Anda di halaman 1dari 11

RESUME

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA OLEH TOPO SANTOSO, SH., MH.

Disusun Sebgai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen: Dwi Nur Fauziah Ahmad, SH., MH.

Oleh: Subur

Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

Dalam pembahasan asas legalitas ini akan dibahas terkait sejarah, istilah dan
pengertiannya. Di asas legalitas ini memiliki prinsip yang terdiri dari:

1. Lex Scripta (hukuman harus didasarkan undang-undang tertulis)


2. Lex Certa (undang-undang yang dirumuskanterperinci dan cermat, bentuk dan
beratnya hukuman harus jelas ditentukan dan bisa dibedakan)
3. Lex Pravevia (larangan berlaku surut)
4. Lex Stricta (undang-undang harus dirumuskan dengan ketat, larangan hukuman atas
dasar analogi).

Asas legalitas sangat lah dikenal luas dan diakui dalam berbagai konstitusi Amerika,
Konstitusi Prancis dan Konstitusi Indonesia Khususnya.

A. Sejarah Asas Legalitas

Di asas legalitas ini di ajarkan bagaimana kita menghormati suatu peraturan di suatu
negara, yang di jelaskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi: “Tiada perbuatan dapat di
pidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana yang terdapat dalam perundang-
undangan yang sudah ada terlebih dahulu.” Jadi mustahil akan ada suatu pidana kalau
tanpa landasan perundang-undangan. Ketentuan ini sering disebut dengan “nullum
delictumnulla poena sine praevia lege poenali”. Kalimat ini dikenal sebgai asas legalitas
yang merupakan salah satu asas terpenitng dalam hukum pidana.

Pada masa Romawi Kuno timbul kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan di dalam
undang-undang. Ketika hukum Romawi Kuno di serap oleh negara Eropa di abad
pertengahan dan di sana terjadi kesewenang-wenangan yang di ambil atas kehendak raja-
raja. Sebagai respon atas kesewenang-wenangan itu yang dapat menghukum seseorang
walaupun perbuatannya belum diatur di dalam undang-undang, dan disini muncul lah
seorang filsuf yang bernama Montesquieu dengan karya nya De L’esprit des Lois (1748) dan
J.J. Rousseau dengan karya nya Dus Contrat Social ou Principes du Droit Politique (1762).
Dan Cesare Beccaria pun mempertegas tentang asas legalitas ini.
Menurut Beccaria, “Agar dalam setiap kejadian. hukuman tidak menjadi Tindakan
kekerasan oleh satu atau banyak orang terhadap warga negara, hukuman itu pada
dasarnya haruslah bersifat terbuka, cepat, memang diperlukan, sedikit mungkin dijatuhkan,
yakni hanya dalam keadaan tertentu, hukuman harus sebanding dengan kejahatan, ada
landasan hukumnya”. Jadi dalam menetapkan seseorang sebagai yang terkena pidana
haruslah ada hukum nya atau ada undang-undang yang mengaturnya dan ketika di berikan
hukuman maka dilihat kembali dalam undang-undang yang mengaturnya. Dan pada
Revolusi Prancis pun menegaskan bahwa tiada sesuatu yang dapat dipidana selain karena
suatu undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini kemudian dimasukan dalam
pasal 4 Code Penal Prancis pada masa Napoleon Bonaparte (1801). Dalam sejarahnya,
Prancis pada masa Napoleon pernah menduduki Belanda dan Code Penal Prancis itu
diadopsi menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlands (1881). Asas legalitas dalam
pasal 4 Code Penal itu dimasukkan dalam pasal 1 WvS Belanda. Dalam sejarahnya pula,
WvS Belanda (1881) itu kemudian diadopsi di Indonesia menjadi WvS di Hindia Belanda
tahun 1915 yang mulai berlaku secara resmi pada 1917.

