan bruto. Sementara itu pada waktu WP
tersebut menyampaikan SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, berhak
pengurangan
PTKP, sehingga dapat dipastikan SPT nya akan menghasilkan PPh yang
lebih dibayar.
 WP Orang Pribadi sebagai Tenaga Ahli, Konsultan misalnya,
menyelenggarakan pembukuan Atas penghasilannya akan dipotong PPh
pasal 21. Jika dalam suatu tahun pajak diproyeksikan bahwa usahanya
akan mengalami kerugian, maka pemotongan PPh oleh pihak lain akan
mengakibatkan SPT Tahunan lebih bayar.

Dalam kasus seperti ini, KEP 192/PJ./2002 mengatur bahwa WP dapat


mengajukan Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh sebagai berikut:

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari


pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
kepada Direktur Jenderal Pajak karena:

• Wajib Pajak yang dalam tahun paiak berjalan dapat menunjukkan


tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian
fiskal, atau

• Wajib Pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal


sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar daripada
perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang bersangkutan, atau

• Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak


Penghasilan yang akan terutang.

Permohonan tersebut tidak berlaku terhadap penghasilan yang


dikenakan pajak yang bersifat final.

2. Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Surat Keterangan Bebas


(SKB) dari pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
kepada Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat
menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami
kerugian fiskal sebagaimana dimaksud butir 1 a diatas, dalam hal:

• Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi, atau

• Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial, atau


• Untuk perusahaan yang sudah berjalan, yang karena suatu
peristiwa yang berada di luar kemampuan (foree majeur) sehingga
akan mengakibatkan menderita kerugian dan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan.

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas


tersebut, wajib menyampaikan perkiraan penghasilan neto tahun
berjalan.

3. Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Surat Keterangan Bebas


(SKB) dari pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
kepada Wajib Pajak yang berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal
sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b. diatas.

Dalam mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak harus


diperhatikan :

• Besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih


dapat dikompensasikan; dan

• Besarnya perkiraan penghasilan neto dalam tahun berjalan.

Yang dimaksud dengan kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang


masih dapat dikompensasikan adalah :

a. Kerugian yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, atau

b. Kerugian yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan


Pajak Penghasilan apabila belum ditetapkan/tidak ada surat
ketetapan pajak.

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas


tersebut, wajib menyampaikan perkiraan penghasilan neto tahun
berjalan.

4. Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Surat Keterangan Bebas


(SKB) dari pemotongan/ pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
kepada Wajib Pajak dalam hal Pajak Penghasilan yang telah dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang sebagaimana
dimaksud
dalam butir 1 .c. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas tersebut, wajib menyampaikan perkiraan
penghasilan neto tahun berjalan

5. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas


(SKB) dari pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oieh pihak iain,
disamping menyampaikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
butir 2, 3 atau 4 diatas, wajib menyampaikan daftar pihak-pihak
pemberi penghasilan beserta nilai transaksi yang diperkirakan akan
diterima/diperoleh.

6. Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan/pemungutan pajak


oleh pihak lain hanya diberikan berkenaan dengan
pemotongan/pemungutan pajak yang merupakan kredit pajak untuk
tahun pajak yang sama dengan tahun yang tercantum dalam bukti
pemotongan/pemungutan.

7. Permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) dari


pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, diajukan
kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat dimana Wajib Pajak pemohon
terdaftar.

Permohonan diajukan dengan menggunakan Formulir Permohonan


Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan
Direktur Jenderal Pajak ini.

8. Atas permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari


pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, wajib
diberikan keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah
permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.

9. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah permohonan Wajib


Pajak diterima belum diberikan keputusan maka permohonan Wajib
Pajak dianggap diterima.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan
Bebas dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.

10. Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan/pemungutan Pajak


Penghasilan oleh pihak lain lembar ke-2 wajib dilampirkan pada SPT
Masa PPh pemotong/pemungut yang bersangkutan.

H. PENGENAAN PPH PASAL 21 DI CABANG (DAERAH)

Sebelum tahun 2001, dalam hal WP memiliki cabang, diijinkan untuk


memusatkan pemotongan PPh pasal 21 di Kantor Pusatnya. Pemusatan
diijinkan jika tidak terdapat administrasi karyawan dan pembayaran
gaji/upah dll di lokasi usaha WP. Yang dimaksud dengan "terdapat
administrasi karyawan dan pembayaran gaji" adalah sbb (SE
09/PJ.43/1990):

1. Di lokasi usaha terdapat penyimpanan data kepegawaian dan dokumen-


dokumen yang dipergunakan untuk dasar penghitungan PPh Pasal 21,
misalnya surat keterangan tentang jumlah tanggungan keluarga dari
Wajib Pajak, keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah (dalam hal
seorang karyawati memohon penambahan PTKP karena suaminya tidak
memperoleh penghasilan), dan surat keterangan dari Kantor Tenaga
Kerja tentang status seorang karyawan asing (expatriate).

2. Penghitungan gaji, pembuatan daftar gaji. pembayaran gaji dan


pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan di lokasi.

3. Di lokasi usaha terdapat tata usaha keuangan yang sewaktu-waktu


dapat dibuktikan untuk mempertanggung jawabkan sehubungan
dengan pembayaran gaji, upah atau penghasilan karyawan lainnya.

Perkembangan selanjutnya, sejak tahun 2001 pemusatan pemotongan


PPh pasal 21 tidak diperkenankan lagi. Hal ini sejalan dengan
diterbitkannya PP No.115 Tahun 2000 yang mengatur bahwa 20% (dua
puluh persen) dari penerimaan PPh pasal 21 dialokasikan untuk
Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar. Dengan demikian
kantor cabang juga mempunyai kewajiban untuk memotong, menyetor,
dan melaporkan PPh pasal 21 di KPP setempat.

Dalam praktek, seringkali muncul konflik antara WP dan fiscus


menyangkut penentuan tempat pemotongan, penyetoran dan pelaporan
PPh pasal 21, khususnya untuk kantor di daerah yang tidak berfungsi
sepenuhnya sebagai cabang. Misalnya :
 gudang yang berlokasi di daerah yang hanya berfungsi sebagai
penyimpanan barang dengan sedikit karyawan digudang tersebut.
Tidak ada administrasi yang dilakukan digudang.
 Biro perwakilan di daerah yang bertugas memantau distribusi atau
penjualan, sementara transaksi langsung dilakukan dengan kantor
pusat.

WP demi alasan kepraktisan memilih untuk memotong dan menyetor


PPh pasal 21 di kantor pusat, sementara fiscus dengan alasan target
penerimaan di daerah "memaksa" WP agar memotong dan menyetor
PPh pasal 21 di daerah.

Menurut penulis konflik ini seharusnya tidak perlu terjadi, karena jika
merujuk pada ketentuan saat pemusatan diijinkan, kantor di daerah
yang tidak ada administrasi karyawan dan pembayaran gaji
pemotongan PPh pasal 21 nya dapat dipusatkan. Pilihan tentunya ada
ditangan WP, apakah akan tetap memusatkan pemotongan PPh
pasal 21 dengan konsekuensi memelihara konflik dengan fiscus atau
mendesentralisasikan pemotongan PPh pasal 21 dengan konsekuensi
WP akan sedikit direpotkan.

I. TAX PLANNING PPH PASAL 21/26

Sangat manusiawi jika WP berusaha untuk membayar pajak seminimum


mungkin dan selambat mungkin. Namun hal itu harus dilakukan dengan
itikad baik dan tidak melanggar aturan-aturan pajak. Penghematan
pembayaran pajak ini biasa dilakukan dengan melakukan perencanaan
pajak atau Tax Planning yaitu suatu upaya sistematis untuk menganalisa
berbagai alternatif perlakuan perpajakan atas transaksi tertentu dengan
tujuan pembayaran pajak yang paling minimum.

Pemahaman akan perlakuan biaya fiskal bagi pembayar penghasilan


(deductible/nondeductible) dan bagi penerima penghasilan
(taxable/nontaxable) akan sangat membantu dalam melakukan Tax
Planning, (lihat lagi daftar biaya pegawai di Lampiran 4.1)

Dalam hubungannya dengan PPh pasal 21/26 berikut ini diuraikan Tax
Planning sederhana untuk menghemat pembayaran pajak.

1. Taati KUP

Ketaatan WP akan prosedur pajak, seperti bayar tepat waktu dan tepat
jumlah, lapor tepat waktu dsb, akan menghindarkan WP dari sanksi-
sanksi admnistrasi yang tidak perlu.

2. Manfaatkan Fasilitas

Bagi penerima penghasilan, jika syarat terpenuhi, ajukan pembebasan


pemotongan PPh pasal 21 seperti yang dibahas di butir H diatas.

3. Pemberian Natura/Kenikmatan vs Tunjangan

Seperti yang telah di Bab 4, imbalan sehubungan dengan pekerjaan,


jasa dan kegiatan dapat dalam bentuk uang maupun
natura/kenikmatan.

Pemberian dalam bentuk uang tunai (gaji, THR, Tunjangan dll), dapat
dibebanan sebagai biaya pemberi kerja dan bagi penerima penghasilan
merupakan obyek PPh.

Pemberian dalam bentuk natura/kenikmatan (sembako, fasilitas rumah,


mobil, pajak ditanggung dll), tidak dapat dibebankan sebagai biaya
pemberi kerja dan bagi penerima penghasilan bukan merupakan obyek
PPh. (Nondeductible-Nontaxable)
Tetapi ada natura/kenikmatan tertentu yang dapat dibebankan sebagai
biaya bagi pemberi kerja dan bagi penerima penghasilan tetap bukan
merupakan obyek pajak. (Deductible-Nontaxable). Misalnya :

• Penyediaan makan dan minum bagi seluruh karyawan ditempat


kerja.

• Penyediaan antar jemput karyawan.

Berikut ini akan dibahas pilihan-pilihan terbaik diantara alternatif


pemberian imbalan tersebut.

1) Kebijakan Pemotongan PPh Pasal 21

Dalam melakukan tax planning ini, perlu dipertimbangkan kebijakan


perusahaan menyangkut pemotongan PPh pasal 21. Dimana ada 3
cara:

• PPh Pasal 21 dipotong dari penghasilan karyawan.

• PPh pasal 21 ditanggung perusahaan.

• PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan.

Dalam hal PPh pasal 21 dipotong dari penghasilannya karyawan, tax


planning tidak diperlukan karena satu-satunya pilihan hanyalah
memberikan tunjangan yang dapat dibebankan sebagai biaya fiskal.
Pembahasan berikut ini hanya untuk perusahaan yang menanggung
pajak atau memberikan tunjangan pajak kepada karyawannya.

2) Natura/Kenikmatan-Deductible-NonTaxable)

Telah disinggung seblumnya bahwa ada natura-natura tertentu yang


dapat dibebankan sebagai biaya fiskal. Pilihan perusahaan apakah
akan memberikan makan & minum kepada pegawai atau
memberikan tunjangan makan akam berdampak sama. yaitu
keduanya dapat dibiayakan. Tetapi jika diberikan dalam bentuk
natura akan
menghemat PPh pasal 21. Jadi dalam kondisi ini pilihan satu-
satunya adalah memberikan makan & minum kepada pegawai.

Tetapi pemberian makan & minum harus mempertimbangkan hal-


hal sebagai berikut:

• Kemungkinan timbulnya gejolak di kalangan pegawai, karena


tidak mendapatkan uang makan.

• Jika makan & minum disediakan perusahaan catering. perlu


diperimbangkan aspek PPh pasal 23 nya. Apakah pengusaha
catering bersedia dipotong atau tidak. Jika tidak apa yang harus
dilakukan?

3) Natura/Kenikmatan Diberikan WP Yang Penghasilannya Dikenakan


PPh Final

Seperti yang telah dibahas di Bab 4, natura/kenikmatan yang


diberikan oleh pihak- pihak tertentu, diantaranya WP yang
dikenakan PPh final, merupakan obyek pajak bagi pegawai.
Sehingga tidak ada bedanya memberikan tunjangan berupa uang
atau memberikan natura/kenikmatan Oleh karena itu, menurut
penulis, akan lebih baik memberikan tunjangan berupa uang kepada
karyawan sehingga akan menambah kesejahteraan karyawan.

4) Pajak Ditanggung vs Gross Up

Sama halnya dengan pegawai tetap, penerima penghasilan bukan


pegawai seringkali tidak bersedia dipotong PPh. Hal ini sebetulnya
bukanlah praktek yang baik. Karena apapun alasannya, pemberi
penghasilan tetap diwajibkan untuk menyetorkan PPh pasal 21 yang
terutang.

Menghadapi situasi ini, langkah terbaik adalah memberikan


pemahaman aturan pajak kepada penerima penghasilan, sehingga
mereka menjadi sadar pajak. Namun seringkali tidak
memungkinkan
melakukan hal itu, sehingga mau tidak mau pemberi penghasilan
harus menanggung pajaknya atau meng gross up penghasilannya
sebelum dikenakan pajak

Pajak Ditanggung adalah, dengan cara Gross Up perusahaan dapat


membebankan biaya yang lebih besar yaitu Rp.10.256.410. Dimana
dalam jumlah tersebut sudah menyerap unsur pajaknya dan akan
menghemat PPh Badan.

Dapat diambil kesimpulan bahwa lebih menguntungkan bagi


pemotong untuk menggunakan cara Gross Up, karena unsur pajak
sudah terserap dalam biaya yang dapat dibebankan.

Namun menjadi tidak ada gunanya untuk melakukan gross up jika


penghasilan yang dibayarkan merupakan biaya yang tidak dapat
dibebankan secara fiskal, misalnya honor penyanyi untuk acara
jamuan. Lebih baik digunakan cara Pajak Ditanggung yang akan
menghemat PPh pasal 21 yang harus dibayar.

Yang perlu diperhatikan untuk metode gross up adalah, nilai gross


up harus disepakati dalam kontrak antara pemotong dengan
penerima penghasilan, supaya terjadi kesesuaian antara :

• Biaya yang dibebankan pemotong dengan penghasilan yang


diakui oleh penerima penghasilan.

• Biaya yang dibebankan pemotong dengan bukti pembayaran/


kontraknya.

5) Iuran Pensiun/THT/JHT Bagi Pegawai Tetap

Untuk kesejahteraan Pegawai Tetap nya, perusahaan seringkah


mengikutsertakan mereka pada dana pensiun atau Jamsostek. Iuran
kepada lembaga tersebut sebagian ditanggung oleh perusahaan dan
sebagian lagi ditanggung karyawan.

Atas penghasilan berupa uang pensiun/JHT/THT, pengenaan


pajaknya baru akan diterapkan pada saat karyawan menerima
manfaat pensiun/JHT/THT. Untuk pengenaan pajak berganda, pada
saat iuran pensiun/JHT/THT dibayarkan ke dana pensiun atau
Jamsostek berlaku ketetentuan sebagai berikut:

a. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang telah


disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran JHT kepada badan
penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi keija -
bukan merupakan obyek PPh pasal 21.

b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada
dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau
badan penyelenggara THT atau JHT yang dipersamakan dengan
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan — merupakan pengurang penghasilan Pegawai Tetap

J. Bonus/Tantiem/Jasa Produksi Yang Dibebankan Ke Laba Setelah


Pajak

Bonus/Jasa Produksi/Tantiem merupakan obyek pemotongan PPh


pasal 21 bagi yang menerimanya. Sedangkan bagi yang
membayarkan, apakah bisa dibiayakan secara fiskal atau tidak
tergantung dibebankan kemana, sbb :

• Jika Bonus/Jasa Produksi dibebankan ke biaya tahun berjalan


maka dapat dibiayakan.

• Jika Bonus/Jasa Produksi dibebankan ke laba setelah pajak maka


tidak dapat dibiayakan.

• Tantiem tidak dapat dibiayakan, karena merupakan bagian


keuntungan yang diberikan kepada Direksi dan Komisaris dari
pemegang saham

Kesimpulan: Hindari pemberian Bonus/Jasa Produksi dari laba


setelah pajak, karena tidak berpengaruh pada penghematan PPh
Badan.

K. Bonus/Tantiem/Jasa Produksi/Gratifikasi Yang Diberikan


Kepada Mantan Pegawai
Bonus/Tantiem/Jasa Produksi/Gratifikasi yang diberikan kepada
mantan Pegawai dikenakan tarif pasal 17 UU PPh diterapkan atas
penghasilan bruto, yang artinya tidak ada pengurangan apapun.

Jika Bonus dll tersebut dianggap terutang (diaccrue) sebelum


pegawai berhenti bekerja, maka pengenaan PPh pasal 21 atas
bonus dll tersebut menggunakan tarif 1 Pegawai Tetap. Artinya
bonus dll tersebut digabung dengan penghasilan lainnya dan berhak
pengurangan biaya jabatan serta PTKP. Pada saat bonus dibayarkan
pada dasarnya adalah pembayaran hutang dan tidak ada
konsekuensi pajaknya.

Sepintas pilihan untuk membiayakan bonus dll pada saat pegawai


masih bekerja lebih menguntungkan. Tetapi sebenarnya pilihan
membiayakan dan membayarkan bonus pada saat pegawai telah
berhenti bekerja lebih menguntungkan, karena tarif akan dimulai
kembali dari tarif yang terendah.

4. Pemilihan Status Pegawai

Sesuai PMK 252/PMK.03/2008 pengenaan PPh pasal 21 ditentukan


berdasarkan status pegawai yang dibedakan sebagai berikut : Pegawai
Tetap, Pegawai Lepas dan Bukan Pegawai.

J. TAX PLANNING UPAH HARIAN, SATUAN & MINGGUAN


a. Hindari Batas Kena Pajak Harian

PER 31/PJ./2009 mengatur bahwa apabila upah harian tidak melebihi Rp.
150.000 sehari maka tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 21.

Selanjutnya juga diatur bahwa jika penghasilan yang diterima dalam


sebulan melebihi PTKP untuk WP sendiri (Rp. 1.320.000), maka PPh
pasal 21 dihitung ulang dengan menggunakan PTKP yang sebenarnya
dan tidak lagi menggunakan batas tidak kena pajak (Rp.150.000).
Dengan demikian, pemotongan PPh pasal 21 dapat dihindari dengan
jalan memberikan upah maksimal Rp.150.000 sehari, dan hindari
jumlah kumulatif upah dalam sebulan melebihi Rp.1.320.000.

Hal-hal yang harus dipersiapkan pemotong untuk melakukan hal ini


diantaranya :

• Perbaiki administrasi kepegawaian bagi penerima upah.

• Siapkan bukti pembayaran untuk masing-masing penerima upah.

• Siapkan daftar hadir bagi penerima upah.

b. Ubah Cara Bayar Harian menjadi Bulanan


Bila penghasilan penerima upah sudah melebihi Rp.1.320.000 dalam
sebulan, maka perlu dipertimbangkan untuk mengubah cara bayar dari
harian menjadi bulanan.

K. KEWAJIBAN PENCATATAN BAGI WP OP KARYAWAN


a. Dasar Hukum
 PMK 197/PMK.03/2007
 PER 4/PJ./2009
 SE 1/PJ.04/2009
b. Ketentuan Umum
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau
pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto; dan
2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
dan/atau pekerjaan bebas.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang semata-mata menerima
penghasilan dari pemberi kerja, menyimpan dokumen berupa formulir
1721- A1/1721-A2 tersebut sudah dapat dianggap melakukan
pencatatan.
c. Ruang Lingkup Pencatatan WP OP Non Pengusaha/ Pekerjaan
Bebas
Pencatatan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak orang pribadi
sebagaimana dimaksud pada butir 2.b. meliputi :
a) penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang
tidak dikenal pajak bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
tersebut; dan/atau
b) penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
c) Harta dan kewajiban yang dimiliki.

Penghasilan yang harus dicatat meliputi:

Penghasilan Bruto yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas meliputi
penghasilan bruto sehubungan dengan pekerjaan yang diterima Wajib
Pajak sendiri, isteri, dan anak/anak angkat yang belum dewasa,
termasuk penghasilan yang diterima dari pemberi kerja yang tidak
wajib memotong PPh Pasal 21 serta dari pemberi kerja yang bukan
subjek pajak namun tidak dikecualikan untuk memotong PPh Pasal 21
kecuali :

a. Penghasilan isteri dari satu pemberi kerja;

b. Anak/anak angkat yang belum dewasa yang memperoleh


penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa.

d. Ketentuan Pencatatan

a. Pencatatan peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau


penghasilan bruto oleh Wajib Pajak orang pribadi meliputi seluruh
peredaran dan/atau penerimaan dan/atau penghasilan bruto yang
telah diterima secara tunai.

b. Pencatatan harus dibuat dalam suatu Tahun Pajak, yaitu jangka


waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.

c. Pencatatan harus dibuat secara kronologis dan sistematis


berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto.

d. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan mata uang Rupiah


sebesar nilai yang sebenarnya terjadi dan disusun dalam bahasa
Indonesia.

e. Pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad


baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya serta didukung
dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan.

f. Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus


disimpan ditempat tinggal Wajib Pajak dan/atau tempat kegiatan
usaha dan/atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh)
tahun terhitung sejak berakhirnya Tahun Pajak.

Dokumen yang harus disimpan diantaranya :

1721 A1/1721 A2, Rekening koran bank, buku tabungan, fotokopi


deposito atau sertifikat deposito. Sertifikat Bank Indonesia. dan/atau
bukti pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan

e. Contoh Pencatatan

a. Penghasilan Yang Merupakan Obyek Pajak Tidak Final


Penghasilan Bruto

Tahun 200………..

Tanggal Uraian Penghasilan Pengurang Penghasilan Keterangan


Bruto (Rp) Penghasilan Neto (RP)
Bruto (Rp)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


1 Januari

31 Desember --------- --------—


Jumlah

b. Penghasilan Yang Bukan Merupakan Obyek Pajak


Peredaran atau penerimaan Bruto dan atau Penghasilan
Bruto Tahun…………

Tanggal Uraian Jumlah Bruto Keterangan


(Rp)
(1) (2) (3) (4)
1 Januari

31 Desember
Jumlah

c. Penghasilan Yang Bukan Merupakan Obyek Pajak


Peredaran atau penerimaan Bruto dan atau
Penghasilan Bruto
Tahun…………

Dasar Pengenaan PPh Keterangan


Pajak/ Terutang
Penghasilan Bruto (Rp)
Tanggal Uraian (Rp)
(1) (2) (3) (4)
1 Januari

31
Desember
Jumlah
L. KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPH OP BAGI
KARYAWAN

Seiring dengan gencarnya DJP menjaring WP baru, terjadi penambahan


jumlah karyawan ber NPWP yang sangat signifikan. Tentunya menjadi
masalah bagi karyawan yang masih awam pajak untuk memahami dan
melaksanakan kewajiban perpajakannya, khususnya dalam hal pengisian
dan penyampaian SPT Tahunan. Dalam bagian ini akan dibahas kewjiban
karyawan untuk menyampaiakan SPT Tahunan PPh WP OP.

Jenis-jenis SPT Tahunan PPh WP OP


SPT 1770 SS digunakan untuk melaporkan penghasilan WP OP yang
mempunyai penghasilan dari satu Pemberi Kerja dengan penghasilan bruto
tidak melebihi Rp 60.000.000,- setahun.
SPT 1770 S digunakan untuk melaporkan penghasilan WP OP yang.
mempunyai penghasilan dari:
a. Satu atau lebih Pemberi Kerja.
b. Dalam negeri lainnya.
c. Yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat final.
SPT 1770 digunakan untuk melaporkan penghasilan WP OP yang mempunyai
penghasilan dari:
a. Usaha / pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau
norma penghitungan penghasilan netto.
b. Satu atau lebih Pemberi Kerja. . .
c. Dalam negeri lainnya.
d. Yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat final

M. RESTITUSI LEBIH BAYAR BAGI KARYAWAN

Pasal 17 D UU KUP mengatur bahwa DJP setelah melakukan penelitian atas


permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang memenuhi
syarat tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak. Surat keputusan tersebut akan
diterbitkan dalam waktu 3 bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk PPh, dan 1 bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk PPN.

WP yang diberikan pengembalian pendahuluan


pembayaran pajak tersebut adalah :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan


usaha atau pekerjaan bebas;

2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha


atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran
usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu;

3. Wajib Pajak Badan dengan jumlah peredaran usaha


dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu

4. Pengusaha Kena Pajak ygna menyampaikan Surat


Pemberiatahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu.

Dalam hal ini Karyawan termasuk dalam kategori yang


pertama, yaitu tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebbs, dan berhak mengajukan restitusi.

Dalam kondisi apa terjadi lebih bayar dalam SPT


Tahunan PPh WP OP yang tidak menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas ? digntaranya sebagai berikut:
Pegawai Tetap yang bekerja di satu pemberi kerja
melakukan pembayaran zakat. Pada saat zakat ini
dikurangkan dari penghasilan netonya dalam SPT
Tahunan, maka akan mengakibatkan PPh lebih bayar.
Aturan lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam PER
193/KMK.03/2007.

Anda mungkin juga menyukai