Anda di halaman 1dari 75

PENGHAPUSAN PAHAM MUKTAZILAH OLEH

KHALIFAH JA’FAR AL-MUTAWAKKIL

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh
Ipan Maspupan
NIM: 1113022000083

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ii
iii
ABSTRAK

Ipan Maspupan, NIM (1113022000083), Penghapusan Paham Muktazilah


oleh Khalifah Ja’far Al-Mutawakkil, Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang peranan paham


Muktazilah sebagai paham resmi negara dari masa khalifah al-Ma`mȗn sampai
masa khalifah al-Mutawakkil yang berhasil menghapus paham tersebut.
Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana larangan paham Muktazilah dan
menguatnya Ahli Hadis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode historis yang menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau yang berlandaskan pada penelitian terhadap paham
Muktazilah sebagai obyek penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini
melalui lima tahap, yaitu pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan
historiografi. Dalam skripsi ini menggunakan teori yang dikemukakakan oleh
Pierre Bourdieu, teori ini mendukung pengaturan sosial pada ranah tertentu, dan
dengan demikian mengistimewakan pihak yang dominan dan menganggap posisi
dominan tersebut lebih disukai secara universal (universally favorable). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa umat Islam telah lama merasa tertekan akibat
pemaksaan dan kekerasan yang dilancarkan kaum Muktazilah, akan tetapi setelah
paham ini dihapuskan oleh khalifah Ja’far al-Mutawakkil, umat muslim mulai
berani angkat bicara, berdiskusi, mengkritisi, bahkan membantah paham-paham
Muktazilah dengan berbagai argumentasi, ditambah lagi dengan kemunculan
Asy’ariyah yang telah digagas oleh seorang Ulama besar, tokoh sentral kaum
Ahlu as-Sunnah wa al Jamaah yaitu Abu al-Hasan al-Asyari.

Kata kunci: Dinasti Abbasiyah, Paham Muktazilah, Khalifah al-Ma`mȗn,


Khalifah al-Mutawakkil.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan banyak
nikmat kepada setiap hamba-Nya dan jika dihitung, maka kita tidak akan sanggup
menghitungnya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada
baginda nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing manusia dari
zaman Jahiliyah menuju zaman yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Penghapusan Paham Muktazilah oleh Khalifah
Ja’far al-Mutawakkil” Alhamdulillah telah diselesaikan oleh penulis, meskipun
penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya dukungan dari banyak pihak.
Maka patutlah penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah mendukung, baik dalam bentuk materi ataupun nonmateri. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
4. Solikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekertaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
5. Dr. H. Abd. Chair selaku dosen pembimbing yang dengan kebaikan hati
dan kesabarannya telah memberikan arahan, sumber-sumber, nasihat dan
masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing penulis dari semester satu hingga mendapatkan
dosen pembimbing skripsi.
7. Dr. Usep Abdul Matin, MA (penguji I) dan Nurhasan, S.Ag, MA (Penguji
II). Terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kritik, saran, dan
koreksi yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan
skripsi penulis.
8. Seluruh dosen Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis selama berada di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
9. Papah dan mamah (Sukandi, alm dan Siti Saja’ah ) yang tidak pernah lelah
menengadahkan kedua tangannya guna mendoakan keselamatan putra

v
putrinya, memberikan pengorbanan, dukungan moril maupun materil,
nasihat, dan kasih sayang.
10. Saudara saudari penulis (Imas Maspupah, M. Iqbal, Pia Sopiah, Alfa
Muhammad Said, Qisthina Amajida, dan Hani Puspita Amalia) yang
selalu memberikan motivasi, masukan, dan dukungan.
11. Saudara-saudara THE DJAVU Vespa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang selalu menghibur dan selalu membantu kawan-kawan seperjuangan,
Komunitas ANAK PANAH dan kawan-kawan NAGA HITAM yang tidak
kenal lelah berjuang bersama.
12. Seluruh angkatan 2013 Sejarah Kebudayaan Islam yang selalu membantu
dalam proses belajar selama empat tahun, memberikan semangat dan
saling bekerjasama dalam belajar.

Jakarta, 28 Februari 2018

Ipan Maspupan

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK……....……………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR…………………….......……....………………………. ii

DAFTAR ISI…………………………………………………..………………. iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ………….…………………......…………... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………......…..1


B. Identifikasi Masalah…………………………………………..…………6
C. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………………….....6
D. Tujuan Penelitian………………………………......…………………….7
E. Manfaat Penelitian…………………………..…………………………...7
F. Tinjauan Pustaka…………....…………..………………………………..7
G. Kerangka Teori……………………...……………….…………………..10
H. Metodologi Penelitian……………………..……….……………………12
I. Sistematika Penulisan…………………………..…..……………………13

BAB II PAHAM MUKTAZILAH DALAM DAULAH ABBASIYAH


SEBELUM AL-MUTAWAKKIL

A. Perkembangan Paham Muktazilah…………………………...…………..15


B. Dukungan khalifah-khalifah Abbasiyah Kepada Muktazilah.…......…….18
C. Mihnah pada Masa al-Ma’mun……………..……………………………22
D. Priode Perkembangan Muktazilah sampai Akhir Kejayaannya..…….......32

vii
BAB III AL-MUTAWAKKIL SEBAGAI KHALIFAH

A. Biografi al-Mutawakkil…………………………………...……………...33
B. Pengangkatan al-Mutawakkil sebagai Khalifah……………....………….33
C. Keadaan Sosial, Politik, dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil...….35
D. Pembunuhan terhadap al-Mutawakkil……...…………………………….41
E. Silsilah Dinasti Abbasiyah……………………..……………………….. 44

BAB IV LARANGAN PAHAM MUKTAZILAH DAN MENGUATNYA


AHLI HADIS

A. Penghapusan Mihnah ……………………………………..……………..45


B. Larangan Paham Muktazilah …………………………………..………..49
C. Menguatnya Kelompok Ahli Hadis …………………...…..…………….51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………..……………………………….57
B. Saran…………………………..…………………………………………58

DAFTAR PUSTAKA

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

Transliterasi penulisan skripsi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk


pada pedoman transliterasi Arab-Indonesia yang ditetapkan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Berikut pedoman yang digunakan:
1. Konsonan
No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
1. ‫ا‬ Tidk dilambangkan
2. ‫ب‬ B be
3 ‫ت‬ T te
4. ‫ث‬ Ts te dan es
5. ‫ج‬ J je
6. ‫ح‬ ḥ h dengan garis bawah
7. ‫خ‬ Kh ka dan ha
8. ‫د‬ D de
9. ‫ذ‬ Dz de dan zet
10. ‫ر‬ R er
11. ‫ز‬ z̠ zet
12. ‫س‬ S es
13. ‫ش‬ Sy es dan ye
14. ‫ص‬ ṣ es dengan garis bawah
15. ‫ض‬ ḍ de dengan garis bawah
16. ‫ط‬ ṭ te dengan garis bawah
17. ‫ظ‬ ẕ zet dengan garis bawah
Koma terbalik di atas hadap
18. ‫ع‬ ‘
kanan
19. ‫غ‬ Gh ge dan ha
20. ‫ف‬ F ef
21. ‫ق‬ Q ki
22. ‫ك‬ K ka

ix
23. ‫ل‬ L el
24. ‫م‬ M em
25. ‫ن‬ N en
26. ‫و‬ W we
27. ‫ه‬ H ha
28. ‫ء‬ ` Apostrof
29. ‫ي‬ Y ye

2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama seperti vokal pada bahasa Indonesia.
Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal, rangkap, dan panjang.
a. Vokal tunggal (monoftong)
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat yang
transliterasinya diuraikan sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ﹶ‬ a fatẖah
‫ﹶ‬ i Kasrah
‫ﹶ‬ u ḏammah

b. Vokal rangkap (diftong)


Vokal rangkap bahasa Arab dilambangkan dengan gabungan antara
harakat dengan huruf ‫ ي‬dan ‫ و‬, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ﹶي‬ ai a dan i
‫ﹶو‬ au a dan u

x
c. Vokal panjang (madd)
vokal panjang dilambangkan dengan harakat dan huruf, transliterasinya
adalah sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ﺍ‬----َ â a dengan topi di atas
‫ﻱ‬----َ î i dengan topi di atas
‫ﻮ‬----َ û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ‫ال‬
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwan bukan ad-dîwân.
d. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ّ. Dalam alih aksara ini dilambang dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ الضرورة‬tidak ditulis al-
ḍarûrah melainkan ad-ḍarûrah, demikian seterusnya.

e. Ta marbūthah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na՛ t) (lihat contoh 2). Namun
jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طريقة‬ ṯarîqah

xi
2 ‫الجامعة اإلسالمية‬ al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3 ‫وحدة الوجود‬ wahdat al-wujûd

f. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik itu kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut contoh transliterasi dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:
Teks Arab Teks Latin
‫ذهب األستاذ‬ dzahaba al-ustâdzu
‫الدرس الخامس‬ al-dars al-khâmis
‫اذهبوا أنتم‬ idzhabû antum
‫أشهد أن ال اله إالهللا‬ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
‫يؤثركم هللا‬ yu'atstsirukum Allah
‫موالنا ملك الصالح‬ Maulânâ Malik al-Shâlih
‫اآليات الكونية‬ al-âyât al-kauniyyah

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada masa Dinasti `Umayyah sudah ditemukan adanya cikal bakal
gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang akan menggoyahkan fondasi agama
Islam. Pada paruh pertama abad ke-4, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal
bernama `Abȗ Huzaifah Wȃṣil bin Aṭa᷾ al-Ghazza (80-131 H/700-748 M),1
seorang pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Muktazilah. Orang Muktazilah
mendapatkan sebutan itu karena mendakwahkan ajaran bahwa siapapun yang
melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tetapi
tidak menjadikannya kafir. Dalam hal ini orang semacam itu berada dalam kondisi
pertengahan antara dua status.2
Kelahiran filsafat dalam Islam ditandai dengan munculnya buku al-
Risȃlah karya al-Syȃfi᷾ i.3 Karier al-Syȃfi᷾ i diwarnai dengan terjadinya berbagai
peristiwa penting yang mengarah pada terbentuknya mazhab-mazhab hukum
Islam dalam perjuangannya melawan gerakan Rasionalis Muktazilah. Dalam
karyanya itu al-Syȃfi᷾ i menyebut orang Muktazilah sebagai Ahlu Kalȃm. Istilah ini
secara teknis merujuk pada para teolog filsuf (mutakallimȗn). Kalangan
tradisional menganggap kata-kata mereka sebagai omong kosong semata, karena
mereka menolak otoritas al-Qur’an.4

1
Wȃṣil bin Aṭa᷾ sering juga disebut `Abȗ Huzaifah dan lebih dinenal dengan gelar al-
Gazzal, ia lahir pada tahun 80 H di Madinah dan meninggal pada tahun 131 H di Bashrah. Wȃṣil
bin Aṭa᷾ adalah seorang teolog dan filusuf terkemuka pada masa Dinasti `Umayyah, pada mulanya
ia belajar kepada `Abȗ Hȃsyim ‘Abdullȃh bin Muhammad al-Hanafiyah, selanjutnya ia banyak
menimba ilmu di Mekkah dan banyak mengenal ajaran-ajaran Syiah di Madinah, kemudian ia
melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru kepada Hasan al-Baṣri.
2
Philip K. Hitti, History of Arab (Jakarta: Serambi, 2005), h. 306.
3
Al-Syȃfi’i adalah ulama pertama yang menyusun buku tentang `Uṣȗl Fiqh. Bagi bidang
`Uṣȗl Fiqh ini beliau menulis kitab al-Risȃlah, Ahkȃm Al-Quran, Ikhtilȃf al-Hadȋṥ, Ibṭȃl al-
Istihsȃn, Jama᷾ al-᷾Ilm, dan al-Qiyȃs.
4
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam (Jakarta: Serambi, 2005), h.26

1
2

Wȃṣil pernah belajar pada Hasan al-Baṣri,5 yang cendrung pada doktrin
kebebasan berkehendak, yang kemudian menjadi doktrin utama dalam sistem
keyakinan orang Muktazilah, doktrin tersebut pada saat itu dianut oleh kelompok
Qadariyah. Pengikut Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep
takdir dalam Islam. Kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam al-Qur’an,
dan pengaruh Yunani Kristen. Pengikut Qadariyah adalah mazhab filsafat Islam
yang pertama, dan besarnya pengaruh pemikiran mereka bisa disimpulkan dari
kenyataan bahwa dua khalifah `Umayyah, Mu᷾ȃwiyah II, dan Yazȋd III, merupakan
pengikut Qadariyah.6
Al-Ma`mȗn al-Rasyȋd dengan nama asli Abdullah al-Ma`mȗn bin Harun
al-Rasyȋd bin al-Mahdi7 yang gairahnya pada pemikiran filsafat menumbuhkan
ajaran baru dalam agama negara, pada tahun 827 M mendeklarasikan suatu
pernyataan penting tentang “keterciptaan (khalq) al-Qur’an”. Ajaran itu
menentang pandangan ortodoks dengan menegaskan bahwa pada bentuk
aktualnya al-Qur’an merupakan reproduksi identik dari model aslinya di langit.
Ajaran baru “al-Qur’an sebagai mahluk” segera menjadi pijakan baru umat Islam
saat itu. Al-Ma`mȗn melangkah lebih jauh dengan mewajibkan para hakim yang
akan bertugas agar mengikuti ujian seputar konsep barunya. Pada tahun 833 M,
khalifah memberlakukan suatu keputusannya yang tidak populer yang
menegaskan bahwa setiap hakim atau calon hakim yang tidak mengakui ajaran
“al-Qur’an sebagai mahluk” tidak boleh menjadi hakim atau diangkat sebagai
hakim.8
Pada masa al-Ma`mȗn, paham Muktazilah dijadikan paham resmi negara.
Ia mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti paham ini. Bagi yang tidak

5
Hasan al-Baṣri adalah seorang sufi angkatan tabiin, seorang yang sangat takwa, warak
dan zahid. Nama lengkapnya adalah `Abȗ Sa᷾ȋd al-Hasan ibn `Abȋ al-Ḥasan. Lahir di Madinah pada
tahun 21 H.
6
Philip K. Hitti, History of Arab, h.306.
7
Al-Ma`mȗn dilahirkan pada tanggal 15 Rabiulawal 170 H atau 14 September 786 M dan
meninggal pada tanggal 18 Rajab 218 H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M. Beliau bergelar
`Abȗ al-᷾Abbȃs. Al-Ma`mȗn adalah salah seorang Khalifah Bani ᷾Abbȃs, beliau anak kedua
Khalifah Harun al-Rasyȋd dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia
diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.
8
Philip K. Hitti, History of Arab, h. 542.
3

mau mengikuti paham ini maka ia akan dihukum. Untuk menguji paham
seseorang apakah Muktazilah atau bukan, ia memberlakukan al-Mihnah
(inquisition),9 semacam lembaga penyelidik untuk meneliti paham seseorang.
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam al-Mihnah adalah tentang
kemakhlukan al-Qur’an. Bagi yang menentang paham bahwa al-Qur’an bukan
mahluk maka ia akan diberi hukuman. Salah satu ulama terkenal yang menjadi
korban al-Mihnah adalah Ahmad bin Hanbal. Ia disiksa dan dipenjara selama
bertahun-tahun karena bertahan dengan pendapatnya bahwa al-Qur’an bukan
makhluk.10
Ahmad bin Hanbal, meninggalkan dua jejak sejarah penting, yakni
perlawanannya terhadap lembaga al-Mihnah dan keteguhannya terhadap prinsip
bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang azali, bukan makhluk, yang
berefek pada kekalahan al-Mihnah; serta kesungguhan usahanya untuk menyusun
hadis berdasarkan rangkaian periwayat, sebagai satu cara untuk menguji otentitas
hadis melalui kritik historis pada para periwayat hadis.11
Sebagai sebuah sistem pemikiran, ilmu fikih menempati posisi di antara
dua kajian ekstrem dalam ilmu-ilmu agama Islam. Di satu sisi, teologi filsuf yang
disebut kalam, diwakili oleh kelompok Muktazilah, yang menyokong kekuatan
akal, al-Qur’an dan Sunnah bisa diterima selama sesuai dengan akal. Di sisi lain,
aliran tradisional ekstrem, yang bersandar pada ketaatan berlebih-lebihan, mencari
perlindungan pada al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad Saw dan membatasi
ruang gerak akal. Kajian fikih menengahi dominasi wahyu dengan memanfaatkan
akal sebagai pendukung, karena itu di satu sisi, fikih menolak anggapan bahwa
teologi filsuf tidak Islami; di sisi lain ia menjalin kebersamaan dengan aliran
tradisional dengan tetap berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di antara dua
aliran ekstrem ini, fikih mengupayakan jalan tengah berupa rasionalisme teologi
filsuf dan fanatisme progresif. Ia menahan laju dominasi rasionalisme teologi

