Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ 1

BAB I MENGAPA TERJADI BUNUH DIRI?................................................... 3


A. Definisi Bunuh Diri............................................................................... 3
B. Penyebab Bunuh Diri............................................................................ 4
C. Tanda-tanda Orang yang Ingin Bunuh Diri...................................... 10
D. Cara-cara Bunuh Diri............................................................................ 11
E. Tiga Tipe Bunuh Diri............................................................................ 12

BAB II TINJAUAN ISLAM TENTANG BUNUH DIRI................................ 15


A. Allah Mengharamkan Bunuh Diri...................................................... 15
B. Hukum Menshalati Jenazahnya.......................................................... 17
C. Ancaman Siksa di Hari Kiamat........................................................... 19
D. Tidak Boleh Mengharapkan Mati....................................................... 20
E. Dampak Negatif Bunuh Diri di Dunia............................................... 21

BAB III MENGHINDARI MATI BUNUH DIRI............................................. 24


A. Berlindung dari Tipu Daya Syetan..................................................... 24
B. Husnudhan kepada Allah.................................................................... 27
C. Menyadari Hidup Sebagai Ujian........................................................ 28
D. Menumbuhkan Sikap Zuhud, Sabar dan Syukur............................. 30
E. Komunikasi Terbuka dalam Keluarga............................................... 32

BAB IV MENUNTASKAN KESAMAR-SAMARAN..................................... 34


A. Bunuh Diri karena Takdir.................................................................... 34
B. Bunuh Diri Sebagai Tindakan Rasional............................................. 36
C. Nabi Musa Mengajarkan Bunuh Diri................................................. 37
D. Bunuh Diri Sebagai Hak Azasi Manusia........................................... 38
E. Hukum Euthanasia............................................................................... 39
F. Bom Manusia, Bunuh Diri atau Syahid?............................................ 41

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 46

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah semata, atas kemahamurahan-
Nya telah menganugrahkan setetes ilmu kepada umat manusia. Keselamatan
dan kesejahteraan semoga senantiasa berlimpah pada diri Nabi Muhammad
saw., keluarganya, dan siapa saja yang menapaki jejak dakwahnya sampai
akhir jaman.
Terus terang, ide penulisan buku ini bermula dari “petualangan” saya ke
beberapa toko dan agen buku-buku Islam di kota Bandung untuk mencari buku
yang bertemakan seputar bunuh diri. Hasilnya, sangat sulit sekali
mendapatkannya (saya tidak mengatakan tidak ada). Tulisan tentang bunuh
diri umumnya hanyalah sub-sub kecil yang ditulis sangat ringkas di antara
grand tema yang lain. Sampai-sampai ada seorang pelayan yang nyeletuk,
“Harusnya Mas saja yang buat, biar kami yang menjualnya!.”
Saya tahu dia bercanda, tapi canda itulah yang telah memberikan inspirasi
kuat bagi saya untuk mewujudkan buku khusus mengenai fenomena bunuh
diri dan bagaimana tinjauan Islam terhadap fenomena tersebut. Selama ini para
penulis dakwah telah melupakan dan melewatkan kenyataan yang tidak bisa
dianggap remeh, yaitu soal nyawa. Telah jutaan manusia meregang nyawa
dengan cara bunuh diri. Catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mengungkapkan bahwa terdapat 10-20 juta orang yang melakukan upaya
bunuh diri setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahkan disinyalir, bunuh diri
merupakan penyebab ketiga kematian orang-orang berusia 15 sampai 35 tahun.
Di Jakarta saja, menurut data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, angka
bunuh diri tahun 2001 sebanyak 66 kasus, tahun 2002 mencapai 75 kasus.
Adapun tahun 2003 berdasarkan laporan Polda Metro Jaya, angka bunuh diri
ada sekitar 62 kasus. Sedangkan tahun 2004 sampai pertengahan Juni,
mencapai 38 orang yang rela mengakhiri hidup dengan cara tragis, yaitu bunuh
diri. Seandainya dihitung secara total kasus-kasus bunuh diri di seluruh
wilayah yang ada di Indonesia, tentu jumlah pelaku bunuh diri sangat banyak
sekali. Betapa memilukan dan sekaligus memalukan.

2
Saya sangat yakin, masyarakat Indonesia pelaku bunuh diri itu mayoritas
beragama Islam. Namun mereka tidak mempunyai akar yang kuat dalam
beragama. Keyakinannya labil, mentalnya lemah, ilmunya pas-pasan,
sementara kesulitan hidup setiap hari menghadang tanpa ampun. Jadilah
mereka manusia yang putus asa dan lebih baik memilih mati walaupun dengan
cara-cara yang dimurkai Allah.
Bermodalkan semangat dan kemampuan yang sangat terbatas, saya mulai
mengumpulkan referensi secukupnya yang ditulis oleh para dokter, psikolog,
psikiater, dan para pemerhati sosial. Tentu tanpa melupakan karya-karya para
ulama warasatul anbiya. Harapan yang tersembul dari hati sanubari yang paling
dalam, semoga kehadiran buku ini bukan sekedar menambah kepustakaan
buku-buku islami saja, tetapi bisa menjadi satu usaha dari berbagai rangkaian
usaha untuk menyelamatkan nyawa manusia dari tindakan keliru yang hanya
diridhai syetan la’natullah ‘alaih.
Penulis ucapkan terima kasih yang mendalam kepada penerbit yang telah
berkenan meluncurkan buku ini. Tak lupa kedua orangtua yang telah susah
payah mendidik penulis, semoga kebajikannya dicatat sebagai amal shaleh.
Penulis sampaikan pula terima kasih pada istri tercinta, Lilis Nurlaeli, yang
sabar mendampingi dan memantau perkembangan tulisan ini hingga tuntas.
Terakhir buat buah hatiku, Akyas Dzakir Akrom, jadilah dikau generasi qurani
pengawal ajaran Islam.

Bandung, Januari 2005

Abu Akyas

3
BAB I
MENGAPA TERJADI BUNUH DIRI?

Islam selama berabad-abad telah mengajarkan kepada manusia, bahwa


hidup di dunia merupakan nikmat dan anugerah yang diberikan Allah Yang
Maha Pemurah. Betapa tidak, berawal dari hiduplah manusia bisa merasakan
nikmatnya kesehatan anggota badan, lezatnya berbagai jenis makanan,
indahnya alam, cantik dan tampannya lawan jenis, dan sejumlah contoh-contoh
lainnya.
Namun demikian, ternyata tidak semua manusia mampu menikmati dan
mensyukuri hidup ini, sebagian orang malah meratapi hidupnya yang
dirasakan sebagai malapetaka, siksaan dan kesulitan tiada henti. Hidup bagi
mereka merupakan sesuatu yang dibenci dan tidak dikehendaki, suara-suara
bernada protes sering mereka teriakkan, “Duh, mengapa aku dilahirkan ke
bumi ini?,” yang lain berkata, “Seandainya aku tidak ada, tentu tak akan
menanggung beban seberat ini”, atau ungkapan-ungkapan lain yang semisal.
Oleh karena itu, dengan mantap mereka ingin segera keluar dari kehidupan
dan lebih memilih mati walaupun harus dengan jalan bunuh diri.
Pada bab ini, dengan ijin Allah kita akan menelaah secara cermat
mengenai fenomena bunuh diri yang menurut data dari tahun ke tahun
semakin meningkat.

A. Definisi Bunuh Diri


Dalam bahasa Arab, istilah bunuh diri dikenal dengan sebutan Qatlu An-
Nafs (‫ ِ)َقْت ُل الَّنْف س‬atau Al-Intihar ( ‫)َأِال ْنِتَح اُر‬, pelakunya dipanggil Al-Muntahir ( ‫)َأْلُم ْنَتِح ُر‬.

Dalam bahasa Inggris bunuh diri disebut dengan kata Suicide.


Kata Qatlu An-Nafs (‫ِ)َقْتُل الَّنْف س‬, juga diartikan dengan membunuh orang lain.

Seperti firman Allah:

)29 :‫َو َال َتْق ُتُلْو ا َأْنُفَس ُك ْم ِاَّن اَهلل َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا (النساء‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa: 29).

4
Lafad “Walaa taqtuluu anfusakum” yang terdapat dalam ayat di atas
mengandung dua makna larangan sekaligus, yaitu larangan melakukan bunuh
diri dan larangan membunuh orang lain.
Mengenai makna yang pertama, Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat
Imam Ahmad bahwa pernah suatu ketika Amr bin Ash berhujjah dengan ayat
ini di hadapan rasul, tatkala ia ditanya berkaitan dengan tayammum yang
dilakukannya, padahal ia saat itu sedang junub. Amr bin Ash menjawab, “Ya
Rasulullah, saya bermimpi jima pada malam yang sangat dingin, sehingga saya
harus mandi besar, saya khawatir akan binasa. Ketika itu saya ingat firman
Allah, ‘Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.’ Maka saya pun bertayammum, kemudian shalat.” Maka
rasul tertawa dan beliau tidak mengatakan sepatah kata pun.
Adapun makna yang kedua, Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Jami’ li
Ahkamil Quran menyebutkan, para ahli ta’wil (tafsir) telah bersepakat dengan
ayat ini tentang haramnya manusia membunuh sesama manusia lainnya
kecuali atas dasar yang dibenarkan oleh ajaran Islam.
Para pakar psikologi dan sosiologi memberikan pengertian bahwa bunuh
diri adalah aktifitas yang dilakukan seseorang secara sadar untuk mengakhiri
hidupnya dengan cara-cara yang dianggap akan mempercepat kematiannya.
Edwin Shneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai tindakan yang secara
sadar membinasakan diri sendiri, dicetuskan oleh diri sendiri sebagai
manifestasi dari malaise (rasa tidak enak) multidimensional dan bagi pelaku,
hal itu dianggapnya sebagai jalan keluar terbaik.
Sesungguhnya bunuh diri itu merupakan pembunuhan yang dibalik-
arahkan, artinya subjek (si pembunuh) dan objek (yang dibunuh) merupakan
orang yang sama.

B. Penyebab Bunuh Diri


Umumnya para psikolog dan psikiater berpandangan, terjadinya tindak
bunuh diri tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi merupakan
kombinasi dari berbagai faktor personal dan sosial. Menurut Kristie
Poerwandari, Staf pengajar bagian psikologi klinis Fakultas Psikologi UI, untuk

5
menelaah sebab-sebab bunuh diri paling tidak harus diperhatikan dua faktor,
yaitu faktor predisposisi dan faktor pregear. Predisposisi adalah faktor pendahulu
yang mempengaruhi atau memberi kecenderungan untuk melakukan bunuh
diri, dan pregear adalah faktor pencetus atau situasi faktual yang mendorong
terjadinya bunuh diri. (Kompas, 05 Maret 2003).
Misalnya, seorang bapak yang hidup dalam jeratan kemiskinan dan
mental yang lemah, mudah frustasi. Keadaan ini disebut predisposisi. Kemudian
diperparah oleh istrinya yang meminta nafkah untuk keperluan sehari-hari,
anak-anaknya merengek meminta uang jajan dan iuran sekolah, tetangga
menagih utang serta sederet tuntutan lain yang tak mungkin terkabulkan.
Kondisi seperti ini disebut pregear, yaitu faktor pencetus yang mendorong sang
bapak mengambil langkah aksi bunuh diri.
Bila diamati dari berbagai kasus percobaan bunuh diri, baik yang “sukses”
maupun yang gagal, maka faktor penyebab atau lebih tepatnya faktor pencetus
seseorang nekat melakukan tindakan bunuh diri bisa dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kesulitan ekonomi
Angka bunuh diri di Indonesia memang lebih banyak dilatarbelakangi
alasan kemiskinan; beratnya beban hidup, sulitnya mencari pekerjaan, dan
masa depan yang sangat tidak menjanjikan. Banyak contoh yang bisa
ditunjukkan mengenai hal tersebut.
Di antaranya, kasus bunuh diri seorang ibu, bernama Sukaesih (30 th)
dengan cara membakar dirinya dan kedua anaknya, Galang (6 th) dan Galuh (4
th). Peristiwa ini terjadi pada Rabu malam, 15 Desember 2004. Kenekatan ibu
muda ini dipicu oleh utang sebesar 15 juta pada rentenir yang membuat kepala
pusing. Ia terpaksa meminjam pada si lintah darat untuk perawatan Galuh
yang menderita radang otak. Selain utang ke rentenir, ia juga bingung
memikirkan kontrakan yang harus segera dibayar, sementara sang suami
hanyalah seorang supir yang berpenghasilan pas-pasan. Ia dan Galuh tewas,
sementara Galang mengalami luka bakar yang cukup parah. (Kompas, 16
Desember 2004).

