Anda di halaman 1dari 35

KOMPLIKASI NEUROLOGIS PADA HIPERTENSI

Abstrak

Hipertensi merupakan faktor risiko yang seringkali berhubungan dengan penyakit


neurologis. Hipertensi akut berhubungan dengan manifestasi ensefalopati hipertensi dan
eklampsia. Hipertensi kronis merupakan faktor risiko utama untuk semua subtipe stroke,
termasuk stroke iskemik, perdarahan intraserebral, dan perdarahan subarachnoid. Hipertensi
dapat menyebabkan stenosis arteri karotis, aterosklerosis intrakranial, dan aterosklerosis
arkus aorta, yang merupakan penyebab terjadinya stroke iskemik. Dampaknya pada
pembuluh darah kecil menyebabkan perdarahan intraserebral, infark lakunar, penyakit
substansia alba periventrikular, dan demensia. Aneurisma serebral dan perdarahan
subarachnoid juga dikaitkan dengan hipertensi. Pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT
scan), pencitraan resonansi magnetik (MRI), ultrasound Doppler karotid, dan angiografi
kateter memainkan peran penting dalam prosedur diagnosis. Pengobatan antihipertensi secara
substansial dapat mengurangi risiko penyakit neurologis ini. Agen antiplatelet, agen penurun
kolesterol, dan pengobatan bedah dan endovaskular dari aneurisma serebral dan stenosis
karotis juga mengurangi beban penyakit serebrovaskular.

Kata kunci: hipertensi, stroke, aneurisma serebral, perdarahan subarachnoid, perdarahan


intrakranial, transient ischemic attack (TIA)

Tekanan darah pertama kali diukur pada tahun 1707 oleh seorang mahasiswa Inggris,
Stephan Hales, menggunakan tabung kaca yang dipasang langsung pada arteri hewan.
Metode pengukuran berkembang secara perlahan selama 200 tahun berikutnya, di mana
Nikolai Korotkoff menjelaskan teknik pengukuran dengan manset dan stetoskop modern pada
tahun 1905. Pada pergantian abad kedua puluh, Theodore Janeway menyadari bahwa
hipertensi merupakan indikator dari suatu prognosis buruk, termasuk kematian akibat stroke,
seiring dengan bertambah buruknya manifestasi hipertensi. Agen oral yang dapat ditoleransi
untuk mengobati hipertensi saat itu tidak tersedia, hingga tahun 1957, ditemukan bahwa
chlorothiazide terbukti mengurangi tekanan darah pada pasien dengan hipertensi esensial.

1
Baik hipertensi akut maupun hipertensi kronis dapat berhubungan dengan manifestasi
penyakit neurologis. Hipertensi akut dikaitkan dengan ensefalopati hipertensi, di mana
manifestasi ini relatif jarang ditemukan sejak diagnosis dan pengobatan hipertensi semakin
berkembang. Hipertensi kronis dikaitkan dengan stroke, yang merupakan komplikasi
neurologis yang paling sering ditemui. Semua subtipe stroke terkait dengan hipertensi,
termasuk infark iskemik, perdarahan intraparenkim, dan aneurisma perdarahan subarachnoid.
Hipertensi kronis juga dikaitkan dengan demensia.

EPIDEMIOLOGI

Baik tekanan darah sistolik dan diastolik terdistribusi secara normal dalam populasi.
Untuk memudahkan prosedur diagnosis, saat ini studi kedokteran telah mendefinisikan
keadaan patologis seperti hipertensi berdasarkan ambang tekanan darah tertentu. Saat ini
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik >130 mmHg atau diastolik >80
mmHg. Manifestasi hipertensi umum untuk ditemui dalam populasi, mempengaruhi sekitar
116 juta orang dewasa di Amerika Serikat pada tahun 2016, prevalensinya diproyeksikan
meningkat sebesar 60 persen dan mempengaruhi 1,54 miliar orang dewasa di seluruh dunia
pada tahun 2025.1,2

Meskipun telah dilakukan penetapan ambang angka tekanan darah ke dalam kategori
diagnostik hipertensi dan normotensi, hingga saat ini tidak ada ambang batas yang jelas di
mana tekanan darah yang lebih tinggi mulai mempengaruhi risiko komplikasi, namun
didapatkan bahwa pasien dengan tekanan darah diastolik 80 hingga 90 mmHg memiliki risiko
stroke yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki tekanan darah 70
sampai 80 mmHg (Gambar. 7-1). Kesadaran akan terdapatnya risiko yang berkaitan dengan
tekanan darah, tekanan darah normal juga telah didefinisikan sebagai tekanan sistolik <120
mmHg dan tekanan diastolik <80 mmHg, sedangkan angka tekanan darah sistolik 120 hingga
129 mmHg dan diastolik <80 mmHg disebut sebagai “tekanan darah yang meningkat. .”3

2
Gambar 7-1. Risiko relatif stroke. Perkiraan tekanan darah diastolik di setiap kategori adalah:diambil dari nilai
tekanan diastolik rata-rata selama 4 tahun dalam studi Framingham. Kotak padat mewakili risiko penyakit di
setiapkategori relatif terhadap risiko di seluruh populasi penelitian; ukuran kotak sebanding dengan jumlah
kejadian di setiap kategori; dengan interval kepercayaan sebesar 95 persen untuk perkiraan risiko relatif
dilambangkan dengan garis vertikal. (Dicetak ulang dengan izin dari MacMahon S, Peto R, Cutler J, dkk:
Tekanan darah, stroke, dan penyakit jantung koroner. Lancet 335:764, 1990.)

Terkait dengan konsep ambang batas untuk mendefinisikan hipertensi dan


normotensi, terdapat pertanyaan mengenai target tekanan darah optimal untuk pengobatan.
Uji Coba Intervensi Tekanan Darah Sistolik (SPRINT) baru-baru ini dihentikan lebih awal
setelah menunjukkan lebih sedikit kejadian kardiovaskular dengan target tekanan darah
intensif (tekanan darah sistolik <120 mmHg) dibandingkan dengan pasien dengan target
tekanan darah standar (sistolik <140 mmHg).4 Perhatikan bahwa pasien dengan riwayat
stroke (atau diabetes) secara khusus dikeluarkan dari penelitian ini, dan manifestasi hipotensi,
sinkop, kelainan elektrolit, dan cedera atau gagal ginjal akut lebih sering terjadi dengan
pengobatan intensif. Pengukuran tekanan darah oscillometric otomatis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 5 sampai 10 mmHg lebih rendah dari pengukuran klinik rutin. Seberapa
baik hasil ini diperoleh dalam populasi pasien dengan risiko kardiovaskular yang lebih tinggi
digeneralisasi untuk pasien dengan penyakit neurologis, kelemahan, riwayat stroke, atau
penyakit serebrovaskular yang tidak pasti.

3
PATOFISIOLOGI

Pada otak, proses patofisiologi utama hipertensi berhubungan dengan peningkatan


tonus vasomotor dan resistensi arteri perifer. Peningkatan tekanan darah secara akut
mengakibatkan penyempitan arteri-arteri kecil di dalam otak sebagai respon kompensasi yang
disebut sebagai mekanisme autoregulasi yang menyebabkan aliran darah ke otak
dipertahankan pada tingkat yang relatif konstan pada berbagai tekanan. Pada tekanan tinggi,
mekanisme vasokonstriksi bersifat protektif dengan mengurangi tekanan pada pembuluh
darah yang lebih kecil dan lebih distal. Pada kondisi hipertensi berat akut, terjadi peningkatan
aliran darah otak yang berada di atas ambang ini, di mana autoregulasi normal pada tekanan
arteri rata-rata berkisar pada angka 150 mmHg. Vasokonstriksi yang terjadi pada hipertensi
akut bersifat tidak merata, dan tekanan darah tinggi dapat berdampak pada beberapa
pembuluh darah kecil, yang dapat menyebabkan cedera endotel dan kerusakan fokal dari
sawar darah otak. Ensefalopati hipertensi akut adalah salah satu manifestasi klinis yang
disebabkan oleh proses ini. Nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah kecil juga dapat terjadi,
di mana kondisi ini akan meningkatkan risiko kejadian iskemik dan hemoragik di masa
mendatang.

Hipertensi kronis menyebabkan terjadinya remodeling pembuluh darah otak. Terjadi


hipertrofi media dan penyempitan lumen. Perubahan ini bersifat protektif, dengan
pengurangan tegangan dinding dan pergeseran kurva autoregulasi untuk memungkinkan
kompensasi pada tekanan darah yang terletak lebih tinggi. Namun, mekanisme remodeling
vaskular dapat disertai dengan disfungsi endotel yang dapat mengakibatkan gangguan
relaksasi dan kompensasi yang buruk terhadap kejadian hipoperfusi. Hal ini dapat berakibat
pada terjadinya kerentanan yang lebih besar terhadap cedera iskemik karena berkurangnya
aliran kolateral.

Hipertensi juga merupakan predisposisi terjadinya aterosklerosis. Hipertensi bersifat


proinflamasi dan disertai dengan peningkatan radikal bebas oksigen plasma. Radikal bebas
menginduksi proliferasi sel otot polos pembuluh darah dan dapat mengoksidasi lipoprotein
densitas rendah, yang dapat memicu aktivasi makrofag dan ekstravasasi monosit. Angiotensin
II meningkat pada banyak pasien hipertensi dan mungkin memainkan peran langsung dalam
aterogenesis terlepas dari efeknya pada tekanan darah. Mekanisme ini secara langsung
merangsang pertumbuhan sel otot polos, hipertrofi, dan aktivitas lipoksigenase, peradangan,
dan oksidasi lipoprotein densitas rendah, sehingga mempercepat aterosklerosis.

4
EVALUASI DAN TATALAKSANA

Standar emas pengukuran tekanan darah adalah dengan prosedur auskultasi


menggunakan tensimeter air raksa dengan pasien dalam posisi duduk setelah istirahat 5 menit
dan dengan kaki pasien bertumpu di lantai dan lengan ditopang setinggi jantung selama
pengukuran. Pembacaan yang akurat tergantung pada penggunaan manset berukuran tepat
dengan manset menutupi setidaknya 80 persen lengan. Klasifikasi tekanan darah ke dalam
kategori diagnostik tertentu telah didasarkan pada rata-rata dua atau lebih pembacaan pada
masing-masing dari dua atau lebih kunjungan pasien.

Namun, perangkat tekanan darah oscillometric otomatis umum ditemukan pada klinik
dan rumah, serta perangkat pemeriksaan yang dapat mengukur tekanan darah dalam beberapa
interval, selama siang dan malam, bahkan juga tersedia selama menjalankan aktivitas normal.
Perangkat pemeriksaan seperti ini dapat melakukan beberapa pembacaan berturut-turut dan
pengukuran tekanan darah dapat dilakukan tanpa pengawasan, bahkan dapat dilakukan di
rumah. Data hasil pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan diluar fasilitas kesehatan dapat
diintegrasikan untuk menegakkan diagnosis hipertensi. Metode pengukuran tekanan darah
yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang berbeda secara sistematis, sehingga perhatian
yang cermat terhadap metode khusus yang digunakan untuk mengukur tekanan darah saat
menafsirkan hasil uji klinis sangat penting untuk dilakukan.

Anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik dengan pengukuran laboratorium dasar


sangat penting untuk mengevaluasi penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi dan dapat
digunakan untuk menilai risiko. Beberapa karakteristik pasien mungkin menunjukkan
penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi seperti usia muda, hipertensi berat, hipertensi
yang bersifat refrakter terhadap beberapa intervensi, dan temuan fisik atau laboratorium yang
menunjukkan gangguan endokrinologis, seperti obesitas trunkal atau hipokalemia. Bruit
abdomen atau penurunan nadi femoralis juga dapat menjadi indikator penyakit renovaskular
dan aorta. Pembacaan yang tidak sama pada pemeriksaan masing-masing lengan
meningkatkan kekhawatiran akan terdapatnya stenosis subklavia dan penyakit arteri perifer.

Modifikasi gaya hidup dianjurkan sebagai terapi awal untuk pasien dengan tekanan
darah 120/80 mmHg atau lebih tinggi. Intervensi gaya hidup yang efektif termasuk
penurunan berat badan, membatasi asupan alkohol, aktivitas fisik aerobik, asupan kalium
yang memadai, pembatasan garam diet, dan rejimen diet yang komprehensif seperti rencana
makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH). Penambahan pengobatan

5
farmakologis dengan satu atau lebih obat antihipertensi diperbolehkan pada pasien dengan
risiko manifestasi kardiovaskular aterosklerotik yang tinggi seperti pasien dengan penyakit
kardiovaskular atau stroke, diabetes, penyakit ginjal kronis, atau usia lanjut (> 65) dan ketika
pembacaan tekanan darah pada presentasi awal bernilai sangat tinggi.

Pengurangan risiko kardiovaskular yang dihasilkan dari pengobatan farmakologis


tekanan darah tinggi berkaitan dengan tingkat penurunan tekanan darah yang dicapai dengan
penggunaan obat antihipertensi tertentu. Monoterapi dengan thiazides atau diuretik,
penghambat saluran kalsium, penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), dan
penghambat reseptor angiotensin II (ARB) baik untuk digunakan dengan pertimbangan
tertentu untuk subpopulasi tertentu (misalnya, penghambat ACE atau ARB dengan penyakit
ginjal kronis) dan pengalaman masing-masing pasien terkait dengan tolerabilitas dan efek
samping obat. Untuk pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi pada presentasi awal,
tatalaksana dengan dua agen lini pertama mungkin diperlukan sejak awal pengobatan,
meskipun terlepas dari pendekatan awal, pendekatan sistematis untuk peningkatan dosis dan
terapi kombinasi sangat penting untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, yang
dibuktikan oleh hasil program manajemen hipertensi secara komprehensif. Obat
antihipertensi memiliki banyak manfaat dalam mengobati hipertensi, termasuk penurunan
risiko infark miokard, gagal jantung kongestif, retinopati, gagal ginjal, dan kematian secara
keseluruhan. Fokus dari sisa bab ini adalah pada komplikasi neurologis spesifik dari
hipertensi dan aspek tatalaksana pengobatan yang diperlukan.

STROKE

Dari semua faktor risiko stroke yang teridentifikasi dapat dimodifikasi, hipertensi
tampaknya menjadi salah satu faktor risiko yang paling berperan, karena prevalensinya yang
tinggi dan hubungannya yang kuat dengan peningkatan risiko stroke. Berdasarkan data
epidemiologi, sekitar 50 persen stroke dapat dicegah jika hipertensi dihilangkan (Tabel 7-1).
Penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa bahkan pengurangan kecil pada tekanan darah
dengan pengobatan aktif (misalnya, pengurangan bahkan 5 mmHg tekanan diastolik) dapat
menghasilkan pengurangan risiko stroke secara bermakna (hingga 40%) . Besar manfaat
penurunan tekanan darah terhadap risiko stroke bernilai sama pada setiap usia, bahkan
dengan poulasi lanjut usia dengan peningkatan tekanan darah sistolik terisolasi. Berdasarkan
studi, pasien berusia 60 tahun atau lebih telah menunjukkan penurunan serupa pada stroke

6
dengan penurunan tekanan darah sistolik, di mana data terbaik yang tersedia menunjukkan
bahwa manfaat pengobatan tekanan darah pada orang tua (>85 tahun) sebanding dengan yang
terlihat pada individu yang lebih muda.

Tabel 7-1. Perkiraan Dampak Penurunan Faktor Risiko terhadap Manifestasi Stroke di
Amerika Serikat

Di sebagian besar negara maju, peningkatan kesadaran akan hipertensi, peningkatan


penggunaan obat antihipertensi, dan kontrol tekanan darah yang lebih baik pada sebagian
besar populasi berhubungan dengan penurunan beban penyakit yang disesuaikan dengan usia
akibat stroke. Namun, pada skala global, hipertensi tetap menjadi faktor risiko utama
kematian di seluruh dunia dan negara berkembang terus menanggung beban penyakit stroke
yang tidak proporsional, substansial, dan meningkat (Gambar 7-2).

Gambar 7-2. Insidensi stroke berdasarkan usia pada kedua jenis kelamin pada tahun 2016 (Dicetak ulang
dengan izin Kolaborator Stroke GBD 2016: Global, Regional, and National Burden of Stroke, 1990-2016:
analisis sistematik Global Burden of Disease Study 2016. Lancet 18:439, 2019.)

7
Hipertensi berkontribusi sebagai penyebab utama bagi manifestasi stroke iskemik dan
hemoragik termasuk stenosis karotis, aterosklerosis intrakranial, arteriosklerosis pembuluh
darah kecil, dan perkembangan aneurisma makroskopis dan mikroskopis. Masing-masing
kondisi ini dibahas secara terpisah dalam bab ini.

Pada fase akut iskemia serebral, hipertensi mungkin memainkan peran kompensasi
dalam mempertahankan perfusi serebral ke area otak yang terancam. Hilangnya autoregulasi
serebral normal telah ditunjukkan pada area iskemik otak. Ketika autoregulasi hilang, aliran
darah ke otak menjadi berbanding lurus dengan tekanan arteri rata-rata dan oleh karena itu,
secara teori, peningkatan tekanan darah secara farmakologis dapat memiliki efek yang
bermanfaat dalam mempertahankan daerah hipoperfusi otak. Dalam beberapa penelitian,
penurunan cepat pada tekanan darah akibat mekanisme farmakologis berhubungan dengan
hasil yang lebih buruk, dan terdapat banyak laporan anekdotal terkait munculnya kembali
gejala stroke setelah penurunan tekanan darah. Oleh karena itu, menahan atau mengurangi
pengobatan farmakologis terhadap tekanan darah pada kondisi stroke iskemik akut
tampaknya baik untuk dilakukan, kecuali jika tekanan darah melebihi 220/120 mmHg atau
disertai dengan cedera organ akhir akut atau dengan pemberian trombolitik sehingga
memerlukan penetapan target tekanan darah yang lebih rendah.

Pada fase kronis, terdapat banyak bukti yang mendukung penggunaan intervensi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah untuk pencegahan stroke sekunder. Studi
terapi kombinasi dengan penghambat ACE dan diuretik thiazide pada pasien dengan riwayat
stroke telah menemukan pengurangan yang lebih besar pada risiko relatif stroke berulang
dibandingkan dengan penggunaan tunggal penghambat ACE, sebagian besar karena
penurunan tekanan darah yang lebih besar dapat dicapai dengan pemberian terapi kombinasi.
Meskipun terapi dengan antagonis sistem renin-angiotensin dan diuretik dapat memberikan
manfaat yang sangat kuat dalam pencegahan stroke, terutama bila dibandingkan dengan obat-
obat blocker, tingkat kebaikan kontrol hipertensi merupakan prediktor terbaik bagi
perlindungan terhadap stroke berulang. Oleh karena itu, respon terhadap terapi dan
komorbiditas lainnya, seperti gagal jantung, diabetes, asma, dan aritmia, harus
dipertimbangkan dalam memutuskan rejimen obat antihipertensi yang tepat. Meskipun
respons fisiologis akut terhadap stroke dapat menginduksi reaksi hipertensi jangka pendek
yang mungkin memerlukan pengurangan terapi antihipertensi pada pasien tertentu,
pendekatan umum untuk memulai terapi antihipertensi sebelum pasien keluar dari rumah

8
sakit dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan peningkatan kontrol tekanan darah selama
masa kritis. transisi menuju perawatan rawat jalan, dan dalam jangka panjang.

ANEURISMA SEREBRAL

Aneurisma serebral merupakan manifestasi dilatasi fokal pembuluh darah. Perdarahan


subarachnoid, suatu bentuk penting dari stroke hemoragik, terjadi ketika aneurisma serebral
pecah (Gambarr 7-3). Hipertensi berhubungan dengan pembentukan aneurisma serebral dan
dengan perdarahan subarachnoid. Hipertensi lebih sering terdaftar sebagai diagnosis sekunder
pada pasien yang dirawat dengan aneurisma yang tidak pecah dibandingkan dengan pasien
rawat inap secara lebih umum, dan penelitian menunjukkan bahwa hipertensi dapat
memberikan risiko perdarahan subarachnoid hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan
pasien nonhipertensi.

Gambar 7-3. Ruptur pada aneurisma arteri komunikata anterior berdampak pada manifestasi perdarahan
subarachnoid . A, Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan perdarahan luas pada basis cranii dan sedikit
perdarahan intraventrikuler. B. Pemeriksaan angiogram menunjukkan aneurisma sakular kompleks.

Penyebab perkembangan dan pecahnya aneurisma serebral bersifat multifaktorial.


Studi epidemiologis telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko lingkungan terkait
manifestasi perdarahan subarachnoid selain hipertensi. Merokok menggandakan risiko
perdarahan subarachnoid, mungkin terkait dengan meningkatkan pelepasan enzim proteolitik
yang mempengaruhi integritas pembuluh darah. Konsumsi alkohol berat meningkatkan risiko
perdarahan subarachnoid terkait dengan hipertensi yang diinduksi alkohol, antikoagulasi
relatif, atau peningkatan aliran darah otak. Kontrasepsi oral dikaitkan dengan risiko
perdarahan subarachnoid yang kecil namun signifikan. Faktor genetik juga berkaitan secara
9
bermakna terhadap pembentukan aneurisma dan perdarahan subarachnoid. Risiko perdarahan
subarachnoid jauh lebih besar pada pasien dengan kerabat tingkat pertama yang memiliki
riwayat serupa, dan prevalensi aneurisma yang tidak pecah setidaknya bernilai dua kali lebih
tinggi jika terdapat riwayat aneurisma di dalam keluarga. Wanita hampir dua kali lebih
mungkin mengalami aneurisma atau mengalami perdarahan subarachnoid dibandingkan pria.
Populasi Afrika dan Amerika memiliki risiko dua kali lebih tinggi terkait manifestasi
perdarahan subarachnoid. Penyakit ginjal polikistik, sindrom Ehlers-Danlos tipe 4, dan
defisiensi 1-antitripsin juga dikaitkan dengan peningkatan risiko.

