Anda di halaman 1dari 19

SEMINAR AKUNTANSI

“INTELECTUAL CAPITAL”

Disusun oleh:

Rui Lopes

2102A092

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Amkop Makassar


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk dapat menciptakan nilai tambah serta keunggulan bersaing pada


perusahaan modern, Setiap perusahaan sangatlah bergantung terhadap ilmu
pengetahuan dan sumber daya manusia. Kemampuan karyawan, teknologi informasi,
dan hubungan dengan pemasok dan pelanggan merupakan bagian dari aset tidak
berwujud yang dapat dikategorikan sebagai intellectual capital. Ulum, Ghozali, &
Chariri (2008) memberikan definisi awal tentang intellectual capital bahwa
intellectual capital adalah material yang disusun, ditangkap, dan digunakan untuk
menghasilkan nilai aset yang lebih tinggi.

Persaingan dalam era globalisasi terakhir ini mengalami perkembangan yang


sangat pesat, baik dalam skala kecil, menengah maupun besar dan juga menghasilkan
perubahan paradigma yang signifikan dari sebelumnya. Perusahaan pun harus
mengubah pola manajemen dari pola manajemen berbasis tenaga kerja labor based
bussines menjadi manajemen berbasis pengetahuan knowledge based business,
sehingga karakteristik utama perusahaannya menjadi perusahaan berbasis ilmu
pengetahuan. Pengetahuan telah diakui sebagai komponen bisnis yang penting dan
sumber daya strategis yang lebih sustainable berkelanjutan untuk memperoleh dan
mempertahankan competitive advantage.

Solikhah 2010 menemukan bahwa pengetahuan telah menjadi mesin baru


dalam suatu pengembangan bisnis, sehingga pada akhirnya para pelaku bisnis mulai
menyadari bahwa kemampuan bersaing suatu perusahaan tidak hanya terletak pada
seberapa banyak aset berwujud yang dimilikinya, akan tetapi pada kemampuan
inovasi, sistem informasi, pengelolaan organisasi, dan sumber daya manusia yang
dimilikinya. Perubahan paradigma tersebut menyebabkan timbulnya perubahan
paradigma pelaporan akuntansi (Suhendah, 2012). Pada mulanya paradigma
akuntansi menganggap laporan keuangan memiliki fungsi pertanggungjawaban
kepada pemilik. Namun saat ini paradigma akuntansi baru menunjukkan bahwa
laporan keuangan memiliki fungsi pengambilan keputusan bagi pemegang saham.
Keterbatasan pelaporan keuangan pada akuntansi tradisional dalam menjelaskan nilai
perusahaan menunjukkan bahwa sumber ekonomi tidak berupa aset fisik melainkan
aset tak berwujud yakni intellectual capital atau modal intelektual yang mengandung
unsur pemikiran yang dimiliki oleh karyawan (Faza dan Hidayah, 2014).

1
2

Sedangkan menurut Magdalena & Gede (2016), istilah modal intelektual


(intellectual capital) digunakan untuk semua yang merupakan aset dan sumber daya
non-tangible atau non-physical dari sebuah organisasi yaitu mencangkup proses,
kapasitas inovasi, pola-pola, dan pengetahuan yang tidak terlihat dari para anggotanya
dan jaringan kolaborasi serta hubungan organisasiTax haven kerap dituding sebagai
wilayah bagi individu atau perusahaan untuk menghindari pajak dari suatu negara
dengan membuat anak perusahaan di wilayah atau negara tax haven. Negara-negara
ini juga dianggap sebagai tempat bagi koruptor untuk menyimpan aset-aset berharga
mereka.

Menurut Farneti dan Guthrie (2009), intellectual capital yang dimiliki


organisasi merepresentasikan faktor kunci dalam pembentukkan nilai perusahaan
sekaligus merupakan sumber daya kunci untuk diatur dan dilaporkan. Intellectual
capital dianggap penting sebagai sumber potensial yang dapat membantu perusahaan
dalam mencapai keunggulan kompetitifnya secara berkelanjutan (sustainable
competitive advantage) serta intellectual capital juga mampu untuk menemukan
peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan suatu perusahaan, sehingga dapat
mempengaruhi daya tahan dan keunggulan bersaing dalam berbagai macam hal.

Mereka bisa menempatkan uangnya tanpa banyak ditanya dan dicurigai.


Dengan demikian, pajak yang seharusnya bisa diperoleh dari perusahaan-perusahaan
hilang dengan adanya tax heaven. Untuk bisa memaksimalkan penerimaan suatu
negara dari sektor perpajakan, maka salah satu cara yang harus dilakukan adalah
dengan tidak diberlakukannya tax heaven. Karena dengan adanya tax heaven,maka
para wajib pajak lari ke Negara tax heaven untuk menghindari pajak di negaranya.

