Hukum Perdata (Semester 2) - 230708 - 112647

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 135

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan
hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan


yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang
bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat


disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-


keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-


isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai


umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang

masih ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan- ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal
ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun


keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu


antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan


ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,


saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau


kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain


yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri.

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14 …

Pasal 14
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.

(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi
calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat
mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak
dipenuhi.

(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1)
pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17 …

Pasal 17
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan


pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh
pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau
dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh
yang mencegah.

Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum
dicabut.

Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan.

Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka
ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Didalam ...

(2) Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-
melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai
dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan


permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai
pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan
untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan tersebut diatas.

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan


akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan
tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan
dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang


mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para ...

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -
isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum


diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini


dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.

Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal
kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2) Hak ...

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -
dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman
yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.

Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami ...

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali


terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -
atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b


sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-


batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat


dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika ...

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat


mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.

Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai


hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.

BAB VIII …

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 15 -
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam


peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik …

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan


mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 16 -
anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.

Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44 …

Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 17 -
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut


kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas,
bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47 …

Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 18 -
didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap


berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.

BAB XI …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun


harta bendanya.

Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan
lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau


orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan
kepercayaan anak itu.

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada


dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut
dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai
wali.

Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang
dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut
dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan
untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang.

(2) Bila ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-
bukti yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.

Bagian Kedua
Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali
diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang
ini …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya,
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan


menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1)


telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk
melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-
syarat telah dipenuhi.

(3) Jika ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat


keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan,
Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak
boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan
pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan,


maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut
ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak


mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan
dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang
berwenang.

(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa


memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang
berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan
yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan


ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti
keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 24 -

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan
Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini
ialah:

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;


b. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan


Umum.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik
berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua


isteri dan anaknya;

b. Isteri ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua
atau berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang
menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah
ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

B A B XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen
Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling
op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya,
yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan


pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 26 -

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SOEHARTO
JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM :

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-
undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara
dan berbagai daerah seperti berikut :

a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresiplir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan
Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak
harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa
ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan
ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai


perkayanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah
sebagai berikut :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil
dan materiil.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah


bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-
surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh


yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-
itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih
dibawah umur.
Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk
kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk
kawin baik bagi pria maupun bagi wanita,ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria
dan 16 (enam belas) tahun bagi,wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan
diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku,
yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Demikian …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-
Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur
dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke
Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,
tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga
yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.

Pasal 3

(1) Undang-undang ini menganut asas monogami.


(2) Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
Pasal 4 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6

(1) Oleh karena perkawinan mempuryai maksud agar suami dan isteri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi
manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan
menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

(2) Cukup jelas.


(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
(5) Cukup jelas.
(6) Cukup jelas.

Pasal 7
(1) Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas
umur untuk perkawinan.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1)
seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
(3) Cukup …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

(3) Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat
membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya
suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-
masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22

Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk tak'lik - talak.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35

Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya
masing-masing.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum


adat dan hukum-hukum lainnya.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
(1) Cukup jelas.

(2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
(3) Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

Pasal 45 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan
sebagai wali-nikah.

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -
Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONEISA NOMOR 3019


HUKUM PERDATA - I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Sebelumnya terlebih dahuluHukum Perdata itu
dibedakan atas dua macam, yaitu hukum perdata materil dan
hukum perdata formil.
Hukum Perdata materil biasa disebut hukum perdata saja
sedangkan hukum perdata formil biasa disebut hukum acara
perdata.
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang lain di dalam masyarakat
yang menitik beratkan kepada kepentingan-kepentingan
perseorangan ( pribadi ) .

SUBJEK HUKUM
Subjek hukum adalahpendukung hak dan kewajiban
KEWENANGAN BERHAK DAN KEWENANGAN BERBUAT
KEWENANGAN BERHAK
Hukum Perdata mengatur tentang hak keperdataan . Dalam
hukum perdata setiap manusia pribadi mempunyai hak yang sama
, setiap manusia pribadi wenang untuk berhak , karena dalam
hukum sanksi hanya berlaku dan diterapkan pada kewajiban bukan
pada hak . Kewenangan berbuat pada hakekatnya adalah
melaksanakan kewajiban. Orang yang melalaikan kewajiban dapat
dapat dikenakan sanksi , sedangkan orang yang melalaikan haknya
tidak apa-apa.
Manusia pribadi mempunyai kewenangan berhak sejak ia
dilahirkan , bahkan sejak dalam kandungan ibunya , asal ia
dilahirkan hidup apabila kepentingannya menghendaki ( Pasal 2
KUHPdt ).
Kewenangan berhak setiap manusia pribadi tidak dapat
dihilangkan/ditiadakan oleh suatu hukuman apapun. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 3 KUHPdt yang menyatakan bahwa tidak
ada suatu hukuman apapun yang dapat mengakibatkan kematian
perdata atau kehilangan hak-hak perdata seseorang.
Hak perdata merupakan hak azasi yang melekat pada diri
pribadi setiap orang . Hak perdata adalah identitas manusia
pribadi yang tidakdapat hilang atau lenyap. Identitas ini baru
hilang atau lenyap apabila yang bersangkutan meninggal dunia.
Contoh hak perdata ialah hak hidup, hak memiliki , hak waris , hak
atas nama , hak atas tempat tinggal .
Hak perdata berbeda dengan hak publik. Hak publik dapat
hilang atau lenyap apabila negara menghendakinya. Hak publik
itu ada karena diberikan oleh negara. Memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum , hak menjadi anggota ABRI ,
hak menjadi pegawai negeri , hak menduduki jabatan tertentu.
Sedangkan hak perdata itu diberikan oleh kodrat. Contoh hak publik ialah hak

KEWENANGAN BERBUAT
Untuk mengetahui apakah seseorang itu wenang berbuat atau
tidak , ada beberapa faktor yang membatasi seperti umur,
kesehatan , perilaku. Wenang
berbuat ada dua pengertian , yaitu :
1. Cakap atau mampu berbuat karena memenuhi syarat
hukum ( bekwaam, capable ) , kecakapan atau kemampuan
berbuat karena memenuhi syarat hukum ( bekwaamheid ,
capacity ).
2. Kuasa atau berhak berbuat karena diakui oleh hukum
walaupun tidak memenuhi syarat hukum ( bevoegd ,
competent ) , kekuasaan atau kewenangan berbuat
(bevoegdheid , competence ).
3. Walaupun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung
hak dan kewajiban atau subjek hukum
(rechtspersoonlijkheid ) , tetapi tidak semuanya cakap untuk
melakukan perbuatan hukum ( rechtsbekwaamheid ) .
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa , yaitu seseorang yang
belum mencapai umur delapan belas tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ( Pasal 1330 KUHPdt jo
Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 ).
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan , yaitu
orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu , gila , mata
gelap , dan pemboros ( Pasal 1330 KUHPdt jo. Pasal 433
KUHPdt )
3. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu , misalnya orang yang
dinyatakan pailit ( Pasal 1330 KUHPDT jo UU Kepailitan ).