6
Contoh lain, Heryanto (12 th), murid kelas VI SD di Garut Jawa Barat. Ia
mencoba gantung diri karena malu belum membayar uang keterampilan
sebesar Rp. 2.500,-. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan (Pikiran Rakyat, 23
Agustus 2003). Atau kasus Ibu Eriani Andriani (26 th), ia terpaksa gantung diri
bersama janin berusia empat bulan di rumah petaknya yang berada di kawasan
kumuh, Jakarta Utara. Eriana putus asa karena utang senilai Rp. 2,9 juta tak
kunjung lunas.
Jika pemerintah tidak segera melakukan usaha perbaikan taraf hidup
bangsa, menyediakan lapangan kerja, dan peningkatan mutu pendidikan bagi
masyarakat, tampaknya bunuh diri dengan alasan serupa akan terus
bermunculan di negara ini mengingat sebagian besar penduduk Indonesia dari
210 juta jiwa itu, mereka hidup di bawah garis kemiskinan, pendidikan yang
rendah, dan ketahanan mental yang lemah.
2. Tidak sabar menahan sakit
Psikiater dan Ketua IDI kota Bandung, Dr. Teddy H. S.p.K.J. menulis
dalam “Mengapa Mesti Bunuh Diri?” (Pikiran Rakyat, 11 Agustus 2003), bahwa
kondisi fisik berhubungan erat dengan upaya bunuh diri. Lebih kurang 32 %
dari mereka yang bunuh diri sepanjang bulan Januari sampai Juli 2003 punya
masalah dengan kondisi fisiknya.
Menurutnya, penelitian bedah mayat (post mortem) memperlihatkan angka
25-75 % pelaku bunuh diri memiliki kelainan fisik. Laki-laki penderita kanker
50 %-nya melakukan percobaan bunuh diri, dan 70 % perempuan penderita
kanker payudara melakukan hal yang sama.
Jika dilihat dari usia, orang yang bunuh diri karena sakit yang tak kunjung
sembuh, umumnya berusia di atas 55 tahun. Selain penyakit kanker, orang
yang memiliki resiko tinggi melakukan usaha bunuh diri adalah penderita
stroke, HIV/AIDS, trauma kepala, dan penyakit berat lainnya. Inilah yang
memotivasi Damai Nababan (35 th) untuk terjun dari lantai lima gedung Ima B
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba Jakarta Pusat, akibat penyakit
kronis yang sulit disembuhkan.
3. Patah hati

7
Hati manusia seringkali diliputi dengan harapan dan cita-cita yang
terkadang sangat muluk-muluk. Namun tatkala kenyataan berbicara lain, tak
sesuai dengan keinginan, maka jiwa orang yang kurang iman akan hancur
sehancur-hancurnya, dan hatinya tersayat-sayat dengan luka yang sangat
dalam. Dunia yang luas dan indah pun dirasakan mengkerut dan jungkir balik
tak karuan.
Seperti itulah mungkin yang dirasakan Kopral Satu Hari Buana (35 th),
anggota Detasemen Markas Komando Daerah Militer (Kodam) V Jayakarta.
Walaupun tubuhnya kekar dan gagah, ia tak mampu menanggung kecewa saat
wanita idamannya selama bertahun-tahun, menikah dengan pria lain. Pupus
sudah harapan yang terukir di lubuk hati sang kopral, ia pun akhirnya gantung
diri di rumah kontrakannya di Jakarta Timur. (Kompas, 03 Maret 2003).
Di Cianjur hal serupa terjadi, seperti yang dilaporkan harian umum
Galamedia, 30 September 2004. Yasa (28 th), pemuda yang berprofesi sebagai
tukang ojek ini gagal mempersunting gadis pujaannya setelah keluarga si gadis
menolak lamarannya. Tak diduga, ia ditemukan warga telah menggantung di
atas pohon cengkih setinggi empat meter yang berada di belakang rumahnya
menggunakan kain sarung.
4. Depresi
Manusia terlahir tidak hanya fisik, tetapi juga psikis. Benturan-benturan
hebat yang menggoncang jiwa seperti tertimpa musibah, di-PHK, atau tekanan
kerja yang amat berat, merupakan stressor (penekan) yang bila tidak terampil
mengelolanya akan mengakibatkan depresi berkepanjangan.
Sembilan puluh persen korban bunuh diri di dunia Barat diperkirakan
akibat depresi. Di Amerika tercatat 1.400.000 mencoba bunuh diri setiap
tahunnya dan 400.000 orang di antaranya tewas. Bahkan jembatan terkenal
Golden Gate Bridge di San Fransisco menjadi tempat favorit untuk melakukan
aksi bunuh diri, 850 orang dilaporkan telah tewas di jembatan berwarna merah
itu. (Kompas, 17 Agustus 2004).
Kita tahu Kurt Cobain, kelompok musik Nirvana yang populer ke
seantero dunia dan tak pernah kekurangan uang, ternyata lebih memilih bunuh
diri akibat depresi. Kemudian sepanjang tahun 2003, tentara Amerika yang

8
berperang di Irak memutuskan mengakhiri hidupnya sepulang ke negaranya
karena trauma (depresi ringan dan sedang). Mereka sebagian besar adalah
tentara AD.
Lagi-lagi disebabkan depresi, seorang pemuda Jepang berusia 24 tahun,
Ichiro Oshima, pekerja Japanis Dentsu Inc, perusahaan reklame terbesar di
dunia, ditemukan gantung diri. Ia merasa tidak berfungsi sebagai manusia
akibat tekanan kerja. Ia harus bekerja sekitar 80 jam per minggu. Masih di
jepang, kurang lebih 10.000 terjadi kasus bunuh diri dengan alasan yang sama
dalam setahun, sampai muncul istilah khusus untuk gejala semacam ini,
karoshi. (Sinar Harapan, 03 Agustus 2001). Di China lebih mencengangkan lagi,
setiap tahun lebih dari 250 ribu tewas bunuh diri dari jumlah percobaan bunuh
yang dilakukan dua juta penduduknya.
Dan karena depresi pula, Marimutu Manimaren (46 th) si pengusaha
tekstil dan bos kedua grup Texmaco, melompat dari lantai 56 hotel berbintang.
Ia tewas mengenaskan dengan kepala pecah dan tulang patah. (Suara Merdeka,
06 Agustus 2003). Banyak kalangan menduga tindakan Marimutu Manimaren
itu terinspirasi oleh aksi bunuh dirinya Chung Mong-hun (54 th), Ketua
Hyundai Asian Corporation yang tepat satu hari sebelumnya loncat dari lantai
12 markas Hyundai yang terletak di Korea Selatan. Chung pun mati
mengerikan.
Walhasil, contoh-contoh di atas mempertegas bahwa bunuh diri bukanlah
monopoli orang-orang kere yang tak punya apa-apa, tetapi bisa menimpa siapa
saja yang tak mampu mengelola stress. Bahkan penelitian menyebutkan bahwa
dokter, veteran, apoteker, dan ahli kimia memiliki resiko bunuh diri lebih
tinggi daripada rata-rata. Di kalangan profesional Amerika, angka bunuh diri
banyak ditemukan pada kelompok seniman, penegak hukum, tenaga medis,
dan pekerja asuransi. Untuk tenaga medis yang terbanyak adalah psikater,
dokter, ahli mata, dan anesthesia.
Coba bayangkan, psikiater saja yang sehari-harinya membimbing dan
menyembuhkan pasien depresi bisa tertimpa penyakit yang sama.
Depresi sendiri dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu depresi tinggi atau
berat seperti frustasi, dan depresi ringan atau sedang seperti trauma.

9
5. Doktrin dan ajaran sesat
Ternyata orang-orang yang bergumul dengan kepercayaan kepada tuhan,
tokoh agama dan para “pembela kebenaran” bisa terjerumus pada tindak
bunuh diri. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika perilaku bunuh diri dipahami
sebagai bagian dari dan kewajiban agama (pseude religion).
Tanggal 28 Maret 1997, dunia digegerkan oleh peristiwa bunuh diri massal
yang diatraksikkan oleh 39 pengikut sekte pintu surga (Heaven’s Gate) di
Rancho Santa Fe, California. Sebanyak 21 wanita dan 18 laki-laki itu ditemukan
tak bernyawa dalam sebuah rumah yang disewa seharga 7000 dollar AS per
bulan.
Mereka bukan orang tak terpelajar, di antara mereka ada ahli komputer
dan internet. Pemimpin mereka, Marshall Herff Applewhite (66 th),
sebelumnya ia pernah menjadi seorang dosen musik di Universitas Thomas,
Houston. Para pengikut sekte ini berkeyakinan bahwa kiamat akan segera tiba,
tubuh wadag dan bumi hanya tempat sementara. Oleh karenanya pemimpin
mereka mewajibkan bunuh diri untuk keluar dari tubuh wadag dan planet
bumi menuju surga yang akan diangkut oleh piring terbang (UFO) yang
melayang mengikuti lintasan komet Haley Bopp. Mereka secara serentak
menegak racun yang dicampurkan pada agar-agar.
Sebenarnya jumlah bunuh diri massal pengikut sekte pintu surga lebih
kecil dibandingkan korban gerakan keagamaan lain di kota Jhonsawn, Guyana
tahun 1928. Konon, konsep bunuh diri massal yang diyakini sebagai media
mendekatkan diri kepada tuhan telah ada pada agama dan kepecercayaan
dulu. Misalnya aliran Mazdakiyah, mereka menyuruh bunuh diri agar terbebas
dari segala kejahatan. Di India terdapat aliran kepercayaan Aknuturiyah.
Mereka menyembah api, menggali lubang persegi empat dan menyalakan api
di dalamnya. Untuk mendekatkan diri kepada tuhan api itu, mereka
melemparkan semua makanan lezat dan seluruh harta, termasuk melemparkan
diri mereka ke dalam kobaran api yang mereka nyalakan sendiri sampai
terbunuh.

10
Selain doktrin agama dan ajaran sesat, bunuh diri bisa juga dikarenakan
doktrin budaya, seperti budaya hara-kiri di Jepang atau tradisi sutte di negara
India.
6. Persoalan sepele
Bunuh diri juga tidak harus dicetuskan oleh persoalan-persoalan berat,
tetapi ada juga kasus bunuh diri karena masalah yang tampak sederhana
bahkan menggelikan.
Sebut saja Johan Darmawan (35 th), warga Graha Lestari, Tangerang. Ia
bunuh diri gara-gara burung kesayangannya mati. Sungguh aneh, padahal si
burung pun tak akan melakukan bunuh diri bila majikan kesayangannya mati.
Ada lagi kasus Subchan Rojana (17 th) yang melakukan percobaan bunuh diri
karena kecewa saat ulang tahunnya hanya dihadiri dua orang. (Kompas, 16
April 2003).
Patut juga dicatat kasus Mevi Susanti (15 th), siswi kelas II SMP ini nekat
minum racun serangga “hanya” karena dilarang menonton acara Akademi
Fantasi Indosiar (AFI). Untung ia masih selamat. (Republika, 11 Juni 2004).
Psikolog senior, Sartono Mukadis berpendapat, fenomena banyaknya
bunuh diri karena masalah ringan disebabkan kepribadian yang kaku, tidak
memiliki tingkat kelenturan kepribadian yang tinggi, sehingga jika ada
perubahan-perubahan yang tidak menyenangkan pada dirinya, maka dengan
mudah menuruti kata hati mengambil tindakan bunuh diri.
Selain enam pencetus bunuh diri seperti disampaikan di atas, bunuh diri
juga bisa disebabkan karena ketergantungan pada alkohol, obat-obatan
terlarang, dan keluarga yang tidak harmonis.

C. Tanda-tanda Orang yang Ingin Bunuh Diri


Kadang orang terhenyak heran menyaksikan saudara atau teman
dekatnya atau tetangganya nekat bunuh diri. Mereka tidak menyangka orang-
orang yang dikenalnya selama ini melakukan tindakan bodoh tanpa ada tanda-
tanda sebelumnya.
Bisa jadi memang tidak disertai tanda-tanda, karena seperti hasil survei
terhadap orang yang melakukan percobaan bunuh diri di China, 60 %-nya

11
menuruti dorongan bunuh diri dalam tempo dua jam setelah pertama kali
memikirkannya, sementara 37 % bertindak dalam kurun waktu lima menit
pertama.
Namun banyak pula kasus bunuh diri yang disertai tanda-tanda, tapi
sayang lingkungan sekitar tidak peka merespon isyarat-isyarat tersebut. Kita
bisa melacak gejala yang tampak pada orang yang ingin bunuh diri, yaitu:
1. Sering membicarakan tentang bunuh diri.
2. Bicara putus asa, merasa tidak berharga, dan merasa tak akan ada yang bisa
menolong.
3. Secara tiba-tiba menjadi sangat gembira atau sangat pendiam.
4. Tidak berminat pada hal-hal yang awalnya digemari.
5. Sering mengungkapkan seputar kematian.
Terkadang pula sebelum bunuh diri, mereka “berpamitan” terlebih
dahulu melalui coretan-coretan atau gambar di kertas dan di dinding kamar
yang mengungkapkan bahwa ia membenci kehidupan dan ungkapan-
ungkapan frustasi.
Orang yang ingin bunuh diri memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Ambivalensi, yaitu hatinya bergejolak antara ingin tetap hidup dan ingin
mati.
2. Impulsitas, yaitu hatinya cenderung ingin selalu segera memperturutkan
keinginannya dan tersiksa bila keinginannya ditunda-tunda.
3. Rigiditas, yaitu pikiran, perasaan, dan tindakan mereka sangat terbatas, sulit
menerima nasihat dan jalan keluar yang lain.
Ada empat stadium bunuh diri pada orang yang terkena depresi, yaitu:
1. Pikiran bunuh diri. Pada tahap ini ia masih menghitung untung ruginya.
2. Ancaman bunuh diri. Bila ia merasa kesal, ia mengancam akan bunuh diri
dengan kemarahan yang hebat atau malah menangis.
3. Percobaan bunuh diri. Pada stadium ini ia sudah mulai mencoba melakukan
aksi bunuh diri, tapi masih setengah hati. Ia mungkin melakukannya di
tempat yang masih ada orang atau di tempat sunyi, tapi berteriak minta
tolong.