Istilah Intellectual Capital (IC) memiliki arti lebih dari sekedar kecerdasan
(intellect) yang dimiliki oleh perusahaan saja, tetapi merupakan sebuah proses
ideologis untuk mencapai tujuan perusahaan (Bontis,1998) dalam Hermanus dan
Patricia (2013). Dalam perkembangannya IC dapat didefinisikan sebagai sumber daya
tidak berwujud yang dimiliki sebuah organisasi bisnis, yang dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan nilai tambah dan keunggulan bersaing bagi perusahaan.

Fakta bahwa IC merupakan salah satu sumber daya perusahaan yang dapat
menghasilkan nilai tambah bagi perusahaan melahirkan gagasan bahwa pemanfaatan
IC dapat meningkatkan kinerja organisasi bisnis. Sejak saat itu, semakin banyak
peneliti maupun manajemen perusahaan yang memperhatikan keberadaan IC.

Penelitian-penelitian terdahulu sampai saat ini mengkategorikan modal


intelektual menjadi tiga jenis kategori yaitu, human capital, structural capital, dan
3

relational capital (Sveiby, 1997). Fenomena modal intelektual (intellectual capital)


sendiri mulai berkembang semenjak adanya PSAK No. 19 tahun 2015 tentang Aktiva
Tidak Berwujud dimana dalam PSAK tersebut disebutkan bahwa aktiva tidak
berwujud didefinisikan dalam paragraf 8 PSAK 19 sebagai aset non-mometer
terindentifikasi tanpa wujud fisik yang digunakan dalam menghasilkan barang dan
jasa. Walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai bagaimana cara
pengukuran dan item-item apa saja yang harus dilaporkan, namun dari penyataan
tersebut, informasi mengenai modal intelektual (intellectual capital) menjadi trend
topik di Indonesia dan menjadi fokus perhatian bagi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia).

Menurut Suhardjanto dan Wardhani (2010) pengungkapan informasi


mengenai aset pengetahuan pada laporan keuangan merupakan pendekatan yang
sesuai untuk mengembalikan kualitas laporan keuangan sebagaimana mestinya.
Pengungkapan informasi mengenai aset pengetahuan dikenal dengan nama
intellectual capital disclosure. Intellectual capital disclosure merupakan salah satu
area yang menarik perhatian baik bagi pihak akademisi maupun praktisi sebagai salah
satu instrumen untuk menentukan nilai perusahaan (Purnomosidhi, 2006).

Walaupun pengungkapan modal intelektual yang dilakukan perusahaan-


perusahaan di Indonesia masih sangat minim dikarenakan belum adanya standar yang
mengatur bagaimana cara pengukuran dan item-item apa saja yang harus
diungkapkan, pengungkapan modal intelektual diyakini sangat penting bagi
perusahaan. Selain itu, manajemen dan investor/kreditor merupakan pihak yang
terpisah dan hubungan dua pihak tersebut dapat dipandang sebagai hubungan
keagenan yang dikhawatirkan akan terjadi asimetri informasi antara kedua pihak
tersebut dengan manajemen sebagai pihak yang lebih menguasai informasi
(Suwardjono, 2005). Dengan adanya pengungkapan modal intelektual diharapkan
perusahaan dapat mengurangi tingkat asimetri informasi dan meningkatkan
kepercayaan karyawan maupun investor sehingga investor lebih termotivasi untuk
menanamkan sahamnya di perusahaan. Hal ini menarik peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengungkapan modal
intelektual.

Di Indonesia sendiri, keberadaan IC mulai mendapat perhatian seiring dengan


munculnya PSAK No 19 revisi tahun 2000 tentang aset tidak berwujud. Ulum (2009)
berpendapat bahwa meskipun dalam standar tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit
sebagai IC, hal ini sudah cukup membuktikan bahwa fenomena IC telah mendapat
perhatian oleh dunia akuntansi di Indonesia Meningkatnya fenomena IC
4

menyebabkan metode pengukuran terhadap IC menjadi topic penting, mengingat


potensi keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan baik secara langsung maupun
tidak langsung atas pengelolaan aset IC perusahaan. Banyak penelitian dilakukan
untuk menemukan metode yang tepat untuk mengukur IC perusahaan, salah satunya
adalah model Value Added Intellectual Coefficient (VAIC) yang dikembangkan oleh
Ante Pulic pada tahun 1998. Komponen utama dari VAIC™ yang dikembangkan
Pulic (1998) tersebut dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital
value added capital employed -VACE, human capital value added human capital -
VAHC dan structural capital value added structural capital - SCVA. Menurut Pulic
(1998), tujuan utama dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk
menciptakan value added, sedangkan untuk dapat menciptakan value added
dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital yaitu dana-dana keuangan dan
intellectual potential direpresentasikan oleh karyawan dengan segala potensi dan
kemampuan yang melekat pada mereka. Salah satu keunggulan metode Pulic adalah
karena data yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dari berbagai sumber dan jenis
perusahaan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai rasio tersebut adalah
angka-angka keuangan yang standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan
perusahaan.

