Anda di halaman 1dari 5

KETERSINGUNGGAN DI INTERNET MELIBATKAN UNDANG-UNDANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BERDAMPAK KEPADA UJARAN KEBENCIAN

Manusia merupakan subjek kehidupan dalam bernegara yang dilindungi oleh Undang-Undang
tertulis di suatu negara. Sudah selayaknya manusia mempunyai sikap dalam mengambil keputusan
serta kebijakan untuk merubah tatanan sosial. Akan tetapi, manusia pun harus mempergunakan asas
kebermanfaatan dan keadilan untuk bisa memberikan dampak positif dilingkungan masyarakat dalam
mempergunakan teknologi.

Kehidupan manusia sudah digariskan oleh aturan-aturan yang dibuat dalam agama maupun
negara. Agama sudah membatasi tingkah laku manusia untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif,
sehingga merujuk kepada dosa. Sebaliknya negara sudah membatasi manusia dalam tingkah lakunya
dengan aturan untuk tidak berbuat kejahatan yang berdampak pada hukuman penjara. Liberal
merupakan suatu tindakan manusia atas kebebasannya untuk berekspresi dalam bernegara. Liberal
bukan berarti tidak mentaati aturan yang tertulis, malah sebaliknya, kebebasan itu membuat manusia
tahu akan ekspresi dalam kehidupan. Pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh pemerintah justru
malah membuat kaku dalam menyampaikan kebebasan berekspresi dimuka umum.

Maka sudah sepatutnya pemerintah memberikan kebebasan kepada manusia sebagai subjek
bernegara. Katakanlah masyarakat, dia akan ironi terhadap pemerintah, jika pemerintah tidak
memberikan peraturan yang membela rakyat. Satu peraturan yang tidak pro terhadap rakyat, maka
masyarakat akan menghantam aturan tersebut.

Lalu bagaimana jika bukan pemerintah yang melakukan itu? Justru malah manusia itu sendiri
yang mempergunakan untuk melindungi kepentingan atau membela harga dirinya? Memang, ketika
berbicara suatu pemerintahan, di dalamnya sudah diisi oleh subjek itu sendiri. Maka peraturan itu
dibuat diperuntukkan melindungi subjek-subjek. Jika subjek satu mempunyai masalah dengan subjek
dua, maka akan mencari masalahnya apa? Dan untuk menyerang masalah itu mempergunakan aturan
apa? Tentunya keterlibatan teknologi atau internet. Konkret bahwa sebenarnya aturan tersebut justru
melilitkan segala masalah. Bahkan merangkap hak berekspresi rakyat jika subjek itu ingin
mempenjarakan rakyat itu sendiri.

Undang-Undang ITE sangatlah mudah dipergunakan untuk menyerang seseorang untuk


memenjarakan jika memang terjadi suatu ujaran kebencian di sosial media atau dimuka umum kepada
seseorang yang tidak disukainya. Tetapi jika memang itu bukanlah suatu ujaran kebencian, maka bisa
jadi masalah tersebut digiring untuk masuk dalam ranah ujaran kebencian.

Berekspresi di sosial media sudah menjadi hal yang sangat biasa. Kita sering bermain sosial
media setiap hari di alat komunikasi kita. Tetapi ketika berekspresi itu dilakukan secara langsung atau
tidak di sosial media, bagaimana? Kita ambil contoh adalah ketika mahasiswa berekspresi atau
berpendapat di muka umum kemudian di haling-halangi bahkan sampai kepada tindakan represifitas,
dampaknya adalah berpengaruh kepada rezim yang menjabat bahwa rezim yang sekarang tidak
membuka kebebasan berekspresi di muka umum.

Jadi dalam hal terkait kebebasan manusia sebagai subjek kebebasan berekspresi yang di
perangkap dengan instrumen Undang-Undang ITE. Yang akan dibahas lebih komperhensif lagi,
melihat banyak orang yang mempergunakan Undang-Undang ini untuk memenjarakan seseorang.
Penulis merumuskan beberapa persoalan yakni melihat manusia sebagai subjek hukum seringkali
mengalami ketersingunggan sehingga mempergunakan UU ITE sebagai jalan akhir.

Pembahasan

Indonesia merupakan negara yang sumber daya manusia sangatlah banyak dengan adanya
rakyat kaya, miskin, melarat. Terlepas dari semua status sosial di masyarakat bahwa rakyat sering kali
mengalami keterberatan terhadap kebijakan instrumen hukum yang dihasilkan oleh interest politik.
Tindakan warga negaranya diatur secara yuridis dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Peraturan terkait etika penyampaian kritik terhadap pemerintah diatur sedemikian rupa untuk
melindungi rezim pemerintahan.