9
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 45.
10
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h. 46.
11
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h.27.
4

filsuf dan fanatisme pada Sunnah yang berlebihan; fikih menempuh jalannya
sendiri untuk menyeimbangkan akal dan wahyu.12
Di samping doktrin utama kebebasan berkehendak, kelompok Muktazilah
menambahkan doktrin lain, seperti penolakan terhadap kesatuan antara Tuhan dan
sifat-sifatnya, seperti Berkuasa, Bijaksana, dan Mahahidup, dengan argumen
bahwa konsep semacam itu akan merusak keesaan Tuhan. Oleh karena itu,
julukan yang sangat disukai oleh kalangan Muktazilah untuk kelompok mereka
adalah “Pendukung Keadilan dan Keesaan”. Gerakan paham rasionalis ini
mengalami masa kejayaannya pada masa Dinasti ᷾Abbȃsiyah terutama pada masa
al-Ma`mȗn (813-833 M).13
Berawal dari restu khalifah al-Ma`mȗn (813-833), al-Mihnah berlangsung
hingga tiga khalifah selanjutnya, Al-Mu᷾taṣim (218-227 H/833-842 M), al-wȃṥiq
(227-232 H/842-847 M), dan al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M). Periode al-
Mihnah berlangsung selama lima belas tahun, dari 218 hingga 233 H (833-848
M). Ketika al-Mihnah berakhir pada tahun kedua khalifah al-Mutawakkil,
Muktazilah banyak menerima kerugian. Pada pertengahan abad ke-9 M, gerakan
tradisionalis mendapatkan kemenangannya kembali dan berhasil mengalahkan
aliran Muktazilah, di bawah pemimpin pahlawan anti-mihnah, Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H/855 M).14
Keberpihakan al-Ma`mȗn terhadap paham Muktazilah tampaknya tidak
dapat dipisahkan dari kehausannya akan pengetahuan yang rasional. Kecintaannya
terhadap filsafat mendorongnya untuk lebih menyetujui paham Muktazilah yang
rasional dan filosofis daripada paham yang lain.
Setelah al-Ma`mȗn wafat, Khalifah al-Mu᷾taṣim dengan nama lengkapnya
`Abȗ Ishȃq Muhammad bin Harun al-Rasyȋd bin al-Mahdi bin al-Manṣȗr ia naik
menggantikan al-Ma`mȗn pada tahun 833 M.15 Pengangkatan al-Mu᷾taṣim tidak
disetujui oleh sekelompok tentara yang menginginkan ᷾Abbȃs, anak al-Ma`mȗn,
sebagai penguasa mereka. Meskipun demikian, kerusuhan yang muncul dapat

12
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h.50.
13
Philip K. Hitti, History of Arab, h. 307.
14
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h. 30.
15
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h. 46.
5

dihindarkan. Sebagaimana al-Ma`mȗn, al-Mu᷾taṣim juga berpaham Muktazilah. Di


istananya, kebebasan berdiskusi tentang semua masalah diizinkan. Penyiksaan
terhadap penganut bukan Muktazilah dilanjutkan olehnya.
Pemerintahan dilanjutkan oleh `Abȗ Ja᷾far Hȃrȗn al-Wȃṥiq Billȃh bin al-
Mu᷾taṣim bin Harun al-Rasyȋd. Ia dibaiat menjadi khalifah setelah kematian
ayahnya pada hari kamis, 9 Rabiulawal 227 H/ 5 Januari 842 M. Ia menjadi
khalifah hingga meninggal pada bulan Zulhijah tahun 232 H/ Agustus 847 M,
masa kekhalifahannya selama lima tahun, sembilan bulan, lima belas hari.
Umurnya 36 tahun.16
Ia memiliki majelis diskusi yang menghadirkan para ahli fikih dan ahli
kalam, mereka berdiskusi berbagai macam ilmu, baik yang bersifat akli maupun
naqli. Perilaku dalam hal itu serupa dengan perilaku pamannya, al-Ma`mȗn,
karena itu masalah paham al-Qur’an makhluk mengambil bentuk yang lebil
sensitif pada masanya daripada masa ayahnya, al-Mu᷾taṣim. Sebenarnya al-
Mu᷾taṣim terpaksa mengurusi masalah itu karena wasiat saudaranya.17
Selanjutnya pada kekhalifahan al-Mutawakkil, pada usia yang ke-26
tahun, ia diangkat menjadi khalifah menggantikan saudaranya khalifah al-Wȃṥiq,
dengan panggilan al-Mutawakkil (232-247 H/ 847-861 M). Ia menjadi Khalifah
dan memerintah selama 14 tahun 9 bulan.18
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil dalam bidang mazhab terlihat
menonjol peranan `Ahmad bin Hanbal (wafat 242 H/855 M) yang mempunyai
pengaruh kuat dan besar pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, yang
dibebaskan oleh khalifah al-Mutawakkil dari tahanan penjara, dan menjabat
pemuka kalangan al-Muhaddiṥȋn (Ahli Hadis).19
Tindakan khalifah al-Mutawakkil tersebut disambut hangat oleh kalangan
Suni, terutama kalangan al-Muhaddiṥin (ahli Hadis), yang ingin memurnikan

16
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2016), h. 409.
17
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 416.
18
Joesoef Sou’yb, Daulah A᷾ bbȃsiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 7.
19
Joesoef Sou’yb, Daulat Abbasiah II, h. 9.
6

Tauhid kembali ke dalam bentuk kesederhanaannya tanpa pembahasan-


pembahasan yang logis dan al-Manṭiqy (rasional).
Sejalan dengan tindakan itu khalifah al-Mutawakkil memulihkan kembali
kedudukan aliran Suni dan mengumumkan larangan terhadap aliran Muktazilah,
berlangsung demonstrasi-demonstrasi luas di Ibu Kota untuk mendukung tindakan
tersebut, di bawah pemukanya `Ahmad bin Hanbal.20
Tekanan resmi itu dirasakan semenjak khalifah al-Ma`mȗn yang telah
memaksakan aliran Muktazilah yang bertentangan dengan khalifah al Mutawakkil
yang berbeda dengan paman, ayah dan saudaranya yang bersikap bemusuhan
terhadap alirah Muktazilah. Pada saat ia diangkat menjadi khalifah, maka tindakan
yang pertama ia lakukan adalah membebaskan `Imȃm `Ahmad bin Hanbal dari
tahanan yang sebelumnya ditahan kembali oleh khalifah al-Wȃṥiq karena kritik-
kritiknya yang keras terhadap khalifah.21
B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ambil, yaitu Penghapusan


Paham Muktazilah oleh Khalifah Ja᷾ far al-Mutawakkil, maka obyek yang
menjadi kajian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Paham Muktazilah dalam Daulah ᷾Abbȃsiyah sebelum al-Mutawakkil
2. Biografi al-Mutawakkil sebagai Khalifah ᷾Abbȃsiyah
3. Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Pada penelitian ini masalah yang akan diangkat adalah mengenai
Penghapusan Paham Muktazilah oleh Khalifah Ja᷾far al-Mutawakkil, diawali
dengan mengkaji mazhab resmi Dinasti ᷾Abbȃsiyah sebelum khalifah al-
Mutawakkil hingga pada masa kekuasannya yang menghapus paham Muktazilah
dari mazhab resmi negara, mengkaji biografi khalifah al-Mutawakkil dan latar
belakangnya, dan larangan paham Muktazilah sebagai mazhab resmi negara
hingga menguatnya Ahli Hadis.
Untuk memudahkan dalam penelitian, maka dibuatlah rumusan masalah

20
Joesoef Sou’yb, Daulat Abbasiah II, h.10.
21
Joesoef Sou’yb, Daulat Abbasiah II, h. 10.
7

sebagai berikut:
1. Bagaimana Paham Muktazilah dalam Daulah ᷾Abbȃsiyah sebelum al-
Mutawakkil?
2. Bagaimana Biografi al-Mutawakkil sebagai Khalifah?
3. Bagaimana Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis?
Berangkat dari rumusan masalah yang telah penulis ajukan di dalam
bagian ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan penulis cari jawabannya dengan
menggunakan sumber-sumber dan metode penelitian yang akan penulis jelaskan
dalam bagian selanjutnya.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana mazhab Muktazilah berkembang di Dinasti ᷾Abbȃsiyah.
2. Mengetahui bagaimana biografi khalifah Ja᷾far al-Mutawakkil,
3. Mengetahui penyebab paham Muktazilah bisa dihapuskan oleh Khalifah Ja᷾far
al-Mutawakkil dan mulai menguatnya Ahli Hadis.

E. Manfaat Penelitian
1. secara akademis memberikan wawasan yang luas tentang kondisi Umat Islam
pada masa Dinasti ᷾Abbȃsiyah,
2. sebagai bahan perbandingan bagi penulis selanjutnya,
3. menambah perbendaharaan ilmu pengatahuan,
4. secara praktis memberikan manfaat bagi penulis dan para pecinta studi
penelitian sejarah dalam rangka upaya pengembangan sejarah Islam umumnya
dan khususnya pada masa penghapusan paham Muktazilah oleh khalifah al-
Mutawakkil
F. Tinjauan Pustaka
Karya-karya yang berkaitan dengan Dinasti ᷾Abbȃsiyah dan kebijakan
keagamaannya menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan. Dengan demikian,
hal ini menarik pula untuk diteliti. Karya-karya tersebut baik dalam bentuk buku,
jurnal, artikel, maupun majalah, di antaranya:
8

1. Pertama buku Tarikh al-Rusul wa al-Mulȗk 'Annals of the Apostles and


Kings’, karya Abu Ja᷾far Muhammad bin Jarir al-Ṭabari (839-923 M), yang
secara umum merupakan karya sejarah universal terpenting yang diproduksi
di dunia Islam.
Karya monumental ini mengeksplorasi sejarah bangsa-bangsa kuno, para
Nabi, kebangkitan Islam dan sejarah dunia Islam sampai tahun 915 M/302 H
yaitu Kembalinya Kekhalifahan ke Baghdad: (Khilafah al-Mu᷾tadid, al-
Muktafȋ dan al-Muqtadir), ini dibagi dalam 40 Volume (termasuk indeks)
yang masing-masing mencakup sekitar dua ratus halaman teks asli bahasa
Arab.
Imam al-Ṭabari menghabiskan 12 tahun menulis ensiklopedia ini tentang
sejarah Islam. Tugasnya tidak mudah karena ia harus mengumpulkan dan
mengkompilasi materi dari sumber yang berbeda. Dia harus mengandalkan
laporan lisan sekaligus melengkapi ensiklopedianya. Ensiklopedianya,
'Sejarah para Rasul dan Raja-raja', mencatat Sejarah Islam dari tahun ke
tahun. Sebuah upaya untuk mengkategorikan sejarah dari penciptaan sampai
tahun 915 M. Pada saat dia menyelesaikan pekerjaannya, dia telah
mengumpulkan semua tradisi historis orang-orang Arab dalam karya
besarnya. Dunia Muslim tidak lamban dalam menunjukkan penghargaannya,
dan karya ini menjadi lebih terkenal daripada Tafsir Al-Quran, karena tidak
ada karya lain seperti yang ada saat itu.
Dilaporkan bahwa setidaknya ada 20 salinan ensiklopedianya di semua
perpustakaan besar di negara Muslim pada masa itu. Ratusan penyalin
mendapatkan penghasilan mereka untuk menyalin karyanya untuk
penggunaan individu dan perpustakaan. Banyak karya aslinya hilang seiring
berlalunya waktu. Baru pada akhir abad yang lalu para ilmuwan modern
menyatukan karyanya sehingga bisa dipelajari oleh siswa di zaman modern.
2. Selanjutnya buku The History of al-Ṭabari Volume 34, yang diterjemahkan
dan dijelaskan oleh Joel L. Kraemer. Peristiwa yang digambarkan dalam buku
ini berlangsung selama waktu abari sendiri. Al-Ṭabari dengan demikian
menulis “sejarah sementara” dan ceritanya, yang sering didasarkan pada
9

laporan tangan pertama ditarik dengan detail dan dijelaskan dengan sangat
menarik.
Volume tersebut menggambarkan puncak “periode Samarra setelah
perpindahan al-Muktaṣim dari ibu kota ᷾Abbȃsiyah dihukum dari Baghdad
sampai Samarra, ada tiga Khalifah yang digambarkan dalam buku ini: putra
dan penerus Al-Mu᷾taṣim yaitu, al-Waṭiq, al-Mutawakkil dan al-Muntaṣir
(putra al-Mutawakkil).
3. Selanjutnya buku “Daulah ᷾Abbȃsiyah”. Yang ditulis oleh Joesoef Sou’yb.
Buku ini mengupas tuntas Dinasti ᷾Abbȃsiyah mulai dari berdirinya di
Khurasan, pemerintahan Bani Buwaih, berdirinya Dinasti Hamdaniyah
hingga runtuhnya Dinasti Fȃṭimiyah. Kegemilangan periode pemerintahan al-
Mahdi, Harun al-Rasyȋd, dan al-Ma`mȗn yang disertai dengan intrik-intrik
politik untuk memperoleh kekuasaan, juga dituturkan secara runtut dalam
buku ini.
4. Selanjutnya buku “Tarikh Khulafȃ: Sejarah Para Khalifah” di sini
menjelaskan literatur Islam klasik tentang sejarah para khalifah dan
kekhilafahan. Imam as-Suyȗṭi penulisnya mengawali kajiannya dengan
menyebutkan syarat-syarat penetapan khalifah beserta dalil-dalilnya,
dilanjutkan dengan pemaparan sejarah kehidupan para khalifah, mulai dari al-
al-Khulafȃ al-Rȃsyidȗn, Bani `Umayyah , Bani ᷾Abbȃsiyah, hingga khalifah-
khalifah bayangan yang memisahkan diri dari pusat kekhilafahan Islam yang
resmi. Penjabarannya dilengkapi dengan uraian pelbagai peristiwa penting
yang terjadi dalam periode kekuasaan setiap khalifah, prestasi maupun
kegagalan mereka, serta pasang surut pemerintahan mereka.
Kelengkapan dan kesahihan rujukan yang digunakan penulisnya, serta
pemaparan episode sejarah dan peristiwa historis yang sistematis merupakan
keunggulan karya ini. Dengan menelaahnya, para pembaca dapat
menapaktilasi kehidupan para pemimpin kaum Muslimin dulu, mengetahui
sebab-sebab kejayaan dan kejatuhan suatu periode kekhilafahan, serta
memetik pelajaran dari kepemimpinan maupun pemerintahan para khalifah
tersebut.
10

5. Selanjutnya buku “Pendidikan Islam Transformatif” yang ditulis oleh Dr.


Mahmud Arif. Di sini menjelaskan kebijakan khalifah al-Mutawakkil (847-
861 M.) mengubah haluan politik yang telah digariskan oleh tiga
khalifah ᷾Abbȃsiyah sebelumnya (al-Ma`mȗn, al-Muktaṣim, dan al-Wȃṥiq)
tentang paham resmi kebaruan al-Quran dan al-Mihnah bagi para penentang,
dan ia pun berbalik mendukung paham Ahli Hadis.
6. Selanjutnya buku “Al-Juaini Peletakan Dasar Teologi Rasional Dalam
Islam”, buku ini ditulis oleh Dr. Tsuroya Kiswati. di sini menjelaskan ilmu
kalam dan teologi membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap
orang yang igin menyelami seluk beluk agama yang dianutnya. Seseorang
yang telah memahami teologi dengan cara mempelajarinyasecara mendalam
diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam
beragama. Orang yang demikian tidak mudah diperdayakan oleh zaman yang
selalu berubah. Setiap gerak langkah tindakan dan perbuatan selalu
dilandaskan dengan keyakinan.
7. Selanjutnya buku “Daulah ᷾Abbȃsiyah II”, Yang ditulis oleh Joesoef Sou’yb.
buku ini terdiri dari tiga jilid. Pada jilid II ini menjelaskan tentang latar
belakang khalifah al-Mutawakkil, perkembangan Dinasti ᷾Abbȃsiyah , dekrit
mengenai non-Muslim dan Syi᷾ ah dan gerakan Suni pada masa Khalifah al-
Mutawakkil.
Dari banyaknya buku yang menjelaskan tentang Dinasti ᷾Abbȃsiyah dan
paham Muktazilah tersebut tidak menjelaskan secara detail tentang penjelasan
mengapa paham Muktazilah dihapuskan dan tidak lagi dijadikan mazhab
resmi negara. Penulis di sini akan menjelaskan tentang dihapusnya paham
muktazilah tersebut, sehingga bisa melengkapi tulisan dari buku-buku lain
dengan jelas.
G. Kerangka Teori
Sebagaiman yang penulis jelaskan di atas, skripsi ini menjelaskan tentang
penghapusan pahan Muktazilah oleh khalifah Ja᷾far al-Mutawakkil terkait dengan
kekhalifahan yang dipimpin oleh khalifah al-Ma`mȗn yang menjadikan paham
Muktazilah sebagai paham resmi negara yang kemudian di lanjutkan oleh al-
11

Mu᷾taṣim dan al-Wȃṥiq lalu dilanjutkan oleh al-Mutawakkil kemudian dihapus


olehnya.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan
oleh Pierre Bourdieu, ia mencetuskan bahwa doxa memiliki sejumlah makna
terkait dangan jenis pemahaman yang bekerja, tetapi konsep secara luas mengacu
pada kesalahpengenalan (misrecognition) dari bentuk kesewenang-wenangan
sosial yang menimbulkan ketidakteraturan, non-discursive, tetapi dihayati dan
pengakuan praktis atas kesewenang-wenangan sosial yang sama. Hal ini
memberikan kontribusi untuk reproduksinya dalam lembaga-lembaga sosial,
struktur dan hubungan serta pikiran dan tubuh, harapan dan perilaku. 22 Doxa
mengacu pada pra-refleksif pengetahuan intuitif yang dibentuk oleh pengalaman,
kepada kecenderungan fisik dan relasional yang diwarisi secara tak disadar. Doxa
merupakan seperangkat keyakinan dasar (a set of fundamental belief) yang bahkan
tidak perlu ditegaskan dalam bentuk yang eksplisit, dogma yang disadari dengan
sendirinya.23
Konsep doxa sebagai kepercayaan bersama yang tidak dipertanyaan lagi
membentuk sebuah arena, mendasari gagasan yang menghubungkan pada
kekuasaan simbolik, secara khusus relevan dengan pemahaman relasi sosial dalam
masyarakat modern. Dalam konteks ini, doxa mengambil bentuknya sebagai
kekuasaan simbolik yang memediasi berbagai bentuk akumulasi modal (budaya,
ekonomi, sosial). Kekuasaan ini dijalankan melalui kebiasaan, mekanisme,
perbedaan dan asumsi-asumsi, kekuatan dan legitimasinya berada di dalam
kesalah-pengenalan (misrecognition) atas kareakter kemunculan dan reproduksi
sosial historis yang sewenang-wenang.24
Dengan demikian, doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif
yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari praktik dan persepsi individu
menjadi praktik dan persepsi yang diterima kelompok atau institusi sosial lainnya
(universe of undispute). Artinya, doxa dapat menciptakan legitimasi bagi wacana
22
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, (UK: Acumen, 2008), h. 119-
120.
23
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, h. 119-120.
24
Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, h. 121.
12

dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh institusi25 yang ada dalam
masyarakat. Sebagaimana ruang sosial yang selalu bergerak, di dalam doxa
terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan
orthodoxy. Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha memberikan
penilaian negatif terhadap doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana yang terus
berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) doxa.
H. Metodologi Penelitian
Laporan penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang
digunakan adalah metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan
26
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Poin-poin
penting yang akan ditulis dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana dan
masanya. Adapun analisa pada faktor-faktor politik menjadi faktor pendukung.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melalui beberapa tahapan yaitu
pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah).
1. Pemilihan Topik
Dalam hal ini penulis memilih “Penghapusan Paham Muktazilah oleh
Khalifah al-Mutawakkil”. Adapun metode yang digunakan oleh penulis adalah
deskripsi-analisis yang dilanjutkan dengan perencanaan penelitian. Dalam rencana
penelitian, penulis mengemukakan permasalahan dan garis besar yang akan
dibahas.
2. Heuristik (pengumpulan sumber)
Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber terkait
dengan tema penelitian, baik itu dalam bentuk buku seperti Ḍuhȃ al-Islȃm, Fajr
al-Islȃm, Zuhr al-Islȃm, Tȃrȋkh al-Khulafȃ dengan penulis-penulis yang semasa
pemerintahan masa itu, e-book, jurnal, surat kabar, artikel, sumber tak terbit

