Anda di halaman 1dari 3

FIKIH BERJABAT TANGAN

Ramdan Priatna

Islam merupakan din yang sempurna, mengatur segala urusan manusia dari hal yang paling mendasar seperti
masalah tauhid sampai pada masalah muamalah seperti kebiasaan manusia saling menyapa dan berjabat tangan.

Hukum Asal Berjabat Tangan


Imam An-Nawawi berkata, “Berjabat tangan ketika bertemu adalah sunnah yang telah disepakati.” (Aunul Ma’bud
8/455). Dengan perbuatan ini hati kaum muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka.
Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Qatadah berkata, “Aku bertanya
kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Apakah ada jabat tangan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam?” Anas berkata, “Ya, ada”. [H.R. Bukhari dalam Ash-Shahih (5908), Abu Ya’la dalam Al-Musnad
(2871), Ibnu Hibban (492), dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (13346)]. Ibnu Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal
jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarah Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).

Disamping sunnah pada saat bertemu berjabat tangan juga sunnah pada saat berpisah. Syekh al-Albani berkata,
"Jabat tangan disyari'atkan ketika perpisahan.” (Lihat Silsilah shahihah: 14, 16)

Keutamaan Berjabat Tangan


‫َم ا ِم ْن ُمْس ِلَم ْيِن َيْلَتِق َياِن َفَيَتَص اَفَح اِن ِإَّال ُغِف َر َلُه َم ا َقْبَل َأْن َيْف َتِر َقا‬
“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu keduanya berjabatan tangan, kecuali akan diampuni keduanya sebelum
berpisah.” (H.R. Abu Daud)

‫ِب ِدِه‬ ‫ِم‬ ‫ِم ِإ ِق‬ ‫ِإ‬


‫َّن اْلُم ْؤ َن َذا َل َي اْلُم ْؤ َن َو َأَخ َذ َي َفَص اَفَح ُه َتَناَثَر ْت َخ َطاَياُه َم ا َك َم ا َيَتَناَثُر َو َر ُق الَّش َج ُر‬
“Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia
menjabatinya, maka akan berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran.” [H.R. Ath-Thabrani
dalam Al-Ausath (245)]

Berjabat Tangan Antar Lawan Jenis Bukan Mahram


‫ِم‬
‫ِإَّن اَهلل َك َتَب َعَلى اْبِن آَدَم َنِص ْيَبُه َن الَّز َنى ُمْد ِر ٌك َذِلَك َال َمَح اَلَة َفاْلَعْيَناِن ِز َناُه َم ا الَّنَظُر َو اُأْلَذَناِن ِز َناُه َم ا اِإْل ْس ِتَم اُع‬
‫ِل‬
‫َو الِّلَس اُن ِز َن اُه اْلَك َالُم َو اْلَي ُد ِز َناَه ا اْلَبْطُش َو الِّر ْج ُل ِز َناَه ا اْلُخ َط ا َو اْلَق ْلُب َيْه َو ى َو َيَتَم َّنى َو ُيَص ِّد ُق َذ َك اْلَف ْر ُج‬
‫َو ُيَك ِّذ ُبُه‬
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut
secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah
berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-
angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (8/457) mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan
untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan
kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang
haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina,
atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…”

‫ِم‬ ‫ٍط ِم‬


‫َأَلْن ُيْطَعُن ِفْي َر ْأِس َأَح ِد ُك ْم ِبِم ْخ َي ْن َح ِد ْيٍد َخ ْيٌر َلُه ْن َأْن َيَم َّس اْم َر َأًة َال َتِح ُّل َلُه‬
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh
wanita yang tidak halal baginya.” (H.R. Ar-Ruyani dalam Musnad-nya no. 1282, Ath-Thabrani 20/no. 486-487 dan
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226).

Berkata Asy-Syinqithy dalam Adwa` Al-Bayan (6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan
akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah
memandang.”

‫ِف‬
‫ِإِّنْي َال ُأَص ا ُح الِّنَس اَء‬

1
"Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (H.R. Malik 1775, Ahmad 6/357, Ibnu Majah
2874, An-Nasa'i 7/149, dan lainnya).