Kemudian Von Feuerbach menghubungan asas legalitas dengan teori “vom


psychologischen zwang” yang memaparkan dalam membuat peraturan haruslah kita
mengetahui dasar-dasar dari pada perbuatan-perbuatan yang di larang dan macamnya
pidana yang harus dijatuhkan kepada yang melanggar pelaturan tersebut. Dengan demikian
jika ada seseorang yang melanggar peraturan tersebut maka dia akan sudah tau apa isi dari
pidana tersebut misalkan di penjara, denda dan sebagainya. Dan itu akan menekan suatu
batin seseorang untuk tidak melakukan perbuatan itu, jika dia berbuat atau melakukan maka
dia harus siap dengan hukuman yang sudah dicantumkan dalam kitab hukum pidana, ini
tentunya selaras dengan teori pembalasan, di mana dia yang melakukan maka dia juga
yang harus bertanggung jawab atas perbuatan nya itu. Tetapi menurut J.E. Sahetapy,
sebenarnya bukan Feurbach yang pertama kali mengemukakan teori “psychologischen
zwang” guna menjelaskan asas legalitas itu, melainkan Samuel von Pufendorf. Menurut
beliau ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan karena mencegah orang
untuk berbuat dosa sehingga mereka akan patuh pada hukum. Bahkan lebih jauh, asas
legalitas ini bisa ditarik hingga Talmudic Jurisprudence serta Kitab Perjanjian Baru.

Asas legaliatas dalam islam dapat kita ketahui dalam Al-qur’an karena Allah Swt.
berfirman: “dan kami tidak akam menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul”, “Tetapi
bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab)”, “Dia menjadi saksi antara
aku dan kamu. Dan Al-qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-qur’an (kepadanya)”, serta
ayat selanjutnya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. Berarti memang sebelumnya asas
legalitas ternyata sudah ada dalam ajaran Islam yang terdapat dalam Al-qur’an, yang di
mana asas-asas tersebut mengikuti kitab suci dan praktik dari Nabi Muhammad Saw. Jadi
jelas bahwa dalam ajaran islam tidak ada kejahatan tanpa pemberitahuan jelas dan tiada
pidana tanpa peringatan sebelumnya dan asas legalitas pun mengajarkan itu. Para ahli fiqih
modern menyimpulkan bahwa larangan berlaku surut adalah satu dari prinsip-prinsip dasar
dari syriat: “tidak ada hukum untuk perbuatan-perbuatan sebelum adanya suatu nash”.
Berarti secara singkat tiada kejahatan sdan pidana, kecuali ada hukumnya lebih dahulu.

Hal ini menunjukan subtansi dari asa legalitas itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum
von Feuerbach menggemukakan rumusan tersebut. Artinya subtansi asas legalitas secara
sejarah sudah berusia sangat tua, bukan baru ada pada abad ke-18, sampai-sampai
diterima dalam berbagai deklarasi, konvensi, konstitusi, dan perundang-undangan pidana
sekarang.

B. Legalitas: Istilah, Pengertian, dan Prinsip yang` Terkandung di Dalamnya

Berbicara tentang perbuatan yang dilarang dan diancam dalam asas legalitas yang
sudah di jelaskan diatas, bahwa orang dapat diberi hukuman jika perbuatan orang itu sudah
di tentukan oleh undang-undang yang mengatur tentang perbuatan yang ia lakukan.
Berbicara kedua hal tersebut kita merujuk kepada criminal act (perbuatan pidana) yang di
mana yang paling penting adalah asas legalitas tersebut yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan. Di mana bisa kita sebut sebagai: tiada delik, tiada hukuman,
tanpa sebelumnya perbuatan itu diatur dalam undang-undang pidana.

Sebenarnya rumusan tersebut berkaitan dengan Nulla Poena Sine Lege ( tiada pidana
tanpa undang-undang) dan Nullum Crimen Sine Lege (tiada kejahatan tanpa undang-
undang). Kedua prinsip inilah yang kemudian menjadi tulang punggung prinsip legalitas
tersebut yang melindungi hak individu dari semua hak atas kebebasan berpendapat dimuka
umum misalnya.

Menurut Jerome Hall, prinsip “Nulla Poena Sine Lege” itu hanya (memengaruhi pelaku
tindak pidana yang terbukti bersalah), sedangkan prinsip “Nullum Crimen Sine Lege” itu
(melindungi keseluruhan warga negara).