25
Istilah institusi yang dipakai Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi
tertentu, tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan
berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi
inilah yang memberikan otoritas kepada penutur (agen) untuk melakukan tindakan sebagaimana
ujaran yang diucapkan dalam ujaran performatif.
26
Louis Gottschalk. Mengerti sejarah. Terj: Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI Press.
1983. h.3.
13

(skripsi dan tesis) dan berita media elektronik. Penulis mendapat sumber-sumber
tersebut dari Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, dan Perpustkaan Nasional Republik Indonesia.
3. Verifikasi (kritik sumber)
Setelah penulis berhasil mengumpulkan beberapa sumber, kemudian
penulis melakukan verifikasi terhadap sumber-sumber yang telah didapat tersebut
dengan tujuan untuk mengetahui sumber tersebut bersifat objektif dan tidak.
Penulis banyak mengambil sumber dari buku-buku yang semasa dengan
pemerintahan masa itu, seperti Ahmad Amin. Dari sumber-sumber tersebut
penulis menerjemahkan agar bisa memahami permasalahan-permasalahan yang
penulis bahas dalam tulisan tersebut. Penulis mengklasifikasikannya dalam
sumber primer, sekunder, dan sezaman. Tujuannya adalah untuk menemukan
fakta yang valid sesuai dengan penelitian ini.
4. Interpretasi (penafsiran)
Selanjutnya, dari data yang sudah diverifikasi tersebut penulis melakukan
interpretasi atau penafsiran tentang persisnya peristiwa yang terjadi. Karena dari
beberapa sumber yang penulis ambil, penulis-penulis sejarah pada masa itupun
tidak lepas dari penguasa, yang artinya Ini dilakukan untuk mencari keterkaitan
antara masing-masing sumber, juga untuk dijadikan sebagai argumen. Dengan
begitu dapat disimpulkan data yang dimaksud dalam penulisan ini.
5. Historiografi (penulisan sejarah)
Tahap yang terakhir dalam penelitian ini adalah penulisan sejarah. Pada
tahap ini, penulis akan menuangkan semua pemahaman, analisis, dan jawaban
dari penelitian ini ke dalam tulisan sejarah yang deskriptif- analitis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya.
Seperti tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemerintahan, berikut hubungan
para tokoh dengan pemerintahan yang bertemu dalam satu permasalahan
mengenai penghapusan paham Muktazilah tersebut.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini mempunyai tiga hal
yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berupa
14

pendahuluan, isi, dan akhir atau kesimpulan yang selalu berkaitan antara satu bab
dengan bab lainnya. Di dalam tiap bab tersebut juga terdapat beberapa subbab
yang jumlahnya tidak mengikat meskipun tetap dalam koridor penguraian hasil
penelitian.27
Pada Bab I, berisi latar belakang masalah, identifikasi permasalahan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Pada Bab II, Paham Muktazilah Dalam Daulah ᷾Abbȃsiyah sebelum al-
Mutawakkil.
Pada Bab III, Al-Mutawakkil Sebagai Khalifah dengan subbab yaitu Asal
Usul al-Mutawakkil, Pengangkatan al-Mutawakkil Sebagai Khalifah, Keadaan
Sosial, Politik dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil, Pembunuhan terhadap
al-Mutawakkil dan silsilah Dinasti ᷾Abbȃsiyah.

Pada Bab IV, Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis.

Pada Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran yang dilengkapi dengan
daftara pustaka.

27
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 69.
BAB II

Paham Muktazilah Dalam Daulah ᷾Abbȃsiyah sebelum al-Mutawakkil

A. Perkembangan Paham Muktazilah

Aliran Muktazilah adalah aliran pikiran Islam yang terbesar dan tertua,
yang telah memainkan peranan yang sangat penting. Orang yang hendak
mengetahui filsafat Islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan
agama dan sejarah pemikiran Islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang
orang-orang Muktazilah, bukan yang dikarang oleh orang-orang yang lazim
disebut filsuf-filsuf Islam, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Aliran Muktazilah lahir
kurang lebih pada permulaan abad kedua Hijrah di kota Basrah, pusat ilmu dan
peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan
pertemuan bermacam-macam agama.28
Nama Muktazilah bukan ciptaan orang-orang Muktazilah sendiri, tetapi
diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Muktazilah menamakan dirinya
"ahli keadilan dan keesaan" `ahlu at-Tȃl wa at-tauhȋdȋy. Nama Muktazilah
diberikan karena:
1. Orang-orang Muktazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat,
karena mereka (orang-orang Muktazilah) mengatakan bahwa orang
fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukmin tidak pula
kafir.
2. Wȃṣil bin Aṭa᷾, pendiri aliran Muktazilah, berbeda pendapat dengan
gurunya, yaitu Hasan al-Baṣri, dalam soal tersebut di atas yang
karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya
dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut banyak. Melihat
tindakan Wȃṣil dan temannya itu, Hasan al-Baṣri pun berkomentar
dengan kata: “I᷾tazala ᷾Annȃ Wȃṣil” (Wȃṣil telah memisahkan diri dari

28
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), cet-12, h. 43.

15
16

kita). Semenjak itulah Wȃṣil dan kawannya-kawannya dinamai dengan


sebutan Muktazilah.29
3. Ahmad Amin berpendapat bahwa yang mula-mula memberikan nama
Muktazilah adalah orang-orang Yahudi. Seperti diketahui, sepulang
mereka dari tawanan di Syiria (Perang Meccabea melawan Antiochus
Raja Syiria, abad keempat atau ketiga sebelum lahir Isa) timbullah
antara mereka golongan Pharisee yang artinya memisahkan diri (dari
bahasa Ibrani, parash, separate). Maksud sebutan ini tepat sekali
dipakai untuk orang-orang Muktazilah. Selain itu pendapat golongan
Yahudi Pharisee mirip dengan golongan Muktazilah, yaitu bahwa
semua perbuatan, bukan Tuhan yang mengadakannya, tetapi pendapat
terakhir ini kurang tepat, karena motif berdirinya golongan Pharisee
berlainan dengan motif berdirinya golongan Muktazilah.30
Persoalan teologis yang cukup hangat diperbincangkan oleh para ulama
pada pengujung abad I Hijrah ialah tentang status orang mukmin yang melakukan
dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir. Persoalan tersebut
kemudian muncul pula di majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan al-Baṣri ( 21-
110 H/642-728 M) di masjid Baṣrah.31

Ada pula versi lain sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Wȃṣil
dan temannya ᷾Amr bin ᷾Ubaid diusir oleh Hasan al-Baṣri dari majelisnya karena
adanya perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang
mukmin yang berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan al-
Baṣri dan mereka pun disebut dengan kaum Muktazilah karena pendapat mereka
memisahkan diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang
berdosa besar.32

29
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo Mesir : Mushṭafȃ al-Baby al-Halaby,
1961), h.48.
30
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, h. 44.
31
Mawardy Hatta, “Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” Ilmu
Ushuluddin, V. 12, No. 1 (Januari 2013): h. 88.
32
Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq ( Cairo: Maktabah Ali Sabih), h. 20.
17

Istilah Muktazilah sebenarnya sudah pernah muncul satu abad sebelum


munculnya Muktazilah yang dipelopori oleh Wȃṣil bin Aṭa᷾. Sebutan Muktazilah
ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan
urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.33

Suasana lahirnya Muktazilah sejak Islam meluas, banyaklah bangsa-


bangsa yang masuk Islam untuk hidup di bawah naungannya. Akan tetapi tidak
semuanya memeluk dengan segala keikhlasan. Ketidakihlasan ini terutama
dimulai sejak zaman Mu᷾ȃwiyah, karena mereka telah memonopoli segala
kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini menimbulkan kebencian
terhadap bangsa Arab dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam, sumber
keagungan dan kekuatan mereka.34
Secara khusus sebutan Muktazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak
mau ikut peperangan, baik Perang Jamal antara pasukan Sayyidinȃ ᷾ Ali bin Abi
Ṭȃlib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun Perang Siffin antara pasukan
Sayyidinȃ ᷾Ali bin Abi Ṭȃlib melawan pasukan Mu᷾ȃwiyah. Kedua peperangan ini
terjadi karena persoalan politik.35 Jika Muktazilah pertama muncul berkaitan
dengan masalah politik, maka Muktazilah yang kedua, yang muncul satu abad
kemudian, lebih disebabkan karena persoalan agama semata. Muktazilah inilah
yang kemudian menjadi salah satu aliran kalam dalam pemikiran Islam.36
Di antara musuh-musuh Islam dari dalam ialah golongan Rafȋḍah, yaitu
golongan syiah ekstrem yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang
jauh sama sekali dari ajaran Islam, seperti kepercayaan agama Ma᷾ȃny dan
golongan skeptik yang pada waktu itu tersebar luas di kota-kota Kufah dan
Basrah, juga golongan tasawuf inkarnasi termasuk musuh Islam.37
Dalam keadaan demikian itu muncullah golongan Muktazilah yang
berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai sistim/metode dan pendapat-
pendapatnya sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang

33
Ahmad Amin, Ẓuhr al-Islȃm IV (Cairo Mesir: Maktabah al-Nahḍah, 1975), h.7.
34
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, 1969), h.289.
35
Ahmad Amin, Fajr al-Islȃm, h.290.
36
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89.
37
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, h. 45.
18

Muktazilah namun mereka sendiri sering sering terpengaruh oleh golongan-


golongan tersebut, karena pendapat dan pikiran selalu bekerja, baik terhadap
lawan maupun kawan, baik menerima atau membantah bahkan sering masuk
kepada lawannya tanpa dikehendaki atau disengaja.
B. Dukungan Khalifah-Khalifah A
᷾ bbȃsiyah kepada Muktazilah

Pada awalnya Muktazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut


oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal
ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah
kerajaan ᷾Abbȃsiyah. Melihat hal demikian, khalifah al-Ma`mȗn (813-833 M)
putera Harun al-Rasyȋd (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi
Muktazilah sebagai mazhab resmi negara.38 Sejak itu resmilah aliran Muktazilah
menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam
wilayah kekuasaan Dinasti ᷾Abbȃsiyah.
Di zaman pemerintahan al-Ma`mȗn ialah masalah al-Qur’an sebagai
makhluk. Kaum Muktazilah telah mendukung al-Ma`mȗn menentang ahlusunnah
dan Ulama Hadis dalam perkara ini. Kaum Muktazilah menolak sifat-sifat Ma᷾ȃny
Allah SWT, yang di antara sifat Allah ialah al-Kalȃm, karena pengakuan terhadap
sifat-sifat ini membawa kepada kemajemukan sifat-sifat yang qadȋm. Ini menjadi
sifat yang bertentangan dengan tauhid, karena itulah mereka mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah mahluk, karena al-Qur’an berupan suara-suara dan huruf-huruf
yang mana bukan zat Allah. Bahkan Allah menciptakannya selain dari Lauh al-
Mahfȗẓ atau Jibril lalu kepada Nabi. Dalam mempertahankan pendapat mereka itu
kaum Muktazilah telah mengemukakan dalil-dalil akli dan juga naqli, tetapi
Ahlusunnah dan Ulama Hadis menentang dengan bersungguh-sungguh tanpa
hujah-hujah dan dalil-dalil yang kuat untuk mempertahankan pendapat mereka.39
Khalifah al-Ma`mȗn telah campur tangan secara keras dan menggunakan
kekuasannya untuk memaksa rakyat bepegang kepada pendapat al-Qur’an sebagai
makhluk. Banyak juga dari para kalangan penulis yang mengecam kebijakan

38
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, juz III. (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h. 8.
39
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru,
2003), h. 122.
19

tersebut karena mengamalkan sikap memberantas kebebasan menggunakan mata


pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas ulama yang menentang
prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil mungkin bisa mencarikan alasan yang
sesuai tentang sikap al-Ma`mȗn tersebut, yang sebenarnya tidak ada kaitan
dengan dirinya sama sekali, seandainya ada kaitan dengan dirinya niscaya beliau
tentu bersikap pemaaf, tetapi bagi al-Ma`mȗn pekara itu lebih mendalam, tentang
suatu masalah keislaman yang menyangkut pokok-pokok akidah, dan beliau juga
berpendapat barang siapa tidak mengakui al-Qur’an sebagai makhluk maka keluar
dari akidah Islam. Oleh karena itu, beliau mengumumkan sebagai khalifah kaum
Muslimin yang menguruskan masalah-masalah agama dan dunia untuk mereka.
Beliau berkewajiban untuk tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama
itu dalam hal-ihwan kerajaan, dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari
pikiran yang beliau anggap sesat dan salah. Al-Ma`mȗn semakin bertambah
marah terhadap golongan Ahli Hadis, karena sikap mereka yang jumud (beku) dan
tidak mempertahankan pendapat mereka dengan logika atau hujah-hujah naqli.40
`Imȃm `Ahmad bin Hanbal telah memimpin golongan yang menentang
pendapat al-Qur’an sebagai makhluk, tetapi barang siapa yang meneliti buku-buku
sastra dan sejarah dapat menganggap bahwa `Imȃm `Ahmad bin Hanbal dan
pedukung-pendukungnya tidak mempertahankan pendapat mereka secara logis
dengan bukti-bukti naqli.41
Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa rekannya telah mengalami banyak
penderitaan karena tidak mau merubah sikap dan pendapat mereka. Masyarakat
umum menilai sikap itu sebagai keperwiraan dan keimanan golongan tersebut.
Patut ditekankan juga bahwa beberapa pukulan yang berat telah menimpa
golongan tersebut sesudah kemangkatan al-Ma`mȗn, tetapi malangnya al-Ma`mȗn
telah mewasiatkan saudaranya al-Mu᷾taṣim supaya rakyatnya berseru dan
mengakui al-Qur’an sebagai makhluk.42

40
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 122.
41
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 123.
42
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 123.
20

Pemerintahan al-Ma`mȗn mendukung paham teologi rasional Muktazilah


dan bahkan telah menetapkan paham ini menjadi haluan negara secara resmi. Oleh
karena itu, mereka yang menentangnya akan diadili (al-Mihnah).43
Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis aliran
ini mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari penguasa saat itu. Selanjutnya
aliran ini pun dengan leluasa dan berani menyebarkan paham-pahamnya secara
terbuka kepada publik. Penyebaran tersebut mereka lakukan mulai cara lemah
lembut sampai pemaksaan dan kekerasan. Puncak kekerasan dan pemaksaan itu
berkenaan dengan paham “al-Qur’an Makhluk”. Masalah ini sampai
menimbulkan peristiwa al-Mihnah yaitu pemeriksaan terhadap Ulama Ahli Hadis
dan ahli fikih oleh khalifah al-Ma`mȗn pada Dinasti ᷾Abbȃsiyah. Mula-mula
khalifah al-Ma`mȗn mengirimkan surat kepada `Ishȃq bin `Ibrȃhȋm (gubernur
Baghdad) agar memerintahkan kepada para pejabat untuk mengakui paham bahwa
al-Qur’an adalah makhluk. Ada tiga langkah yang harus diambil, pertama
memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak mau mengakui kemakhlukan al-
Qur’an, kedua memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap ulama ahli
fikih dan Ahli Hadis serta yang terkait dengan urusan fatwa tentang makhluk
tidaknya al-Qur’an. Bila upaya kedua ini tidak membawa hasil (mereka
tawaqquf), maka perlu dilakukan langkah ketiga yaitu mereka harus disiksa
bahkan diancam hukuman mati.44
Dalam peristiwa al-Mihnah, `Ishȃq telah memeriksa sekitar 30 orang
hakim, ulama ahli hadis dan ahli fikih, mereka sepakat mengakui kemakhlukan al-
Qur’an, namun ada empat orang ulama yang tawaqquf yaitu `Ahmad bin Hanbal,
Sajjadah, al-Qawariri dan Muhammad bin Nuh,45 karena itu keempat ulama tadi
dimasukkan ke dalam tahanan dalam keadaan diborgol. Keesokan harinya
Sajjadah mau mengakui dan ia pun dibebaskan. Pada hari-hari berikutnya ketiga
ulama yang masih ditahan tadi terus dipaksa dan diancam agar mau mengakui