12
4. Tindakan bunuh diri. Pada stadium keempat ini, ia benar-benar ingin mati
dan tidak ingin ada orang yang menggagalkan niatnya.

D. Cara-cara Bunuh Diri


Sepanjang informasi yang diperoleh, pelaku bunuh diri menempuh cara-
cara sebagai berikut:
1. Menggantung diri dengan tambang, tali, kawat, sarung, dan stagen.
2. Meminum racun pestisida (racun tikus, serangga, obat nyamuk cair).
3. Menegak pil melebihi dosis.
4. Menusuk perut dengan benda tajam.
5. Memutus urat nadi dengan pisau atau silet.
6. Menggorok leher.
7. Menjatuhkan diri dari ketinggian seperti hotel, rumah berlantai, atau jurang.
8. Menceburkan diri ke sumur atau sungai yang dalam.
9. Menabrakkan diri di jalanan atau di rel kereta api.
10. Menyetrumkan diri pada listrik bertegangan tinggi.
11. Membakar diri.
12. Menembak pelipis kepala dengan senjata api.
Beragamnya cara yang ditempuh untuk memuluskan ide bunuh diri
tampaknya berkaitan sekali dengan situasi yang ada dan paling
memungkinkan saat itu. Orang bunuh diri dengan cara menembak kepala
dengan pistol, karena ia memiliki senjata itu, bagi orang yang miskin tak
mungkin menempuh jalan yang sama, sehingga lebih memilih gantung diri,
membakar diri, atau mencebur ke dalam sumur.
Oleh karena itu, “trend” cara bunuh diri di Indonesia yang rata-rata
orang-orang tak mampu adalah dengan cara menggantung diri, seperti bisa
ditemukan di Gunung Kidul, salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang dihubung-hubungkan dengan mitos pulung gantung, yaitu
isyarat langit tentang akan adanya yang mati bunuh diri dengan cara
menggantung. Padahal setelah dilakukan penelitian oleh Darmaningtyas,
nyatanya mereka gantung diri bukan karena mitos tersebut, tapi akibat

13
kemiskinan, kelaparan, tanah yang tandus dan gersang, serta penyakit yang
mereka derita.

E. Tiga Tipe Bunuh Diri


Seorang sosiolog asal Perancis, Emile Durkheim menjelaskan tiga tipe
bunuh diri, yaitu:
1. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah bunuh diri yang dilakukan seseorang untuk
memperjuangkan idealismenya. Hal ini terjadi akibat fanatik dan loyalitas yang
berlebihan, baik pada kepercayaan, bangsa, maupun budaya.
Pada Perang Dunia II, di Jepang lahir pasukan bunuh diri yang disebut
dengan istilah kamikaze. Mereka siap berkorban sampai titik darah penghabisan
demi membela negaranya. Masih di Jepang pula kita mengenal hara-kiri yang
merupakan tradisi atau seni mati ala Jepang, orang yang melakukannya
dianggap mati terhormat. Bahkan dalam kebudayaan Hindu India ada suttee,
yaitu seorang istri dipandang setia dan terhormat bila masuk ke tengah-tengah
kobaran api yang sedang membakar mayat suaminya.
Sebagian kalangan ada yang menggolongkan bom manusia yang
dilakukan kelompok muslim di Palestina sebagai bunuh diri jenis ini. Tentu
penilaian ini perlu dicermati, benarkah tindakan melawan penindasan dan
kedzaliman musuh-musuh Islam yang setiap hari dengan ganas membasminya
tanpa mengenal usia masih disebut bunuh diri? Padahal bunuh diri jelas-jelas
diharamkan agama. Ataukah cara dan jalan itu dalam kondisi tertentu diijinkan
Allah untuk menegakkan kalimah-Nya di muka bumi?
Tanpa harus tergesa-gesa, kita akan menjawab persoalan bom manusia
diakhir tulisan ini. Insya Allah.
2. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik kebalikan dari altruistik. Maksudnya, individu
melakukan bunuh diri murni karena memikirkan nasib dirinya sendiri, tidak
ada kaitan dengan loyalitas dan solidaritas pada kepercayaan, bangsa, dan
budaya. Seperti kasus bunuh diri karena cinta atau tak tahan hidup miskin.

14
Bunuh diri egoistik banyak dilakukan oleh orang yang tidak menikah
daripada orang yang sudah menikah, dan yang menikah tanpa anak angka
bunuh dirinya lebih besar dibandingkan menikah dan punya anak. Ini
menunjukkan bahwa tekanan berlebihan pada individu dan pudarnya ikatan
sosial dapat meningkatkan angka bunuh diri.
3. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik terjadi akibat adanya ketidakstabilan sosial dan
kacaunya nilai serta norma sosial. Tiap individu tidak bisa mengikuti nilai dan
norma sosial tersebut. Akhirnya, mereka dilanda stress dan depresi. Konflik-
konflik antar penganut agama, kerusuhan di berbagai daerah, dan krisis
ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia sampai hari ini, atau bencana alam
seperti gempa dan tsunami yang menewaskan ribuan warga Aceh serta
mengguncang negara-negara tetangga, berpotensi sekali melahirkan angka
bunuh diri anomik.
Jika dikaitkan dengan usia, Darmaningtyas membagi bunuh diri pada tiga
klasifikasi, yaitu:
1. Usia remaja atau muda, umumnya disebabkan percintaan.
2. Usia produktif (antara 25-55 tahun), umumnya karena faktor ekonomi.
3. Usia senja (di atas 55 tahun), umumnya karena sakit menahun.

15
BAB II
TINJAUAN ISLAM TENTANG BUNUH DIRI

A. Allah Mengharamkan Bunuh Diri


Walaupun manusia mengalami masa-masa yang sangat kritis dalam
hidupnya, kesulitan yang begitu mencekam, kemiskinan yang tiada tara, atau
sakit fisik yang tak kunjung sembuh, bahkan langit dan bumi seolah begitu
sempit menghimpit, aktifitas bunuh diri tetap haram dalam pandangan Allah.
Bila kita menyelami larangan Islam terhadap aksi bunuh diri, dikarenakan
alasan sebagai berikut:
1. Sama dengan membunuh orang lain
Allah berfirman:

)29 :‫َو َال َتْق ُتُلْو ا َأْنُفَس ُك ْم ِاَّن اَهلل َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا (النساء‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepada kalian.”(QS. An-Nisa: 29).
Dengan ayat ini Allah memperkenalkan konsep kemanusiaan yang begitu
agung, bahwa membunuh orang lain sama dengan membunuh jiwa kita
sendiri, begitu pun sebaliknya, membunuh diri sendiri sama dengan
membunuh orang lain. Apalagi membunuh sesama muslim, sungguh sangat
diharamkan. Islam menganut konsep kesatuan jiwa antar sesama muslim.
Kalimat anfusakum (dirimu sendiri), menggambarkan hubungan sesama muslim
sebagai jasad yang satu (jasadil wahid).
Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan di awal, bunuh diri
merupakan pembunuhan yang dibalik-arahkan. Bunuh diri berarti mengalirkan
darah tanpa hak. Islam hanya membenarkan bolehnya darah tumpah dalam
beberapa keadaan yang khusus, yaitu saat berperang, saat mempraktekkan
hukum qishas, dan saat melaksanakan rajam pada pezina yang pernah
menikah, dan membunuh orang murtad. Rasulullah saw. bersabda:

‫ِب الَّنْف ِس‬ ‫َّن‬


‫ْف‬ ‫ال‬ ‫َال ِحَي ُّل َدَم اْم ِر ٍئ ُم ِلٍم ِاَّال ِبِاْح َد ى َثَالٍث ألَّثِّي ال َّز اىِن‬
‫َو ُس‬ ‫ُب‬ ‫ْس‬
)‫َو الَّتاِر ُك ِلِد ْيِنِه ا َف اَر ُك ِلْلَج َم اَعِة (رواه متفق عليه‬
‫ُمل‬

16
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga alasan, yaitu perempuan
zina yang sudah menikah, jiwa dengan jiwa (qishas), dan orang murtad yang
memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dalam kesempatan lain beliau bersabda:

)‫َال َيَز اُل اْلُم ْؤ ِم ُن يِف ُفْس َح ٍة ِم ْن ِد ْيِنِه َم اْمَل ُيِص ْب َدًم ا َح َر اًم ا (رواه البخارى‬
“Seorang mukmin itu senantiasa berada dalam kelapangan agamanya selagi ia
tidak menumpahkan darah yang diharamkan (untuk ditumpahkan).” (HR. Al-
Bukhari).
2. Mendahului takdir-Nya
Sesungguhnya hidup dan matinya manusia, sepenuhnya harus diserahkan
kepada Allah semata. Dia yang mencipta, maka hanya Dia pula yang berhak
menentukan kehidupan dan kematian hamba-Nya, sedangkan manusia tidak
memiliki kehidupannya, ia hanya diamanahi Allah untuk menjaganya.
Namun bagi orang-orang yang berdosa, ternyata kematian bisa
“ditentukannya” sendiri. Dengan berani mereka melakukan tindakan bunuh
diri melangkahi hak dan wewenang Allah. Rasul bersabda:

‫َك اَن ِبَر ُج ٍل ِج َر اٌح َفَق َت َل َنْف َس ُه َفَق اَل اُهلل َبَد َر َعْب ِد ي َنْف َس ُه َفُح ِر َم ْت َعَلْي ِه اَجْلَّن ُة‬
)‫(رواه البخارى‬
“Seorang laki-laki memiliki luka, ia pun membunuh dirinya. Maka Allah
berfirman, ‘Hamba-Ku telah mendahului (takdir-Ku) terhadapnya, maka Aku
haramkan surga bagi-Nya.’” (HR. Al-Bukhari).
Mendahului takdir Allah itu tidak bermakna bahwa Allah kalah cepat
dibanding pembunuh diri, tetapi menggambarkan ketidaksukaan dan
kemurkaan Allah pada manusia yang berlaku dzalim seperti itu.
3. Tubuh, amanah yang wajib dibela
Hakikatnya, diri manusia hanyalah barang titipan yang diberikan Allah.
Suatu hari nanti Allah akan menagih pertanggungjawaban setiap manusia
berkenaan dengan titipan-Nya itu. Oleh karenanya, setiap diri harus menjaga
amanah tersebut dengan baik dan hati-hati, tidak boleh menyia-nyiakannya,
mengkhianati, apalagi merusak tubuh sendiri.
Allah berfirman:

17
)195 :‫َو َال ُتْلُقْو ا ِبَأْيِد ْيُك ْم ِاىَل الَّتْه ُلَك ِة (البقرة‬
“Dan janganlah kamu biarkan dirimu jatuh ke dalam kebinasaan.”(QS. Al-
Baqarah: 195).
Kita pun dianjurkan untuk senantiasa meningkatkan kualitas kesehatan
badan dengan cara berolahraga, menghindari makanan dan minuman yang
berbahaya, dan memperluas wawasan cara hidup sehat. Jika tubuh kita sakit,
kita wajib mengobatinya agar segera sembuh, bahkan seandainya ada orang
lain yang bermaksud menyakiti jiwa dan raga kita, maka kita wajib membela
diri walaupun terpaksa harus terjadi pertumpahan darah. Tidak berdosa dan
tidak akan tegak hukum qishas pada orang yang membunuh karena membela
diri demi menjaga tubuh amanah Allah tersebut sebagaimana firman Allah:

)41 :‫َو ِلَم ْن اْنَتَص َر َبْع َد ُظْلِمِه َفُاوَلِئَك َم ا َعَلْيِه ْم ِم ْن َس ِبْيٍل (الشورى‬
“Barangsiapa yang menang membela dirinya sesudah ia teraniaya, maka tidak ada
jalan lain bagi mereka untuk menghukumnya.” (QS. Asy-Syura: 41).
Oleh karena itu, bunuh diri merupakan indikator orang-orang yang tidak
memiliki rasa tanggung jawab dan khianat terhadap amanah Allah sekaligus
sebagai bukti kosongnya keimanan dalam dada mereka.

B. Hukum Menshalati Jenazahnya


Di kalangan para ulama terjadi perselisihan yang cukup tajam berkenaan
dengan hukum menshalati jenazah pelaku bunuh diri. Namun secara umum
bisa disimpulkan pada dua pendapat. Pertama, sebagian ulama berpendapat
bahwa orang yang mati bunuh diri dihukumi kafir dan di akhirat kelak mereka
kekal di neraka selama-lamanya. Oleh karenanya haram menshalatinya.
Termasuk pada golongan ini Umar bin Abdul Aziz dan Imam Auza’i.
Adapun hujjah golongan ini adalah hadits nabi yang berbunyi:

‫َمْن َتَر َّدى ِم ْن َجَب ٍل َفَق َت َل َنْف َس ُه َفُه َو يِف َن اِر َجَه َّنَم َيَتَر َّدى ِفْيَه ا َخ اِل ًد ا َخُمَّل ًد ا‬
‫َاَب ًد ا َو َمْن َحَتَّس ى ًمُسا َفَق َت َل َنْف َس ُه َفُس ُّم ُه يِف َي ِدِه َيَتَح َّس اُه يِف َن اِر َجَه َّنَم َخ اِل ًد ا‬

18
‫َخُمَّل ًد ا َاَب ًد ا َمْن َقَت َنْف ُه َحِبِد ْي َد ٍة َفَح ِد ْيَدُت ُه يِف َي ِدِه َجُيُأ َهِبا يِف َبْطِن ِه يِف َن اِر‬
‫َل َس‬ ‫َو‬
)‫َجَه َّنَم َخ اِلًد ا َخُمَّلًد ا َاَبًد ا (رواه مسلم‬
“Barangsiapa terjun dari gunung membunuh dirinya sendiri, maka ia berada di
neraka Jahannam, ia akan terjun di dalamnya kekal dan dikekalkan selama-
lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan cara meminum racun, maka ia akan
minum racun itu dengan tangannya di neraka Jahannam kekal dan dikekalkan
selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka besi itu di
tangannya akan ia tusukkan ke dalam perutnya di neraka Jahannam kekal dan
dikekalkan selama-lamanya.” (HR. Muslim).