Jadi orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum


adalah orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta
tidak dilarang oleh suatu undang - undang untuk melakukan
perbuatan - perbuatan hukum tertentu .
Kepentingan orang yang belum dewasa diurus oleh orang
tuanya ( Pasal 47 UU No.1Tahun 1974 ) dan orang-orang yang
ditaruh di bawah pengampuan ( curatele ) dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya , walinya ,
atau pengampunya ( curator ) . Sedangkan penyelesaian hutang
piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai
Harta Peninggalan ( Weeskamer ).
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
atau tidak mampu menurut hukum adalah tidak sah karena tidak
memenuhi syarat hukum .Perbuatan hukumyang tidak sah dapat
dimintakan pembatalan melalui Hakim ( vernietigbaar )
Dengan demikian setiap orang adalah subjek hukum
(rehtspersoonlijkheid )yaitu pendukung hak dan kewajiban ,
namun tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan
hukum . Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(rechtsbekwaamheid ) tidak selalu berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum ( rechtsbevoegheid ).
Tidak setiap orang yang belum dewasa dinyatakan tidak wenang
melakukan perbuatan hukum . Ada perbuatan hukum tertentu dapat
dilakukan oleh orang yang belum dewasa karena diakui oleh hukum.
Anak perempuan yang berumur 16 tahun dan anak pria yang berumur
19 tahun dapat melakukan perkawinan , walaupun mereka belum
dewasa menurut hukum , karena hukum mengakui perbuatan mereka
itu ( Pasal 7 ayat (1). Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974.
Orang yang berumur 18 tahun wenang membuat surst wasiat ,
walaupun ia belum dewasa menurut hukum , karena hukum memberi
hak dan mengakui perbuatan itu ( Pasal 897 KUHPdt). Begitu juga anak
yang belum dewasa wenang menabung dan menerima kembali uang
tabungannya itu ( Pasal 7 Stb. 1934-653). Orang dewasa yang tidak
berkepentingan tidak wenang melakukan perbuatan hukum, misalnya
seorang penyewa rumah tidak wenang menjual rumah yang disewanya
itu kepada pihak lain karena rumah itu bukan miliknya. Kecuali ia
memperoleh kuasa atau diberi hak oleh pemiliknya untuk menjualkan
rumah itu , maka ia berwenang melakukan perbuatan hukum menjual
rumah tersebut , karena diakui oleh hukum walaupun rumah itu bukan
miliknya. Jadi orang dewasa pun belum tentu wenang melakukan
setiap perbuatan hukum. Dengan demikian rechtsbekwaamheid
adalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat
khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
KEDEWASAAN DAN PENDEWASAAN
Dalam sistem hukum perdata (BW) , mereka yang belum dewasa tetapi harus
melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga
hukum pendewasaan (handlichting) , yang diatur pada Pasal-Pasal 419s/d432
KUHPdt. Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum
dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Maksudnya
adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas)sebagai orang
dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa.
Hal ini dapat ditinjau dari tiga konsep hukum , yaitu :
1. Menurut konsep hukum perdata barat
2. Menurut konsep hukum adat
3. Menurut konsep Undang-Undang Republik Indonesia
Ad 1. Konsep hukum perdata barat.
Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sudah dewasa, yang
memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah pendewasaan menunjuk kepada
keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa.Untuk
mengetahui pengertian dewasa atau belum dewasa yang diatur dalam Pasal
330KUHPdt, Stb. 1924-556, Stb 1924-557,Stb 1831-54.
Berdasarkan ketentuan Pasal 330KUHPdt belum dewasa (minderjarig)
adalah belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah melangsungkan
perkawinan Apabila mereka melangsungkan perkawinan sebelum berumur 21
tahun itu bercerai , mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
Dalam staatsblad yang berlaku bagi orang timur asing seperti disebutkan di atas
tadi , apabila di dalam perundang-undangan dijumpai istilah belum dewasa (
minderjarig ) , itu berarti belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin
Apabila mereka yang kawin sebelum berumur 21 tahun penuh itu bercerai , mereka tidak
kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang -undang ini disebut kedewasaan Orang
dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu (bekwaam, capable) melakukan semua
perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian , melangsungkan perkawinan, membuat surat
wasiat. Kecakapan hukum ini berlaku penuh selama tidak ada faktor-faktor yang mempengaruh
iatau membatasinya, misalnya keadaan sakit ingatan , keadaan dungu , pemboros ( Pasal 433jo.
Pasal 1330 KUHPdt).
Dengan demikian KUHPdt (BW) memakai kriteria umur untuk menentukan dewasa atau
belum dewasa. Adakalanya diperlukan kedudukan orang yang belum dewasa ini disamakan
dengan kedudukan orang dewasa. Maksudnya supaya orang yang belum dewasa itu mempunyai
kewenangan mengurus kepentingannya sendiri atau melakukan beberapa perbuatan hukum
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu orang yang belum dewasa itu oleh
hukum dinyatakan dewasa. Pernyataan ini disebut pendewasaan (handlichting).
Pendewasaan itu ada dua macam yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untk beberapa
perbuatan hukum tertentu (terbatas). Kedua-duanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
undang-undang . Untuk pendewasaan penuh syaratnya ialah sudah berumur 20 tahun penuh ,
sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (Pasal 421
dan 426 KUHPdt).
Untuk pendewasaan penuh , prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan
permohonan kepada Presiden Republik Indonesia dilampiri dengan akta kelahiran
atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengarkan pertimbangan mahkamah
agung, memberikan keputusannya yaitu keputusan pernyataan dewasa ini disebut
venia aetatis. Akibat hukum adanya pernyataan dewasa penuh ( venia aetatis ) ialah
status hukum yang bersngkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi
apabila ingin melangsungkan perkawinan , izin orang tua masih diperlukan ( Pasal
420 s/d 424 KUHPdt ).
Untuk pendewasaan terbatas , prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang
dilampiridengan aktakelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan negeri setelah
mendengarketerangan orang tua atau waliyang bersangkutan memberikan ketetapan
pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan
yang yang dimohonkan ,misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan ,
membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum
yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-
perbuatan hukum tertentu ( Pasal 426 s/d 430 KUHPdt ).
2. Konsep hukum adat.
Hukum adat tidak mengenal batas umur untuk menentukan belum dewasa
atau sudah dewasa. Hukum adat menentukan secara insidental apakah seseorang
itu menurut umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak
cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam
hubungan hukum tertentu . Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan
memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.
Dengan demikian batas antara dewasa dan belum dewasa hanya dapat dilihat dari
belum cakap dan cakap melakukan perbuatan hukum . Belum cakap artinya belum
mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Cakap artinya
mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama
sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan orang yang cakap melakukan
perbuatan hukum.Peralihan dari keadaan tidak cakap sama sekali kepada keadaan
cakap penuh itu berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Dalam hukum
adat Jawa ,seorang yang sudah mandiri dan berkeluarga(mentas) cakap penuh untuk
melakukan segala perbuatan hukum. Tetapi tidak dapat dikatakan bahwa orang
yang belum mandiri dan belum berkeluarga itu tidak cakap melakukan hukum apa
saja.
Apabila kedewasaan ini dihubungkan dengan perbuatan melangsungkan
perkawinan , apabila seorang pria dan seorang wanita itu melangsungkan
perkawinan dan memperoleh anak dalam perkawinan itu , mereka dikatakan
sudah dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. Tetapi apabila dalam
perkawinan itu mereka tidak memperoleh anak karena masih sangat muda
sehingga belum mampu melakukan hubungan seksual mereka dikatakan belum
dewasa, misalnya dalam kawin anak /kawin gantung.
3. Konsep Undang-Undang Republik Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia pengertian dewasa
apabila sudah berumur21 tahun penuh atau walaupun belum berumur 21 tahun
tapi sudah pernah melangsungkan perkawinan dan belum dewasa apabila belum
berumur 21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai dewasa dan belum dewasa terdapat dalam:
1. Pasal 330 KUHPdt bagi warga negara Indonesia keturunan Eropah
2. Stb. 1924-556 bagi warga negara Indonesia keturunan timur asing bukan
Cina
3. Stb. 1924-557 bagi warga negara Indonesia keturunan timur asing Cina
4. Stb. 1931-54 bagi warga negara Indonesia asli (Bumiputera)
Berlakunya undang-undang tersebut di atas didasarkan pada aturan peralihan
UUD1945 ,bahwa sebelum dibentuknya undang-undang baru berdasarkan undang-
undang ini,semua peraturan hukum perundang-undangan yang sudah ada tetap
dinyatakan berlaku . Undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang
Republik Indonesia belum ada yang merumuskan pengertian belum dewasa sebagai
pencabutan keempat undang-undang yang disebutkan terdahulu.
Undang –Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang :
1. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum
mencapai umur 21 tahun ( Pasal 6 ayat 2),
2. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan
wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat 1),
3. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin , berada
dibawah kekuasaan orang tua ( Pasal 47 ayat 1),
4. Anak yang belum mencapai berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali (Pasal 50 ayat 1).
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang
belum dewasa dan dewasa. Dengan demikian undang-undang yang merumuskan belum
dewasa dan dewasa masih tetap berlaku. Apabila dalam undang-undang ditemukan
istilah belum dewasa (minderjarig) , itu berarti belum berumur 21 tahun penuh dan
belum pernah melangsungkan perkawinan, sebaliknya apabila dalam undang-undang
ditemukan istilah dewasa (meerderjarig) , berarti sudah berumur 21 tahun penuh , atau
walaupun belum berumur 21 tahun penuh ,sudah pernah melangsungkan perkawinan.
Pengertian sudah berumur 21 tahun penuh atau sudah pernah kawin disebut
dewasa undang-undang atau dewasa hukum , sedangkan dewasa biologis atau
dewasa seksual untuk melangsungkan perkawinan, yaitu sudah berumur 16 tahun
bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Mereka yang dewasa biologis ini apabila sudah
melangsungkan perkawinan berubah menjadi dewasa hukum.