43
Taufiq Abdullah, “Era Pengaruh Turki,” dalam Starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, vol. I (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 98.
44
Abu Zahrah, Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah ( Cairo Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.), h.
180-181.
45
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 176.
21

kemakhlukan al-Qur’an, hingga akhirnya al-Qawariri mengakuinya dan iapun


dibebaskan. Sementara dua lainnya dikirim kepada khalifah al-Ma`mȗn di Ṭurus.
Muhammad bin Nuh meninggal dunia dalam perjalanan. Di tengah perjalanan
tersiar kabar bahwa al-Ma`mȗn meninggal dunia, namun sebelumnya ia sempat
berwasiat kepada penggantinya yaitu al-Mu᷾taṣim agar melanjutkan
kebijakannya.46 Atas wasiat tersebut, al-Mu᷾taṣim pun melanjutkan al-Mihnah
terhadap mereka yang belum mengakui kemakhlukan al-Qur’an termasuk yang
masih tawaqquf. `Ahmad bin Hanbal karena tetap tawaqquf, iapun dipenjarakan
dan disiksa sampai beberapa tahun baru ia dibebaskan.47
Setelah al-Mu᷾taṣim meninggal, kekhalifahan diganti oleh al-Wȃṥiq (842-
847 M). Kebijakan melakukan al-Mihnah tampaknya tidak dihentikan, namun
tidak lagi terlalu keras seperti pendahulunya. Ada informasi bahwa khalifah
terakhir ini telah memancung seorang ulama terkenal `Ahmad bin Naser al-
Khuzȃ᷾’ȋ karena tidak mengakui kemakhlukan al-Qur’an.48 Setelah al-Wȃṥiq
meninggal, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil (232-247 H). Berbeda
dengan khalifah-khalifah sebelumnya, al-Mutawakkil tidak menudukung aliran
Muktazilah, sehingga masalah al-Mihnah tidak lagi ia teruskan. Sejak itu al-
Mihnah pun terhenti, ia bahkan berusaha meredam ketegangan situasi dan
membebaskan ulama yang ditahan sebelumnya.49
Jika semula aliran Muktazilah mengalami kemajuan dan dapat meraih
zaman keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya disenangi
kaum intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan dan penyiksaan,
terlebih lagi pemenjaraan terhadap para ulama, maka sejak itu kaum muslimin
mulai membenci aliran Muktazilah. Merekapun mulai meninggalkan aliran
tersebut. Kebencian mereka seakan didukung oleh sikap khalifah al-Mutawakkil
yang juga tidak senang dengan aliran Muktazilah. Aliran ini perlahan-lahan mulai
mengalami kemunduran dan kehilangan kekuatannya. Lebih-lebih setelah

46
Abu Zahrah, Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah, h.182.
47
Abu Zahrah, Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah, h.183.
48
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Waljamaah?
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987).h. 44.
49
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk, h.44.
22

Muhammad al-Ghazwani, seorang pengikut mazhab Suni dan Syȃfi᷾ i berkuasa


sampai ke wilayah Irak tahun 395 H mengeluarkan pengumuman larangan
terhadap aliran Muktazilah di wilayahnya, buku-bukunya banyak yang dibakar
dan ajaran-ajarannya tak boleh lagi dianut.50 Akhirnya al-Mutawakkil pun
membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada tahun 848
M.51
C. Mihnah pada Masa al-Ma`mȗn

Mihnah berasal dari kata mahana - yumhinu - mihnan yang berarti


menguji, mengetes. Adapun al-Mihnah ‫ مايمتحن اإلنسان من بلية‬52 yaitu manusia yang
diuji dengan cobaan. Menurut Hans Wehr53 al-Mihnah berarti severe, trial,
ordeal, tribulation,54 yaitu pemeriksaan keras, cobaan berat, kesengsaraan. Dari
pengertian ini dapat disimpulkan bahwa al-Mihnah adalah ujian, pemeriksaan dan
cobaan yang berat yang mengakibatkan kesengsaraan.
Dalam pengertian lebih lanjut, al-Mihnah adalah suatu pemeriksaan,
penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Muktazilah terhadap para
Qȃḍȋ dan pejabat serta tokoh masyarakat agar mereka menerima paham bahwa al-
Qur’an diciptakan, sebagaimana dianut kaum Muktazilah. Bagi para Qȃḍȋ yang
menyatakan pandangannya sesuai dengan Muktazilah dalam hal diciptakannya al-
Qur’an itu, dapat melanjutkan jabatannya dan mereka dipandang sah kesaksiannya
di pengadilan. Paham tentang kemakhlukan al-Qur’an sebenarnya merupakan
konsekuensi dari ajaran Muktazilah tentang at-Tauhȋd. Tuhan dalam paham
mereka akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan satu Zat yang

50
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), cet.II, h.102.
51
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 60.
52
Louis Ma’luf, a-Munjȋd fȋ al-Lughah wa al-᷾Ȃlam (Beirut: Dȃr al-Masyriq, 1973), h.
750.
53
Hans Wehr, (Jerman: Hans Wehr lahir, 5 Juli 1909, meninggal, 24 Mei 1981) ia adalah
seorang Arabis Jerman. Seorang profesor di Universitas Munster dari tahun 1957-1974, dia
menerbitkan majalah Arabisches Worterbuch (1952), yang kemudian diterbitkan dalam edisi
bahasa Inggris sebagai A Dictionary of Modern Written Arabic, disunting oleh J Milton Cowan.
Saat ini, karya tersebut dianggap sebagai kamus ilmiah standar bahasa Arab untuk siswa dan
cendekiawan bahasa Inggris. Untuk kamus Wehr membuat skema transliterasi untuk mewakili
alfabet Arab. Edisi terakhir kamus ini diterbitkan pada tahun 1995 dan hanya bahasa Arab-Jerman.
54
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz),
1960, h. 895.
23

unik, tidak ada yang serupa dengannya. Mereka menolak paham antropomorfisme
yaitu menggambarkan Tuhan dekat dengan makhluknya. Satu-satunya sifat Tuhan
yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya ialah sifat qadȋm. Hanya zat
Tuhan yang boleh qadȋm. Mengakui al-Quran qadȋm adalah syirik, karena berarti
ada yang qadȋm selain Allah.55
Surat pertama khalifah al-Ma`mȗn kepada gubernur ibu kota Baghdad,
Emir `Ishȃq bin `Ibrȃhȋm bin Muṣ᷾ab menyatakan sifat al-Ma`mȗn mengenai
masalah kalȃmullah di dalamnya dikaitkan masalah kitab suci al-Qur’an.56
Khalifah al-Ma`mȗn, putra khalifah Hȃrȗn al-Rasyȋd, setelah menjadikan
teologi Muktazilah sebagai paham resmi yang dianut negara, lalu beliau
mengumumkan pula tentang kemakhlukan al-Qur’an.57
Sebenarnya paham tentang kemakhlukan al-Qur’an ini sudah ada pada
masa khalifah bani `Umayah terakhir, pada masa khalifah Marwan bin
Muhammad. Paham ini dilontarkan oleh Jaad bin Dirham, guru Marwan. Jȃd
memperolehnya dari Aban bin Saman, sedangkan Aban sendiri memperolehnya
dari Ṭalut bin Aṣam, seorang Yahudi. Jȃd mempunyai murid bernama Jaham bin
Ṣafwan, yang kelak mempunyai pengaruh yang besar dalam pemikiran
Muktazilah, karena pahamnya tersebut, akhirnya ia dibunuh oleh Khalid bin
Abdillah al-Qasri, wali Kufah.58
Pada masa Khalifah Hȃrȗn al-Rasyȋd, paham tentang kemakhlukan al-
Qur’an ini dikemukakan oleh Basyar al-Marisi. Khalifah marah sekali sehingga
beliau mengatakan “kalau Tuhan memberi panjang umurku dan aku bersua
dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia". Akhirnya Basyar al-Marisi
menyembunyikan diri sampai khalifah meninggal dunia.59
Setelah mengumumkan kemakhlukan al-Qur’an, khalifah al-Ma`mȗn
melancarkan al-Mihnah kepada para qȃḍȋ, para pejabat dan tokoh masyarakat.

55
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 151.
56
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
151.
57
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan (Jakarta:
UI-Press, 1986), h. 53.
58
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 162.
59
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 162.
24

Tujuannya adalah untuk meluruskan akidah warga negaranya, karena banyak para
qȃḍȋ yang juga meyakini qadȋmnya al-Qur’an, padahal mereka harus dapat
dipercaya, yang dapat dipercaya hanyalah yang benar imannya.60
Pelaksanaan al-Mihnah dijelaskan oleh Harun Nasution sebagai berikut:
Perintah untuk menguji dan memeriksa itu dalam bentuk instruksi pemerintah
kepada gubernurnya, yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim
(al-Quḍȃh). Instruksi itu menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-Qur’an
bersifat qadȋm, dan dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak untuk
menjadi hakim. Bukan para hakim dan para pemuka saja yang dipaksa mengakui
bahwa al-Qur’an diciptakan, yang menjadi saksi dalam perkara yang diajukan di
Mahkamah juga harus menganut paham demikian. Jika tidak, kesaksiannya batal.
Kemudian ujian serupa dihadapkan pula kepada para pemuka tertentu dari
masyarakat, karena yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul
menganut paham tauhid. Ahli fikih dan hadis di waktu itu mempunyai pengaruh
besar dalam masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-Qur’an,
tentu banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran Muktazilah.61
Langkah pertama yang dilakukan al-Ma`mȗn adalah menulis surat kepada
Ishȃq bin Mushab, Gubernur Baghdad, pada bulan Rabiulawal 218 H. Surat
tersebut berisi antara lain tentang kemakhlukan al-Qur’an dan agar menguji para
qȃḍi dan Ahli Hadis. Surat yang sama juga dikirimkan kepada Gubernur Mesir,
Kaidar. Beliau menguji Harun bin Abdullah al-Zuhri, qȃḍi Mesir waktu itu.
Dalam jawabannya ia mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Selanjutnya
ia menguji para saksi dan muhaddiṥȋn.62
Surat kedua dikirimkan kepada Ishȃq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad
untuk menguji tujuh orang muhaddiṥȋn yaitu Muhammad bin Sa᷾ad, Abu Muslim,
Yahya bin Main Zuhair bin Harb Abu Ṥamah, Ismail bin Daud, Ismail bin Abi
Mas᷾ȗd, dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauraqi. Dalam pengujian itu, mereka

60
Ris’an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya (Jakarta:
Gramedia Group, 2015), h. 91.
61
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 62.
62
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 170.
25

semuanya menjawab bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Lalu mereka


dikembalikan ke Baghdad.63
Kekalahan ketujuh orang ortodoks ini membuat Imam Ahmad bin Hanbal
luka yang amat mendalam. Dia berpendapat sekiranya mereka bersabar dan tetap
pada pendiriannya, al-Mihnah pasti tidak akan kedengaran lagi di Baghdad. Jika
demikian halnya, kemungkinan ketujuh orang ini melakukan taqi᷾ah.64
Surat ketiga dikirimkan kepada Ishȃq bin Ibrȃhȋm untuk menguji para
pejabat pemerintah, fuqahȃ dan muhaddiṥȋn. Kemudian Ishak memanggil para
pejabat fuqahȃ dan muhaddiṥȋn. Dari pengujian tersebut banyak di antara mereka
yang memberikan jawaban tidak tegas sebagai upaya mengelak mengatakan
bahwa al-Qur’an makhluk, dan tidak pula terang-terangan mengatakan qadȋm. Ini
agaknya dilakukan sebagai upaya untuk menghindari siksaan, di antaranya Bisyr
bin Wali, Ali bin Abi Muqatal, bin Hanbal, dan bin al-Bakka.65
Hasil ujian tersebut dikirim kepada Khalifah al-Ma`mȗn. Ternyata
khalifah tidak puas terhadap jawaban mereka yang tidak tegas. Khalifah
memerintahkan Gubernur Ishȃq untuk memanggil kembali Basyar bin Walid dan
Ibrahim bin Mahdi. Jika mereka menerima, dibebaskan, jika menolak, maka akan
dibunuh.66
Khalifah al-Ma`mȗn masih tetap marah sehingga Ishȃq mengumpulkan
kembali 30 orang terdiri dari qȃḍiȋ, muhaddiṥȋn, dan fuqahȃ. Lalu mereka diuji.
Mereka menerima bahwa al-Qur’an adalah makhluk, kecuali empat orang, yaitu:
Ahmad bin Hanbal, Sajadah, Qowariri, dan Muhammad bin Nuh. Mereka
kemudian dibelenggu. Ishȃq lalu menguji mereka kembali. Dalam ujian ini
sajadah mengakui kemakhlukan al-Qur’an, lalu ia dilepaskan. Hari berikutnya al-
Qawariri juga mengakui kemakhlukan al-Qur’an dan persoalannya selesai, kecuali
Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Nuh yang tetap pada pendiriannya. Dengan

63
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 170.
64
Di dalam lingkungan aliran Syiah pada masa itu ada suatu sikap yang diizinkan
terhadap para pengikutnya, yang disebut dengan al-Taqiyat, yang artinya diperbolehkan mengikuti
apapun yang dipaksakan oleh pihak penguasa asalkan pendirian didalamnya teguh dan tidak
berubah-ubah. Maka Ishak ibn Hanbal menganjurkan keponakannya supaya meminjam sikap al-
Taqiyat tersebut. Tetapi anjuran itu ditolak oleh Ahmad ibn Hanbal.
65
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 170.
66
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 176.
26

tangan terbelenggu, keduanya dikirim kepada khalifah di Tarsus. Namun mereka


belum sempat dihadapkan langsung kepada khalifah, karena beliau telah wafat
sebelum keduanya sampai di sana. Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh
dikembalikan ke Baghdad. Dalam perjalanan pulang ini Muhammad meninggal
dunia.67
Dengan meninggalnya Khalifah al-Mamun, tidak berarti pengujian dan
penyiksaan terhadap Ahmad bin Hanbal juga selesai. Khalifah Muktaṣim
melanjutkan ujian-ujian tersebut. Karena keras kepada pendiriannya Ahmad bin
Hanbal didera dan dimasukkan ke dalam penjara.68

Khalifah al-Mu᷾taṣim (218-227 H/833-842 M) yang menggantikan khalifah


al-Ma`mȗn (198-218 H/813-833 M) adalah seorang militer, dan juga berjiwa
militer. Sekalipun ia adalah putra khalifah Harun al-Rasyȋd (170-193 H/786-809
M), yang bersama saudaranya al-Amin dan al-Ma`mȗn diperintahkan turut
menghadiri diskusi-diskusi pada balai waktu penghadapan khalifah, akan tetapi
sejak muda ia tidak berselera terhadap masalah-masalah ilmiah dan filsafat
ataupun teologi. Pada masa pemerintahannya balai penghadapan khalifah dapat
dikatakan sepi dari diskusi.69
Akan tetapi karena ia memegang wasiat dari saudaranya, al-Ma`mȗn,
iapun melanjutkan kebijakan yang telah digariskan sebelumnya. Pada masa al-
Muktaṣim tidak ada pengumuman-pengumuman ataupun dasar-dasar pikiran yang
baru untuk dikeluarkan. Ia hanya memerintahkan supaya al-Mihnah, yakni
pemeriksaan atau penelitian keyakinan yang dianut tentang al-Qur’an, tetap
dijalanjan kepada seluruh wilayah Islam pada masa itu.70
Naiknya al-Mu᷾taṣim menandai diakhirinya kebijakan ini. Pemerintah al-
Muktaṣim cendrung melindungi paham yang dianut mayoritas rakyatnya.
Mayoritas umat Islam secara nominal banyak mengikuti paham al-Muhaddisȗn

67
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 177.
68
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63.
69
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 172.
70
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
172.
27

(terkadang disebut Ahlusunnah) yang lebih berpegang pada panduan al-Qur’an


dan hadis daripada pertimbangan rasional sebagaimana yang banyak dianut oleh
kaum Muktazilah. Bahkan, pada priode ini, jumlah umat Islam yang
mengamalkan pendekatan sufi juga semakin bertambah.71
Tindakan al-Ma`mȗn tentang jabatan putra mahkota itu menjadikan al-
Mu᷾taṣim setaraf dengan khalifah-khalifah Islam pilihan dan ahli-ahli pikir yang
terkemuka. Anaknya sendiri al-Abbȃs berkedudukan tinggi dikalangan angkatan
tentara sebenarnya layak menjadi khalifah. Tetapi al-Ma`mȗn menyingkirkannya
karena beliau menganggap al-Mu᷾taṣim lebih cerdas dan berani. Sikap ini hanya
diamalkan sejumlah kecil para khalifah dan sultan-sultan Islam. Al-Ma`mȗn
menyadari saudaranya al-Mu᷾taṣim kurang pengatahuan dan pengalaman ilmiah,
karena itu ia menyediakan untuk al-Mu᷾taṣim suatu perlembagaan yang terpisah.
Di mana diuraikan apa yang patut dibuat oleh al-Muktaṣim dan apa yang mesti
dibuang. Perlembagaan itu meliputi masalah kemakhlukan al-Qur’an, dan
perlunya rakyat berpegang teguh kepada pendapat tersebut, karena masalah itu
pada pandangan al-Ma`mȗn adalah salah satu pokok ajaran agama yang
berhubungan dengan sifat wahdȃniyah. Perlembagaan itu juga ditugaskan al-
Muktaṣim menumpas gerakan Khurramiyah, akhirnya ia menganalisis beberapa
tokoh yang terkemuka dan berpesan supaya bersikap baik kepada sebagian juga
berjaga-jaga terhadap sebagian yang lainnya.72
Sebagai contoh maka dibawah ini telah diriwayatkan oleh at-Ṭabȃri:
“Ikutilah jejak langkah saudaranya berhubung dengan masalah al-Qur’an
itu, jalankanlah tugas khalifah sebagai seorang yang patuh kepada Allah
SWT, takut akan hukuman dan siksanya. Jangan lalaikan urusan rakyat
karena dengan adanya kerajaan karena adanya mereka.
Ambillah hak dari mereka yang kuat untuk dibagikan kepada pihak yang
lemah. Bersikaplah adil satu sama lain menurut hak masing-masing.
Perangilah gerakan Khurramiyah dengan tegas dan keras... janganlan

71
Taufiq Abdullah, “Era Pengaruh Turki,” h. 98.
72
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
173.
28

berjauhan dari Abu Abdullah Ahmad bin Daud untuk suatu perundingan...
karena itu maka bisa kita katakan bahwa Al-Mu᷾taṣim didalam banyak hal
adalah lanjutan dari saudaranya al-Ma`mȗn .”
Lanjutan dalam perkara al-Qur’an adalah mahluk, sikapnya terhadap
pemberontakan Zatti sehingga berhasil menumpasnya, seperti yang telah
disebutkan dahulu tentang pertarungannya dengan gerakan Khurraiyah sehingga
mencapai kejayaan, kehebatan dan keagungannya berhadapan dengan tentara
Roma ketika beliau telah memperlihatkan kecakapan yang luar biasa di medan
perang Amuriyah.
Sementara itu `Imȃm `Ahmad bin Hanbal telah terpandang hero oleh
kalangan awam, sebagai pahlawan yang teguh hatinya dalam mempertahankan
pendirian di kalangan al-Muhaddisȋn, yang bertahan dengan tetapi tidak mengakui
al-Qur’an sebagai makhluk, yang mengakibatkan kemarahan dalam kalangan
khalifan. Bahkan konon pamannya sendiri, `Ishȃq bin Hanbal, pernah berkunjung
ke penjara dan menganjurkan kepada keponakannya yang sudah berusia lanjut itu,
supaya menyerah dan mengakui saja bahwa al-Qur’an itu suatu ciptaan Allah atas
dasar at-Taqiyah.73
Khalifah al-Mu᷾taṣim pernah suatu hari memerintahkan untuk membawa
`Imȃm `Ahmad bin Hanbal dari penjara untuk menghadapnya. Dalam majelis
penghadapannya itu turut hadir hakim agung Ahmad bin Abi Daud beserta
sahabat-sahabatnya dari aliran Muktazilah dan ruangan majelispun penuh dengan
para hakim yang sudah dikumpulkan beserta pembesar-pembesar pemerintahan.74
Berlangsung tanya jawab sebagai berikut:
Al-Mu᷾taṣim: coba jelaskan pendirian Anda?

73
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
173. Didalam lingkungan aliran Syiah pada masa itu ada suatu sikap yang diizinkan terhadap para
pengikutnya, yang disebut dengan al-Taqiyat, yang artinya diperbolehkan mengikuti apapun yang
dipaksakan oleh pihak penguasa asalkan pendirian didalamnya teguh dan tidak berubah-ubah.
Maka Ishak bin Hanbal menganjurkan keponakannya supaya meminjam sikap at-Taqiyah tersebut,
tetapi anjuran itu ditolak oleh Ahmad bin Hanbal.
74
Joesoef Sou’yb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
174.
29

`Ahmad bin Hanbal: saya mengakui bahwa tiada yang disembah kecuali
Allah. Moyang anda, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib (wafat 68
H/688 M). Bercerita tentang peruntusan Abdul Qais dan sampai didepan
Rasulullah lalu diperintahkan untuk beriman kepada Allah. Beliau
bersabda: “apakah anda tahu yang dimaksud Iman kepada Allah itu?”.
Merekapun menjawab: “Allah dan Rasul lebih mengatahui”. Beliaupun
bersabda: “pengkuan bahwa tiada yang disebah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad itu Rasulullah, melaksanakan Shalat, membayar Zakat,
berpuasa dalam bulan Ramadhan, dan menyerahkan seperlima dari setiap
rampasan perang...” ya AmȊral Mu`minȋn, coba berikan salah satu
pembuktian dari kitab Allah maupun sunnah Rasulullah untuk jadi
pegangan bagiku untuk merubah pendirian.
`Ahmad bin Hanbal hendak menyindir bahwa Rasulullah di dalam
persoalan Iman itu tidak mengkaitkannya dengan kemestian mengakui al-Qur’an
itu suatu ciptaan Allah. Demikian dalam setiap sidang yang sudah dilaksanakan,
iapun dipulangkan kembali ke dalam penjara dengan pengawalan ketat.
Pemeriksaan terhadap Ahmad bin Hanbal itu berulang sampai tiga hari lamanya.
Pada saat setiap pihak yang telah putus asa untuk menundukan pendiriannya yang
keras itu maka khalifah al-Mu᷾taṣim menjatuhkan hukuman cambuk dengan
cemeti terhadap `Ahmad bin Hanbal sebanyak tiga puluh delapan cemeti, hingga
darah berleleran pada pungungnya. Lalu beliau diangkat kembali ke dalam
penjara.75
Konon hakim Agung `Ahmad bin Abi Daud sendiri mengusulkan agar
memberikan hukuman mati, akan tetapi khalifah al-Mu᷾taṣim menolak usulan itu,
dan merasa sudah cukup dengan memberinya hukuman cambuk. Setelah sembuh
dari lukanya, khalifah al-Mu᷾taṣim langsung membebaskan `Imȃm `Ahmad bin
Hanbal.76

75
Joesoef Sou’yb Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
174.
76
Joesoef Sou’yb Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
176.
30

Setelah al-Mu᷾taṣim wafat pada tahun 842 M, penggantinya al-Wȃṥiq,


seorang yang mempunyai pengetahuan luas dan diberi nama “al-Ma`mȗn Kecil”,
melanjutkan al-Mihnah bukan saja kepada para fuqahȃ dan muhaddiṥȋn, tetapi
juga kepada seluruh rakyat, sehingga penjara penuh dengan orang-orang yang
menolak kemakhlukan al-Qur’an.77
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan yang dicapai
Dinasti ᷾Abbȃsiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih
mewah dari pendahulunya. Kecenderungan mewah, ditambah dengan kelemahan
khalifah dan faktor lainnya seperti persaingan antar bangsa, kemorosotan ekonomi
dan konflik keagamaan, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal
Turki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu᷾taṣim untuk mengambil kendali
pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada
di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani ᷾Abbȃs di dalam khilafah ᷾Abbȃsiyah
yang dirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini
sekaligus keruntuhan keilmuan dan pendidikan Islam, meskipun setelah itu
usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.78
Al-Wȃṥiq tidak melakukan kekerasan kepada `Imȃm `Ahmad bin Hanbal,
hanya melarang tinggal di negeri itu. `Imȃm `Ahmad bin Hanbal lalu bersembunyi
sampai al-Wȃṥiq wafat. Tampaknya al-Wȃṥiq takut akan menimbulkan
kekacauan, karena `Imȃm `Ahmad bin Hanbal ini banyak pengikutnya.79
Seperti yang telah dikatakan bahwa al-Wȃṥiq juga mengikuti jejak langkah
al-Ma`mȗn. Dari sini jelas terlihat bahwa sikapnya jelas condong memandang
perkara al-Qur’an adalah makhluk, mendekati ulama, menjaga rakyat dan tidak
bersungguh-sungguh untuk melantik anaknya sebagai putra mahkota.80

77
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 184.
78
Dr. Siswanto M.Pd.I, Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis (Pamekasan:
Pena Salsabila. 2013), h. 72.
79
Ahmad Amin, Ḍuhȃ al-Islȃm, h. 184.
80
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 133.
31

Al-Mutawakkil mulai memerintah tahun 847 M, menggantikan al-Wȃṥiq


dan al-Mihnah masih tetap ada selama 2 tahun. Akhirnya al-Mutawakkil
membatalkan al-Mihnah pada tahun 848 M. Dengan demikian, selesailah riwayat
al-Mihnah yang ditimbulkan kaum Muktazilah dan dari ketika itu mulailah
menurun pengaruh dan arti kaum Muktazilah.81
Umat Islam yang telah lama merasa tertekan akibat pemaksaan dan
kekerasan yang dilancarkan kaum Muktazilah, begitu mengetahui khalifah telah
membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara, maka muslimin
pun mulai berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi bahkan membantah
paham-paham Muktazilah dengan berbagai argumentasi. Situasi ini juga didukung
oleh mulai berkembangnya aliran `Asy᷾ariyah yang telah digagas oleh seorang
ulama besar, tokoh sentral kaum `Ahlusunnah wa al-Jamȃ᷾ah yaitu `Abȗ al-Hasan
al-`Asy᷾ari (260-324 H). Dengan kharisma al-`Asy᷾ari dan ditambah dengan ajaran-
ajaran yang dibawanya agak moderat dan tradisional serta merupakan jalan tengah
antara dua pemikiran yang ekstrem, akhirnya semakin mendapat simpati dan
dukungan masyarakat luas bahkan juga pihak penguasa, semakin membuat aliran
Muktazilah tidak berdaya lagi sampai datangnya pasukan Mongolia yang
meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya tahun 1258 M, aliran
inipun lenyap.82
Jika diperhatikan masa perkembangan aliran ini yaitu dimulai sekitar awal
abad kedua Hijrah bertepatan dengan awal abad ke-4 Masehi, kemudian
mengalami kemajuan dan kejayaan hingga masa khalifah al-Mutawakkil pada
abad ke-3 Hijrah. Setelah itu mengalami kemunduran sekitar abad ke-5 Hijrah
bertepatan dengan abad ke-11 M. Aliran rasional ini akhirnya lenyap sama sekali
seiring dengan hancurnya kota Baghdad dan kota lainnya akibat serangan tentara
Mongolia pada abad ke-7 Hijrah atau 13 Masehi.83

81
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63.
82
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h.103.
83
Mawardy Hatta, “Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” h. 99.
32

D. Priode Perkembangan Muktazilah Sampai Akhir Kejayaannya


BAB III

Al-Mutawakkil Sebagai Khalifah

A. Biografi al-Mutawakkil

Al-Mutawakkil84 ᷾Alallȃh bin al-Mu᷾taṣim bin al-Rasyȋd. Ibunya adalah


ummu walad dari Khawarizm bernama Syujȃ᷾, al-Mutawakkil lahir pada bulan
Syawal tahun 206 H di Fam as-Ṣulh. Semasa saudaranya, ia tidak disukai,
sehingga al-Wȃṥiq memerintahkan dua orang, yaitu Umar bin Faraj al-Rakhaji
dan Muhammad bin al-Alla᷾ al-Khȃdim agar selalu mengawasinya dan mencatat
berita-beritanya setiap saat. Hal itu juga menyebabkan penyimpangan prilaku
menteri Muhammad bin Abdil Malik az-Zayyat terhadap dirinya. Sang menteri
tidak menerimanya dengan penerimaan yang baik. Jatah rezeki tidak diberikan
kepadanya kecuali dengan cara yang sulit, sehingga Umar bin Faraj mengambil
jatahnya dan sesekali melemparkannya ke halaman masjid, di mana pada saat
itupun Umar duduk di dalam. Orang yang bersikap baik itu adalah Ahmad bin Abȋ
Du`ȃd.85

B. Pengangkatan al-Mutawakkil sebagai Khalifah

Ketika al-Wȃṥiq meninggal dan belum sepat mewasiatkan penggantinya,


maka para pembesar negripun berkumpul. Mereka adalah Qȃḍȋ bin Abȋ Du`ȃd,
menteri Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyȃt, Umar bin Faraj, Ahmad bin

84
Al-Mutawakil al-Abbasi (206-247 H/821-861 M); nama lengkapnya Jafar al-
Mutawakil Alallah bin Muhammad al-Muktashim Billah bin Harun ar-Rasyid Abu al-Fadhl,
seorang khalifah Abbasiyah. Al-Mutawakil lahir di Baghdad dan dibaiat menjadi khalifah setelah
saudaranya al-Wȃṥiq, meninggal dunia tahun 232 H. Dia seorang yang dermawan, terpuji dan
menyukai pembangunan. Di antara jasanya adalah pembangunan Istana al-Mutawakiliyah di
Baghdad. Tatkala diangkat menjadi khalifah, al-Mutawakil menulis surat kepada penduduk
Baghdad secara terbuka dan umum. Surat tersebut dibacakan di atas mimbar yang isinya larangan
memperdebatkan al-Qur'an tidak ada hukuman bagi orang yang berpaham al-Qur'an makhluk atau
yang berpaham al-Qur'an tidak makhluk. Ia memindah ibukota kekhalifahan dari Baghdad menuju
Damaskus. Setelah tinggal di sana dua bulan, ia tidak merasa cocok dengan iklimnya. Maka ia
kembali ke Irak dan tinggal di Samara hingga terbunuh di kota itu pada malam hari. Sebagian
penyair membuat syair-syair yang mencela al-Mutawakil karena ia telah menghancurkan kuburan
al-Husain dan sekitarnya.
85
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 417.

33
34

Khalid (mereka adalah sekretaris kerajaan), Itakh dan Wahif (panglima Turki).
Mereka bermusyawarah tentang siapa yang akan menjadi pengganti al-Wȃṥiq.86

Muhammad bin ᷾Abdul Malik az-Zayyȃt mengusulkan Muhammad bin al-


Wȃṥiq. Merekapun sepakat. Akan tetapi saat mereka mendatangkannya dan
memakaikan pakaian-pakaian kebesaran, Wahif berkata kepada mereka, “apakah
kalian tidak bertaqwa kepada Allah. Kalian menyerahkan urusan khilafah kepada
orang sepertinya, padahal shalat bersamanya pun tidak sah?.” Binu Abȋ Du`ȃd
mengusulkan Jafar bin al-Muktaṣim. Merekapun sepakat atas usulan Binu Abȋ
Du`ȃd ini.87

Mereka menghadirkan Ja᷾far bin al-Muktaṣim. Ahmad Abȋ Du`ȃd


memakaikan pakaian kebesaran kepadanya dan mengecup dahinya. Ahmad Abȋ
Du`ȃd berkata, “selamat wahai Amȋral Mukminȋn.” Orang-orang yang hadir
berbaiat kepadanya. Ia digelari dengan al-Mutawakkil ᷾Alallȃh. Kemudian
masyarakat umum berbaiat kepadanya. Semua itu berlangsung di hari
meninggalnya al-Wȃṥiq, yaitu tanggal 24 Zulhijah tahun 232 H/11 Agustus tahun
847 M. Ia tetap menjadi khalifah hingga terbunuhnya pada malam kamis, 4
Syawal tahun 247 H/11 Desember tahun 861 M.88

Menjadi khalifah dengan gelar al-Mutawakkil. Ia berkuasa dari tahun 847


M hingga 861 M. Menyadari bahwa dirinya bukan pilihan pertama, al-
Mutawakkil melakukan berbagai langkah untuk memastikan basis kekuatannya
antara lain dengan menyingkirkan tokoh yang kurang menyenanginya,
mengangkat para pendukungnya, dan menunjuk ketiga putranya untuk menjadi
calon khalifah secara bertingkat. Ketiga anaknya ini untuk sementara diangkat
menjadi gubernur: al-Muntaṣir (putra sulung) menjadi gubernur di Mesir, al-
Mu᷾tȃz menjadi gubernur di wilayah timur, dan al-Mu`ayyad menjadi gubernur di
Suriah dan Palestina.89

86
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daullah ᷾Abbȃsiyah , h. 417.
87
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daullah ᷾Abbȃsiyah , h. 417.
88
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 418.
89
Taufiq Abdullah, “Era Pengaruh Turki,” dalam Starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. , 2002), h. 98.
35

`Abȗ Bakar bin `Abȋ Syaibah duduk di masjid al-Manṣȗr dan lebih dari
30.000 orang ikut berkumpul di sekelilingnya. Rakyat sangat mendukung al-
Mutawakkil sehingga mereka mendoakannya dan berlebih-lebihan dalam memuji
serta mengagungkannya, hingga ada di antara mereka yang berkata, “Khalifah ada
tiga, yakni `Abȗ Bakar yang memerangi orang murtad, ᷾Umar bin ᷾Abdul ᷾Azȋz yang
memerangi kezaliman, dan al-Mutawakkil yang menghidupkan sunah dan
menyingkirkan kekacauan”.
Mengenai hal ini, `Abȗ Bakar bin Khabazah pernah bersyair :
‘Amma ba’d, sesungguhnya hari ini sunah menjadi kuat, hingga seakan-
akan tidak pernah dihinakan. Sunah menerkam dan menyergap karena
menaranya telah ditegakkan. Menara kebohongan dan kepalsuan telah jatuh
karena rapuh. Saudara pencipta agama berkuasa dengan melarikan diri ke
neraka, dalam keadaan berpaling, bukan menghadap. Allah menyembuhkan
mereka dengan Khalifah Ja᷾far, Khalifah pendukung Sunnah adalah Al-
Mutawakkil. Khalifah Tuhanku dan putra paman Nabi-Nya, keturunan terbaik
Bani ᷾Abbȃs yang berkuasa. Dia mengumpulkan keutuhan agama setelah tercerai-
berai dan dia memenggal kepala orang-orang murtad dengan pedang. Semoga
Tuhan para hamba memanjangkan umurnya. Selamat dari teror yang tidak
tergantikan. Semoga Dia menetapkan surga untuknya karena telah menolong
agama-Nya. Bersanding dengan Rasul terbaik di taman-taman-Nya.90
C. Keadaan Sosial, Politik dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil

Pada masa pemerintahannya yang panjang itu hanya terjadi dua atau tiga
permusuhan yang agak besar, akan tetapi permusuhan tersebut dapat segera
diselesaikan. Hanya pada masa pemerintahannya itu ada banyak terjadi gempa
bumi pada wilayah Syiria, Parsi, Khurasan dan Yaman. Gempa bumi tersebut
banyak menghancurkan sekian banyak kota dan menelan banyak korban, tetapi
kota-kota itu berhasil dibangun kembali. Oleh sebab itulah banyak ahli-ahli

90
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), h.
224.
36

sejarah mencatat bahwa pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil itu banyak


mendirikan bangunan.91

Di dalam buku al-Mihan, karya as-Sulami, “Sesungguhnya Zun-Nun


adalah orang pertama yang berbicara di Mesir mengenai ketertiban sosial dan
derajat para pemangku kekuasaan. Dia mengingkari Abdullah bin al-Hakam, dia
adalah pemimpin Mesir dan termasuk sahabat karib Malik. Dia menciptakan
sebuah ilmu yang tidak pernah dibicarakan oleh orang terdahulu sehingga ia
dituduh sebagai kafir zindik. Gubernur Mesir pun memanggilnya dan menanyakan
kepadanya mengenai akidah yang dia anut. Zun-Nun pun berbicara dan gubernur
pun puas dengan penjelasan Zun-Nun. Lalu dia menulis surat kepada al-
Mutawakkil, lalu ia memerintahkan sang gubernur untuk menghadirkan Zun-Nun
ke hadapannya. Surat pun dikirimkan kepadanya. Ketika Zun-Nun berbicara, al-
Mutawakkil pun terpesona dan menyukainya hingga ia berkata, “Apabila orang-
orang saleh diingat, maka ingatlah Zun Nun”.92
Aliran-aliran kebatinan itu merupakan gerakan sosio agama yang sering
timbul pada zaman kegoncangan besar, baik goncangan sosial yang cepat maupun
contangan nilai-nilai moral dan agama, yang disebabkan tekanan resmi maupun
benturan yang terjadi dengan pengaruh luar.93

Tekanan resmi itu dirasakan semenjak khalifah al-Ma`mȗn yang


memaksakan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara, dan pada masa
khalifah al-Mutawakkil yang yang menghapus mazhab Muktazilah dan menjadi
munculnya Suni kembali ke permukaan. Disusul dengan goncangan-goncangan
sosial yang sangat derastis setelah meninggalnya khalifah al-Mutawakkil yang
sudah tidak ada lagi kemantapan dalam dunia politik yang disebabkan perebutan
kekuasaan yang tidak ada henti-hentinya. Masyarakat pada umumnya banyak
yang melarikan diri untuk mencari ketentraman dan ketenangan batin (gnostic),

91
Juosoef Sou’yb, Daulah ᷾Abbȃsiyah II, h. 8.
92
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 226.
93
Jalaluddin al-Suyuti, “Tarih al-Khulafa,” h. 226.
37

maka aliran-aliran kebatinan mulai banyak berkembang luas dalam dunia Islam
pada masa itu, begitu juga halnya di dalam dunia Kristen.94

Pada tahun sebelumnya terjadi gempa yang mengerikan di Damaskus.


