Kelompok - 3 - Pernikahan Beda Agama
Kelompok - 3 - Pernikahan Beda Agama
Disusun Oleh :
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nikah sering diidentikkan oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu bentuk
proses saling memiliki dan menjaga antara laki-laki dan perempuan dengan jalan yang
sah baik sah secara agama maupun sah dalam undang-undang nasional, sehingga
tercapainya kehidupan suatu keluarga untuk membentuk rumah tangga baru.
Bentukan ini tentunya melalui proses dan persyaratan yang harus ditunaikan bagi
calon yang ingin melaksanakan pernikahan. Sehingga dengan memenuhi syarat
tersebut maka terhindar dari hal-hal yang membatalkan pernikahan.
Banyak hikmah yang didapatkan dengan melaksanakan pernikahan, mulai dari
membangun rumah tangga baru, sampai kepada merawat anak. Kesemua itu menjadi
tantangan lahir dan batin tersendiri bagi yang telah menikah, antara suka dan duka
yang diterima oleh pasangan tersebut. Oleh karena itu, semua manusia yang sehat
secara akal dan pikirannya tentu ingin membina rumah tangga bersama pasangan
yang disukainya.
Dalam upaya memilih pasangan, tentu ini menjadi hak bagi yang ingin
melaksanakan pernikahan, sebab pernikahan ditujukan untuk kelangsungan hidup
secara bersama secara aman, bahagia dan tenteram dalam rumah tangga. Meskipun
seringkali kita mendengar ada istilah “dijodohkan” oleh orang tua, namun hal itu tetap
kembali kepada pribadi masing-masing yang ingin menikah, apakah dia mau dengan
perjodohan tersebut? Apakah bisa membina rumah tangga secara bahagia dari
perjodohan tersebut? Jawabannya kembali kepada diri masing-masing. Sehingga tidak
melanggar hak-hak individu dalam membina rumah tangga.
Pada sisi religius, bahwa dalam hal mencari pasangan tentu dihadapkan pada
aturan main pada ajaran Agama masing-masing. Kesemuanya mengatur mulai dari
mencari pasangan sampai kepada melaksanakan nikah. Misalnya pada Islam, salah
1
satu inti ajaran islam dalam mencari pasangan adalah berdasarkan agamanya. Hal ini
tentu mendapatkan perhatian lebih bahwa se-Agama adalah tujuan utama dalam
mencari pasangan untuk berkeluarga. Namun demikian, terkait dengan menikah
dengan pasangan yang berbeda agama, para ulama memberikan perbedaan pendapat
tentang keboleh hal terseebut.
Dalam hal menikah dengan pasangan yang berbeda agama, Islam memiliki
prasyarat tersendiri, sehingga ketentuan tersebut menjadi pokok ajaran agama penting
bagi individu dalam memilih pasangan untuk melangsungkan pernikahan.
Seringkali terjebak pada pemahaman ayat al-Quran yang hanya secara
gamblang saja dari persoalan pernikahan beda agama, padahal sebenarnya butuh
pemahaman dan ilmu yang mendalam tentang kebolehan tersebut serta mengetahui
asbab yang terjadi pada ayat yang diturunan tersebut.
Fenomena yang terjadi pada artis – sebagai publik figur – yang beberapa kita
saksikan bahwa mereka melakukan hal tersebut atas dasar saling suka serta dianggap
bukan lagi sebagai suatu yang tabu bagi masyarakat indonesia. Kejadian seperti ini
bagi kalangan akademisi menarik dikaji serta dipelajari seksama, sebab hal ini selalu
menjadi perhatian dan pandangan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yang
tingkat reliugius dan kepercayaan pada agama cukup tinggi. untuk menjawab hal
tersebut butuh pemahaman yang cukup serius dan mendalam, terlebih lagi dalam hal
kaitannya dengan prinsip Islam.
Persoalan yang timbul akibat dari kurangnya rasa ingin memahami secara
komprehensif terhadap al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam menjadi
pondasi utama dalam penetapan hukum. Oleh karena itu berbagai upaya yang
dilakukan oleh ulama klasik dalam memahami sumber tersebut dengan menetapkan
berdasarkan metodologi tertentu khususnya pada hal-hal yang terkait dengan ibadah
dan muamalah.
Kajian-kajian akademis menuntut kita untuk terus dapat memahami tentang
persoalan-persoalan yang belakangan terjadi sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku serta tetap mengedepankan sumber Hukum Islam termasuk pada hal nikah
beda agama. Kajian ini diharapkan nantinya menjadi literasi bagi kalangan akademisi
dan bagi masyarakat tentang nikah beda agama dalam persepektif fiqh kontemporer
dan menegakkan kaidah-kaidah yang berlaku.
Upaya untuk memahami tentang nikah beda agama ini, perlu di Maping secara
jelas cakupan yang digunakan dalam penulisan ini, sehingga tampak arah yang ingin
2
dicapai serta dapat mencakup gambaran tentang Nikah dalam hal berbeda keyakinan
dalam persepektif Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Akhir dari tulisan ini
penulis berupaya untuk menganalis secara Induktif yang didasari dari hal-hal khusus
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan umum. sehingga arah dalam pembahasan
penelitian nikah beda Agama ini secara literatur akademik dapat menjadi bahasan
menarik untuk dikaji.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nikah dan hukum pernikahan dalam Islam?
2. Apa pengertian dari pernikahan beda agama?
3. Apa dasar pernikahan beda agama?
4. Bagaimana hukum pernikahan beda agama?
5. Apa saja faktor-faktor pernikahan beda agama?
6. Bagaimana implikasi pernikahan beda agama terhadap status anak?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian nikah dan hokum pernikahan dalam Islam.
2. Mengetahui tinjauan umum pernikahan beda agama.
3. Mengetahui dasar pernikahan beda agama.
4. Mengetahui hokum pernikahan beda agama.
5. Mengetahui factor-faktor pernikahan beda agama.
6. Mengetahui implikasi pernikahan beda agama terhadap status anak.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Atabik dan Mudhiiah, “Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam.” Hal. 287
4
2. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa nikah adalah: “Nikah dimaknai dengan
suatu bentuk akad yang mengandung makna untuk mendapatkan
kebahagiaan/kesenangan (wathi’) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna
dengan itu.”
3. Hanabilah berpendapat bahwa: “nikah dimaksudkan sebagai suatu bentuk akad
yang menggunakan lafadz nikah (tazwij) agar menjadi sah secara hukum untuk
mengambil manfaat dan kesenangan dengan wanita yang dinikahi.”
Meski pendapat di atas mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan
adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan laki-laki hak memiliki
penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan
atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi
perkawinan dalam Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya
pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan
teologis. Karena di dalam pernikahan terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan
anak, masyarakat bahkan kepada Allah Swt.
Sejalan dari konsep tersebut, bahwa sebagai negara yang menganut pancasila
sebagai dasarnya juga telah menetapkan aturan main yang berkaitan dengan
perkawinan/pernikahan, dapat kita temukan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang sekarang terjadi perubahan dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Meskipun demikian secara pengertian
dasar dari UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dalam perubahan tidak
signifikan bentuk perubahanya, misalnya pada pasal 2 dijelaskan tentang perkawinan
bahwa: 2
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pada penjelasan lain dapat juga kita lihat dalam Instruksi Presiden berupa
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikeluarkan tahun 1991 pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto yang memuat dengan tiga buku yakni perkawinan, kewarisan dan
perwakafan. Pada buku perkawinan dijelaskan pada pasal 2 dijelaskan bahwa:
2
Lihat pada Pasal 1 Undang-undang No. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Undang-undang No. 16 Tahun
2019 tetang perkawinan.
5
“Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”
Makna tersebut diatas memberikan gambaran bahwa penikahan/ perkawinan
mestilah melalui perikatan (aqad) antara seorang pria yang ingin menikah dan wanita
yang juga ingin menikah dalam rangka mencapai tujuan mentaati perintah agama. Hal
ini dimaksudkan bahwa pernikahan bukan sekedar aqad biasa, akan tetapi lebih
membawa kepada suatu bentuk hubungan rumah tangga yang mampu membawa
ketakwaan kepada Yang Maha Kuasa, sehingga kesiapan dari masing-masing pihak
juga sangat diperlukan.
Adapun juga Dasar Hukum Pernikahan untuk mengacu perbuatannya,
terutama dalam kaitannya pembahasan Fiqh, maka hal yang paling penting berikutnya
adalah dasar hukum tersebut, sebab apabila hukum tersebut telah mengatur secara
tegas dan jelas, maka hal itu mesti kita pedomani. Mengenai dasar hukum pernikahan
tentu kita dapat melihat dari berikut ini:
1. Dalam Al-Qur‟an pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut: 3
3
Ibid, Hal. 36
6
Artinya: Al-Qamah berkata: "Ketika aku bersama Abdullah bin Mas'ud di Mina,
tiba-tiba bertemu dengan Usman, lalu dipanggil: 'Ya Aba Abdirrahman, aku ada
keperluan denganmu.' Lalu keduanya berbisik, Usman berkata: 'Ya Aba
Abdirrahman, sukakah engkau aku kawinkan dengan gadis untuk mengingatkan
kembali masa mudamu dahulu.' Karena Abdullah bin Mas'ud tidak berhajat
kawin, maka dia menunjuk kepadaku dan dipanggil: 'Ya Al-Qamah!' Maka aku
datang kepadanya dan dia berkata: 'Jika engkau katakan begitu, maka Nabi
bersabda kepada kami: 'Hai para pemuda, siapa yang sanggup memikul
tanggungjawab perkawinan, maka hendaklah kawin, dan siapa yang tidak
sanggup, hendaknya berpuasa (menahan diri), karena itu lebih mampu menahan
syahwat baginya”. (Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-68, Kitab Nikah bab
ke-2, bab sabda Nabi, barang siapa diantara kalian yang mampu untuk menikah,
maka menikahlah).
Pembahasan dasar hukum tentang menikah cukup banyak ditemukan, namun
perlu dibatasi pada kaitannya dengan permasalahan perkawinan, sehingga nanti
arahan terkait dengan Nikah beda agama akan semakin jelas dan terarah serta mudah
dipahami.
4
Muammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, trans. Oleh Muhammad Ahsan Bin Usman (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2017).Hal. 496
5
Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut ukum Islam di Indonesia,”Masalah-masalah Hukum
16, no. 2 (2016), Hal. 243
7
dipelopori atas dasar saling cinta.6 Defenisi diatas tentunya tidak jauh berbeda dengan
defenisi sebelumnya, dikarenakan perbedaan agama serta rasa cinta yang ingin
mereka membentuk rumah tangga.
Kalau dilihat secara undang-undang perkawinan, maka tidak kita temukan
adanya unsur pasal yang memuat tentang pembolehan perkawinan antar agama, dapat
dilihat terdapat dalam pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
disebutkan suatu perkawinan dapat dikatakan perkawinan yang sah, jika perkawinan
itu dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.7 Makna
tersebut demikian jelas memberikan arahan hanya pada kepercayaan masing-masing.
Oleh karena itu akibat dari ketidaksesuaian aturan tersebut mengakibatkan banyak
yang melakukan jalan penyelesaian lain demi melaksanakan pernikahan dengan
pasangan yang berbeda agama. Langkah penyelesaian lain tersebut diambil sebagai
berikut:
1. Tidak mengindahkan dalam Hukum Nasional dengang membuat atau
melangsungkan pernikahan di luar negeri yang melegalkan hal tersebut dan
melanjutkan perkawinan tadi yang dilakukan menurut adat masing-masing.
2. Tidak Mengindahkan ketentuan Agama masing-masing misalnya; melangsungkan
pernikahan lebih dari 1 kali dan melakukan perubahan atau perpindahan
keyakinan, sementara diketahui bahwa saat perkawinan berlangsung, kemudian
baru kembali pada keyakinan awal setelah perkawinan selesai dilangsungkan.
6
Zainal Arifin, “Perkawinan Beda Agama,” JURNAL LENTERA: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
18, no.1 (2019): 143-58. Hal. 144
7
Lihat pada Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
8
ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli
kitab bagi kaum muslim.
8
Karsayuda, Op. Cit, hlm: 87
9
Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. Al- Baqarah: 221 juga
didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah: 10, As-Sayyid Sabiq menyebutkan
beberapa argument tentang sebab diharamkannya perempuan Muslim nikah
dengan laki-laki non-Muslim sebagai berikut (Suadi, 2006, hal. 36-37.
a. Orang kafir tidak boleh menuasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa: 14
….dan Allah tak kan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang
mukmin itu.
b. Laki-laki kafir dan ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang
Muslimah, sebaliknya mendesakkan kitab dan mengingkari ajaran Nabinya.
Sedangkan apabila laki-laki Muslim nikah dengan perempuan ahli kitab maka
dia akan mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari istrinya sebagai
bagian dari keimanannya karena tidak akan sempurna keimanan seseorang
tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.
c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami istri tidak mungkin tinggal
dan hidup bersama karena perbedaan yang jauh.
2. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik
Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki Muslim dengan perempuan
penyembah berhala (Musyrik). Perempuan musyrik disini mencakup perempuan
berhala (al-watsaniyyah), zindiqiyyah (ateis), perempuan yang murtad,
penyembah api, dan penganut aliran libertine (al-ibahah), seperti paham
wujudiyyah.
Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan ahli
kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki
agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memeritahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran apa yang dikerjakan dan pergaulannya
dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan yakni khurafat dan spekulasi (teologis)
atau lamunan dan bayangan yang dibisikan setan. Inilah yang bisa menyebabkan
ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya. Sementara antara
perempuan ahli kitab dan laki-laki Mukmin tidak terdapat dinasti yang jauh.
Perempuan ahli kitab mengimani Allah dan yang menyembuhkan-Nya, beriman
kepada para nabi, hari kiamat beserta pembalasannya, dan menganut agama yang
mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran (Suhadi, 2006, hal,
37-38).
3. Laki-laki Muslim dan Perempuan Ahli Kitab
10
Pada dasarnya laki-laki Muslim diperbolehkan (halal)menikahi perempuan ahli
kitab berdasarkan pengkhususan QS. Al-Maidah: 5. Pengertian ahli kitab disini
mengacu pada dua agama besar rukun semitik sebelum Islam, yakni Yahudi dan
Nasrani. Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat akan menikahi
perempuan ahli kitab dengan syarat is merdeka (bukan budak), sedangkan
mengenai perempuan ahli kitab budak dan perempuan ahli kitab yang dalam status
tawanan para ulama berbeda pendapat (Suhadi, 2006, hal, 39).
11
(sang anak) menikah dengan seseorang yang tidak seagama dengannya pasti
akan mendapatkan suatu kasih sayang yang adil. Pada hal ini, seharusnya
setiap orang tua maupun keluarga harus memperlakukan dengan adil terhadap
semua keluarganya tanpa terkecuali. Perilaku ini muncul karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya karena tidak senang dengan kehadirannya,
merasa kurang perhatian, merasa tidak adil dan lain sebagainya. Pada faktor
ini seharusnya orang tua maupun keluarga mampu membentengi dengan baik
dan tanpa ada diskriminasi
e. Ilmu pengetahuan dan Agama
Ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat terpenting dalam segala
hal, kita sebagai umat Islam diwajibkan dalam menuntut ilmu. Pada hal ini
juga membuat pola pikir seseorang dalam melakukan segala sesuatu. Pada
ilmu pengetahuan dan agama saling berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya. Jika seseorang hanya mampu memiliki ilmu pengetahuan saja, maka
seseorang tersebut dalam melakukan segala sesuatu dengan sesuka hati, akan
tetapi jika seseorang mempunyai atau memiliki ilmu pengetahuan dan agama
maka seseorang dalam melakukan segala sesuatu dengan cara selayaknya
orang yang berilmu (Tren, John, 2000,hal, 77- 78).
2. faktor ekstern, yaitu:
a. Teman pergaulan
Pada hal ini, teman pergaulan juga berpengaruh dalam terjadinya pernikahan
beda agama. Dalam hal ini, panca indra penglihatan berfungsi dalam
menentukan pilihan yang dilihatnya. Pada penglihatan inilah seseorang
berfikir bahwa menikah beda agama itu merupakan suatu pernikahan yang
menurutnya menimbulkan suatu unsur kebahagiaan tersendiri. Dalam ajaran
Isalm sendiri, untuk berteman dengan siapa saja tidak dilarang, missal
berteman dengan penjahat, berteman dengan beda agama dan lain sebagainya,
asal kita bisa menjaga diri kita agar tidak terpengaruh olehnya.
b. Era Globalisasi
Pada era globalisasi, menyebabkan semakin buruknya pernikahan antar
bangsa, suku, dan agama karena bukan hanya sekat bangsa dan Negara yang
dibuka oleh globalisasi, namun hal agamapun menjadi sangat terbuka (Yafie,
Ali, 1997, hal.99)
12
Jadi, pada faktor intern dan ekstern di atas salah satu faktor terjadinya
pernikahan beda agama. Seperti halnya pada faktor intern, dimana semua anggota
keluarga ikut berperan dalam membimbing, merawat dan mendidiknya dengan baik.
Karena suatu proses pembelajaran yang paling awal deterima adalah keluarga. Pada
faktor ekstern, ada dua yaitu teman pergaulan dan era globalisasi. Keduanya juga
berperan penting untuk perubahan perilaku dan pengetahuannya dengan baik dan
benar.
9
Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976), hlm. 256-158
10
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fikr al-Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet, Ke-2. Hlm. 11
11
Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam (Kesindo
Utama : Surabaya, 2010),hlm.226
13
dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah,” seperti yang tercantum dalam
Pasal 100 Komplikasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”12
Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga dijelaskan
bahwa anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Yang
termasuk dalam kategori pasal ini adalah:
a. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah
b. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan tenggang
waktu 6 bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi
c. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya
kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh
Suami.
Salah satu implikasi terhadap status anak yang dilahirkan melalui proses
pernikahan yang tidak sah (karna larangan pernikahan beda agama) adalah adanya
pengakuan bahwa anak tersebut adalah anak hasil perzinahan. Hasanayn Muhammad
Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat
dari hubungan suami istri yang tidak sah. Hubungan suami istri yang tidak sah
sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) anatar dua orang
yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang
telah ditentukan.13
Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang popular dan
melekatdalam kehidupan masyarakat, namun Komplikasi Hukum Islam tidak
mengadopsi istilah tersebut dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut
bertujuan agar anak hasil dari hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial,
celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar ibu
kandungnya dan ayah anak tersebut kepada dirinya, selain itu juga bertujuan untuk
menunjukkan identitas Islam bahwa Islam tidak mengenal adanya (dosa warisan).
Bedasarkan definisi dan pendekatan makna “anak hasil zina” di atas, maka
yang dimaksudkan anak hasil zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau
pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, maupun anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang sah, sebagai akibat dari pernikahan beda agama.
12
Ibid, hlm. 226
13
Abd. Aziz Dahlan, Ensklopedia Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999, hlm. 40
14
Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah adalah anak yang dilahirkan oleh
seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan
yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian anak yang lahir
akibat dari pernikahan beda agama adalah hubungan seorang pria dengan seorang
wanita berbeda agama yang dapat melahirkan keturunan atau anak sedangkan
hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan
agama yang dianutnya.
Terkait status anak seperti yang telah dipaparkan di atas, menurut hukum
syari’ah, anak hasil zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan
eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
“semua anak dilahirkan atas kesucian kebersihan (dari segala dosa/noda) dan
pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang
tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
(HR. Abu Ya’la al-Thabrani dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari’).
Karena itu anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi
pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya
dimasyarakat nanti.
.
15
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah begian dari hak asasi seseorang dalam menentukan pilihan
hatinya. Bagi seorang muslim yang hidup dinegara majemuk seperti halnya
ketertarikan pria atau wanita muslim dengan orang yang beda agama tau sebaliknya,
yang berujung pada pernikahan hamper pasti tidak terelakan. Dengan kata lain,
persoalan pernikahan beda agama hamper pasti terjadi di setiap masyarakat tertentu,
entah itu dari masyarakat yang berasal dari golongan bawah sampai golongan atas.
Perkawinan tersebut banyak yang memiliki dampak psikologis yang dapat
menghambat tumbuhnya generasi yang beriman dan shalih.
Pandangan al-Qur’an terhadap pernikahan beda agam sesungguhnya
memberikan ruang interpretasi bagi para ulama untuk menentukan hukumnya. Pada
dasarnya jika yang dimaksud beda agam itu adalah ahli kitab, maka al-Qur’an secara
tekstual memperbolehkan pernikahan tersebut. Namun persoalannya adalah sangat
kompleks, karena beda agama disini ada juga ulama yang memahami sebagai kaum
musyrikin dan musyrikat yang dilarang menikahinya. Larangan itu jelas karena kaum
musyrikin cenderung memiliki keimanan yang tidak jelas atau bahkan ateis. Namun
apapun hukumnya baik yang memperboehkan maupun yang melarangnya, yang pasti
pernikahan beda agama sering menjadi problem dalam berumah tangga. Namun dapat
disimpulkan bahwa pernikahan beda agama hendaknya dihindari ketika madharat
yang ditimbulkan itu lebih besar dari madfaat yang diperolehnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
17