PENCATATAN PERISTIWA HUKUM


Untuk memastikan status perdata seseorang , ada lima peristiwa hukum dalam
kehidupan orang yang perlu dilakukan pencatatan,yaitu peristiwa :
1. Kelahiran , untuk menentukan status hukum seseorang sebagai subjek hukum ,
yaitu pendukung hak dan kewajiban,
2. Perkawinan , untuk menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau
istri dalam ikatan perkawinan menurut hukum ,
3. Perceraian , untuk menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau
duda , yang bebas dari ikatan perkawinan,
4. Kematian , untuk menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris ,
sebagai janda atau duda dari almarhum/almarhumah ,
5. Penggantian nama , menentukan status hukum seseorang dengan identitas
tertentu dalam hukum perdata.
Tujuan dari pencatatan ini adalah untuk memperoleh kepastian hukum tentang
status perdata seseorang yang mengalami peristiwa hukum . Kepastian hukum
menentukan apakah ada hak dan kewajiban hukum yang sah antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan hukum itu , sebagai contoh :
1. Kepastian hukum mengenai kelahiran menentukan status perdata mengenai
dewasa atau belum dewasa seseorang.
2. Kepastian hukum mengenai perkawinan menentukan status perdata mengenai
boleh atau tidak melangsungkan perkawinan dengan pihak lain lagi.
3. Kepastian hukum mengenai perceraian menentukan status perdata untuk bebas
mencari pasangan lain.
4. Kepastian hukum mengenai kematian , menentukan status perdata sebagai ahli
waris dan keterbukaan waris.
5. Kepastian hukum mengenai nama , untuk menentukan identifikasi seseorang
sebagai subjek hukum , karena dari nama itu dapat diketahui keturunan siapa yang
bersangkutan.
Fungsi pencatatan itu adalah pembuktian bahwa peristiwa hukum yang dialami
seseorang itu benar telah terjadi. Untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi
peristiwa hukum ,diperlukan surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa
hukum , diperlukan surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa hukum
pada hari , tanggal,bulan , tahun , di tempat tertentu atas nama seseorang. Surat
keterangan ini diberikan oleh pejabat /petugas yang berwenang untuk itu.
Sebagai contoh :
1. Surat keterangan kelahiran diberikan oleh dokter atau bidan rumah sakit/klinik
yang menangani peristiwa kelahiran itu.
2. Surat keterangan melangsungkan perkawinan dibuat oleh petugas yang
menyaksikan peristiwa perkawinanitu.
3. Surat keterangan perceraian berupa putusan pengadilan diberikan oleh
pengadilan negeri bagi yang bukan beragama Islam dan oleh pengadilan agama
bagi mereka yang beragama Islam.
4. Surat keterangan kematian diberikan oleh dokter rumah sakit yang merawatnya
atau oleh kepala desa/kepala kelurahan di tempat tinggal yang bersagkutan .
5. Surat keterangan ganti nama diberikan oleh pengadilan negeri dalam bentuk
surat ketetapan.
Untuk melakukan pencatatan dibentuklah lembaga khusus yang disebut
Catatan Sipil (Burgerlijke Stand). Catatan sipil artinya catatan mengenai peristiwa
perdata yang dialami oleh seseorang. Catatan sipil meliputi kegiatan pencatatan
peristiwa hukum yang berlaku umum untuk semua warga negara Indonesia dan yang
berlaku khusus untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam mengenai
perkawinan dan perceraian. Lembaga Catatan Sipil yang berlaku umum secara
struktural berada di bawah Departemen Dalam Negeri.
Lembaga catatan sipil yang berlaku khusus untuk yang beragama Islam secara struktural
berada dibawah departemen agama. Untuk menyelenggarakan tugas pencatatan , lembaga
catatan sipil umum mempunyai kantor disetiap kabupaten. Sedangkan lembaga catatan sipil
khusus merupakan bagian tugas dari kantor departemen agama di daerah.
Kantor catatan sipil mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran,
2. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perkawinan,
3. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perceraian ,
4. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kematian,
5. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak, dan akta ganti
nama.
Untuk dapat dilakukan pencatatan peristiwa hukum perlu dipenuhi syarat yaitu adanya
surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa hukum yang bersangkutan.Surat
keterangan ini dibuat oleh pihak yang berhak mengurus, menangani atau mengeluarkannya.
Surat keterangan tersebut kemudian dibawa oleh yang berkepentingan kepada pejabat kantor
catatan sipiluntuk dicatat atau didaftarkan dalam buku akta yang disediakan untuk setiap
peristiwa hukum.
Apabila peristiwa hukum itu telah lampau waktu untuk didaftarkan , untuk dapat
dilakukan pencatatan /pendaftaran perlu ada surat penetapan dari hakim. Misalnya penetapan
hakim pengadilan negerimengenai kelahiran, penetapan hakim pengadilan agama mengenai
perkawinan orang yang beragama Islam.
Sebagai bukti telah dicatat/didaftarkan , pejabat kantor catatan sipil menerbitkan
kutipan akta , seperti kutipan akta kelahiran , kutipan akta perkawinan, kutipan akata
kematian , kutipan akta perceraian .Kutipan akta ini bersifat otentik karena dikeluarkan oleh
pejabat resmi ( akta ambtelijk).
Ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang catatan sipil di
Indonesia , sebagai berikut:
1. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1849-25 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian bagi
warga negara Indonesia keturunan Eropah.
2. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1917-130 jo Stb. 1919-81tentang Pencatatn Perkawinan dan
Perceraian bagi warga negara Indonesia keturunan Cina.
3. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1933-75 jo. Stb. 1936-607 tentang Pencatatn Perkawinan dan
Perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama Kristen di jawa , Madura , Minahasa
, Ambon dsb.
4. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1904-279 tentang Pencatatan Perkawinan bagi warga negara
Indonesia yang melakukan perkawinan campuran.
5. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1920-751jo.Stb. 1927-564 tentang Pencatatan Kelahiran dan
Kematian bagi warga negara Indonesia asli Jawa dan Madura.
6. B.W Stb.1847-23 yang mengatur pencatatan sipil lainnya.
7. Undang-Undang Nomor32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah , Talak dan Rujuk bagi
warga negara Indonesia beragama Islam.
Berdasarkan undang-undang mengenai catatan sipil diatas dapat dibedakan atas tiga
macam catatan sipil , yaitu:
1. Catatan sipil untuk warga negara Indonesia tentang :
a. Kelahiran
b. Kematian
c. Penggantian nama
2. Catatan sipil untuk warga negara Indonesia non Islam tentang:
a. Perkawinan
b. Perceraian
3. Catatan sipil untuk warga negara Indonesia beragama Islam tentang:
a. Perkawinan
b. Perceraian
Untuk penyelenggaraan catatan sipil di Indonesia , pada tahun 1966 dikeluarkan instruksi
Presiden Kabinet Nomor 31/U/IN/12/66 ditujukan kepada menteri kehakiman dan kantor
catatan sipil diseluruh Indonesia untuk tidak menggolongkan penduduk Indonesia
berdasarkan Pasal 131 I.S. Kantor catatan sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh penduduk
Indonesia dengan membedakan antara warga negara Indonesia dan warga negara asing.
Untuk mempertegas instruksi tersebut , menteri kehakiman dan menteri dalam negeri
menerbitkan Surat Edaran Bersama Nomor 51/I/3/J.A: 2/2/5tanggal 28 Januari 1967 yang
pada pokok isinya menghilangkan pembatasan berlaku, dalam arti diberlakukan untuk semua
penduduk Indonesia (WNI dan WNA) di seluruh Indonesia yang tergolong dalam masing-
masing Stb. ,berikut ini:
1. Stb. 1920-751 jo Stb. 1927-564 mengenai pendaftaran kelahiran dan kematian,
2. Stb. 1933-75 jo Stb. 1936-607 mengenai pendaftaran perkawinan dan perceraian.
Dengan berlakunya staatsblad-staadsblad tersebut di atas untuk seluruh Indonesia
,tercapailah keseragaman hukum catatan sipil mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Stb.1920-751 jo Stb, 1927-564 mengenai pendaftaran kelahiran dan kematian bagi semua
warga negara Indonesia dan warga negara asing di Indonesia,
2. Stb.1933-75 jo Stb. 1936-607 mengenai pendaftaran perkawinan dan perceraian bagi semua
warga negara Indonesia dan warga negara asing yang bukan agama Islam di Indonesia,
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah ,Talak , dan Rujuk bagi
warga negara Indonesia beragama Islam.
Untuk menyelenggarakan keseragaman peraturan–peraturan tersebut dan pembinaan
catatn sipil , diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan
Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. Keputusan Presiden ini dilaksanakan
oleh menteri dalam negeri dengan Surat Keputusan Nomor 54 Tahun 1983 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Pemko.
Dalam Pasal 4 ayat 1 S.K . Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 ditetapkan tiga
tipe organisasi kantor catatan sipil, yaitu:
1.Organisasi kantor catatan sipil tipe A,
2.Organisasi kantor catatan sipil tipe B,
3.Organisasi kantor catatan sipil tipe C.
Catatan sipil tipe A dan tipe B mempunyai kantor tersendiri dan mempunyai
kepala kantor sendiri , sedangkan tipe C mempunyai kantor yang masih bergabung
dengan Bagian Pemerintahan Kabupaten /Pemko , kepalanya dirangkap oleh Kepala
Bagian Pemerintahan.