Terkait prinsip “Nulla Poena Sine Lege”, misalkan ada seorang yang melakukan
kejahatan, lalu terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka hukuman yang di jatuhkan
kepada orang itu harus ada dasar hukum nya yaitu undang-undang. Jadi walaupun ada
sebuah larangan tetapi tidak diatur atau dicantumkan di dalam undang-undang maka orang
tersebut tidak bisa dapat di jatuhkan hukuman atas perbuatan nya karena tidak ada aturan
atau undang-undang yang mengatur perbuatan tersebut. Makanya harus dicantumkan
dalam undang-undang larangan tersebut supaya si pelaku kejahatan tersebut bisa
dikenakan sanksi yang pantas. Untuk menakut-nakuti orang supaya tidak melakukan
kejahatan di suatu negara.

Terus ada juga yang namanya prinsip “Nullum Crimen Sine Lege” yang tertuju kepada
warga negara atau masyarakat. Dalam prinsip ini memberikan suatu kebebasan kepada
seluruh masyarakat dalam ruang gerak atau ruang lingkup nya untuk melakukan apa saja,
asalkan belum diatur atau belum ada di dalam pasal undang-undang tertulis, jika ada di
dalam undang-undang tertulis maka masyarakat yang melakukan perbuatan itu dikenakan
tindak pidana.

Menurut Feurbach, dari ketentuan asas legalitas muncul lah tiga aturan yang dalam
Bahasa latin dikenal dengan:

1. Nulla Poena Sine Lege (Setiap pengenaan pidana didasarkan hanya pada undang-
undang).
2. Nulls Poena Sine Crimine (Pengenaan pidana hanya mungkin jika perbuatan yang
terjadi diancam dengan pidana).
3. Nullum Crimine Sine Poena Legali (Perbuatan yang diancam dengan pidana
berdasarkan undang-undang mempunyai akibat hukum bahwa oleh undang-undang
ada pidana untuk itu).

C. Lex Scripta (Hukuman Didasarkan Undang-undang Tertulis)

Pendapat Cleiren dan Nijboer bahwa asas legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa
undang-undang dan tidak ada pidana tanpa undang-undang. Asas legalitas ini melindungi
hak dari pada warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa, di samping juga
wewenang pemerintah untuk menjatuhkan pidana kepada yang melakukan perbuatan tindak
pidana. Yang sudah kita ketahui sebelumnya bahwa pidana adalah hukum tertulis, hukum
yang sudah terkodifikasikan di dalam KUHP, dan tidak ada satu pun dapat di pidana
berdasarkan hukum kebiasaan melainkan hukum tertulis, karena hukum kebiasaan tidak
menciptakan hal-hal yang dapat di pidananya perbuatan.

Asas ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang aslinya berbunyi: “Tiada perbuatan
itu dapat di hukum jika tidak dari sebab perundang-undangan pidana yang ada lebih dahulu
dari perbuatan itu”, atau “Tidak ada perbuatan yang boleh dihukum, selain atas kekuatan
aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelumnya perbuatan
itu”. Dalam pasal ini untuk menentukan adanya perbutan pidana tidak boleh digunakan
analogi atau kias dalam permasalahan nya.

Dalam pasal 1 ayat (1) RUU KUHP dirumuskan: “Tidak ada satu perbuatan pun yang
dapat dikenai sanksi pidana dan atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Penjelasan pasal tersebut bahwa “Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang
menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika ditentukan oleh atau
didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam
ketentuan ini adalah undang-undang dan peraturan daerah. Asas legalitas merupakan asas
pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang
mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini
berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.”

Pada masa itu ada yang namanya peradilan swapraja di mana hukum tertulis masih
berlaku. Pada masa Presiden Soekarno pernah di keluarkan nya undang-undang Darurat
No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Menurut pasal 1
ayat (2) secara berangsur-angsur akan dihapuskan segala pengadilan swapraja dalam
Negara Timur dahulu, Keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dan Negara Indonesia Timur
dahulu. Di mana dulu dalam hukum pidana itu bisa di adili oleh peradilan adat atau peradilan
swapraja kepada kaum sipil yang memutus suatu perkara di daerah tersebut. Tetapi
sekarang semuanya di adili dari tingkat pertama oleh pengadilan negeri. Tetapi hukum adat
di sini juga tidak di lepaskan sebagai hukum yang tidak tertulis di Indonesia, keberadaannya
masih tetap berlaku. Hal itu tentu merupakan suatu pengecualian dari prinsip Lex Scripta
seperti terkandung dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Dan misalkan ada suatu persoalan pidana
yang ada dalam hukum adat, itu bisa di adili sekarang di pengadilan negeri, bukan lagi di
pengadilan adat. Hal ini adalah pengecualian dari asas legalitas yang di atur dalam pasal 1
ayat (1) KUHP dan juga pasal 1 RUU KUHP.