Beberapa penelitian terdahulu telah banyak meneliti tentang analisis faktor-


faktor yang mempengaruhi praktik pengungkapan modal intelektual. Penelitian yang
dilakukan oleh Soebyakto, Agustina, dan Mukhtaruddin (2015), menyatakan bahwa
terdapat pengaruh positif yang signifikan antara ukuran perusahaan, leverage, dan
umur perusahaan terhadap intellectual capital disclosure. Namun corporate
governance, dan profitabilitas tidak memiliki pengaruh dalam intellectual capital
disclosure (ICD). Penelitian Susilowati dkk (2014), menyatakan bahwa ukuran
perusahaan, profitabilitas, leverage dan struktur kepemilikian memiliki pengaruh
terhadap pengungkapan intellectual capital.

Sedangkan, komisaris independen dan umur listing tidak berpengaruh


terhadap pengungkapan intellectual capital. Penelitian Faradina (2015), menyatakan
bahwa umur perusahaan, leverage, profitabilitas, dan kosentrasi kepemilikan tidak
berpengaruh terhadap pengungkapan intellectual capital, sedangkan ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap intellectual capital dosclosure (ICD). Penelitian
yang dilakukan oleh Mentari, Ashari, dan Wijana (2016) menyatakan bahwa
profitabilitas dan komisaris independen berpengaruh pada pengungkapan modal
intelektual, sedangkan umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan leverage tidak
berpengaruh pada pengungkapan modal intelektual. Penelitian yang dilakukan oleh
5

Nugroho (2012) menyatakan bahwa ukuran, umur perusahaan, komisaris independen,


leverage, dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan modal
intelektual. Penelitian yang dilakukan oleh Ghosh dan Mondal (2014) menyatakan
bahwa ukuran komite audit, umur, dan ukuran perusahaan mempunyai hubungan
positif dengan intellectual capital disclosure. Sedangkan, VAIC, profitabilitas, dan
leverage mempunyai hubungan negatif dengan intellectual capital disclosure.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Cahya (2013) menyatakan bahwa


ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, dan ukuran komite audit
berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan modal intelektual. Sedangkan,
kinerja modal intelektual, tingkat utang, dan konsentrasi kepemilikan saham tidak
berpengaruh terhadap luas pengungkapan modal intelektual.

Melihat dari hasil penelitian terdahulu, maka penelitian ini dilakukan untuk
melihat pengaruh struktur kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, leverage,
profitabilitas, umur perusahaan terhadap intellectual capital disclosure. di dalam
penelitian ini variabel independen ditambah dengan komisaris independen yang
diambil dari penelitian Susilowati dkk (2014).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok
pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang
dapat dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap intellectual capital


disclosure?
2. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap intellectual capital
disclosure?
3. Apakah profitabilitas berpengaruh positif terhadap intellectual capital disclosure?
4. Apakah leverage berpengaruh positif terhadap intellectual capital disclosure?
5. Apakah umur perusahaan berpengaruh positif terhadap intellectual capital
disclosure?
6. Apakah komisaris independen berpengaruh positif terhadap intellectual capital
disclosure?’

1.3 Tujuan Pembelajaran


6

Adapun tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Seminar Akuntansi, juga untuk memperoleh gambaran atau jawaban atas
masalah di atas adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajerial terhadap intellectual capital


disclosure.
2. Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap intellectual capital
disclosure.
3. Untuk mengetahui pengaruh profitabilitas terhadap intellectual capital disclosure.
4. Untuk mengetahui pengaruh leverage terhadap intellectual capital disclosure.
5. Untuk mengetahui pengaruh umur perusahaan terhadap intellectual capital
disclosure.
6. Untuk mengetahui pengaruh komisaris independen terhadap intellectual capital
disclosure. Agar kita dapat mengetahhui profil dari Kepulauan Cayman sebagai
tax heaven dan pengaruhnya bagi negara-negara lain.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Intellectual Capital
2.1.1 Pengertian Intelectual Capital

Menurut Stewart (1998) intellectual capital adalah jumlah semua hal yang
diketahui dan diberikan oleh semua orang dalam perusahaan yang memberikan
keunggulan bersaing. Intellectual capital adalah materi intelektual-pengetahuan,
informasi, hak pemilikan intelektual dan pengalaman yang dapat digunakan untuk
menciptakan kekayaan.