KEADAAN TAK HADIR

Yang dinyatakan sebagai keadaan tak hadir (afwezigheid) adalah keadaan tidak
adanya seseorang di tempat kediamannya karena bepergiann atau meninggalkan tempat
kediaman baik dengan izin atau tanpa izin , dan tidak diketahui di mana tempat ia
berada.
Dalam definisi ini ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan ,sebagai berikut:
1. Seseorang , ini menunjuk kepada salah satu anggota keluarga mungkin suami ,
mungkin istri , mungkin anak,
2. Tidak ada ditempat kediaman , artinya tidak ada di lingkungan keluarga dimana
mereka berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum,
3.Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman , artinya menuju dan berada di tempat
lain karena suatu keperluan atau tanpa keperluan ,
4. Dengan izin atau tanpa izin ,artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota
keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga,
5.Tak diketahui dimana tempat ia berada , artinya tempat lain yang dituju dan dimana ia
berada tidak diketahui sama sekali, karena yang bersangkutan tidak memberi kabar
atau karena sulit.Tidak memberi kabar mungkin karena ada halangan misalnya
terjadi perang , pemberontakan , kecelakaan , bencana alam , sakit gila , dan lain-lain
atau memang dengan sengaja supaya tidak berurusan lagi dengan keluarganya (putus
asa).
Pengaruh keadaan tak hadir itu adalah:
1. Penyelenggaraan kepentingan yang bersangkutan ,
2. Status hukum yang bersangkutan sendiri atau status hukum anggota keluarga yang
ditinggalkan mengenai perkawinan dan pewarisan.
Ada tiga tahap dalam penyelesaian mengenai keadaan tak hadir dalam
KUHPerdata , yaitu :
1. Tahap tindakan-tindakan sementara,
2. Tahap pernyataan barangkali meninggal dunia ,
3. Tahap pewarisan secara definitif.
Ad.1. Tahap tindakan-tindakan sementara.
Menurut Pasal 463 KUHPdt , tindakan-tindakan sementara dapat diambil apabila
orang yang meninggalkan tempat kediaman itu tidak memberi kuasa kepada orang lain untuk
mengurus harta kekayaan dan kepentingannya , atau jika kuasa yang diberikan itu sudah
berakhir. Tindakan sementara itu berupa pemberian tugas oleh pengadilan negeri kepada
balai harta peninggalan (BHP), atau keluarga sedarah atau semenda atau istri atau suami
orang yang tak hadir itu , atas permohonan pihak yang berkepentingan atau kejaksaan ,
untuk mengurus harta kekayaan dan kepentingannya baik seluruh atau sebagian.
Ad.2. Tahap pernyataan barangkali meninggal dunia.
Jika seseorang telah meninggalkan tempat kediamannya dan lama sekali tidak muncul
tanpa ada kabar apapun dari yang bersangkutan maka ada alasan untuk menyangka yang
bersangkutan tidak akan kembali lagi karena meninggal dunia. Lama meninggalkan tempat
kediaman itu lima tahun , yang kemudian dengan Stb. 1926-344 dapat diperpendek sampai
satu tahun. Sebelum meninggalkan tempat kediamannya , yang bersangkutan tidak memberi
kuasa kepada orang lain untuk mengurus harta kekayaannya dan kepentingannya.
Untuk mengeluarkan ketetapan pernyataan barangkali meninggal dunia , hakim
pengadilan negeri memberi izin kepada pihak yang berkepentingan untuk memanggil orang
yang tak hadir itu melalui surat kabar yang ditunjuk oleh pengadilan negeri , sebanyak tiga
kali berturut-turut. Pengeluaran pernyataan tersebut tidak perlu lebih dulu diadaka tindakan-
tidakan sementara menurut Pasal 463 KUHPerdata.
Setelah dilakukan pemanggilan terhadap orang yang tak hadir itu sesuai dengan prosedur ,
tetapi ternyata tidak juga muncul , pengadilan negeri kemudian dapat mengeluarkan ketetapan
pernyataan barangkali meninggal dunia , dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum itu
treutama peralihan hak-hak kepada para ahli waris nya yang sifatnya sementara dan dengan
batasan-batasan tertentu.
Ad.3.Tahap pewarisan secara definitif .
Dalam tahap ini persangkaan barangkali meninggal dunia itu menjadi sedemikian kuat ,
sehingga terjadi keadaan yang lebih definitif . Keadaan ini mengakibatkan pewarisan menjadi
definitif. Keadaan definitif diperoleh apabila diterima kabar kepastian meninggal dunia orang
yangtak hadir itu (Pasal 485 KUHPerdata).
Jika tidak ada kabar kepastian meninggal dunia orang yang tak hadir itu, keadaan definitif
terjadi apabila lampau tenggang waktu 30 tahun sejak hari pernyataan barangkali meninggal dunia
yang tercantum dalam putusan pengadilan negeri ,atau apabila tenggang waktu 30 tahun belum
lampau , tetapi sudah lewat 100 tahun sejak hari lahir orang yang tak hadir itu (Pasal484
KUHPerdata).
Akibat hukumnya ialah para ahliwaris atau orang yang memperoleh hak mempunyai hak
(berhak) menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan orang yang tak hadir itu.Suami atau istri
yang ditinggalkan oleh orang yang tak hadir itu dapat kawin lagi dengan pihak lain (Pasal 493
KUHPerdata). Ini berarti perceraian. Menurut Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 keadaan tak hadir merupakan alasan untuk bercerai apabila ketidakhadiran itu dua
tahun berturut-turut.
HUKUM BENDA