Di dalam hadits di atas ada kalimat khalidan mukhalladan abada (kekal dan
dan dikekalkan selama-lamanya), sedangkan orang yang kekal di neraka
hanyalah orang-orang kafir. Selanjutnya rasul pun tidak pernah menshalati
orang yang mati bunuh diri sebagaimana hadits yang diterima oleh Jabir bin
Samrah ra. Ia berkata:

)‫َأَتى ِبَر ُج ٍل َقَتَل َنْف َس ُه َمِبَش ا ِقٍص َفَلْم ُيَص ِّل َعَلْيِه (رواه مسلم‬
“Ada seorang jenazah laki-laki dihadapkan pada rasulullah. Laki-laki tersebut
bunuh diri dengan panah yang memiliki kepala yang sangat lebar. Akan tetapi
pada saat itu, rasulullah tidak menshalatinya.” (HR. Muslim).
Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa pelaku bunuh diri
termasuk muslim yang fasik, bukan kafir atau murtad, sebab bunuh diri tidak
termasuk perkara yang membatalkan keislaman seseorang. Dengan demikian,
jenazah orang yang bunuh diri tetap dishalatkan. Ini pendapat Imam As-Syafi’i,
Abu Hanifah, Malik, Qatadah, dan lain-lain.
Menurut pendapat ini kalimat khalidan mukhalladan abada (mereka kekal
dan dikekalkan selama-lamanya) bukan berarti bahwa orang yang bunuh diri
tidak masuk surga, tetapi artinya beberapa saat yang sangat lama menghuni
neraka, bukan selama-lamanya. Seakan-akan rasul bersabda, “Kalian akan abadi
di dalamnya selama beberapa waktu yang ditentukan.” (Fathul Bari/3/177).
Sebenarnya, kedua pendapat di atas bisa dipertemukan dengan jalan
sebagai berikut:
1. Jika seseorang melakukan bunuh diri dengan alasan bahwa bunuh diri itu
diperbolehkan dalam Islam, baik hal itu diketahui dari perkataannya atau

19
tulisan yang ia buat sebelum bunuh diri, maka jelas ia telah murtad dan
jenazahnya haram untuk dishalati.
2. Jika tidak ada tanda-tanda pengingkaran atas keharaman bunuh diri, tetapi
murni bunuh diri karena putus asa atau alasan yang belum jelas, maka tetap
harus ada orang yang menshalati.
3. Hadits-hadits yang memuat ancaman keras dan siksaan pedih bagi orang
yang bunuh diri di akhirat nanti dimaksudkan sebagai peringatan dan
larangan keras agar umat manusia tidak terjerumus ke dalam tindakan
bunuh diri.
4. Jika menshalati seorang muslim yang bunuh diri, maka para kyai, tokoh
agama, dan orang-orang terhormat tidak perlu ikut menshalati jenazah.
Tujuannya agar masyarakat tahu bahwa pelaku bunuh diri tidak boleh
diberi simpatik. Rasulullah pun mencontohkan perilaku tersebut, ia tidak
menshalati jenazah pembunuh diri, tetapi membiarkan sahabat-sahabatnya
menshalatinya.

C. Ancaman Siksa di Hari Kiamat


Bunuh diri adalah aksi yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki hati yang bersih, jiwa yang selamat, dan pikiran yang waras.
Terlalu berat dan menyakitkan siksaan yang akan mereka terima di hari
kiamat, jauh sekali dibandingkan dengan penderitaannya di dunia. Nabi
Muhammad bersabda:
“Barangsiapa terjun dari gunung membunuh dirinya sendiri, maka ia berada di
neraka Jahannam, ia akan terjun di dalamnya kekal dan dikekalkan selama-
lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan cara meminum racun, maka ia akan
minum racun itu dengan tangannya di neraka Jahannam kekal dan dikekalkan
selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka besi itu di
tangannya akan ia tusukkan ke dalam perutnya di neraka Jahannam kekal dan
dikekalkan selama-lamanya.” (HR. Muslim).

Dalam hadist lain disebutkan:


)‫َمْن َقَتَل َنْف َس ُه ِبَش ْيٍئ َعَّذ َبُه اُهلل ِبِه يِف َناِر َجَه َّنَم (رواه مسلم‬
“Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka Allah akan menyiksanya
dengan benda yang serupa di neraka Jahannam.” (HR. Muslim).

20
Dan masih banyak lagi ancaman rasul pada orang-orang yang melakukan
bunuh diri yang mustahil mereka akan kuat merasakan kepedihan siksa kelak
di akhirat. Wahai penghuni kubur yang telah mati bunuh diri disebabkan
persoalan yang sangat sepele, akankah kalian mampu menahan adzab Allah
yang dahsyat berlipat-lipat, yang panasnya sebanyak 70 kali lipat panas api di
bumi?

D. Tidak Boleh Mengharapkan Mati


Bimbo dalam sepenggal syairnya menasihati:
Pesan nabi tentang mati
Jangan kau minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat
Menyebabkan mati
Seringkali manusia yang rapuh jiwanya terjebak pada salah satu di antara
dua kesalahan, yaitu sangat takut menghadapi kematian, atau sebaliknya, ia
sangat mengharapkan kematian. Menurut rasul, orang yang takut mati
disebabkan terlalu cinta pada dunia menunjukkan bahwa ia terkena penyakit
Wahn, sedangkan mengharap-harapkan mati bermuara pada rasa putus asa
menghadapi problem hidup.
Tidak ada kebaikan sedikit pun di antara kedua sifat di atas. Yang benar,
seharusnya kita menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya perilaku sambil
terus mempersiapkan bekal sebanyak mungkin untuk menghadapi kematian.
Kita harus tegar menghadapi kematian dan tegar pula menghadapi persoalan
hidup.
Dalam kondisi sesulit dan serumit apapun, seorang muslim dilarang
meminta dan mengharapkan mati. Kalaupun terlintas di benak agar Allah
segera mengakhiri hidupnya untuk menyelamatkan keimanan di dadanya dari
pengaruh dosa karena lingkungan yang rusak, maka rasulullah mengajarkan
kepada seorang muslim dalam sabdanya:

‫ َألَّلُه َّم‬: ‫َال َيَتَم َّنَّنَي َأَح ُد ُك ُم اْلَم ْو َت ِلُض ٍّر َأَص اَبُه َف ِاْن َك اَن َالُب َد َف اِعًال َفْلَيُق ْل‬
‫َأْح ِييِن َم اَك اَنِت اَحْلَياُة َخ ْيًر ا يِل َو َتَو َّفيِن َم اَك اَنِت اْلَو َفاُة َخ ْيًر ا يِل‬

21
“Janganlah salah seorang di antara kamu berangan-angan mati karena musibah
yang menimpanya. Seandainya harus berangan-angan, maka berdoalah, ‘Ya
Allah, hidupkanlah aku selagi hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku
selagi kematian itu lebih baik bagiku.”
Jadi, hanya kebaikanlah yang selalu diharapkan oleh seorang muslim,
bukan hidup dan matinya itu sendiri. Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin
menceritakan kisah seorang wanita ahli ibadah yang karena rindunya ingin
berjumpa Allah, ia berkata kepada Nabi Daud, “Demi Allah, aku sudah bisa
hidup. Andai saja ada kematian yang dijual, pasti aku akan membelinya,
karena kerinduanku untuk berjumpa Allah dan cintaku kepada-Nya.”
Sikap wanita itu berbeda sekali dengan para pembunuh diri, mereka
berani mati bukanlah mengikuti dorongan cintanya kepada Allah dan berharap
segera berjumpa dengan-Nya, melainkan hanyalah pelarian dari kesulitan
dunia akibat tidak mengenal dan butanya pada Allah.

E. Dampak Negatif Bunuh Diri di Dunia


Bisa jadi, bunuh diri oleh pelakunya dianggap suatu tindakan cerdas
untuk menyelesaikan dan menghentikan liku-liku yang dialaminya di dunia.
Dengan bunuh diri, ia merasa tidak harus pusing-pusing menafkahi keluarga,
tidak lagi memikirkan utang-utangnya pada rentenir, ia merasa terbebas dari
rasa sakit yang mengganggu atau mungkin luka hatinya akibat diputuskan
cinta telah terobati.
Demi Allah, hanya kebodohan dan hawa nafsunyalah yang menyebabkan
ia berprasangka seperti itu. Kebodohan dan hawa nafsu itu pula yang kelak
akan menyeretnya pada pengadilan akhirat yang jauh lebih rumit dan dahsyat
dibandingkan sekedar musibah yang menimpanya di dunia. Bahkan andai saja
seluruh penderitaan dan kesedihan dunia digabungkan untuk menandingi
pengadilan akhirat, tetap belum seberapa.
Jangankan di akhirat, di dunia saja perilaku bunuh diri akan
menyebabkan dampak negatif sebagai berikut:
1. Dampak sosial: masyarakat akan mengenalnya sebagai orang yang mati
su’ul khatimah (jelek di penghujung kehidupannya). Masyarakat memiliki

22
hukum tersendiri, jika kita berbuat kebaikan sebesar apapun, belum tentu
mereka mengingatnya, namun saat kita berbuat salah walaupun tampak
kecil, sangat sulit bagi mereka untuk melupakannya. Sungguh tidak ada lagi
keburukan setelah su’ul khatimah. Inilah yang paling ditakuti oleh hamba-
hamba Allah yang shaleh seperti Sufyan Ats-Tsauri, ia pernah menangis
tersedu-sedu dari malam hari sampai pagi, orang-orang bertanya, “Apakah
engkau menangis karena takut dosa?”, Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Dosa
itu lebih ringan dari batu ini, aku menangis karena takut mati su’ul
khatimah.”
Satu hal yang tidak kurang pentingnya, bunuh diri juga seringkali
memberikan inspirasi pada lingkungan sekitar untuk meniru perilaku
serupa bila putus asa merasakan kehidupannya. Dengan demikian, si
pelaku bunuh diri telah memberikan contoh dan teladan buruk pada
generasi yang masih hidup.
2. Dampak psikologis: keluarga yang ditinggalkan akan merasa sedih dan
malu karena anggota keluarganya berbuat kriminal, yaitu bunuh diri.
Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, tak jarang
anggota keluarga tidak berani keluar rumah atau tidak berani berpapasan
dengan orang karena aib yang diperbuat keluarganya. Saking malunya,
mereka tidak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya, mereka
menutup-nutupinya dengan menyebut mati karena kecelakaan. Belum lagi
jika si jenazah bunuh diri meninggalkan utang yang terpaksa harus dibayar
keluarga, akhirnya mereka terpaksa harus banting tulang mengumpulkan
uang untuk melunasi utang. Sungguh tega nian pelaku bunuh diri.
3. Dampak genetik: secara genetika, sebuah penelitian yang dilakukan tim
dokter Kanada menghasilkan kesimpulan, bahwa orang yang bergenetika
(punya keturunan) bunuh diri berpeluang dua kali lebih besar melakukan
tindakan bunuh diri saat depresi daripada orang yang tidak memiliki gen
ini. Kita ingat kasus bunuh diri seorang penulis terkenal, Ernest
Hemingway. Setelah ditelusuri, ternyata kakek dan pamannya pun mati
dengan cara bunuh diri.

23
BAB III
MENGHINDARI MATI BUNUH DIRI

Tidak diragukan lagi, bunuh diri merupakan perbuatan tercela dan hina.
Bagi orang-orang shaleh, cita-cita tertinggi mereka adalah mati husnul khatimah,
sehingga seberat apapun musibah yang datang terus bertubi-tubi, pasti akan
disikapi dengan arif dan sikap terbaik. Hanya golongan perdurka-lah, ketika
diuji dengan suatu bencana, mereka merasa jengkel, kecewa, putus asa dan
akhirnya bunuh diri.
Namun orang-orang yang beriman harus tetap waspada terhadap seluruh
kemungkinan yang mengundang ketidakstabilan hati yang bisa saja
menyerangnya tanpa diduga-duga. Oleh karenanya, untuk menghindari mati
bunuh diri diperlukan usaha-usaha sebagai berikut:

A. Berlindung dari Tipu Daya Syetan


Pasti, setiap keburukan yang merajalela di muka bumi ini berasal dari
ulah dan hasil karya syetan la’natullah ‘alaih, karena memang aktifitas
keseharian mereka adalah mengkonsentrasikan perhatiannya secara serius
untuk menyesatkan manusia dari jalan yang diridhai Allah.
Dan syetan telah mampu menemukan satu senjata ampuh di antara
senjata-senjata bahaya lainnya, yaitu senjata tipu daya agar manusia terkecoh.
Mereka memanipulasi kesalahan menjadi tampak benar, kebatilan agar tampak
hak, dan keburukan seolah-olah kebaikan.
Kenyataan ini diberitakan Al-Quran:

)43 :‫َو َز َّيَن ُهَلُم الَّش ْيَطاُن َم اَك اُنْو ا َيْع َم ُلْو َن (أالنعام‬
“Dan syetan menjadikan mereka memandang baik terhadap apa-apa yang mereka
perbuat.” (QS. Al-An’am: 43).
Betapa banyak korban pengelabuan makhluk terkutuk ini. Kita saksikan
para pelaku bid’ah yang marah saat di nasihati, karena menurut
persangkaannya apa yang mereka lakukan adalah sunnah dan banyak
manfaatnya.