Definisi intellectual capital yang dikemukakan oleh Organization for


Economic Cooperation and Development (OECD, 1999 dalam Ulum, 2009:21)
menjelaskan intellectual capital sebagai nilai ekonomi dari dua kategori intangible
assest yaitu organisasional (structural) capital dan human capital. Organisasional
(structural) capital mengacu pada hal seperti sistem software, jaringan distribusi, dan
rantai pasokan. Human capital meliputi sumber daya manusia di dalam organisasi
(sumber daya tenaga kerja atau karyawan) dan sumber daya eksternal yang berkaitan
dengan organisasi seperti konsumen dan supplier.

Mavridis (2004) mengatakan intellectual capital adalah aset tidak berwujud


(intangible asset) yang mampu memberi nilai kepada perusahaan dan masyarakat
yang meliputi paten, hak atas kekayaan intelektual, hak cipta dan waralaba. Bukh et
al. (2005) menjelaskan intellectual capital sebagai sebuah penggerak keunggulan
kompetitif dan penghubung kemampuan perusahaan untuk mengatur dan
memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Oleh karena itu, intellectual
capital merupakan suatu konsep penting yang dapat memberikan sumber daya
berbasis pengetahuan dan mendeskripsikan intangible assets yang jika digunakan
secara optimal memungkinkan perusahaan untuk menjalankan strateginya dengan
efektif dan efisien.

2.1.2 Komponen Intellectual Capital


Definisi tentang intellectual capital di atas mengarahkan beberapa peneliti
untuk mengembangkan komponen spesifik atas intellectual capital. Leif Edvinsson
menyatakan bahwa nilai intellectual capital suatu perusahaan adalah jumlah dari
human capital (HC) dan structural capital (SC) perusahaan (Edvinsson and Malone,
1997 dalam Ulum, 2009:25).
Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa para peneliti secara umum
mengidentifikasi tiga konstruk utama dari intellectual capital yaitu human capital

7
8

(HC), structural capital (SC) dan customer capital (CC). Sedangkan Pulic (2004)
mengelompokkan komponen intellectual capital dalam tiga komponen utama yaitu
capital employed (CE), human capital (HC), dan structural capital (SC).
1. Human Capital (HC)
Human capital merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan
kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human capital akan
meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki
oleh karyawannya (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Dalam human capital
terdapat suatu kekuatan intellectual capital yang berasal dari sumber daya
manusia yang dimiliki perusahaan yaitu karyawan yang kompeten,
berkomitmen, termotivasi dalam bekerja dan memiliki loyalitas kepada
perusahaan. Mereka adalah inti dari penciptaan kekuatan intektual yang dapat
menghilang ketika mereka sudah tidak bekerja lagi untuk perusahaan (Bontis
dalam Margaretha, 2006).
Human capital berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk bertindak
dalam setiap situasi dan kondisi seperti kemampuan, pengalaman,
pendidikan, motivasi (Cheng et al, 2010).
Brennan dan Connel (2000) menjelaskan bahwa sumber daya manusia yang
diukur dengan berfokus pada tenaga kerja mencerminkan human capital
dalam pembaharuan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai indeks
untuk menghitung kompetensi karyawan, kreativitas dan hasil penjualan dari
suatu produk yang dihasilkan.
2. Structural Capital (SC)
Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam
memenuhi proses rutinitas perusahaan dan struktur yang mendukung usaha
karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja
bisnis secara keseluruhan. Misalnya, sistem operasional perusahaan, proses
manufakturing, budaya organisasi dan filosofi manajemen (Sawarjuwono dan
Kadir, 2003).
Menurut Wang dan Chang (2005) structural capital memiliki hubungan
dengan sistem dan struktur perusahaan yang dapat membantu karyawan untuk
mencapai kinerja intelektual maksimal, sehingga kinerja perusahaan secara
keseluruhan dapat meningkat.
Structural capital merupakan bentuk kekayaan yang nyata bagi perusahaan.
Selain berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan seluruh hasil aktivitas
penciptaan nilai yang dihasilkan oleh human capital, juga berfungsi sebagai
9

