Ramdan Priatna
Islam merupakan din yang sempurna, mengatur segala urusan manusia dari hal yang paling mendasar seperti
masalah tauhid sampai pada masalah muamalah seperti kebiasaan manusia saling menyapa dan berjabat tangan.
Disamping sunnah pada saat bertemu berjabat tangan juga sunnah pada saat berpisah. Syekh al-Albani berkata,
"Jabat tangan disyari'atkan ketika perpisahan.” (Lihat Silsilah shahihah: 14, 16)
Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (8/457) mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan
untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan
kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang
haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina,
atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…”
Berkata Asy-Syinqithy dalam Adwa` Al-Bayan (6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan
akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah
memandang.”
ِف
ِإِّنْي َال ُأَص ا ُح الِّنَس اَء
1
"Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (H.R. Malik 1775, Ahmad 6/357, Ibnu Majah
2874, An-Nasa'i 7/149, dan lainnya).
َو اِهلل َم ا َم َّس ْت َيُد َرُسْو ِل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َعَلى آِلِه َو َس َّل َيَد اْم َأٍة َقٌّط ِفي اْلُمَباَيَعِة َأَّنُه ُيَباِيُعُه َّن ِباْلَك َالِم
َر َم
“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyentuh tangan wanita
dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan." (H.R. Muslim)
Berkata Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at
wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa
dengan menyentuh tangan.”
Syaik bin Baz berkata, “Tidak boleh bersalaman dengan wanita yang bukan mahram secara mutlak, sama saja
wanita itu masih muda atau sudah tua.” (Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram hlm. 1870).
Imam An-Nawawi, “Tidak boleh menyentuh kulit wanita jika tidak darurat. Seperti pengobatan, diagnose, bekam,
yang memang tidak ada wanita yang bisa mengerjakannya.” (Syarah Shahih Muslim 13/12).
Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’i (ulama abad pertengahan, -ed.) rahimahullah berkata, “Jabat tangan setelah
shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang
menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi
Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga
kali kemudian berpaling.”
Apabila bid’ah ini di masa penulis terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini, hal itu
telah terjadi pada seluruh shalat.
Syaikh Al Albaniy rahimahullah berkata dalam As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53), “Adapun jabat tangan setelah
shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa
sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”.
.» ُقْلَنا َأُيَعاِنُق َبْعُضَنا َبْع ًض ا َقاَل « َال َو َلِكْن َتَص اَفُح وا.» ُقْلَنا َيا َرُس وَل الَّلِه َأَيْنَح ِنى َبْعُضَنا ِلَبْع ٍض َقاَل « َال
Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kami boleh saling menundukkan badan?” “Tidak boleh,”
jawab Nabi dengan tegas. Kami juga bertanya, “Apakah kami boleh saling memeluk?” Nabi bersabda, “Tidak boleh
tapi boleh saling menjabat tangan.” (H.R. Ibnu Majah no. 3833)
2
َق اَل َأَفَيْلَتِز ُم ُه َو ُيَق ِّبُل ُه َق اَل « َال.» َقاَل َرُج ٌل َيا َرُس وَل الَّلِه الَّر ُج ُل ِم َّنا َيْلَق ى َأَخ اُه َأْو َص ِد يَق ُه َأَيْنَح ِنى َل ُه َق اَل « َال
.» َقاَل َأَفَيْأُخ ُذ ِبَيِدِه َو ُيَص اِفُح ُه َقاَل « َنَعْم.»
Dalam riwayat Tirmidzi no 2947, Ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah ada seorang di antara kami
berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah dia boleh menundukkan badan kepadanya?” Jawaban Nabi,
“Tidak boleh.” “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”, tanya orang tersebut. “Tidak boleh,” jawab Nabi.
“Apakah boleh memegang tangannya dan menjabatnya?”, tanya orang tersebut kembali. Jawaban Nabi, “Boleh.”
(H.R. Tirmidzi no. 2947)
َفَأَت اُه َفَق َر َع, َق َد َم َز ْي ُد ْبِن َح اِر َثَة َو َرُس ْو ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم فِي َبْيِتي:عن عائشة رض ي اهلل عنها قالت
) َفَأْع َتَنَق ُه َو َقَبـَلُه (رواه الترميذي – وقال حديث حسن, َفَق اَم ِاَلْيِه الَّنِبُّي َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم َيِج ُر َثْو َبُه, اْلَباَب
Dari Asiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah berada di
rumahku. Lalu ia mengetuk pintu. Kemudian Rasulullah saw menarik bajunya dan memeluk serta mencium Zaid”
(H.R. Tirmidzi dan berkata: ini hadits hasan))
َك اَن َأْص َح اُب الَّنِبَّي ِإَذا َتَالَقْو ا َتَص اَفُحْو ا َو ِإَذا َقِد ُمْو ا ِم ْن َس َف ٍر َتَعاَنُقْو ا
Anas mengatakan, “Para sahabat jika bertemu mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari
bepergian mereka saling berpelukan.” (H.R. Thabrani dalam Al-Ausath dan para perawinya adalah para perawi
dalam kitab shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mundziri, 3/270 dan Al-Haitsami, 8/36).
Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Sya’bi, “Para sahabat Muhammad jika bertemu
mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari bepergian mereka saling berpelukan.”
Pertama, hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan sehingga seorang ulama terbiasa mengulurkan tangannya
kepada murid-muridnya dan para murid terbiasa ngalap berkah dengan melakukan hal tersebut. Karena Nabi
Muhammad meski tangannya pernah dicium tapi itu sangat jarang. Jika demikian maka tidak boleh dijadikan
kebiasaan yang terus menerus dilakukan sebagaimana diketahui dalam Qowaid Fiqhiyyah.
Kedua, cium tangan tersebut tidak menyebabkan sang ulama merasa sombong terhadap yang lain dan
menganggap hebat dirinya sendiri sebagaimana realita sebagian kyai di masa ini.
Ketiga, cium tangan tersebut tidak menjadi sarana menihilkan sunnah yang sudah umum dikenal semisal sunnah
berjabat tangan. Berjabat tangan disyariatkan dengan dasar perbuatan dan sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berjabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana
yang terdapat dalam beberapa hadits. Karenanya tidak boleh menghilangkan jabat tangan disebabkan suatu hal
yang kemungkinan tertingginya adalah sekedar boleh.” (Silsilah Shahihah, 1/249)