Anda di halaman 1dari 10

PERSIAPAN PEMASANGAN DAN PELEPASAN

ENDOTRAKEAL TUBE (ETT) SERTA SETTING VENTILATOR


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Keperawatan Kritis
yang dibina oleh Bapak Taufan Arif, S.Kep., Ns., M.Kep.

Kelompok 2 :
1. Bima Ariyu Putra Anggutar (P17211217137)
2. Ismi Malikka Isnaini (P17211217139)
3. Khairun Nisa Oktafiani (P17211217142)
4. Pramitha Yudha Nurul H. (P17211217152)
5. Rachelly Salsabila M. P. (P17211217157)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


PRODI DIV KEPERAWATAN MALANG
RINTISAN KELAS INTERNASIONAL
September 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Persiapan Pemasangan dan
Pelepasan Endotrakeal Tube (ETT) serta Setting Ventilator.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Taufan Arif,
S.Kep., Ns., M.Kep pada mata kuliah Keperawatan Kritis. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang persiapan pemasangan dan pelepasan
Endotrakeal Tube (ETT) dan serring Ventilator bagi para pembaca dan bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Taufan Arif, S.Kep., Ns., M.Kep selaku
dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari
bahwa makalah yang kami buat ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan
kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 28 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Persiapan Pemasangan Endotracheal Tube (ETT)


Intubasi Endotracheal Tube (ETT) adalah teknik yang dilakukan dalam pelaksanaan
anestesi serta untuk perawatan kritis penatalaksanaan perlindungan jalan napas,
memudahkan ventilasi positif, toileting paru, dan mempertahankan oksigenasi (Bardwaj,
2013). Intubasi ETT merupakan tindakan yang dilakukan dengan memasukkan pipa atau
selang khusus ke dalam trakhea melalui hidung, mulut, atau trakeal stoma (Susanti,
2019). Intubasi ETT berfungsi untuk mengontrol jalan napas ketika meresusitasi pasien
yang berada dalam kondisi kritis.

ETT pada umumnya terbuat dari PVC, karet, silikon, dan logam. Kebanyakan ETT
yang digunakan di ruang operasi atau IGD memiliki karakteristik dan fitur standar.
Selang ETT memiliki penanda ukuran dalam sentimeter yang berfungsi dalam membantu
mengukur kedalaman penyisipan selang dan memantau pergerakan selang. Beberapa
selang juga memiliki tanda yang dapat membantu dalam penyisipan dengan tepat
sehingga dalam pelaksanaan pemasukan tabung tersebut dapat langsung di lihat tanpa
menggunakan alat (Fernandez-Bussy et al., 2015).

Ujung selang ETT di desain menghadap ke samping atau menghadap ke arah kiri
karena pada umumnya tabung dimasukkan di sisi kanan laringoskop tangan kiri.
Penempatan ini membantu dalam memberikan visualisasi yang lebih baik dan agar lebih
mudah melewati pita suara. Di sisi lain bevel terdapat lubang tambahan yang disebut
dengan mata Murphy yang berfungsi sebagai jalan keluar gas apabila ada sumbatan pada
ujung selang karena menempel pada dinding trakea atau karena tersumbat lendir.

Kebanyakan selang memiliki balon tiup atau manset pada ujung selang. Manset ini
mengelilingi selang dan berfungsi untuk membentuk penutup pada dinding trakea.
Adanya manset ini bertujuan untuk mencegah kebocoran cairan ke dalam paru – paru.
Setiap selang memiliki sebuah adapter yang memungkinkan peralatan bantu napas atau
anestesi dapat disambungkan pada selang tersebut. Selain itu, ada sebuah penghubung
pada salah satu ujung selang yang berdiameter 15 mm yang berfungsi agar selang dapat
dipasangkan pada peralatan medis lain yang dapat menunjang pernapasan pasien.

Penempatan pipa ETT saat pemasangan harus dipastikan posisinya karena kesalahan
penempatan dapat menyebabkan komplikasi pada pasien seperti kerusakan neurologis
hingga kematian (Chou et al, 2015). Berdasarkan pedoman yang tertulis pada American
Heart Association (AHA), posisi selang saat tindakan intubasi ETT harus diverifikasi
melalui penilaian klinis dan alat konfirmasi. Dalam kebijakan American College of
Emergency Physicians (ACEP) ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam
melakukan pengecekan terhadap penempatan pipa ETT antaralain auskultasi dada dan
epigastrium, visualisasi pergerakan dada, visualisasi kabut dalam tabung, pengecekan
oksimetri nadi, hingg radiografi dada.

Selain posisi selang selama intubasi ETT, kesterilan alat dan penolong juga harus
diperhatikan. Hal ini dikarenakan pemasangan ETT dapat meningkatkan resiko
terjadinya Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) pada pasien. Pemasangan ETT
mengingkatkan kemungkinan pathogen untuk masuk kedalam jalan napas bagian bawah.
Salah satu hal yang menyebabkan pathogen mudah masuk melalui selang ETT adalah
karena adanya kontaminasi selang oleh cairan perut selama proses intubasi. Juga, dengan
adanya selang di antara pita suara juga seperti memberikan jalan bagi pathogen sehingga
lebih mudah untuk masuk kedalam jalan napas bagian bawah.