infrastruktur atau penunjang bagi human capital untuk menjalankan aktivitas


penciptaan nilai bagi perusahaan (Ardiyanto dan Entika, 2012).
Bontis (2000) mendefinisikan structural capital sebagai mekanisme dan
struktur organisasi yang dapat membantu dukungan karyawan agar dapat
menciptakan kinerja intelektual yang optimal dan juga kinerja bisnis secara
keseluruhan. Artinya structural capital mencerminkan organisasi dan
pelanggan yang mewakili nilai dari hubungan dengan pelanggan, pemasok,
asosiasi industri dan pasar.
3. Capital Employed (CE)
Capital employed adalah seluruh nilai berwujud yang terdapat pada hubungan
perusahaan dengan lingkungan eksternal perusahaan (klien, distributor,
pemasok, investor) yang dinyatakan melalui penghargaan dan reputasi antar
klien, hubungan serikat buruh, serta kepercayaan dan persetujuan.
Elemen ini merupakan komponen intellectual capital yang memberikan nilai
secara berwujud serta dari luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah
nilai bagi peusahaan tersebut (Bontis, 2000). Sawarjuwono dan Kadir (2003)
menjelaskan capital employed merupakan hubungan yang dimiliki oleh
perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari pemasok yang andal
dan berkualitas, pelanggan yang loyal dan puas akan pelayanan perusahaan,
serta hubungan perusahaan dengan pemerintahan maupun masyarakat sekitar.
Model membentuk tiga lingkaran yang saling mengait dan disatukan oleh
sebuah segitiga yang menggambarkan hubungan timbal balik antara ketiga
komponen intelectual capital. Value creation tergantung kepada proses
iteratif dari human capital ke structural capital, structural ke capital
employed, capital ke human capital dan sebaliknya.
2.1.3 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM)

Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) merupakan metode yang


dikembangkan oleh Pulic pada tahun 1997 yang didesain untuk membantu
mempresentasikan dan menghitung informasi mengenai value creation efficiency dari
aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki
perusahaan.

Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value


added (VA). Value added adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan
bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (Pulic 1997
dalam Ulum, 2009:86). Selain itu, VAIC™ juga merupakan alat manajemen
10

pengendalian yang memungkinkan organisasi untuk memonitor dan mengukur


kinerja intellectual capital dari suatu perusahaan.

Value added dihitung sebagai selisih antara output dan input. Nilai output
(OUT) mempresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang
dihasilkan perusahaan untuk dijual, sedangkan input (IN) meliputi seluruh beban yang
digunakan perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa dalam rangka
menghasilkan revenue.

Hal penting dalam model ini adalah beban karyawan tidak termasuk dalam
input (IN) karena karyawan berperan penting dalam proses penciptaan nilai (value
creation) yang tidak dihitung sebagai biaya (cost). Formulasi dan tahapan perhitungan
VAICTM adalah sebagai berikut (Pulic, 2004):

1. Menghitung Value Added (VA). Value added (VA) dihitung sebagai selisih
antara output dan input.
VA = OUTPUT-INPUT
Di mana:
Output: Total penjualan dan pendapatan lain.
Input : Beban penjualan dan biaya-biaya lain (selain beban karyawan).
2. Menghitung Capital Employed Efficiency (CEE).
CEE merupakan perbandingan antara value added (VA) dengan ekuitas
perusahaan (CE). Rasio ini menujukkan kontribusi yang dibuat oleh setiap
unit CE terhadap value added organisasi.
𝑽𝑨
CEE =
𝑪𝑬
Di mana:
CEE: Capital Employed Efficiency
VA : Value Added
CE : Capital Employed: Dana yang tersedia (ekuitas, laba bersih).

3. Menghitung Human Capital Efficiency (HCE).


HCE menunjukkan kontribusi setiap rupiah yang diinvestasikan dalam HC
terhadap terhadap value added organisasi.
11

𝑽𝑨
HCE =
𝑯𝑪
Di mana:
HCE: Human Capital Efficiency
VA : Value Added
HC : Human Capital: Beban Karyawan.
4. Menghitung Structural Capital Efficiency (SCE).
Rasio ini mengukur jumlah structural capital (SC) yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 1 rupiah dari value added (VA) dan merupakan indikasi
keberhasilan structural capital (SC) dalam penciptaan nilai.
𝑺𝑪
SCE =
𝑽𝑨
Di mana:
SCE: Structural Capital Efficiency
SC : Structural Capital: VA-HC
VA : Value Added
5. Menghitung Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM).
VAICTM merupakan penjumlahan dari 3 komponen yaitu: CEE, HCE, dan SCE.
VAIC = CEE + HCE + SCE
2.1.4 Bagaimana Mengelola Intellectual Capital
Edvidson (2002;7) menyatakan bahwa intellectual capital bukan merupakan
teknik manajemen tetapi lebih pada pendekatan fundamental untuk mengatur sumber
daya dan asset dalam organisasi.
Kok (2005:386) terdapat 2 (dua) pendekatan untuk mengelola intellectual
capital atau knowledge dari organisasi. Pendekatan pertama didasari pada pemikiran
meningkatkan pengetahuan dari anggota organisasi, maka akan meningkatkan
kemampuan dalam menghasilkan laba dalam jangka panjang. Pendekatan ini
memfokuskan pada karyawan organisasi untuk melakukan penciptaan nilai,
pembelajaran, komunikasi dan menyebarkan pengetahuan. Pendekatan kedua
memandang IC sebagai asset perusahaan yang dapat dinilai dan dapat dikelola
sehingga dapat menghasilkanlaba. Dalam pandangan ini ada dua pendekatan dasar
yaitu :
1) Inovasi sebagai strategi bisnis. Hal ini dilakukan dengan mengelola
intellectual capital termasuk komersialisasi inovasi, penggunaan teknologi
untuk menghasilkan keunggulan kompetitive dan pengidentifikasian,
perlindungan dan komersialisasi intellectual property. Hal ini dilakukan
12