D. Lex Certa (Undang-Undang yang Dirumuskan Terperinci dan Cermat, Hukuman


Jelas Bentuk dan Beratnya.

Dalam menanggani suatu perkara pidana harus lah dengan terperinci dan cermat dalam
melihat suatu perkara dan teliti dalam melihat dari suatu undang-undang pidana, jika terjadi
suatu kesalahan dalam penerapannya maka akan merugikan banyak orang. Mengingat
sanksi hukum pidana yang sangat tajam dan bisa saja akan terjadi implikasi atas sanksi
tersebut. Maka perlu adanya suatu kepastian dalam hukum supaya alurnya jelas dan
meyakinkan semua orang di negara tersebut. Kepastian hukum merupakan nilai yang
paling terpenting untuk dilindungi di muka umum, supaya penegak hukum agar tidak
menerapkan hukum secara tidak jelas dan kurang berpedoman yang akan bisa berakibatkan
kerugian bagi masyarakat atau warga negara.

Menurut Cleiren dan Nijboer, asas legalitas berarti:

1. Tidak ada ketentuan yang samar-samar (atau bersifat karet)


2. Tidak ada hukum kebiasaan
3. Tidak ada analogi

Jadi asas legalitas menjelaskan atau menerangkan kembali bahwa dalam menentukan
tindak pidana harus berdasarkan undang-undang, dan tidak ada yang namanya kejahatan
kalau tidak di tuliskan oleh undang-undang. Berarti hanya undang-undang lah yang dapat
menentukan semuanya itu, yang menentukan pidana itu, dan pidana apa yang harus di
terapkan dalam perbuatan kejahatan itu.

Menurut Jan Remmelink, Lex Certa berarti adanya kewajiban pembuat undang-undang
untuk merumuskan ketentuan pidana secermat atau serinci mungkin. Jika ada suatu
perumusan yang sulit atau tidak jelas yang menimbulkan kerumitan maka di sini akan
muncul ketidakpastian hukum, karena masyarakat akan berpikir pantas atau tidak pantas
suatu hukuman tersebut. Tetapi kembali lagi ke nilai kemanusiaan, di mana tidak semuanya
itu dapat terkabulkan, dalam pembuat undang-undang tetap saja persyaratan itu atau
norma-norma ada yang terkadang tidak jelas dan ambigu dalam penerapannya.

Misalnya dalam pasal 10 terdapat 5 butir, yaitu 1,2,3,4,dan 5. Pada ketentuan norma
pasal 10 itu disebutkan bahwa pasal 10 butir 1,2,3, merupakan tindak pidana, sementara itu
pasal 4, dan 5 merupakan pelanggaran administrative. Akan tetapi, pada Bab Ketentuan
Pidana yang dirujuk sebagai tindak pidana hanya pasal 10 butir 1 dan 2 saja, butir 3 tidak
disebut sebagai tindak pidana atau bukan. Jika merujuk pada pasal 10, hal itu merupakan
tindak pidana, tetapi jika merujuk pada Bab Ketentuan Pidana, bukan tindak pidana. Nah
inilah yang menimbulkan yang namanya tidak kepastian dalam hukum baik bagi masyarakat
maupun bagi penegak hukum.

Contoh lagi pada suatu undang-undang, korporasi disebut merupkan subjek tindak
pidana (misalnya dengan rumusan di pasal 1 bahwa setiap orang termasuk di dalamnya
korporasi). Akan tetapi, pada saat perumusan sanksi ancaman pidananya disusun secara
kumulatif, yakni “penjara dan denda”. Bahwa di sini korporasi itu tidak dapat di penjara
melainkan hanya diberikan berupa denda saja yang diberikan atau dengan hukuman
tambahan dibekukan saja. Dengan memakai perumusan kumulatif “penjara dan denda” ini
tentu menimbulkan kesulitan dalam penerapan nya dan praktiknya dan menimbulkan
perdebatan antara tersangka dengan penengak hukum. Hal ini juga bisa disebut
ketidakpastian hukum.