Dalam Pasal 499KUHPerdata yang diartikan dengan zaak adalah semua barang dan
hak . Hak adalah bagian dari harta kekayaan. Harta kekayaan meliputi barang , hak
, dan hubungan hukum mengenai barang dan hak yang diatur dalam buku III
KUHPERdata. Zaak yang meliputi barang dan hak diatur dalam buku II
KUHPerdata.
Barang sifatnya berwujud , sedangkan hak sifatnya tidak berwujud. Dalam
literatur hukum ,zaak diterjemahkan dengan benda sesuai dalam bahasa Belanda.
Dengan demikian pengertian benda mencakup barang berwujud dan dan barang
tidak berwujud (hak). Barang adalah objek hak milik. Hak juga dapat menjadi
objek hak milik. Dalam hukum yang dimaksud dengan benda ialah segala sesuatu
yang menjadi objek hak milik. Semua benda dalam arti hukum dapat
diperjualbelikan, dapat diwariskan , dapat diperalihkan kepada pihak lain.
Hukum benda ialah keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang benda.
Peraturan tersebut meliputi pengertian benda, pembedaan macam-macam benda ,
dan hak-hak kebendaan. Pengaturan hukum benda menggunakan sistem tertutup,
Artinya harus dipatuhi , dituruti , tidak boleh disimpangi dengan mengadakan
ketentuan baru mengenai hak-hak kebendaan.
Selain dari buku II KUHPerdata , hukum benda juga diatur dalam undang-
undang lain , seperti:
1. Undang-Undang Pokok Agararia Nomor 5 Tahun 1960 dan semua peraturan
pelaksananya. Undang-undang ini mengatur tentang hak-hak kebendaan yang
berkenaan dengan bumi, air dan segala kekayaan alam yang terdapat di dalamnya.
Undang-undang ini mencabut berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai bumi, air
dan segala kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, kecuali mengenai hipotik dalam
buku II KUHPerdata.
2. Undang-Undang Merek Nomor. 15 Tahun 2001. Undang-undang ini mengatur
tentang hak atas merek perusahaan dan perniagaan. Hak atas merek adalah benda
tidak berwujud yang dapat dijadikan objek hak milik.
3. Undang-Undang Hak Cipta Nomor. 28 Tahun 2014. Undang-undang ini mengatur
tentang hak cipta sebagai sebagai benda tidak berwujud, yang dapat dijadikan objek
hak milik. Peralihan hak cipta harus dilakukan secara tertulis.
Menurut sistem hukum perdata benda dapat dibedakan atas :
1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud
2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak
3. Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis
4. Benda sudah ada dan benda akan ada
5. Benda dalam perdagangan dan benda diluar perdagangan
6. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi
7. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar
8. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti.
Ad.1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud
Arti penting pembedaan ini adalah terletak pada cara penyerahannya apabila
benda itu dipidahtangankankepada pihak lain , misalnya dalam hal jual beli ,
pewarisan , pemberian. Penyerahan benda berwujud bergerak dilakukan secara
nyata dari tangan ke tangan. Penyerahan benda berwujud berupa benda tetap
dilakukan dengan balik nama. Penyerahan benda tidak berwujud berupa piutang
dilakukan menurut berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata:
a.Piutang atas nama (op naam) dengan cara cessie
b.Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan cara penyerahan suratnya dari tangan ke
tangan
1. Piutang atas nama (op naam) adalah surat pengakuan hutang yang diterbitkan dan
ditandatangani oleh debitur dan diserahkan kepada kreditur dengan maksud untuk
tidak diperjualbelikan. Surat pengakuan hutang atas nama ini berisi pengakuan
debitur bahwa dia telah berutang kepada kreditur sejumlah uang tertentu dan akan
dikembalikan dengan bunga tertentu pada suatu saat dan tempat tertentu pula.
Piutang atas nama adalah tagihan yang hanya dapat ditagih oleh kreditur tertentu
saja. Misalnyadari surat pengakuan hutang atas nama adalah surat deposito
berjangka , surat tabungan.Surat perintah hutang atas nama misalnya bilyet giro.
2. Piutang atas tunjuk atau atas pembawa(aan toonder) adalah surat pengakuan
hutang , bila nama kreditur tidak disebut dalam surat atau disebut dengan jelas
dalam akta dengan tambahan kata-kata atau pembawa.
3. Piutang atas pengganti (aan order) adalah surat pengakuan hutang bila nama
kreditur disebut dengan jelas dalam surat tambahan kata-kata atau pengganti.
4. Cessie menurut Prof. Subekti adalah pemindahan hak piutang yang sebetulnya
merupakan penggantian orang berpiutang lama ,yang dalam hal ini disebut cedent,
dengan seorang berpiutang baru , yang dalam hubungan ini disebut cessionaris .
Pemindahan itu harus dilakukan dengan suatu akta otentik atau di bawah tangan ;
jadi tidak boleh dengan lisan atau atau dengan penyerahan piutangnya saja. Agar
pemindahan berlaku terhadap siberutang , akta cessie tersebut harus diberitahukan
padanya secara resmi (betekend). Hak piutang dianggap telah berpindah pada
waktu akta cessie itu dibuat , jadi tidak pada waktu akta itu diberitahukan kepada si
berutang.
5. Endosemen : perbuatan andosan untuk menyerahkan piutang kepada pemegang
(Pasal 112 KUHD).
c. Piutang atas pengganti (aan order)dengan cara endosemendan penyerahan suratnya
dari tangan ke tangan.
Ad.2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Ada dua golongan benda bergerak yaitu:
1. Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah atau
dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya sepeda, meja , kursi , buku, dan
sebagainya.(Pasal 509 KUHPerdata)
2.Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak ialah segala
hak atas benda-benda bergerak atau hak-hak yang melekat atas benda bergerak .
Misalnya hak memetik hasil dan hak memakai , hak atas bunga yang harus dibayar
selama hidup seseorang , hak menuntut dimuka hakim agar uang tunai atau barang-
barang bergerak diserahkan kepada penggugat, saham-saham dari perseroan dagang, dan
surat-surat berharga lainnya.
Benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 506,507, dan 508 KUHPerdata. Ada tiga
golongan benda tidak bergerak, yaitu:
1. Benda yang menurut sifatnya tidak bergerak, yang dibagi atas tiga macam:
a. tanah
b. segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta
bercabang seperti tumbuh-tumbuhan,buah-buahan yang masihbelum dipetikdan
sebagainya
c. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas tanah itu
yaitu karena tertanam dan terpaku.
2. Benda yang menurut tujuannya/tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan
benda tidak bergerak, seperti:
a. Pada pabrik : segala mesin-mesin, ketel-ketel, dan alat-alat lain yang
dimaksudkan agar terus menerus berada disituuntuk dipergunakan dalam
menjalankan pabrik,
b. Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang dipergunakan sebagai rabuk
bagi tanah , ikan dalam kolam, dan lain-lain,
c. Pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-tulisan , dan lain-lain serta alat-
alat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding,
d. Barang-barang reruntuhan dari sesuatu bangunan, apabila dimaksudkan
untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu.
3. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tidak bergerak,
seperti:
a. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tidak bergerak,
b. Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas.
Perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak karena adanya
ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda
tersebut yang terletak pada:
a. Mengenai penguasaan (bezit)
b. Mengenai pembebanan (bezwaring)
c. Mengenai penyerahan (levering)
d. Mengenai daluwarsa (veryaring)
e. Mengenai penyitaan (beslag)
Ad. a: Mengenai penguasaan (bezit).
Pada benda bergerak berlaku asas dalam Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata
yang menentukan bahwa barangsiapa yang menguasai benda bergerak dianggap
sebagai pemilik. Jadi bezitter dari benda bergerak adalah eigenaar dari benda
tersebut. Pada benda tidak bergerak asas tersebut tidak berlaku.
Ad. b : Mengenai pembebanan (bezwaring).
Pada benda bergerak dilakukan dengan pand (gadai) yang diatur dalam Pasal
1150 KUHPerdata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan
hipotik diatur dalam Pasal 1162 KUHPerdata.
Ad. c: Mengenai penyerahan (levering).
Mengenai benda bergerak menurut Pasal 612 KUHPerdata menentukan
bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata,
sedangkan pada benda tidak bergerak dalam Pasal 616 KUHPerdata menentukan
bahwa penyerahan benda tidak bergerak dilakukan denga balik nama.
Ad. d: Mengenai daluwarsa (verjaring).
Pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa, sebab yang menguasai benda
bergerak dianggap sebagai pemiliknya, sedangkan pada benda tidak bergerak
dikenal daluwarsa yang diatur dalam Pasal 1963 KUHPerdata sebagai berikut:
1. Dalam hal ada alas hak , daluwarsanya 20 tahun
2. Dalam hal tidak ada alas hal , daluwarsanya 30 tahun
Ad. e: Mengenai penyitaan (beslag).
Revidicatoir beslag adalah penyitaan untuk menuntut kembali barangnya
sendiri hanya dapat dilakukan terhadap barang-barang bergerak. Kemudian
executoir beslag yaitu penyitaan untuk melaksanakan keputusan pengadilan
harus dilakukan terlebih dahulu terhadap barang-barang bergerak. Apabila tidak
mrncukupi untuk membayar hutang tergugat kepada penggugat, baru executoir
beslag itu dilakukan terhadap barang-barang tak bergerak.
Ad. 3. Benda yang dipakai habis dan benda yang tidak dipakai habis.
Pembedaan ini terletak pada pembatalan perjanjian . Perjanjian yang objeknya
benda dipakai habis apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam pemulihan pada
keadaan semula. Penyelesaiannya ialah harus digantikan dengan benda lain yang
sejenis dan senilai Contoh benda dipakai habis : sabun , roti , beras dll.
Perjanjian yang objeknya benda tidak dipakai habis apabila dibatalkan tidak
begitu mengalami kesulitan pada pemulihan dalam keadaan semula, karena bendanya
masih ada dan dapat diserahkan kembali. Misalnya pembatalan jual beli televisi ,
kendaran bermotor, perhiasan emas dll.
Ad. 4. Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada.
Pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau pada
pelaksanaan perjanjian benda sudah ada dapat dijadikan jaminan hutang dan
pelaksanaan perjanjian dapat dipenuhi dengan penyerahan bendanya. Benda yang
akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang , dan perjanjian yang objeknya benda
yang akan ada dapat menjadi batal apabila pemenuhannya itu tidak mungkin
dilaksanakan sama sekali (Pasal 1320 KUHPerdata : syarat ketiga).
Ad.5. Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan.
Pembedaan ini terletak pada pemindahtanganan karena jual beli atau karena
pewarisan . Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dengan bebas
,dapat diwariskan kepada ahli waris. Benda di luar perdagangan tidak dapat
diperjualbelikan dan tidak dapat diwariskan kepada ahli waris.Tidak dapat
diperjualbelikan atau tidak dapat diwariskan itu mungkin karena tujuan
peruntukkannya , misalnya benda wakaf, mungkin karena tujuan yang dilarang
undang-undang misalnya narkotika, mungkin juga karena bertentangan dengan
ketertiban umum , misalnya memperdagangkan manusia untuk bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, atau karena bertentangan dengan kesusilaan, misalnya
memperdagangkan kalender gambar wanita tanpa busana.
Ad. 6. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi.
Pembedaan ini terletak pada pemenuhan prestasi suatu perikatan. Dalam
perikatan yang objeknya benda dapat dibagi prestasi dapat dilakukan secara
sebagian , misalnya satu ton beras dapat dibagi tanpa merubah arti dan sifatnya
sebagai beras.
Dalam perikatan yang objeknya benda tidak dapat dibagi , pemenuhan
prestasi tidak mungkin dilakukan sebagian demi sebagian , melainkan harus
secara utuh. Misalnya prestasi seekor sapi untuk membajak sawah tidak dapat
dibagi menjadi separoh sapi diserahkan sekarang dan separoh lagi kemudian.
Jika seekor sapi diparoh bukan sapi lagi namanya dan tidak berfungsi lagi untuk
membajak sawah.
Ad.7 . Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar.
Pembedaan benda ini terletak pada pembuktian pemilikannya , untuk
ketertiban umum dan kewajiban membayar pajak. Benda terdaftar dibuktikan
dengan tanda pendaftaran atau sertifikat atas nama pemiliknya , sehingga mudah
dikontrol pemilikannya , pengaruhnya terhadap ketertiban umum ,kewajiban
pemiliknya untuk membayar pajak serta kewajiban masyarakat untuk menghormati
hak milik orang lain. Misalnya benda terdaftar adalah kendaraan bermotor , tanah ,
bangunan , kapal , perusahaan , hak cipta , hak paten , telepon , televisi, pemancar
radio.
Benda tidak terdaftar disebut juga benda tidak atas nama, umumnya benda
bergerak tidak sulit pembuktian pemilikannya karena berlaku azas yang menguasai
dianggap sebagai pemiliknya. Di samping itu , tidak begitu berpengaruh/berbahaya
bagi ketertiban umum dan tidak begitu berpengaruh bagi pemiliknya untuk
membayar pajak. Misalnya alat-alat rumah tangga , pakaian sehari-hari , perhiasan ,
sepeda , hewan piaraan.
Ad. 7. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti.
Perbedaan antara benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat
diganti ini tidak disebut secara tegas dalam KUHPerdata, akan tetapi perbedaan itu
ada dalam KUHPerdata, misalnya dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan
barang.
Menurut Pasal 1694 KUHPerdata pengembalian barang oleh yang dititipi
harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda yang lain . Oleh karena itu
perjanjian penitipan barang pada umumnya hanya mengenai benda yang tidak akan
musnah.
Bila benda yang dititipkan berupa uang , maka menurut Pasal 1714
KUHPerdata , jumlah yang dikembalikan harus dalam mata uang yang sama seperti
yang dititipkan , baik mata uang itu telah naik atau turun nilainya.Lain halnya jika
uang tersebut tidak dititipkan , tetapi dipinjam-menggantikan , maka yang
meminjam hanya diwajibkan mengembalikannya sejumlah uang saja, sekalipun
dengan mata uang yang berbeda daripada waktu perjanjian pinjam mengganti
diadakan.

