Revisi Makalah Hadist Ahkam Kel. 6
Revisi Makalah Hadist Ahkam Kel. 6
Disusun Oleh :
Al Yusnita (12120224452)
2023
i
KATA PENGANTAR
Bersyukur kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan rahmad dan karunia-
Nya Sehingga dapat menulis makalah dengan judul “hadits-hadits tentang al-ihtikar”.
Selanjutnya shalawat dan salam dicurahkan kepada nabiyyuna Muhammad SAW,
Dengan mengucapkan AllahhummaShalliala Muhammad wa ala ali Muhammad.
Serta ucapan terimakasih atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada
dosen Pengampu, dengan rendah hati menyampaikan maaf apabila selama ini terdapat
kesalahan Yang disengaja maupun tidak disengaja. Dan makalah ini telah disusun dengan
referensi yang Didapatkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terlepas dari itu semua, bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat Maupun tata bahasa. Oleh karena itu dengan tangan terbuka menerima kritik dan
saran yang Bersifat membangun agar dapat membantu untuk kedepannya dan bisa
membuat makalah Menjadi lebih baik serta minim dari kesalahan. Demikian semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
C. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II ........................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................... 3
PENUTUP ................................................................................................... 11
A. Kesimpulan .................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adapun jual beli sendiri dalam agama Islam merupakan suatu perbuatanyang
dibolehkan (mubah) namun jual beli tersebut terlarang apabila terjadinya penyimpangan
sehingga jual beli akan berubah hukumnya menjadi sesuatu yangdilarang (haram) seperti
praktik penimbunan (ihtiar). Adapun hal tersebut berdampak pada ketersediaan barang
sehingga permintaan barang menjadi naikdan harga juga akan ikut naik. Namun saat ini,
sebagian umat Islam banyak yangtidak mengetahuinya, sehingga perlulah pembahasan
khusus mengenai ihtikar.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
3. Untuk Mengetahui Jenis-jenis Ihtikar
4. Untuk Mengetahi Syarat-Syarat Ihtiar
5. Untuk Mengetahui Definisi Monopoli
6. Untuk Mengetahui Hukum Monopoli
7. Untuk Mengetahui Peran Pemerintah Terhadap Pratik Ihtikar
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ihtikar
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkanadanya
ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap
perbuatan aniaya termasuk di dalamnya ihtikar diharamkan olehagama Islam. Adapun
sumber hukum larangan ihtikar adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
ّللاُ َع هلى َرس ُْولِ ٖه ِم ْن اَ ْه ِل ْالقُ هرى فَلِ هلٰ ِه َولِل َّرس ُْو ِل َولِ ِذى ْالقُرْ هبى َو ْاليَ هتمه ى ٰ َمآ اَفَ ۤا َء ه
َو ْال َم هس ِكي ِْن َواب ِْن ال َّسبِي ِۙ ِْل َك ْي ََل يَ ُك ْو َن ُد ْولَةً ۢ بَي َْن ْاَلَ ْغنِيَ ۤا ِء ِم ْن ُك ْۗ ْم َو َمآ ها هتى ُك ُم
بِ ّللاَ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا ٰ ّللاَ ْۗاِ َّن ه
ٰ ال َّرس ُْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َو َما نَ ههى ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَه ُْو ۚا َواتَّقُوا ه
3
Harta rampasan (fai') dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang
berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-
Nya.