Dan ada satu lagi yang bertentangan dengan Lex Certa yaitu adanya ketidak sinkronan
dalam perumusan antara subjek tindak pidana yang di atur dalam Bab Ketentuan Pidana
dengan subjek yang dibebani norma perintah atau larangan. Jadi gini, jika ada norma
larangan atau perintah kepada subjek korporasi, misalnya suatu perseroan terbatas, namun
dalam Bab Ketentuan Pidana ternyata disebutkan subjek tindak pidananya adalah setiap
orang, atau seorang direksi misalnya, nah disini akan timbul sebuah pertanyaan. Siapakah
yang harus dituntut dan dijatuhi pidana? Apakah korporasi ataukah manusia?

E. Lex Praevia (Asas Larangan Berlaku Surut dalam Hukum Pidana) dan
Pengecualiannya.

Sebagai mana yang sudah di jelaskan dalam pasal 1 KUHP serta juga rumusan “Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali” dan yang sudah di jelaskan atau di
rumuskan oleh para sarjana ahli pidana di Indonesia, bahwa hukum pidana tidak boleh
berlaku surut atau surut kebelakang (larangan berlaku surutnya suatu aturan pidana). Dan
hukum pidana harus ada sebelum terjadinya tindak pidana, dengan demikian dikatakan lagi
bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Pada masa Hindia Belanda di tekankan
kembali oleh pemerintah yang telah mengatur Ketentuan Umum tentang Perundang-
undangan Staatsblad 1874 No. 23. Pasal 2 yang menyatakan: “Undang-undang hanya
mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut”.

Kecemasan pun mucul pada benak masyarakat jika ada suatu perbuatan yang di lakukan
oleh masyarakat belum masuk ke tindak pidana, tetapi sudah tercatat dalam pidana, maka
sewaktu-waktu akan menimbulkan kecemasan pada masyarakat, yang kemudian mungkin
bisa dinyatakan atau dicantumkan ke pidana oleh pembuat undang-undang dan akan
menjadi tindak pidana kalau masyarakat atau orang itu melakukannya. Maka muncul lagi
yang namanya tidak kepastian dalam hukum.

Contohnya kita ambil dari Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 yang di mana
pemerintah pada saat itu menerbitkan Perpu pada tanggal 18 Oktober 2002 setelah enam
hari Bom Bali berlalu, yaitu Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002
pada peristiwa Bom Bali. Pada pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002 menyatakan:

“Ketentuan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini dapat diberlakukan


surut untuk Tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya peraturan
pemerintah pengganti undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan undang-
undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersendiri”. Perpu No. 2
Tahun 2002 lah yang kemudian memberlakukan surut Perpu No. 1 Tahun 2002 atas
peristiwa Bom Bali yang terjadi beberapa hari sebelum Perpu No. 1 Tahun 2002 disahkan.

Perpu antiterorisme itu terus diterapkan dan di berlakukan untuk menyidik, menuntut para
terorisme. Yang kemudian Perpu No. 1 Tahun 2002 di tetapkan menjadi Undang-undang
No. 15 Tahun 2003 sedangkan Perpu No. 2 Tahun 2002 disahkan menjadi undang-undang
No. 16 Tahun 2003. Kemudian UU No. 16 Tahun 2003 ini diajukan pengujian ke Mahkama
Konstitusi. Dalam putusan Mahkama Konstitusi No. 013/PUU-I/2003 tanggal 23 juli 2004
pada intinya memutuskan bahwa UU No. 16 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 2
Tahun 2002 itu menjadi undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 1
ayat (1).

Dalam tegasnya yang dihapus oleh MK adalah UU Perpu No. 2 Tahun 2002 yang di
sahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2003, sementara UU Perpu No. 1 Tahun 2002 yang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang di tetapkan menjadi UU No. 15
Tahun 2003 masih tetap berlaku. MK dalam keputusan ini sangatlah tegas bahwa benar
sebab hak untuk tidak dituntut atas ketentuan pidana yang berlaku surut merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang harus dilindungi.

