Anda di halaman 1dari 15

1

MODUL PERKULIAHAN

U002100007
Pendidikan
Pancasila
Perbandingan Ideologi Pancasila
dengan Ideologi Lain

Dosen : Inggar Saputra, S.Pd., M.Si

Abstrak Sub-CPMK

Ketepatan menjelaskan Mahasiswa mampu mendeskripsikan


perbandingan Pancasila perbandingan ideologi Pancasila
dengan ideologi komunisme, dengan ideologi lain (Ideologi
liberalisme dan agama Pancasila, Komunisme, Liberalisme,
dan Agama)

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh


Dr. Syahrial Sarbaini, MA
H. Ahmad Ghazali, MA
Psikologi Psikologi
10 Drs. Machtub, MM
Irfan, SH, MH
Dra. Yayah
Perbandingan Ideologi Pancasila
Dengan Ideologi Lain

A. Perbandingan Ideologi Pancasila Dengan Ideologi Lain

Pancasila sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang


mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang dikandung
Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang menyatakan
bahwa Pancasila sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American Independence
(yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang
mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang ahli sejarah, Rutgers,
mengatakan, “Dari semua negara-negara Asia Tenggara, Indonesia-lah yang dalam
Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang
sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah. Dalam filsafat negaranya, yaitu
Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam dari revolusi-revolusi itu
(Latif, 2011: 47). Dari pendapat tersebut, Indonesia pun pernah merasakan
berkembangnya nilai-nilai ideologi-ideologi besar dunia berkembang dalam gerak tubuh
pemerintahannya.

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pancasila dan Liberalisme

B. Pancasila dan Liberalisme

Periode 1950-1959 disebut periode pemerintahan demokrasi liberal. Sistem


parlementer dengan banyak partai politik memberi nuansa baru sebagaimana terjadi di
dunia Barat. Ketidakpuasan dan gerakan kedaerahan cukup kuat pada periode ini, seperti
PRRI dan Permesta pada tahun 1957 (Bourchier dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 40).
Keadaan tersebut mengakibatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan
bernegara. Pada 1950-1960 partai-partai Islam sebagai hasil pemilihan umum 1955
muncul sebagai kekuatan Islam, yaitu Masyumi, NU dan PSII, yang sebenarnya
merupakan kekuatan Islam di Parlemen tetapi tidak dimanfaatkan dalam bentuk koalisi.

Meski PKI menduduki empat besar dalam Pemilu 1955, tetapi secara ideologis
belum merapat pada pemerintah. Mengenai Pancasila itu dalam posisi yang tidak ada
perubahan, artinya Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia meski dengan
konstitusi 1950 (Feith dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 40). Indonesia tidak menerima
liberalisme dikarenakan individualisme Barat yang mengutamakan kebebasan
makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut memandang manusia sebagai
individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Alfian dalam Oesman dan Alfian, 1990: 201).

Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler, dan hal ini tidak
dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254). Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Kaelan yang menyebutkan bahwa negara liberal memberi
kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya masing-masing. Namun dalam negara liberal diberikan kebebasan
untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau atheis, bahkan negara liberal memberi
kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik agama.

Berdasarkan pandangan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa sistem negara


liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau bersifat sekuler
(Kaelan, 2000: 231). Berbeda dengan Pancasila, dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha
Esa telah memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia, yaitu bukan merupakan
negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara (Kaelan, 2000: 220).
Tentang rahasia negara-negara liberal, Soerjono Poespowardojo mengatakan bahwa

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
kekuatan liberalism terletak dalam menampilkan individu yang memiliki martabat
transenden dan bermodalkan kebendaan pribadi. Sedangkan kelemahannya terletak
dalam pengingkaran terhadap dimensi sosialnya sehingga tersingkir tanggung jawab
pribadi terhadap kepentingan umum (Soeprapto dalam Nurdin, 2002: 40-41). Karena
alasan-alasan seperti itulah antara lain kenapa Indonesia tidak cocok menggunakan
ideologi liberalisme.