Aneurisma Serebral Nonruptur

Perkiraan prevalensi aneurisma yang tidak pecah sangat bervariasi, tetapi secara
keseluruhan kurang lebih berkisar pada angka 3 persen. Sebagian besar aneurisma
berdiameter kurang dari 10 mm, dan sebagian besar kurang dari 6 mm. Aneurisma serebral
lebih sering terdeteksi seiring dengan peningkatan teknologi pencitraan dan berkembangnya
studi pencitraan yang lebih sering untuk digunakan.

Aneurisma yang tidak pecah sering kali tidak menunjukkan gejala dan ditemukan
secara kebetulan dalam pemeriksaan terhadap masalah kesehatan yang bisa jadi tidak terkait.
Beberapa aneurisma menghasilkan gejala sebab dapat menekan struktur disekitarnya.
Keberadaan manifestasi neuropati kranial seringkali dianggap sebagai tanda yang
mengkhawatirkan dari ruptur yang akan segera terjadi dan sering kali membutuhkan
perawatan segera. Sakit kepala akut juga disebut sebagai salah satu tanda dari aneurisma yang
tidak pecah. Meskipun migrain mungkin hanya mewakili kejadian yang tidak terkait, yang
mendorong pasien untuk melakukan pemeriksaan pencitraan kepala, beberapa sakit kepala
mungkin disebabkan oleh aneurisma itu sendiri. Sakit kepala "thunderclap" yang tiba-tiba
dan parah dapat menandakan pertumbuhan aneurisma yang cepat atau kebocoran kecil tanpa
bukti perdarahan subarachnoid yang nyata.

Angiografi kateter tetap menjadi standar emas untuk mendeteksi aneurisma dan untuk
mengkarakterisasi morfologi dan anatomi lesi ini untuk merencanakan perawatan. Computed
tomography (CT) kepala tidak secara andal mendeteksi aneurisma yang tidak pecah,
meskipun angiografi CT dan angiografi resonansi magnetik (MR) mampu mendeteksi
aneurisma, terutama yang lebih besar dari 3 mm. Prognosis aneurisma yang tidak pecah atau

10
ruptur, sebagaimana tercermin dalam tingkat ruptur, masih bersifat kontroversial, meskipun
sebagian besar aneurisma berukuran kecil tampaknya memiliki risiko ruptur yang sangat
rendah. Ukuran aneurisma (diameter maksimum ≥7 mm) dan lokasi di ujung basilar atau
arteri komunikata posterior merupakan prediktor independen perdarahan. Untuk pasien tanpa
riwayat perdarahan subarachnoid, risiko perdarahan untuk aneurisma berukuran kecil
(berdiameter kurang dari 7 mm) di sirkulasi anterior pada dasarnya mendekati 0 persen dan
berkisar pada angka 0,5 persen ketika aneurisma terletak di sirkulasi posterior.

Standar perawatan untuk pengobatan aneurisma adalah pembedahan dengan metode


kliping, di mana klip logam akan ditempatkan pada bagian proksimal aneurisma, sehingga
mengisolasinya dari sirkulasi. Namun, embolisasi dengan koil, yang melibatkan pemasangan
koil platinum ke dalam aneurisma melalui mikrokateter dengan prosedur endovaskular
angiografik, tampaknya merupakan pendekatan yang secara umum lebih aman bila mungkin
utuk dilakukan secara teknis, meskipun aneurisma terkadang memerlukan perawatan ulang
pada tindak lanjut awal. Apakah aneurisma jenis tertentu memerlukan pengobatan tergantung
pada tingkat ruptur yang dapat diantisipasi dan risiko prosedural. Untuk aneurisma
asimtomatik yang berukuran lebih kecil dari 7 mm tanpa riwayat perdarahan subarachnoid,
pengobatan mungkin tidak dibenarkan, terutama bila terletak pada sirkulasi anterior,
mengingat risiko tindakan pembedahan atau terapi endovaskular. Pengobatan aneurisma yang
tidak pecah cenderung lebih hemat biaya dari perspektif masyarakat ketika aneurisma yang
terjadi berukuran lebih besar atau bergejala atau ketika terdapat riwayat perdarahan
subarachnoid yang berasal dari aneurisma yang berbeda. Mengontrol atau menghilangkan
faktor risiko, seperti hipertensi, merokok, dan penyalahgunaan alkohol, dapat mengurangi
derajat ruptur, tetapi ini belum dapat ditetapkan secara sistematis.

Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid menyumbang sekitar 5 persen dari semua manifesrtasi


stroke, tetapi cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan subtipe
stroke lainnya, dengan usia rata-rata saat kematian berkisar pada usia 50-an hingga 60-an
untuk perdarahan subarachnoid, dibandingkan dengan kematian akibat perdarahan
intraserebral yang seringkali terjadi pada usia 70-an dan usia 80-an untuk stroke iskemik.
Perdarahan subarachnoid menyumbang hampir sepertiga dari tahun-tahun kehidupan
potensial yang hilang sebelum usia 65 tahun karena stroke. Tingkat kematian kasus telah

11
membaik, tetapi 10 hingga 20 persen kasus tetap disertai dengan kecacatan dan bergantung
pada prosedur tindak lanjut. Pasien dengan perdarahan subarachnoid umumnya disertai
dengan serangan sakit kepala parah akut, kadang-kadang disertai dengan nyeri leher.
Perubahan kesadaran terjadi pada sebagian kecil pasien, tetapi cukup parah untuk
menyebabkan koma atau kematian mendadak di luar rumah sakit. Pemeriksaan CT kepala
seringkali memberikan gambaran darah di sekitar pangkal otak. Perdarahan intraventrikular
dan intraparenkim bisa didapatkan dan dapat memberikan petunjuk tentang lokasi aneurisma
yang pecah. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak selalu menunjukkan tanda-tanda perdarahan
bila tidak ada bukti pada CT kepala. Keberadaan darah dalam cairan tulang belakang dapat
menunjukkan tanda perdarahan subarachnoid akut. Xanthochromia didapatkan dalam hampir
seluruh kasus dan dapat bertahan selama lebih dari 3 minggu, tetapi kemunculannya dapat
tertunda lebih dari 12 jam pada 10 persen kasus. Pemeriksaan angiografi diperlukan untuk
mendiferensiasi aneurisma dan dalam merencanakan pengobatan. Prognosis bergantung pada
kemampuan klinisi dalam mengobati aneurisma yang terjadi dan bergantung pada kondisi
pasien saat datang. Perdarahan berulang terjadi pada lebih dari 4 persen pasien yang tidak
diobati pada fase awal. Pada 1 hingga 2 persen pasien per hari selama 2 minggu berikutnya,
didapatkan bahwa manifestasi ruptur berulang dikaitkan dengan kematian dan morbiditas
yang lebih besar dibandingkan dengan ruptur primer. Terlepas dari pengobatan dan
perdarahan berulang, tingkat kesadaran pasien adalah prediktor utama kematian pasien (Tabel
7-2). Federasi Ahli Bedah Neurologis Dunia mengembangkan Skala Pemeringkatan
Perdarahan Subarachnoid Universal, serupa dengan skala Hunt dan Hess yang lebih dulu
ditentukan, yang telah diadopsi secara luas tetapi menawarkan sedikit keuntungan
dibandingkan penentuan berdasarkan tingkat kesadaran saja.

Tabel 7-2 Hasil Keseluruhan setelah Manifestasi Perdarahan Subarachnoid menurut Tingkat
Kesadaran saat Masuk.

12
Untuk mengurangi risiko perdarahan berulang, aneurisma yang pecah harus
diidentifikasi dengan cepat dan diperbaiki dengan prosedur kliping bedah atau embolisasi
koil endovaskular sedini mungkin. Hidrosefalus akibat obstruksi saluran cairan serebral atau
meningen oleh bekuan darah mungkin memerlukan drainase ventrikel eksternal. Vasospasme
merupakan komplikasi umum yang dapat menyebabkan iskemia serebral onset lambat akibat
penyempitan pembuluh darah di daerah yang terdampak oleh perdarahan subarachnoid.
Gejala seperti ini didapatkan pada sepertiga kasus, biasanya 3 sampai 14 hari setelah
perdarahan, dan dapat mengakibatkan manifestasi infark serebral atau kematian.
Ultrasonografi Doppler transkranial dapat mendeteksi vasospasme sebelum gejala muncul.
Nimodipin oral, antagonis saluran kalsium, mengurangi hasil buruk terkait manifestasi
vasospasme dan umumnya diberikan selama 21 hari pertama setelah perdarahan awal. Pada
hipertensi yang diinduksi oleh kondisi ini, penggunaan obat-obat pressor dan pemberian
cairan intravena yang memadai dapat mempertahankan hidrasi dan dapat mengurangi risiko
infark, tetapi langkah-langkah ini belum pernah dipelajari secara lebih lanjut dalam uji coba.
Tatalaksana ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan aneurisma yang tidak menjalankan
pengobatan karena berisiko memicu episode perdarahan lebih lanjut. Vasodilatasi melalui
angioplasti atau verapamil intra-arterial dapat membalikkan vasospasme angiografik dalam
banyak kasus, tetapi manfaat klinis dari prosedur tatalaksana ini belum dapat dibuktikan
secara pasti.

PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Perdarahan langsung ke dalam substansi otak disebut sebagai perdarahan


intraparenkim atau intraserebral (Gbr. 7-4). Kondisi ini dapat terjadi sebagai komplikasi
stroke iskemik, disebut sebagai konversi hemoragik, atau sebagai cedera primer tanpa
manifestasi iskemia sebelumnya. Hipertensi adalah faktor risiko yang paling penting untuk
diidentifikasi terkait dengan manifestasi perdarahan intraserebral. Lebih dari 70 persen pasien
dengan perdarahan intraserebral memiliki riwayat hipertensi, dan risiko stroke hemoragik
meningkat secara eksponensial seiring dengan peningkatan tekanan darah sistolik.