Hal undang-undang pidana yang berlaku surut merupakan suatu hak asasi manusia dan
dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28 i ayat (1) dan ditegaskan kembal dalam Pasal 18 ayat (2)
dengan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan: “Setiap
orang tidak boleh dituntut untuk di hukum atau di jatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya”.
Sementara itu, Pasal 18 ayat (3) menyatakan: “Setia pada perubahan dalam peraturan
perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntukan bagi tersangka”.
Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 ini sangat mirip dengan
ketentuan pada pasal 1 ayat (1) KUHP, sementara ketentuan pada pasal 18 ayat (3) nya
sangat mirip dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP.

1. Pengecualian Berlakunya Surut: Ketentuan Transisi

Dalam ketentuan transisi yang di ambil penegak hukum harus lah selaras tidak boleh
berlaku surut, harus tetap maju kedepan dalam penggunaan nya, yang di khuwatir kan jika
penegak hukum dalam menanggani suatu kasus itu memakai peraturan yang lama, tetapi
dalam suatu kasus lagi dalam perkara yang sama memakai peraturan yang baru. Nah ini
yang kemudian menimbulkan tidak kepastian hukum dalam transisi. Jadi harus adanya
suatu pedomannya atau suatu ketentuan mengenai saat transisi dari peraturan lama ke
peraturan yang baru. Hal ini memang sudah dipikirkan oleh pembuat undang-undang yang
sifatnya nasional maupun internasional.

Di ambil satu dari semua contoh dalam perubahan yaitu tindak pidana delik, dari delik
biasa menjadi delik aduan, atau delik kejahatan menjadi delik pelanggaran. Misalnya
perubahan jenis sanksi pidana dari penjara menjadi denda atau menjadi kurungan, dari
penjara menjadi tutupan, dari denda menjadi pengawasan, dan lain-lain. Perubahan unsur
tindak pidana, khususnya dari unsur-unsur tindak pidana yang lebih sedikit menjadi banyak.
Jika lebih banyak, tentu tugas jaksa membuktikan kesalahan terdakwa menjadi lebih banyak
dan lebih menguntungkan baginya. Tetapi bagaimana jika menguntungkan bagi tersangka
atau terdakwa. Nah disini penegak hukum, khususnya hakim, harus melihat per kasus atau
kasus demi kasus untuk melihat mana yang lebih menguntungkankarena tidak bisa
disamaratakan dalam semua kasus. Pada Pasal 1 ayat (2) KUHP, masalah transisi, karena
adanay perubahan perundang-undangan ini, kemudian diatur lebih rinci lagi dalam Pasal 3
RUU KUHP Nasional.

2. Dalam Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Undang-undang yang mengatur tentang pengadilan atas pelanggaran Hak Asasi


Manusia adalah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 43
ayat (1) menyatakan: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM”.
Sementara itu, pasal 43 ayat (2) menyatakan: “Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPRI berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan
presiden.” Pasal 43 ayat (3) menyatakan: “Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berada di lingkungan peradilan umum”.

Penjelasan pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 menjelaskan: “Dalam hal DPRI
mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM , DPRI mendasarkan pada dugaan telah
terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu
yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini”. Dari ketentua pasal 15 ayat (2)
ini selaras di mana meskipun belum ada peraturan tertulis, jika perbuatan itu memang
masuk ke dalam tindak pidana, menurut “general principes of law” yang di akui oleh
komunitas bangsa-bangsa, pelakunya tetap dapat diadili dan dihukum.

F. Lex Stricta (Perumusan Secara Ketat dan Larangan Analogi dalam Hukum
Pidana)

Tidak boleh di pergunakannya analogi dalam hukum pidana di negara Eropa Kontinental,
tetapi dalam negara seperti Denmark, Rusia, Jerman, Inggris, pernah mempergunakan
analogi dalam hukum pidana. Seperti pada negara yang memakai civi law telah
dikemukakan bahwa dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakn peraturan hukum
pidana harus dirumuskan secara ketat dan tidak boleh digunakan analogi, tetapi dalam
perdata masih memungkinkan dalam penggunaan analogi di dalam nya.