Gempa itu menghancurkan bangunan bertingkat dan menyebabkan orang-orang
yang ada di dalamnya meninggal dunia. Gempa itu merembet ke Anthakiyah dan
membuat kota itu hancur, gempa itu juga terjadi di al-Jazirah dan membuatnya
hancur lebur. Lalu merembet ke Moshul dan menyebabkan lima puluh ribu
penduduk Moshul meninggal dunia. Pada tahun 235 H, al-Mutawakkil
mewajibkan orang-orang Nasrani memakai kalung atau gelang (sebagai tanda dan
pembeda). Pada tahun 236 H, al-Mutawakkil memerintahkan penghancuran
kuburan al-Husain dan bangunan-bangunan bertingkat di sekelilingnya. Dia
berencana menjadikan lokasi kuburan itu sebagai ladang dan melarang kaum
muslimin mengunjunginya. Semua bangunan diratakan dengan tanah hingga yang
tersisa adalah padang pasir saja.95

Di antara keajaiban-keajaiban tahun tersebut adalah ketika ada angin panas


berhembus dengan dahsyat di Irak, angin seperti itu tidak pernah terjadi
sebelumnya. Angin itu merusak tanaman kota di Kufah, Bashrah dan Baghdad.
Angin itu membunuh banyak musafir dan berlangsung dalam kurun lima puluh
hari. Angin itu juga berhembus ke Hamdzan, menghancurkan tanaman dan
binatang ternak, angin panas ini juga sampai di Moshul dan Sinjar. Orang-orang
tidak dapat mencari kehidupan di pasar-pasar dan tidak dapat melalui jalanan,
angin itu membinasakan banyak makhluk hidup.96
Al-Mutawakkil terkenal sebagai orang yang keras, oleh karena itu, kaum
muslimin merasa tertekan. Para penduduk Baghdad menulis cacian mereka
kepada al-Mutawakkil dan menggantungkannya di dinding-dinding dan masjid-
masjid. Para penyair menyindirnya dalam syair berikut:
Demi Allah, ketika `Umayyah dulu datang seorang cucu laki-laki Nabi
mereka terbunuh secara zalim. Para putra banyak melakukan hal serupa. Ini

94
Juosoef Sou’yb, Daulat ᷾Abbȃsiyah II, h. 9.
95
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 224.
96
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 226.
38

demi umurku, kuburannya telah dihancurkan. Mereka menyesal karena tidak


berpartisipasi dalam membunuhnya. Maka, mereka menjadikan kuburnya hancur
lebur.
Pada Tahun 237 H, al-Mutawakkil mengirim surat kepada gubernur Mesir
dan memerintahkannya untuk memotong jenggot hakim Mesir. Hakim itu
bernama `Abȗ Bakar bin Muhammad bin `Abȋ al-Laiṥ. Dia juga memerintahkan
kepada gubernur Mesir untuk memukulnya kemudian membawanya berkeliling
dengan keledai. Gubernur itupun melakukannya. Hakim tersebut dikenal sebagai
seorang yang zalim, dia termasuk menganut paham al-Jahmiyyah. Sebagai
penggantinya, al-Mutawakkil menunjuk al-Hariṥ bin Sikkȋn yang merupakan
sahabat Malik setelah sekian lama dilarang. Dia memukul hakim yang
dilengserkan sebanyak dua puluh kali cambuk untuk membalaskan rasa sakit
orang-orang yang dia zalimi.97
Masih pada tahun ini juga, ada kebakaran di Asqalan. Kebakaran itu
menghanguskan rumah, api terus membakar dan akhirnya padam pada sepertiga
malam. Pada tahun 238 H, Romawi menyergap, merampok, dan
membumihanguskan Dimyath. Romawi menawan enam ratus perempuan,
kemudian orang-orang Romawi ini segera kabur ke laut dengan cepat. Pada tahun
240 H, penduduk Khalath mendengar suara yang sangat keras dari langit. Banyak
nyawa yang tidak tertolong akibat suara itu. Lalu, turun hujan es sebesar telur
ayam di Baghdad dan menenggelamkan tiga belas desa di Maroko. Pada tahun
241 H, bintang-bintang di langit bergelombang dan berjatuhan seperti belalang,
bahkan lebih banyak di malam hari. Ini adalah peristiwa yang mengagetkan yang
tidak pernah terjadi sebelumnya.98
Pada tahun 242 H, terjadi gempa besar di Tunisia dan sekitarnya, ar-Rayy,
Khurasan, Thabartsan, dan Ashbahan. Gempa itu membelah pegunungan dan
tanah dengan ukuran yang muat dimasuki oleh orang dewasa. Sementara itu di
desa as-Suwada yang dari arah Mesir terjadi hujan batu dari langit. Berat batu
tersebut berkisar 10 kati (1 kati Irak = 407,5 gram. 1 kati perak = 1328,4 gram).

97
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 224.
98
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 224.
39

Di Yaman ada gunung yang tanahnya pecah-pecah. Di Halb ada peristiwa seekor
burung putih bukan burung nasar di bulan Ramadan berteriak, “wahai umat
manusia, bertakwalah kepada Allah, Allah, Allah.” Burung ini berteriak sebanyak
empat puluh kali kemudian dia terbang. Keesokan harinya burung itu datang
kembali dan melakukan hal yang sama. Peristiwa ini kemudian disampaikan
dalam surat dan ada 500 orang yang bersaksi atas peristiwa itu.99
Masih pada tahun 242 H, Ibrahim bin Muṭahhir, sang juru tulis
menunaikan ibadah haji menggunakan kereta yang ditarik unta. Melihat hal
tersebut, orang-orang terkagum-kagum. Pada tahun 243 hijriah, al-Mutawakkil
datang ke Damaskus dan sesampainya di Damaskus dia kagum dengan keindahan
kota tersebut. Diapun membangun istana untuknya di Dariya dan dia bermaksud
menghuninya.
Kemudian Yazid bin Muhammad al-Mahlabi berkata:
Aku mengira Syam senang dengan kesusahan Irak, karena sang pemimpin
bermaksud meninggalkannya. Apabila dia (Damaskus) meninggalkan Irak dan
penduduknya. Maka dia (seperti) meninggalkan gadis cantik dengan talak.
Pada tahun 245 H, gempa bumi terjadi hampir di seluruh dunia. Gempa itu
menghancurkan kota-kota, benteng-benteng dan jembatan-jembatan. Di
Anthakiyah, gunung jatuh dan tenggelam ke laut. Dari langit terdengar suara
menggelegar. Di Mesir juga terjadi gempa, dari langit penduduk Balbis
mendengar suara keras yang menakutkan. Dan itu mengakibatkan penduduk
Balbis meninggal dunia. Mata air di Kota Mekah kering, kemudian al-Mutawakkil
mengirim 100 ribu dinar untuk mengalirkan air dari Arafah ke Mekah. Al-
Mutawakkil adalah seorang pemimpin yang dermawan dan terpuji. Ada yang
mengatakan, “belum pernah ada khalifah yang memberikan (hadiah besar)
kepada penyair seperti yang dilakukan oleh al-Mutawakkil”. Berkaitan dengan
itu, Marwan bin Abi Janub berkata:
Tahanlah kedermawanan kedua tanganmu dariku dan janganlah engkau
menambah. Sungguh aku khawatir aku jadi durhaka dan engkau menjadi
sombong.

99
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 225.
40

Lalu al-Mutawakkil berkata:


“Aku tidak akan menahan (kedermawananku) hingga kedermawananku
menenggelamkanku”.
Al-Mutawakkil pernah memberikan hadiah kepada Marwan bin Abi al-
Janub sebesar 120 ribu dinar sebagai bayaran kasidah/syair yang dibuat. Pada
suatu hari, Ali bin al-Jahm, masuk menemui al-Mutawakkil, di tangannya ada dua
permata yang dia bolak-balik dua-duanya. Ali bin al-Jahm pun membuatkan
kasidah untuknya. Al-Mutawakkil melemparkan satu permata kepada Ali bin al-
Jahm, kemudian Ali al-Jahm membolak-baliknya.100
Lantas al-Mutawakkil berkata, “Engkau menganggapnya sedikit. Demi
Allah permata itu lebih berharga daripada 100 ribu dirham”. Ali bin al-Jahm
berkata, “Tidak, akan tetapi aku berpikir membuat bait-bait syair lagi untuk
mendapatkan satu permata lagi”.
Lalu al-Mutawakkil berkata, “Katakan.!”. Lantas Ali bin al-Jahm berkata:
Di Istana Surra Man Ra’a ada imam yang adil. Dengan lautannya, laut-laut
berkumur. Kerajaan ada di tangannya dan anak keturunannya. Selama siang dan
malam berganti diharapkan dan ditakuti. Setiap keduanya ada perkara, dia
seakan-akan surga dan neraka. Kedua tangannya dalam hal kedermawanan
ibarat payudara wanita. Yang keduanya saling cemburu, karena berlomba
(berderma). Tidaklah tangan kanannya memberikan sesuatu, kecuali tangan
kirinya melakukan hal yang serupa.
Kemudian al-Mutawakkil pun melemparkan satu permata yang tersisa
kepada Ali al-Jahm. Sebagian orang berkata, ada 8 orang yang menyerahkan
kekhalifahan kepada al-Mutawakkil. Setiap orang dari mereka memiliki ayah
seorang khalifah. Mereka adalah Manṣȗr bin Mahdi, al-Abbȃs bin al-Hadi, Abu
Ahmad bin al-Rasyȋd, ᷾Abdullȃh bin al-Amȋn, Musa bin al-Makmȗn, Ahmad bin
al-Muktaṣim, Muhammad bin al-Wȃṥiq, dan putranya al-Muntaṣir. Al-Mas᷾ȗdi
berkata, “Kakek dan buyut al-Mutawakkil diketahui beruntung dengan negara
yang dipimpinnya. Al-Mutawakkil bergelimang harta pada masa kekhalifahannya.
Dia tenggelam dalam kenikmatan dan minum-minuman. Ia memiliki 400

100
Jalȃluddȋn as-Suyȗṭȋ, Tȃrȋkh al-Khulafȃ, h. 225.
41

perempuan simpanan dan dia telah menyetubuhi mereka semua. Ali al-Jahm
berkata, al-Mutawakkil tergila-gila dengan Qabijah, Ummul Walad dari anaknya,
al-Mu᷾tȃz. Dia tidak bisa sabar untuk bertemu dengan al-Qabijah. Pada suatu hari
Qabijah bersamanya, al-Qabijah telah menulis kata Ja᷾far pada kedua pipinya
dengan sesuatu yang mahal.”101

D. Pembunuhan terhadap al-Mutawakkil

Hati para pembesar Turki tidak tenang dengan keberadaan al-Mutawakkil.


Mereka telah memiliki persepsi bahwa al-Mutawakkil ingin membuat perangkap
perangkap untuk berlepas diri dari mereka satu demi satu. Mereka merasa
khawatir. Menteri al-Mutawakil Ubaidillah bin Khaqan dan wakilnya, al-Fath bin
Khaqan, tidak mendukung al-Muntaṣir sebagai putra mahkota dan lebih
cenderung kepada al-Mu᷾tȃz. Al-Mu᷾tȃz menghasut ayahnya agar benci kepada al-
Muntaṣir hingga al-Mutawakkil hampir memecat al-Muntaṣir dari jabatan putra
ma hkota, karena peristiwa itulah muncul dua musuh mereka, yaitu para panglima
Turki dan putra mahkota.102

Orang-orang Turki condong kepada al-Muntaṣir. Mereka bermaksud


melancarkan tujuan mereka dan agar menjaga kekhalifahan untuknya, baik dalam
waktu cepat ataupun lambat.103

Di antara perkara yang menambah kecemburuan al-Muntaṣir


sesungguhnya al-Mutawakkil mengalami kesakitan, lalu ia memerintahkan al-
Muntaṣir agar menjadi rakyat dalam salat Jum’at. Lalu Ubaidillah bin Khagan dan
al-Fath bin Khaqan berkata kepada al-Mutawakkil, "Perintahlah `Abȗ ᷾Abdillȃh al-
Mu᷾tȃz agar mengimami salat karena ia patut untuk itu pada hari yang mulia ini.
Sesungguhnya keluarganya dan semua orang sepakat atasnya dan Allah telah

101
Jalaluddin al-Suyuti, “Tarih al-Khulafa,” h. 225.
102
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah A
᷾ bbȃsiyah , h. 438.
103
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah A᷾ bbȃsiyah , h. 438.
42

menyampaikan (maksud-Nya) dengannya" lantas al-Mutawakkil memerintahkan


al-Mu᷾tȃz agar mengimami salat. Al-Muntaṣir pun terdiam di rumah.104

Pada hari Jumat berikutnya, al-Mutawakkil menginginkan agar al-


Muntaṣir yang mengimami salat, namun Ubaidillah bin al-Khagan dan al-Fath bin
al-Khagan menyarankan kepada al-Mutawakkil agar berangkat salat (untuk
mengimami). Tujuannya agar rakyat tidak heboh dengan sakitnya sang
khalifah.105

Semua itu membuat al-Muntaṣir bertambah dengki dan khawatir hak


kekhalifahannya akan hilang. Dikatakan bahwa sesungguhnya al-Mutawakkil
sepakat dengan al-Fath bin Khagan untuk menyakiti al-Muntaṣir dan membunuh
Washif, Bugha, dan para panglima Turki lainnya. Rahasia ini terungkap dengan
minuman anggur. Maka mereka (para panglima Turki) sepakat untuk membunuh
al-Mutawakkil.106

Pelaksanaan rencana mereka dipimpin oleh Bugha as-Ṣaghȋr yang dikenal


dengan as-Syarabi. Ia menyiapkan beberapa orang yang diketuai Baghir at-Turki
pasukan penjaga al-Mutawakkil as-Syarabi ditemani sepuluh orang pasukan.
Mereka memasuki istana dengan pedang-pedang yang terhunus, al-Mutawakkil
telah terpengaruh oleh minuman (khamar). Salah seorang dari mereka langsung
menebasnya dengan pedang, kemudian diikuti oleh yang lain al-Mutawakkil saat
itu ditemani al-Fath bin al-Khaqan yang juga ikut dibunuh.107

Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada tanggal empat Syawal 248 H.

Ali bin al-Jahm berkata dalam sebuah kasidahnya,

Para budak Amȋrul Mukminȋn adalah para pembunuhnya

Bencana terbesar bagi raja adalah budak-budaknya

104
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 438.
105
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 438.
106
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 438.
107
Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah , h. 439.
43

Wahai Bani Hasyim, bersabarlah, setiap musibah

akan tergantikan dengan sesuatu yang baru dalam zaman.

Peristiwa ini merupakan buah pertama kali dari apa yang ditanam al-
Mu᷾taṣim, karena al-Mu᷾taṣim memberikan kekuasaan kepada kaum yang tidak
punya kesantunan dan akhlak, yang mencegah mereka dari apa yang telah mereka
lakukan. Mereka juga tidak memiliki aṣhȃbiyah (rasa primordial) yang
menjadikan mereka tidak berbuat kekacauan. Lebih para lagi, putra mahkota
terlibat dalam pembunuhan ayahnya.Ini merupakan peristiwa pertama kali. Al-
Buhturi mengatakan:

Apa putra mahkota menyimpan pengkhianatannya

Sungguh aneh putra mahkota mengkhianatinya

Warisan kekuasaan tak tersisa

Mimbar mimbar tidak membawa doa untuknya.


44

E. Silsilah Dinasti Abbasiyah


BAB IV

Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis

A. Penghapusan Mihnah

Setelah al-Wȃṥiq meninggal, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil


(232-247 H). Berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya, al-Mutawakkil tidak
menudukung aliran Muktazilah, sehingga masalah al-Mihnah tidak lagi ia
teruskan. Sejak itu al-Mihnah pun terhenti, ia bahkan berusaha meredam
ketegangan situasi dan membebaskan semua ulama yang ditahan sebelumnya.108
Al-Mutawakkil mulai memerintah tahun 847 M, menggantikan al-Wȃṥiq
dan al-Mihnah masih tetap ada selama 2 tahun. Akhirnya, al-Mutawakkil
membatalkan al-Mihnah pada tahun 848 M. Dengan demikian, selesailah riwayat
al-Mihnah yang ditimbulkan kaum Muktazilah dan dari itu mulailah menurun
pengaruh dan arti kaum Muktazilah.109
Umat Islam yang telah lama merasa tertekan akibat pemaksaan dan
kekerasan yang dilancarkan kaum Muktazilah, begitu mengetahui khalifah telah
membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara, maka kaum
muslimin pun mulai berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi bahkan
membantah paham-paham Muktazilah dengan berbagai argumentasi. Situasi ini
juga didukung oleh mulai berkembangnya aliran Asy᷾ariyah yang telah digagas
oleh seorang ulama besar, tokoh sentral kaum Ahlusunnah wa al-Jamȃ᷾ah yaitu
`Abȗ al-Hasan al-Asy᷾ari dengan nama lengkapnya `Abȗ al-Hasan ᷾Ali bin `Ismȃ᷾ȋl
bin `Ishȃq bin Salȋm bin `Ismȃ᷾ȋl bin ᷾Abdullah bin Mȗsa bin Bilȃl bin `Abȋ Burdah
bin `Abȋ Mȗsa al-`Asy᷾ari (260-324 H). Dengan kharismanya al-`Asy᷾ari dan
ditambah dengan ajaran-ajaran yang dibawanya agak moderat dan tradisional serta
merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang ekstrim, akhirnya semakin
mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas bahkan juga pihak penguasa,
semakin membuat aliran Muktazilah tidak berdaya lagi sampai datangnya pasukan

108
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Wa al-Jamaah?, h. 44.
109
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63.

45
46

Mongolia yang meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya tahun 1258
M, aliran inipun lenyap.110
Al-Mihnah ini terus berlanjut dengan meninggalnya al-Ma`mȗn hingga
empat khalifah berikutnya, yakni al-Mutaṣim, al-Wȃṥiq dan al-Mutawakkil.
Tetapi pada tahun kedua kekuasaannya, 848 M, al-Mutawakkil membalikkan
dominasi Muktazilah dan kembali mengembangkan ajaran Suni.111 Dengan
demikian tragedi al-Mihnah ini berlangsung selama 15 tahun.
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, rasionalisme dilarang. Ia
membebaskan Imȃm `Ahmad bin Hambal. Qȃḍȋ `Abȗ Du`ȃd dan anaknya. Orang-
orang Muktazilah yang menonjol dimasukkan ke dalam penjara dan hartanya
disita. Sejumlah besar dari mereka meninggal di tangannya.112
Kejayaan Dinasti ᷾Abbȃsiyah mulai pudar pada masa al-Wȃṥiq, berlanjut
pada masa al-Mutawakkil, dan diikuti oleh 27 khalifah berturut-turut. Tak seorang
pun dari mereka yang cakap. Khalifah-khalifah itu makin lama makin berkurang
kekuasaannya, akhirnya kehadiran mereka hanya seperti bayangan di pusat
pemerintahan.113
Di samping motif yang semata-mata bersifat teologis, mungkin saja al-
`Asy’ari kecewa dengan posisi kaum Muktazilah yang sudah tidak lagi sesuai
dengan situasi baru. Setelah al-Mutawakkil membatalkan keputusan al-Ma`mȗn
tentang penerimaan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum
Muktazilah mulai menurun. Apalagi setelah al-Mutawakkil memberikan
penghargaan dan penghormatan kepada `Imam `Ahmad `Ibnu Hanbal, lawan
Muktazilah terbesar waktu itu. Dengan demikian leluasalah orang-orang yang
dikecewakan dan disakiti Muktazilah untuk melakukan kritik dan serangan
kepada Muktazilah. Apalagi akibat al-Mihnah yang sangat tak terlupakan oleh
mayoritas masyarakat muslim, menjadi salah satu faktor tersisihnya paham
Muktazilah di kalangan umat. Bahkan dalam situasi semacam di atas, di kalangan

110
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 103.
111
Philip K. Hitti, History of The Arabs, 543.
112
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 1991), h. 278.
113
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, h. 279.
47

Muktazilah terjadi perpecahan dan sebagian tokoh-tokohnya meninggalkan


barisan Muktazilah, seperti ᷾Ȋsa al-Warraq, `Ahmad `Ibnu Rawandi. Itulah
sebabnya menurut Harun Nasution mengapa al-`Asy᷾ari meninggalkan Muktazilah.
Kebetulan pada saat yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat
dijadikan pegangan masyarakat. Ditambah dengan keraguan yang ada dalam diri
al-`Asy᷾ari, maka lengkaplah sudah dorongan untuk menyusun teologi baru, yang
kemudian terkenal dengan Teologi (mazhab) al-`Asy᷾ariyah, suatu nama yang
dinisbatkan kepada sang pendiri, `Abȗ al-Hasan al-`Asy᷾ari.114 Mirip dengan
kekecewaan di atas (walaupun latar belakangnya berbeda), al-`Asy᷾ari melihat
bahwa fungsi Muktazilah yang merupakan suatu upaya kompromi antara
golongan Suni dan Syiah, sudah tidak sesuai lagi dengan situasi yang sedang
dihadapi. Kebijaksanaan al-Mutawakkil tampak cenderung kepada golongan
sunni. Hal ini berakibat terjadinya konsolidasi di kalangan Suni. Dengan demikian
telah terjadi pengentalan baik pada faham Suni maupun Syiah. Maka masa depan
Muktazilah dengan segala komprominya akan menjadi kurang begitu penting lagi.
Berdasarkan fakta sejarah teologi Islam, aliran Muktazilah sejak zaman
Khalifah ᷾Abbȃsiyah pernah mencapai kejayaan dan kehancuran. Puncak
kejayaanya pada masa al-Ma`mȗn, al-Mu᷾taṣim dan al-Wȃṥiq (198-232 H/813-846
M),115 terutama setelah dijadikannya sebagai aliran resmi negara pada tahun 827
M,116 sedang masa kehancurannya sejak jaman al-Mutawakkil (232-247 H/846-
861 M.).117
Dalam ajaran Muktazilah, zat dan sifat Allah adalah sesuatu yang
menyatu. Allah hidup, Alim, Qadir dengan Zat-Nya, bukan karena Allah hidup,
berilmu, berkuasa yang bertambah pada Zat-Nya. Sebab bila demikian ini terjadi,
berarti ada dua wujud yang kedua-duanya qadîm dan niscaya tidak ada bedanya
antara Tuhan dan makhluk-Nya. Oleh karenanya golongan ini menafikan sifat
Tuhan. Ahmad Amin dalam karyanya Ḍuhâ al-Islâm menegaskan bahwa kaum

114
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan,
h. 68.
115
Zuhdî Jârullah, Al-Mu’tazilah: al-Ahliyyat li al-Nasyr wa al-Tauzî’ (Beirut: 1974), h.
162.
116
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 6.
117
Zuhdî Jârullah, Al-Mu’tazilah: al-Ahliyyat li al-Nasyr wa al-Tauzî’, h. 180.
48

Muktazilah dalam menafikan sifat Tuhan tidak berarti menafikan sifat Tuhan
secara keseluruhan, tetapi sifat qadîm itu satu-satunya sifat yang hanya Allah yang
memilikinya.118 Berpangkal dari perbedaan pemahaman itulah berkembang terus
sampai akhirnya memperdebatkan apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan.
Sementara Muktazilah menyatakan sebagai makhluk dan lainnya mengatakan
bukan makhluk.
Ketika Muktazilah menyusup ke dalam kekhalifahan dan telah menjadi
aliran resmi negara, maka pada saat itulah masyarakat tidak mempunyai
kebebasan berpikir, bahkan khalifah ikut serta memaksakan paham al-Qur’an
diciptakan (makhluk) dengan menggunakan berbagai cara. Peristiwa inilah yang
119
lazim disebut al-Mihnah atau mihnatu khalq al-Qur’an. atau dengan sebutan
inquisition, yang dengan itu, orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka
dikejar-kejar dan disiksa.120
Sebagai akibat atas pelaksanaan al-Mihnah adalah munculnya berbagai
ketegangan dan perdebatan yang berkepanjangan di antara orang-orang Islam.
Lawan mereka menjadi banyak, terutama di kalangan masyarakat yang tidak
mampu menyelami ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis tersebut,
yang pada gilirannya mendorong kepada Khalifah al-Mutawakkil untuk
menempuh kebijakan baru dengan mengumumkan tidak berlakunya al-Mihnah
dan selanjutnya ia memerintahkan kepada rakyat supaya mengikuti Muhaddiṥîn,
yaitu golongan mayoritas yang berpegang teguh pada hadis (Sunnah), sekaligus
merupakan cikal bakal lahirnya term Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah.121
Jika diperhatikan masa perkembangan aliran ini yaitu dimulai sekitar awal
abad kedua Hijrah bertepatan dengan awal abad ke-8 Masehi, kemudian
mengalami kemajuan dan kejayaan hingga masa khalifah al-Mutawakkil pada
abad ke-3 Hijrah. Setelah itu mengalami kemunduran sekitar abad ke-5 Hijrah
bertepatan dengan abad ke-11 M. Aliran rasional ini akhirnya lenyap sama sekali

118
Ahmad Amin, Dluhâ al-Islâm, h. 29
119
Ahmad Syalâbî, Mausu’ât al-Târikh al-Islâmî wa al-Hadlârâh al-Islâmî, Juz III
(Mesir: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyat, 1978), h. 182.
120
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 62.
121
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 63-
64.
49

seiring dengan hancurnya kota Baghdad dan kota lainnya akibat serangan tentara
Mongolia pada abad ke-7 Hijrah atau 13 Masehi.122
B. Larangan Paham Muktazilah

Al-Mutawakkil terkenal karena menghapus Inkuisisi, namun beberapa


waktu kemudian meminta ilmuwan untuk menyebutkan bahwa penghapusan
dengan Martin Martin secara presisi menyatakan bahwa hal itu terjadi secara
bertahap dari 234 H/848 M sampai 237 H/852 M.123 Sumber yang diabaikan
olehnya sangat mengesankan bahwa hal itu dimulai dengan aksesi al-Mutawakkil
pada tahun 232 H/847 M. Selain itu, sumber biografi menunjukkan
ketidakseimbangan tradisionalisme al-Mutawakkil, bahkan setelah penghapusan
terakhir inkuisisi pada tahun 237 H/ 852 M. Dua sejarawan Mesir, al-Kindi dan al-
Musabbihi, menyatakan bahwa inkuisisi segera berakhir pada saat al-Mutawakkil
menjadi khalifah di 232 H/847 M. Al-Ḍahabi menyatakan bahwa al-Mutawakkil
mengakhiri inkuisisi empat belas tahun setelah al-Muktaṣim memperbaharuinya,
yaitu di Isfahan, ahli hukum Hanafi Bakkar bin al-Hasan (233 H/847-848 M atau
238H/852-853 M) menolak diperiksa, untuk menegaskan al-Qur’an yang
dibuatnya dan akan diusir dari kota ketika berita datang dari kematian al-Wȃṥiq.
Terbukti, inkuisisi harus dilakukan dan diperbaharui pada aksesi setiap khalifah
baru, dan diketahui bahwa al-Mutawakkil tidak akan memperbaharuinya. Selain
itu, beberapa ulama dibebaskan dari tahanan rumah atas aksesi al-Mutawakkil.124

Kalau semula aliran Muktazilah mengalami kemajuan dan dapat meraih


zaman keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya disenangi
kaum intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan dan penyiksaan,
terlebih lagi pemenjaraan ulama, maka sejak itu kaum muslimin mulai membenci
aliran Muktazilah. Merekapun mulai meninggalkan aliran tersebut. Kebencian

122
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 99.
123
Christopher Melchert, “Religious Policies of the Caliphs from al-Mutawakkil to al-
Muqtadir, A H 232-295/A D 847-908,” Hukum dan Masyarakat Islam, Vol. 3, No. 3 (1996), h.
320.
124
Christopher Melchert, “Religious Policies of the Caliphs from al-Mutawakkil to al-
Muqtadir, A H 232-295/A D 847-908,” Hukum dan Masyarakat Islam, Vol. 3, No. 3 (1996), h.
321.
50

mereka itu seakan didukung oleh sikap khalifah al-Mutawakkil yang juga tidak
senang dengan aliran Muktazilah. Aliran ini perlahan-lahan mulai mengalami
kemunduran dan kehilangan kekuatannya. Lebih-lebih setelah Muhammad al-
Ghazwȃni, seorang pengikut mazhab Suni dan syȃfi᷾ iy berkuasa sampai ke wilayah
Irak tahun 395 H, mengeluarkan pengumuman larangan terhadap aliran
Muktazilah di wilayahnya, buku-bukunya banyak yang dibakar dan ajaran-
ajarannya tak boleh lagi dianut.125 Akhirnya al-Mutawakkil pun membatalkan
aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada tahun 848 M.126
Aliran al-Sifatiyah menguasai masyarakat bawahan dan kebanyakannya
terdiri daripada qȃḍȋ, pendakwah, ulama fikih dan orang-orang yang mengikuti
mereka. Al-Mutawakkil bersekutu dengan golongan bawahan kerana mendapati
faedah dan keuntungan daripada tindakannya itu. Ia boleh menjadikan dirinya
sebagai sanjungan orang ramai dan model khalifah yang fanatik.127
Perintah telah dikeluarkannya untuk menyingkirkan Muktazilah dan
golongan rasionalis dari kerajaan. Universitas diarahkan supaya ditutup. Bidang
kesusasteraan, sains dan falsafah tidak dibenarkan dan golongan rasionalis
umumnya diburu keluar dari kota Baghdad. Al-Mutawakkil juga telah
memusnahkan makam ᷾Ali bin `Abȋ Ṭȃlib dan anak-anaknya. Ulama fikih yang
fanatik menjadi ulama Islam dan memegang kuasa dan pemerintah negara. Di
bawah kekuasaan al-Mustazhid billȃh, kemenangan mutlak mereka dicapai.
Golongan rasionalis dihukum.
Golongan al-Sifatiyah menetapkan bahawa "keadilan" adalah dengan
menghidupkan prinsip perbuatan manusia itu bahawa Allah menguasai alam
dengan "keadilan" yang merupakan zat-Nya. Mereka juga menetapkan bahawa
ujian benar atau salah bukanlah atas kehendak mana-mana individu tetapi
kebaikan untuk kemanusiaan. Doktrin ini bersifat revolusi dan hak Tuhan itu

125
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 102.
126
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 60.
127
Syed Ameer Ali, The spirit of Islam, (London, 1955), h.439.
51

ditujukan kepada khalifah yang boleh melakukan apa sahaja termasuk perkara
yang tidak baik.128

C. Menguatnya Kelompok Ahli Hadis

Pendidikan sebagai suatu sistem, tidak bisa dipisahkan dari kondisi politik.
Antara politik dan pendidikan terjalin hubungan yang erat. Berubah-ubahnya
kebijaksanaan politik dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam. Pada
masa Dinasti ᷾Abbȃsiyah , turun-naiknya berbagai aliran keagamaan dalam pentas
politik, membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan penguasa. Akibatnya,
pelaksanaan pengajaran dan pendidikan Islam turut terpengaruh.129

Selama membolak-balik lembaran sejarah peradaban Islam, keberpihakan


para penguasa kepada salah satu mazhab pemikiran tidak bisa dilepaskan dari
tujuan politis. Setiap penguasa pasti menginginkan kekuasaan yang luas dan
kokoh, untuk tujuan ini ia melakukan apa saja, bahkan bila perlu menghabisi
semua pihak yang dipandang membahayakan kekuasaannya. Ketika al-Ma`mȗn
melibas ulama Suni, misalnya, karena al-Ma`mȗn yang berpaham rasional
Muktazilah menemukan kekuatannya pada paham ini. Ia ingin lebih membatasi
jumlah elite politik yang ada di sekitarnya. Sehingga ulama yang sudah nyata
ketulusannya, bersih dari unsur politik, namun menentang kebijakan ini, tidak
akan ia biarkan.
Selain itu, kejayaan Islam telah memberikan kemewahan luar biasa pada
keluarga khalifah. Ketika seseorang bergelimang dengan kemewahan, maka ia
menjadi tidak peka dengan kesulitan hidup yang diderita orang lain. Pada kondisi
seperti ini, para penguasa termasuk khalifah yang dikesankan saleh sekalipun
dengan mudahnya membuat kebijakan yang tidak mempertimbangkan
kesejahteraan rakyatnya, asalkan kebijakan itu melanggengkan kekuasaan atau
mengharumkan namanya.

128
Syed Ameer Ali, The spirit of Islam, h.440.
129
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 92.
52

Al-Ma`mȗn, misalnya. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin yang


sangat tasammuh (toleran) dalam agama.130 Tentu saja pernyataan ini cukup
menggelikan. Ia memang seorang khalifah yang telah berjasa besar dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Pada masa pemerintahannya
dilakukan penerjemahan buku-buku ilmiah dari berbagai macam bahasa, Yunani,
Persia, Siria dan Sanskerta ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran. Untuk
menunjukkan kesungguhannya, al-Ma`mȗn menghargai hasil karya terjemah
dengan emas yang sama beratnya. Sehingga masa pemerintahan al-Ma`mȗn
dinilai sebagai awal kebangkitan ilmu pengetahuan, termasuk filsafat di
dalamnya. Tetapi kita tidak bisa melupakan bahwa istilah al-Mihnah dikenal
karena upaya al-Ma`mȗn yang gila-gilaan dalam memberangus kebebasan
berpendapat. Lebih parah, contoh yang tidak baik ini diteruskan oleh beberapa
khalifah berikutnya.
Sebagian ahli sejarah memiliki pandangan, ketika paham suni kembali
bangkit atau lebih tepatnya dibangkitkan menjadi paham negara pada masa
khalifah al-Mutawakkil dan Dinasti Saljuk, maka masa itu merupakan masa
penindasan filsafat. Tetapi ada pandangan lain yang mengatakan bahwa masa
penindasan filsafat itu tidak terjadi secara terus menerus.131
Kalau pemikiran Islam pada golongan Muktazilah bercorak rasionalis
murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga
bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung
taklid buta yang memegang teguh teks-teks/nas dengan penakwilan nas sebagai
jalan untuk menundukan agama kepada akal pikiran semata-mata. Tali
penghubung tersebut diadakan oleh seorang yang mula-mula terdidik atas paham
kemuktazilahan yang memeluk ajaran-ajarannya, akan tetapi pada akhirnya ia
meninggalkan ajaran-ajaran tersebut dan dijelaskannya ajaran yang berdiri sendiri,

130
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 108.
131
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115.
53

terkenal kemudian dengan nama “Aliran Ahlusunnah wa al-Jamȃ᷾ah”. Ahli pikir


tersebut ialah `Abȗ al-Hasan al-`Asy᷾ari.132

Dalam suasana kemuktazilahan yang keruh, muncullah al-`Asy᷾ari,


dibesarkan dan dididik sampai usia lanjut. Ia telah membela aliran Muktazilah
sebaik-baiknya, akan tetapi aliran tersebut ditinggalkannya, bahkan ia memberi
pukulan-pulan hebat kepada aliran Muktazilah dan menganggapnya sebagai lawan
yang berbahaya.133

Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15


hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan
bahwa ia mula-mula mengatakan al-Qur’an adalah makhluk Tuhan yang tidak
dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk manusia sendiri yang memperbuatnya
(semuanya pendapat Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "Saya tidak lagi
memegang pendapat-pendapat tersebut. Saya harus menolak paham-paham orang
Muktazilah dan menunjukan keburukan-keburukan dan kelemahan-
kelemahannya.134

Sebab utama `Abȗ al-Hasan al-`Asy᷾ari meninggalkan paham Muktazilah


adalah dengan adanya perpecahan yang dialami kaum Muslimin yang bisa
menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang
sangat gairah terhadap keutuhan kaum Muslimin, ia sangat mengkhawatirkan al-
Qur’an dan hadis menjadi korban paham-paham kaum Muktazilah, yang menurut
pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan akal
pikiran sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi korban sikap Ahli Hadis
antromorfis yang hanya memegang nas-nas dengan meninggalkan jiwanya dan
hampir-hampir menyeret Islam kepada kelemahan, kebekuan yang tidak dapat

132
Namanya `Abȗ al-Hasan ᷾Ali bin `Ismȃ᷾ȋl al-`Asy᷾ari, keturunan dari Abu Musa al-
Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy'ari lahir tahun
260 H/873 pada tahun 324 H 1935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Muktazilah
terkenal, yaitu al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya Aliran ini
diikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk
mengarang buku-buku kemuktazilahan.
133
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 65.
134
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 66.
54

dibenarkan agama. Al-`Asy᷾ari karenanya mengambil jalan tengah antara golongan


rasionalis dan golongan tekstualis dan ter nyata jalan tersebut dapat diterima oleh
mayoritas kaum Muslimin.135

Dalam pada itu ia juga mengingkari orang-orang yang berkelebih-lebihan


menghargai akal pikiran, yaitu golongan Muktazilah, karena golongan ini tidak
mengakui sifat-sifat Tuhan, maka dikatakan telah sesat, sebab mereka telah
menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatnya dan meletakkannya dalam bentuk yang
tidak dapat diterima akal, juga karena mereka mengingkari kemungkinan
terlihatnya Tuhan dengan mata kepala. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka
akan berakibat tidak mengakui Sunnah Nabi, salah satu tiang agama. Dengan
demikian jelaslah kedudukan al-`Asy᷾ari, seperti yang digambarkan pengikut-
pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela
kepercayaannya, mempercayai sepenuhnya isi nas-nas al-Qur’an dan Sunnah,
dengan menjadikannya sebagai dasar pokok di samping menggunakan akal
pikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nas-nas tersebut.136

Pendirian al-`Asy᷾ari tersebut di atas merupakan tali penghubung antara


dua aliran alam pikiran Islam, yaitu aliran lama (tekstualis), dan aliran baru
(rasionalis), akan tetapi sesudah wafatnya, aliran `Asy᷾ariyah mengalami
perubahan yang cepat. Jika pada permulaan kedudukannya hanya sebagai
penghubung antara kedua aliran tersebut maka pada akhirnya aliran `Asy᷾ariyah
lebih condong kepada segi akal pikiran semata-mata dan memberinya tempat yang
lebih luas daripada nas-nas itu sendiri. Mereka sudah berani mengeluarkan
keputusan, bahwa "akal menjadi dasar naqal (nas)" karena dengan akallah kita
menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan Yang Mahakuasa. Pembatalan akal
pikiran dengan naqal (nas) berarti pembatalan dasar (pokok) dengan cabangnya,
yang berakibat pula pembatalan pokok dan cabangnya sama sekali.

Ahlusunnah tidak dapat menerima golongan `Asy᷾ariyah, bahkan


memusuhinya, karena sikap tersebut, sebab dianggap sesat. Kegiatan mereka

135
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 66.
136
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 68.
55

sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang Nizamul


Muluk (wafat 485 H/1092 M), seorang menteri saljuk. yang mendirikan dua
sekolah terkenal dengan namanya, yaitu Nizamiyah, di Nisabur dan Baghdad, di
mana hanya aliran `Asy᷾ariyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu, aliran
`Asy᷾ariyah menjadi aliran resmi negara dan golongan `Asy᷾ariyah menjadi
golongan Ahlusunnah.137

Sebagian ahli sejarah memiliki pandangan, ketika paham suni kembali


bangkit atau lebih tepatnya dibangkitkan menjadi paham negara pada masa
khalifah al-Mutawakkil dan Dinasti Saljuk, maka masa itu merupakan masa
penindasan filsafat. Tetapi ada pandangan lain yang mengatakan bahwa masa
penindasan filsafat itu tidak terjadi secara terus-menerus.138 Memang benar
banyak filsuf yang dimusuhi dan dizalimi. Banyak pula buku filsafat yang dibakar
dan dinistakan, namun hendaknya tidak melupakan banyak filsuf bermunculan
pada masa ini bersama hasil karyanya. Di antara mereka adalah:139
1. Al-Kindi, filsuf Islam yang pertama wafat tahun 873 M. Buku-buku karyanya
berjumlah 231 kitab dalam berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, astronomi, ilmu
jiwa, musik, berhitung, ilmu ukur, kedokteran, politik, mantiq, dan lain-lain.

2. Al-Farabi, wafat tahun 950 M. Buku-buku karyanya sekitar 444 kitab dalam
berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, mantiq, politik, sastra, kimia, musik, dan
lain-lain.

3. Ibnu Sina, wafat tahun 1037 M. Buku-buku karyanya lebih dari 100 kitab
dalam berbagai bidang ilmu. Salah satunya adalah Kitab al-Syifȃ` terdiri dari 18
jilid, masih tersimpan satu manuskrip di Universitas Oxford, London.

4. Ibnu Rusyd, wafat tahun 1198 M. Buku karyanya berjumlah sekitar 78 kitab
dalam berbagai bidang ilmu. Dalam ilmu filsafat 28 kitab, ketuhanan 5 kitab, fiqih
8 kitab, falak 4 kitab, nahwu 2 kitab, dan kedokteran 20 kitab.

137
A. Hanafi, Teologi Islam, h. 69.
138
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 115.
139
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115-118.
56

5. Ibnu Khaldun, wafat tahun 1405 M. Ia seorang filsuf modern di bidang ilmu
sosial, politik, ekonomi, sejarah dan undang-undang umum. Ibnu Khaldun
termasyhur dengan sebuah buku karyanya saja, bahkan dengan juz yang pertama
saja, yaitu Muqaddimah Ibn Khaldun.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa keemasan Dinasti
Saljuk termasyhur seorang menteri Persia bernama Nizam al-Mulk. Ia adalah
pendiri akademi yang amat terkenal dan hidup sampai sekarang, yaitu Madrasah.
Di samping memiliki motif pendidikan, pendirian Madrasah Nizamiyah juga
memiliki motif politik. Dinasti Buwaihi, yang menguasai kekhalifahan saat itu
dan kemudian ditaklukkan Dinasti Saljuk, menganut aliran keagamaan syiah dan
berusaha menanamkan pengaruh aliran itu di tengah-tengah masyarakatnya
melalui propaganda termasuk melalui aktivitas kependidikan. Dinasti Saljuk
sendiri menganut aliran Suni. Aliran Suni dan Syiah memiliki doktrin dan
ideologi politik yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mengatasi pengaruh aliran
Syiah peninggalan Dinasti Buwaihi tersebut, Dinasti Saljuk melakukan
propaganda tandingan. Salah satunya melalui institusi pendidikan Madrasah
tersebut.140
Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, semua aliran pemikiran selalu
berusaha untuk saling berebut pengaruh dan mendapatkan dukungan dari
pemerintah. Ada masanya aliran Muktazilah berhasil mendapatkan dukungan
sebagaimana pada masa al-Ma`mȗn, sehingga aliran ini mendapat kesempatan
berkembang luas di dunia Islam. Tetapi ada kalanya pula aliran lain yang
mendapatkan dukungan, sehingga bisa mengalahkan pengaruh aliran yang
mulanya berkembang. Demikianlah silih berganti aliran-aliran itu mendapatkan
dukungan dari para penguasa. Sehingga aliran-aliran itu nampak sebagai kekayaan
budaya spiritual Islam yang beraneka ragam, tetapi semuanya berasal dari sumber
yang satu.141

140
Yosep Aspat Alamsyah, Pendidikan Islam pada Dinasti Saljuk, dalam Suwito dan
Fauzan (Ed.) pada Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media,
2005, 152.
141
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 106.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awalnya Muktazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut
oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal
ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah
kerajaan ᷾Abbȃsiyah. Melihat hal demikian, khalifah al-Ma`mȗn (813-833 M)
putera Hȃrȗn al-Rasyȋd (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi
Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Sejak itu resmilah aliran Muktazilah
menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam
wilayah kekuasaan Dinasti ᷾Abbȃsiyah.
Pemerintahan al-Ma`mȗn mendukung paham teologi rasional Muktazilah
dan bahkan telah menetapkan paham ini menjadi haluan negara secara resmi. Oleh
karena itu, mereka yang menentangnya akan diadili (al-Mihnah).
Di tengah perjalanan tersiar kabar bahwa al-Ma`mȗn meninggal dunia,
namun sebelumnya ia sempat berwasiat kepada penggantinya yaitu al-Mu᷾taṣim
agar melanjutkan kebijakannya itu. Atas wasiat tersebut, al-Mu᷾taṣim pun
melanjutkan al-Mihnah terhadap mereka yang belum mengakui kemakhlukkan al-
Qur’an termasuk yang masih tawaqquf.
Setelah al-Mu᷾taṣim meninggal, kekhalifahan diganti oleh al-Wȃṥiq (842-
847 M). Kebijakan melakukan al-Mihnah tampaknya tidak dihentikan, namun
tidak lagi terlalu keras seperti pendahulunya.
Setelah al- Wȃṥiq meninggal, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil
(232-247 H). Berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya, al-Mutawakkil tidak
menudukung aliran Muktazilah, sehingga masalah al-Mihnah tidak lagi ia
teruskan. Sejak itu al-Mihnah pun terhenti, ia bahkan berusaha meredam
ketegangan situasi dan membebaskan ulama yang ditahan sebelumnya.
Kalau semula aliran Muktazilah mengalami kemajuan dan dapat meraih
zaman keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya disenangi
kaum intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan dan penyiksaan,
terlebih lagi pemenjaraan terhadap para ulama, maka sejak itu kaum muslimin

57
58

mulai membenci aliran Muktazilah. Merekapun mulai meninggalkan aliran


tersebut. Kebencian mereka itu seakan didukung oleh sikap khalifah al-
Mutawakkil yang juga tidak senang dengan aliran Muktazilah. Aliran ini
perlahan-lahan mulai mengalami kemunduran dan kehilangan kekuatannya.
Al-Mutawakkil mulai memerintah tahun 847 M, menggantikan al-Wȃṥiq
dan al-Mihnah masih tetap ada selama 2 tahun. Akhirnya, al-Mutawakkil
membatalkan al-Mihnah pada tahun 848 M. Dengan demikian, selesailah riwayat
al-Mihnah yang ditimbulkan kaum Muktazilah dan dari itu mulailah menurun
pengaruh dan arti kaum Muktazilah.
Umat Islam yang telah lama merasa tertekan akibat pemaksaan dan
kekerasan yang dilancarkan kaum Muktazilah, begitu mengetahui khalifah telah
membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara, maka kaum
muslimin pun mulai berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi bahkan
membantah paham-paham Muktazilah dengan berbagai argumentasi. Situasi ini
juga didukung oleh mulai berkembangnya aliran `Asy᷾ariyah yang telah digagas
oleh seorang ulama besar, tokoh sentral kaum Ahlusunnah wa al-Jamȃ᷾ah yaitu
`Abȗ al-Hasan al-`Asy᷾ari (260-324 H). Dengan kharismanya al-`Asy᷾ari dan
ditambah dengan ajaran-ajaran yang dibawanya agak moderat dan tradisional serta
merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang ekstrim, akhirnya semakin
mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas bahkan juga pihak penguasa,
semakin membuat aliran Muktazilah tidak berdaya lagi sampai datangnya pasukan
Mongolia yang meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya tahun 1258
M, aliran inipun lenyap.
B. Saran
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk
memperbanyak kajian tentang sejarah sejarah Islam klasik, baik dalam
aspek sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan. Karena sejarah Islam
klasik merupakan dasar pengatahuan yang akan menuntun pemahaman
sejarah kontemporer saat ini. Sejarah Islam klasik merupakan pengatahuan
yang penting untuk dikaji lebih khusus agar menjadi modal dasar bagi para
pelajar memahami khazanah keislaman.
59

2. Para akademisi, umat Islam, dan sejarawan konsentrasi Timur Tengah.


Pengkajian tentang “Penghapusan Paham Muktazilah oleh Khalifah Ja’far
al-Mutawakkil” diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dan
menyumbangkan sebuah karya tulis yang berkaitan dengan peristiwa
dalam aspek sosial politik didalam sejarah peradan Islam klasik.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
A. Makdisi, George. Cita Humanisme Islam. Jakarta: Serambi, 2005.
Abdullah, Taufiq “Era Pengaruh Turki,” dalam Starlita, ed. Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, vol. I. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve., 2002.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Al-Baghdadi. al-Farq bayn al-Firaq. Cairo: Maktabah Ali Sabih.
Al-Khudhari, Muhammad. Bangkit dan Runtuhnya Daulah ᷾Abbȃsiyah . Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2016.
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal. Cairo Mesir : Mushṭafȃ al-Baby al-Halaby,
1961.
Ali, Syed Ameer. The spirit of Islam. London, 1955.
Amin, Ahmad. Ḍuhȃ al-Islȃm. Cairo al-Nahḍah al-Miṣriyah, 1966.
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, 1969.
Amin, Ahmad. Ẓuhr al-Islȃm IV. Cairo Mesir: Maktabah al-Nahḍah, 1975.
As-Suyȗṭȋ, Jalȃluddȋn. Tȃrȋkh al-Khulafȃ. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,
2008.
Aspat Alamsyah, Yosep. Pendidikan Islam pada Dinasti Saljuk, dalam Suwito
dan Fauzan, ed. Sejarah Sosial Pendidikan Islam., 2005.
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Black, Anthony. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Kini.
Penerjemah Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Saemesta, 2001.
Gottschalk, Louis. Mengerti sejarah. Terj: Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI
Press. 1983.
Grenfell, Michael. Pierre Bourdieu; Key Concepts. UK: Acumen, 2008.
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001.

60
61

Hasyim, Umar. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Waljamaah?.


Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Jârullah, Zuhdi. Al-Mu’tazilah: al-Ahliyyat li al-Nasyr wa al-Tauzî’. Beirut: 1974.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta:
Pustaka Firdaus, November 2011.
K. Hitti, Phillip. History of Arab. Jakarta: Serambi, 2005.
Ma’luf, Louis. Al-Munjȋd fȋ al-Lughah wa al-᷾Ȃlam. Beirut: Dȃr al-Masyriq, 1973.
Mahmudunnasir, Syed. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 1991.
Nasution, Harun . Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan.
Jakarta: UI-Press, 1986.
Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press, 1986.
Razak, Yusron. ed, Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam. Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Rusli, Ris’an. Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya.
Jakarta: Gramedia Group, 2015.
Saefudin, Didin. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: Grasindo, 2002.
Siswanto. Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis. Pamekasan: Pena
Salsabila, 2013.
Sou’yb, Joesoef. Daulah ᷾Abbȃsiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Sou’yb, Joesoef. Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran
Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982.
Syahrastani , Muhammad bin Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Bandung:
Pustaka, 2004.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ât al-Târikh al-Islâmî wa al-Hadlârâh al-Islâmî. Mesir:
Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyat, 1978.

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam II. Jakarta: Pustaka al-Husna,
2003.
Syalabi, Ahmad Sejarah dan Kebudayaan Islam III. Jakarta: PT. Pustaka Al
62

Husna Baru, 2003.


Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1960.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
Zahrah, Abu. Tȃrȋkh Mażȃhib al-Islȃmiyah. Cairo Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.
Zuhairini. dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Jurnal:
Hatta, Mawardy. “Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam.”
Ilmu Ushuluddin, Januari 2013.
Melchert, Christopher. “Religious Policies of the Caliphs from al-Mutawakkil to
al-Muqtadir, A H 232-295/A D 847-908.” Hukum dan Masyarakat Islam,
1996.
J.P. Turner. “The End of the Miḥna.” Vol. 38 (2010), pp. 89-106. 2017.
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/23072737
Muhammad, Atta. “Mutazila-Heresy; Theological and Rationalist Mutazila;
Al-Mamun, Abbasid Caliph; Al-Mutawakkil, Abbasid Caliph; The
Traditionalists.” Middle-East Journal of Scientific Research 12 (7): 1031-1038,
2012.

Anda mungkin juga menyukai