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pancasila dan Komunisme

C. Pancasila dan Komunisme

Dalam periode 1945-1950 kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sudah


kuat. Namun, ada berbagai faktor internal dan eksternal yang memberi nuansa tersendiri
terhadap kedudukan Pancasila. Faktor eksternal mendorong bangsa Indonesia untuk
menfokuskan diriterhadap agresi asing apakah pihak Sekutu atau NICA yang merasa
masih memiliki Indonesia sebagai jajahannya. Di pihak lain, terjadi pergumulan yang
secara internal sudah merongrong Pancasila sebagai dasar negara, untuk diarahkan ke
ideologi tertentu, yaitu gerakan DI/TII yang akan mengubah Republik Indonesia menjadi
negara Islam dan Pemberontakan PKI yang ingin mengubah RI menjadi negara komunis
(Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1982/83 kemudian dikutip
oleh Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 39).

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk
kembali ke UUD 1945, berarti kembali ke Pancasila. Pada suatu kesempatan, Dr.
Johanes Leimena pernah mengatakan, “Salah satu factor lain yang selalu dipandang
sebagai sumber krisis yang paling berbahaya adalah komunisme. Dalam situasi di mana
kemiskinan memegang peranan dan dalam hal satu golongan saja menikmati kekayaan
alam, komunisme dapat diterima dan mendapat tempat yang subur di tengahtengah
masyarakat”.

Oleh karena itu, menurut Dr. Johanes Leimena, harus ada usaha-usaha yang
lebih keras untuk meningkatkan kemakmuran di daerah pedesaan. Cara lain untuk
memberantas komunisme ialah mempelajari dengan seksama ajaran-ajaran komunisme
itu. Mempelajari ajaran itu agar tidak mudah dijebak oleh rayuan-rayuan komunisme. Bagi
orang Kristen, ajaran komunisme bias menyesatkan karena bertentangan dengan ajaran
Kristus dan falsafah Pancasila (Pieris, 2004: 212).

Komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan Negara komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama dalam
suatu Negara. Sedangkan Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif.

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan
nampaknya sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia (Kelan, 2012: 254-255).

Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati manusia sebagai makhluk
individu. Prestasi dan hak milik individu tidak diakui. Ideologi komunis bersifat totaliter,
karena tidak membuka pintu sedikit pun terhadap alam pikiran lain. Ideologi semacam ini
bersifat otoriter dengan menuntut penganutnya bersikap dogmatis, suatu ideology yang
bersifat tertutup. Berbeda dengan Pancasila yang bersifat terbuka,

Pancasila memberikan kemungkinan dan bahkan menuntut sikap kritis dan


rasional. Pancasila bersifat dinamis, yang mampu memberikan jawaban atas tantangan
yang berbeda-beda dalam zaman sekarang (Poespowardojo, 1989: 203-204). Pelarangan
penyebaran ideologi komunis ditegaskan dalam Tap MPR No. XXV/MPRS/1966 tentang
pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk
menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme dan
leninisme yang diperkuat dengan Tap MPR No. IX/MPR/1978 dan Tap MPR No
VIII/MPR/1983.

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pancasila dan Agama

D. Pancasila dan Agama

Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan


agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui The Founding Fathers Negara
Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang dalam
Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis merupakan local genius
bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012). Begitu pentingnya memantapkan
kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan
adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi
Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan
dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998:
36).

Menurut Notonegoro , asal mula Pancasila secara langsung salah satunya asal
mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah
sebagai asal dari nilai-nilai Panasila, …yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa
nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia”. Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang
(kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun
pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme,
(sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57).

Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian
dikenal Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap berbunyi
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda, satu jua
adanya, sebab tidak ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda (Hartono, 1992:
5).

Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus


besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak
decade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama,

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
mengatasi komunitas cultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67).