dengan penekanan pemahaman kebutuhan pasar dengan melakukan riset dan


development.
2) Manajemen sebagai pencipataan knowledge. Hal ini dilakukan dengan focus
terhadap pengelolaan organisasi secara kreatif dengan membuat organisasi
lebih efektif dan fleksibel.
2.1.5 Pelaporan Intellectual capital Dalam Laporan Keuangan
Akuntansi mempunyai keterbatasan dalam pelaporan intellectual capital.
Standar akuntansi yang ada saat ini belum mampu menangkap dan melaporkan
investasi yang dikeluarkan untuk memperoleh sumber daya non fisik. Investasi
sumber daya non fisik yang dapat ditangkap dan dilaporkan menurut standar
akuntansi saat ini baru sebatas investasi dalam bentuk intellectual property.
Dengan demikian, akuntansi juga diyakini belum mampu malakukan
pengakuan dan pengukuran terhadap intellectual capital, karena akuntansi cenderung
hanya berfokus pada aset yang sifatnya nyata (hard assets) saja. Kalaupun ada
intangible asset yang diakui dan diukur dalam laporan keuangan, kebanyakan masih
didasarkan pada nilai historis (historical cost) bukan potensinya dalam menambah
nilai (Stewart, 1997).Keterbatasan-keterbatasan tersebut memberikan tantangan bagi
akuntansi manajemen maupun akuntansi keuangan. Akuntansi manajemen
memerlukan alat baru untuk mengelola investasi keahlian karyawan, informasi dan
teknologi.
Pelaporan intellectual capital dalam akuntansi telah diatur dalam PSAK 19
(revisi 2009) tentang aset tak berwujud dalam Dalam hal ini PSAK 19, menyatakan
bahwa tidak semua biaya yang dikeluarkan untuk mewujudkan IC bisa diakui sebagai
aset Aset tidak berwujud. PSAK 19 menyatakan bahwa aset merupakan sumber daya
yang : a) dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat peristiwa masa lalu b)manfaat
ekonomis masa depan dari aset tersebut diharapkan akan diterima oleh entitas.
Lebih lanjut PSAK 19 menyatakan bahwa entitas sering kali mengeluarkan
sumber daya atau menciptakan liabilitas dalam perolehan, pengembangan,
pemeliharaan atau peningkatan aset tak berwujud seperti ilmu pengetahuan atau
teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan
intelektual, pengetahuan mengenai pasar, merek dagang. Namun tidak semua biaya
yang dikeluarkan untuk hal tersebut diatas memenuhi definisi aset tidak berwujud
misalkan biaya riset, biaya pelatihan karyawan, desain atau implementasi system atau
proses baru.
Biaya- biaya tersebut tidak bisa diakui sebagai asset tidak berwujud karena
tidak memenuhi criteria asset tidak berwujud yaitu : Keteridentifikasian, adanya
pengendalian entitas atas aset tersebut dan adanya manfaat ekonomi masa depan dan
13

biaya perolehan asset dapat diukur dengan andal. Jika tidak memenuhi criteria diatas
maka pengeluaran biaya untuk menciptakan Intellectual capital tidak bisa diakui
sebagai asset dalam laporan keuangan.
Pengeluaran biaya yang terkait untuk menciptakan intelellectual capital yang
dicatat sebagai beban menurut PSAK 19 (Revisi 2009) adalah:
a) Pengeluaran biaya yang digunakan untuk menciptakan goodwill (goodwill
yang dihasilkan secara internal
b) Biaya pra operasi perusahaan
c) Biaya training
d) Biaya iklan
e) Biaya relokasi
f) Biaya riset.