24
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan satu contoh tipu daya syetan
yang menimpa seorang rahib Yahudi pada jaman dahulu. Si rahib menzinai
seorang wanita sampai hamil dan melahirkan anak. Syetan membujuk si rahib
agar membunuh wanita dan anaknya itu untuk menghilangkan jejak. Namun
setelah si rahib menunaikan bujukan sesatnya, syetan pun membocorkan
perilaku si rahib pada keluarga korban dan raja. Akhirnya raja memutuskan
untuk menghukum mati si rahib tersebut. Syetan pun datang menghampiri dan
menyarankan si rahib agar sujud padanya bila ingin dilepaskan dari hukuman.
Tidak kepalang si rahib sujud pada syetan, maka syetan pun tertawa dan lari
meninggalkan si rahib yang telah musyrik. Akhirnya si rahib Yahudi itu mati di
tiang salib dalam keadaan berdosa.
Kasus-kasus bunuh diri tidak lepas dari pengaruh tipu daya syetan.
Mereka membisikkan bahwa bunuh diri satu-satunya jalan yang harus
ditempuh. Dalam kasus bunuh diri massal karena kepercayaan sesat seperti
yang diperagakan sekte pintu surga, pasti syetan punya andil besar dalam
menghembus-hembuskan rayuannya. Tetapi setelah orang itu melakukan aksi
bunuh diri, syetan akan meninggalkan si pelaku sambil bersorak-sorai. Allah
berfirman:

)120 :‫َيِعُد ُه ْم َو َمُيِّنْيِه ْم َو َم ا َيِعُد ُه ُم الَّش ْيَطاُن ِاَّال ُغُر ْو ًر ا (النساء‬


“Syetan memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan kosong kepada
mereka. Dan (sebenarnya) syetan tidak menjanjikan kepada mereka kecuali tipuan
belaka.” (An-Nisa: 120).
Makanya, kita harus berlindung kepada Allah dari tipu daya syetan tanpa
mengenal bosan. Rasulullah telah mengajarkan doa-doa yang mengandung
istiadzah (mohon perlindungan) yang bisa dibaca dan dihafalkan.
Kemudian, kita juga harus segera mengunci rapat pintu-pintu yang akan
menyebabkan syetan masuk ke dalam hati membisikkan perintah bunuh diri.
Di antara pintu-pintu itu adalah:
Pertama, pintu marah. Syetan sering menyelinap pada pintu ini untuk
menghancurkan manusia, menceraiberaikan ikatan persaudaraan, dan
menghasut orang melakukan tindakan yang dilarang syariat. Tetapi bukan

25
berarti seorang mukmin tidak boleh marah sedikit pun, sebab seperti yang
disampaikan Said Hawwa, bahwa manusia tidak bisa menghindari sama sekali
dari amarah, bahkan Nabi Muhammad pun pernah marah, demikian pula
Allah.
Imam Asy-Syafi’i berkata:

‫َم ِن اْس َتْغَض َب َو ْمَل َيْغَض ْب َفُه َو َمِخاٌر‬


“Barangsiapa dipancing untuk marah, tetapi tidak marah, maka ia adalah
keledai.”
Artinya, seorang mukmin bisa marah bila ada orang berbuat dzalim, jahat
atau menghina Allah dan rasul-Nya. Marahnya sesuai dengan kadar yang
diperbolehkan syara’, tidak berkekurangan ataupun keterlaluan. Jika tidak bisa
mengendalikan marah, maka bisa jadi lahan yang empuk masuknya perangkap
syetan.
Kedua, pintu putus asa. Orang-orang beriman menaruh kepercayaan
penuh pada rahmat Allah, sedang orang kafir menaruh keragu-raguan atau
ketidakpercayaan pada rahmat Allah sehingga mereka berputus asa
menghadapi persoalan kehidupan dunia ini.
Allah berfirman:

‫ِف‬ ‫ِهلل ِا‬ ‫ِم‬ ‫ِهلل ِا‬ ‫ِم‬


‫َو َال َتْاْيَئُس ْو ا ْن َر ْو ِح ا َّن ُه َال َي أ ْيَئُس ْن َر ْو ِح ا َّال اْلَق ْو ُم اْلَك ا ِر ْيَن‬
)87: ‫(ُيْو ُس ْف‬
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak
berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87).
Ketiga, pintu ketergesa-gesaan. Orang yang memiliki karakter dan
perilaku tergesa-gesa banyak menanggung kerugian. Hal ini dikarenakan
ketergesa-gesaan menjadikan seseorang tidak mampu berfikir secara matang
dan terencana. Akibatnya, ia pun bertindak tanpa perhitungan yang akurat,
perasaannya pun akan tersiksa selama keinginannya tidak segera dilaksanakan.
Rasul bersabda:

)‫أْلَعَج َلُة ِم َن الَّش ْيَطاِن (رواه الرتمذى‬


“Tergesa-gesa itu dari syetan.”(HR. At-Tirmidzi)

26
Keempat, cinta dunia. Allah dan rasul-Nya mewanti-wanti umat manusia
agar tidak terpedaya oleh tarikan magnet dunia. Cinta dunia menjadi pintu
syetan yang akan menjerumuskan manusia pada jurang kenistaan. Bila
ditakdirkan kaya, seorang pemuja harta akan berbangga-bangga dan sombong
karenanya. Tetapi jika ia miskin tak memiliki apa-apa, maka ia akan gelap
mata. Ia akan mengupayakan jalan pintas untuk mengenyangkan keinginannya
tak peduli walaupun dengan jalan yang haram (permissivisme). Atau mungkin
menjadi putus asa yang akan membawanya pada keputusan mengakhiri hidup.
Kerusakan yang ditimbulkan pemuja dunia sangat besar sekali. Rasul bersabda:

‫َم اِذْئَب اِن َج اِئَع اِن ُأْر ِس ًال يِف َغَنٍم ِبَأْفَس َد َهَلا ِم ْن ِح ْر ِص اْلَم ْر ِء َعَلى اْلَم اِل (رواه‬
)‫أمحد‬
“Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas menuju seekor kambing, (maka
kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan
kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat gila harta.”(HR.
Ahmad).

B. Husnuddhan kepada Allah


Akhlak seorang mukmin saat ditimpa musibah adalah senantiasa berbaik
sangka pada ketetapan yang Allah buat bagi dirinya. Ia sadar bahwa seluruh
makhluk termasuk dirinya mutlak ciptaan dan milik Allah. Oleh karenanya,
sebagai pencipta dan pemilik, Allah berhak memperlakukan makhluk
sekehendak-Nya.
Kesadaran seperti ini penting agar lahir dari lubuk hati kita sikap
menerima dengan tulus setiap peristiwa yang terjadi kepadanya. Ia akan
merasa ridha dan meyakini sepenuhnya bahwa pasti ada hikmah dan kebaikan
di balik musibah tersebut. Rasulullah mengajarkan:

‫ِس الَّظَّن ِباِهلل‬ ‫َّال‬‫َال َّن َأ ُد ُك ِا‬


‫ُمَيْو ُت َح ْم َو َو ُن‬
‫ْحُي‬ ‫ُه‬
“Janganlah seseorang meninggal kecuali dalam keadaan baik sangka kepada
Allah.”(HR. Muslim).
Ketika cobaan datang, bisa jadi hati seorang mukmin diserbu oleh
pasukan syetan agar mempersalahkan Allah dan berpustus asa, tetapi karena

27
keimanannya yang begitu kokoh, ia pasti akan mampu mengenyahkan
perasaan-perasaan jelek di hatinya. Rasul bersabda:

)‫َال َيْبُلُغ َح ِق ْيَقَة الَّتْق َو ى َح ىّت َيَد َع َم ا َح اَك ىِف الَّصْد ِر (البخارى‬
"Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat takwa, sehingga ia menahan
segala bisikan yang jelek di hatinya.” (HR. Al-Bukhori).
Husnuddhan kepada Allah bukan berarti kita tidak boleh menangis ketika
mendapat musibah atau berpura-pura gembira atas datangnya musibah, sebab
rasul pun menangis saat saudara sesusunya, Utsman bin Madz’un meninggal.
Tetapi maksudnya kita yakin bahwa Allah tidak akan mendzalami dirinya
dengan musibah tersebut. Syekh Abdul Qadir berkata, “Wahai anakku,
musibah datang tidak untuk membinasakanmu, melainkan untuk menguji
kesabaran dan keimananmu.”
Dengan demikian, tindakan bunuh diri mengindikasikan kekeruhan jiwa
karena su’uddhan (berburuk sangka) atas ketetapan Allah. Sikap jahili seperti ini
tidak boleh diberi ruang gerak di dada kita sebab akan melahirkan murka
Allah.

C. Menyadari Hidup Sebagai Ujian


Salah satu alasan mengapa sebagian orang tidak bisa melihat kebaikan
dalam segala hal, ialah karena ia lupa bahwa hidupnya merupakan cobaan.
Padahal sesungguhnya, jauh sebelum kita dilahirkan dari rahim ibu, Allah
telah menyiapkan berbagai macam cobaan dan ujian bagi seluruh manusia
cocok dengan ukuran dan kesanggupannya. Allah berfirman:

‫ُمِص ْيَبٍة يِف اَألْر ِض َو َال يِف َأْنُفِس ُك ْم ِاَّال يِف ِكَت اٍب ِم ْن َقْب ِل َأْن‬ ‫ِم‬
‫َم ا َأَص اَب ْن‬
)22:‫َعَلى اِهلل َيِس ْيٌر (احلديد‬ ‫ِا ِل‬
‫َنْبَر َأَه ا َّن َذا َك‬
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum Kami
menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22).

)35 :‫َو َنْبُلْو ُك ْم ِبالَّش ِّر واَخْلِرْي ِفْتَنًة َو ِاَلْيَنا ُتْر َجُعْو َن (أالنبياء‬

28
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan. Dan kepada Kami-lah kamu kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35).
Dalam ayat lain Allah menegaskan lagi:

)2 :‫َأَح ِس َب الَّناُس َاْن ُيْتَر ُك ْو ا َاْن َيُقْو ُلْو ا َءاَم َّنا َو ُه ْم َال ُيْف َتُنْو َن (العنكبوت‬
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami
telah beriman’, sedang mereka belum diuji.” (QS. Al-Ankabut: 2).
Memang, seandainya bisa memilih, pasti manusia akan menjatuhkan
pilihannya pada ujian kesenangan. Mereka menginginkan dapat mengisi hari-
harinya dengan penuh suka ria dan canda bahagia. Akan tetapi dunia
merupakan sebuah realitas yang tidak satu, terkadang manusia menemukan
hamparan permadani, terkadang pula ia harus berbenturan dengan ujian dan
cobaan yang menyakitkan. Goresan duka karena musibah mungkin ada, tetapi
banyak pula alasan yang menghibur kita agar tidak larut dalam mencela nasib.
Bila kita menghayati dengan seksama, setiap ujian yang diberikan Allah
mengandung tiga manfaat:
Pertama, ujian bermanfaat sebagai penebus dosa.

‫َم اِم ْن ُمِص ْيَبٍة ُتِص ْيُب اْلُمْس ِلَم ِاَّال َك َّف َر اُهلل َهِباَعْنُه َح ىّت الَّش ْو َك َة ُيَش اُك َه ا (رواه‬
)‫البخارى‬
“Tiada suatu musibah menimpa seorang muslim melainkan Allah akan
menghapus dosa karenanya, kendati hanya duri yang mengenainya.” (HR. Al-
Bukhari).
Kedua, sakit sebagai alat ukur kualitas keshalehan hamba-Nya. Telah
banyak nabi dan orang-orang shaleh yang diuji dengan penderitaan, dan
mereka lulus meraih predikat hamba-hamba terbaik. Jika mereka saja masih
perlu diuji, padahal pengabdian dan ketaatannya sudah terbukti dalam
kesehariannya, apalagi kita yang belum terbukti antara pengakuan keimanan
dan perbuatan.
Ketiga, ujian sebagai tangga untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
Seorang muslim tidak boleh merasa puas dengan kebaikan hari ini dan tidak

29
mau beranjak menuju tangga yang lebih tinggi dan mulia, yaitu takwa yang
sebenar-benarnya.