Secara lengkap pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh founding


fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika
berbicara mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w,
orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitabkitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-
tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya
Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012). Pernyataan ini
mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan eksistensi agama-agama di
Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno, “mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua,
posisi negara terhadap agama, Ir. Soekarno menegaskan bahwa “negara kita akan ber-
Tuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku akan
berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945
(Ali, 2009: 118).

Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama
Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima
causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan
dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan
tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-
Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas,
1999: 63).

Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari - atau sekurang-kurangnya


diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir.
Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad Roem.
Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Ir.
Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat
kesan bahwa pikiranpikiran para anggota yang berbicara sebelumnya telah tercakup di

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang
terpenting. Komentar Roem, “Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato
yang telah diucapkan sebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63).

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia


Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan
mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bias mempersekutukannya. Dalam
bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa sama maknanya
dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata
Tuhan adalah sesuatu yang kita taati perintahnya dan kehendaknya.

Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh punya dua tuan, hanya satu tuannya,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi utama tugas para pengemban
risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa (Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas 16: 13, Quran surat: Al Mu’minun [23]: 23
dan 32) (Mulyantoro, 2012).

Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara


didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak
memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama
dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-
hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai
agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya terhadap
masyarakat yang plural dan egaliter.

Namun, dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam,
Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara resmi, negara
Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara.
Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara
jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama tersebut, tetapi tidak bagi
mereka yang tidak menganutnya.

Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang menganut agama


tersebut, tapi tidak memasukkan kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang
telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur
masyarakat di tingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia bisa dan
bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama
(An-Na’im, 2007: 439).

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga tahun
diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS dan
sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas akhir
sampai tanggal 17 Juli 1987. Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila dan UUD
1945, melainkan ada kekhawatiran bahwa dengan menghapuskan asas “Islam”,
Pancasila akan menjadi“agama baru” (Moesa, 2007: 123-124).

Dalam perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi NU yang


pertama kali menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. KH. As’ad Syamsul Arifin
menegaskan bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa
menerima Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007: 124) .

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan
saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh
dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan
menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah satu
hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu
kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010:
79).

Pancasila menjamin umat beragama dalam menjalankan ibadahnya. Dalam


kalimat Menteri Agama (1983-1993), H. Munawir Sjadzali menyatakan, “Kata-kata ‘negara
menjamin’ tidak dapat diartikan sekuler karena apabila demikian, negara atau pemerintah
harus hands off dari segala pengaturan kebutuhan hukum bagi para pemeluk
agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di negara sekuler Pemerintah
tidak akan mendirikan tempat-tempat ibadah (Ahmad, 1996: 9-10).

Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua golongan beragama


dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus dan
bersamasama meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila (Soetarman, 1996: 64). Dalam
konteks pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara formal sudah tidak
berlaku tapi spirit hubungan agama dan pembangunan masih sesuai), maka agama-
agama harus mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka menghadapi masalah-
masalah yang dihadapi bersama (Soetarman, 1996: 65).

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling mendukung.
Agama dapat mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan
ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan agama (Eksan, 2000).

Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi
untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap
menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agamaagama harus memperhitungkan
eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua pihak dapat
menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990:
167-168).

Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan universal dalam arti berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena
nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya bantuan dari
nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai Pancasila berasal
dari agama-agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja nilai-nilai yang hidup
tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi memberikan bantuan dan
memperkuat (Anshoriy, 2008: 177). Sejalan dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam Sambutan pada Peringatan Hari
Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2005.

Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung tinggi,
menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu, setiap umat
beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran
agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan menempatkan falsafah negara di
posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan sedalam-dalamnya bahwa lima sila di
dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di
tanah air. Dengan demikian, kita dapat menghindari adanya perasaan kesenjangan
antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila
sebagai falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed.),2010: 172).

Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya


tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama mana
pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40
tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras energi

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan panjang itu, sekarang secara teoretik
dari kelima nilai Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap berlawanan dengan agama.
Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci oleh sila kelima “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” dari sudut pemahaman saya sebagai seorang
Muslim, sejalan dan senyawa dengan doktrin tauhid yang menuntut tegaknya keadilan di
muka bumi (Maarif, 2012).