HAK KEBENDAAN
Untuk memahami hak kebendaan menurut sistem KUHPerdata , terlebih
dahulu perlu dipahami tentang hak perdata. Hak perdata adalah hak seseorang yang
diberikan oleh hukum perdata. Hak perdata itu yang bersifat absolut dan ada yang
bersifat relatif. Hak yang bersifat absolut memberikan kekuasaan langsung dan
dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sedangkan hak yang bersifat relatif
memberikan kekuasaan terbatas dan hanya dapat dipertahankan terhadap lawan
(pihak dalam hubungan hukum ) .
Hak perdata yang bersifat absolut meliputi :
a. Hak kebendaan (zakelijkrecht), diatur dalam buku II KUHPerdata;
b. Hak kepribadian (persoonlijkheidsrecht) , yang terdiri dari :
1. Hak atas diri sendiri , misalnya hak atas nama, hak atas kehormatan , hak
untuk memiliki, hak untuk melangsungkan perkawinan;
2. Hak atas diri orang lain , yang timbul dalam hubungan hukum keluarga
antara suami dan istri , antara orang tua dan anak ,antara wali dan anak.
Semua hak kepribadian diatur dalam buku I KUHPerdata. Hak perdata yang
bersifat relatif adalah hak yang timbul karena adanya hubungan hukum
berdasarkan perjanjian atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Hak relatif
disebut persoonlijkrecht, diatur dalam buku III KUHPerdata.Dikatakan bersifat
relatif , karena hak ini hanya dapat ditujukan dan dipertahankan terhadap pihak
dalam hubungan hukum Misalnya hak untuk memakai barang , hak untuk
membeli barang , hak untuk menyewa barang , hak untuk memperoleh ganti
kerugian . Hak persoonlijk adalah hak untuk memperoleh suatu benda
berdasarkan perikatan.
Buku II KUHPerdata yang mengatur hak-hak kebendaan menganut sistem
tertutup sedangkan buku III KUHPerdata yang mengatur hak-hak perseorangan
menganut sistem terbuka.
Hak yang melekat atas suatu benda disebut hak atas benda , hak atas benda disebut
hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak kebendaan ialah hak yang memberikan kekuasaan
langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Setiap orang
harus menghormati hak tersebut.Orang yang berhak bebas menguasai bendanya.Hak
kebendaan bersifat absolut (mutlak). Hak kebendaan misalnya hak memungut hasil , hak
sewa, hak pakai , hak gadai , hak hipotik , hak cipta.
Hak kebendaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mutlak , artinya dikuasai dengan bebas dan dipertahankan terhadap siapapun juga ,
misalnya hak milik, hak cipta;
b. Mengikuti benda , di atas mana hak itu melekat , misalnya hak sewa , hak
memungut hasil , mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada;
c. Yang terjadi lebih dulu tingkatnya lebih tinggi, misalnya di atas sebuah rumah
melekat hak hipotik, kemudian melekat pula hak hipotik berikutnya, maka
kedudukan hipotik pertama lebih tinggi daripada hipotik kedua, dengan kata lain
dalam penyelesaian hutang , hipotik pertama diselesaikan lebih dulu daripada
hipotik kedua;
d. Lebih diutamakan , misalnya hak hipotik atas rumah , jika pemilik rumah pailit ,
maka hipotik memperoleh prioritas penyelesaian tanpa memperhatikan pengaruh
pailit itu;
e. Hak gugat dapat dilakukan terhadap siapapun yang mengganggu benda itu;
f. Pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapa pun juga.
Hak perseorangan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hak perseorangan bersifat relatif (nisbi) artinya hak perseorangan hanya
berlaku terhadap orang tertentu.
2. Hak perseorangan umumnya ditujukan untuk pemenuhan prestasi dalam waktu
yang tidak terlalu lama , yaitu dengan dipenuhinya prestasi tersebut hak
perseoranganpun lenyap.
3. Hak perseorangan jumlahnya tidak terbatas pada apa yang telah ditentukan
dalam undang-undang, karena hak perseorangan timbul dari berbagai macam
perjanjian yang dibuat sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maka penguasaan secara
bebas atas hak kebendaan dapat dibatasi. Setiap orang yang mempunyai hak atas
suatu benda tidak boleh semaunya saja menguasai benda itu. Penguasaan benda
disesuaikan dengan kepentingan umum. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Penguasaan dan penggunaan hak kebendaan dibatasi oleh kepentingan orang lain.
Misalnya: 1. Hak menguasai dan menggunakan radio , walaupun radio itu hak
milik sendiri , pemiliknya tidak boleh membunyikan radio itu semaunya saja ,
sehingga mengganggu ketentraman orang lain.Dengan demikian menurut sistem
hukum kita sifat mutlak atas suatu benda dibatasi oleh kepentingan orang lain atau
kepentingan umum.
2. Hak sewa atas sebuah rumah , penguasaan rumah berdasarkan
hak sewa tidaklah bebas bagi penyewa untuk menjadikan rumah tersebut sebagai
rumah bordil yang akan mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat
sekitarnya.
Dengan demikian , hak sewa sebagai hak kebendaan tidaklah bersifat mutlak
,seperti hak kebendaan dalam KUHPerdata.
Buku II KUHPerdata telah dicabut berlakunya sepanjang mengenai bumi , air ,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali hipotik Hak-hak yang
berhubungan dengan tanah yang sudah dicabut itu adalah :
1. Hak milik (eigendom)
2. Hak guna usaha (erfpacht)
3. Hak guna bangunan (opstal)
4. Hak pakai pekarangan (servituut)
5. Hak memungut hasil ( vruchtgebruik)
6. Hak sewa bangunan ( hak sewa tanah untuk bangunan)
7. Dan semua hak berkenaan dengan tanah lainnya , kecuali hipotik.
Hak-hak yang berhubungan dengan tanah ini sudah diatur oleh UUPA Nomor
5Tahun 1960 dan menjadi objek hukum agraria, kecuali mengenai hipotik tetap
berlaku buku II KUHPerdata.
Sebenarnya yang menjadi objek hukum agraria ialah prosedur atau tatacara
memperalihkan dan memperoleh hak kebendaan , sedangkan perjanjian yang
menjadi dasar peralihan dan perolehan hak kebendaan menjadi objek hukum
perdata.
Hak-hak atas tanah yang diatur oleh UUPA dan peraturan pelaksanaannya
adalah:
1. Hak milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai
5. Hak sewa untuk bangunan
6. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
7. Hak guna air , pemeliharaan dan penangkapan ikan
8. Hak guna ruang angkasa
9. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.
Hak–hak kebendaan yang masih tersisa dalam buku II KUHPerdata dapat
dibedakan atas :
a. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijkgenootsrecht) ,
yang terdir dari:
1. Bersifat memberi kenikmatan atas benda milik sendiri misalnya hak milik
atas benda bergerak atau benda yang bukan tanah, hak penguasaan(bezit)
atas benda bergerak;
2. Bersifat memberi kenikmatan atas benda milik orang lain , misalnya bezit
atas benda bergerak atau benda yang bukan tanah , hak memungut hasil atas
benda bergerak atau benda bukan tanah , hak pakai dan mendiami atas
benda bukan tanah, hak pakai atas benda bergerak.
b. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijkzekerheidsrecht), yang
terdiri dari:
1. Gadai (Pand), sebagai jaminan ialah benda bergerak, diatur dalam Pasal
1150 KUHPerdata.
2.Hipotik , sebagai jaminan adalah benda tidak bergerak (benda tetap) diatur
dalam Pasal 1162 KUHPerdata.
Hak jaminan ini timbul karena ada hubungan hutang piutang antara debitur dan
kreditur . Hak jaminan ini termasuk dalam hak jaminan khusus,yaitu mengenai
benda tertentu saja.
Khusus hak kebendaan yang bersifat jaminan atas benda tetap, sejak tahun 1960
atau sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak
tanggungan , tidak lagi mendapat dasar hukum dalam Buku II KUHPerdata tentang
benda.
Privilege diatur dalam titel 19 Buku II KUHPerdata. Dalam Pasaal 1133
KUHPerdata menentukan hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang
Terbit dari hak istimewa (privilege), gadai (pand),
dan dari hipotek (hak tanggungan). KUHPerdat
membedakan dua macam privilege , yaitu:
1. Privilege khusus yang diatur dalam Pasal 1139
KUHPerdata.
2. Privilege umum yang diatur dalam Pasal 1149
KUHPerdata.
Hak retensi ini bukan hak kebendaan tapi
menyerupai gadai karena memberikan jaminan dan
bersifat accessoir. Artinya ada atau tidak nya
tergantung dari adanya utang piutang pokok dan
utang pokok ini ada hubungan dengan benda yang
ditahan.Jdi hak retensi sama dengan hak untuk
menahan suatu benda , sampai pada suatu piutang
yang bersangkutan dengan benda itu dilunasi.
Azas –Azas hak kebendaan:
1. Azas hukum pemaksa (dwingen recht). Azas
ini mempunyai arti bahwa tidak boleh
mengadakan hak kebendaan selain yang
sudah diatur oleh undang-undang.
2. Azas dapat dipindah tangankan.
Semua hak kebendaan dapat
dipindahtangankan.
3. Azas individualitas
Objek hak kebendaan selalu benda tertentu atau dapat ditentukan secara
individual , yang merupakan kesatuan , misalnya sebuah rumah yang terletak di
jl. Aman No.8 , sebuah unit mobil Toyota Kijang Innova BK 6789 AB, satu stel
kursi tamu .Objek hak kebendaan tidak boleh ditentukan menurut jenis dan
jumlah , misalnya 10 buah kendaraan bermotor , 100 ekor burung.
4. Azas totalitas
Hak kebendaan selalu terletak di atas seluruh objeknya sebagai satu kesatuan (
Pasal 500,588,606 KUHPerdata), misalnya hak jaminan piutang atas sebuah unit
mobil Toyota Kijang Innova BK 6789 AB harus utuh sebagai satu kesatuan.
5. Azas tidak dapat dipisahkan
Orang yang berhak tidak boleh memindahtangankan sebagian dari kekuasaan
yang termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya.Misalnya pemilik sebuah
mobil tidak boleh memindahtangankan sebagian kekuasaannya atas mobil itu
kepada orang lain , sedangkan pemilik rumah yang menyewakan sebuah kamar
kepada orang lain tidak termasuk dalam pengertian ini. Hak miliknya tetap utuh.
6. Azas publisitas
Hak kebendaan atas benda tidak bergerak diumumkan dan didaftarkan dalam
register umum , misalnya hak milik , hak guna usaha . Sedangkan hak
kebendaan atas benda bergerak tidak perlu diumumkan dan tidak perlu
didaftarkan , kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang bahwa hak
kebendaan itu harus didaftarkan , misalnya hak milik atas kendaraan bermotor.
Cara Memperoleh Hak kebendaan.
Ada beberapa macam cara memperoleh hak kebendaan seperti yang diuraikan
berikut ini :
1. Dengan pengakuan
Benda yang tidak ada pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan
diakui oleh orang yang mendapatkannya itu sebagai miliknya. Misalnya menangkap
ikan di sungai/laut, berburu rusa di hutan bebas, mendapat intan dari tempat
penggalian bebas , dll.
2. Dengan penemuan
Benda milik orang lain yang lepas dari penguasaannya , misalnya karena
jatuh di jalan , atau karena ditemukan oleh seseorang dan dia tidak mengetahui siapa
pemiliknya.Penemu benda tersebut dianggap sebagai pemilik karena ia menguasai
benda itu (Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata.
3. Dengan penyerahan
Hak kebendaan diperoleh dengan cara penyerahan berdasarkan alas hak
(rechtstitel) tertentu, misalnya jual beli , sewa menyewa , hibah , warisan.
Dengan adanya penyerahan itu , hak kebendaan atas benda berpindah kepada
yang memperoleh hak.
4. Dengan cara daluwarsa (lampau waktu)
Daluwarsa benda bergerak dan benda tidak bergerak tidak sama. Bagi siapa
yang menguasai benda bergerak , misalnya dengan cara menemukan di jalan ,
hak milik diperoleh setelah lampau waktu tiga tahun sejak ia menguasai benda
bergerak itu (Pasal 1977ayat (2) KUHPerdata). Untuk benda tidak bergerak ,
daluwarsa sebagai berikut:
a. Dalam hal ada alas hak 20 tahun
b. Dalam hal tidak ada alas hak 30 tahun
Setelah lampau waktu 20 tahun atau 30 tahun itu, orang yang menguasai
benda tidak bergerak tersebut memperoleh hak milik (Pasal 1967 KUHPerdata).
5. Dengan pewarisan
Hak kebendaan diperoleh berdasarkan pewarisanmenurut hukum waris yang
berlaku. Ada tiga macam hukum waris yang berlaku yaitu hukum waris adat ,
hukum waris Islam , hukum waris KUHPerdata.
6. Dengan cara penciptaan
Orang yang menciptakan benda baru memperoleh hak milik atas benda
ciptaannya itu. Pengertian menciptakan disini meliputi menciptakan barang baru
dari barang-barang yang sudah ada atau menciptakan barang baru sama sekali ,
yang tadinya belum ada. Misalnya menciptakan rumah berupa benda baru yang
diciptakan dari benda-benda yang sudah ada yaitu batu , semen , pasir, air ,besi.
Hak paten , atas penemuan televisi, hak cipta atas suatu lukisan, lagu , buku.
7. Dengan cara ikutan/turunan
Orang yang membeli sapi yang sedang hamil , kemudian sapi itu melahirkan
anak. Pemilik sapi tersebut mempunyai hak milik pula atas anak sapi yang baru
lahir itu. Tanam tumbuh di atas tanah dinyatakan sebagai benda ikutan dari
tanah. Yang membeli tanah tersebut berhak pula atas tanam tumbuh yang ada di
atasnya.
Hak Kebendaan Hapus/Lenyap
Hak kebendaan dapat hapus/lenyap karena hal-hal sebagai berikut:
1. Karena bendanya lenyap/musnah
Dalam hal demikian hak kebendaan atas benda tersebut ikut lenyap/musnah .
Misalnya hak pakai atas sebuah rumah , karena rumah itu terbakar habis , maka
hak pakai juga lenyap. Hak gadai lenyap apabila barang jaminan itu hilang.
2. Karena dipindahtangankan
Hak kebendaan hapus apabila bendanya dipindahtangankan. Misalnya hak
milik , hak menguasai , hak memungut hasil atas sebuah rumah menjadi hapus
apabila rumahnya dijual kepada orang lain. Hak itu hapus karena berpindah
kepada pemilik baru.
3. Karena pelepasan hak
Hak kebendaan hapus apabila ada pelepasan hak. Dalam pelepasan hak
biasanya yang berhak sengaja melepaskan haknya atas benda. Misalnya televisi
rusak kemudian dibuang ke bak sampah karena biaya reparasinya mahal. Dalam
hal ini ada pelepasan hak . Sebagian pekarangan dibiarkan untuk dibuat jalan
raya. Dalam hal ini ada pelepasan hak.
4. Karena lampau waktu
Karena daluarsa , hak kebendaan lenyap/ hapus . Daluarsa terjadi apabila
selama jangka waktu 20 tahun atau 30 tahun pemilik benda tidak mau tahu
lagi mengenai hak miliknya atas benda tertentu itu.Atau pemiliknya ingin
memperoleh kembali bendanya itu, tetapi terhalang karena komunikasi yang
sulit, misalnya karena perang yang berkepanjangan , sehingga dia tidak
mungkin lagi menguasai benda tidak bergerak miliknya itu.
Bagi benda bergerak daluarsa itu tiga tahun sejak benda itu dikuasai oleh
orang yang menemukannya. Apabila dalam waktu tiga tahun pemilik benda
itu tidak mengajukan gugatan/tuntutan pengembalian (revindikasi) benda
miliknya itu , maka haknya atas benda tersebut menjadi hapus karena
daluarsa.
5. Karena pencabutan hak
Penguasa dapat memperoleh hak kebendaan (hak milik) dengan cara
pencabutan hak. Sedangkan pemiliknya kehilangan hak atas bendanya yang
dicabut itu. Pencabutan hak harus dengan memenuhi syarat-syarat:
a. Berdasarkan undang-undang
b. Dilakukan untuk kepentingan umum
c. Dengan ganti kerugian yang layak (patut)
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu
peraturan hukum tertentu , sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya
lalu diwujudkan. Misalnya suatu peraturan hukum yang mengatur tentang kewarisan
karena kematian akan tetap merupakan rumusan kata-kata yang diam sampai ada
seseorang yang meninggal dan menimbulkan masalah kewarisan. Kematian orang itu
merupakan suatu peristiwa hukum.
Akibat hukum merupakan kelanjutan-kelanjutan dari suatu peristiwa hukum.
Misalnya mengenai sewa menyewa ,maka kelanjutan –kelanjutan tersebut diantaranya
berupa kenikmatan yang dipetik oleh salah satu pihak yaitu sipenyewa.
Agar akibat hukum bisa timbul dibutuhkan syarat tertentu . Syarat itu berupa
terjadinya suatu peristiwa dalam kenyataan yang memenuhi rumusan dalam peraturan
hukum yaitu adanya

Anda mungkin juga menyukai