2) Hadis
a. Hadis yang diriwayatkan Sa‟id bin Musayyab
“Dari Sa’id ibnul Musayyib, dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah
Saw. bersabda: “Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa” dan ”Barangsiapa
menimbun suatu timbunan supaya menjualnya denganharga yang tinggi kepada kaum
muslimin, maka dia telah berbuat dosa” ( (HR. Muslim: 756 dan HR. Ahmad: 8617)
4
c. Menurut Ulama Syafi‟i ihtikar hukumnya haram, berdasarkan hadis Nabidan ayat
al-Qur’an yang melarangnya melakukan ihtikar
d. Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariatkarena
membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara,karena Nabi
Saw. telah melarang melakukan ihtikar terhadap kebutuhanmanusia
Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu jenis
barang yang diharamkan menimbun dan waktu yang diharamkan orangmenimbun. Para
ulama berbeda pendapat mengenai objek yang ditimbun yaitu:
5
2. Kelompok yang kedua mendefinisikan Ihtikar yaitu menimbun segala barang-
barang keperluan manusia baik primer maupun sekunder
Imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi), mazhab Maliki berpendapat bahwa
larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi
seluruh produk yang dibutuhkan olehmasyarakat. Menurutnya, yang menjadi ilat
(motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang
menimpa orang banyak.Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak
hanyaterbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produkyang
dibutuhkan orang banyak.
4. Syarat-Syarat Al-Ihtikar
Secara garis besar sikap ahli fikih mengenai ihtikār adalah sebagai berikut.
Syarat-syarat ihtikār makruh:
Para ulama berbeda pendapat antara makruh dan haram bagi seseorang yang
menimbun makanan dan pakaian, masing masing mempunyai dalil, jika terpenuhi syarat-
syarat haram maka hukumnya haram, dan jika tidak maka hukumnya makruh. Menimbun
yang diperbolehkan atau mubah yaitu:
Menimbun yang mandub yaitu jika menimbun untuk kemaslahatan umum, seperti
dijelaskan oleh Subkhi, Qadi Husain, Royani dan Khamili bahwasanya jika harga barang
itu sedang murah dan barang itu tidak sedang dibutuhkan masyarakat, maka tidak dilarang
untuk menimbun sampai barang itu dibutuhkan, dan hal ini baik karena bermanfaat bagi
masyarakat. (Ahmad Mustafa, 2003: 120-167)
6
a. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau
mengenakan entry-barries.
b. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya
kelangkaan.
c. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 dan 2 dilakukan. (Adiwarman Karim, 2004: 30)
5. Definisi Monopoli
Monopoli dalam bahasa Arab disebut ihtikār. Dalam kamus-kamus bahasa Arab
ihtikār mempunyai arti yang banyak, diantaranya sebagai berikut: menurut az-
Zamakhsyari adalah الطعام احتكر: )للغالء احتبسهihtakāra attha‘ām artinya: menimbun makanan
sehingga harganya naik).
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai definisi tentang hakikat ihtikār yang
jumlahnya lebih dari duapuluh pendapat. Perbedaan pendapat ini tidak terbatas atas
mazhab-mazhab yang ada, tetapi di dalam satu mazhab mereka juga berselisih tentang
definisinya. Perbedaan ini dikarenakan mereka mempunyai sistem dan metode yang
berbeda dalam memahami hukum.
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud adalah situasi yang pengadaan barang
dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurangkurangnya sepertiganya
dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.
(Depdikbud, 1996: 664)
6. Hukum Monopoli
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum ihtikār antara haram dan makruh.
Mereka tidak bersepakat tentang definisi hakikat ihtikār yang jumlahnya lebih dari
duapuluh pendapat. Perbedaan pendapat ini tidak terbatas atas mazhab-mazhab yang ada,
tetapi di dalam satu mazhab mereka juga berselisih tentang definisinya. Perbedaan ini
dikarenakan mereka mempunyai sistem pemahaman hukum yang berlainan. (Ahmad
Mustafa, 2003: 102)
Pertama, dasar pengharaman ihtikār menurut Al-Qur`an terdapat dalam surat al-
Haj ayat 25. Artinya: “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan
secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih” (QS.
Al-Haj: 25). Ayat ini menjelaskan bahwa ihtikār adalah haram. Karena ihtikār adalah
perbuatan zalim dan aniaya. Dan berbuat zalim adalah dilarang. Perbuatan zalim jika
dilakukan akan menyebabkan seseorang mendapat siksa yang pedih. Orang yang
mendapat siksa yang pedih adalah karena melakukan hal yang dilarang. Maka dari itu
ihtikār adalah haram. Ulama mengatakan pada dasarnya bahwa ayat di atas di sebagian
maknanya berfungsi untuk mengharamkan ihtikār.