13
Gambar 7-4. Gambaran pemeriksaan CT pada kasus perdarahan intraserebral yang terletak pada ganglia basalis
dengan massa yang menekan ventrikel

Perdarahan intrakranial bertanggung jawab atas 10 hingga 15 persen dari semua


kematian akibat stroke, tetapi perlu diingat bahwa lebih dari sepertiga tahun kehidupan hilang
sebelum usia 65 tahun karena manifestasi peradarahan intrakranial lebih banyak terdistribusi
pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan penyebab stroke lainnya. Angka kematian
pada kasus perdarahan intrakranial cenderung tinggi, dengan seperempat hingga setengah
pasien meninggal dalam 1 bulan onset dan hanya sekitar seperlima pasien yang kembali
mandiri dalam 6 bulan. Faktor risiko lain terkait perdarahan intraserebral termasuk usia, ras,
penyalahgunaan zat, riwayat terapi antikoagulasi, disfungsi trombosit, dan anomali vaskular
serta struktural. Tingkat perdarahan intraserebral meningkat seiring bertambahnya usia.
Populasi Afrika dan Amerika memiliki tingkat kasus yang lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi kulit putih, dengan perbedaan yang lebih besar pada usia yang lebih muda.
Penggunaan kokain dan amfetamin dikaitkan dengan peningkatan risiko, terutama bagi
manifestasi akut, yang dapat disebabkan oleh hipertensi berat yang terjadi sementara.
Kelainan dalam pembekuan darah dapat menjelaskan peningkatan insiden perdarahan
intraserebral pada pasien dengan riwayat konsumsi alkohol berat. Terapi antikoagulan dan
antiplatelet yang berlebihan juga meningkatkan risiko perdarahan intraserebral. Agen
trombolitik yang digunakan pada kasus stroke iskemik dan infark miokard menyebabkan
perdarahan intraserebral dalam beberapa kasus. Kondisi ini juga dapat disertai dengan
manifestasi trombositopenia berat dan disfungsi trombosit. Perdarahan intraserebral dapat
terjadi pada tumor otak, seperti glioblastoma multiforme dan pada melanoma metastatik,

14
koriokarsinoma, karsinoma sel ginjal, dan karsinoma bronkogenik. Angiopati amiloid
serebral, suatu vaskulopati umum pada orang tua, berhubungan dengan perdarahan lobaris,
sering berpusat di persimpangan substasia alba dan grisea. Manifestasi perdarahan lainnya
mungkin didapatkan pada pemeriksaan MR gradien-echo atau susceptibility-weighted
(Gambar 7-5), yang mendukung penegakkan diagnosis. Malformasi arteriovenosa, kompleks
abnormal arteri dan vena pada parenkim otak, merupakan penyebab dari sekitar 5 persen dari
seluruh kasus perdarahan intraserebral. Malformasi kavernosa merupakan kumpulan padat
saluran vaskular berdinding tipis dan dapat berhubungan dengan kejadian perdarahan
intraserebral yang didapatkan pada sekitar 5 persen hasil otopsi. Temuan ini tidak terlihat
pada hasil pemeriksaan angiografi tetapi memerikan gambaran khas "popcorn" pada
pencitraan MR, dengan inti hiperintens dikelilingi oleh hemosiderin hipointense dari
perdarahan kecil sebelumnya (Gambar 7-6). Aneurisma dapat memicu terjadinya perdarahan
intraserebral ketika aliran darah diarahkan pada otak, tetapi kondisi ini jarang disalahartikan
sebagai perdarahan hipertensi primer.

Gambar 7-5. Hasil pencitraan yang memberikan gambaran angiopati amyloid tanpa disertai gambaran
perdarahan pada pemeriksaan CT. A, beberapa gambaran titik putih pada persimbangan substasia alba dan
grisea pada pencitraan MRI MPGR. B, Gambaran riwayat perdarahan sebelumnya.

15
Gambar 7-6. Pembentukan malformasi kavernosa disertai dengan sedikit perdarahan intrakranial akut.

Perdarahan intraserebral hipertensi primer diperkirakan disebabkan oleh cedera


vaskular kronis, mengakibatkan pembentukan aneurisma mikroskopis, yang pertama kali
diidentifikasi oleh Charcot dan Bouchard pada tahun 1868. Kemajuan dalam persiapan
jaringan patologis telah menimbulkan keraguan terhadap frekuensi munculnya manifestasi
aneurisma mikroskopis, yang sebenarnya mungkin mewakili kondisi vaskular yang lebih
kompleks. Baru-baru ini, nekrosis fibrinoid arteri kecil telah diusulkan sebagai langkah awal
dalam perdarahan intraserebral. Cedera otak terjadi karena kompresi jaringan di sekitarnya
dan dari efek toksik langsung. Efek massa hematoma dapat menyebabkan herniasi uncal,
subfalcine, tonsillar, atau transtentorial, tergantung pada lokasi hematoma dan dapat berujung
pada kematian. Presentasi klinis tergantung pada lokasi dan ukuran perdarahan (Tabel 7-3).
Hampir semua perdarahan intraserebral ditandai dengan defisit neurologis yang terjadi secara
mendadak, berlangsung selama beberapa menit disertai dengan sakit kepala, serta dapat
disertai dengan perubahan kesadaran. Perburukan manifestasi edema yang terjadi di
sekitarnya, hidrosefalus, perdarahan berkelanjutan atau berulang sering terjadi dalam 24 jam
pertama tetapi munculnya manifestasi-manifestasu tersebut juga dapat tertunda beberapa hari.

16
Tabel 7-3. Manifestasi Klinis Perdarahan Intraserebral

Prognosis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Volume perdarahan, paling mudah
diukur dengan membagi dua panjang, lebar, dan kedalaman pada gambar CT kepala aksial,
yang dapat digunakan sebagai prediktor kuat kematian. Mortalitas jauh lebih besar pada
mereka dengan perluasan perdarahan intraventrikular. Hidrosefalus karena perluasan
perdarahan intraventrikular atau obstruksi aliran keluar cairan serebrospinal (CSF) juga dapat
digunakan sebagai prediktor kematian di rumah sakit. Skor Glasgow Coma Scale yang lebih
rendah pada pasien, usia lanjut, lokasi infratentorial, dan peningkatan tekanan darah atau
tekanan nadi awal adalah prediktor independen lain dari risiko kematian. Model prediksi
multivariabel sederhana yang mengintegrasikan faktor-faktor ini telah dikembangkan dan
divalidasi. CT kepala mendesak diperlukan pada pasien dengan dugaan perdarahan
intraserebral. MRI sama sensitifnya dengan CT untuk mendeteksi perdarahan dan lebih
sensitif untuk mendeteksi etiologi struktural yang mendasarinya, tetapi kecepatan,
ketersediaan, dan kemudahan interpretasi CT menjadikan pemeriksaan ini baik digunakan
pada prosedur pemeriksaan awal. Pemeriksaan CT kepala dengan kontras dapat menunjukkan
bukti perdarahan persisten yang disebut sebagai tanda “titik” yang berhubungan dengan
perluasan hematoma dan prognosis yang lebih buruk. Pencitraan vaskular perlu untuk
dilakukan pada pasien dengan risiko perdarahan subarachnoid yang dapat disertai dengan
manifestasi aneurisma, seperti dalam kasus dengan sejumlah besar perdarahan subarachnoid,
dan pemeriksaan ini harus dipertimbangkan untuk semua pasien tanpa etiologi yang jelas.
Pemeriksaan MRI dini dapat diindikasikan jika keberadaan etiologi struktural dicurigai, tetapi
gambaran hasil pemeriksaan seringkali disalahartikan sebagai perdarahan fase akut.
Pemindaian yang tertunda 4 hingga 8 minggu dapat memberikan informasi yang lebih
berguna jika diagnosis mendesak tidak diperlukan. MRI juga berguna dalam mendiagnosis
malformasi kavernosa dan bisa saja akan memberikan gambaran angiopati amiloid serebral.

17
Prosedur pengobatan umumnya mendukung, meskipun intervensi bedah diindikasikan
dalam kasus yang jarang terjadi. Hipertensi berat sering terjadi setelah manifestasi perdarahan
intraserebral, sebagian terjadi akibat dari respons terhadap peningkatan tekanan intrakranial
dan cedera otak. Pada pasien dengan tekanan darah sistolik 150-220 mmHg, penurunan akut
tekanan darah sistolik hingga 140 mmHg masih bersifat aman. Pedoman konsensus saat ini
menyarankan pengobatan dengan terapi antihipertensi untuk tekanan darah sistolik lebih
besar dari 180 mmHg atau pada pasien dengan angka tekanan arteri rata-rata lebih besar dari
130 mmHg, meskipun penelitian untuk menentukan kontrol tekanan darah yang optimal
setelah perdarahan intraserebral menunjukkan bahwa target terapi tekanan darah sistolik
baiknya berkisar pada angka <160 atau <140 mmHg. Peningkatan tekanan intrakranial dapat
berujung pada kondisi koma dan dapat ditatalaksana dengan prosedur drainase ventrikel,
osmoterapi, atau hiperventilasi. Evakuasi bedah perdarahan intraserebral primer biasanya
dilakukan bila didapatkan perdarahan fossa posterior dengan risiko kompresi batang otak atau
bila terdapat perburukan kondisi neurologis pada pasien dengan perdarahan lobar, disertai
dengan tanda-tanda prognostik lainnya yang menguntungkan. Untuk perdarahan intraserebral
supratentorial, studi yang ada tidak berhasil menemukan manfaat evakuasi bedah dini
hematoma atas strategi pengobatan konservatif awal, di mana pada kondisi seperti ini
tindakan evakuasi bedah hanya dilakukan jika pada pasien yang memiliki manifestasi
kerusakan neurologis, bahkan di antara subkelompok pasien dengan perdarahan lobar yang
berlokasi dekat dengan permukaan kortikal. Namun dalam praktiknya, pemilihan pasien dan
keputusan dalam menawarkan intervensi bedah untuk perdarahan intraserebral supratentorial
seringkali bersifat individual dan bervariasi. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat
peningkatan minat dalam mengevaluasi teknik invasif minimal sebagai prosedur evakuasi
hematoma, meskipun manfaat klinis definitif dari pendekatan ini pada akhirnya masih belum
bisa ditunjukkan secara pasti. Pengobatan hipertensi diindikasikan setelah fase akut. Selain
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular dan stroke iskemik, mengobati hipertensi secara
substansial dapat mengurangi risiko perdarahan intraserebral.

INFARK LAKUNAR

Istilah lakunar pertama kali diperkenalkan pada tahun 1843 oleh M. Durand-Fardel
untuk menggambarkan area subkortikal kecil yang tidak memiliki materi abu-abu dan putih.
Lesi ini dikaitkan dengan kejadian infark dan presentasi klinis tertentu oleh Marie dan

18
Ferrand pada lebih dari 50 tahun kemudian. Pada 1950-an, Miller Fisher memperkenalkan
kembali istilah tersebut ke dalam neurologi modern melalui uraiannya tentang presentasi
klinis dan patologis yang mengakui berperan pentingnya hipertensi sebagai salah satu etiologi
utama dan terhadap mekanisme patogenesis yang bertahan hingga saat ini. Berdiameter
kurang dari 2 cm, lakuna adalah infark kecil yang diakibatkan oleh oklusi cabang pembuluh
darah yang berasal dari arteri besar (Gambar 7-7). Kesepakatan umum mengenai definisi
lakuna telah didapatkan, tetapi hingga saat ini terdapat banyak argumen dan pembahasan
mengenai hubungan timbal balik antara infark lakunar, stroke lakunar (lakuna simptomatik),
sindrom lakunar (gejala kompleks yang sering dikaitkan dengan stroke lakunar), dan penyakit
lakunar (disebabkan oleh perubahan intrinsik pembuluh darah kecil). Argumen muncul dari
korelasi yang tidak sempurna antara kedua kondisi ini. Pertama, tidak semua lakunar
menghasilkan sapuan lakunar. Kedua, sindroma lakunar seringkali dikaitkan dengan stroke
pembuluh darah besar. Ketiga, kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit intrinsik pembuluh
darah kecil dan dapat disebabkan oleh etiologi lainnya.