Pemasangan ETT menghambat penutupan epiglottis secara normal guna mencegah


terjadinya aspirasi. Penghambatan penutupan epiglottis ini mengganggu mekanisma
perlindungan tubuh seperti batuk dan pembersihan oleh saliva. Bakteri juga dapat
terakumulasi di bagian dalam ETT yang kemudian membentuk sebuah lapisan biofilm
yang sewaktu – waktu dapat lepas dan langsung menuju paru – paru.

2.2 Pelepasan Endotrakeal Tube (ETT)


Tindakan intubasi ETT dapat menimbulkan beberapa komplikasi pada pasien baik
sebelum, selama, dan setelah pemasangan. Hal ini dikarenakan proses intubasi
merupakan tindakan yang memasukkan suatu benda asing, yaitu selang ETT ke dalam
tenggorokan yang berkontak langsung dengan jaringan di epiglottis. Kontak langsung
jaringan dengan benda asing ini beresiko menimbulkan luka akibat gesekan yang terjadi
selama proses pemasangan.

Beberapa masalah yang seringkali muncul pada pasien pasca tindakan ekstubasi ETT
antaralain nyeri tenggorokan, suara serak, dan batuk (Susianto et al., 2020). Berdasarkan
hasil penelitian Satriyanto et al. yang dilakukan pada tahun 2014 menunjukkan bahwa
masalah nyeri tenggorokan meningkat setiap tahunnya hingga 50% tetapi sampai saat ini
masih belum dapat diatasi secara menyeluruh.
Terjadinya nyeri tenggorokan pada pasien pasca intubasi ETT disebabkan oleh trauma
oleh selang ETT di daerah laring, faring, dan trakea. Nyeri ini menimbulkan rasa gatal di
tenggorokan, sakit saat menelan, dan rasa tidak nyaman pada pasien. Komplikasi ini
dapat terjadi dalam 24 hingga 48 jam namun akan menghilang dengan sendirinya dalam
beberapa hari (Millizia et al., 2018).

Batuk – batuk juga merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul pada pasien
pasca ekstubasi ETT. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wales pada tahun
2008 dalam Gunawan et al. (2017) menunjukkan terjadinya kasus batuk sebanyak
35,6%. Batuk yang terjadi merupakan respon biologis tubuh guna menghindari aspirasi.
Meskipun bukan hal yang negatif, namun batuk yang berlebihan dapat menimbulkan
resiko lain yaitu hipertensi, palpitasi, peningkatan ICP, hingga iskemik koroner serta
aritmia yang dapat mengancam nyawa pasien.

2.3 Persiapan dan Setting Ventilator


BAB III
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Bhardwaj, N. (2013). Pediatric cuffed endotracheal tubes. Journal of anaesthesiology clinical


pharmacology, 29(1), 13-18.

Susanti, E. R. (2019). Perbedaan Respon Nyeri Tenggorokan Pasca Ekstubasi Laringeal


Mask Airway Dan Endotracheal Tube Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah
Yogyakarta (Doctoral dissertation, Poltekkes kemenkes Yogyakarta).

Chou, E. H., Dickman, E., Tsou, P. Y., Tessaro, M., Tsai, Y. M., Ma, M. H. M., ... &
Marshall, J. (2015). Ultrasonography for confirmation of endotracheal tube placement: a
systematic review and meta-analysis. Resuscitation, 90, 97-103.

Fernandez-Bussy, S., Mahajan, B., Folch, E., Caviedes, I., Guerrero, J., & Majid, A. (2015).
Tracheostomy tube placement. Journal of bronchology & interventional pulmonology, 22(4),
357-364.

Millizia, A., Maulina, F., & Ramadhani, T. W. (2018). Hubungan Nyeri Tenggorok Dan
Faktor Risiko Pasien Pasca Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi Endotrakeal Di Ppk
Blud Rsu Cut Meutia Aceh Utara. AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan
Malikussaleh, 4(2), 46. https://doi.org/10.29103/averrous.v4i2.1037

Satriyanto, M. D., Husaeni, H., & Wargahadibrata, A. H. (2014). Ketamin Kumur Efektif
untuk Mengurangi Sore Throat Pascaintubasi. Jurnal Anestesi Perioperatif, 2(1), 63–72.
https://doi.org/10.15851/jap.v2n1.237

Susianto, A., Pratiwi, H. M., & Simamora, E. K. (2020). Tablet Hisap Dan Relaksasi Nafas
Dalam Untuk Mengurangi Nyeri Tenggorok Pada Pasien Post Operasi Dengan General
Anesthesia (GA). Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine, 7(2), 409–414.
https://doi.org/10.36408/mhjcm.v7i2.513

Gunawan, A., Pradian, E., & Sitanggang, R. H. (2017). Perbandingan Pemberian Lidokain
2% 1, 5 mg/kgBB Intravena dengan Propofol 0, 3 mg/kgBB Intravena Setelah Anestesi
Umum Dihentikan terhadap Kejadian Batuk Saat Ekstubasi Bangun. Jurnal Anestesi
Perioperatif, 5(2), 104-112.

Anda mungkin juga menyukai