Kaelan (dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246) memetakan persoalan yang


menyangkut hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga tahap,
yaitu:

Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan Pancasila sebagai dasar


filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri negara dari
kelompok nasionalis Islam dan nasionalis terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan
ideologi Negara Indonesia yang akan didirikan kemudian.

Kedua, respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978
pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada
awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudianmenerimanya.
Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi
semua organsiasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijakan ini banyak
mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan terdapat beberapa ormas yang
dibekukan karena asas tersebut. Namun untuk menengahi permasalahan tersebut,
Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed), 1990: 167-168) secara gamblang
menyatakan bahwa “agama tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-
agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang
menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa
terkecuali”

Sejalan dengan pendapat tersebut, tokoh Masyumi, Muhammad Roem,


berpendapat bahwa kita sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan Yang Maha
Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-
sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan Negara yang kuat
sentosa karena esensi dari agama, ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan
kasih saying terhadap sesama makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).

Hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang berdasarkan Pancasila


adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber- Ketuhanan yang
Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk
memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya
manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan
inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan itu bukan
hasil peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama
dalam negara.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara harus
sesuai dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma
Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para
penyelenggara negara.
h. Negara pda hakikatnya adalah merupakan “…berkatrahmat Allah yang
Maha Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini,
secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara
Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan
dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin
hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan
Dasar Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di
Indonesia.

Rodee dkk (1995: 54) menyatakan bahwa homogenitas kebudayaan adalah suatu
kekuatan luar biasa yang bekerja atas nama identitas nasional. Pada paparan
selanjutnya, secara implisit Rodee menyatakan bahwa identitas nasional akan
berpengaruh terhadap kestabilan negara. Realitas negara dan bangsa Indonesia teramat
heterogen secara budaya, bahkan paling heterogen di dunia, lebih dari itu merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi tersebut mensyaratkan hadirnya ideology
negara yang dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa.

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Implikasinya, fungsi ideologi negara bagi bangsa Indonesia amat penting dibandingkan
dengan pentingnyaideologi bagi negara-negara lain terutama yang bangsanya homogen.
Bagi bangsa Indonesia, ideologi sebagai identitas nasional merupakan prasyarat
kestabilan negara, karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen.

Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak akan berfungsi untuk: 1)


menggambarkan cita-cita bangsa, kearah mana bangsa ini akan bergerak; 2)
menciptakan rasa kebersamaan dalam keluarga besar bangsa Indonesia sesuai dengan
sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan 3) menggairahkan seluruh komponen bangsa dalam
mewujudkan cita-cita bangsa dan negara Republik Indonesia. Ada ha-hal yang amat
penting dalam melaksanakan ideologi negara Pancasila, agar ideologi tidak
disalahgunakan terutama dijadikan alat untuk memperoleh atau mempertahankan
kekuasaan oleh elit politik. Maka untuk itu, bangsa Indonesia harus melaksanakan nilai-
nilai instrumental ideologi Pancasila yaitu taat asas terhadap nilai-nilai dan ketentuan-
ketentuan yang ada pada Pembukaan UUD 1945 dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945


Syahrial Syarbaini, Ph.D. 2014. Pendidikan Pancasila. Jakarta. Ghalia
Indonesia.
Ali, As’ad said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslaatan Bangsa. Pustaka
LP3ES. Jakarta.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ngadino Surip dkk. 2015. Pancasila Dalam Makna dan Aktualisasi. Jakarta. Andi
– Mercu Buana
Ristekdikti, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2016.
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Subiakto Tjakrawardaya, dkk. 2017. Sistem Ekonomi Pancasila. Jakarta . Rawali
Pres
Syahrial Syarbaini, 2021. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Edisi 4).
Jakarta. Edu Pustaka.

2021 Pancasila
10 Inggar Saputra S.Pd., M.SI
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai