Ipan Maspupan-Fah
Ipan Maspupan-Fah
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Ipan Maspupan
NIM: 1113022000083
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan banyak
nikmat kepada setiap hamba-Nya dan jika dihitung, maka kita tidak akan sanggup
menghitungnya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada
baginda nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing manusia dari
zaman Jahiliyah menuju zaman yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Penghapusan Paham Muktazilah oleh Khalifah
Ja’far al-Mutawakkil” Alhamdulillah telah diselesaikan oleh penulis, meskipun
penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya dukungan dari banyak pihak.
Maka patutlah penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah mendukung, baik dalam bentuk materi ataupun nonmateri. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
4. Solikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekertaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
5. Dr. H. Abd. Chair selaku dosen pembimbing yang dengan kebaikan hati
dan kesabarannya telah memberikan arahan, sumber-sumber, nasihat dan
masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing penulis dari semester satu hingga mendapatkan
dosen pembimbing skripsi.
7. Dr. Usep Abdul Matin, MA (penguji I) dan Nurhasan, S.Ag, MA (Penguji
II). Terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kritik, saran, dan
koreksi yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan
skripsi penulis.
8. Seluruh dosen Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis selama berada di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
9. Papah dan mamah (Sukandi, alm dan Siti Saja’ah ) yang tidak pernah lelah
menengadahkan kedua tangannya guna mendoakan keselamatan putra
v
putrinya, memberikan pengorbanan, dukungan moril maupun materil,
nasihat, dan kasih sayang.
10. Saudara saudari penulis (Imas Maspupah, M. Iqbal, Pia Sopiah, Alfa
Muhammad Said, Qisthina Amajida, dan Hani Puspita Amalia) yang
selalu memberikan motivasi, masukan, dan dukungan.
11. Saudara-saudara THE DJAVU Vespa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang selalu menghibur dan selalu membantu kawan-kawan seperjuangan,
Komunitas ANAK PANAH dan kawan-kawan NAGA HITAM yang tidak
kenal lelah berjuang bersama.
12. Seluruh angkatan 2013 Sejarah Kebudayaan Islam yang selalu membantu
dalam proses belajar selama empat tahun, memberikan semangat dan
saling bekerjasama dalam belajar.
Ipan Maspupan
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK……....……………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR…………………….......……....………………………. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………..………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
vii
BAB III AL-MUTAWAKKIL SEBAGAI KHALIFAH
A. Biografi al-Mutawakkil…………………………………...……………...33
B. Pengangkatan al-Mutawakkil sebagai Khalifah……………....………….33
C. Keadaan Sosial, Politik, dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil...….35
D. Pembunuhan terhadap al-Mutawakkil……...…………………………….41
E. Silsilah Dinasti Abbasiyah……………………..……………………….. 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………..……………………………….57
B. Saran…………………………..…………………………………………58
DAFTAR PUSTAKA
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
ix
23. ل L el
24. م M em
25. ن N en
26. و W we
27. ه H ha
28. ء ` Apostrof
29. ي Y ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama seperti vokal pada bahasa Indonesia.
Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal, rangkap, dan panjang.
a. Vokal tunggal (monoftong)
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat yang
transliterasinya diuraikan sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹶ a fatẖah
ﹶ i Kasrah
ﹶ u ḏammah
x
c. Vokal panjang (madd)
vokal panjang dilambangkan dengan harakat dan huruf, transliterasinya
adalah sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
ﺍ----َ â a dengan topi di atas
ﻱ----َ î i dengan topi di atas
ﻮ----َ û u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwan bukan ad-dîwân.
d. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ّ. Dalam alih aksara ini dilambang dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis al-
ḍarûrah melainkan ad-ḍarûrah, demikian seterusnya.
e. Ta marbūthah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na՛ t) (lihat contoh 2). Namun
jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
xi
2 الجامعة اإلسالمية al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3 وحدة الوجود wahdat al-wujûd
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Wȃṣil bin Aṭa᷾ sering juga disebut `Abȗ Huzaifah dan lebih dinenal dengan gelar al-
Gazzal, ia lahir pada tahun 80 H di Madinah dan meninggal pada tahun 131 H di Bashrah. Wȃṣil
bin Aṭa᷾ adalah seorang teolog dan filusuf terkemuka pada masa Dinasti `Umayyah, pada mulanya
ia belajar kepada `Abȗ Hȃsyim ‘Abdullȃh bin Muhammad al-Hanafiyah, selanjutnya ia banyak
menimba ilmu di Mekkah dan banyak mengenal ajaran-ajaran Syiah di Madinah, kemudian ia
melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru kepada Hasan al-Baṣri.
2
Philip K. Hitti, History of Arab (Jakarta: Serambi, 2005), h. 306.
3
Al-Syȃfi’i adalah ulama pertama yang menyusun buku tentang `Uṣȗl Fiqh. Bagi bidang
`Uṣȗl Fiqh ini beliau menulis kitab al-Risȃlah, Ahkȃm Al-Quran, Ikhtilȃf al-Hadȋṥ, Ibṭȃl al-
Istihsȃn, Jama᷾ al-᷾Ilm, dan al-Qiyȃs.
4
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam (Jakarta: Serambi, 2005), h.26
1
2
Wȃṣil pernah belajar pada Hasan al-Baṣri,5 yang cendrung pada doktrin
kebebasan berkehendak, yang kemudian menjadi doktrin utama dalam sistem
keyakinan orang Muktazilah, doktrin tersebut pada saat itu dianut oleh kelompok
Qadariyah. Pengikut Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep
takdir dalam Islam. Kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam al-Qur’an,
dan pengaruh Yunani Kristen. Pengikut Qadariyah adalah mazhab filsafat Islam
yang pertama, dan besarnya pengaruh pemikiran mereka bisa disimpulkan dari
kenyataan bahwa dua khalifah `Umayyah, Mu᷾ȃwiyah II, dan Yazȋd III, merupakan
pengikut Qadariyah.6
Al-Ma`mȗn al-Rasyȋd dengan nama asli Abdullah al-Ma`mȗn bin Harun
al-Rasyȋd bin al-Mahdi7 yang gairahnya pada pemikiran filsafat menumbuhkan
ajaran baru dalam agama negara, pada tahun 827 M mendeklarasikan suatu
pernyataan penting tentang “keterciptaan (khalq) al-Qur’an”. Ajaran itu
menentang pandangan ortodoks dengan menegaskan bahwa pada bentuk
aktualnya al-Qur’an merupakan reproduksi identik dari model aslinya di langit.
Ajaran baru “al-Qur’an sebagai mahluk” segera menjadi pijakan baru umat Islam
saat itu. Al-Ma`mȗn melangkah lebih jauh dengan mewajibkan para hakim yang
akan bertugas agar mengikuti ujian seputar konsep barunya. Pada tahun 833 M,
khalifah memberlakukan suatu keputusannya yang tidak populer yang
menegaskan bahwa setiap hakim atau calon hakim yang tidak mengakui ajaran
“al-Qur’an sebagai mahluk” tidak boleh menjadi hakim atau diangkat sebagai
hakim.8
Pada masa al-Ma`mȗn, paham Muktazilah dijadikan paham resmi negara.
Ia mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti paham ini. Bagi yang tidak
5
Hasan al-Baṣri adalah seorang sufi angkatan tabiin, seorang yang sangat takwa, warak
dan zahid. Nama lengkapnya adalah `Abȗ Sa᷾ȋd al-Hasan ibn `Abȋ al-Ḥasan. Lahir di Madinah pada
tahun 21 H.
6
Philip K. Hitti, History of Arab, h.306.
7
Al-Ma`mȗn dilahirkan pada tanggal 15 Rabiulawal 170 H atau 14 September 786 M dan
meninggal pada tanggal 18 Rajab 218 H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M. Beliau bergelar
`Abȗ al-᷾Abbȃs. Al-Ma`mȗn adalah salah seorang Khalifah Bani ᷾Abbȃs, beliau anak kedua
Khalifah Harun al-Rasyȋd dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia
diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.
8
Philip K. Hitti, History of Arab, h. 542.
3
mau mengikuti paham ini maka ia akan dihukum. Untuk menguji paham
seseorang apakah Muktazilah atau bukan, ia memberlakukan al-Mihnah
(inquisition),9 semacam lembaga penyelidik untuk meneliti paham seseorang.
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam al-Mihnah adalah tentang
kemakhlukan al-Qur’an. Bagi yang menentang paham bahwa al-Qur’an bukan
mahluk maka ia akan diberi hukuman. Salah satu ulama terkenal yang menjadi
korban al-Mihnah adalah Ahmad bin Hanbal. Ia disiksa dan dipenjara selama
bertahun-tahun karena bertahan dengan pendapatnya bahwa al-Qur’an bukan
makhluk.10
Ahmad bin Hanbal, meninggalkan dua jejak sejarah penting, yakni
perlawanannya terhadap lembaga al-Mihnah dan keteguhannya terhadap prinsip
bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang azali, bukan makhluk, yang
berefek pada kekalahan al-Mihnah; serta kesungguhan usahanya untuk menyusun
hadis berdasarkan rangkaian periwayat, sebagai satu cara untuk menguji otentitas
hadis melalui kritik historis pada para periwayat hadis.11
Sebagai sebuah sistem pemikiran, ilmu fikih menempati posisi di antara
dua kajian ekstrem dalam ilmu-ilmu agama Islam. Di satu sisi, teologi filsuf yang
disebut kalam, diwakili oleh kelompok Muktazilah, yang menyokong kekuatan
akal, al-Qur’an dan Sunnah bisa diterima selama sesuai dengan akal. Di sisi lain,
aliran tradisional ekstrem, yang bersandar pada ketaatan berlebih-lebihan, mencari
perlindungan pada al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad Saw dan membatasi
ruang gerak akal. Kajian fikih menengahi dominasi wahyu dengan memanfaatkan
akal sebagai pendukung, karena itu di satu sisi, fikih menolak anggapan bahwa
teologi filsuf tidak Islami; di sisi lain ia menjalin kebersamaan dengan aliran
tradisional dengan tetap berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di antara dua
aliran ekstrem ini, fikih mengupayakan jalan tengah berupa rasionalisme teologi
filsuf dan fanatisme progresif. Ia menahan laju dominasi rasionalisme teologi
9
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 45.
10
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h. 46.
11
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h.27.
4
filsuf dan fanatisme pada Sunnah yang berlebihan; fikih menempuh jalannya
sendiri untuk menyeimbangkan akal dan wahyu.12
Di samping doktrin utama kebebasan berkehendak, kelompok Muktazilah
menambahkan doktrin lain, seperti penolakan terhadap kesatuan antara Tuhan dan
sifat-sifatnya, seperti Berkuasa, Bijaksana, dan Mahahidup, dengan argumen
bahwa konsep semacam itu akan merusak keesaan Tuhan. Oleh karena itu,
julukan yang sangat disukai oleh kalangan Muktazilah untuk kelompok mereka
adalah “Pendukung Keadilan dan Keesaan”. Gerakan paham rasionalis ini
mengalami masa kejayaannya pada masa Dinasti ᷾Abbȃsiyah terutama pada masa
al-Ma`mȗn (813-833 M).13
Berawal dari restu khalifah al-Ma`mȗn (813-833), al-Mihnah berlangsung
hingga tiga khalifah selanjutnya, Al-Mu᷾taṣim (218-227 H/833-842 M), al-wȃṥiq
(227-232 H/842-847 M), dan al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M). Periode al-
Mihnah berlangsung selama lima belas tahun, dari 218 hingga 233 H (833-848
M). Ketika al-Mihnah berakhir pada tahun kedua khalifah al-Mutawakkil,
Muktazilah banyak menerima kerugian. Pada pertengahan abad ke-9 M, gerakan
tradisionalis mendapatkan kemenangannya kembali dan berhasil mengalahkan
aliran Muktazilah, di bawah pemimpin pahlawan anti-mihnah, Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H/855 M).14
Keberpihakan al-Ma`mȗn terhadap paham Muktazilah tampaknya tidak
dapat dipisahkan dari kehausannya akan pengetahuan yang rasional. Kecintaannya
terhadap filsafat mendorongnya untuk lebih menyetujui paham Muktazilah yang
rasional dan filosofis daripada paham yang lain.
Setelah al-Ma`mȗn wafat, Khalifah al-Mu᷾taṣim dengan nama lengkapnya
`Abȗ Ishȃq Muhammad bin Harun al-Rasyȋd bin al-Mahdi bin al-Manṣȗr ia naik
menggantikan al-Ma`mȗn pada tahun 833 M.15 Pengangkatan al-Mu᷾taṣim tidak
disetujui oleh sekelompok tentara yang menginginkan ᷾Abbȃs, anak al-Ma`mȗn,
sebagai penguasa mereka. Meskipun demikian, kerusuhan yang muncul dapat
12
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h.50.
13
Philip K. Hitti, History of Arab, h. 307.
14
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h. 30.
15
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h. 46.
5
16
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2016), h. 409.
17
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 416.
18
Joesoef Sou’yb, Daulah A᷾ bbȃsiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 7.
19
Joesoef Sou’yb, Daulat Abbasiah II, h. 9.
6
20
Joesoef Sou’yb, Daulat Abbasiah II, h.10.
21
Joesoef Sou’yb, Daulat Abbasiah II, h. 10.
7
sebagai berikut:
1. Bagaimana Paham Muktazilah dalam Daulah ᷾Abbȃsiyah sebelum al-
Mutawakkil?
2. Bagaimana Biografi al-Mutawakkil sebagai Khalifah?
3. Bagaimana Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis?
Berangkat dari rumusan masalah yang telah penulis ajukan di dalam
bagian ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan penulis cari jawabannya dengan
menggunakan sumber-sumber dan metode penelitian yang akan penulis jelaskan
dalam bagian selanjutnya.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana mazhab Muktazilah berkembang di Dinasti ᷾Abbȃsiyah.
2. Mengetahui bagaimana biografi khalifah Ja᷾far al-Mutawakkil,
3. Mengetahui penyebab paham Muktazilah bisa dihapuskan oleh Khalifah Ja᷾far
al-Mutawakkil dan mulai menguatnya Ahli Hadis.
E. Manfaat Penelitian
1. secara akademis memberikan wawasan yang luas tentang kondisi Umat Islam
pada masa Dinasti ᷾Abbȃsiyah,
2. sebagai bahan perbandingan bagi penulis selanjutnya,
3. menambah perbendaharaan ilmu pengatahuan,
4. secara praktis memberikan manfaat bagi penulis dan para pecinta studi
penelitian sejarah dalam rangka upaya pengembangan sejarah Islam umumnya
dan khususnya pada masa penghapusan paham Muktazilah oleh khalifah al-
Mutawakkil
F. Tinjauan Pustaka
Karya-karya yang berkaitan dengan Dinasti ᷾Abbȃsiyah dan kebijakan
keagamaannya menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan. Dengan demikian,
hal ini menarik pula untuk diteliti. Karya-karya tersebut baik dalam bentuk buku,
jurnal, artikel, maupun majalah, di antaranya:
8
laporan tangan pertama ditarik dengan detail dan dijelaskan dengan sangat
menarik.
Volume tersebut menggambarkan puncak “periode Samarra setelah
perpindahan al-Muktaṣim dari ibu kota ᷾Abbȃsiyah dihukum dari Baghdad
sampai Samarra, ada tiga Khalifah yang digambarkan dalam buku ini: putra
dan penerus Al-Mu᷾taṣim yaitu, al-Waṭiq, al-Mutawakkil dan al-Muntaṣir
(putra al-Mutawakkil).
3. Selanjutnya buku “Daulah ᷾Abbȃsiyah”. Yang ditulis oleh Joesoef Sou’yb.
Buku ini mengupas tuntas Dinasti ᷾Abbȃsiyah mulai dari berdirinya di
Khurasan, pemerintahan Bani Buwaih, berdirinya Dinasti Hamdaniyah
hingga runtuhnya Dinasti Fȃṭimiyah. Kegemilangan periode pemerintahan al-
Mahdi, Harun al-Rasyȋd, dan al-Ma`mȗn yang disertai dengan intrik-intrik
politik untuk memperoleh kekuasaan, juga dituturkan secara runtut dalam
buku ini.
4. Selanjutnya buku “Tarikh Khulafȃ: Sejarah Para Khalifah” di sini
menjelaskan literatur Islam klasik tentang sejarah para khalifah dan
kekhilafahan. Imam as-Suyȗṭi penulisnya mengawali kajiannya dengan
menyebutkan syarat-syarat penetapan khalifah beserta dalil-dalilnya,
dilanjutkan dengan pemaparan sejarah kehidupan para khalifah, mulai dari al-
al-Khulafȃ al-Rȃsyidȗn, Bani `Umayyah , Bani ᷾Abbȃsiyah, hingga khalifah-
khalifah bayangan yang memisahkan diri dari pusat kekhilafahan Islam yang
resmi. Penjabarannya dilengkapi dengan uraian pelbagai peristiwa penting
yang terjadi dalam periode kekuasaan setiap khalifah, prestasi maupun
kegagalan mereka, serta pasang surut pemerintahan mereka.
Kelengkapan dan kesahihan rujukan yang digunakan penulisnya, serta
pemaparan episode sejarah dan peristiwa historis yang sistematis merupakan
keunggulan karya ini. Dengan menelaahnya, para pembaca dapat
menapaktilasi kehidupan para pemimpin kaum Muslimin dulu, mengetahui
sebab-sebab kejayaan dan kejatuhan suatu periode kekhilafahan, serta
memetik pelajaran dari kepemimpinan maupun pemerintahan para khalifah
tersebut.
10
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan
oleh Pierre Bourdieu, ia mencetuskan bahwa doxa memiliki sejumlah makna
terkait dangan jenis pemahaman yang bekerja, tetapi konsep secara luas mengacu
pada kesalahpengenalan (misrecognition) dari bentuk kesewenang-wenangan
sosial yang menimbulkan ketidakteraturan, non-discursive, tetapi dihayati dan
pengakuan praktis atas kesewenang-wenangan sosial yang sama. Hal ini
memberikan kontribusi untuk reproduksinya dalam lembaga-lembaga sosial,
struktur dan hubungan serta pikiran dan tubuh, harapan dan perilaku. 22 Doxa
mengacu pada pra-refleksif pengetahuan intuitif yang dibentuk oleh pengalaman,
kepada kecenderungan fisik dan relasional yang diwarisi secara tak disadar. Doxa
merupakan seperangkat keyakinan dasar (a set of fundamental belief) yang bahkan
tidak perlu ditegaskan dalam bentuk yang eksplisit, dogma yang disadari dengan
sendirinya.23
Konsep doxa sebagai kepercayaan bersama yang tidak dipertanyaan lagi
membentuk sebuah arena, mendasari gagasan yang menghubungkan pada
kekuasaan simbolik, secara khusus relevan dengan pemahaman relasi sosial dalam
masyarakat modern. Dalam konteks ini, doxa mengambil bentuknya sebagai
kekuasaan simbolik yang memediasi berbagai bentuk akumulasi modal (budaya,
ekonomi, sosial). Kekuasaan ini dijalankan melalui kebiasaan, mekanisme,
perbedaan dan asumsi-asumsi, kekuatan dan legitimasinya berada di dalam
kesalah-pengenalan (misrecognition) atas kareakter kemunculan dan reproduksi
sosial historis yang sewenang-wenang.24
Dengan demikian, doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif
yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari praktik dan persepsi individu
menjadi praktik dan persepsi yang diterima kelompok atau institusi sosial lainnya
(universe of undispute). Artinya, doxa dapat menciptakan legitimasi bagi wacana
22
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, (UK: Acumen, 2008), h. 119-
120.
23
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, h. 119-120.
24
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, h. 121.
12
dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh institusi25 yang ada dalam
masyarakat. Sebagaimana ruang sosial yang selalu bergerak, di dalam doxa
terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan
orthodoxy. Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha memberikan
penilaian negatif terhadap doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana yang terus
berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) doxa.
H. Metodologi Penelitian
Laporan penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang
digunakan adalah metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan
26
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Poin-poin
penting yang akan ditulis dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana dan
masanya. Adapun analisa pada faktor-faktor politik menjadi faktor pendukung.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melalui beberapa tahapan yaitu
pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah).
1. Pemilihan Topik
Dalam hal ini penulis memilih “Penghapusan Paham Muktazilah oleh
Khalifah al-Mutawakkil”. Adapun metode yang digunakan oleh penulis adalah
deskripsi-analisis yang dilanjutkan dengan perencanaan penelitian. Dalam rencana
penelitian, penulis mengemukakan permasalahan dan garis besar yang akan
dibahas.
2. Heuristik (pengumpulan sumber)
Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber terkait
dengan tema penelitian, baik itu dalam bentuk buku seperti Ḍuhȃ al-Islȃm, Fajr
al-Islȃm, Zuhr al-Islȃm, Tȃrȋkh al-Khulafȃ dengan penulis-penulis yang semasa
pemerintahan masa itu, e-book, jurnal, surat kabar, artikel, sumber tak terbit
25
Istilah institusi yang dipakai Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi
tertentu, tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan
berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi
inilah yang memberikan otoritas kepada penutur (agen) untuk melakukan tindakan sebagaimana
ujaran yang diucapkan dalam ujaran performatif.
26
Louis Gottschalk. Mengerti sejarah. Terj: Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI Press.
1983. h.3.
13
(skripsi dan tesis) dan berita media elektronik. Penulis mendapat sumber-sumber
tersebut dari Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, dan Perpustkaan Nasional Republik Indonesia.
3. Verifikasi (kritik sumber)
Setelah penulis berhasil mengumpulkan beberapa sumber, kemudian
penulis melakukan verifikasi terhadap sumber-sumber yang telah didapat tersebut
dengan tujuan untuk mengetahui sumber tersebut bersifat objektif dan tidak.
Penulis banyak mengambil sumber dari buku-buku yang semasa dengan
pemerintahan masa itu, seperti Ahmad Amin. Dari sumber-sumber tersebut
penulis menerjemahkan agar bisa memahami permasalahan-permasalahan yang
penulis bahas dalam tulisan tersebut. Penulis mengklasifikasikannya dalam
sumber primer, sekunder, dan sezaman. Tujuannya adalah untuk menemukan
fakta yang valid sesuai dengan penelitian ini.
4. Interpretasi (penafsiran)
Selanjutnya, dari data yang sudah diverifikasi tersebut penulis melakukan
interpretasi atau penafsiran tentang persisnya peristiwa yang terjadi. Karena dari
beberapa sumber yang penulis ambil, penulis-penulis sejarah pada masa itupun
tidak lepas dari penguasa, yang artinya Ini dilakukan untuk mencari keterkaitan
antara masing-masing sumber, juga untuk dijadikan sebagai argumen. Dengan
begitu dapat disimpulkan data yang dimaksud dalam penulisan ini.
5. Historiografi (penulisan sejarah)
Tahap yang terakhir dalam penelitian ini adalah penulisan sejarah. Pada
tahap ini, penulis akan menuangkan semua pemahaman, analisis, dan jawaban
dari penelitian ini ke dalam tulisan sejarah yang deskriptif- analitis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya.
Seperti tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemerintahan, berikut hubungan
para tokoh dengan pemerintahan yang bertemu dalam satu permasalahan
mengenai penghapusan paham Muktazilah tersebut.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini mempunyai tiga hal
yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berupa
14
pendahuluan, isi, dan akhir atau kesimpulan yang selalu berkaitan antara satu bab
dengan bab lainnya. Di dalam tiap bab tersebut juga terdapat beberapa subbab
yang jumlahnya tidak mengikat meskipun tetap dalam koridor penguraian hasil
penelitian.27
Pada Bab I, berisi latar belakang masalah, identifikasi permasalahan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Pada Bab II, Paham Muktazilah Dalam Daulah ᷾Abbȃsiyah sebelum al-
Mutawakkil.
Pada Bab III, Al-Mutawakkil Sebagai Khalifah dengan subbab yaitu Asal
Usul al-Mutawakkil, Pengangkatan al-Mutawakkil Sebagai Khalifah, Keadaan
Sosial, Politik dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil, Pembunuhan terhadap
al-Mutawakkil dan silsilah Dinasti ᷾Abbȃsiyah.