‫َو اِهلل َم ا َم َّس ْت َيُد َرُسْو ِل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َعَلى آِلِه َو َس َّل َيَد اْم َأٍة َقٌّط ِفي اْلُمَباَيَعِة َأَّنُه ُيَباِيُعُه َّن ِباْلَك َالِم‬
‫َر‬ ‫َم‬
“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyentuh tangan wanita
dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan." (H.R. Muslim)

Berkata Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at
wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”

Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa
dengan menyentuh tangan.”

Berjabat Tangan Antara Laki-laki dengan Wanita Lansia


Ishaq bin Mansyur Al-Mawarizi mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad, apakah dibenci bersalaman
dengan wanita?” Beliau menjawab, “Ya, (baik wanita yang) sudah tua maupun masih muda.” (Masail Imam Ahmad
wa Ishaq bin Rahawaih 2/531).

Syaik bin Baz berkata, “Tidak boleh bersalaman dengan wanita yang bukan mahram secara mutlak, sama saja
wanita itu masih muda atau sudah tua.” (Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram hlm. 1870).

Berjabat Tangan Antara Wanita Mukmin dengan Wanita Kafir


Boleh berjabat tangan dengan wanita kafir karena sama-sama wanita, sebagaimana bolehnya seorang pria
mukmin bersalaman dengan seorang pria kafir. Adapun makna Q.S. At-Taubah ayat 28 yang berbunyi, “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis…”, bukanlah najis hakiki, tapi najis
maknawi.

Saat Darurat Menyentuh Tangan Wanita


Boleh menyentuh wanita bukan mahram ketika kondisi darurat, misalnya dalam rangka pengobatan. Syaratnya,
1). Tidak ada wanita lain yang mewakilinya. 2). Sesuai kebutuhan. 3). Ditemani oleh suami atau mahram yang lain.

Imam An-Nawawi, “Tidak boleh menyentuh kulit wanita jika tidak darurat. Seperti pengobatan, diagnose, bekam,
yang memang tidak ada wanita yang bisa mengerjakannya.” (Syarah Shahih Muslim 13/12).

Berjabat Tangan Seusai Shalat Wajib


Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin hafizhohullah berkata, “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan
tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka
berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf.”
[Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].

Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’i (ulama abad pertengahan, -ed.) rahimahullah berkata, “Jabat tangan setelah
shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang
menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga
kali kemudian berpaling.”

Apabila bid’ah ini di masa penulis terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini, hal itu
telah terjadi pada seluruh shalat.

Syaikh Al Albaniy rahimahullah berkata dalam As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53), “Adapun jabat tangan setelah
shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa
sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”.

Hukum Memeluk dan Menempelkan Pipi Saat Bertemu dan Berpisah

.» ‫ ُقْلَنا َأُيَعاِنُق َبْعُضَنا َبْع ًض ا َقاَل « َال َو َلِكْن َتَص اَفُح وا‬.» ‫ُقْلَنا َيا َرُس وَل الَّلِه َأَيْنَح ِنى َبْعُضَنا ِلَبْع ٍض َقاَل « َال‬
Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kami boleh saling menundukkan badan?” “Tidak boleh,”
jawab Nabi dengan tegas. Kami juga bertanya, “Apakah kami boleh saling memeluk?” Nabi bersabda, “Tidak boleh
tapi boleh saling menjabat tangan.” (H.R. Ibnu Majah no. 3833)

2
‫ َق اَل َأَفَيْلَتِز ُم ُه َو ُيَق ِّبُل ُه َق اَل « َال‬.» ‫َقاَل َرُج ٌل َيا َرُس وَل الَّلِه الَّر ُج ُل ِم َّنا َيْلَق ى َأَخ اُه َأْو َص ِد يَق ُه َأَيْنَح ِنى َل ُه َق اَل « َال‬
.» ‫ َقاَل َأَفَيْأُخ ُذ ِبَيِدِه َو ُيَص اِفُح ُه َقاَل « َنَعْم‬.»
Dalam riwayat Tirmidzi no 2947, Ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah ada seorang di antara kami
berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah dia boleh menundukkan badan kepadanya?” Jawaban Nabi,
“Tidak boleh.” “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”, tanya orang tersebut. “Tidak boleh,” jawab Nabi.
“Apakah boleh memegang tangannya dan menjabatnya?”, tanya orang tersebut kembali. Jawaban Nabi, “Boleh.”
(H.R. Tirmidzi no. 2947)