D. Menumbuhkan Sikap Zuhud, Sabar, dan Syukur


Kebanyakan orang yang bunuh diri berlindung dengan alasan kemiskinan
dan kesusahan hidup. Kenyataan ini menunjukkan kosongnya manusia dari
tiga sifat di atas. Mustahil orang yang zuhud, sabar, dan syukur melakukan
tindakan konyol bunuh diri.
1. Zuhud
Zuhud artinya suatu sikap yang berorientasi akhirat, sehingga baginya
tidak ada bedanya ujian kekayaan dan kemiskinan. Ia tidak tertawa saat dunia
di genggaman, tapi tidak juga menangis saat dunia lepas dari tangannya.
Zuhud merupakan amalan hati bukan amalan anggota badan. Maksudnya,
zuhud tidaklah seperti yang dipahami sebagian orang, yaitu memiskinkan diri
dan menghindari harta, lalu hidup kumuh dengan badan kucel dan pakaian
compang-camping tidak terurus. Konsep memiskinkan diri tidak dikenal dalam
ajaran Islam, ia hanya ada pada ajaran-ajaran kerahiban Nasrani, Manuisme
Parsi, dan Sufisme Hindu. Zuhud yang benar sebagaimana digambarkan
sahabat Ali ra., “Seandainya seseorang mengambil semua harta yang ada di
muka bumi ini dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah, maka ia adalah
orang yang zuhud. Seandainya seseorang meninggalkan semua harta tetapi
tidak dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah, maka ia tidaklah disebut
zuhud.”
2. Sabar
Sabar ialah kemampuan menahan jiwa dari rasa cemas, keluhan, dan
perilaku-perilaku yang dilarang seperti menampar-nampar mimpi, menyakiti
anggota badan, atau bunuh diri.
Sabar memiliki kekuatan yang amat dahysat dalam membendung jeratan-
jeratan syetan dan melumpuhkan keinginan diri untuk berontak. Bagi orang
yang sabar, tingginya sebuah gunung, akhirnya akan ada dibawah mata
kakinya kalau memang harus didaki. Bagi orang sabar, batu sebesar rumah

30
pun, kalau harus dipecahkan, akhirnya batu itu tidak lebih besar dibanding jari
telunjuknya.
Allah menjanjikan pahala bagi orang yang sabar:

)10 :‫ِإَمَّنا ُيَو ىَّف الَّص اِبُر وَن َأْج َر ُه م ِبَغِرْي ِح َس اٍب (الزمر‬
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala
tanpa batas.” (QS. Az Zumar :10)‫ز‬
Ada empat adab sabar yang harus diperhatikan:
a. Sabar hendaknya diawal terjadinya goncangan.

)‫َألَّص ْبُر ِعْنَد الَّصَد َم ِة اُألْو ىَل (البخارى‬


“Sabar itu hanya pada goncangan yang pertama.” (HR. Bukhari)
b. Al-istirja’, yaitu mengucapkan ‫“( إَّنا ِهلل َو ِإَّنا ِإَلْي ِه َر اِج ُعْو َن‬Sesungguhnya kita milik Allah

dan sungguh kepada-Nyalah kita akan kembali”)


c. Menenangkan anggota badan dan lidah.
d. Tingkatan yang paling baik adalah tidak menampakkan pengaruh musibah
yang telah menimpanya.
3. Syukur
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Di antara kedudukan ibadah itu
adalah kedudukan syukur, ia merupakan kedudukan tertinggi di atas
kedudukan ridha.”
Syukur dilakukan tidak hanya ketika mendapatkan kebahagiaan, tetapi
ketika ditimpa musibah berat sekalipun. Mengapa? Karena bila kita berpikir
ulang sejenak secara jujur, ternyata anugerah, nikmat dan karunia Allah jauh
lebih luas diberikan kepada kita daripada musibah yang menimpa.
Oleh karena itu sahabat Umar bin Khattab memberikan contoh agung
berkenaan dengan musibah yang menimpanya, ia bertutur:

‫َم ا َأَص اَبْتِنىُم ِص ْيَبٌة ِاَّال َك اَن َو َج ْد ُت ِفْيَه ا َثَالَث ِنَعٍم َأَّو ًال ِاَّنَه ا َلْيَس ىِف ِد يِىن َثاِنًيا‬
‫َد اَأل ا ا اْل ِظ‬ ‫ا‬ ‫َّن‬‫ِاَّن ا ُك َأ َظ َّمِما َك ا َثاِل ا ِا‬
‫َم‬ ‫ْي‬ ‫َع‬ ‫َء‬ ‫َز‬‫َجْل‬ ‫َو‬ ‫َر‬ ‫ْج‬ ‫َع‬ ‫َو‬ ‫َهلل‬ ‫َنْت ًث‬ ‫َه ْمَل َت ْن ْع ُم‬
"Tidaklah menimpaku suatu musibah kecuali aku mendapatkan tiga kenikmatan.
Pertama, sesungguhnya musibah itu bukan terjadi pada agamaku. Kedua,

31
musibah itu tidak sebesar yang seharusnya. Ketiga, dengan musibah itu, Allah
akan memberikan pahala dan balasan yang besar."

E. Komunikasi Terbuka dalam Keluarga


Penelitian membuktikan, tindakan bunuh diri umumnya diawali oleh
depresi. Tapi tidak berarti bahwa orang yang sedang depresi akan selalu
melakukan aksi bunuh diri. Bila mendapatkan penanganan yang baik, orang
yang mengidap depresi bisa sembuh dan akhirnya menjalani hidup dengan
sehat, normal, wajar, dan lebih dewasa.
Keluarga, sebagai unit terkecil dari suatu lingkungan pergaulan,
mempunyai peran yang signifikan dalam menekan atau meminimalisasi angka
pengidap depresi, atau mungkin sebaliknya, lingkungan keluarga justru
menjadikan seseorang terserang depresi. Kehidupan keluarga yang harmonis,
interaksi antar anggota keluarga yang akrab dan terbuka, serta saling sayang
menyayangi merupakan modal yang bagus untuk menciptakan masyarakat
tanpa depresi.
Namun bila ternyata lingkungan rumah tangga memberikan rasa tidak
aman, orangtua yang sering bertengkar, memukul anak, bersikap kasar, atau
terjadi perceraian, maka semua itu bisa jadi faktor pencetus (predisposisi)
seseorang mengalami gangguan kejiwaan bahkan lebih buruk dari itu, bunuh
diri.
Oleh karenanya perlu dibangun sebuah kehidupan keluarga yang sehat,
baik fisik maupun psikis. Dalam hal ini, Prof. Nick Stinnet dan Prof John De
Frain berkesimpulan, paling tidak harus ada enam kriteria untuk mewujudkan
keluarga sehat dan bahagia, yaitu:
1. Kehidupan beragama dalam keluarga.
2. Adanya waktu khusus untuk bersama.
3. Adanya komunikasi yang baik antar sesama anggota keluarga.
4. Adanya saling menghargai antara sesama anggota keluarga.
5. Setiap anggota keluarga memiliki rasa ikatan persaudaraan yang kuat dan
kokoh.

32
6. Bila dihadapkan pada suatu problem, maka mampu menyelesaikannya
dengan positif-konstruktif, dan menghindari egoisme.
KH. Didin Hafiduddin menjelaskan, keluarga memiliki fungsi afektif dan
protektif, yaitu memberikan kasih sayang pada anggota keluarga sekaligus
menjaganya dari ancaman-ancaman fisik maupun mental.
Allah berfirman:
‫ِا‬ ‫ِل‬ ‫ِم ِس‬ ‫ِم ِت ِه‬
‫َو ْن َءاي َاْن َخ َل َق َلُك ْم ْن َأْنُف ُك ْم َأْز َو اًج ا َتْس ُك ُنْو ا َلْيَه ا َو َجَع َل َبْيَنُك ْم‬
)21 :‫َم َو َّدًة َو َر َمْحًة ِاَّن يِف َذاِلَك آليَاٍت ُألوِىل اَألْلَباِب (الروم‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, bahwa Dia telah menciptakan dari
diri-dirimu pasangan bagimu, supaya kamu bersenang-senang kepadanya dan Dia
menjadikan antara kamu saling sayang menyayangi dan rahmat. Sesungguhnya
dalam hal itu menjadi tanda bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS.
Ar-Rum: 21).

33
BAB IV
MENUNTASKAN KESAMAR-SAMARAN

Pada bagian ini, kita khususkan untuk menjawab dan membahas


syubhat seputar bunuh diri. Mudah-mudahan bermanfaat.

A. Bunuh Diri Adalah Takdir


Beberapa penulis ada yang tampil menjadi pembela pelaku bunuh diri,
dalam tulisan-tulisannya mereka berlindung di balik takdir. Menurutnya,
pembunuh diri tidak boleh dicela dan dihina karena mereka melakukan
tindakan bunuh diri hanya sekedar menjalani takdir Allah yang ditetapkan
untuknya. Haruskah ia dihujat dan dipermalukan gara-gara setia pada takdir?
Lebih jauh lagi mereka ‘menganjurkan’ orang-orang untuk menyalahkan
Allah. Mereka berkata, “Seharusnya yang lebih pantas kita salahkan adalah
Tuhan yang begitu kejam, mengapa Dia merangkai takdir bunuh diri pada
manusia? Dan orang yang menghujat pelaku bunuh diri tidak lebih hanyalah
orang-orang yang mengingkari takdir Tuhan.”
Demikian kira-kira ocehan yang dapat kita tangkap dari para pembela
bunuh diri. Intinya jelas, mereka adalah penganut jabariyyah
(fatalisme/presditination), yaitu ajaran yang berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan sikap, kehendak,
maupun perbuatannya. Manusia secara mutlak terikat pada kehendak Allah
semata. Manusia dalam pandangan ini ibarat wayang yang tunduk pada
kehendak sang dalang.
Tentu kita golongan ahlus sunnah wal jamaah tidak bisa mentolerir
kekeliruan kaum jabariyyah tersebut. Sebab seandainya manusia semata-mata
digerakkan oleh Allah, berarti shalat, shaum, zakat ataupun perbuatan baik
yang dilakukannya bukanlah berdasarkan kehendaknya tapi kehendak-Nya.
Bahkan, seseorang mencuri, berzina dan berbuat buruk seburuk apapun, itu
terjadi atas kehendak-Nya. Dengan demikian, maka semestinya Allah tidak
perlu memuji orang-orang yang berbuat baik dan tidak patut mencela orang-
orang yang berbuat jahat. Toh semuanya terjadi karena disetir oleh Allah.

34
Allah juga tidak usah memasukkan pelaku kebajikan ke dalam surga dan
jangan berbuat dzalim dengan menyiksa pelaku maksiat di neraka, bukankah
perbuatan itu terjadi di luar keinginan manusia itu sendiri? Mahasuci Allah
dari pemahaman kacau-balau seperti ini.
Tidak mungkin Allah berbuat dzalim pada makhluknya. Allah berfirman:

)51 :‫َو َأَّن اَهلل َلْيَس ِبَّظَالٍم ِلْلَعِبْيٍد (أالنفال‬


“Dan Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak mendzalimi hamba-Nya.” (QS. Al-
Anfal: 51).
Allah juga berfirman dalam hadits qudsi:

‫َياِعَباِدي ِايِّن َح َر ْمُت الُّظْلَم َعَلى الَّنْف ِس َو َجَعْلُتُه َبْيَنُك ْم َحُمَّر ًم ا َفَال ُتَظاِلُمْو ا‬
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kedzaliman atas-Ku,
dan Aku mengharamkannya atas kalian, maka janganlah kalian saling
mendzalimi.”
Syekh Muhammad Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, iman kepada takdir
termasuk ke dalam wilayah tauhid rububiyyah, yaitu mengesakan Allah dalam
perbuatan-Nya, meyakini hanya Allah yang mencipta, menguasai, dan
mengatur alam semesta. Beliau membagi perbuatan di alam ini pada dua
macam, yaitu:
1. Perbuatan yang dilakukan Allah pada makhluk-Nya yang tidak ada
kekuasaan bagi manusia untuk mengubahnya, seperti turunnya hujan, sakit,
hidup, dan mati.
2. Perbuatan yang dilakukan semua makhluk yang mempunyai kehendak.
Perbuatan ini terjadi karena keinginan dan kehendak manusia. Allah
berfirman:

)28 :‫ِلَم ْن ِم ْنُك ْم َاْن َيْس َتِق ْيَم (التكوير‬


“Bagi siapa saja yang menghendaki menempuh jalan yang lurus.” (QS. At-
Takwir: 28).

)29 :‫َفَم ْن َش آَء َفْلُيْؤ ِم ْن َو َمْن َش آَء َفْلَيْك ُف ْر (الكهف‬


“Maka barangsiapa yang ingin, hendaklah beriman, dan barangsiapa yang ingin,
hendaklah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29).

35
Dua ayat ini dengan tegas mengakui adanya kebebasan manusia untuk
menentukan kehendak dan keinginan tanpa intervensi atau pun setiran Allah.
Kita akan mampu merasakan peristiwa yang terjadi atas kemauan kita sendiri
dengan peristiwa yang di luar kemauan kita sendiri.
Jika kita bangun pagi, mandi, lalu berangkat ke kantor untuk bekerja,
maka tidak diragukan lagi peristiwa itu ada atas kehendak diri sendiri. Setelah
sampai di kantor, kita merasakan tubuh lunglai dan sakit, kepala pusing-
pusing dan demam, jelas itu terjadi atas kehendak Allah. Bagaimana sikap kita
setelah merasakan sakit itu? sepenuhnya diserahkan pada kemauan manusia,
apa mau berobat atau membiarkan penyakit sesembuhnya. Allah akan
memberikan penilaian atas pilihan manusia; memberi pahala atas kesabaran
dan upaya penyembuhan yang di lakukan si sakit, dan mencap pendosa bagi
mereka yang putus asa karena penyakitnya itu.
Dengan demikian, masihkah para pembela pelaku bunuh diri mau
meneruskan dan mempertahankan pendapatnya, padahal telah jelas yang hak
dan batil?