Gambar 7-7. Gambaran perdarahan thalamokapsular akut pada stroke lakunar mengakibatkan timbulnya
manifestasi sindroma sensorimotor pada sisi kiri tubuh pasien.

19
Sebagian besar lakuna terletak di ganglia basalis dan talamus, dan sisanya berada
pada kapsula interna, pons, serebelum, dan substansia alba subkortikal. Sekitar 20 hingga 30
persen stroke iskemik disebabkan oleh kondisi ini. Lakuna sering ditemukan secara kebetulan
melalui pemeriksaan MR, terutama pada pasien yang berusia lebih tua, dan sebagian besar
dari mereka yang menyangkal riwayat stroke atau serangan iskemik transien (TIA). Lakuna
tidak bergejala seperti ini dikaitkan dengan gangguan dalam kemampuan kognitif dan
fungsional, menunjukkan bahwa beban klinis sesungguhnya dari manifestasi lakuna mungkin
lebih besar dari yang diduga sebelumnya. Hipertensi adalah salah satu faktor risiko yang
paling berperan dalam perkembangan manifestasi lakuna. Namun, manifestasi stroke iskemik
dan hipertensi tidak selalu disertai dengan penyakit lakunar. Peningkatan kadar kreatinin
serum secara independen terkait dengan kejadian infark lakunar, dan kondisi ini dapat
menjadi penanda kerusakan organ akhir kronis akibat hipertensi pada pembuluh darah kecil
di ginjal dan otak. Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko terbentuknya lakuna,
bahkan prevalensi dapat meningkat hingga dua kali lipat pada pasien dengan DM. Namun,
pengaruh diabetes pada stroke lakunar tampaknya tidak berbeda dari efeknya pada subtipe
stroke iskemik lainnya. Hal ini juga berlaku pada riwayat merokok, yang melipatgandakan
risiko kejadian pada seluruh tipe stroke iskemik, termasuk terbentuknya lakunar. Stenosis
arteri karotis dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke lakunar, dengan penelitian
menunjukkan bahwa risiko manifestasi lakunar simtomatik disertai dengan stenosis karotis
meningkat hingga 50 persen atau lebih besar. Penyakit jantung lebih jarang terjadi pada
pasien dengan lakuna dibandingkan dengan jenis stroke iskemik lainnya.

Etiologi lakuna telah diperdebatkan. Beberapa berpendapat bahwa sebagian besar


lakuna disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh darah kecil, terutama karena kondisi
hipertensi kronis, tetapi yang lain berpendapat bahwa emboli pada pembuluh darah kecil dan
aterosklerosis intrakranial bertanggung jawab atas munculnya sejumlah besar lesi. Fisher
menghasilkan banyak data yang mendukung mekanisme penyakit intrinsik pada pembuluh
darah kecil. Studi ini menemukan perubahan degeneratif pada pembuluh darah kecil yang
disebutnya lipohyalinosis dan degenerasi fibrinoid, yang ditandai dengan keberadaan lapisan
jaringan ikat di dalam media vaskular yang dapat menyumbat lumen. Perubahan ini terjadi
pada bagian proksimal infark dalam beberapa kasus. Aterosklerosis pada awalnya disebut
bertanggung jawab atas kejadian infark lainnya. Fisher menyadari bahwa emboli mungkin
bertanggung jawab atas beberapa manifestasi lakuna. Model hewan telah menunjukkan
bahwa partikel tertentu dapat membentuk gumpala dan berujung pada manifestasi emboli

20
pada arteri kecil, memicu terbentuknya lakuna. Etiologi lakuna kemungkinan bersifat
multifaktorial. Penyakit pembuluh darah kecil intrinsik mungkin mendominasi, tetapi emboli
dan aterosklerosis intrakranial hampir pasti merupakan kasus yang signifikan.

Perlu diperhatikan bahwa kumpulan manifestasi klasik dari stroke lakunar yang
tampak pada pasien dapat disebut sebagai sindroma lakunar. Hemiparesis motorik murni
adalah manifestasi yang paling umum ditemui, terhitung pada hampir setengah dari seluruh
kasus yang ada. Fungsi motorik yang melibatkan wajah, lengan, dan kaki dapat terganggu,
tetapi fungsi neurologis lainnya tidak terjadi. Penampilannya berbeda dengan stroke kortikal,
di mana defisit sensasi atau kognisi sering menyertai perubahan motorik. Hemiparesis
motorik murni tidak selalu disebabkan oleh manifestasi lakuna, dengan 10 hingga 20 persen
kasus dikaitkan dengan stroke kortikal. Ketika manifestasi lakuna bertanggung jawab atas
kondisi medis yang terjadi, seringkali manifestasi lakuna terletak di ekstremitas posterior
kapsul internal atau di basis pontis, tetapi lokasi lain di sepanjang jalur serat kortikospinalis
juga dapat menghasilkan manifestasi sindroma yang serupa. Sindrom sensorimotor adalah
sindroma lakunar kedua yang paling umum didapatkan, terhitung pada sekitar 20 persen
kasus. Kelemahan dan mati rasa hadir dapat terjadi berbagai derajat, biasanya melibatkan
wajah, lengan, dan kaki. Sindroma ini paling sering disebabkan oleh lakuna yang melibatkan
talamus lateral dan kapsula interna, tetapi beberapa kasus bisa jadi tidak disebabkan oleh
keberadaan lakuna. Hemiparesis ataksik menyumbang persentase sebesar 15 persen dari
seluruh kejadian sindroma lakunar. Pada anggota tubuh yang terkena, kelemahan piramidal
dikombinasikan dengan manifestasi yang seringkali dikaitkan dengan ataksia serebelar.
Gejala tremor, rebound berlebihan, dan gerakan cepat bergantian yang tidak teratur dikatakan
berhbungan dengan manifestasi kelemahan ipsilateral. Temuan ini bersifat sangat sugestif
dari manifestasi stroke lakunar, dengan hampir semua kasus dengan manifestasi klinis seperti
ini disebabkan oleh lakuna. Lokasi infark bersifat identik dengan lokasi yang menyebabkan
hemiparesis motorik murni. Di antara seluruh pasien dengan sindrom lakunar, sekitar 10
persen disertai dengan manifestasi stroke sensorik murni, ditandai dengan gangguan sensasi
tanpa disertai dengan defisit neurologis lain yang menyertainya. Bila wajah, lengan, dan
tungkai terkena, lesi lakuna seringkali terletak di talamus kontralateral. Lesi yang terletak
pada lemniskus medial otak tengah atau pons rostral terkadang dapat menyebabkan sindroma
yang identik. Nyeri dan disestesia di daerah yang terkena dapat menyertai lesi secara akut
atau mungkin tertunda selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.

21
Banyak bentuk manifestasi sindroma lakunar lain yang telah dijelaskan, termasuk
disartria dengan kekakuan tangan, hemiballisme, dan hemiparesis motorik murni yang
dikombinasikan dengan berbagai kelainan gerakan mata. Meskipun manifestasi lakuna lebih
sering terjadi di daerah tertentu di otak, sesungguhnya pembetnukan lakuna dapat terjadi di
mana saja dan akan menghasilkan banyak sindroma potensial. Tanda-tanda klinis yang
umumnya dikaitkan dengan lesi kortikal dapat disebabkan oleh lakuna yang terbentuk,
termasuk afasia, abulia, kebingungan, dan pengabaian. Prognosis bagi pemulihan setelah
stroke lakunar umumnya lebih menguntungkan dibandingkan dengan stroke iskemik yang
disebabkan oleh oklusi pembuluh darah besar, meskipun gejala yang ada terkadang dapat
memburuk dalam beberapa hari pertama setelah onset gejala. Stroke berulang dan angka
kematian juga bernilai lebih rendah dibandingkan dengan subtipe stroke lainnya. Prosedur
diagnostik dengan pencitraan telah direkomendasikan untuk semua pasien dengan sindroma
lakunar. Pemeriksaan CT kepala yang dilakukan segera akan menyingkirkan kemungkinan
perdarahan sebagai etiologi yang mendasari, tetapi pemeriksaan ini bisa jadi tidak dapat
membedakan secara pasti antara gambaran lakunar dengan infark pembuluh darah besar.
Pemeriksaan MRI memberikan konfirmasi yang lebih bersifat definitif, dan pemeriksaan
angiografi MR atau CT dapat memberikan gambaran aterosklerosis intrakranial. Untuk stroke
lakunar dalam distribusi arteri karotis interna, pencitraan arteri karotis harus dilakukan karena
stenosis proksimal ke lakuna umumnya dianggap sebagai salah satu gejala yang mungkin
ada.

Aktivator plasminogen jaringan bersifat efektif pada pasien dengan stroke oklusif
pada pembuluh darah kecil. Faktanya, perbaikan absolut terkait hasil yang bahkan lebih
menguntungkan pada stroke pembuluh darah kecil dibandingkan dengan stroke oklusif dan
kardioembolik pembuluh darah besar. Selanjutnya, korelasi antara stroke lakunar dan
sindrom lakunar sangat buruk sehingga diagnosis oklusi pembuluh darah kecil nontrombotik
tidak dapat ditegakkan dengan akurat. Oleh karena itu, aktivator plasminogen jaringan tetap
harus diberikan pada pasien dengan sindroma lakunar. Aspirin mengurangi risiko stroke
iskemik berikutnya, terlepas dari etiologinya. Clopidogrel dan kombinasi
dipyridamole/aspirin merupakan alternatif untuk pencegahan sekunder pada mereka yang
tidak dapat mentoleransi aspirin, meskipun peningkatan efikasi secara bertahap dibandingkan
dengan aspirin kecil.6 Terapi kombinasi jangka panjang dengan aspirin dan clopidogrel
umumnya tidak dianjurkan untuk mencegah stroke berulang karena peningkatan risiko
perdarahan.7,8 Namun, terapi kombinasi jangka pendek (21 hari) dengan aspirin dan

22
clopidogrel dapat membantu pada periode akut dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja
pada pasien dengan TIA risiko tinggi atau stroke ringan. 9,10 Antikoagulasi jangka panjang
dengan warfarin umumnya diindikasikan pada pasien dengan stroke iskemik ketika fibrilasi
atrium diidentifikasi. Kontrol hipertensi mengurangi risiko stroke iskemik berikutnya, dan
pengurangan risiko dapat bernilai lebih besar pada kejadian lakunar. Pengobatan hipertensi
sistolik terisolasi pada pasien usia lanjut mungkin sangat membantu untuk mencegah stroke
lakunar.

PENYAKIT PERIVETRIKULER SUBSTANSIA ALBA

Dengan perbaikan dalam prosedur pemeriksaan pencitraan kepala, perubahan


substansia alba di sekitar ventrikel lateral seringkali didapatkan pada orang tua, temuan ini
disebut leukoaraiosis. CT kepala menunjukkan hipodensitas mantel periventrikular, seringkali
didapatkan pada lobus frontal dan oksipital, yang hiperintens pada T2-weighted MRI
(Gambar 7-8). Usia adalah faktor risiko yang paling berperan, dengan hampir semua dari
mereka yang berusia lebih tua dari 65 tahun menunjukkan setidaknya beberapa bukti
perubahan tersebut. Secara klinis, perubahan tersebut paling sering dikaitkan dengan
penurunan fungsi kognitif dan motorik, terutama pada pemeriksaan yang bergantung pada
waktu dan kecepatan reaksi.