8
Kedua, dalil-dalil yang berdasarkan dari hadis.
a. Hadis-hadis yang bersifat mutlak “Dari Sa’id bin Musayyab dari Ma’mar bin
Abdullah dari Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan melakukan penimbunan
selain orang yang salah” (HR. Muslim). Istinbāt hukum dari hadis ini adalah tidak
bolehnya melakukan ihtikār, karena dijelaskan bahwa muhtakir (orang yang
menimbun) adalah orang yang salah, disebut juga dengan ‘āshin (orang yang
bermaksiat) dan orang yang bersalah adalah mudznib (orang yang berdosa). Pada
zahirnya hadis ini menerangkan bahwa ihtikār adalah haram tanpa dibedakan
antara makanan manusia, makanan hewan dan lainnya. Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa yang diharamkan adalah bahan makanan saja. Alasannya, di
sebagian hadis hanya disebutkan kata “tha‘ām”.
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang
melakukan penimbunan dengan maksud agar harganya melonjak, maka dia orang
yang salah” (HR. Hakim). Hadis ini menerangkan bahwa orang yang menimbun
dengan maksud supaya harganya melonjak tinggi maka ia adalah orang yang salah
dan Allah telah melepaskan naungan darinya”.
b. Hadis-hadis yang bersifat muqayyad.
Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW: “Barang siapa menimbun makanan selama
empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan
naungan darinya” (HR. Ahmad) “Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa
Nabi SAW telah melarang penimbunan makanan” (HR. Hakim).
Lafal umum kedua hadis ini menunjukkan atas haramnya ihtikār, dan
sesungguhnya azab di neraka, ancaman dan laknat, tidaklah ada kecuali bagi
orang yang melakukan hal-hal yang haram. (Ahmad Mustafa, 2003: 103-106)
9
Pendapat kedua, dianut oleh sebagian pengikut Syafi‘i, Isma‘iliyah dan sebagaian
Imamiyah. Menurut mereka ihtikār adalah makruh. Alasannya, seseorang mempunyai
kekuasaan atas hartanya dan mereka bebas melakukan jual beli yang sesuai dengan
kehendak mereka. (Ahmad Mustafa, 2003: 108)
Pihak pemerintah seharusnya setiap saat memantau dan mengantisipasi agar tidak
terjadi ihtikar dalam setiap komoditas, manfaat dan jasa yang sangat diperlukan
masyarakat. Harga standar yang tidak memberatkan dan merugikan pedagang harus
dipadukan dan tidak menguntungkan sepihak antara masyarakatdan pedagang.
Pemerintah tidak dibenarkan mengekspor bahan kebutuhan warganya sampai tidak ada
lagi yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga membawa kemudaratan.
Pengeksporan barang-barang yang diperlukan masyarakat pada dasarnya sama dengan
ihtikar dari segi akibat yang dirasakanoleh masyarakat. Lebih parah lagi, apabila barang-
barang itu dikirim ke luarnegeri seperti halnya minyak tanah, padahal masyarakat betul-
betul membutuhkannya.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkanadanya
ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap
perbuatan aniaya termasuk di dalamnya ihtikar diharamkan olehagama Islam
Monopoli dalam bahasa Arab disebut ihtikār. Dalam kamus-kamus bahasa Arab
ihtikār mempunyai arti yang banyak, diantaranya sebagai berikut: menurut az-
Zamakhsyari adalah الطعام احتكر:( للغالء احتبسهihtakāra attha‘ām artinya: menimbun makanan
sehingga harganya naik).
11
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1996.
Djazuli,
Abdul Manan, Muhammad, (1992), Ekonomi Islam: Praktek dan Teori. Terj.
Potan Arif Harahap, Jakarta: Intermasa
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), (1996), Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve
12