Terutama dalam penyampaian kritik di sosial media sudah diatur oleh instrumen hukum
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
mengenakan bagi siapa saja, jika melakukan penyampaian kritik tidak pada ketentuannya. Maka akan
terancam dengan aturan hukum tersebut. Ketentuan yang mengatur terkait hal itu antara lain yakni
Pasal 28 ayat 2, Pasal 45 ayat 3 dan sebagainya. Pasal-pasal itu yang kemudian menjaga subjek untuk
tidak keluar pada ketentuan yang sudah dibentuk.

Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dalam Pasal 1 angka 1 tentang keterbukaan informasi publik atau informasi merupakan
keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik
kata, fakta, maupun penjelasan yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai
kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi dan komunikasi secara elektronik
maupun non elektronik. Artinya adalam keterbukaan informasi tersebut manusia sebagai subjek
berhak mengetahui apapun suatu kebijakan atau informasi dari manapun berasal.

Sedangkan Transaksi Elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan


menggunakan komputer, jaringan komputer dan elektronik lainnya yang dalam pengertian secara
keseluruhannya dalam Undang-Undang tersebut merupakan yuridiksi yang berlaku bagi setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada diluar wilayah Indonesia atau di dalam wilayah
Indonesia yang merugikan negara Indonesia. Artinya ketika seseorang melakukan perbuatan hukum
baik dia orang Indonesia atau dia orang Indonesia yang berada diluar wilayah, Undang-Undang ini
tetap mengikat subjek tersebut selama merugikan.

Peran Cyber Law Dalam Interaksi Sosial Media

Peran peraturan diranah digital untuk mengatur spektrum sosial di media sangat penting untuk
membatasi tingkah laku dalam dunia internet. Dengan seiringnya perkembangan teknologi,
masyarakat sangat khawatir dengan asset sistem yang dimilikinya. Data-data pribadi bisa saja dicuri
dengan kecanggihan teknologi yang sekarang. Paradigma baru muncul dengan menciptakan
keamanan yang lebih nyaman dengan jaminan yang aman. Secanggih-canggihnya teknologi pasti ada
kekurangan dan ada kelebihan yang bisa dibongkar dan dijelajahi dengan teknologi itu sendiri.

Maka perlunya peraturan dalam ranah digital untuk menghukum orang yang melakukan
tindak pidana cyber crimes. Muncullah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik untuk menjaga data diri serta menjaga ketersinggungan terhadap orang untuk
tidak menyebarkan kebencian di sosial media.

Adapun ruang lingkup dalam cyber law di Indonesia antara lain adanya Hukum Publik yang
termasuk dalam jurisdiksi, etika kegiatan online dan cyber crimes. Kemudian adanya Hukum Privat
yang termasuk HAKI, cyber contract. Penegakan hukum terkait cyber law dalam interaksi sosial
media, tidak terlepas dari lima faktor yakni Undang-Undang, Mentalitas penegak hukum, Perilaku
masyarakat, Sarana dan kulturnya disekitar.

Maka, peran dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sangatlah penting untuk regulasi di sosial media. Dari UU tersebut dirangkum sebuah
aturan dari KUHP tentang penggunaan internet yang kemudian dirangkum dalam satu pidana khusus
untuk ITE.

Mengingat dimana KUHP tidak mengatur secara khusus tentang kejahatan berbasis IT. Di
mana adanya Lack of Law. Adapun ada UU yang mengatur telekomunikasi yakni Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang lebih fokus pada pipeline issues, sehingga tidak
memadai untuk menanggani masalah yang terkait dengan ICT (Teknologi Informasi dan Komunikasi)

Ketersinggungan Antar Subjek Yang Merujuk Kepada UU ITE Sebagai Jalan Akhir

Ketersingungan antar sesama subjek dalam melakukan ekspresi di sosial media atau dimuka
umum seringkali terjadi dikalangan anak muda bahkan orang dewasa. Singgung antar kelas (kaya dan
miskin) singgung soal kepribadian, masih banyak sekali aturan ini dipakai segolongan orang untuk
menjerat pelaku yang dianggap salah dalam melakukan tindakan singgung-menyinggung itu. Yang
akhirnya saling melaporkan satu sama lain.
Ketersinggungan itu muncul dari adanya manusia sebagai subjek yang menyatakan bahwa
kebebasan berekspresi berhak dan tidak boleh ada yang melarang. Benar, tindakan itu sanglah benar
jika tau tempat dan porsinya. Kebanyakan manusia gampang tersinggung dan jarang ada yang
menerima perlakuan yang tidak menyenangkan. Bisa jadi perkataan dalam sosial media itu hanyalah
keluh kesah atau justru hanya tidak tau apa yang harus dilakukan.

Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan hubungan teknologi,


hukum dan subjek yakni dengan menggunakan pendekatan secara substantif dan instrumental. Dalam
pendekatan instrumental bahwa teknologi merupakan alat yang dikembangkan secara rasio untuk
kebutuhan manusia secara tertentu dengan memakai prinsif rasionalitas dan efisiensi untuk
memberikan pilihan yang masuk akal demi memenuhi kebutuhannya. Maka pendekatan instrumental
teknologi bersifat netral serta memiliki sifat yang universal. Jadi, ketika kesalahan yang disebabkan
oleh teknologi maka yang disalahkan bukanlah teknologinya, melainkan manusia sebagai subjeknya.

Kemudian dalam pendekatan substantif dijelaskan bahwa teknologi tidak netral karena
berkaitan erat dengan subjek yang membuat teknologi tersebut. Bahwa sebenarnya teknologi dan
internet dibuat untuk kebutuhan perang pada masa itu. Oleh sebab itu, teknologi bisa mendominasi
orang untuk mempropagandagakan isu. Teknologi bisa sebagai alat yang berbahaya untuk melakukan
perbuatan atau perilaku untuk menyerang seseorang. Kedua pendekatan tersebut memiliki ciri
masing-masing, antara lain instrumental bersifat konservatif, kaku dan melihat ke belakang dalam
membuat kebijakan yang bisa disebut dengan teknologi adalah hukum untuk mengatur. Sedangkan
substantif bersifat flaksibel, liberal dan melihat ke depan dalam pembentukan regulasi. Pendekatan ini
merupakan hukum adalah teknologi

Maka, banyak dikalangan anak-anak sosmed yang mengalami ketersingunggan karena dia
tidak suka terhadap orang atau kebijakan tersebut. Dia melakukan hal yang provokatif seperti ujaran
kebencian, meledeki, menyingung, sehingga ketersinggungan itulah yang menyebabkan antar subjek
merujuk kepada UU ITE.

Dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyatakan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama ras, dan antar golongan (SARA).”
Hukumannya merujuk pada ketentuan Pasal 45 ayat 2 “Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.00 (satu miliar rupiah.”

Simpulan
Kesemuaannya merupakan bentuk dari dialektik sosial dalam komunikasi di sosial media.
Media dijadikan sebagai alat untuk melakukan tindakan baik atau buruk. Bentuk teknologi diciptakan
untuk memperbaiki peradaban komunikasi di berbagai negara. Negara menciptakan peraturan digital
mengikuti perkembangan masyarakatnya serta zamannya.

Maka dalam melakukan pendekatan instrumental teknologi, hukum, subjek akan mengarah
kepada bentuk kerasionalitas realita bahwasannya manusia masih membutuhkan teknologi untuk
memajukan suatu masyarakat berkualitas. Jika pendekatan substantif mengajak masyarakat pada
ketentuan dimana rakyat atau subjek harus berhati-hati dengan teknologi. Teknologi pada saat itu
diciptakan untuk kebutuhan perang. Maka teknologi merupakan alat yang berbahaya untuk dunia pada
zaman-zaman selanjutnya.

Jadi, negara harus menciptakan pembaharuan kembali, dan lepaskan semua interest politik
yang mempergunakan media sebagai jalan untuk mempropagandakan isu yang menimbulkan
provokatif. Pada akhirnya banyak juga masyarakat yang memberikan respon negative atas suatu
interaksi sosial media. Terlepas dari pada itu, UU ITE telah membuat orang jera terhadap perilaku di
internet. Tinggal bagaimana kita selaku pelaku atau subjeknya menyikapi internet sebagai lahan
unggul untuk menciptakan kreasi baru dan menciptakan inovasi baru dalam interaksi sosial.

Daftar Pustaka

Rahmawati Nur, Marizal M. Muslichatum. Kebebasan Berpendapat Terhadap Pemerintah Melalui


Media Sosial Dalam Perspektif UU ITE, Jurnal: Pranata Hukum, vol. 3, No. 1 Februari 2021,
hlm. 63-66.

Setiawan Radita. Efektivitas Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Di Indonesia


Dalam Aspek Hukum Pidana, Jurnal: Recidive, vol. 2, No. 2 Mei-Agustus 2013, hlm. 141.

Napitupulu Darmawan. Kajian Peran Cyber Law Dalam Memperkuat Keamanan Sistem Informasi
Nasional, Jurnal: Budiluhur.ac.id

Anda mungkin juga menyukai