B. Bunuh Diri Sebagai Keputusan Rasional


Dave Marcotte, seorang profesor di kebijakan publik university of
maryland melakukan penelitian pada orang-orang yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri. Ternyata mereka yang gagal bunuh diri mendapatkan
perbaikan hidup. Penghasilan mereka bertambah sekitar 20.9 %.
Lonjakan pendapatan yang cukup besar ini disebabkan orang yang
melakukan percobaan bunuh diri dirawat secara medis sehingga banyak akses
dan kenalan, keluarga pun lebih perhatian terhadapnya. Kesimpulannya,
bunuh diri boleh jadi merupakan keputusan rasional, seandainya tidak
melakukan percobaan bunuh diri, mereka tidak mendapatkan kesenangan hari
ini.
Penelitian tadi kita hargai sebagai kreatifitas seorang ahli, tapi
menganggap bunuh diri sebagai keputusan rasional, sangat menggelikan. Bagi
orang yang berilmu dan beriman, tinjauan Islam tentang bunuh diri telah
selesai, yaitu bunuh diri hukumnya haram, tercela dan masuk neraka. Ketika

36
seseorang melakukan bunuh diri, sebenarnya ia sedang memperturutkan
emosinya (hawa nafsu) sekaligus sebagai keputusan akhir setelah menimbang-
nimbang untung rugi bunuh diri menggunakan rasionya. Namun rasio yang
digunakannya sangatlah dangkal dan telah dikuasai oleh syetan.
Jika yang dimaksud rasional itu, bahwa bunuh diri yang gagal akan selalu
memberikan manfaat dan kehidupan yang lebih baik, hal ini pun tidak bisa
diterima. Sebab bagi seorang mukmin yang akalnya sehat, sedikitpun tidak
tertarik untuk mencoba tindakan bodoh tersebut sewaktu tertimpa musibah, ia
lebih tertarik pada pahala sabar yang telah dijanjikan Allah. Di dunia saja,
pembunuh diri akan mendapatkan celaan dan cap yang tidak bisa dilupakan
yaitu pernah mau bunuh diri, dan di akhirat ia akan menanggung dosa yang
tidak bisa ditukar oleh pendapatan kecil yang hanya 20.9 %.

C. Nabi Musa Mengajarkan Bunuh Diri


Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 54:

‫َو ِاْذ َق اَل ُمْو َس ى ِلَق ْو ِم ِه َي ا َقْو ِم ِاَّنُك ْم َظَلْم ُتْم َأْنُف َس ُك ْم ِباَخِّتاِذُك ُم اْلِعْج َل َفُتْو ُبْو ا‬
‫ِا‬ ‫ِع ِر ِئ‬ ‫ِل‬ ‫ِا ِر ِئ‬
‫ىَل َبا ُك ْم َفاْقُتُلْو ا َأْنُفَس ُك ْم َذا ُك ْم َخ ْيٌر َلُك ْم ْنَد َبا ُك ْم َفَتاَب َعَلْيُك ْم َّنُه ُه َو‬
)54 :‫الَّتَّو اُب الَّر ِح ْيُم (البقرة‬
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku,
sesungguhnya kalian telah mendzalimi diri kalian sendiri dengan menjadikan
anak lembu (sebagai sesembahanmu). Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah
menjadikan kalian dan bunuhlah dirimu sendiri. Hal itu adalah lebih baik bagi
kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian, maka Allah akan menerima
taubat kalian. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. AlBaqarah: 54).

Ayat di atas dipahami oleh sebagian ahli tafsir tentang cara pertaubatan
yang diajarkan Allah melalui Nabi Musa kepada kalangan Bani Israel yang
telah melakukan kemusyrikan, yaitu menyembah anak lembu. Ibnu Katsir
menyebutkan perkataan Ibnu Jarir sebagai berikut:
“Al-Qasim bin Abi Barrah memberitahukan bahwa dia mendengar Said bin Jubair
dan Mujahid berkata tentang firman Allah ‘Maka bunuhlah diri-dirimu’, sebagian
Bani Israel menyerang sebagian yang lain dengan pisau besar, sebagian orang
membunuh sebagian yang lain, dan seseorang tidak berbelas kasihan, baik kepada

37
yang dekat maupun yang jauh. Hal itu terus terjadi hingga Musa
menyingsingkan bajunya dan mereka melemparkan mayat yang ada
dihadapannya, sehingga diketahui jumlah korban sebanyak 70.000 orang.”

Semua orang yang terbunuh itu dianggap syuhada dan mereka yang
masih hidup telah diterima taubatnya.
Dr. Muhammad Sayyid Al-Musayyar menolak pendapat di atas
berdasarkan beberapa hujjah dalam bukunya, “Budak-budak Syetan” sebagai
berikut:
1. Taubat kepada Allah bukan melalui jalan bunuh diri. Karena taubat
mengandung arti perbaikan serta konsistensi jiwa dalam kebenaran setelah
itu, sedangkan bunuh diri merupakan tindakan membebaskan diri dari
kehidupan. Al-Jamal berkata, “Secara dzahir ayat tersebut tidak
memerintahkan manusia membunuh diri sendiri dan tidak seorang pun
berpendapat demikian. Orang Bani Israel juga tidak melakukan hal itu.”
2. Membunuh dan menikam dengan gila-gilaan dengan tombak dan pedang
di kegelapan malam adalah perkara yang bertentangan dengan hikmah
Allah dan diragukan akal sehat. Semua rasul diutus dengan ajaran bahwa
setiap manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, siksaan
tidak akan diberikan kepada selainnya. Allah berfirman:

)39-38 :‫َاَّال َتِز ُرَو اِز َر ٌة ِو ْز َر ُأْخ َر ى َو َاْن َلْيَس ِلِال ْنَس اِن ِاَّال َم ا َسَعى (النجم‬
“(Yaitu), bahwa orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan
bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS. An-Najm: 38-39).
3. Sesungguhnya jumlah orang-orang yang terbunuh sebanyak 70 ribu orang
merupakan perkara yang janggal dan tidak sesuai dengan teori
perkembangan manusia. Karena antara Musa dan Ya’kub terdapat rentang
waktu sebanyak empat generasi sepanjang 220 tahun. Sementara orang-
orang yang datang bersama Ya’kub ke Mesir pada masa Nabi Yusuf, mereka
berjumlah tujuh puluh orang. Maka kemungkinan untuk berkembang
dengan jumlah sebanyak itu sangat jauh sekali.

38
Selanjutnya Al-Musayyar menyodorkan tafsir yang dianggap lebih tepat.
Ada dua kemungkinan maksud ayat di atas,
Pertama, orang-orang yang tidak berdosa membunuh orang-orang yang
berdosa, sebagai balasan atas kesalahan mereka. Dan orang-orang yang berdosa
hendaklah menyerahkan diri untuk mengaplikasikan hukum Allah atas
perbuatannya.
Kedua, merendahkan diri dengan taat dan menahannya dari syahwat.
Artinya mereka telah berbuat syirik dengan menyekutukan Allah, maka
mereka harus bertaubat dengan cara meminta ampunan, tidak mengulangi lagi
perbuatannya, dan berpegang teguh dalam ketaatan sampai ajal menjemput.

D. Bunuh Diri Sebagai Hak Azasi


Angka bunuh diri pada masyarakat Eropa dan Barat tampaknya tidak
akan pernah surut, bahkan kemungkinan akan terus meningkat tajam.
Kecenderungan ini disebabkan mereka mengalami kekosongan jiwa
menghadapi liku-liku kehidupan yang terjal, banyak di antara mereka
terserang depresi, putus asa, dan merasa tidak berguna.
Antusiasme bunuh diri juga tidak lepas dari lingkungan yang kondusif
untuk mencobanya. Di Inggris, terdapat aktivis HAM yang
mempropagandakan cara keluar dari kehidupan. Bagi mereka, setiap individu
berhak menentukan kematiannya sendiri dengan cara yang disukainya tanpa
ada yang mengganggu gugat. Mereka pun menerbitkan buku-buku yang
bertemakan tentang bunuh diri, cara-caranya, memperkenalkan obat-obatan
yang ampuh untuk mempercepat kematian. Buku tersebut ditulis oleh para
praktisi hukum dan dokter.
Sungguh konyol pemikiran yang ‘diilhami’ iblis ini. Mereka dengan
congkak merasa memiliki kehidupannya secara mutlak. Padahal jika
direnungkan, jiwa dan raga kita hanyalah titipan dari Allah yang wajib
dilindungi dan dijaga. Tidak boleh menetes dari tubuh ini kecuali dengan cara-
cara yang dibenarkan oleh Islam.
Rasul bersabda:

39
)‫َال َيَز اُل اْلُم ْؤ ِم ُن يِف ُفْس َح ٍة ِم ْن ِد ْيِنِه َم اْمَل ُيِص ْب َدًم ا َح َر اًم ا (رواه البخارى‬
“Seorang mukmin itu senantiasa berada dalam kelapangan agamanya selagi ia
tidak menumpahkan darah yang diharamkan (untuk ditumpahkan).” (HR. Al-
Bukhari).
Seorang manusia harus menyerahkan hidup dan matinya pada Allah,
karena Dia-lah yang memiliki hak menghidupkan dan mematikan, bukan
manusia. Manusia hanya berkewajiban menjaga amanah hidup ini.

E. Hukum Euthanasia
Dalam dunia kedokteran dikenal istilah euthanasia atau suntik mati. Secara
kebahasaan, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu (baik, normal, atau
sehat), dan thanatos (mati). Euthanasia berarti kematian yang baik atau mati
dengan cara yang baik.
Menurut dr. Nina Surtiretna dan Rachmat Taufiq Hidayat, di kalangan
medis euthanasia mengandung arti perilaku sengaja dan sadar mengakhiri
hayat seseorang secara lebih cepat demi untuk membebaskannya dari
penderitaan akibat penyakitnya.
Euthanasia dibagi dua macam. Pertama, euthanasia pasif, yaitu pasien
dibiarkan meninggal tanpa pengobatan atau penyembuhan. Hal ini dilakukan
karena harapan hidup sangatlah tipis. Biasanya pasien disuruh pulang dari
rumah sakit ke rumahnya. Kedua, euthanasia aktif, yaitu tindakan dokter
mengakhiri kehidupan pasien dengan memberikan suntikan yang mematikan
atas permintaan pasien sendiri.
Secara formal, Belanda merupakan negara yang pertama kali melegalkan
tindakan euthanasia, tepatnya 10 April 2001 yang diputuskan secara
demokratis dengan perolehan suara telak, yaitu 104 suara melawan 40 suara di
parlemen dan 46 melawan 28 suara di senat. Namun sebenarnya praktek
euthanasia sudah lama ada di dunia. Misalnya filosof Yunani, Aristoteles,
membenarkan tindakan membunuh anak yang berpenyakitan (infanticide),
Phitagoras mendukung pembunuhan orang-orang lemah moral dan mental.

40
Bahkan K. Bertens mencatat, di daerah kutub utara terdapat sekelompok
Eskimo yang memiliki tradisi membunuh orangtua yang menunjukkan gejala
kelemahan atau berpenyakit. Sebab menurut kepercayaannya, keadaan
manusia di akhirat sama dengan keadaan saat ia meninggal. Karena itu,
dipandang tidak manusiawi bila penyakit mereka dibiarkan berkembang
sampai kondisinya parah.
Dalam Islam, tindakan euthanasia baik pasif maupun aktif hukumnya
haram atau berdosa. Walaupun Al-Quran dan As-Sunnah tidak menyebutkan
secara eksplisit, tapi kita bisa menangkap pesan dari dalil-dalil umum, di
antaranya:

)66 :‫َو ُه َو اَّلِذ ى َأْح َياُك ْم َّمُث ِمُيْيُتُك ْم َّمُث ْحُيِيْيُك ْم ِاَّن اِال ْنَس اَن َلَك ُفْو ٌر (احلج‬
“Dan Dia-lah yang telah menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu
kemudian menghidupkan kamu (lagi). Sesungguhnya manusia itu benar-benar
kafir?” (QS. Al-Hajj: 66).

)195 :‫َو َال ُتْلُقْو ا ِبَأْيِد ْيُك ْم ِاىَل الَّتْه ُلَك ِة (البقرة‬
“Dan janganlah kamu biarkan dirimu jatuh ke dalam kebinasaan.”(QS. Al-
Baqarah: 195).

)29 :‫َو َال َتْق ُتُلْو ا َأْنُفَس ُك ْم ِاَّن اَهلل َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا (النساء‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa: 29).
Dan masih banyak lagi sejumlah dalil yang menyiratkan larangan
euthanasia, termasuk larangan seorang muslim mengharapkan kematian. Jika
praktek euthanasia tetap dilakukan, maka seorang dokter dihukumi sebagai
pembunuh dan pasien yang meminta disuntik mati, dihukumi mati dalam
keadaan bunuh diri.
Mengenai euthanasia pasif, MUI telah memberikan kelonggaran hukum
atau boleh dalam kondisi yang sangat khusus. Kondisi pasif itu misalnya
seseorang sangat tergantung oleh alat penopang kehidupan tetapi tenyata alat
itu lebih dibutuhkan oleh orang lain yang memiliki peluang hidup lebih besar
dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat.

41
Sebenarnya seorang mukmin telah diajarkan untuk menyadari bahwa
sakit adalah cobaan untuk menguji sejauh mana keimanan dan kesabaran kita,
tentu kita akan menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada dan pasrah
sepenuhnya pada Allah. Insya Allah kondisi sakit separah apapun akan
terobati dan kelak di akhirat akan diberikan pahala yang sangat besar. Berbeda
dengan orang yang tidak sabar dan putus asa, tentu lebih memilih disuntik
mati dan menerima resiko yang sangat berat di akhirat.

F. Bom manusia; bunuh diri atau syahid?


Bom manusia adalah aktifitas seseorang mengisi tas atau mobilnya
dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya,
kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul hingga si pelaku
tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.
Media-media barat seringkali menyebut aktifitas bom manusia dengan
istilah bom bunuh diri (suicide bombing). Banyak kaum muslimin juga yang
ikut-ikutan latah menggunakan istilah yang tidak netral ini. Fenomena bom
manusia secara jelas ditemukan di Palestina yang dilakukan oleh umat Islam
dalam rangka mengimbangi agresi militer Israel yang dengan kejam
membunuh menggunakan pesawat dan senjata-senjata berat, seperti F-16,
Apache, tank, dan lain-lain. Sedangkan rakyat palestina tidak memiliki dan
tidak mampu membuat semua itu.
Pro-kontra di antara para ulama mengenai hukum bom manusia pun tidak
dapat dielakkan, karena memang bom manusia termasuk fenomena
kontemporer yang tidak ditemukan pada jaman nabi, dan ia ada sebagai
produk ijtihad. Sebagian ulama seperti Syekh Nashiruddin Albani, Syekh
Shaleh Al-Utsaimin, dan Syekh Hasan Ayyub berpendapat haram. Alasannya,
bom manusia terkategori bunuh diri dan dilarang agama berdasarkan beberapa
dalil. Firman Allah:

)29 :‫َو َال َتْق ُتُلْو ا َأْنُفَس ُك ْم ِاَّن اَهلل َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا (النساء‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa: 29).

42
)‫َمْن َقَتَل َنْف َس ُه ِبَش ْيٍئ َعَّذ َبُه اُهلل ِبِه يِف َناِر َجَه َّنَم (رواه مسلم‬
“Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka Allah akan menyiksanya
dengan benda yang serupa di neraka Jahannam.” (HR. Muslim).
Masih menurut mereka, bom manusia itu tidak memberikan kemaslahatan,
yang ada hanyalah semakin kerasnya perlawanan dan membuat darah kaum
penjajah Israel semakin bergolak, serta semakin banyaknya korban berjatuhan
dari kaum muslimin sebagai balasan bom manusia.
Adapun ulama yang membolehkan aktifitas bom manusia di antaranya,
Wahbah Az-Zuhaili, Yusuf Al-Qaradhawi, Fathi Yakan, Ali-Ash-Shahwi , dan
lain-lain. Hujjah yang mereka kedepankan adalah firman Allah:

‫ِاَّن اَهلل َاْش رَت ى ِم َن ا ْؤ ِمِنَنْي َأْنُفَس ُه ْم َو َأْم َو اُهَلْم ِبَأَّناُهَلُم اَجْلَّنُة ُيَق اِتُلْو َن يِف َس ِبْيِل اِهلل َفَيْق ُتُلْو َن‬
‫ُمل‬
)111 : ‫َو ُيْق َتُلْو َن (التوبة‬
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwanya dan
hartanya dengan surga. Mereka berperang di jalan Allah, maka mereka pun
membunuh atau terbunuh." (QS. At-Taubah: 111).
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa perang itu memiliki resiko yang
sangat besar yaitu kematian dan kematian ini sesuatu yang besar
kemungkinannya pada aksi bom manusia. Allah berfirman:

‫َفْلُيَق اِتْل يِف َس ِبْيِل اِهلل اَّلِذ ْيَن َيْش ُر ْو َن اَحْلَيْو َةالُّد ْنَيا ِباَألِخ َر ِة َو َمْن ُيَق اِتْل يِف َس ِبْيِل‬
)74 :‫اِهلل َفُيْق َتْل َاْو َيْغِلْب َفَس ْو َف ُنْؤ ِتْيِه َأْج ًر ا َعِظ ْيًم ا (النساء‬
“Maka berperanglah di jalan Allah orang-orang yang membeli hidup ini dengan
akhirat. Barangsiapa berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh atau menang,
nanti akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 74).
Mereka pun menggunakan dalil mengenai sahabat yang menerobos ke
sarang musuh:
“Ketika kami berada di daerah Romawi, mereka mengeluarkan barisan (tentara
perang) yang besar. Maka keluarlah kaum muslimin semisal (jumlah mereka) atau
lebih untuk menghadapi mereka. Yang memimpin tentara Mesir adalah Uqbah bin
Amir dan jamaah yang lainnya dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Maka salah
seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi hingga masuk
ke tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan berkata, ‘Subhanallah,
dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.’ Maka berdirilah Abu Ayyub

43
Al-Anshari radhiyallahu 'anhu berkata: 'Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
kalian telah mentakwil ayat ini (Al-Baqarah: 195) dengan penakwilan seperti ini.
(Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshar di
saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para penolongnya, maka
sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa sepengetahuan rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam: 'Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan
sesungguhnya Allah telah muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya.
Maka sekiranya kita memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa
yang telah terlantar.' Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya (“Dan
janganlah kamu biarkan dirimu jatuh ke dalam kebinasaan.”) kepada rasulullah
sebagai bantahan dari apa yang kami katakan.’” (HR. At-Tirmidzi).

Dengan demikian menurut pendapat kedua, bom manusia merupakan


bagian dari jihad atau istisyhad (memburu syahid), bukan bunuh diri. Tentang
kemaslahatan, mereka menyebutkan bahwa kemaslahatan yang dihasilkan dari
bom manusia ini sangat jelas, yaitu mampu merontokkan kekuatan musuh.
Misalnya aksi bom manusia pada 12 Juni 2002 di Yerusalem yang
mengakibatkan 20 warga Israel tewas dan 40 lainnya terluka. PM Israel, Ariel
Sharon, merengek-rengek meminta rakyat Palestina menghentikan bom
manusia secara total. Bagi pelakunya, perilaku bom manusia bisa jadi alasan
kuat di akhirat bila berhadapan dengan Allah, bahwa ia telah memperjuangkan
kepentingan kaum muslimin dan mengentaskan kedzaliman. Jika kita diam, itu
bukan solusi, karena kaum kafirin tetap tidak akan menghentikan dalam
membumi-hanguskan kekuatan Islam dan menyebarkan kekufurannya. Oleh
karenanya, lebih baik melawan walaupun dengan cara bom manusia.
Menimbang perbedaan pendapat dua kubu tadi, tampaknya pendapat
kedua lebih tepat, kuat, dan lebih benar. Al-Qadah menjelaskan perbedaan
antara bom manusia dengan bunuh diri sebagai berikut:
1. Aspek motivasi
- Bom manusia: menegakkan kalimah Allah dan melawan kedzaliman.
- Bunuh diri: lari dari kesulitan hidup di dunia, frustasi, patah hati, banyak
hutang dan sebagainya.
2. Akibat di akhirat
- Bom manusia: masuk surga karena terbunuh sebagai syuhada seperti
dijanjikan Allah dalam Al-Quran.

44
- Bunuh diri: masuk neraka (dalam waktu yang sangat lama) sebagaimana
ancaman Allah dan rasul-Nya bahwa mereka disiksa dengan cara yang
sama dengan cara yang dilakukan di dunia.
3. Dampak dunia
- Bom manusia: mengguncang musuh, menumbuhkan ketakutan pada
mereka, dan melemahkan mental mereka.
- Bunuh diri: hanya menimbulkan kesedihan pada
keluarga. Tidak ada kaitan sama sekali dengan perlawanan pada
kedzaliman.
Sebagai produk ijtihad, wajar bila bom manusia menjadi polemik. Namun
sayang sebagian kawan-kawan tidak bisa menerima perbedaan ini. Mereka
menggelari ulama yang membolehkan bom manusia sebagai ulama gadungan
yang memiliki pemikiran Khawarij. Mereka mengaku sebagai pengikut salafus
shalih, padahal cap dan gelar meng-khawarij-kan rekan seiman dan
sekeyakinan seperti ini tidak pernah dibudayakan salafus shalih tempo dulu.
Mereka pun sangat keberatan apabila hadits tentang menerobos ke sarang
musuh dijadikan dalil bolehnya aksi bom manusia. Mereka berpendirian,
bahwa menerobos ke sarang musuh dengan konsekuensi kemungkinan besar
terbunuh dengan bom manusia tidak bisa disamakan. Sebab menerobos ke
sarang musuh, kalaupun tewas, ia tewas dengan tangan musuh, sedangkan
dalam bom manusia, seseorang mati oleh tangannya sendiri.
Tentu klasifikasi seperti ini tidak cerdas, sebab yang jadi masalah bukan
oleh siapa seseorang terbunuh, tetapi apa motivasi yang membuat seseorang
terbunuh. Jika tetap dikatakan bahwa bom manusia dianggap bunuh diri
karena ia tewas dengan tangannya, lalu bagaimana dengan seseorang yang
memberikan sepucuk pistol pada musuhnya, kemudian ia meminta agar
musuhnya itu menembakinya hingga tewas? Kalau cara berfikir kawan-kawan
itu konsisten, maka harus menjawabnya bahwa perilaku tersebut bukan bunuh
diri. Dan tentu saja cara berfikir seperti ini telah mereduksi (menyempitkan)
makna bunuh diri dari pengertian yang semestinya.
Jelas sudah, klaim para ulama tentang aktifitas bom manusia sebagai
amaliah istisyhad (memburu syahid) adalah benar tidak ada keraguan di

45
dalamnya. Mulai saat ini, buang dan kuburlah terminologi bom bunuh diri dari
benak kita, dan tradisikanlah term yang benar dan tepat, yakni amaliah istisyhad.
Adapun yang keukeuh mengatakan bom manusia hukumnya haram, Imam
Samudra, pelaku peledakkan bom Bali punya komentar tersendiri, ia bertutur
“Mereka hanyalah orang yang tergesa-gesa, atau belum sampai ilmu kepada
mereka, atau memang hati mereka buta tidak mau menerima kebenaran.”

46
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel:


Abu Akyas, Tetap Sehat di Kala Sakit, Buletin Al-Fikrah, Edisi Mei 2004.

Ali Yafie, Quraish Shihab, dkk., Sakit Menguatkan Iman, Gema Insani Press,
Jakarta, 1999.

Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Quran, Jilid VIII, Darul Kutub Al-Alamiyyah,


Beirut, 1989.

B. Henry Priyono, Buruh dan Negara: Tawanan Kaum Pemodal, Sinar Harapan, 03
Agustus, 2001.

Darmaningtyas, Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung


Kidul, Yayasan Salwa, Yogyakarta, 2002.

Ibnu Katsir, Tafsirul Quranul 'Adhim, Juz IV, Darul Fikri, Beirut, 2000.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Membersihkan Hati dari Gangguan Syetan, Gema


Insani Press, Jakarta, 2002.

__________________________, Meredam Duka Saat Menghadapi Musibah, Al-


Qowam, Solo, 2003.

Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk),


Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Jazera, Solo, 2004.

K. Bertens, Euthanasia, Aborsi, dan Kesucian Kehidupan, Kompas, 01 Oktober 2001.

Kristie Poerwandari, Depresi dan Bunuh Diri, Bagaimana Mengatasi?, Kompas, 05


Maret 2003.

Muhammad Bayumi, Fikih Jenazah, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2004.

Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Qadha dan Qadar, Yayasan Al-Sofwa, Jakarta,


1999.

Muhammad Sayyid Al-Musayyar, Budak-budak Syetan, Darul Falah, Jakarta,


2000.

Nina Surtiretna dan Rachmat Taufiq Hidayat, Euthanasia untuk Penderita


HIV/AIDS.
Sa'id Hawwa, Mensucikan Jiwa, Robbani Press, Jakarta, 2000.

47
Sulaiman Rasyid, Fikih Islam, Penerbit At-Tahiriyah, Jakarta, 1976.

Teddy Hidayat, Mengapa Mesti Bunuh Diri?, Pikiran Rakyat, 11 Agustus 2003.

Surat Kabar:
“Bocah SD Tewas Membakar Diri”, Republika, 11 Juni 2004.

“Bunuh Diri Karena Faktor Genetika”, Wartakota, 06 Agustus 2003.

“Karena Ditanya Istri Soal Gaji, Nawawi Nekat Gantung Diri”, Kompas, 16 April
2003.

“Kasus Bunuh Diri di Jakarta Masih Kecil, Tapi Cenderung Meningkat”, Kompas, 03
Maret 2003.

“Lamarannya Ditampik Keluarga Kekasihnya, Yasa Tewas Gantung Diri”,


Galamedia, 30 September 2004.

Website:

Assyariah. com
Bahana online
Hidayatullah. com
Hayatulislam. com
Indosiar. com
Kompascyber media
Liputan6. com
Paraguyana. blogspot. com
Problem-anda. com
Suaraanum. com
Suaramerdeka. com

48

Anda mungkin juga menyukai