‫ َفَأَت اُه َفَق َر َع‬,‫ َق َد َم َز ْي ُد ْبِن َح اِر َثَة َو َرُس ْو ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم فِي َبْيِتي‬:‫عن عائشة رض ي اهلل عنها قالت‬
)‫ َفَأْع َتَنَق ُه َو َقَبـَلُه (رواه الترميذي – وقال حديث حسن‬,‫ َفَق اَم ِاَلْيِه الَّنِبُّي َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم َيِج ُر َثْو َبُه‬, ‫اْلَباَب‬
Dari Asiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah berada di
rumahku. Lalu ia mengetuk pintu. Kemudian Rasulullah saw menarik bajunya dan memeluk serta mencium Zaid”
(H.R. Tirmidzi dan berkata: ini hadits hasan))

‫َك اَن َأْص َح اُب الَّنِبَّي ِإَذا َتَالَقْو ا َتَص اَفُحْو ا َو ِإَذا َقِد ُمْو ا ِم ْن َس َف ٍر َتَعاَنُقْو ا‬
Anas mengatakan, “Para sahabat jika bertemu mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari
bepergian mereka saling berpelukan.” (H.R. Thabrani dalam Al-Ausath dan para perawinya adalah para perawi
dalam kitab shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mundziri, 3/270 dan Al-Haitsami, 8/36).

Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Sya’bi, “Para sahabat Muhammad jika bertemu
mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari bepergian mereka saling berpelukan.”

Tradisi Cium Tangan


Sedangkan tentang mencium tangan terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara global
menunjukkan bahwa hal itu memang benar-benar dari Nabi Muhammad. Karenanya, kami berpendapat boleh
mencium tangan seorang ulama asal syarat-syarat berikut,

Pertama, hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan sehingga seorang ulama terbiasa mengulurkan tangannya
kepada murid-muridnya dan para murid terbiasa ngalap berkah dengan melakukan hal tersebut. Karena Nabi
Muhammad meski tangannya pernah dicium tapi itu sangat jarang. Jika demikian maka tidak boleh dijadikan
kebiasaan yang terus menerus dilakukan sebagaimana diketahui dalam Qowaid Fiqhiyyah.

Kedua, cium tangan tersebut tidak menyebabkan sang ulama merasa sombong terhadap yang lain dan
menganggap hebat dirinya sendiri sebagaimana realita sebagian kyai di masa ini.

Ketiga, cium tangan tersebut tidak menjadi sarana menihilkan sunnah yang sudah umum dikenal semisal sunnah
berjabat tangan. Berjabat tangan disyariatkan dengan dasar perbuatan dan sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berjabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana
yang terdapat dalam beberapa hadits. Karenanya tidak boleh menghilangkan jabat tangan disebabkan suatu hal
yang kemungkinan tertingginya adalah sekedar boleh.” (Silsilah Shahihah, 1/249)

Adab Berjabat Tangan


‫ِم ِدِه‬
‫ َو َال َيْص ِر ُف َو ْجَه ُه‬،‫َك اَن النبُّي ِإَذا اْسَتْق َبَلُه الَّر ُج ُل َفَص اَفَح ُه َال َيْن ِز ُع َيَدُه ْن َي َح َّتى َيُك وَن الَّر ُج ُل الذي َيْن ِز ُع‬
‫عن َو ْج ِه ِه َح َّتى َيُك وَن الَّر ُج ُل ُه َو َيْص ِر ُفُه َو َلْم ُيَر ُمَق ِّدمًا ُر ْك َبَتْيِه َبْيَن َيَد ْي َج َلْيٍس َلُه‬
"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyambut seseorang (yang datang) beliau menjabat tangannya,
beliau tidak menarik tangannya dari tangannya hingga orang itu yang menariknya. Beliau tidak memalingkan
mukanya dari mukanya, hingga orang itu yang memalingkannya, dan tidak pernah terlihat beliau menjulurkan
kedua lututnya di hadapan orang yang duduk di sisinya." (H.R. Tirmidzi: 2539, Baihaqi: 21250)

Anda mungkin juga menyukai