Gambar 7-8. Gambaran pencitraan penyakit periventrikuler substansia alba dengan area hipodens pada
pemeriksaan CT.

23
Lesi substansia alba telah dikaitkan dengan beberapa proses patologis yang berbeda,
termasuk cedera hipoperfusi, angiopati amiloid serebral, ruang perivaskular yang melebar,
kehilangan aksonal, gliosis astrositik, dan hilangnya integritas ependimal yang berakibat pada
terjadinya ekstravasasi cairan serebrospinal. Lesi yang berdekatan dengan ventrikel
menunjukkan lebih sedikit gambaran khas histologis dan iskemia molekuler dibandingkan
dengan lesi di daerah subkortikal dalam, di mana kondisi ini akan memberikan gambaran
menyerupai infark "tidak lengkap" pada pemeriksaan patologis. Hilangnya reaktivitas
vasomotor dan autoregulasi karena vaskulopati pembuluh darah kecil diduga sering menjadi
penyebab perubahan iskemik. Leukoaraiosis dapat menjadi indikator klinis penting dari
cedera organ akhir akibat hipertensi, mengumpulkan gejala yang berkaitan dengan pajanan
kumulatif terhadap tekanan darah tinggi serta kerentanan terhadap cedera. Individu dengan
lesi substansia alba di otak berada pada risiko tinggi terhadap manifestasi stroke dan kejadian
kardiovaskular klinis lainnya. Kelainan pada substansia alba juga merupakan salah satu
prediktor terkuat bagi insiden infark otak yang ditentukan melalui pemeriksaan MRI otak
serial.

ARTERIOPATI DOMINAN AUTOSOMAL CEREBRAL DENGAN INFARK


SUBKORTIKAL DAN LEUKOENSEFALOPATI

Arteriopati dominan autosomal serebral dengan infark subkortikal dan


leukoensefalopati (CADASIL) adalah penyakit demensia yang disebabkan oleh mutasi pada
gen NOTCH3, yang mengkode protein reseptor transmembran dengan fungsi yang tidak jelas
dan ditandai dengan penurunan bertahap dalam fungsi kognitif dan motorik. Onsetnya dini,
dimulai pada usia 30 sampai 50 tahun, dan seringkali didahului oleh migrain dengan aura.
Hipertensi dan diabetes tidak berhubungan dengan kondisi ini. Pencitraan kepala
menunjukkan beberapa lakuna yang ditumpangkan pada penyakit substansia alba
periventrikular. Degenerasi sel otot polos pembuluh darah dan endapan granular menjadi ciri
yang didapatkan di pembuluh darah otak pada pasien dengan kondisi ini. Keterlibatan dermis
memungkinkan dilakukannya konfirmasi dengan pemeriksaan biopsi kulit, meskipun tes
genetik molekuler tersedia. Tidak ada perawatan khusus yang tersedia.

24
STENOSIS ARTERI KAROTIS

Deskripsi komprehensif antara oklusi karotis dan stroke dikaitkan dengan Hunt, yang
pada tahun 1914 menggambarkan pasien dengan penurunan denyut karotis kontralateral
terhadap hemiparesis. Otopsi mengkonfirmasi didapatkannya manifestasi infark hemisfer dan
menunjukkan gambaran pembuluh intrakranial paten. Dengan munculnya angiografi dan
eksplorasi bedah, oklusi arteri karotis interna dengan trombus baru-baru ini dikonfirmasi pada
tahun 1940-an. Kontribusi yang tepat dari stenosis arteri karotis interna terhadap kejadian
stroke tidak jelas karena sulit untuk menghubungkan stroke dengan stenosis secara definitif.
Sekitar 10 persen stroke iskemik disebabkan oleh stenosis atau oklusi karotis interna dan
sebagian besar populasi paruh baya seringkali memiliki gambaran plak karotis pada
pemeriksaan ultrasonografi. Stenosis karotis asimtomatik lebih dari 60 persen dapat
ditemukan pada sekitar 5 persen pasien berusia 65 tahun dan angka ini meningkat seiring
bertambahnya usia. Hipertensi merupakan faktor risiko penting terkait kejadian stenosis
karotis. Hipertensi sistolik adalah prediktor kuat dari stenosis karotis berikutnya, dengan
kemungkinan stenosis karotis berlipat ganda pada setiap peningkatan 20 mmHg tekanan
darah sistolik. Tekanan darah sistolik juga merupakan prediktor perkembangan penyakit pada
pasien dengan stenosis asimtomatik. Merokok, kadar kolesterol serum yang tinggi, dan
peningkatan homosistein merupakan faktor risiko lain untuk stenosis karotis. Stenosis arteri
karotis interna dihasilkan oleh aterosklerosis tepat di distal bifurkasio karotis komunis.
Patofisiologi stenosis arteri karotis sangat kompleks. Hipertensi menginduksi remodeling
vaskular, mengakibatkan penebalan medial, penyempitan lumen, dan gangguan relaksasi otot
polos. Perubahan ini terkonsentrasi di daerah aliran nonlaminar, seperti pada bifurkasio
karotis umum. Plak aterosklerotik diperkirakan berkembang di area ini sebagai respons
terhadap cedera yang disebabkan oleh hipertensi, kelainan aliran darah, lipid, dan
kemungkinan infeksi. Cedera awal yang terjadi akan menginduksi ekspresi sel endotel dari
molekul adhesi sel yang memediasi ekstravasasi lokal sel mononuklear, mengakibatkan
peradangan dinding pembuluh darah, dengan makrofag, lipid-laden dan limfosit T. Cedera
kronis menyebabkan hiperplasia intima dan pembentukan plak kompleks yang mungkin
termasuk dalam inti lipid. Ketika plak pecah ke dalam lumen pembuluh darah, mekanisme
trombosis akan diinduksi, yang dapat menyebabkan terjadinya oklusi lokal, embolus distal,
atau bahkan stenosis luminal progresif. Gaya geser yang terkait dengan stenosis berat dapat
menginduksi aktivasi trombosit dan pembentukan trombus tanpa ruptur plak.

25
Secara klinis, pasien simtomatik umumnya datang dengan stroke iskemik pembuluh
darah besar atau TIA yang terdistribusi dalam arteri serebral mata, tengah, atau anterior.
Kebutaan monokular transien (amaurosis fugax), kelemahan, mati rasa, afasia, atau
pengabaian dapat terjadi, tergantung pada daerah sirkulasi anterior yang terkena. Iskemia
zona batas yang disebabkan oleh hipoperfusi distal di wilayah arteri serebral anterior dan
tengah muncul dengan kelemahan dan mati rasa pada ekstremitas atas dan bawah proksimal
(disebut sebagai sindrom "man-in-the-barrel") dan dapat menunjukkan stenosis atau oklusi
kritis disertai dengan aliran darah kolateral yang tidak memadai. Emboli arteri-ke-arteri
secara klasik muncul sebagai infark berbentuk baji kortikal, tidak dapat dibedakan dari
emboli dari sumber lain. Infark lakunar sering dikaitkan dengan penyakit pembuluh darah
kecil intrinsik, mungkin mewakili peristiwa emboli dari stenosis arteri karotis dalam beberapa
kasus karena endarterektomi tampaknya mampu mengurangi risiko pembentukan lakunar
ipsilateral. Bruit serviks dapat menjadi tanda stenosis karotis, tetapi tidak ada hingga setengah
dari kasus yang kemudian dikonfirmasi memiliki stenosis melebihi 70 persen dan didapatkan
pada hingga setengah dari mereka yang tidak memiliki stenosis parah. Oleh karena itu, studi
pencitraan karotis umumnya diindikasikan untuk pasien dengan stroke iskemik sirkulasi
anterior atau serangan iskemik transien independen dari temuan bruit karotis. CT angiografi,
ultrasonografi Doppler karotis, angiografi MR leher, atau angiografi kateter diperlukan untuk
menentukan ada tidaknya stenosis karotis internal. Pemeriksaan CT angiografi seringkali
digunakan sebagai pemeriksaan awal dalam unit gawat darurat untuk stroke oklusi pembuluh
darah besar. Meskipun CT angiografi dapat secara andal menyingkirkan adanya diagnosis
banding stenosis arteri karotis yang signifikan, terkadang hasil pemeriksaan yang didapatkan
cenderung terkesan memberikan derajat stenosis berlebih, terutama bila terdapat kalsifikasi.
Dalam pengaturan ini, ultrasonografi Doppler karotis dapat digunakan sebagai pemeriksaan
non-invasif kedua yang membantu dalam mengkonfirmasi derajat stenosis. Angiografi MR
memberikan tampilan tiga dimensi dan dapat diperluas untuk mencakup pembuluh darah
intrakranial. Angiografi kateter dianggap sebagai standar emas tetapi memiliki risiko
prosedural yang kecil. Oleh karena itu, umumnya pencitraan noninvasif lebih banyak
digunakan terlebih dahulu dan dalam banyak kasus studi noninvasif meniadakan kebutuhan
akan pemeriksaan angiografi kateter.

Aspirin telah terbukti mengurangi risiko stroke dan infark miokard pada pasien
dengan stroke iskemik atau TIA dan penyakit karotis, dengan pengurangan risiko sekitar 10
hingga 20 persen. Beberapa klinisi menggunakan antikoagulasi heparin untuk mengobati

26
stenosis karotis simtomatik pada keadaan akut hingga intervensi bedah atau endovaskular
yang lebih definitif dapat diterapkan, tetapi tidak ada data hasil studi yang dapat diandalkan
terkait pendekatan ini. Berdasarkan hasil studi terkait penyakit arteri koroner, sebagai
penyakit dengan patofisiologi yang sama, dan pada pengurangan risiko stroke iskemik secara
keseluruhan, pengobatan dengan agen penurun kolesterol mungkin bermanfaat bahkan pada
mereka yang tidak mengalami hiperkolesterolemia. Operasi pengangkatan plak yang
menghalangi aliran darah dengan endarterektomi adalah standar terapi yang ditetapkan untuk
pasien simtomatik dengan stenosis arteri karotis minimal 70 persen (Tabel 7-4).
Endarterektomi juga mengurangi risiko stroke berulang pada pasien (terutama pria) dengan
stenosis karotis simtomatik sebesar 50 hingga 69 persen, tetapi manfaat pengobatan lebih
bersifat sederhana dan konsekuensi komplikasi prosedural bahkan lebih penting untuk
dipertimbangkan karena risiko terjadinya stroke berulang bernilai lebih rendah dibandingkan
dengan besar risiko pada pasien dengan stenosis lebih dari 70 persen. Endarterektomi tidak
bermanfaat pada pasien dengan stenosis kurang dari 50 persen dan umumnya tidak praktis
pada mereka dengan oklusi arteri karotis, kecuali jika dianggap sebagai bagian dari sindrom
stroke oklusi pembuluh darah besar akut (misalnya, dengan oklusi MCA ipsilateral
bersamaan). Risiko stroke dengan terapi medis lebih besar pada mereka dengan manifestasi
serebral dibandingkan kejadian okular, dengan ketidakteraturan permukaan plak yang
konsisten disertai dengan ulserasi, dengan kejadian simtomatik akut, dan dengan derajat
stenosis yang lebih besar. Risiko operasi lebih besar pada wanita, pada mereka dengan
hipertensi berat, dan pada mereka dengan penyakit pembuluh darah perifer. Faktor-faktor
prognostik ini mungkin berguna dalam seleksi pasien untuk endarterektomi.

