Anda di halaman 1dari 9

1.

Punahnya Dinosaurus

Keluarga kalkun memiliki tiga orang putri. Salah satunya memiliki bulu-bulu paling tebal dan indah. Ia senang memperlihatkan
bulu-bulunya kepada saudarinya yang lain.

"Lihatlah ini, Kuri! Indah, bukan?"

"Kamu sudah menanyakan itu sepanjang hidupmu, Karu," jawab Kura yang berada di samping Kuri. "Kamu terlalu sombong
dengan bulu-bulumu itu. Apa kau tidak takut mereka akan punah?"

Karu menghentikan gerakannya yang memamerkan bulu-bulu indahnya kepada Kuri dan Kura. Ia terlihat bingung, "Apa itu
punah?"

Pada saat itu, Ibu Kalkun datang menghampiri anak-anaknya. Ibu Kalkun membantu memberikan jawaban kepada Karu yang
mendekatinya dengan wajah penasaran.

"Punah itu menghilang, Karu. Seperti dinosaurus," kata Ibu Kalkun.

"Dinosaurus bukannya memang tidak ada, Bu?"

"Dahulu sekali, dinosaurus itu ada. Sayangnya, dinosaurus sombong."

Dinosaurus hidup beratus-ratus tahun yang lalu sebelum kalkun. Ia merupakan hewan paling besar yang ditakuti oleh hewan-
hewan lainnya.

Dalam satu langkahnya, dinosaurus dapat menginjak hewan lain di bawah kakinya apabila tidak waspada. Sayangnya, dinosaurus
memang berniat tidak waspada.

Kesombongan itu pun membuat dinosaurus tidak diberitahu oleh hewan-hewan lainnya yang telah mendengar mengenai gempa
bumi dari cacing yang sering menghadapi angkuhnya dinosaurus.

Karena itulah, dinosaurus kemudian punah dalam tsunami. Tidak ada lagi yang dapat disombongkan dinosaurus karena
keperkasaan badannya yang besar tidak dapat membantunya meloloskan diri.

"Jadi, dinosaurus menghilang begitu, Bu?" tanya Karu.

"Iya, Nak. Makanya itu, Karu tidak boleh sombong sebagai kalkun yang indah. Kesombongan dapat membahayakan diri yang
menganggap posisi kita terlalu tinggi melebihi banyak hal."

Pesan moral: Sifat sombong dapat membuat hati kotor karena senantiasa berpikir kedudukan diri sendiri lebih tinggi daripada
orang lain, padahal kehadiran orang lain juga diperlukan.

2. Gajah yang Baik Hati

Matahari bersinar sangat terik pada siang hari itu. Teriknya matahari membuat sebagian hewan di hutan berlindung untuk
menghindari panasnya, terkecuali kelinci.

Teriknya matahari beberapa hari belakangan ini telah membuat sungai kecil di sekitar tempatnya bermukim kering. Kelinci
akhirnya harus melangkah melawan panas matahari untuk sampai di sungai lainnya.

Sayangnya, perjalanan yang ditempuh kelinci terlalu jauh. Kelinci akhirnya tumbang secara perlahan karena badannya mulai
merasa lemas.

Dengan suara pelan yang hampir tak terdengar, kelinci meminta pertolongan pada hewan-hewan di hutan yang hampir seluruhnya
berlindung di balik teduhnya pohon.

"Tolong, tolong," kata kelinci yang merasa tubuhnya amat kering, tetapi tidak ada satu pun hewan yang kunjung muncul di
sekitarnya.
Pada saat itu, gajah baru saja menyelesaikan makan siangnya. Dari bawah wilayahnya yang teduh, gajah mendengar suara kecil
yang malang.

Gajah pun memutuskan untuk berjalan mendekati suara yang perlahan mulai menghilang itu, lalu menemukan kelinci yang
tergeletak lemah di tanah.

"Kelinci?" kata gajah memanggilnya. Kelinci hanya dapat membuka matanya saat gajah bersuara, lalu membuka mulutnya
memperlihatkan bahwa dirinya kehausan.

Sayangnya, gajah tidak cukup mengerti bahasa kelinci. Dengan tangannya yang lemah, kelinci menunjuk ke arah sungai yang
masih cukup jauh darinya.

Gajah pun mengerti. Ia segera berlari dengan tubuhnya yang besar sehingga membuat tanah hutan yang kering berguncang.

"Air! Airnya telah kubawa, kelinci!" kata gajah yang kembali lagi ke tempat kelinci menunggunya. Ia menuangkan air dari sungai
yang dibawanya dengan belalai ke hadapan kelinci.

"Minumlah," ucap gajah.

"Terima kasih, gajah," kata kelinci setelah memperoleh kekuatannya kembali. "Tidak ada hewan di hutan yang mau membantuku
karena teriknya matahari. Kau telah menyelamatkan nyawaku, gajah."

Pesan moral: Kita harus saling menolong sesama, terutama yang sedang membutuhkan bantuan.

3. Metamorfosis Ulat Bulu

"Ulat bulu, ulat bulu! Aku punya daun yang warnanya sama sepertimu."

"Apakah kamu butuh bantuanku untuk menaiki tanaman itu untuk makan, ulat bulu?"

"Ulat bulu, apakah kamu lihat sayapku yang indah ini? Sayap ini bisa terbang," kata capung yang sejak tadi mengejeknya. Capung
terbang ke hadapan ulat bulu dengan cepat.

"Minggirlah, capung," ucap ulat bulu memintanya. Ia telah sering mendengar capung yang mengolok-oloknya. Sayap indah
capung dibandingkan warna tubuhnya.

Ulat bulu tidak sengaja melalui capung yang seharusnya dihindarinya saat mengunjungi siput yang juga tengah berkumpul dengan
hewan-hewan lainnya.

"Kenapa begitu, ulat bulu? Aku sudah tidak lama melihatmu. Apakah kamu sedang mencoba menumbuhkan sayap yang indah
sepertiku?"

"Tidak perlu, sayapmu tidak seindah itu, capung," sahut siput membela ulat bulu.

"Benarkah? Kurasa sayapku adalah yang paling indah di sini, siput," jawab capung didukung teman-temannya yang ikut tertawa.

Ulat bulu pun menghentikan siput yang ingin menjawab kembali. "Tidak perlu, siput. Biarkan saja."

"Karena aku benar, ya, ulat bulu?"

Tawa capung dan teman-temannya hari itu saat melihat ulat bulu menjadi waktu terakhir mereka melihat ulat bulu. Ulat bulu tidak
pernah terlihat dalam waktu yang lama.

Bahkan, perkumpulan hewan-hewan yang biasanya masih dikunjungi ulat bulu pun tidak lagi dihadirinya. Siput yang merupakan
teman dekat ulat bulu menegur capung, "Ulat bulu pasti bersedih karena ucapanmu tempo hari!"

"Apa yang kukatakan, siput? Bukankah benar?"

"Tidak benar. Kamu tidak boleh mengejek kekurangan hewan lain karena merasa dirimu sempurna. Aku yakin akan ada yang
sayapnya lebih indah daripada kamu."

Capung yang sombong pun tertantang, "Siapakah itu?"


"Aku, capung," hewan asing hinggap di atas cangkang siput menarik perhatian hewan-hewan lainnya. "Aku memiliki sayap yang
lebih indah. Aku adalah ulat bulu yang dulu kau pandang rendah."

Pesan moral: Jangan pernah memandang dan mengejek orang lain lebih rendah hanya karena diri kita merasa lebih baik.

4. Sapi Bertanduk Banteng

Pada suatu pagi, seekor sapi berniat mencari rerumputan untuk sarapan. Sapi tersebut berjalan-jalan menelusuri hutan untuk
menemukan rumput yang hijau sebagai santapan sampai dirinya menemukan rerumputan hijau di dekat gubuk yang kecil.

Sapi itu melangkah mendekati gubuk dengan perlahan. Ia tidak melihat manusia di dekat gubuk tersebut, jadilah sapi memakan
rumput-rumput panjang di sekitar gubuk hingga dirinya cukup kenyang.

Saat sapi berniat untuk pulang, pandangannya menangkap tanduk banteng yang berada di dalam pintu gubuk yang terbuka. Sapi
pun melangkah mendekat. Ia mengira ada banteng yang terperangkap sehingga memerlukan pertolongan.

Namun, sesampainya di depan gubuk, sapi hanya menemukan tanduk banteng tanpa pemiliknya. Pastilah tanduk tersebut
ditinggalkan tidak sengaja oleh pemburu.

Melihat tanduk tak bertuan itu, sapi yang sempat merasa iba kepada banteng tiba-tiba berubah pikiran. "Tanduk ini pasti keren
untuk sapi!" ucapnya lalu memakai tanduk tersebut.

Sapi berjalan dengan bangga sambil melalui hutan untuk kembali pulang. Ia menoleh dengan cepat sambil berlagak tangkas
seperti banteng pada setiap hewan yang dilaluinya hingga macan hutan yang garang saja berlari ketakutan.

"Seru sekali menjadi banteng," ucap sapi dengan langkah riang kembali menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah, saudara-saudaranya terkejut melihat banteng memasuki halaman rumah mereka. "Banteng! Ibu, ada
banteng!"

"Banteng?" ucap ibu sapi tidak percaya.

"Huuuuuo," sapi menirukan suara banteng sambil menggerakan tanduknya di depan saudara-saudaranya.

Ibu sapi yang melihat gerak-gerik tersebut menggelengkan kepalanya, "Kemari, Nak. Ibu tahu kamu sapi, bukan banteng."

Sapi lainnya sontak mengeluarkan suara terkejut bersamaan. Mereka tidak mengira saudaranya akan memiliki tanduk serupa
banteng, sekalipun tubuhnya bercorak hitam dan putih.

"Yah, Ibu. Menjadi banteng kan keren."

"Sekalipun banteng dianggap lebih berkarisma, kamu terlihat lebih baik menjadi dirimu sendiri. Identitas kamu adalah sapi, bukan
banteng, Nak. Sekarang lepaskan tanduk milik banteng itu."

Pesan moral: Lebih baik menjadi diri sendiri daripada berpura-pura menjadi orang lain untuk dipandang lebih baik.

5. Bisik-Bisik Daun

Terdapat dua orang anak kucing bernama Ka dan Ki yang memiliki pribadi yang amat berbeda. Ka merupakan kucing yang
pemalas, sedangkan Ki merupakan kucing yang rajin.

Ki selalu bangun pada pagi hari untuk membantu ibu kucing mencari makanan, sedangkan Ka hampir tidak pernah kelihatan
sampai waktu makan tiba. Pada saat itu pun, Ka akan muncul dengan wajah muram yang tidak indah dipandang.

"Ka, kamu kenapa?" tanya ibu kucing pada suatu hari.

Ka menggelengkan kepalanya untuk menjawab ibu kucing, "Tidak apa-apa, Ibu."

Lalu, Ka pergi meninggalkan ibu kucing yang keheranan melihat tingkah anaknya yang hampir tidak pernah terbaca. Oleh karena
itu, ibu kucing bertanya kepada Ki.
"Ki, apa kamu tahu kalau Ka sedang mengalami sesuatu?"

Tanpa berpikir panjang, Ki menjawab cepat, "Ah, tidak, Bu. Ka itu hanya pemalas saja."

Ibu kucing menegur Ki yang menyebut saudaranya demikian. Kendati begitu, ibu kucing tidak dapat tidak menyetujui kata-kata
Ki.

Hanya saja, hati kecilnya menyatakan kalau anaknya yang bernama Ka bukanlah kucing yang sepenuhnya pemalas. Ka pasti
tengah mengalami sesuatu yang membuatnya tampak begitu.

Karena penasaran dengan penyebab Ka yang menjauhkan diri dari keluarga kucing, ibu kucing akhirnya memutuskan untuk tidak
tidur saat malam. Ia mengelilingi rumahnya untuk mencari Ka yang tidak pulang malam itu.

"Kasihan sekali Ka, dia selalu mencari makan pada malam hari," bisik-bisik di sekitar rumahnya terdengar. Ibu kucing mendekati
suara tersebut.

"Benar, tetapi selalu Ki yang merebut makanan yang ditemukan Ka sejak hari itu. Ia selalu mengatakan kepada ibu kucing kalau
dirinya yang memburu makanan untuk mereka."

"Betul, padahal Ka yang bersusah-payah sampai tidak tidur di malam hari untuk berburu. Ki dapat terbangun dengan mudah, lalu
mengambil makanan yang dikumpulkan Ka di bawah rumah untuk dibawa ke ibu kucing."

Mendengar bisik-bisik tersebut, ibu kucing berjalan ke bawah rumah. Betapa terkejutnya ibu kucing menemui Ka yang tertidur tak
jauh dari jebakan di bawah rumah untuk makanan mereka.

Keesokan harinya, ibu kucing memanggil kedua anaknya untuk berkumpul. Ka yang selama ini dikira selalu tidur dan malas
tampak lemah seperti terjaga semalaman, sedangkan Ki yang selalu berkata dirinya menghabiskan waktu berburu semalaman
terlihat bugar.

Perbedaan itu membuat ibu kucing menyadari bahwa dirinya tidak melihat lebih jelas selama ini, "Ki, apakah kamu ingin jujur
kepada Ibu?" tanya ibu kucing.

"Jujur apa, Bu?" tanya Ki berpura-pura tidak tahu.

"Ibu mendengar bisik-bisik daun bahwa Ka adalah yang berburu sepanjang malam untuk makan kita setiap harinya, sedangkan
kamu akan bangun di pagi hari untuk mengambil hasil buruannya saat Ka tertidur. Benarkah begitu?"

Ki yang tertangkap basah langsung menangis. Ia berpikir keculasannya tidak akan diketahui oleh ibu kucing yang ingin dibuatnya
bangga terhadapnya.

Ki tidak dapat berburu seperti Ka, tetapi Ki juga ingin membuat ibu kucing melihatnya sebagai anak yang pandai untuk
membawakan makanan ke rumah. Namun, Ki menyadari perbuatannya salah.

"Maafkan Ki, Ibu," ucapnya tulus.

"Minta maaf juga kepada Ka, Nak. Tidak seharusnya kamu mengakui yang bukan milikmu," tegur ibu kucing kepada anaknya.

Pesan moral: Jangan berbohong untuk menunjukkan kepiawaian diri melebihi orang lain. Bagaimanapun, kebohongan itu akan
terbongkar pada suatu hari.

6. Sungai Kecil di Musim Kemarau

Salah satu sungai di dekat hutan telah mengering. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat salah satu mata air yang paling
dekat tidak lagi dapat dijadikan sumber untuk minum bagi para hewan.

"Yah, bagaimana ini? Air sungai sudah mengering," tanya kelinci.

"Benar, aku tidak akan sanggup berjalan terlalu jauh untuk minum," ucap semut menambahi.

"Bagaimana kalau kita pindahkan air di sungai sebelah sana lebih dekat?" usul kancil memberikan ide. Sebagian hewan
menatapnya ragu, ide kancil tidak buruk. Akan tetapi, hewan-hewan yang berkumpul di sana tidak yakin dapat memindahkan air
secepat itu.
Perlu ada yang menggali tanah cukup dalam untuk membentuk galian sungai, lalu sebagian harus memindahkannya. Teriknya
matahari telah cukup menguras energi para hewan untuk dapat mewujudkannya.

"Apakah kamu mau bolak-balik mengambil airnya, kancil?"

"Apa? Tentu saja bukan aku. Badanku yang kecil tidak bisa membawa banyak air sekaligus."

"Kalau begitu, pekerjaan ini akan memakan waktu berhari-hari," ucap kelinci yang tidak percaya bahwa mereka dapat
menyelesaikan ide kancil tanpa kehausan lebih dulu.

"Bisa! Aku akan memanggil bantuan yang besaaaar," ucap kancil meyakinkan.

"Siapakah kiranya itu?"

"Bagaimana kalau kalian mulai membuat galian sungainya, sementara aku akan pergi menemukan bala bantuan?"

Hewan-hewan yang berkumpul saling memandang satu sama lain. Kancil memang hewan yang memiliki akal cerdik, tetapi
terkadang dapat berbuat jahil kepada yang lainnya. "Kamu benar akan kembali, kancil?"

"Pegang janjiku! Sekarang buat saja galiannya."

Tak lama setelah itu, kancil pergi meninggalkan hewan lainnya yang tidak langsung bekerja. Mereka saling berdiam memutuskan
tindakan selanjutnya.

Kancil dapat saja tidak kembali, sedangkan hewan-hewan yang bekerja kehausan tanpa air yang dapat dikonsumsi.

"Bagaimana kalau kita menyusul kancil ke sungai sana saja? Kita bisa kehausan menunggunya di sini sambil membuat galian."
usul salah satu hewan yang tidak diterima oleh kelinci. "Kancil memang jahil, tetapi kali ini kita harus bekerja sama jika ingin
berhasil."

Setelah itu, mereka mencoba untuk meyakini kancil akan kembali sambil menggali tanah yang mengering untuk membuat lubang
yang akan dijadikan sungai kecil.

Setengah hari dihabiskan hewan-hewan sampai galian mulai terbentuk. Bakal sungai terdekat telah jadi, tetapi kancil tidak
kunjung menampakkan diri. Padahal, sebagian hewan mulai membutuhkan air.

"Aku akan berjalan ke sungai sana sekarang juga. Aku tidak bisa lagi menunggu kancil," ucap tupai setelah menunggu beberapa
waktu lebih lama dari pekerjaan galian yang telah diselesaikan.

Akan tetapi, baru saja tupai melangkah, kancil datang dengan segerombolan gajah yang membawa air di belalainya. Banyaknya
air yang dibawa membasahi langkah para gajah yang mendekat sebelum menuang airnya ke sungai kecil yang telah dibuat.

"Sungai kita telah jadi!" ucap kancil dengan bangga akan kerja sama para hewan yang telah membuatnya.

Pesan moral: Dalam mengerjakan sesuatu, bekerja sama dengan orang lain dapat membuat pekerjaan yang berat menjadi lebih
ringan. Pekerjaan tersebut juga dapat lebih cepat diselesaikan.

7. Ikan Kembung

Saat berjalan bersama ikan-ikan di laut, salah satu ikan selalu singgah setiap melihat makanan yang lezat. Ia akan menghentikan
rombongan dengan keluar dari barisan, lalu memakan santapannya sampai puas.

Setelah itu, ikan tersebut akan kembali lagi tanpa memerdulikan ikan-ikan lain yang menatapnya malas. Begitulah seterusnya
yang dilakukan oleh ikan tersebut.

Pola makan tiada henti yang dilakukan ikan tersebut membuat salah satu dari ikan lainnya menyuarakan protesnya, "Hei, Pip!
Kamu seharusnya tidak terus-menerus berhenti. Kamu sudah selalu singgah sedari tadi untuk makan."

"Aku lapar. Apa kamu tidak lapar? Kalian makan saja, aku akan menunggu kalian juga," balasnya tidak acuh.

"Ya ampun, Pip. Kalau kamu makan terus-menerus, perutmu akan membesar."

Pip tidak mendengarkan teguran itu dengan seksama. Sambil makan, Pip menjawabnya, "Biarkan saja. Perutku yang membesar
adalah pertanda aku yang bahagia."
Namun, tak lama kemudian, Pip menyesali ucapannya. Banyaknya pemberhentian yang dilakukan Pip untuk singgah makan
membuatnya tidak dapat menggerakan tubuhnya berenang mengikuti ikan-ikan yang lain.

Pip berteriak ketakutan membuat ikan lainnya memandanginya dengan cepat, "Apa kau ingin singgah makan lagi, Pip?" tanya
ikan lainnya.

"Tidak! Tidak! Tubuhku tidak bisa bergerak," ucap Pip hendak menangis.

Salah satu ikan mendekatinya, lalu memegangi tubuh Pip, "Kemari, Pip."

Ikan tersebut membantu Pip mendekati kerang yang memantulkan bayangan diri Pip. Melalui bayangan itu, Pip melihat tubuhnya
yang menggembung besar.

"Inilah akibatnya kamu makan berlebihan. Sikap rakusmu terhadap makanan membuat tubuhmu menjadi kembung, Pip," ucap
ikan yang membantunya menyadarkan Pip akan perilaku rakusnya dalam makan.

Pesan moral: Perilaku rakus dalam berbagai hal, termasuk makanan, bukan perilaku yang baik. Rakus dalam makan bahkan dapat
menyebabkan tubuh mengalami perubahan yang tidak menyenangkan dan tidak menyehatkan.

8. Kunjungan Kepala Monyet

Setelah pergi ke hutan sebelah, Kepala Suku Monyet menghampiri kediaman warganya satu per satu untuk memberikan satu sisir
pisang yang dibawanya dari hutan sebelah. Pisang itu beraroma harum nan lezat.

Kelezatannya membuat Monk, salah satu monyet, berbinar-binar lebih dulu sebelum Kepala Suku Monyet menghampiri
rumahnya untuk memberikan pisang tersebut.

"Mama Monk, ini kubawakan pisang dari hutan sebelah. Bagilah pisang-pisang ini dengan adil," pesan Kepala Suku Monyet yang
memberikan sesisir pisang kepada ibu monyet yang dipanggil Mama Monk.

Meneruskan pesan yang diberikan kepadanya, Mama Monk masuk ke dalam rumah untuk memberikan pisang tersebut kepada
ketiga anaknya. Monk, Mink, dan Mank langsung menyambutnya dengan riang.

"Pak Kepala memberikan 15 pisang. Bagilah pisangnya dengan adil, ya," ucap Mama Monk, lalu meninggalkan anak-anaknya.

Monk yang sudah tak sabar sejak tadi langsung mengambil 10 pisang dalam sekali kesempatan. Perbuatannya itu membuat
saudara-saudaranya melotot tak percaya.

"Mama bilang dibagi dengan adil, Monk!" tegur Mink.

"Kalian tidak dengar Pak Kepala Suku menyebut Mama Monk? Tentulah aku yang seharusnya mendapat porsi paling banyak,"
jawab Monk tidak acuh. Ia lalu memakan pisang-pisang yang lezat tersebut dengan cepat.

Sementara itu, Mink dan Mank hanya dapat memakan sisa pisang yang ditinggalkan Monk dengan sabar. Monk merupakan anak
tertua yang membuat ibu monyet dipanggil dengan Mama Monk, tapi perbuatannya tidak menunjukkan sisi mengayomi sebagai
kakak.

Setelah Mama Monk kembali, pisang yang dibawakan telah tinggal satu. Pisang itu tentu dimaksudkan untuk dirinya, tetapi wajah
muram Mink dan Mank membuatnya bertanya.

"Monk memakan 10 pisang, Mama," ucap Mank mengadu dengan pilu.

"Aku anak tertua, wajar saja aku memakan lebih banyak, Ma," ucap Monk membela diri.

Mendengarkan pembelaan itu, Mama Monk mendekati Monk, "Kalau begitu, besok hari Monk akan mendapatkan makanan lebih
sedikit karena adik-adik Monk juga tengah masa pertumbuhan. Mereka membutuhkan lebih banyak."

"Tidak! Kenapa begitu, Mama?" ucap Monk langsung takut. Ia tidak dapat membayangkan mendapatkan sedikit porsi makanan
saja.

"Karena Monk seharusnya adil untuk membagi pisang yang telah diberikan. Banyaknya porsi yang Monk ambil tadi membuat
Monk harus merelakan makanan Monk besok untuk menjadi porsi lebih Mink dan Mank."
"Tidak mau, Mama. Jangan," pinta Monk hampir menangis.

"Kalau begitu, Monk jangan mengulanginya, ya? Monk harus adil dalam berbagi, terutama kepada saudara-saudara Monk," ucap
Mama Monk yang diangguki Monk dengan cepat.

"Janji. Monk berjanji akan adil dan tidak serakah lagi."

Pesan moral: Sifat serakah dapat menimbulkan perpecahan antarsaudara. Oleh karena itu, setiap orang harus adil dalam berbagi.

9. Tumpukan Tulang

Niu adalah kucing yang pemalas. Niu tidak pernah membersihkan bekas-bekas makannya, padahal Niu suka membawa
makanannya ke tempatnya tidur.

Alhasil, bekas makanan Niu tampak berantakan di tempatnya tidur. Penampakan itu membuat saudara Niu menegurnya.

"Niu, kamu harus membersihkan bekas makanan kamu sebelum menjadi tumpukan sampah," ucap Nia yang tidak tahan melihat
tulang-tulang ikan yang berserakan di sekitar tempat tidur Niu.

"Nanti saja. Tulang-tulang bekas makan ini terlihat masih sedikit."

"Apa kamu mau menunggu sampai sampahnya menumpuk, Niu?" tanya Nia tidak percaya.

Sayangnya, Niu mengangguk membenarkan Nia. Ia tidak pernah membersihkan sampah bekas makannya sekalipun. Sampai
bekas makanan itu membentuk tumpukan yang menandingi tubuh Niu saat terlelap.

Dengan sampah-sampah yang berserakan di sekitarnya, Niu tetap dapat tidur dengan nyenyak sampai suatu malam dirinya
terbangun karena gerakan-gerakan kecil yang dirasakannya.

"Nia, gempa?!" panggil Niu yang tidak digubris Nia.

Niu tidak mengetahui pasti yang dimaksud dengan gempa, tetapi tubuhnya merasakan gangguan karena gerakan kecil di
sekelilingnya saat tidur. Gerakan itu tentu berarti gempa, bukan?

Akan tetapi, Nia yang tetap tertidur nyenyak di sisi lain kediaman keduanya membuat Niu mengabaikan pikirannya. Niu lalu
kembali pada tidurnya.

Sayangnya, Niu kembali terbangun tak lama kemudian untuk berteriak. Ia menggaruki tubuhnya yang gatal dan dipenuhi
makhluk-makhluk kecil berwarna merah.

"Tidaaaak, Niaaa! Semut-semut!" teriak Niu membangunkan Nia dari tidurnya.

Niu berlari-lari untuk menjatuhkan semut besar berwarna merah yang mengerumuni tubuhnya. Akan tetapi, gerakannya itu tidak
memberikan hasil yang terlalu banyak.

Niu menangis merasakan sensasi gatal di tubuhnya karena digigiti semut. "Nia, tolong," pintanya menangis.

"Masuklah ke dalam air!" ucap Nia yang langsung mengikuti Niu berlari menuju sungai.

Setelah melompat ke dalam sungai, Nia dapat mendengar Niu bernapas panjang. Saudaranya itu tak lama kemudian keluar dari
sungai dengan tubuh yang basah, tetapi telah bersih tanpa semut.

"Semut-semut itu datang karena tumpukan tulang bekas makanmu yang menjadi tumpukan sampah yang besar, Niu. Itulah
sebabnya aku menyuruhmu selalu membersihkannya, bukan menumpuknya," ucap Nia memperingatkan Niu akan akibat dari sifat
joroknya.

Pesan moral: Kebersihan merupakan sesuatu yang penting untuk dijaga. Kondisi yang bersih dapat membuat orang-orang
menjalani kehidupan dengan nyaman pula.

10. Wortel yang Menangis


Di suatu rumah, seorang ibu selalu memberikan wortel sebagai menu sarapan anaknya. Akan tetapi, anaknya hanya akan
memakan nasi dan ikan.

Wortel yang selalu dihidangkan akan terbuang tanpa dimakan. Pada akhirnya, wortel tersebut akan berakhir di tempat sampah
karena telah ditolak oleh anak di rumah itu yang tidak menyukai sayur.

Pada suatu siang, anak kecil itu tengah bermain di dapur sendirian. Ia lalu mendengar suara tangis yang datang dari dekat tempat
sampah yang menjadi tempat membuang wortel yang tidak dimakannya pagi ini.

"Siapa yang menangis?" tanyanya.

"Aku, wortel malang yang tidak pernah diinginkan."

"Wortel? Menangis?"

Anak itu tidak percaya, tetapi dirinya lalu melihat wortel yang bercucuran air mata dalam plastik sampah yang belum tertutup
sepenuhnya. "Mengapa kau menangis, wortel?"

"Karena kamu tidak pernah mau memakan wortel. Kamu selalu memakan nasi dan laukmu, tetapi tidak sayurmu."

Anak itu kebingungan menjawabnya, "Aku tidak menyukai sayur. Sayur terasa pahit."

"Apakah kamu pernah mencobanya? Kamu bahkan tidak pernah memakan wortel di piringmu barang sedikitpun. Sayur itu tidak
pahit, sayur justru baik untuk kesehatanmu."

"Benarkah?" tanya anak kecil itu tidak percaya.

"Iya, kalau tidak mengapa aku menangis begini? Aku memang sedih karena tidak dimakan olehmu setiap pagi, tetapi aku lebih
sedih kalau matamu menjadi buram karena kekurangan vitamin A yang sebenarnya bisa kamu dapatkan dariku," ucap wortel
dengan sisa tangisnya.

Mendengar itu, anak kecil itu pun berusaha memakan wortel keesokan harinya. Usahanya tersebut membuat orang-orang di meja
makan terkejut.

"Kamu sudah mau makan wortel, Nak?" tanya ibunya yang selama ini selalu menyingkirkan wortel di piringnya.

"Iya, Bu. Kemarin aku melihat wortel menangis karena tidak kumakan. Katanya, wortel bersedih selama ini tidak dimakan. Ia
tidak mau aku tidak sehat karena tidak memakannya," jawab anak kecil itu.

"Ah, benar. Makanan memang bersedih kalau disia-siakan. Mereka sesungguhnya mengandung manfaat yang baik buatmu.
Wortel ternyata lezat, kan?"

"Iya, Bu. Tidak terlalu buruk rasanya," jawab anak kecil itu sambil mencoba mencerna rasa sayur pertama yang dimakannya
dalam kunyahannya.

Pesan moral: Jangan membuang-buang makanan. Setiap makanan yang disajikan memiliki manfaat yang baik bagi tubuh kita
apabila dimakan, terutama sayur-sayuran.

11. Persahabatan Pelikan dan Ikan

Pelikan menyukai air dari laut yang jernih. Ia selalu meminum air dari laut setelah melalui perjalanan yang jauh di udara.

Pada suatu sore, pelikan yang baru mendekati laut melihat nelayan yang menebarkan jala tak jauh dari kerumunan ikan di dalam
laut yang berenang mendekat ke arah jala tersebut.

Berniat menolong, pelikan segera menenggelamkan kepalanya untuk menghalau ikan-ikan yang sontak menjauh dari jala. Ikan-
ikan itu berubah haluan, terkecuali satu ikan yang menatap pelikan dengan heran.

"Apa yang kau lakukan, burung?" tanyanya.

"Ada nelayan yang hendak menangkapmu dan saudara-saudaramu," jawab pelikan, lalu naik ke permukaan. Ia tidak dapat
bernapas dengan lama di dalam laut seperti ikan.

Ikan itu lantas mengikuti pelikan dengan sedikit menampakkan tubuhnya untuk berbicara, "Benarkah?"
"Lihatlah sendiri," pelikan menunjukkan jala tersebut dengan moncong mulutnya yang diarahkan. "Aku menyelamatkanmu."

Ikan itu menggepakkan insangnya, "Benar, kau menyelamatkanku. Terima kasih, pelikan."

Sejak hari itu, ikan itu akan menghampiri pelikan setiap pelikan datang ke laut untuk minum. Ikan akan bercerita mengenai hari-
harinya yang dilalui dengan gerombolan ikan lainnya.

Setelah ikan selesai, pelikan yang bergantian akan menceritakan mengenai perjalanannya di udara ataupun darat. Ikan yang tidak
dapat mengalami petualangan pelikan mendengarkan kisahnya dengan amat senang.

Pertolongan kecil pelikan pada sore itu membuahkan persahabatan antara pelikan dan ikan yang berumur panjang. Pelikan tidak
lagi kesepian setelah berpetualang di udara. Ia memiliki ikan yang akan menemaninya dengan cerita-cerita laut sambil meredakan
dahaga.

Pesan moral: Pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan dapat memberikan kebahagiaan yang tidak pernah disangka
sebagai hadiahnya. Oleh karena itu, selalu berikan pertolongan kecil kepada orang-orang yang membutuhkannya.

Anda mungkin juga menyukai