Biaya tersebut diakui pada saat terjadinya sebagai beban sebagai pengurang
pendapatan dalam laporan laba-rugi. Biaya pelatihan/trainings karyawan misalnya,
biaya tersebut tidak bisa diakui sebagai asset direnakan perusahaan tidak bisa
melakukan pengendalian atas SDM perusahaan. Contoh lain adalah biaya riset, Riset
didefinisikan sebagai penyelidikan asli dan terencana yang dilaksanakan dengan
harapan memperoleh pengetahuan dan pemahaman teknis atas ilmu baru. Dalam riset,
perusahaan belum bisa memastikan apakah riset tersebut dapat berhasil atau tidak,
sehingga manfaat ekonomis masa depan yang diperoleh entitas atas riset tersebut
belum bisa dipastikan sehingga biaya yang dikeluarkan pada riset tidak diakui sebagai
asset. Namun demikian PSAK 19 (revisi 2009) menyatakan biaya yang dikeluarkan
dalam tahap pengembangan boleh diakui sebagai asset. Pengembangan merupakan
penerapan temuan penelitian atau pengetahuan lain pada saat suatu rencana atau
rancangan produksi bahan baku, alat, produk, proses, system atau jasa yang baru atau
yang mengalami perbaikan subtansial, sebelum dimulainya produksi komersial. Biaya
yang dikeluarkan dalam tahap pengembangan bisa diakui sebagai asset jika syarat
berikut ini terpenuhi, yaitu entitas dapat menunjukkan :

a) Kelayakan teknis penyelesaian asset tidak berwujud sehingga asset tersebut


dapat digunakan atau dijual
b) Niat untuk meyelesaikan asset tidak berwujud tersebut dan menggunakannya
atau menjualnya
c) Kemampuan untuk menggunakan atau menjual asset tidak berwujud tersebut
d) Bagaimana asset tidak berwujud akan menghasilkan kemungkinan besar
manfaat ekonomi masa depan. Antara lain entitas dapat menunjukkan adanya
pasar aktif bagi keluaran asset tidak berwujud atau jika asset tersebut
14

digunakan internal, entitas harus menunjukkan kegunaan asset tidak


berwujud tersebut.
e) Tersedianya kecukupan sumber daya teknis, keuangan, dan sumber daya lain
untuk menyelesaikan pengembangan asset tidak berwujuddan untuk
menggunakan atau menjual asset tersebut.
f) Kemampuan untuk mengukur secara andal pengeluaran yang terkait dengan
asset tidak berwujud selama pengembangan.(PSAK 19, Revisi 2009)

Sedangkan Intelectual Capital yang diakui sebagai asset diantaranya adalah


sebagai berikut : 1) Software computer 2)Patents 3)hak cipta 4)Lisensi 5)Kuota
import 6)Goodwill yang dihasilkan dari kombinasi bisnis atau akuisisi perusahaan.
7)franchise
BAB III

KESIMPULAN

Perusahaan sangat perlu untuk menerapkan manajemen berbasis ilmu


pengetahuan mengingat hal tersebut merupakan asset perusahaan yang sangat
diperlukan bagi keberhasilan perusahaan. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan
dan teknologi maka akan dapat diperoleh bagaimana cara menggunakan sumber
dayalainnya secara efisien dan ekonomis yang nantinya akan memberikan
keunggulanbersaing (Rupert 1998).

Penerapan Knowledge manajemen di Indonesia memang masing baru.


Akuntansi dengan produk utamanya pelaporan keuangan telah lamadirasakan
manfaatnya sebagai salah satu sarana untuk mengambil keputusan yang bermanfaat.
Namun demikian akuntansi mempunyai keterbatasan yang melekat didalamnya.
Dalam hal ini akuntansi tidak mengakui semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka
untuk menciptakan intelellctual capital sebagai asset, jika memang tidak bisa
memenuhi karakteristik asset (biaya perolehan bisa diukur dengan andal, perusahaan
bisa melakukan control atas asset tersebut, ada manfaat ekonomis masa depan).
Mengingat IC merupakan asset yang sangat bernilai bagi perusahaan, hal tersebut
menimbulkan tantangan bagi para akuntan untuk mengidentifikasikan, mengukur dan
mengungkapkannya dalam laporan keuangan.

Akuntansi manajemen memerlukan alat baru untuk mengelola investasi


keahlian karyawan, informasi dan teknologi, memerlukanpengukuran akuntansi yang
tidak sama antara perusahaan satu dengan lainnya untuk menunjukkan indikator
intellectual capital, dan memerlukan pengukuran tingkat pengembalian investasi
keahlian karyawan, informasi dan teknologi dalam jangka panjang (IFAC,
1998)Untuk mengatasi krisis keuangan global perlu reformasi regulasi dan peraturan
dalam sistem keuangan, salah satunya soal pengaturan tax heaven. Menurut pendapat
sebagian ahli bahwa krisis keuangan global yang terjadi di suatu negara bisa diatasi
dengan memaksimalkan penerimaan pajaknya sebagai salah satu sumber penerimaan
untuk menutupi terjadinya defisit anggaran. Karena itu, negara-negara maju
menginginkan pajak yang dilarikan korporasi penghindar pajak (tax awiders) dapat
kembali menjadi hak negaranya. Kepulauan Cayman merupakan prototipe suatu
negara surga pajak, dimana pada negara tersebut tidak ada pengenaan pajak atas
pendapatan dari suatu perusahaan atau pribadi. Hal ini menjadi daya tarik bagi para
wajib pajak yang memiliki kekayaan yang besar sebagai tempat pelarian untuk
menghindari pajak di negaranya.

15
16

Tax heaven country atau negara surga pajak merupakan salah satu penyebab
hilangnya penerimaan negara dari sektor perpajakan. Karena itu, sangat diperlukan
adanya tindakanyang tegas dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan
(OECD) untuk mencabut status suatu negara sebagai tax heaven yang merugikan bagi
negara lain.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Sawarjuwono, & Kadir. (2003). "Intellectual Capital Disclosure


Commitment : Myth or Reality?". Journal of Intellectual Capital, Vol.13, 39–
56.

Bontis (2000) Intellectual capital and business performance in the Pharmaceutical


Sector of Jordan. http. Emeraldinsight.com/0025-1747.thm diakses pada
tanggal 5 januari 2012.

Bontis, N. 1998. “Intellectual capital: an exploratory study that develops measures


and models.” Management Decision. Vol. 36 No. 2, hal. 14-25.

Chariri, Anis. & Ghozali, Imam. Ulum, Ihyaul. 2007. Intellectual Capital dan Kinerja
Keuangan Perusahaan; Suatu Analisis Dengan Pendekatan Partial Least
Squares. Jurnal SNA 11. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Semarang.

D.Ruben, Brent And Lea P Steward. Comunication And Human Behavior. 1998.
Usa:Allyn And Bacon

Farneti, F. and Guthrie, J. (2009). Sustainability reporting by Australian public sector


organizations: why they report. Accounting Forum, 33(2), 89–98.

Hermanus, Ivan Giovanni, Luky Patricia W. & Evelyn. 2013. Pengaruh Intellectual
Capital terhadap Profitabilitas, Produktivitas, dan Penilaian Pasar Perusahaan
Sektor Perbankan. Jurnal GEMA AKTUALITA. 2(2): 29-40.

Kok, JA, 2005. The Internationalization of Universities Through of Management of


Their Intellectual capital. Http.www.fm.upr.si/zalozba. Diakes pada tanggal
5 januari 2012 Mulyadi. (2017). Auditing. (E. S. Suharsi, Ed.) (6th ed.).
Jakarta: Salemba Empat

Maria Magdalena Minarsih, M. M. W. (2016a). Pengaruh Insentif , Komunikasi Dan


Lingkungan Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Dan Implikasinya Terhadap
Produktivitas Kerja Di Cv.Duta Karya Semarang. Management, 2(2), 1– 15.
.
Mavridis, D.G. 2004. “The intellectual capital performance of the Japanese banking
sector”. Journal of Intellectual Capital. Vol. 5 No. 3. pp. 92- 115.

Subkhan, Dyah Pitaloka Citraningrum, 2010.Pengaruh Intellectual Capital terhadap


Kinerja Keuangan pada Perbankan di BEI periode 2005-2007. Jurnal
Dinamika Akuntansi Vol.2 No.1 Maret 2010.

Suhardjanto, Djoko dan Wardhani, Mari.(2010). “ Praktik Intellectual Capital


Disclousure Perusahaan yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”.JAAI
Volume 14 No 1, Surakarta; Universitas Sebelas Maret

Suhendah, Rousilita. 2012. Pengaruh Intellectual Capital terhadap Profitabilitas,


Produktivitas dan Penilaian Pasar pada Perusahaan yang Go Public di

17
Indonesia pada Tahun 2005-2007. SNA XV 2012. Banjarmasin: Universitas
Tarumanagara.

Susilowati dan Kuspriyanto. 2016. Gizi dalam Daur Kehidupan. Bandung: Refika
Aditama

Solikhah, Badingatus, dkk. 2010. Implikasi Intelectual Capital Terhadap Financial


Performance, Growth dan Marketing Value: Studi Empiris Dengan
Pendidikan Simplistic Specification. Simposium Nasional Akuntansi XIII
Purwokerto.

18

Anda mungkin juga menyukai