Tabel 7-4. Tingkat Kejadian Stroke Ipsilateral Tahunan, berdasarkan Data dalam 5 Tahun

27
Untuk pasien dengan stenosis arteri karotis asimtomatik, endarterektomi juga dapat
mencegah stroke yang disertai dengan stenosis minimal 60 persen seperti yang dinilai oleh
ultrasonografi karotid, tetapi manfaatnya lebih menyebar, dan oleh karena itu pedoman saat
ini merekomendasikan pertimbangan endarterektomi untuk stenosis asimtomatik untuk pasien
dengan pembedaha dengan risiko kurang dari 3 persen dan harapan hidup minimal 5 tahun.
Banyak penelitian penting terkait stenosis karotis dilakukan beberapa dekade yang lalu,
sebelum penggunaan statin secara luas misalnya, dan risiko stroke berulang dengan
manajemen medis tampaknya membaik dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, tidak jelas
apakah intervensi revaskularisasi karotis (endarterektomi karotis atau stenting arteri karotis)
masih lebih disukai jika dibandingkan dengan rejimen medis modern—pertanyaan yang
sedang dievaluasi dalam uji coba CREST-2 yang sedang berlangsung.11 Angioplasti
endovaskular dan stenting adalah pendekatan alternatif untuk pengobatan stenosis karotis,
dan stenting telah terbukti memiliki manfaat yang tidak kalah baiknya dengan endarterektomi
pada pasien dengan stenosis simptomatik dan asimtomatik yang memiliki komorbiditas yang
terkait dengan risiko bedah yang tinggi selama endarterektomi. Percobaan skala besar yang
membandingkan efek endarterektomi dan pemasangan stent pada populasi pasien yang lebih
representatif menunjukkan hasil jangka panjang yang serupa dengan kedua pendekatan;
terdapat peningkatan risiko stroke periprosedural pada pemasangan stent endovaskular dan
risiko infark miokard yang lebih tinggi dengan endarterektomi, meskipun komplikasi ini tidak
dapat dibandingkan secara langsung mengingat relatif mudahnya proses deteksi peningkatan
troponin dengan tes darah sederhana dibandingkan dengan mendeteksi stroke. Pasien dengan
gejala atau simtomatik cenderung meningkatkan optimalisasi kemampuan konfirmasi tes
pada pemeriksaan neuroimaging.

ATEROSKLEROSIS INTRAKRANIAL

Aterosklerosis yang melibatkan pembuluh darah besar intrakranial menyebabkan


sekitar 10 persen stroke iskemik. Afrika, Amerika, Hispanik, dan Asia memiliki prevalensi
aterosklerosis intrakranial yang lebih tinggi dan prevalensi yang relatif lebih rendah pada
kejadian stenosis arteri karotis ekstrakranial dibandingkan dengan populasi Kaukasia.
Aterosklerosis karotis ekstrakranial memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan penyakit pembuluh darah perifer dan arteri koroner, tetapi tidak pada
aterosklerosis intrakranial. Mengingat perbedaan distribusi ras dan faktor risiko, tampaknya

28
tepat untuk mempertimbangkan aterosklerosis intrakranial sebagai entitas yang berbeda dari
penyakit arteri karotis dibandingkan sebagai manifestasi tambahan dari perubahan
aterosklerotik yang meluas. Hipertensi merupakan faktor risiko penting terkait kejadian
aterosklerosis intrakranial, dengan risiko penyakit dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi pada
mereka yang memiliki riwayat hipertensi. Merokok merupakan faktor risiko yang paling
berperan, dengan risiko yang terus meningkat dengan jumlah pak-tahun paparan rokok.
Penderita diabetes memiliki sekitar tiga kali risiko lebih tinggi terkait kejadian aterosklerosis
intrakranial. Hiperkolesterolemia juga dapat meningkatkan risiko, tetapi mungkin berada
pada tingkat yang lebih rendah. Kontribusi relatif dari faktor-faktor ini terhadap manifestasi
aterosklerosis intrakranial yang bertentangan dengan subtipe stroke lainnya tidak jelas.
Distribusi faktor risiko yang diketahui mungkin menjelaskan beberapa perbedaan ras. Ada
perbedaan yang menarik dalam patofisiologi aterosklerosis intrakranial dan bentuk lain dari
penyakit vaskular. Arteri intrakranial kurang rentan terhadap hiperkolesterolemia
dibandingkan arteri ekstrakranial, dan ruptur plak aterosklerotik tampaknya lebih jarang
terjadi. Pelepasan molekul adhesi endotel cenderung lebih besar pada pasien dengan
aterosklerosis intrakranial dibandingkan dengan subtipe stroke iskemik lainnya, menunjukkan
bahwa peradangan sangat penting dan berperan dalam patogenesisnya.

Tanda gejala klinis ditandai dengan iskemia pembuluh darah besar atau arteri yang
menembus. Iskemia arteri serebral tengah paling sering didapatkan, diikuti oleh arteri basilar,
karotis interna intrakranial, serebral anterior, dan arteri serebral posterior. Trombosis di lokasi
stenosis dapat menyebabkan hipoperfusi di seluruh wilayah distal atau embolus arteri-ke-
arteri yang tidak dapat dibedakan dengan gambaran yang disebabkan oleh stenosis arteri
karotis ekstrakranial atau embolus jantung. Trombosis basilar dapat terjadi akibat
aterosklerosis pada arteri basilar atau vertebral atau setelah emboli jantung; kondisi ini adalah
diagnosis yang mengancam jiwa dan seringkali tertunda, ditandai dengan koma, quadriplegia,
dan temuan kelainan saraf kranial. Keterlibatan asal penetrasi pembuluh darah kecil dapat
menyebabkan infark lakunar. Manifestasi TIA lebih sering terjadi pada aterosklerosis
intrakranial dibandingkan dengan subtipe stroke lainnya. Angiografi MR atau CT intrakranial
dapat memberikan gambaran penyempitan atau oklusi pembuluh darah besar. Pemeriksaan
Angiografi MR sensitivitasnya rendah untuk pembuluh darah berukuran sedang dan kecil,
meskipun angiografi MR dengan kontras dapat mengurangi masalah ini. CT angiografi
menawarkan hasil berupa gambaran luminal yang sebenarnya tetapi melibatkan penggunaan
radiasi pengion. Ultrasonografi Doppler transkranial menunjukkan peningkatan kecepatan

29
aliran darah pada pembuluh darah stenotik besar. Sensitivitas dan spesifisitasnya juga rendah,
sehingga lebih berguna sebagai pemeriksaan tambahan. Angiografi kateter adalah standar
emas untuk menegakkan diagnosis, tetapi dikaitkan dengan risiko stroke prosedural di bawah
1 persen. Mengingat risiko angiografi, suatu pemeriksaan dan tindakan dibenarkan hanya jika
hasilnya akan mengubah keputusan pengobatan.

Prognosis pada pasien bergejala cenderung buruk, tetapi dapat ditingkatkan dengan
terapi medis secara optimal. Stenosis umumnya menjadi lebih parah seiring berjalannya
waktu, tetapi regresi di beberapa segmen dapat terjadi. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa hasil gejala gabungan antara stroke, perdarahan otak, atau kematian
vaskular pada pasien dengan warfarin serupa jika dibandingkan pada pasien dengan aspirin
dosis tinggi, meskipun risiko perdarahan didapatkan lebih besar pada pasien dengan warfarin.
Studi yang lebih baru membandingkan pemasangan stent angioplasti intrakranial dengan
rejimen medis agresif termasuk terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan clopidogrel
bersama dengan statin, menunjukkan risiko stroke atau kematian yang lebih rendah dengan
manajemen medis yang agresif dalam beberapa tahun terakhir, akibatnya, pemasangan stent
umumnya tidak direkomendasikan. Pasien dengan aterosklerosis intrakranial juga memiliki
risiko terkait kejadian hipoperfusi bagian distal stenosis ketika tekanan darah diturunkan.
Karena lesi ini seringkali tidak ditatalaksana jika dibandingkan dengan lesi pada arteri
karotis, beberapa klinisi mungkin kurang optimal dalam menangani hipertensi pada pasien
ini. Saat ini tidak ada bukti pasti terkait nilai ambang tekanan darah jangka panjang yang
bernilai lebih tinggi pada pasien dengan aterosklerosis intrakranial atau bukti penelitian yang
mendukung keyakinan bahwa tekanan darah yang lebih rendah dapat meningkatkan risiko
infark distal stenosis. Faktanya, manajemen tekanan darah merupakan salah satu prosedur
tatalaksana penting dari perawatan medis berdasarkan penelitian yang membandingkan
kondisi ini dengan angioplasti dan pemasangan stent.

ATEROSKLEROSIS ARKUS AORTA

Arkus aorta dapat menjadi sumber emboli ke otak. Plak yang mengalami ulserasi pada
lengkung aorta lebih sering terjadi pada pasien dengan stroke iskemik dibandingkan dengan
populasi kontrol, dan arkus aorta yang menebal lebih sering diidentifikasi pada hasil
pemeriksaaan ekokardiogram transesofageal pasien stroke dibandingkan pada subjek kontrol.
Pada mereka yang tidak memiliki etiologi stroke yang teridentifikasi, penebalan arkus aorta

30
terjadi pada sekitar 25 persen kasus. Aterosklerosis arkus aorta lebih terkait dengan penyakit
pembuluh darah perifer dibandingkan dengan stenosis karotis. Studi epidemiologi belum
banyak dilakukan, dan hanya merokok yang telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting
terkait manifestasi ini. Hipertensi, diabetes, dan hiperkolesterolemia dapat menjadi faktor
risiko, tetapi hal ini belum dikonfirmasi. Stroke dan TIA yang disebabkan oleh aterosklerosis
aorta identik dengan manifestasi yang disebabkan oleh emboli jantung. Pembuluh darah besar
umumnya terpengaruh, menghasilkan kelemahan dan mati rasa dan dapat disertai dengan
dengan tanda-tanda kortikal, seperti afasia dan pengabaian. Plak aterosklerotik pada arkus
aorta yang tebalnya 4 mm atau lebih besar memiliki risiko stroke berulang yang sangat tinggi,
bahkan setelah memperhitungkan faktor risiko lainnya. Kemanjuran terapi antiplatelet
dibandingkan dengan antikoagulasi untuk mencegah stroke berulang pada pasien dengan
penyakit arkus aorta masih belum jelas.14 Endarterektomi aorta telah dilakukan pada beberapa
pasien yang gagal dalam terapi medis, tetapi belum diteliti secara sistematis.