Pada Bab IV, Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis.
Pada Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran yang dilengkapi dengan
daftara pustaka.
27
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 69.
BAB II
Aliran Muktazilah adalah aliran pikiran Islam yang terbesar dan tertua,
yang telah memainkan peranan yang sangat penting. Orang yang hendak
mengetahui filsafat Islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan
agama dan sejarah pemikiran Islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang
orang-orang Muktazilah, bukan yang dikarang oleh orang-orang yang lazim
disebut filsuf-filsuf Islam, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Aliran Muktazilah lahir
kurang lebih pada permulaan abad kedua Hijrah di kota Basrah, pusat ilmu dan
peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan
pertemuan bermacam-macam agama.28
Nama Muktazilah bukan ciptaan orang-orang Muktazilah sendiri, tetapi
diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Muktazilah menamakan dirinya
"ahli keadilan dan keesaan" `ahlu at-Tȃl wa at-tauhȋdȋy. Nama Muktazilah
diberikan karena:
1. Orang-orang Muktazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat,
karena mereka (orang-orang Muktazilah) mengatakan bahwa orang
fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukmin tidak pula
kafir.
2. Wȃṣil bin Aṭa᷾, pendiri aliran Muktazilah, berbeda pendapat dengan
gurunya, yaitu Hasan al-Baṣri, dalam soal tersebut di atas yang
karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya
dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut banyak. Melihat
tindakan Wȃṣil dan temannya itu, Hasan al-Baṣri pun berkomentar
dengan kata: “I᷾tazala ᷾Annȃ Wȃṣil” (Wȃṣil telah memisahkan diri dari
28
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), cet-12, h. 43.
15
16
Ada pula versi lain sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Wȃṣil
dan temannya ᷾Amr bin ᷾Ubaid diusir oleh Hasan al-Baṣri dari majelisnya karena
adanya perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang
mukmin yang berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan al-
Baṣri dan mereka pun disebut dengan kaum Muktazilah karena pendapat mereka
memisahkan diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang
berdosa besar.32
29
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo Mesir : Mushṭafȃ al-Baby al-Halaby,
1961), h.48.
30
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, h. 44.
31
Mawardy Hatta, “Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” Ilmu
Ushuluddin, V. 12, No. 1 (Januari 2013): h. 88.
32
Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq ( Cairo: Maktabah Ali Sabih), h. 20.
17
33
Ahmad Amin, Ẓuhr al-Islȃm IV (Cairo Mesir: Maktabah al-Nahḍah, 1975), h.7.
34
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, 1969), h.289.
35
Ahmad Amin, Fajr al-Islȃm, h.290.
36
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89.
37
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, h. 45.
18
38
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, juz III. (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h. 8.
39
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru,
2003), h. 122.
19
40
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 122.
41
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 123.
42
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 123.
20
43
Taufiq Abdullah, “Era Pengaruh Turki,” dalam Starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, vol. I (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 98.
44
Abu Zahrah, Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah ( Cairo Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.), h.
180-181.
45
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 176.
21
46
Abu Zahrah, Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah, h.182.
47
Abu Zahrah, Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah, h.183.
48
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Waljamaah?
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987).h. 44.
49
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk, h.44.
22
50
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), cet.II, h.102.
51
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 60.
52
Louis Ma’luf, a-Munjȋd fȋ al-Lughah wa al-᷾Ȃlam (Beirut: Dȃr al-Masyriq, 1973), h.
750.
53
Hans Wehr, (Jerman: Hans Wehr lahir, 5 Juli 1909, meninggal, 24 Mei 1981) ia adalah
seorang Arabis Jerman. Seorang profesor di Universitas Munster dari tahun 1957-1974, dia
menerbitkan majalah Arabisches Worterbuch (1952), yang kemudian diterbitkan dalam edisi
bahasa Inggris sebagai A Dictionary of Modern Written Arabic, disunting oleh J Milton Cowan.
Saat ini, karya tersebut dianggap sebagai kamus ilmiah standar bahasa Arab untuk siswa dan
cendekiawan bahasa Inggris. Untuk kamus Wehr membuat skema transliterasi untuk mewakili
alfabet Arab. Edisi terakhir kamus ini diterbitkan pada tahun 1995 dan hanya bahasa Arab-Jerman.
54
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz),
1960, h. 895.
23
unik, tidak ada yang serupa dengannya. Mereka menolak paham antropomorfisme
yaitu menggambarkan Tuhan dekat dengan makhluknya. Satu-satunya sifat Tuhan
yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya ialah sifat qadȋm. Hanya zat
Tuhan yang boleh qadȋm. Mengakui al-Quran qadȋm adalah syirik, karena berarti
ada yang qadȋm selain Allah.55
Surat pertama khalifah al-Ma`mȗn kepada gubernur ibu kota Baghdad,
Emir `Ishȃq bin `Ibrȃhȋm bin Muṣ᷾ab menyatakan sifat al-Ma`mȗn mengenai
masalah kalȃmullah di dalamnya dikaitkan masalah kitab suci al-Qur’an.56
Khalifah al-Ma`mȗn, putra khalifah Hȃrȗn al-Rasyȋd, setelah menjadikan
teologi Muktazilah sebagai paham resmi yang dianut negara, lalu beliau
mengumumkan pula tentang kemakhlukan al-Qur’an.57
Sebenarnya paham tentang kemakhlukan al-Qur’an ini sudah ada pada
masa khalifah bani `Umayah terakhir, pada masa khalifah Marwan bin
Muhammad. Paham ini dilontarkan oleh Jaad bin Dirham, guru Marwan. Jȃd
memperolehnya dari Aban bin Saman, sedangkan Aban sendiri memperolehnya
dari Ṭalut bin Aṣam, seorang Yahudi. Jȃd mempunyai murid bernama Jaham bin
Ṣafwan, yang kelak mempunyai pengaruh yang besar dalam pemikiran
Muktazilah, karena pahamnya tersebut, akhirnya ia dibunuh oleh Khalid bin
Abdillah al-Qasri, wali Kufah.58
Pada masa Khalifah Hȃrȗn al-Rasyȋd, paham tentang kemakhlukan al-
Qur’an ini dikemukakan oleh Basyar al-Marisi. Khalifah marah sekali sehingga
beliau mengatakan “kalau Tuhan memberi panjang umurku dan aku bersua
dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia". Akhirnya Basyar al-Marisi
menyembunyikan diri sampai khalifah meninggal dunia.59
Setelah mengumumkan kemakhlukan al-Qur’an, khalifah al-Ma`mȗn
melancarkan al-Mihnah kepada para qȃḍȋ, para pejabat dan tokoh masyarakat.
55
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 151.
56
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
151.
57
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan (Jakarta:
UI-Press, 1986), h. 53.
58
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 162.
59
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 162.
24
Tujuannya adalah untuk meluruskan akidah warga negaranya, karena banyak para
qȃḍȋ yang juga meyakini qadȋmnya al-Qur’an, padahal mereka harus dapat
dipercaya, yang dapat dipercaya hanyalah yang benar imannya.60
Pelaksanaan al-Mihnah dijelaskan oleh Harun Nasution sebagai berikut:
Perintah untuk menguji dan memeriksa itu dalam bentuk instruksi pemerintah
kepada gubernurnya, yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim
(al-Quḍȃh). Instruksi itu menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-Qur’an
bersifat qadȋm, dan dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak untuk
menjadi hakim. Bukan para hakim dan para pemuka saja yang dipaksa mengakui
bahwa al-Qur’an diciptakan, yang menjadi saksi dalam perkara yang diajukan di
Mahkamah juga harus menganut paham demikian. Jika tidak, kesaksiannya batal.
Kemudian ujian serupa dihadapkan pula kepada para pemuka tertentu dari
masyarakat, karena yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul
menganut paham tauhid. Ahli fikih dan hadis di waktu itu mempunyai pengaruh
besar dalam masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-Qur’an,
tentu banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran Muktazilah.61
Langkah pertama yang dilakukan al-Ma`mȗn adalah menulis surat kepada
Ishȃq bin Mushab, Gubernur Baghdad, pada bulan Rabiulawal 218 H. Surat
tersebut berisi antara lain tentang kemakhlukan al-Qur’an dan agar menguji para
qȃḍi dan Ahli Hadis. Surat yang sama juga dikirimkan kepada Gubernur Mesir,
Kaidar. Beliau menguji Harun bin Abdullah al-Zuhri, qȃḍi Mesir waktu itu.
Dalam jawabannya ia mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Selanjutnya
ia menguji para saksi dan muhaddiṥȋn.62
Surat kedua dikirimkan kepada Ishȃq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad
untuk menguji tujuh orang muhaddiṥȋn yaitu Muhammad bin Sa᷾ad, Abu Muslim,
Yahya bin Main Zuhair bin Harb Abu Ṥamah, Ismail bin Daud, Ismail bin Abi
Mas᷾ȗd, dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauraqi. Dalam pengujian itu, mereka
60
Ris’an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya (Jakarta:
Gramedia Group, 2015), h. 91.
61
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 62.
62
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 170.
25
63
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 170.
64
Di dalam lingkungan aliran Syiah pada masa itu ada suatu sikap yang diizinkan
terhadap para pengikutnya, yang disebut dengan al-Taqiyat, yang artinya diperbolehkan mengikuti
apapun yang dipaksakan oleh pihak penguasa asalkan pendirian didalamnya teguh dan tidak
berubah-ubah. Maka Ishak ibn Hanbal menganjurkan keponakannya supaya meminjam sikap al-
Taqiyat tersebut. Tetapi anjuran itu ditolak oleh Ahmad ibn Hanbal.
65
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 170.
66
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 176.
26
67
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 177.
68
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63.
69
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 172.
70
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
172.
27
71
Taufiq Abdullah, “Era Pengaruh Turki,” h. 98.
72
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
173.
28
berjauhan dari Abu Abdullah Ahmad bin Daud untuk suatu perundingan...
karena itu maka bisa kita katakan bahwa Al-Mu᷾taṣim didalam banyak hal
adalah lanjutan dari saudaranya al-Ma`mȗn .”
Lanjutan dalam perkara al-Qur’an adalah mahluk, sikapnya terhadap
pemberontakan Zatti sehingga berhasil menumpasnya, seperti yang telah
disebutkan dahulu tentang pertarungannya dengan gerakan Khurraiyah sehingga
mencapai kejayaan, kehebatan dan keagungannya berhadapan dengan tentara
Roma ketika beliau telah memperlihatkan kecakapan yang luar biasa di medan
perang Amuriyah.
Sementara itu `Imȃm `Ahmad bin Hanbal telah terpandang hero oleh
kalangan awam, sebagai pahlawan yang teguh hatinya dalam mempertahankan
pendirian di kalangan al-Muhaddisȋn, yang bertahan dengan tetapi tidak mengakui
al-Qur’an sebagai makhluk, yang mengakibatkan kemarahan dalam kalangan
khalifan. Bahkan konon pamannya sendiri, `Ishȃq bin Hanbal, pernah berkunjung
ke penjara dan menganjurkan kepada keponakannya yang sudah berusia lanjut itu,
supaya menyerah dan mengakui saja bahwa al-Qur’an itu suatu ciptaan Allah atas
dasar at-Taqiyah.73
Khalifah al-Mu᷾taṣim pernah suatu hari memerintahkan untuk membawa
`Imȃm `Ahmad bin Hanbal dari penjara untuk menghadapnya. Dalam majelis
penghadapannya itu turut hadir hakim agung Ahmad bin Abi Daud beserta
sahabat-sahabatnya dari aliran Muktazilah dan ruangan majelispun penuh dengan
para hakim yang sudah dikumpulkan beserta pembesar-pembesar pemerintahan.74
Berlangsung tanya jawab sebagai berikut:
Al-Mu᷾taṣim: coba jelaskan pendirian Anda?
73
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
173. Didalam lingkungan aliran Syiah pada masa itu ada suatu sikap yang diizinkan terhadap para
pengikutnya, yang disebut dengan al-Taqiyat, yang artinya diperbolehkan mengikuti apapun yang
dipaksakan oleh pihak penguasa asalkan pendirian didalamnya teguh dan tidak berubah-ubah.
Maka Ishak bin Hanbal menganjurkan keponakannya supaya meminjam sikap at-Taqiyah tersebut,
tetapi anjuran itu ditolak oleh Ahmad bin Hanbal.
74
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
174.
29
`Ahmad bin Hanbal: saya mengakui bahwa tiada yang disembah kecuali
Allah. Moyang anda, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib (wafat 68
H/688 M). Bercerita tentang peruntusan Abdul Qais dan sampai didepan
Rasulullah lalu diperintahkan untuk beriman kepada Allah. Beliau
bersabda: “apakah anda tahu yang dimaksud Iman kepada Allah itu?”.
Merekapun menjawab: “Allah dan Rasul lebih mengatahui”. Beliaupun
bersabda: “pengkuan bahwa tiada yang disebah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad itu Rasulullah, melaksanakan Shalat, membayar Zakat,
berpuasa dalam bulan Ramadhan, dan menyerahkan seperlima dari setiap
rampasan perang...” ya AmȊral Mu`minȋn, coba berikan salah satu
pembuktian dari kitab Allah maupun sunnah Rasulullah untuk jadi
pegangan bagiku untuk merubah pendirian.
`Ahmad bin Hanbal hendak menyindir bahwa Rasulullah di dalam
persoalan Iman itu tidak mengkaitkannya dengan kemestian mengakui al-Qur’an
itu suatu ciptaan Allah. Demikian dalam setiap sidang yang sudah dilaksanakan,
iapun dipulangkan kembali ke dalam penjara dengan pengawalan ketat.
Pemeriksaan terhadap Ahmad bin Hanbal itu berulang sampai tiga hari lamanya.
Pada saat setiap pihak yang telah putus asa untuk menundukan pendiriannya yang
keras itu maka khalifah al-Mu᷾taṣim menjatuhkan hukuman cambuk dengan
cemeti terhadap `Ahmad bin Hanbal sebanyak tiga puluh delapan cemeti, hingga
darah berleleran pada pungungnya. Lalu beliau diangkat kembali ke dalam
penjara.75
Konon hakim Agung `Ahmad bin Abi Daud sendiri mengusulkan agar
memberikan hukuman mati, akan tetapi khalifah al-Mu᷾taṣim menolak usulan itu,
dan merasa sudah cukup dengan memberinya hukuman cambuk. Setelah sembuh
dari lukanya, khalifah al-Mu᷾taṣim langsung membebaskan `Imȃm `Ahmad bin
Hanbal.76
75
Joesoef Sou’yb Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
174.
76
Joesoef Sou’yb Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
176.
30
77
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 184.
78
Dr. Siswanto M.Pd.I, Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis (Pamekasan:
Pena Salsabila. 2013), h. 72.
79
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 184.
80
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 133.
31
81
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63.
82
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h.103.
83
Mawardy Hatta, “Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” h. 99.
32
A. Biografi al-Mutawakkil
84
Al-Mutawakil al-Abbasi (206-247 H/821-861 M); nama lengkapnya Jafar al-
Mutawakil Alallah bin Muhammad al-Muktashim Billah bin Harun ar-Rasyid Abu al-Fadhl,
seorang khalifah Abbasiyah. Al-Mutawakil lahir di Baghdad dan dibaiat menjadi khalifah setelah
saudaranya al-Wȃṥiq, meninggal dunia tahun 232 H. Dia seorang yang dermawan, terpuji dan
menyukai pembangunan. Di antara jasanya adalah pembangunan Istana al-Mutawakiliyah di
Baghdad. Tatkala diangkat menjadi khalifah, al-Mutawakil menulis surat kepada penduduk
Baghdad secara terbuka dan umum. Surat tersebut dibacakan di atas mimbar yang isinya larangan
memperdebatkan al-Qur'an tidak ada hukuman bagi orang yang berpaham al-Qur'an makhluk atau
yang berpaham al-Qur'an tidak makhluk. Ia memindah ibukota kekhalifahan dari Baghdad menuju
Damaskus. Setelah tinggal di sana dua bulan, ia tidak merasa cocok dengan iklimnya. Maka ia
kembali ke Irak dan tinggal di Samara hingga terbunuh di kota itu pada malam hari. Sebagian
penyair membuat syair-syair yang mencela al-Mutawakil karena ia telah menghancurkan kuburan
al-Husain dan sekitarnya.
85
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 417.
33
34
Khalid (mereka adalah sekretaris kerajaan), Itakh dan Wahif (panglima Turki).
Mereka bermusyawarah tentang siapa yang akan menjadi pengganti al-Wȃṥiq.86
86
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daullah ᷾Abbȃsiyah , h. 417.
87
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daullah ᷾Abbȃsiyah , h. 417.
88
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 418.
89
Taufiq Abdullah, “Era Pengaruh Turki,” dalam Starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. , 2002), h. 98.
35
`Abȗ Bakar bin `Abȋ Syaibah duduk di masjid al-Manṣȗr dan lebih dari
30.000 orang ikut berkumpul di sekelilingnya. Rakyat sangat mendukung al-
Mutawakkil sehingga mereka mendoakannya dan berlebih-lebihan dalam memuji
serta mengagungkannya, hingga ada di antara mereka yang berkata, “Khalifah ada
tiga, yakni `Abȗ Bakar yang memerangi orang murtad, ᷾Umar bin ᷾Abdul ᷾Azȋz yang
memerangi kezaliman, dan al-Mutawakkil yang menghidupkan sunah dan
menyingkirkan kekacauan”.
Mengenai hal ini, `Abȗ Bakar bin Khabazah pernah bersyair :
‘Amma ba’d, sesungguhnya hari ini sunah menjadi kuat, hingga seakan-
akan tidak pernah dihinakan. Sunah menerkam dan menyergap karena
menaranya telah ditegakkan. Menara kebohongan dan kepalsuan telah jatuh
karena rapuh. Saudara pencipta agama berkuasa dengan melarikan diri ke
neraka, dalam keadaan berpaling, bukan menghadap. Allah menyembuhkan
mereka dengan Khalifah Ja᷾far, Khalifah pendukung Sunnah adalah Al-
Mutawakkil. Khalifah Tuhanku dan putra paman Nabi-Nya, keturunan terbaik
Bani ᷾Abbȃs yang berkuasa. Dia mengumpulkan keutuhan agama setelah tercerai-
berai dan dia memenggal kepala orang-orang murtad dengan pedang. Semoga
Tuhan para hamba memanjangkan umurnya. Selamat dari teror yang tidak
tergantikan. Semoga Dia menetapkan surga untuknya karena telah menolong
agama-Nya. Bersanding dengan Rasul terbaik di taman-taman-Nya.90
C. Keadaan Sosial, Politik dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil
Pada masa pemerintahannya yang panjang itu hanya terjadi dua atau tiga
permusuhan yang agak besar, akan tetapi permusuhan tersebut dapat segera
diselesaikan. Hanya pada masa pemerintahannya itu ada banyak terjadi gempa
bumi pada wilayah Syiria, Parsi, Khurasan dan Yaman. Gempa bumi tersebut
banyak menghancurkan sekian banyak kota dan menelan banyak korban, tetapi
kota-kota itu berhasil dibangun kembali. Oleh sebab itulah banyak ahli-ahli
90
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), h.
224.
36
91
Juosoef Sou’yb, Daulah ᷾Abbȃsiyah II, h. 8.
92
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 226.
93
Jalaluddin al-Suyuti, “Tarih al-Khulafa,” h. 226.
37
maka aliran-aliran kebatinan mulai banyak berkembang luas dalam dunia Islam
pada masa itu, begitu juga halnya di dalam dunia Kristen.94
94
Juosoef Sou’yb, Daulat ᷾Abbȃsiyah II, h. 9.
95
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 224.
96
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 226.
38
97
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 224.
98
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 224.
39
Di Yaman ada gunung yang tanahnya pecah-pecah. Di Halb ada peristiwa seekor
burung putih bukan burung nasar di bulan Ramadan berteriak, “wahai umat
manusia, bertakwalah kepada Allah, Allah, Allah.” Burung ini berteriak sebanyak
empat puluh kali kemudian dia terbang. Keesokan harinya burung itu datang
kembali dan melakukan hal yang sama. Peristiwa ini kemudian disampaikan
dalam surat dan ada 500 orang yang bersaksi atas peristiwa itu.99
Masih pada tahun 242 H, Ibrahim bin Muṭahhir, sang juru tulis
menunaikan ibadah haji menggunakan kereta yang ditarik unta. Melihat hal
tersebut, orang-orang terkagum-kagum. Pada tahun 243 hijriah, al-Mutawakkil
datang ke Damaskus dan sesampainya di Damaskus dia kagum dengan keindahan
kota tersebut. Diapun membangun istana untuknya di Dariya dan dia bermaksud
menghuninya.
Kemudian Yazid bin Muhammad al-Mahlabi berkata:
Aku mengira Syam senang dengan kesusahan Irak, karena sang pemimpin
bermaksud meninggalkannya. Apabila dia (Damaskus) meninggalkan Irak dan
penduduknya. Maka dia (seperti) meninggalkan gadis cantik dengan talak.
Pada tahun 245 H, gempa bumi terjadi hampir di seluruh dunia. Gempa itu
menghancurkan kota-kota, benteng-benteng dan jembatan-jembatan. Di
Anthakiyah, gunung jatuh dan tenggelam ke laut. Dari langit terdengar suara
menggelegar. Di Mesir juga terjadi gempa, dari langit penduduk Balbis
mendengar suara keras yang menakutkan. Dan itu mengakibatkan penduduk
Balbis meninggal dunia. Mata air di Kota Mekah kering, kemudian al-Mutawakkil
mengirim 100 ribu dinar untuk mengalirkan air dari Arafah ke Mekah. Al-
Mutawakkil adalah seorang pemimpin yang dermawan dan terpuji. Ada yang
mengatakan, “belum pernah ada khalifah yang memberikan (hadiah besar)
kepada penyair seperti yang dilakukan oleh al-Mutawakkil”. Berkaitan dengan
itu, Marwan bin Abi Janub berkata:
Tahanlah kedermawanan kedua tanganmu dariku dan janganlah engkau
menambah. Sungguh aku khawatir aku jadi durhaka dan engkau menjadi
sombong.
99
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 225.
40
100
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 225.
41
perempuan simpanan dan dia telah menyetubuhi mereka semua. Ali al-Jahm
berkata, al-Mutawakkil tergila-gila dengan Qabijah, Ummul Walad dari anaknya,
al-Mu᷾tȃz. Dia tidak bisa sabar untuk bertemu dengan al-Qabijah. Pada suatu hari
Qabijah bersamanya, al-Qabijah telah menulis kata Ja᷾far pada kedua pipinya
dengan sesuatu yang mahal.”101
101
Jalaluddin al-Suyuti, “Tarih al-Khulafa,” h. 225.
102
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah A
᷾ bbȃsiyah , h. 438.
103
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah A᷾ bbȃsiyah , h. 438.
42
104
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 438.
105
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 438.
106
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 438.
107
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 439.
43
Peristiwa ini merupakan buah pertama kali dari apa yang ditanam al-
Mu᷾taṣim, karena al-Mu᷾taṣim memberikan kekuasaan kepada kaum yang tidak
punya kesantunan dan akhlak, yang mencegah mereka dari apa yang telah mereka
lakukan. Mereka juga tidak memiliki aṣhȃbiyah (rasa primordial) yang
menjadikan mereka tidak berbuat kekacauan. Lebih para lagi, putra mahkota
terlibat dalam pembunuhan ayahnya.Ini merupakan peristiwa pertama kali. Al-
Buhturi mengatakan:
A. Penghapusan Mihnah
108
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Wa al-Jamaah?, h. 44.
109
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63.
45
46
Mongolia yang meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya tahun 1258
M, aliran inipun lenyap.110
Al-Mihnah ini terus berlanjut dengan meninggalnya al-Ma`mȗn hingga
empat khalifah berikutnya, yakni al-Mutaṣim, al-Wȃṥiq dan al-Mutawakkil.
Tetapi pada tahun kedua kekuasaannya, 848 M, al-Mutawakkil membalikkan
dominasi Muktazilah dan kembali mengembangkan ajaran Suni.111 Dengan
demikian tragedi al-Mihnah ini berlangsung selama 15 tahun.
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, rasionalisme dilarang. Ia
membebaskan Imȃm `Ahmad bin Hambal. Qȃḍȋ `Abȗ Du`ȃd dan anaknya. Orang-
orang Muktazilah yang menonjol dimasukkan ke dalam penjara dan hartanya
disita. Sejumlah besar dari mereka meninggal di tangannya.112
Kejayaan Dinasti ᷾Abbȃsiyah mulai pudar pada masa al-Wȃṥiq, berlanjut
pada masa al-Mutawakkil, dan diikuti oleh 27 khalifah berturut-turut. Tak seorang
pun dari mereka yang cakap. Khalifah-khalifah itu makin lama makin berkurang
kekuasaannya, akhirnya kehadiran mereka hanya seperti bayangan di pusat
pemerintahan.113
Di samping motif yang semata-mata bersifat teologis, mungkin saja al-
`Asy’ari kecewa dengan posisi kaum Muktazilah yang sudah tidak lagi sesuai
dengan situasi baru. Setelah al-Mutawakkil membatalkan keputusan al-Ma`mȗn
tentang penerimaan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum
Muktazilah mulai menurun. Apalagi setelah al-Mutawakkil memberikan
penghargaan dan penghormatan kepada `Imam `Ahmad `Ibnu Hanbal, lawan
Muktazilah terbesar waktu itu. Dengan demikian leluasalah orang-orang yang
dikecewakan dan disakiti Muktazilah untuk melakukan kritik dan serangan
kepada Muktazilah. Apalagi akibat al-Mihnah yang sangat tak terlupakan oleh
mayoritas masyarakat muslim, menjadi salah satu faktor tersisihnya paham
Muktazilah di kalangan umat. Bahkan dalam situasi semacam di atas, di kalangan
110
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 103.
111
Philip K. Hitti, History of The Arabs, 543.
112
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 1991), h. 278.
113
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, h. 279.
47
114
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan,
h. 68.
115
Zuhdî Jârullah, Al-Mu’tazilah: al-Ahliyyat li al-Nasyr wa al-Tauzî’ (Beirut: 1974), h.
162.
116
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 6.
117
Zuhdî Jârullah, Al-Mu’tazilah: al-Ahliyyat li al-Nasyr wa al-Tauzî’, h. 180.
48
Muktazilah dalam menafikan sifat Tuhan tidak berarti menafikan sifat Tuhan
secara keseluruhan, tetapi sifat qadîm itu satu-satunya sifat yang hanya Allah yang
memilikinya.118 Berpangkal dari perbedaan pemahaman itulah berkembang terus
sampai akhirnya memperdebatkan apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan.
Sementara Muktazilah menyatakan sebagai makhluk dan lainnya mengatakan
bukan makhluk.
Ketika Muktazilah menyusup ke dalam kekhalifahan dan telah menjadi
aliran resmi negara, maka pada saat itulah masyarakat tidak mempunyai
kebebasan berpikir, bahkan khalifah ikut serta memaksakan paham al-Qur’an
diciptakan (makhluk) dengan menggunakan berbagai cara. Peristiwa inilah yang
119
lazim disebut al-Mihnah atau mihnatu khalq al-Qur’an. atau dengan sebutan
inquisition, yang dengan itu, orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka
dikejar-kejar dan disiksa.120
Sebagai akibat atas pelaksanaan al-Mihnah adalah munculnya berbagai
ketegangan dan perdebatan yang berkepanjangan di antara orang-orang Islam.
Lawan mereka menjadi banyak, terutama di kalangan masyarakat yang tidak
mampu menyelami ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis tersebut,
yang pada gilirannya mendorong kepada Khalifah al-Mutawakkil untuk
menempuh kebijakan baru dengan mengumumkan tidak berlakunya al-Mihnah
dan selanjutnya ia memerintahkan kepada rakyat supaya mengikuti Muhaddiṥîn,
yaitu golongan mayoritas yang berpegang teguh pada hadis (Sunnah), sekaligus
merupakan cikal bakal lahirnya term Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah.121
Jika diperhatikan masa perkembangan aliran ini yaitu dimulai sekitar awal
abad kedua Hijrah bertepatan dengan awal abad ke-8 Masehi, kemudian
mengalami kemajuan dan kejayaan hingga masa khalifah al-Mutawakkil pada
abad ke-3 Hijrah. Setelah itu mengalami kemunduran sekitar abad ke-5 Hijrah
bertepatan dengan abad ke-11 M. Aliran rasional ini akhirnya lenyap sama sekali
118
Ahmad Amin, Dluhâ al-Islâm, h. 29
119
Ahmad Syalâbî, Mausu’ât al-Târikh al-Islâmî wa al-Hadlârâh al-Islâmî, Juz III
(Mesir: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyat, 1978), h. 182.
120
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 62.
121
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 63-
64.
49
seiring dengan hancurnya kota Baghdad dan kota lainnya akibat serangan tentara
Mongolia pada abad ke-7 Hijrah atau 13 Masehi.122
B. Larangan Paham Muktazilah
122
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 99.
123
Christopher Melchert, “Religious Policies of the Caliphs from al-Mutawakkil to al-
Muqtadir, A H 232-295/A D 847-908,” Hukum dan Masyarakat Islam, Vol. 3, No. 3 (1996), h.
320.
124
Christopher Melchert, “Religious Policies of the Caliphs from al-Mutawakkil to al-
Muqtadir, A H 232-295/A D 847-908,” Hukum dan Masyarakat Islam, Vol. 3, No. 3 (1996), h.
321.
50
mereka itu seakan didukung oleh sikap khalifah al-Mutawakkil yang juga tidak
senang dengan aliran Muktazilah. Aliran ini perlahan-lahan mulai mengalami
kemunduran dan kehilangan kekuatannya. Lebih-lebih setelah Muhammad al-
Ghazwȃni, seorang pengikut mazhab Suni dan syȃfi᷾ iy berkuasa sampai ke wilayah
Irak tahun 395 H, mengeluarkan pengumuman larangan terhadap aliran
Muktazilah di wilayahnya, buku-bukunya banyak yang dibakar dan ajaran-
ajarannya tak boleh lagi dianut.125 Akhirnya al-Mutawakkil pun membatalkan
aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada tahun 848 M.126
Aliran al-Sifatiyah menguasai masyarakat bawahan dan kebanyakannya
terdiri daripada qȃḍȋ, pendakwah, ulama fikih dan orang-orang yang mengikuti
mereka. Al-Mutawakkil bersekutu dengan golongan bawahan kerana mendapati
faedah dan keuntungan daripada tindakannya itu. Ia boleh menjadikan dirinya
sebagai sanjungan orang ramai dan model khalifah yang fanatik.127
Perintah telah dikeluarkannya untuk menyingkirkan Muktazilah dan
golongan rasionalis dari kerajaan. Universitas diarahkan supaya ditutup. Bidang
kesusasteraan, sains dan falsafah tidak dibenarkan dan golongan rasionalis
umumnya diburu keluar dari kota Baghdad. Al-Mutawakkil juga telah
memusnahkan makam ᷾Ali bin `Abȋ Ṭȃlib dan anak-anaknya. Ulama fikih yang
fanatik menjadi ulama Islam dan memegang kuasa dan pemerintah negara. Di
bawah kekuasaan al-Mustazhid billȃh, kemenangan mutlak mereka dicapai.
Golongan rasionalis dihukum.
Golongan al-Sifatiyah menetapkan bahawa "keadilan" adalah dengan
menghidupkan prinsip perbuatan manusia itu bahawa Allah menguasai alam
dengan "keadilan" yang merupakan zat-Nya. Mereka juga menetapkan bahawa
ujian benar atau salah bukanlah atas kehendak mana-mana individu tetapi
kebaikan untuk kemanusiaan. Doktrin ini bersifat revolusi dan hak Tuhan itu
125
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 102.
126
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 60.
127
Syed Ameer Ali, The spirit of Islam, (London, 1955), h.439.
51
ditujukan kepada khalifah yang boleh melakukan apa sahaja termasuk perkara
yang tidak baik.128
Pendidikan sebagai suatu sistem, tidak bisa dipisahkan dari kondisi politik.
Antara politik dan pendidikan terjalin hubungan yang erat. Berubah-ubahnya
kebijaksanaan politik dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam. Pada
masa Dinasti ᷾Abbȃsiyah , turun-naiknya berbagai aliran keagamaan dalam pentas
politik, membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan penguasa. Akibatnya,
pelaksanaan pengajaran dan pendidikan Islam turut terpengaruh.129
128
Syed Ameer Ali, The spirit of Islam, h.440.
129
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 92.
52
130
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 108.
131
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115.
53
132
Namanya `Abȗ al-Hasan ᷾Ali bin `Ismȃ᷾ȋl al-`Asy᷾ari, keturunan dari Abu Musa al-
Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy'ari lahir tahun
260 H/873 pada tahun 324 H 1935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Muktazilah
terkenal, yaitu al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya Aliran ini
diikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk
mengarang buku-buku kemuktazilahan.
133
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 65.
134
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 66.
54
135
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 66.
136
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 68.
55
2. Al-Farabi, wafat tahun 950 M. Buku-buku karyanya sekitar 444 kitab dalam
berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, mantiq, politik, sastra, kimia, musik, dan
lain-lain.
3. Ibnu Sina, wafat tahun 1037 M. Buku-buku karyanya lebih dari 100 kitab
dalam berbagai bidang ilmu. Salah satunya adalah Kitab al-Syifȃ` terdiri dari 18
jilid, masih tersimpan satu manuskrip di Universitas Oxford, London.
4. Ibnu Rusyd, wafat tahun 1198 M. Buku karyanya berjumlah sekitar 78 kitab
dalam berbagai bidang ilmu. Dalam ilmu filsafat 28 kitab, ketuhanan 5 kitab, fiqih
8 kitab, falak 4 kitab, nahwu 2 kitab, dan kedokteran 20 kitab.
137
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 69.
138
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 115.
139
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115-118.
56
5. Ibnu Khaldun, wafat tahun 1405 M. Ia seorang filsuf modern di bidang ilmu
sosial, politik, ekonomi, sejarah dan undang-undang umum. Ibnu Khaldun
termasyhur dengan sebuah buku karyanya saja, bahkan dengan juz yang pertama
saja, yaitu Muqaddimah Ibn Khaldun.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa keemasan Dinasti
Saljuk termasyhur seorang menteri Persia bernama Nizam al-Mulk. Ia adalah
pendiri akademi yang amat terkenal dan hidup sampai sekarang, yaitu Madrasah.
Di samping memiliki motif pendidikan, pendirian Madrasah Nizamiyah juga
memiliki motif politik. Dinasti Buwaihi, yang menguasai kekhalifahan saat itu
dan kemudian ditaklukkan Dinasti Saljuk, menganut aliran keagamaan syiah dan
berusaha menanamkan pengaruh aliran itu di tengah-tengah masyarakatnya
melalui propaganda termasuk melalui aktivitas kependidikan. Dinasti Saljuk
sendiri menganut aliran Suni. Aliran Suni dan Syiah memiliki doktrin dan
ideologi politik yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mengatasi pengaruh aliran
Syiah peninggalan Dinasti Buwaihi tersebut, Dinasti Saljuk melakukan
propaganda tandingan. Salah satunya melalui institusi pendidikan Madrasah
tersebut.140
Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, semua aliran pemikiran selalu
berusaha untuk saling berebut pengaruh dan mendapatkan dukungan dari
pemerintah. Ada masanya aliran Muktazilah berhasil mendapatkan dukungan
sebagaimana pada masa al-Ma`mȗn, sehingga aliran ini mendapat kesempatan
berkembang luas di dunia Islam. Tetapi ada kalanya pula aliran lain yang
mendapatkan dukungan, sehingga bisa mengalahkan pengaruh aliran yang
mulanya berkembang. Demikianlah silih berganti aliran-aliran itu mendapatkan
dukungan dari para penguasa. Sehingga aliran-aliran itu nampak sebagai kekayaan
budaya spiritual Islam yang beraneka ragam, tetapi semuanya berasal dari sumber
yang satu.141
140
Yosep Aspat Alamsyah, Pendidikan Islam pada Dinasti Saljuk, dalam Suwito dan
Fauzan (Ed.) pada Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media,
2005, 152.
141
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 106.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awalnya Muktazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut
oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal
ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah
kerajaan ᷾Abbȃsiyah. Melihat hal demikian, khalifah al-Ma`mȗn (813-833 M)
putera Hȃrȗn al-Rasyȋd (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi
Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Sejak itu resmilah aliran Muktazilah
menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam
wilayah kekuasaan Dinasti ᷾Abbȃsiyah.
Pemerintahan al-Ma`mȗn mendukung paham teologi rasional Muktazilah
dan bahkan telah menetapkan paham ini menjadi haluan negara secara resmi. Oleh
karena itu, mereka yang menentangnya akan diadili (al-Mihnah).
Di tengah perjalanan tersiar kabar bahwa al-Ma`mȗn meninggal dunia,
namun sebelumnya ia sempat berwasiat kepada penggantinya yaitu al-Mu᷾taṣim
agar melanjutkan kebijakannya itu. Atas wasiat tersebut, al-Mu᷾taṣim pun
melanjutkan al-Mihnah terhadap mereka yang belum mengakui kemakhlukkan al-
Qur’an termasuk yang masih tawaqquf.
Setelah al-Mu᷾taṣim meninggal, kekhalifahan diganti oleh al-Wȃṥiq (842-
847 M). Kebijakan melakukan al-Mihnah tampaknya tidak dihentikan, namun
tidak lagi terlalu keras seperti pendahulunya.
Setelah al- Wȃṥiq meninggal, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil
(232-247 H). Berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya, al-Mutawakkil tidak
menudukung aliran Muktazilah, sehingga masalah al-Mihnah tidak lagi ia
teruskan. Sejak itu al-Mihnah pun terhenti, ia bahkan berusaha meredam
ketegangan situasi dan membebaskan ulama yang ditahan sebelumnya.
Kalau semula aliran Muktazilah mengalami kemajuan dan dapat meraih
zaman keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya disenangi
kaum intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan dan penyiksaan,
terlebih lagi pemenjaraan terhadap para ulama, maka sejak itu kaum muslimin
57
58
Buku:
A. Makdisi, George. Cita Humanisme Islam. Jakarta: Serambi, 2005.
Abdullah, Taufiq “Era Pengaruh Turki,” dalam Starlita, ed. Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, vol. I. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve., 2002.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Al-Baghdadi. al-Farq bayn al-Firaq. Cairo: Maktabah Ali Sabih.
Al-Khudhari, Muhammad. Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah . Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2016.
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal. Cairo Mesir : Mushṭafȃ al-Baby al-Halaby,
1961.
Ali, Syed Ameer. The spirit of Islam. London, 1955.
Amin, Ahmad. Ḍuhȃ al-Islȃm. Cairo al-Nahḍah al-Miṣriyah, 1966.
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, 1969.
Amin, Ahmad. Ẓuhr al-Islȃm IV. Cairo Mesir: Maktabah al-Nahḍah, 1975.
As-Suyȗṭȋ, Jalȃluddȋn. Tȃrȋkh al-Khulafȃ. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,
2008.
Aspat Alamsyah, Yosep. Pendidikan Islam pada Dinasti Saljuk, dalam Suwito
dan Fauzan, ed. Sejarah Sosial Pendidikan Islam., 2005.
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Black, Anthony. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Kini.
Penerjemah Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Saemesta, 2001.
Gottschalk, Louis. Mengerti sejarah. Terj: Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI
Press. 1983.
Grenfell, Michael. Pierre Bourdieu; Key Concepts. UK: Acumen, 2008.
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001.
60
61
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam II. Jakarta: Pustaka al-Husna,
2003.
Syalabi, Ahmad Sejarah dan Kebudayaan Islam III. Jakarta: PT. Pustaka Al
62