Karena jika dalam hukum pidana menggunakan analogi, yang di takutkan adalah jika
seseorang yang melakukan sesuatu atau perbuatan ada kemiripan dengan perbuatan yang
tellah di atur dalam undang-undang pidana, padahal atas perbutannya itu belum ada
landasannya untuk menuntut atau menghukumnya. Hanya karena ada kemiripan dengan
suatu tindak pidana, ia dapat di pidana. Tentu ini akan menimbulkan kerugian baginya, juga
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi setiap orang yang bisa sewaktu-waktu dituntut
pidana atas perbuatannya.

Pada awal 2019 pun masih memperdebatkan terkait masalah analogi yang dilarang di
hukum pidana. Sebagian dari sarjana ahli hukum pidana memperkuatkan argumennya
tentang larangan analogi di hukum pidana. Seharusnya analogi di hukum pidana itu tidak
harus dilarang mutlak dalam hukum pidana, seharusnya di pakai demi keadilan hukum yang
berkemajuan di jaman modern sekarang, tidak perlu lagi melarang analogi dalam hukum
pidana. Pendapat senada yang dikemukakan oleh Utrecht yang menyatakan dengan tegas
“Menolak analogia priori berarti secara diam-diam menganut suatu aliran positivis yang
sempit sekaliyang tidak dapat disesuaikan dengan zaman sekarang”. Menurut nya di terima
atau tidak nya persoalan itu haruslah dipertimbangkan antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat.

Misalkan contoh kasus “pencuria data komputer” tentu ini sebuah analogi, bahwa dalam
pidana kata “mencuri” adalah “mengambil” berarti dalam mengambil itu harus di bawa atau
di pegang oleh tangan, tetapi hal ini sangat lah tidak sesuai dengan di tuduhnya seorang
dalam mencuri lalu dikenakan sebuah tindak pidana. Nah makanya supaya bentuk nya jelas
dalam penganalogian ini di bentuk lah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), jadi
sudah jelas bentuk nya sekarang, tidak lagi menjadi isu besar lagi dalam penganalogian.

Jadi intinya penganalogian di pidana masih sangat berbahaya apalagi yang tidak memiliki
dasar-dasar hukum nya. Berarti benar bahwa analogi dalam hukum pidana itu harus
dilarang atau tidak boleh dipakai dan harus dimengerti secara strict dan tidak boleh di
perluas dengang menggunakan analogi dalam berbagai masalah atau kasus pidana.

G. Asas Legalitas Menurut Deklarasi dan Konvensi Internasional serta


International Criminal Court
Asas legalitas telah diatur dalam beberapa deklarasi dan konvensi internasional.
Ketentuan tentang legalitas ini diatur dalam deklarasi hak-hak manusia dan warga yang di
sampaikan setelah Revolusi Prancis 1789, yang dimuat dalam konvennsi Eropa tentang
perlindungan hak asasi 1950, serta kovenan atas hak-hak sipil dan politik, bahkan juga
dalam konvensi tentang Mahkamah Pidana Internasioanl.

Dan dijelaskan kembali bahwa substansi pasal 11 UDHR ini sama dengan pasal 15 (1)
Kovenan, di mana dinyatakan bahwa tidak seorang pun boleh dinyatakan bersalah atas
tindak pidana karena Tindakan atau kelalaian (perbuatan pasif) yang bukan merupakan
tindak pidana, berdasarkan hukum nasional atau internasional, pada perbuatan itu
dilakukan. Tidak boleh ada hukam yang lebih berat yang dijatuhkan dari pada hukuman
yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan. Ketentuan ini juga selaras dengan bunyi
pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan konvenan ini yang menyatakan: “Jika, setelah dilakukan
tindak pidana, ketentuan dibuat oleh hukum untuk pengenaan hukuman yang lebih ringan,
pelaku akan diuntungkan karenanya”. Ini tentu senada lagi dengan substansi Pasal 1 (2)
KUHP.

Demikian resume yang dapat saya tulis sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Hukum
Pidana. Jika ada kekurangan dalam penulisan mohon dimaafkan, saya akhiri tugas ini
selesai.

Anda mungkin juga menyukai