EMBOLUS JANTUNG

Hipertensi meningkatkan risiko infark miokard dan fibrilasi atrium. Penyakit-penyakit


ini berhubungan dengan peningkatan risiko stroke akibat emboli jantung, seperti yang
dibahas dalam Bab 5.

DEMENTIA

Terdapat bukti dari beberapa penelitian kohort bahwa faktor risiko kardiovaskular,
termasuk hipertensi, merupakan faktor risiko berkembangnya manifestasi demensia dan
gangguan kognitif. Penjelasan mengenai hubungan antara kedua kondisi ini masih belum
dapat dipastikan. Meskipun ada beberapa data yang mendukung hubungan langsung antara
hipertensi dan patologi Alzheimer, didapatkan bahwa sebagian besar individu dengan
demensia memiliki kombinasi patologi neurodegeneratif dan vaskular. Hubungan antara
hipertensi dan demensia kemungkinan dimediasi oleh akumulasi cedera vaskular subklinis di
otak, termasuk infark dan leukoariosis, yang mengakibatkan gangguan jaringan kognitif.
Apakah proses ini hanya menambah efek gangguan kognitif dari patologi Alzheimer atau
apakah terdapat sinergi antara kedua proses tersebut masih belum terselesaikan. Apakah
pengobatan hipertensi akan berdampak besar pada terjadinya demensia di luar manfaat yang
telah ditetapkan untuk pencegahan stroke masih belum jelas. Beberapa penelitian telah

31
menyarankan bahwa penghambat saluran kalsium untuk pencegahan primer dapat secara
substansial mengurangi risiko demensia tetapi penelitian lain belum mengkonfirmasi temuan
ini. Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa terapi aktif dengan penghambat ACE dan
diuretik dapat mengurangi risiko demensia bila digunakan untuk pencegahan sekunder, tetapi
manfaat potensial ini lebih sulit ditetapkan untuk pencegahan primer. Meskipun tampaknya
hampir tidak perlu untuk mendefinisikan manfaat tambahan dari mengobati hipertensi,
penurunan kognitif yang didapatkan pada beberapa kasus merupakan manifestasi penting
terkait cedera organ akhir dari hipertensi memiliki implikasi penting yang dapat digunakan
untuk menguji pengobatan baru bagi penyakit serebrovaskular, menilai risiko stroke, dan
mendorong kepatuhan terhadap pengobatan hipertensi. Jika terapi hipertensi terbukti
mencegah demensia di antara mereka yang tidak terkena stroke, rasio biaya-manfaat untuk
skrining dan terapi yang lebih agresif juga dapat ditingkatkan secara substansial, mengingat
bahwa orang tua memiliki risiko demensia tertinggi dan cenderung memiliki hipertensi,
baiknya populasi orang tua diobati secara memadai. Beberapa orang telah menyarankan
bahwa penurunan tekanan darah yang dilakukan secara cepat cenderung dapat memperburuk
kondisi kognisi pasien, terutama di antara mereka yang mengalami kehilangan autoregulasi
serebral karena arteriopati pembuluh darah kecil. Oleh karena itu, manfaat terapi tekanan
darah terhadap fungsi kognisi memerlukan studi lebih lanjut yang lebih baik untuk
mengoptimalkan rejimen pengobatan.

ENSEFALOPATI HIPERTENSIF

Ensefalopati hipertensi adalah salah satu dari beberapa bentuk sindroma ensefalopati
posterior reversibel (PRES), sebuah sindroma juga dapat mencakup etiologi lain, termasuk
gagal ginjal, terapi imunosupresif, dan eklampsia. Insiden ensefalopati hipertensi
diperkirakan telah menurun dengan penggunaan obat antihipertensi yang berdosis lebih besar.
Kondisi ini cenderung lebih sering disertai dengan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba
dibandingkan dengan manifestasi hipertensi kronis. Sejumlah kondisi medis dikenal sebagai
pencetus terjadinya manifestasi ini. Keadaan hiperadrenergik dapat berhubungan dengan
kondisi ini, termasuk pheochromocytoma, riwayat konsumsi tiramin dengan inhibitor
monoamine oksidase, penghentian antihipertensi secara mendadak, iritasi gastrointestinal
yang lebih rendah pada pasien paraplegia, dan obat stimulan. Faktor pencetus struktural dapat
disebabkan oleh koarktasio aorta dan stenosis arteri ginjal. Gagal ginjal akut atau kronis
adalah penyebab lain yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kelebihan volume selain

32
manifestasi hipertensi, dan eritropoietin rekombinan manusia dapat juga menjadi pencetus.
Pada pasien yang berada dalam periode pasca operasi endarterektomi, perubahan
ipsilateral terhadap pembedahan memberikan gambaran yang serupa dengan manifestasi yang
terlihat pada ensefalopati hipertensi, bahkan tanpa adanya peningkatan tekanan darah, sebagai
akibat dari kompensasi pembuluh darah terhadap kondisi hipoperfusi kronis di distal stenosis
berat dan aliran darah kembali secara tiba-tiba, menghasilkan hipertensi relatif.

Ensefalopati hipertensi dikaitkan dengan manifestasi edema serebral vasogenik,


terutama di daerah posterior hemisfer serebral, yang kadang-kadang cukup untuk
menyebabkan herniasi. Patofisiologi yang menghubungkan hipertensi dan edema serebral
telah diperdebatkan. Pada tekanan arteri rata-rata lebih besar dari 120 hingga 170 mmHg,
aliran darah otak meningkat secara linier dengan tekanan darah, dan beberapa berpendapat
bahwa kondisi ini adalah ambang dari ensefalopati hipertensi, ketika "terobosan autoregulasi"
terjadi. Angiotensin II dapat berkontribusi pada pembentukan edema dengan meningkatkan
permeabilitas serebrovaskular melalui radikal bebas oksigen. Predileksi keterlibatan hemisfer
posterior mungkin disebabkan oleh perbedaan persarafan vaskular oleh sistem saraf simpatis.
Ensefalopati hipertensi adalah keadaan darurat neurologis yang dapat menyebabkan kematian
jika tidak diobati. Diagnosis mungkin tertunda ketika hubungan antara disfungsi neurologis
akut dan hipertensi tidak dapat ditentukan secara jelas. Tekanan darah tinggi dapat dikaitkan
dengan kondisi neurologis yang mendasari atau agitasi yang diidentifikasi sebagai agen
penyebab. Sakit kepala adalah keluhan awal yang umum terjadi, terkadang disertai mual dan
muntah. Gejala kebingungan disertai dengan agitasi atau kelesuan dapat berlanjut pada
kondisi obtundasi dan koma jika prosesnya tidak segera diobati. Gangguan visual sering
terjadi karena keterlibatan retina dan lobus oksipital, dengan papiledema dan penglihatan
kabur subjektif, hemianopia, atau kebutaan kortikal. Defisit kortikal lainnya dapat terjadi,
termasuk pengabaian, afasia, dan kelemahan. Kejang fokal atau umum dapat mempersulit
kondisi ini. Pencitraan kepala harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
perdarahan atau etiologi struktural pada kejadian ensefalopati dan hipertensi. Karena
peningkatan tekanan intrakranial dapat mengakibatkan hipertensi berat, yang mungkin
diperlukan untuk mempertahankan perfusi serebral, studi lebih lanjut mengenai hal ini
diperlukan. CT kepala dapat menunjukkan hipodensitas pada substansia alba subkortikal,
seringkali paling jelas terlihat pada lobus oksipital (Gambar 7-9). Gambaran temuan MRI
dapat disertai dengan hiperintensitas T2 multifokal yang terlihat pada urutan pemulihan
inversi yang dilemahkan cairan. Perubahan ini dibedakan dari infark dengan berkurangnya

33
korteks dan tidak adanya pengurangan difusi, seperti yang diharapkan pada edema vasogenik.
Pada kasus edema serebral derajat buruk, pungsi lumbal harus dihindari.

Gambar 7-9. Hasil pencitraan pada pasien dengan eklampsia.Gambaran khas pada pasien ensefalopati
hipertensif, dengan area hipodens dan normal pada pemeriksaan CT.

Setelah etiologi struktural telah disingkirkan, pengobatan hipertensi harus dimulai.


Target tekanan darah disesuaikan dengan pasien, dengan tujuan mengembalikan pasien ke
kondisi awal mereka. Untuk pasien tanpa riwayat hipertensi, parameter tekanan darah normal
telah ditetapkan, tetapi bagi mereka dengan hipertensi kronis, kembali ke 140/90 mmHg
secara tiba-tiba dapat mengakibatkan hipoperfusi karena perubahan kompensasi vaskular
kronis. Observasi ketat disertai dengan pemberian antihipertensi intravena umumnya
diindikasikan. Agen penghambat saluran kalsium dihidropiridin intravena dan penghambat
ACE efektif dan mudah untuk dititrasi dan mungkin memiliki efek yang lebih kecil pada
pembuluh darah otak. Penyebab yang mendasari episode hipertensi harus dicari. Prognosis
pada pasien yang dirawat umumnya baik. Defisit neurologis biasanya sembuh total dalam 2
minggu.

34
EKLAMPSIA

Eklampsia dapat dianggap sebagai bentuk ensefalopati posterior reversibel. Terjadi


selama paruh kedua kehamilan atau masa nifas, eklampsia muncul disertai dengan proteinuria
dan manifestasi klinis serta pencitraan yang identik dengan ensefalopati hipertensi.
Manifestasi hipertensi mungkin tidak parah, sehingga efek tambahan pada permeabilitas sel
endotel otak dengan bukti terjadinya disfungsi sel endotel dengan reaktivitas vaskular
abnormal penting untuk diketahui. Respon inflamasi yang mendasari mungkin menjadi
penyebab, tetapi etiologi potensial lainnya juga telah dihipotesiskan. Trombosis sinus vena
serebral adalah komplikasi lain dari kehamilan dan persalinan dan dapat muncul dengan
temuan yang serupa dengan yang umumnya terlihat pada eklampsia. Pemeriksaan MRI dan
venografi biasanya cukup untuk membedakan kedua penyakit, menunjukkan obstruksi sinus
vena atau iskemia dengan edema sitotoksik pada urutan difusi-tertimbang pada trombosis
sinus vena serebral. Tatalaksana permasalahan ini dilakukan dengan melahirkan janin dan
pemberian magnesium intravena. Obat antihipertensi lain dan antikonvulsan juga dapat
digunakan. Prognosis cenderung bersifat baik jika pengobatan dimulai dengan cepat.

IMUNOSUPRESI

Beberapa agen imunosupresif berdampak pada terjadinya ensefalopati reversibel


posterior yang identik dengan ensefalopati hipertensi. Siklosporin adalah contoh klasik, dan
dapat berdampak pada timbulnya gejala neurologis pada tingkat terapeutik tanpa disertai
hipertensi yang jelas. Tacrolimus, interferon-α, cytarabine, dan fludarabine adalah beberapa
obat lain yang juga telah dikaitkan. Perubahan permeabilitas sel endotel otak telah didalilkan
terkait dengan manifestasi ini. Menurunkan tekanan darah dan menghentikan imunosupresi
umumnya membalikkan proses.

35

Anda mungkin juga menyukai